• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legalitas Status Perlindungan Climate Change Refugees Di Negara Penerima Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Legalitas Status Perlindungan Climate Change Refugees Di Negara Penerima Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN UMUM TENTANG PERUBAHAN IKLIM

A.Defenisi Perubahan Iklim 1. Pengertian Perubahan Iklim

Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang tidak sama.

Beberapa definisi cuaca adalah: 11

a. Keadaan atmosfer secara keseluruhan pada suatu saat termasuk perubahan, perkembangan dan menghilangnya suatu fenomena (World Climate Conference, 1979).

b. Keadaan variable atmosfer secara keseluruhan disuatu tempat dalam selang waktu yang pendek (Glen T. Trewartha, 1980).

c. Keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun) (Gibbs, 1987).

Sedangkan iklim didefinisikan sebagai berikut :

a. Sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979).

       11 

(2)

b. Konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsur-unsur atmosfer disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Glenn T. Trewartha, 1980). c. Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin

kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).

Adapun definisi perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001).

Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang. LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan.12

IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.13

       12  

Lihat pada situs internet http://www.slideshare.net/iekesiswanto/kul-model-dinamika- atmosfer-dalam-perubahan-iklim-dan-pengaruhnya-terhadap-presipitasi-pada-lingkungan-pertanian, diakses pada tanggal 05 Maret 2016, pada pukul 20.45 WIB.

13 

(3)

Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global.

Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim global.

Meskipun pemanasan global hanya merupakan satu bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.

(4)

antara sejumlah komponen sistem iklim seperti atmosfer, hidrofer (terutama lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan biosfer, dan pedosfer. Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi.

2. Perubahan Iklim (Global Climate Change)

Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim berdampak terjadinya perubahan sosial atau kependudukan dan budaya. Berbagai kajian sosial menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan sangat erat dengan pola iklim. Hasil kajian IPCC (2007) menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 tercatat adanya dua belas tahun terpanas berdasarkan data temperatur permukaan global. Sebelas dari duabealas tahun terpanas tersebut terjadi dalam waktu dua belas tahun terakhir ini. Permukaan air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara lain antara tahun 1961-2003.14

Kenaikan total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menanggulanginya.

Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekwensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim.

(5)

“Based on such observations, the Intergovernmental Panel on Climate

Change (IPCC) in 2007 concluded that ‘warming of the climate system is

unequivocal, as is now evident from observations of increases in global average

air and ocean temperatures, widespread melting of snow and ice, and rising

global average sea level’”.15

IPCC menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artuka dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai.

Jika tidak ada upaya yang sistematis dan terintegrasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan global mulai dari sekarang, maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya perubahan iklim ke depan akan semakin besar dan lebih lanjut akan berdampak pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang berkelanjutan. Penanganan masa perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen perubahan iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan mengantisispasi dampak

       15 

(6)

perubahan iklim global jangka panjang secara komprehensif. Juga membutuhkan pendekatan lintas sektor baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal.16

Dalam menghadapi perubahan iklim, penigkatan ketahanan sistem dalam masyarakat untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi dan mitigasi. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberi mandaat secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, adaptasi harus diimbangi dengan mitigasi, yaitu upaya mengurangi sumber maupun peningkatan (penyerap) gas rumah kaca, agar proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Dengan demikian, generasi yang akan datang tidak terbebani oleh ancaman perubahan iklim secara lebih berat.

B.Perkembangan Perubahan Iklim Hingga Saat Ini 1. Perkembangan Perubahan Iklim

Pada 1898, ilmuwan Swedia Svante Ahrrenius mengingatkan bahwa emisi karbon dioksia (CO2)dapat menjadi penyebab pemanasan global. Namun, baru pada tahun 1970-an ilmuwan mendiskusikan pemanasan global sebagai agenda ilmiah yang selanjutnya menjadi keputusan politik. Sebelum itu, pemanasan global tenggelam dalam berbagai isu lain seperti nuklir dan perang dingin.17

Tahun 1950, dalam Saturday Evening Post, sebuah Koran yang kemudian menjadi salah satu yang terbesar di Amerika, pernah menampilkan artikel dengan

       16 

Lihat situs internet https://reddandrightsindonesia.wordpress.com/2011/03/17/sejarah-konvensi-perubahan-iklim-bernad-steni/, diakses pada tanggal 02 Maret 2016, pada pukul 17.15 WIB

17 

(7)

pertanyaan is the world getting warmer. Artikel itu meski mulai membuka pandora pemanasan global namun isu yang diangkat tidak mendalam bahkan cenderung seperti lelucon. Misalnya, akibat cuaca panas maka ikan terbang negeri tropis pun meluncur di pinggiran pantai New Jersey amerika. Apa pun yang dikemukakan oleh Koran itu, telah menjadi titik awal informasi ke publik mengenai sesuatu telah terjadi pada suhu dan iklim global.

