A. Latar Belakang Masalah
Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan yang
beragam dan merupakan salah satu negara termajemuk di dunia, hal ini senada
dengan apa yang disampaikan Panggabean (2014) Indonesia menjadi tanah air
bagi lebih dari 250 kelompok etnik, ada sekitar 300 bahasa daerah dan enam
agama besar dunia. Masyarakat di Indonesia juga terkenal bersifat religius hal ini
terlihat dari banyaknya agama-agama yang ada seperti Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, bahkan Negara Indonesia sendiri memiliki suatu lembaga
Kementrian Agama yang mempunyai tugas pokok mengatur, membina dan
menjaga kerukunan umat beragama dan toleransi antar penganut kepercayaan
yang ada.
Mufid (2012) mengatakan selain agama-agama besar seperti Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha yang sudah diakui pemerintah terdapat juga
berbagai aliran kepercayaan lokal yang ada pada tiap-tiap suku di Indonesia,
disebut dengan kepercayaan lokal karena kepercayaan tersebut hanya dianut oleh
masyarakat yang bersuku tertentu di suatu daerah. Kepercayaan lokal yang ada di
suatu suku memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu kepercayaan
dengan kepercayaan lain, namun tidak menutup kemungkinan adanya kemiripan
pada konsep dan praktek-praktek yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat
suku tertentu dengan kelompok masyarakat lain akan tetapi setiap kepercayaan
Salah satu suku yang ada di Indonesia dan memiliki kepercayaan tersendiri
adalah Suku Karo. Berbicara tentang sejarah asal-usul Suku Karo sampai saat ini
sulit untuk diketahui namun peneliti yakin bahwa Masyarakat Karo terdiri dari
lapisan-lapisan berbagai suku dan bangsa seperti, Gintings (1995) mengatakan
dalam Suku Karo terdapat beberapa lapisan asal usul yaitu: Proto Melayu, disusul
Deutro Melayu, Pedagang Tamil, pedagang-pedangan Gujarat dan juga pengaruh
Bangsa Umang (negrito) yang telah mendiami nusantara sejak Zaman
Megalitihcum sekitar 3000-2000 SM. Dalam pelapisan sejarah ini terjadi perkawinan budaya, dan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, tetapi
yang terjadi adalah keserasian dan melahirkan Suku Karo
Sarjani (2008) mengatakan Karo adalah suku asli yang mendiami dataran
tinggi Karo, sebagian Kabupaten Deli Serdang, sebagian Kabupaten Langkat,
sebagian Kabupaten Dairi, penduduk asli Kota Medan yang menjadi Melayu, dan
Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami yaitu Kabupaten Karo yang ada di Provinsi
Sumatera Utara. Kabupaten Tanah Karo merupakan salah satu daerah dimana
populasi Masyarakat Karo paling banyak di Sumatera Utara dan merupakan
pusatnya orang-Orang Karo. Pada pertengahan tahun 2004 Pemerintah Kabupaten
Karo mencatat sebesar 382.622 jiwa, penduduk yang berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 189.815 jiwa dan perempuan berjumlah 192.807 jiwa (Situs Resmi
Kabupaten Karo, 2015).
Suku Karo sudah memiliki kepercayaan lokal sendiri jauh sebelum
ke daerah Tanah Karo, konsep kepercayaan Suku Karo tersebut adalah pemena.
Sarjani (2011) mengatakan pemena merupakan agama asli Suku Karo yang
dulunya kepercayaan tersebut bernama perbegu namun pada Tahun 1946 diganti
oleh petua-petua adat atau tokoh-tokoh Suku Karo menjadi pemena, latar
belakang pergantian nama tersebut dikarenakan adanya tekanan-tekanan yang
diberikan Pemerintah Belanda bersama Misionaris-misionaris yang berasal dari
Eropa kepada masyarakat Suku Karo dengan menuduh penganut aliran perbegu
sebagai penyembah setan-setan jahat.
