• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Terhadap Pengutipan Pajak Parkir dalam Hubungannya dengan Peningkatan Pendapatan Daerah di Kota Medan menurut Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Terhadap Pengutipan Pajak Parkir dalam Hubungannya dengan Peningkatan Pendapatan Daerah di Kota Medan menurut Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini meliputi aspek keuangan, seperti yang diungkapkan oleh Krishna yaitu bahwa “pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar”.1

Desentralisasi fiskal merupakan varian dari pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh suatu negara. Desentralisasi fiskal ini dapat didefinisikan sebagai devolusi (penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan

1

(2)

pemerintahan yang ada dibawahnya, sub-national levels of government, seperti negara bagian, daerah, propinsi, distrik, dan kota.

Diimplementasikannya kebijakan daerah dengan peningkatan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah, tentunya harus disusun kerangka hukum (legal

framework) yang jelas. Kerangka hukum ini merupakan seperangkat aturan yang

saling kait mengkait, melibatkan seluruh tingkatan pemerintahan yang ada, dan tentunya tidak boleh saling bertentangan satu dengan lainnya.

Seperangkat peraturan perundang-undangan perlu dibuat untuk mengatur atau memberikan kerangka acuan yang jelas bagi daerah dalam upayanya untuk meningkatan penerimaan dari sumber penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah di tingkat pusat. Operasionalisasi dari aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang lebih tinggi harus dapat dijabarkan dalam peraturan yang lebih rendah, dan tentunya lebih operasional, oleh tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya dengan tetap mengacu pada aturan yang telah ditetapkan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.2

Sumber-sumber keuangan daerah terutama dalam meningkatkan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah harus berusaha mencari sumber-sumber keuangan yang potensial yaitu dari hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Peningkatan pendapatan daerah ini bertujuan untuk pembangunan suatu daerah sebagai suatu kesatuan pembangunan nasional sekaligus merupakan amanat dari

2

(3)

Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya kepada daerah diberi wewenang untuk mengurus daerahnya masing-masing berdasarkan asas desentralisasi.

Penyelenggaraan desentralisasi yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengurus daerahnya terlebih untuk meningkatkan pendapatan daerah khususnya dari sektor pajak daerah. Daerah dapat memungut pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan pasal 23 A UUD 1945, yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

(4)

dicabut dan diyatakan tidak berlaku. Selanjutnya Peraturan pelaksanaan atas Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-undang tersebut diundangkan. Peraturan pelaksanaan yang dimaksud tentang pajak daerah dan retribusi daerah hingga saat ini belum diterbitkan, padahal waktu yang diberikan selama satu tahun telah berlalu. Sementara peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah tidak ditentukan apakah masih tetap berlaku atau tidak sepanjang belum diterbitkannya PP yang baru.

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dimana dalam penyelenggaraan otonomi daerah, daerah dapat mengurus daerahnya sendiri sebagai wujud dari pembangunan daerah dalam kesatuan pembangunan nasional melalui pungutan pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut, dilaksanakan dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

(5)

itu anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka selama satu tahun anggaran”.3

3

Abdul Halim. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP AMP YPKN. Yogyakarta. 2001, hal. 45.

Daerah dalam mempersiapkan kemandiriannya harus melakukan penguatan struktur perekonomiannya sehingga pemerintah daerah harus dapat memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai. Untuk itu pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dan menggali sumber-sumber keuangannya agar dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.

(6)

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber pendapatan asli daerah adalah:4

Sejak pelaksanaan otonomi daerah peningkatan PAD selalu menjadi pembahasan penting termasuk strategi peningkatannya. Hal ini mengingat bahwa kemandirian daerah menjadi tuntutan utama sejak diberlakukannya otonomi daerah. Optimalisasi potensi daerah digalakkan untuk meningkatkan PAD. Dalam era otonomi daerah PAD merupakan pencerminan dari pajak daerah yang seharusnya memiliki peranan yang cukup signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun kenyataannya peran PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota masih relatif kecil. Rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan sebelum era desentralisasi sebesar 0,2 (nol koma dua) persen (1998-2000), sedangkan pada era desentralisasi mengalami penurunan menjadi 8,1 (delapan koma satu) persen (2000-2001).

a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah

5

Implementasi Undang-undang tentang otonomi daerah dan desentralisasi

4

Pasal 157 Undang-undang Nomor 32 Tahu 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5

(7)

fiskal membawa konsekuensi pada kemandirian daerah dalam mengoptimalkan penerimaan daerahnya. Optimalisasi penerimaan daerah ini sangat penting bagi daerah dalam rangka menunjang pembiayaan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan. Sumber penerimaan daerah yang dapat menjamin keberlangsungan pembangunan di daerah dapat diwujudkan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).