“The average rate of warming at the end of the last glaciation was about

5°C in some 10 000 years, or 0.05°C per century, while the observed rate of

warming in the last 50 years is 1.3°C per century and the estimated rate over the

next 100 years could be more than 5°C per century, which is 100 times as fast as

during the last deglaciation. Such rapid rates of warming would make adaptation

by natural and human systems extremely difficult or impossible.”18

Perdebatan ilmiah baru mulai muncul pada tahun 1960-an, tapi banyak hal lain yang lebih menyita perhatian, seperti perang nuklir, sehingga sangat sedikit orang yang mengetahui isu ini. Ketika perdebatan ilmiah dimulai tahun 1970-an pun bukan pemanasan global yang menjadi perhatian pers tapi justru pendinginan global (cool down). Suhu bumi secara perlahan menurun selama kurang lebih tiga dekade. Sejumlah ahli yang tidak konvensional berspekulasi bahwa debu dan partikel sulfat yang menutupi matahari menjadi sebab pendinginan tersebut. Sebuah film dokumenter Inggris tahun 1974 memberi peringatan bahwa musim dingin yang brutal cukup memadai untuk menutup garis lintang utara dengan kilauan salju dan dalam musim panas berikutnya tidak bisa hilang sepenuhnya.

       18  

(8)

Sehingga potensial untuk menjadi benua dengan lapisan kerak es dalam dekade mendatang. Meskipun reporter berbagai media massa berceloteh lebih banyak mengenai pendinginan global, beberapa ahli berkonsentrasi pada tinjauan atas pemanasan global dalam jangka panjang. Salah satu paper kunci pada tahun 1975 bertanya apakah kita sedang di ambang perubahan iklim yang nyata.

Dua studi yang dilakukan pada penghujung 1970-an dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengkonfirmasi bahwa konsentrasi CO2 yang terus bertambah di udara akan menuju pada pemanasan yang signifikan. Uji coba model berbasis komputer kemudian berkembang pesat. Model-model tersebut selanjutnya mengkonfirmasi bahwa pemanasan sedang berjalan. Pada akhirnya, perubahan di atmosfir sendiri secara empirik membenarkan simulasi komputer dan temuan-temuan ilmiah tersebut. Pada penghujung 1980, temperatur global telah mulai meningkat dan sejak itu tidak pernah menurun kecuali penurunan selama dua tahun setelah erupsi vulkanik Gunung Pinatubo tahun 1991.19

Laporan dan temuan terus terakumulasi sepanjang 1980-an tapi hanya sedikit keriuhan di luar laboratorium riset dan pendengaran pemerintah. Fokus masih berkutat dengan kecemasan perang dingin hingga awal 1980-an, meski kadang-kadang di sana sini media massa mulai menulis tentang pemanasan global. Times London, misalnya, pada 1982 menulis tentang “ekperimen yang terlanjur panas untuk ditangani, sesuatu yang dapat mengubah wajah dunia dalam tiga generasi”.

       19 

(9)

Situasi berubah ketika lubang pada lapisan ozon ditemukan di Antartika tahun 1985. Meskipun masih belum begitu jelas perbedaan antara pengurangan ozon dengan perubahan iklim, penemuan tersebut menjadi sebuah tanda mengenai kerentanan atmosfir yang diperlihatkan dengan jelas oleh foto satelit. Perubahan iklim bergema pada musim panas 1988 di Amerika.

Urgensi dari tantangan perubahan iklim di masa sekarang sangatlah jauh perubahannya dari tahun 2005, dengan pengamatan baru yang menunjukkan bahwa banyaknya dampak-dampak yang timbul dari perubahan iklim lebih cepat daripada yang perkiraan oleh para ilmuwan.

2. Lahirnya Konvensi Perubahan Iklim

Merespons peningkatan temuan ilmiah atas perubahan iklim, seri konferensi antar pemerintah yang fokus pada perubahan iklim dibuat. Pada 1998, konferensi pertama diselenggarakan di Toronto. Konferensi tersebut bertajuk

Changing Atmosphere menggoyang wacana publik dan menyita perhatian

Internasional ketika 340 peserta konferensi dengan berbagai latar belakang dan berasal dari 46 negara merekomendasikan konvensi kerangka kerja global yang komprehensif untuk melindungi atmosfir.20

Dengan mengacu pada proposal yang diajukan oleh Malta, Majelis Umum PBB akhirnya menjawab perubahan iklim untuk pertama kali dengan mengadopsi

       20 

(10)

resolusi 43/53. Resolusi ini paling tidak menghadirkan dua aspek penting yang akan menjadi perdebatan dalam perundingan-perundingan berikutnya, yaitu:21

Pertama, mengakui bahwa perubahan iklim merupakan masalah bersama umat manusia terutama karena iklim merupakan kondisi yang esensial yang mempertahankan kehidupan di muka bumi.

Kedua, menentukan bahwa tindakan yang perlu dan dalam jangka waktu yang tepat seharusnya diambil dalam kerangka kerja global untuk menghadapi perubahan iklim.

Jika diperiksa lagi ke belakang, konferensi ini tak luput dari peran sejumlah lembaga-lembaga yang berkecimpung di isu lingkungan dan terutama iklim yakni WMO (The World Meteorological Organization), UNEP (United

Nations Environment Programme) dan ICSU (International Council of Scientific

Union). Setelah mengidentifikasi perubahan iklim sebagai masalah yang

mendesak maka pada tahun 1979, lembaga-lembaga tersebut menyusun Program Iklim Dunia (World Climate Programme).22

Deklarasi yang final diadopsi setelah proses tawar menawar politik yang alot. Kesepakatan yang tercapai pada akhirnya menggarisbawahi beberapa hal penting:

Pertama, tidak menyepakati target spesifik pengurangan emisi.

Kedua, menyokong beberapa prinsip penting yang dalam perkembangan selanjutnya diadopsi dalam Konvensi Perubahan Iklim.