Sarjani (2011) menambahkan penganut kepercayaan pemena terus
mendapat tekanan walaupun Negara Indonesia sudah merdeka saat itu, baik
tekanan dari pemerintah, maupun lembaga-lembaga yang terkait dengan urusan
agama. Tekanan yang paling berpengengaruh terhadap perpindahan penganut
kepercayaan pemena ke agama resmi adalah pada Tahun 1965 dimana terjadinya
Gejolak PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu orang-orang yang tidak
menganut agama resmi Indonesia dianggap sebagai PKI oleh negara dan terancam
di penjara. Hal lain yang menyebabkan masyarakat Suku Karo mulai memeluk
agama resmi adalah untuk kemudahan pengurusan dokumen-dokumen resmi
seperti KTP (kartu tanda penduduk) yang didalamnya harus tertera agama. Hal
inilah yang membuat masyarakat Suku Karo mulai memeluk agama resmi
pemerintah.
Penganut kepercayaan pemena juga kesulitan ketika dihadapkan pada
tahun 1965 dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sebuah agama harus
memiliki kriteria-kriteria tertentu.
Petty (2009) menjelaskan agama harus memenuhi kriteria sebagai berikut
yaitu: Harus merupakan jalan hidup yang memuat aturan-aturan tertentu guna
pedoman bagi amal kehidupan penganutnya, agama itu mengajarkan kepercayaan
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan itu mustahil tidak ada dan mustahil
pula jumlahnya berbilangan, agama itu mempunyai kitab suci yang dianggap
sebagai kumpulan wahyu yang diterima oleh nabinya dari Tuhan Yang Maha Esa
dengan melalui bisikan Roh Suci, agama itu dipimpin oleh seorang nabi. Dengan
demikian, di Indonesia hanya kelompok Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu
dan Buddha saja yang dapat disebut agama dan yang terakhir telah ditambah
dengan Kong Hu Tsu. Hal tersebut membuat para pengikut kepercayaan pemena
menjadi kebingungan dalam mendefinisikan pemena sebagai agama atau hanya
sebatas kebudayaan Suku Karo saja.
Tekanan-tekanan yang dialami oleh pengikut pemena ternyata tidak terlalu
berpengaruh terhadapat masyarakat Suku Karo untuk tidak lagi percaya dan
melakukan pratek-praktek yang berasal dari pemena. Hal ini juga diungkapkan
oleh Bangun (1986) yang mengatakan bahwa Orang Karo yang telah menganut
Agama Islam, Kristen, Katolik di dalam perilaku mereka masih ditemui adanya
penyimpangan-penyimpangan dari perintah-perintah agama yang telah dianutnya,
misalnya: usaha perjimatan, pergi ketempat-tempat keramat, menyembah atau
menghormati roh nenek moyang dengan melakukan berbagai upacara adat dan
Wawancara yang dilakukan dengan Sembiring salah satu Masyarakat Karo
yang masih percaya dengan konsep pemena juga mengungkapkan bahwa
walaupun sudah memeluk salah satu agama resmi pemerintah namun tetap
menjalankan beberapa konsep yang berasal dari pemena:
“Macam seperti saya, saya kan Islam saya sholat juga saya tidak lupa ke sananya, tapi tetap juga melakukan doa-doa kepada nenek, kakek saya itu kan tidak salah, itu bukan menduakan Tuhan namanya. Macam sekarang gunung ini meletus kalau zaman dulu itu udah kita buat persembahan, kambing ritual itu biasa di buat di Lau Kawar, kalau sekarang sudah di ejek orang kita itu”.
(Komunikasi Personal 06 April 2015)
Pdt. Kalvinus Jawak seorang pendeta yang pernah meneliti tentang konsep
Tuhan Suku Karo juga mengungkapkan:
“Saat ini masih ada beberapa Orang Karo yang saya tahu terutama jemaat GBKP melakukan praktik ritual tradisinonal Suku Karo, seperti ritual Erpangir ku lau yang jelas-jelas hal itu tidak di anjurkan oleh pihak Gereja karena di dalam ritual itu adanya komunikasi antara roh yang sudah mati dengan orang orang yang masih hidup dan itu sangat di tentang Injil, saya juga melihat semenjak gunung Sinabung meletus makin banyak warga -warga yang ikut melakukan ritual itu”.