       21 

Lihat situs internet https://reddandrightsindonesia.wordpress.com/2011/03/17/sejarah-konvensi-perubahan-iklim-bernad-steni/, diakses pada tanggal 02 Maret 2016, pada pukul 17.15 WIB 

22 

(11)

Prinsip-prinsip tersebut adalah perubahan iklim sebagai common concern of

humankind (masalah bersama umat manusia), pentingnya keadilan melalui prinsip

common but differentiated responsibilities” (tanggung jawab yang sama namun

secara khusus harus dibedakan sesuai kemampuan) dengan menimbang level pembangunan yang berbeda, prinsip sustainable development (pembangunan berkelanjutan) dan the precautionary principle (kehati-hatian dini).

Ketiga, telah terjadi ancaman serius atau kerugian yang tidak bisa dielak sehingga kurangnya kepastian ilmiah tidak menjadi alasan untuk menunda tindakan yang efektif biaya untuk mencegah pengurangan mutu lingkungan.

Di bawah bayang-bayang tekanan publik internasional, pada Desember 1990, Majelis Umum PBB setuju untuk memulai melakukan perundingan untuk membentuk perjanjian. Hasilnya, melalui Resolusi 45/21, Majelis Umum PBB membentuk The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework

Convention on Climate Change (INC/FCCC) yang menjadi wadah tunggal proses

negosiasi antarpemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB.

(12)

diluncurkan dan dibuka untuk penandatanganan dari para pihak pada bulan Juni 1992 dalam KTT Bumi Brazil.23

Pada kesempatan itu 154 negara peserta KTT menandatangani kerangka kerja perubahan iklim yang selanjutnya disebut The United Nations Framework Convention on Climate Change atau UNFCCC. Bulan Maret 1994, Konvensi Perubahan Iklim mulai berlaku. Saat ini, terdapat 194 pihak yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (193 negara dan 1 organisasi ekonomi regional – European Union).

C.Hubungan antara Lingkungan, Akibat Climate Change, dan Kehidupan Manusia.

1. Lingkungan dan Perubahan Iklim

Iklim merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Lingkungan, tanaman, binatang, serta seluruh makhluk hidup yang termasuk didalamnya menentukan keadaan iklim dalam waktu yang panjang yang berkaitan dengan keberlangsungan iklim tersebut. Berdasarkan waktu geologinya, Iklim membantu pembentukan gunung, penggemburan tanah, menentukan keadaan sungai, serta menentukan keadaan lingkungan lainnya.

“The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) reports a

worrying litany of likely climate change impacts for the region: a decline in crop

yield, an increase in climate induced disease, an increased risk of hunger and

water scarcity, an increase in the number and severity of glacier melt related

floods, significant loss of coastal ecosystems, a high risk of flooding for many       

23 

Lihat situs internet

(13)

millions of people in coastal communities, and an increased risk of extinction for

many species of fauna and flora”.24

Dalam kutipan diatas menyebutkan IPCC melaporkan bahwa dampak perubahan iklim saat ini sangatlah mengkhawatirkan bagi wilayah-wilayah. Sangat berdampak terhadap lahan pertanian, terhadap wabah penyakit yang disebabkan oleh perubahan iklim, kenaikan resiko kelaparan dan kekurangan air bersih, kenaikan angka es yang meleleh yang berkaitan dengan musibah banjir, kehilangan yang signifikan terhadap ekosistem tepi laut, resiko yang sangat tinggi akan tenggelamnya negara-negara kepulauan yang mengancam keselamatan masyarakatnya, dan juga meningkatkan resiko punahnya banyak spesies tumbuhan dan hewan.

a. Perubahan Iklim dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan

Perubahan iklim dapat mengubah kualitas air, udara, makanan; ekologi vektor; ekosistem, pertanian, industri, dan perumahan. Semua aspek tersebut memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan kualitas hidup manusia. Perubahan iklim telah menciptakan suatu rangkainan kausalitas kompleks yang berujung pada dampak kesehatan. Misalnya saja, kualitas dan suplai makanan. Variabel ini sangat dipengaruhi oleh iklim. Bagaimana keteraturan iklim telah membuat petani tahu kapan waktu yang tepat untuk menebarkan benih, memupuk, dan memanen lahannya. Saat iklim berubah, cuaca juga berubah. Kekeringan dan banjir dapat datang sewaktu-waktu. Mungkin petani masih bisa memanfaatkan air tanah. Akan tetapi, seperti telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya,

       24 

(14)

aktivitas antropogenik manusia telah merubah wajah vegetasi bumi. Kualitas dan kuantitas air tanah dan permukaan kini juga berada dalam ancaman. Perubahan cuaca, kelembaban, suhu udara, arah dan kekuatan angin juga mempengaruhi perilaku hama.

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) reports a

worrying litany of likely climate change impacts for the region: a decline in crop

yield, an increase in climate-induced disease, an increased risk of hunger and

water scarcity, an increase in the number and severity of glacier melt-related

floods, significant loss of coastal ecosystems, a high risk of flooding for many

millions of people in coastal communities, and an increased risk of extinction for

many species of fauna and flora.25

Perubahan iklim dapat mengakibatkan munculnya berbagai gangguan kesehatan. Serangan heat stroke, kematian akibat tersambar petir, busung lapar akibat gagal panen yang disebabkan perubahan pola hujan, dan gangguan kesehatan lainnya membutuhkan penanganan istimewa, tidak bisa disamakan dengan kejadian penyakit biasa.26

Oleh karena itu, hal tersebut membutuhkan rancangan sistem kesehatan yang disesuaikan dengan perkiraan dampak perubahan iklim sehingga fasilitas pelayanan kesehatan yang ada mampu menampung, menangani, dan mengendalikan kasus-kasus tersebut. Ketika perubahan iklim datang, maka kesehatan manusia akan berada dalam ketidakpastian waktu. Kasus bisa terjadi sewaktu-waktu dengan kuantitas dan kualitas dampak yang juga tidak dapat

       25 

Loc.cit. 

26 

(15)

dipastikan. Sistem pelayanan kesehatan akan menemui berbagai macam tantangan yang rumit seperti naiknya biaya pelayanan kesehatan, komunitas yang mengalami penuaan dini, dan berbagai tantangan lainnya sehingga strategi pencegahan yang efektif sangat dibutuhkan.

Banjir mengakibatkan kesehatan manusia terancam berbagai penyakit menular dan penyakit mental. Leptospirosis, diare, gangguan saluran pernapasan, scabies, dan penyakit lainnya mengancam warga pasca banjir. Secara teoritis, banjir adalah hasil dari interaksi dari curah hujan, runoff permukaan, evaporasi, angin, tinggi permukaan air laut, dan topografi lokal. Bencana banjir dan badai mulai muncul dalam 2 dekade ini. Pada tahun 2003, 130 juta jiwa menjadi korban banjir bandang di China. Sedangkan pada tahun 1999, 30.000 orang mati karena badai yang diikuti banjir dan tanah longsor di Venezuela. Di Indonesia, banjir air pasang terjadi di Jakarta Utara dan Tangerang.27

Perubahan Iklim juga menyebabkan kemunculan dini musim semi serbuk sari di belahan bumi utara. Sangat beralasan jika menyimpulkan bahwa penyakit alergen disebabkan oleh serbuk sari seperti alergi rhinitis seiring ditemuinya kejadian tersebut bersamaan dengan perubahan musim tersebut.

b. Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Sosial

The proximate triggers for intra-state social unrest and inter-communal

violence are usually argued to involve competition for scarce resources (including

       27 

(16)

water and energy), food insecurity, and pressures that result from internal

migration spurred by the impacts of climate change on local environments.28

Salah satu contoh akibat perubahan iklim adalah banjir. Banjir yang menenggelamkan tempat tinggal manusia membuat manusia mengungsi. Dalam kondisi darurat seperti itu, akan timbul kepanikan. Selain itu, pada kondisi darurat manusia tidak lagi memikirkan orang lain. Yang menjadi prioritas utamanya adalah bagaimana caranya agar dirinya, keluarganya, dan hartanya dapat diselamatkan. Tidak jarang manusia menginjak hak orang lain asal kebutuhan keluarganya dapat dipenuhi, walaupun hak orang yang diinjak tersebut adalah hak tetangganya. Banjir juga menyebabkan jatuhnya korban meninggal yang akan membuat perasaan keluarga dan orang terdekatnya termasuk tetangga akan menjadi sangat sedih, hal ini membuat keadaan sosial akan berubah karena telah menghilangnya salah satu pelaku sosial di lingkungan tersebut.

c. Perubahan Iklim dan Dampak Lingkungannya

Perubahan Iklim terjadi karena perubahan keseimbangan lingkungan. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (uap air, CO2, NOx, CH4, dan O3) di atmosfer akibat aktifitas pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia menyebabkan terbentuknya semacam selimut tak tampak mata yang mengurung gelombang panas sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi. Efeknya

      

28 Lorraine Elliott and Mely Caballero-Anthony. 2013. Human Security and Climate

(17)

adalah permukaan bumi semakin memanas dan pada akhirnya memicu perubahan iklim.29

Efek yang paling terlihat dari kondisi ini adalah perubahan cuaca. Cuaca adalah kondisi atmosfer yang kompleks dan memiliki perilaku berubah yang kontinyu, biasanya terikat oleh skala waktu, dari menit hingga minggu. Variabel-variabel yang berada dalam ruang lingkup cuaca di antaranya adalah suhu, daya presipitasi, tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan, dan arah angin. Sedangkan iklim adalah kondisi rata-rata atmosfer, dan berhubungan dengan karakteristik topografi dan luas permukaan air, dalam suatu region wilayah tertentu, dalam jangka waktu tertentu yang biasanya terikat dalam durasi bertahun-tahun.

Aktivitas antropogenik lain, diantaranya adalah penggunaan lahan dan berubahnya vegetasi alami juga ikut berkontribusi menyebabkan perubahan iklim. Perubahan vegetasi menyebabkan variasi karakteristik permukaan bumi seperti albedo (kemampuan memantulkan) dan roughness (ketinggian vegetasi) mempengaruhi keseimbangan energi permukaan bumi lewat gangguan evapotranspirasi. Selain itu, perubahan vegetasi juga dapat mempengaruhi suhu, laju presipitasi, dan curah hujan di suatu regional. Bencana alam yang dapat terjadi karena perubahan vegetasi di antaranya adalah banjir, munculnya heatstroke akibat gelombang panas yang tidak diserap karena hilangnya vegetasi alami, tsunami, kekeringan, dll.