(Komunikasi personal, 20 April 2015)
Kutipan wawancara di atas menunjukkan bahwa ajaran dan nilai-nilai yang
berasal dari kepercayaan Suku Karo yaitu pemena masih sangat melekat dengan
Masyarakat Karo sendiri walaupun Masyarakat Karo sudah memeluk agama resmi
pemerintah.
Salah satu daerah di Kabupaten Karo yang masyarakatnya masih
yang terletak di Kecamatan Tigabinanga, seperti yang dikatakan Pdt. Kalvinus
Jawak dalam wawancara di bawah ini:
“Kalau untuk tahu pasti jumlahnya itu sulit, karena tidak ada yang mendata mereka, tapi di salah satu kampung contohnya kayak di daerah gunung itu,bisa kita jumpai tempat-tempat sesajan (persembahan) itulah tempat mereka ritual dan upacara”
(Komunikasi personal, 20 April 2015)
Desa Gunung sendiri terletak di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Tanah
Karo, berdasarkan pengamatan peneliti bahwa masyarakat Suku Karo yang
tinggal di Desa Gunung dalam kehidupan sehari-hari masih dekat dengan
nilai-nilai dan konsep pemena hal ini terlihat dari masih dilakukannya upacara dan
ritual yang berasal dari pemena, masyarakat disana juga masih menyimpan tulang
belulang leluhur yang dianggap sakti, dan masih berperannya Guru Sibaso dalam
kehidupan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat walaupun seluruh Masyarakat
Karo di Desa Gunung sudah memeluk agama-agama resmi pemerintah, hal ini
sejalan dengan pendapat Sarjani (2011) yang mengatakan bahwa kepercayaan
Suku Karo atau pemena masih sering dilaksanakan, sekali pun praktek tersebut
bersifat animisme dan dinamisme.
Ritual dan upacara yang berasal dari pemena masih dilakukan oleh
Masyarakat Desa Gunung karena didalam ritual dan upacara tersebut mengajarkan
bagaimana manusia harus bersahabat dengan alam yang menjadi tempat tinggal
manusia. Masyarakat Suku Karo percaya bahwa alam semesta dikuasasi oleh
roh-roh (Tendi). Sri alem (2005) mengatakan alam semesta dikuasai oleh sekumpulan
roh, setiap titik dalam alam semesta mengandung roh. Jawak (2009) mengatakan
untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai
praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat dan memimpin
upacara atau ritual, berhubungan dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta
penyembuhan kesehatan.
Wawancara dengan Pak Sebayang yang merupakan Guru Sibaso di Desa
Gunung bahwa dari dulu sejak Belanda masuk ke Tanah Karo sampai sekarang
Desa Gunung selalu dilindungi oleh Nini Para tersebut, dan banyak orang yang
sakit datang dan berobat kepada dia. Berikut kutipan wawancaranya :
“Nini Para itu kayak malaikat yang jaga kampung kita ini, pernah tempo hari waktu kampung – kampung di bakar sama Belanda cuma kampung kita ini yang enggak terbakar yang lain habis semua cemana lah itu? Sama kalau ada orang sakit di ganggu begu kalau berdoa ke Tuhan enggak sembuh tapi kalau kita minta obat ke Nini Para bisa sembuh cemana lah itu?”
(Komunikasi Personal 18 Mei 2015)
Fenomena yang ditemui pada Masyarakat Desa Gunung ini adalah
meskipun mereka sudah menganut agama resmi, namun perilaku mereka masih
menyimpang dari ajaran-ajaran agama tersebut. Hal ini karena Masyarakat Desa
Gunung masih menaruh kepercayaan dan menjalankan konsep-konsep
pemena.Masuknya ajaran agama Islam, Kristen dan Katolik menurut Gintings (1997) telah membawa dampak positif terhadap perkembangan pola pikir serta
tingkat keimanan masyarakat. Pada kenyataanya masih banyak Masyarakat Karo
yang melakukan penyimpangan dari ajaran agama karena terkait dengan
kepercayaan lamanya.
Berdasarkan feneomena inilah peneliti tertarik untuk mengetahui
pemena. Teori yang dapat mengungkapkan pemaknaan dan pemahaman yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tanpa adanya bias dari teori maupun sudut
pandang tokoh-tokoh tertentu adalah teori representasi sosial. Moscovici (2001)
menyatakan bahwa representasi sosial merupakan pendekatan psikologi sosial
sosiologis, representasi sosial didefinisikan sebagai sebuah sistem nilai, ide-ide
dan praktek sosial yang secara simultan dapat menetapkan sebuah aturan sehingga
anggota masyarakat dapat mengarahkan diri dalam duia sosial dan material.
Jodelet (2006) juga menambahkan tentang representasi sosial mengacu
pada produk dan proses yang menandai pemikiran praktis dalam masyarakat pada
umumnya yang kemudian dielaborasikan secara sosial dengan gaya dan logika
yang khas lalu dianut oleh para anggota kelompok sosial dan budaya tertentu.
Hasil yang didapat dari teori representasi sosial tentang pemena ini nantinya
diharapkan dapat menjawab mengapa Masyarakat Desa Gunung masih melakukan
hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama resmi yang dipeluk. Seperti yang
diungkapkan oleh Gillespie (1999) representasi sosial dapat memetakan dan
mengambarkan sebuah realitas sosial dari suatu fenomena yang terjadi.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah representasi sosial Masyarakat Desa Gunung tentang Pemena?
2. Perbedaan Pemena dengan agama yang ada saat ini menurut Masyarakat Desa
Gunung?
4. Bagaimanakah pandangan Masyarakat Desa Gunung terhadap peran Guru
Sibaso dan leluhur?
5. Bagaimanakah sikap Masyarakat Desa Gunung terhadap orang Suku Karo
yang tidak percaya dengan pemena?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui representasi sosial Masyarakat Desa Gunung tentang
pemena.
2. Untuk mengetahui pengetahuan Masyarakat Desa Gunung tentang perbedaan
pemena dengan agama yang ada saat ini.
3. Untuk mengetahui pengetahuan Masyarakat Desa Gunung tentang ritual
pemena yang masih dilakukan.
4. Untuk mengetahui pandangan Masyarakat Desa Gunung terhadap Guru Sibaso
dan leluhur.
5. Untuk mengetahui sikapMasyarakat Desa Gunung terhadap orang Suku Karo
yang tidak percaya dengan pemena.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi teori dalam
bidang Psikologi terkait dengan kebudayaan yang ada pada Suku Karo,
ditambah lagi penelitian ini dapat memperbanyak sumber kepustakaan
dan nantinya penelitian ini dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian
berikutya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru
mengenani konsep Tuhan pada Suku Karo kepada peneliti-peneliti yang
ingin meneliti mengenai konsep Tuhan pada Suku Karo.
b. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya
Bagi LSM dan lembaga–lembaga yang bekerja pada bidangan
kebudayaan dan agama diharapkan nantinya informasi dari penelitian ini
dapat digunakan untuk menambah wawasan dan masukan apa yang ada
pada masyarakat sebenarnya berkaitan tentang konsep pemena yang ada
pada Suku Karo.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II LANDASAN TEORITIS
Bab ini berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan teori
teori yang diuraikan adalah mengenai representasi sosial, agama,
ritual, adat, identitas, dan sejarah konsep kepercayaan Suku Karo
dengan pemilihan pasangan.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan mengenai metode-metode dasar dalam
penelitian yaitu subjek penelitian, jenis penelitian, metode dan alat
pengumpulan data, reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan
penelitian, metode analisis data dan hasil uji coba alat ukur.
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas tentang gambaran umum dan karakteristik
dari subjek penelitian, Masyarakat Desa Gunung, serta bagaimana
analisa data dilakukan dengan menggunakan pengkategorian kata.
Kemudian pada bab ini juga akan dibahas mengenai interpretasi
data hasil penelitian beserta pembahasan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun
berdasarkan analisa dan interpretasi data serta dilengkapi dengan
saran-saran bagi masyarakat Suku Karo dan bagi peneliti lain