      

29 Lihat pada situs internet

(18)

The health assessment, firstly, confirms and expands the evidence base on

the health risks presented in the previous assessment report, in 2007. This

includes the much stronger evidence that negative health impacts will outweigh

positive effects. It concludes that climate change will act mainly, at least until the

middle of this century, by exacerbating health problems that already exist, and the

largest risks will apply in populations that are currently most affected by

climate-related diseases.30

Dampak lainnya adalah pengaruh perubahan iklim terhadap perilaku vektor penyebab penyakit. Vector borne disease (VBD) adalah penyakit menular yang ditransmisikan oleh gigitan infeksi spesies-spesies arthropoda, misalnya nyamuk, lalat, kutu, kepinding, dan sebagainya. According to the IPCC Fourth Assessment Report, climate change has already altered the distribution of some

disease vectors. There is evidence that the geographic range of ticks and

mosquitoes that carry disease has changed in response to climate change.31

Virus berbasis vektor lainnya yang paling menjadi pusat perhatian seluruh dunia adalah dengue. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ada hubungan antara kondisi spasial, temporal, atau pola spasiotemporal terhadap dengue dan iklim. Telah diketahui bahwa curah hujan yang tinggi serta suhu yang hangat dapat meningkatkan transmisi virus ini. Akan tetapi, diketahui juga bahwa kasus dapat terjadi dalam jumlah yang sama di musim kemarau asal terdapat cukup tempat penyimpanan air yang feasibel menjadi breeding site nyamuk.

      

30Lihat situs internet

http://www.who.int/globalchange/environment/climatechange-2014-report/en/, diakses pada tanggal 15 Maret 2016, pada pukul 00.19 WIB.

31 Lihat situs internet

(19)

Perubahan iklim memiliki hubungan dengan perubahan curah hujan, ketersediaan air permukaan, dan kualitas air yang dapat berpengaruh pada water related disease. Water related disease dapat diklasifikasikan dengan mengetahui jalur pajanannya sehingga dapat dibedakan menjadi water borne disease (ingesti) dan water washed disease (karena kurangnya higienitas).

d. Dampak terhadap keanekaragaman hayati

Laju perubahan iklim yang cepat melalui pemanasan global merupakan masalah yang cukup serius dihadapi oleh mahluk hidup. Dalam menghadapi hal itu diperlukan adaptasi, antara lain melalui migrasi yang merupakan mekanisme homeostatis mahluk hidup.

Migrasi horisontal terhalang oleh berbagai faktor antara lain terdapatnya daerah pemukiman, pertanian, bentangan gunung yang tinggi, dan hamparan lautan. Sebagai contoh hewan dan tumbuhan yang dilindungi di taman nasional Ujung Kulon tidak dapat bermigrasi ke selatan karena terdapat Samudra Hindia. Juga bentangan Pegunungan Jaya Wijaya di irian Jaya merupakan hambatan bagi migrasi hewan setempat. Meski hewan dan tumbuhan dapat bermigrasi untuk beradaptasi terhadap kenaikan temperatur akibat perubahan iklim, kecepatan migrasi jenis berbeda-beda sehingga di habitat yang baru terjadi perubahan komunitas hewan dan tumbuhan.

(20)

hewan dan tumbuhan bisa hidup di masa depan, dengan beberapa spesies yang rentan terhadap suhu ekstrim,” kata Dr. Watson. “Dalam sistem kelautan, kenaikan permukaan laut dan dampak dari suhu dan keasaman pada sistem terumbu karang menjadi perhatian khusus. Air tawar sungai dan lahan basah kami juga sangat rentan terhadap peningkatan suhu dan perubahan curah hujan di luar toleransi berbagai organisme yang berbeda-beda.”32

Pada umumnya kecepatan migrasi jenis tumbuhan lebih rendah daripada kecepatan migrasi hewan. Dalam kasus ini bila tumbuhan tersebut merupakan makanan utama jenis hewan yang bermigrasi maka hewan tersebut di habitat yang baru, kurang/tidak mendapat makanan utama. Akibatnya akan berpengaruh terhadap kehidupannya dan bila hewan tersebut tidak mampu beradaptasi dengan jenis makanan yang tersedia di habitatnya yang baru, maka populasinya pun akan terhambat bahkan dapat menyebabkan kepunahan.

e. Dampak terhadap lapisan salju, es glasier, permafrost, dan sirkulasi hidrologi Salju es dan permafrost (dataran beku bersuhu 00C) merupakan sumberdaya air yang meliputi luas 41 juta km persegi. Lapisan salju pada daerah tertentu yang menutupi tanah selama 9 bulan dalam setahun dapat mengurangi panas yang diserap oleh tanah. Akibat perubahan iklim, lapisan salju melebur dan tanah akan lebih banyak menyerap panas matahari. Umpan balik dari peleburan lapisan salju tersebut akan meningkatkan pemanasan global. Demikian pula halnya terhadap hamparan es dan glasier, yang akhirnya akan berakibat terhadap kenaikkan permukaan air laut. Dalam waktu 250 tahun hamparan es di Greenland

       32 

(21)

berkurang volumenya sebesar 3 % dan permukaan laut naik setinggi 0,2 m. Reaksi glasier atas pemanasan akibat perubahan iklim sangat tergantung pada tempat dan perubahan presipitasinya. Glasier yang berada di kepulauan bekas wilayah Uni Sovyet diprediksi akan hilang dalam beberapa dasawarsa akibat presipitasinya hanya dapat mengkompensasi kehilangan 10 - 15 % .

Everywhere on Earth ice is changing. The famed snows of Kilimanjaro

have melted more than 80 percent since 1912. Glaciers in the Garhwal Himalaya

in India are retreating so fast that researchers believe that most central and

eastern Himalayan glaciers could virtually disappear by 2035. Arctic sea ice has

thinned significantly over the past half century, and its extent has declined by

about 10 percent in the past 30 years. NASA's repeated laser altimeter readings

show the edges of Greenland's ice sheet shrinking. Spring freshwater ice breakup

in the Northern Hemisphere now occurs nine days earlier than it did 150 years

ago, and autumn freeze-up ten days later. Thawing permafrost has caused the

ground to subside more than 15 feet (4.6 meters) in parts of Alaska. From the

Arctic to Peru, from Switzerland to the equatorial glaciers of Man Jaya in

Indonesia, massive ice fields, monstrous glaciers, and sea ice are disappearing,

fast.”33

Peningkatan temperatur sebesar 3 derajat Celcius dapat membelah wilayah Pegunungan Alpen di Austria yang tertutup glasier menjelang tahun 2050. Dataran beku bersuhu nol derajat Celcius merupakan tanah yang tetap berada pada temperatur nol derajat Celcius atau dibawahnya, yang terdiri atas es dengan

       33 

(22)

berbagai bentuk mulai dari partikel kecil di pori-pori tanah hingga wilayah es yang luas dengan ketebalan beberapa meter.

Pemanasan yang cepat mempengaruhi lapisan teratas dataran beku bersuhu nol derajat Celcius setebal 5 m yang pada wilayah tertentu (misalnya Siberia Barat dan Lingkaran Atlantik Utara) akan menghilang dalam beberapa dasawarsa. Namun pencairan dataran beku bersuhu nol derajat Celcius tersebut secara penuh akan memerlukan waktu berabad-abad.

Kenaikkan temperatur 2 derajat Celcius akan mengakibatkan gerakan mundur dataran beku bersuhu nol derajat Celcius di Kanada sejauh 700 km ke utara. Survei yang dilakukan pemerintah Cina membuktikan 40 - 50 % wilay ah dataran beku bersuhu nol derajat Celcius akan berkurang. Siklus hidrologi terpengaruh oleh kenaikkan temperatur akibat perubahan iklim karena laju penguapan air dari tanah dan kelembaban tanah juga terkena dampak kenaikkan temperatur.

(23)

Sungai-sungai di daerah ini menjadi sangat kering di musim panas dan meluap pada waktu musim hujan.

f. Dampak terhadap ekosistem laut dan pantai

“In the Asia-Pacific, climate change will have a fundamental impact on the

livelihoods and even survival of millions of people. Of the ten countries in the

world most imperilled by climate change in terms of the number of people likely to

be affected, six are in this region: China, Indonesia, Japan, the Philippines,

Thailand and Vietnam.”34

Pemanasan global akibat perubahan iklim selain menaikkan permukaan air laut akibat pemuaian volume air dan pencairan salju, juga menaikkan suhu air laut. Hal itu akan berpengaruh terhadap interaksi laut dan atmosfer, yang selanjutnya akan mempengaruhi perubahan iklim. Perbedaan temperatur antara udara diatas daratan dan lautan menimbulkan angin sepanjang garis pantai yang kuat. Sedangkan perbedaan temperatur air laut dan di dasar laut akan menimbulkan arus keatas (upwilling). Bila hal ini terjadi dengan intensitas yang tinggi diduga akan menambah frekuensi peristiwa siklon tropis yang disertai perluasan wilayahnya. Suhu permukaan air laut yang tinggi kemungkinan meningkatkan terjadinya El Nino yang mengakibatkan cuaca buruk dan mengganggu sirkulasi laut.35

Ekosistem pantai sangat tergantung pada laut. Bila permukaan air laut naik akibat prubahan iklim, maka sedimen yang terjebak dalam hutan mangrove akan

       34 

Lorraine Elliott and Mely Caballero-Anthony. 2013. Human Security and Climate Change in Southeast Asia : Managing risk and resilience, New York: Routledge. Hlm.7.

35 Lihat pada situs internet

(24)

terhanyut oleh arus pasang surut. Bila itu terjadi maka berbagai biota laut yang hidup dalam ekosistem pantai tersebut akan terganggu populasinya. Terumbu karang sangat peka terhadap perubahan temperatur dan tingkat sedimentasi. Bila temperatur kurang dari 18 derajat Celcius terumbu karang akan mati sehingga akan berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Juga tingkat sedimentasi y ang tinggi akan memperkeruh air laut sehingga sinar matahari tidak dapat menembus sampai pada dasar laut habitat terumbu karang. Bila itu terjadi maka fotosintesis akan terganggu sehingga pertumbuhan terumbu karang juga akan terganggu.

D.Dasar Hukum Yang Berkaitan dengan Perubahan Iklim 1. Konvensi Perubahan Iklim

Momentum keterlibatan aktif Indonesia di dunia internasional dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework

Convention on Climate Change/UNFCCC) pada Konferensi Tingkat Tinggi

(KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United

Nations Conference on Environment and Development/UNCED) di Rio de

(25)

juga berbagai sektor-sektor swasta dan pelaku bisnis serta seluruh masyarakat luas.36

Adapun tujuan utama dari Konvensi Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, yaitu untuk mestabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Guna mencapai tujuan tersebut disepakatilah prinsip-prinsip dasar Konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan

(equality principle) dan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), seperti

misalnya tercantum dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap Pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities).37

Seluruh ketentuan kewajiban yang terdapat di Pasal 4 dalam Konvensi tersebut berlaku terhadap seluruh pihak, salah satunya yaitu kerjasama untuk saling mengembangkan dan saling berbagi penelitian ilmiah, teknologi, informasi sosio-ekonomi dan hukum yang terkait dengan sistem iklim dan perubahan iklim, termasuk terhadap konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai strategi kebijakan. Namun demikian, terdapat perbedaan kewajiban antara negara-negara industri (Annex I dan Annex II) dengan negara-negara berkembang, dimana negara-negara Annex I secara kolektif berkewajiban untuk menurunkan emisinya

      

36 Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations

Conference on Environment and Development (Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim), Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara 3557. Konvensi Perubahan Iklim ini diratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 November 1994.

37 Lihat Naskah Konvensi Perubahan Iklim yang asli dalam beberapa bahasa resminya,

(26)

sebesar 5% dari tingkat emisi pada tahun 1990 dalam kurun waktu tahun 2008 s.d. 2012.

Dalam perjalanan dan pelaksanaannya ternyata terbentuk dua blok besar yang tergabung dalam blok negara-negara maju (developed countries) dan blok negara-negara berkembang (developing countries). Selanjutnya kedua blok besar tersebut terbagi lagi dalam berbagai kelompok yang lebih kecil guna memperjuangkan kepentingan dan pendapatnya masing-masing.

Untuk negara-negara Annex I, terdiri dari Uni Eropa (15 negara), JUSSCANNZ (7 negara), Kelompok Payung (9 negara), serta Rusia dan CEIT (14 negara). Sedangkan untuk negara-negara Non-Annex I, terdiri dari G77 + Cina (131 negara), OPEC (11 negara), GRULAC (33 negara), Kelompok Afrika (53 negara), AOSIS (42 negara), dan CEIT (11 negara). Posisi Indonesia yang tergabung dalam kelompok G77 + Cina dan OPEC seringkali mengalami kesulitan dan dilema ketika dalam proses pengambilan keputusan pada forum-forum internasional, karena tidak mampu menahan laju kepentingan pragmatis dari sebagian anggota kelompoknya.38

2. Protokol Kyoto, 1997 dan Bali Roadmap, 2007

Protokol Kyoto yang terbentuk pada saat Conference of Parties 3 pada tanggal 12 Desember 1997 merupakan amandemen terhadap UNFCCC. Protokol ini dirancang sebagai penguatan mekanisme pengurangan emisi GRK bagi para peserta penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim, sehingga tidak menggangu sistem iklim bumi.

       38 

(27)

Dalam berbagai laporan dijelaskan, guna mengakomodasi kepentingan antara blok negara-negara maju dan negara-negara berkembang, Protokol Kyoto dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen bersama dalam mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal pengurangannya secara lebih tegas dan terikat hukum.

Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.

Kendati sempat mengalami keraguan efektivitas pemberlakuannya akibat adanya penarikan dukungan dari Amerika Serikat dan Rusia, namun akhirnya Protokol Kyoto tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap setelah terpenuhinya 2 (dua) syarat utama sebagaimana diatur dalam Pasal 25, yaitu: Pertama, berhasil diratifikasi oleh 55 negara pada tanggal 23 Mei 2002; dan Kedua, tercapainya jumlah emisi total dari negara ANNEX I lebih dari 55% pada tanggal 16 Februari 2005. Indonesia sendiri meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004.39

Join Implementation (JI), Emission Trading (ET), dan Clean Development

Mechanism (CDM) merupakan tiga mekanisme yang ditentukan di dalam

Protokol Kyoto guna mengatur masalah pengurangan emisi GRK. JI merupakan mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju membangun proyek

       39 

(28)

bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK. ET adalah mekanisme yang memungkinkan negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya.

Sedangkan CDM yaitu mekanisme yang memungkinkan negara non-ANNEX I untuk berperan aktif dalam membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh negara maju. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka setidaknya negara penandatangan Protokol, khususnya negara-negara berkembang, akan memperoleh keuntungan dari segi bisnis, lingkungan, dan politis.

Dalam perkembangannya yang terakhir, UNFCCC ke-13 yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007 juga menorehkan langkah maju. Setelah menggelar pertemuan selama dua minggu secara berturut-turut, akhirnya seluruh delegasi dari 190 negara menyepakati konsensus untuk menekan laju perubahan iklim. Keputusan tersebut diperoleh secara mengejutkan setelah delegasi Amerika Serikat akhirnya “insyaf” dan bersedia menerima konsensus bersama yang dituangkan pada Peta Jalan Bali (Bali

Roadmap).

(29)

28 hingga 34 cm, serta terjadinya peningkatan gelombang udara panas dan badai tropis.

Secara ringkas, hasil pokok dari Bali Roadmap tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, respons atas temuan IPCC bahwa keterlambatan pengurangan emisi

GRK akan menghambat peluang tercapainya tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan lingkungan;

Kedua, pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global

diharuskan untuk mencapai tujuan utama;

Ketiga, keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh yang

memungkinkan dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan.

Keempat, penegasan kesediaan sukarela negara berkembang untuk

mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan didukung oleh teknologi, dana, dan peningkatan kapasiatas;

Kelima, penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim,

pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi; dan

Keenam, memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung

tindakan mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.

(30)

menjalankan program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi; Ketiga, mengadopsi usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahan deforestasi degradasi hutan di negara berkembang (Reduction Emission from Deforestation

and Degradation/REDD); Keempat, melipatgandakan skala CDM dari sektor

kehutanan; Kelima, memasukan teknologi carbon capture and storage ke CDM;

dan Keenam, menyepakti perluasan kerja kelompok pakar untuk adaptasi di

negara LDC (Least Developed Countries). Walaupun bernilai positif, namun harus ditekankan bahwa kelima komitmen tersebut jangan sampai menjadi instrumen yang justru menjadi legitimasi “penggadaian” sumber daya hutan Indonesia dan negara-negara Selatan yang tidak berimbang dengan skema perdagangan karbon.

3. Konstitusionalisasi Norma Lingkungan

Meskipun sudah lewat tujuh tahun dari proses perubahan terakhir UUD 1945 pada tahun 2002, belum banyak pihak-pihak yang menaruh perhatian atas kajian konstitusi yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup. Padahal ketentuan hasil perubahan membawa makna penting sekaligus secercah harapan bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di dalam konstitusi. Secara berturut-turut kedua Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

(31)

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis)

Pasal 33 ayat (4): “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Berdasarkan kedua Pasal tersebut di atas maka sudah jelas bahwa UUD 1945 juga telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional

protection) baik terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup

yang memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian nasional. Untuk lebih memperjelas penafsiran konstitusi terhadap ketiga frasa di atas, maka akan diuraikan penjelasannya secara satu-persatu.

1) Hak hidup dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guranteee) untuk hidup dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. Ketentuan ini dapat juga disandingkan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyebutkan, “everyone has the right to a standart of living adequate for the health and well-being of himself and

of his family”. Sedangkan di dalam Pasal 12 ayat (1) ICESCR ditegaskan, “The

States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the

(32)

Artinya, kebutuhan hidup warga negara Indonesia juga harus terpenuhi sesuai dengan ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun hal-hal lain yang terkait dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara lebih luas, norma ini diperkuat pemaknaannya dengan termaktubnya salah satu tujuan negara sebagai cita negara (staatsidee) pada Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Sebagai perbandingan interpretasi frasa, Mahkamah Agung India dalam menafsirkan Pasal 21 Konstitusi India mengenai “hak untuk hidup” (right to life)

dan “kemerdekaan pribadi” (personal liberty) menggunakan doktrin Public Trust yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan hidup dan ekologi. Dalam putusannya disebutkan bahwa:

“The major ecological tenet is that world is finite. The earth can support

and bear such quantity of pollution. When the pollutants exceed such quantity, the

earth cannot bear. Hence the industries are not entitled to pollute the enviroment

and cause danger to the people to live in the surroundings of the industries.”

Dengan demikian, hak untuk hidup dan kemerdekaan pribadi dalam Konstitusi India ditafsirkan juga meliputi ‘right to a wholesome environment’.40

Dalam kaitannya dengan perubahan iklim dapatlah ditarik benang merah bahwa oleh karena perubahan iklim membawa efek negatif dan sangat mempengaruhi atas kehidupan setiap orang sehingga dapat menggangu kestabilan dan kedayatahanan hidupnya, maka sudah seharusnya demi konstitusi segala

       40 

(33)

sesuatu yang menimbulkan efek GRK yang berlebihan harus dihapuskan atau setidak-tidaknya dibatasi penggunaannya agar tidak menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan warga negara.

Selanjutnya, walaupun hak untuk hidup dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dapat berdiri sendiri, namun adakalanya hak tersebut sangat berkaitan erat denga norma konstitusi lainnya yang bersinggungan dengan lingkungan, yaitu norma “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”.

2) Pembangunan berkelanjutan

Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and

Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland

Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai

pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Secara sekilas, definisi seperti ini terlihat begitu sederhana, akan tetap issu yang berkembang cepat serta mendalam nyatanya membuat ruang lingkupnya menjadi semakin kompleks.

(34)

namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik.

Lebih lanjut, apabila ditarik melalui persepektif kerangka hukum internasional, Dominic McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tesebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia internasional.

Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma hak asasi manusia di dalam UUD 1945 memiliki substansi dan pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya.

(35)

dalam UNCED tersebut, terdiri dari: (1) keadilan antargenerasi (intergenerational

equity); (2) keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); (3) prinsip

pencegahan dini (precautionary principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological diversity); dan (5) internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive mechanism).

Kemudian, salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21.

3) Berwawasan lingkungan

Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu:

 Kondisi sumber daya alam;

 Kualitas lingkungan, dan

 Faktor kependudukan.

(36)

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (CBESD), maka diperlukanlah pokok-pokok kebijaksanaan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:

 Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung

lingkungannya;

 Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan

dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek;

 Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah;

 Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas

tatanan lingkungan.

 Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai,

rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;

 Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan;

 Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam

pengelolaan lingkungan hidup;

 Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk

menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan;

 Pengembangan kerja sama luar negeri.

(37)

Referensi

Dokumen terkait

Ketika persiapan selesai, enemy akan memasuki state ' Attack ' untuk melakukan gerakan menyerang terhadap player dan kembali kepada state ' Surround ' setelah selesai

Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang terencana, terprogram dan bertujuan

Disamping itu dari data yang saya dapatkan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Rokan Hilir yang mencapai angka 206.752 jiwa pada tahun 2010 dan angka ini

Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang di

Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum PAI yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan

Semua elemen bisnis, entah itu yang besar maupun kecil akan mengalami persaingan dan dapat dinilai keunggulan bersaingnya dari aktivitas perusahaan seperti

Secara simultan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil secara bersama- sama memiliki pengaruh

PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM UNIT LAYANAN PENGADAAN BARANG DAN JASA.