PAD memiliki peran penting dalam rangka pembiayaan pembangunan di daerah. Berdasarkan pada potensi yang dimiliki masing-masing daerah, peningkatan dalam penerimaan PAD ini akan dapat meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Seiring dengan perkembangan perekonomian daerah yang semakin terintegrasi dengan perekonomian nasional dan internasional, maka kemampuan daerah dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber penerimaan PAD menjadi sangat penting.6

Sumber-sumber penerimaan PAD tersebut dapat diuraikan lagi dalam bentuk penerimaan dari pajak daerah dan restribusi daerah. Pajak daerah tersebut seperti pajak hotel, restoran, hiburan, kendaran bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, bahan bakar kendaraan bermotor, air, rokok, penerangan jalan, mineral bukan logam dan batuan, bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah dan bangunan, air tanah, parkir, sarang burung wallet, dan pajak reklame. Berdasarkan pada Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah dapat diklasifikasikan mana yang merupakan pajak provinsi dan pajak

6

(8)

kabupaten kota. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah menyebutkan pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota, terdiri dari:

(1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan

e. Pajak Rokok.

(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Salah satu sumber pajak daerah yang cukup berkembang adalah pajak parkir. Objek Pajak parkir adalah setiap penyelengaraan tempat parkir diluar badan jalan dan tempat khusus parkir oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran.7

Jika melihat dari segi hukum, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

7

(9)

menetapkan Pajak Parkir merupakan jenis pajak daerah kabupaten/kota yang kemudian diatur secara khusus dalam Peraturan Daerah oleh Pemerintah Daerah masing-masing sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Jika mengacu pada Daerah Medan, maka Peraturan yang mengatur tentang pajak Parkir diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir dan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pajak Daerah Kota Medan.

Pajak parkir diharapkan dapat memiliki peranan yang berarti dalam pembiayaan pembangunan daerah. Sebagaimana diketahui bahwa parkir adalah jenis usaha penjualan jasa pelayanan yang mempunyai keterkaitan sangat erat dan saling menunjang dengan dunia perdagangan yang menghasilkan penerimaan daerah. Parkir pada saat ini sangatlah diperlukan kerena untuk menjaga keamanan kendaraan.Bukan hanya untuk menjaga keamanan saja tetapi juga untuk keteraturan dan kenyamanan suatu tempat.

Berdasarkan kondisi di atas, maka pendapatan daerah tergantung kepada pajak yang dipungutnya, termasuk pajak parkir. Untuk itu dilakukan penelitian dengan judul: “Efektivitas Terhadap Pengutipan Pajak Parkir Dalam Hubungannya Dengan Peningkatan Pendapatan Daerah Di Kota Medan Menurut Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011” .

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah yang akan diajukan adalah:

(10)

peningkatan pendapatan daerah di Kota Medan ?

2. Bagaimanakah efektivitas pemungutan pajak parkir terhadap peningkatan pendapatan daerah di Kota Medan ?

3. Bagaimana hambatan-hambatan yang ditemui dalam upaya pemungutan pajak parkir di Kota Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji metode pemungutan pajak parkir dan implikasinya bagi peningkatan pendapatan daerah di Kota Medan.

2. Untuk mengkaji efektivitas pemungutan pajak parkir terhadap peningkatan pendapatan daerah di Kota Medan

3. Untuk mengkaji dan meneliti hambatan-hambatan yang ditemui dalam upaya pemungutan pajak parkir di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain: 1. Secara Teoritis

(11)

b. Sebagai bahan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam penyempurnaan peraturan Perundangan-undangan tentang pengaturan pemungutan pajak parkir terhadap peningkatan pendapatan daerah.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berhubungan langsung terutama pemungutan pajak parkir terhadap peningkatan pendapatan daerah khususnya di Kota Medan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dari hasil-hasil penelitan yang pernah dilakukannya, khususnya di Universitas Sumatera Utara, penelitian yang dilakukan lebih memfokuskan pada Efektivitas Hukum Pajak Parkir Dalam Hubungannya Dengan Peningkatan Pendapatan Daerah Di Kota Medan Menurut Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul, permasalahan dan lokasi serta daerah penelitian yang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, maka berdasarkan hal tersebut dengan demikian hasil penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

(12)

Soerjono Soekanto suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif apabila sikap tindak atau perilaku pihak lain menuju pada tujuan yang dikehendaki atau apabila pihak lain itu mematuhi hukum. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.8

Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum adalah sebagai berikut:

9

8

Soerjono Soekanto. Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi. (Jakarta: Remadja Karya CV.1985), hal. 1.

9

Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence). (Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2012), hal. 376.

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.

b. Kejelasan rumusan dari subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami

oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi perumusan substansi aturan hukum itu, harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya.

c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.

d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogianya

aturannya bersifat melarang dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan (mandatur).

e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat

aturan hukum yang dilanggar.

f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus

(13)

g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran

terhadap aturan hukum tersebut adalah memang memungkinkan karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman). Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan saknsi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik adalah mustahil untuk efektif karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi bagi perbuatan yang sering dikenal sebagai ‘sihir’ atau ‘tenung’ adalah mustahil untuk efektif dan dibuktikan.

h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif

akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif adalah aturan hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma agama, norma adat-istiadat atau kebiasaan dan lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain akan lebih tidak efektif.

i. Efektif atau tidak efekttifnya suatu aturan hukum secara umum, juga

tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret.

j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di masyarakat. Dan sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak, harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektivitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam keadaan kaos atau situasi perang dasyat.

Efektivitas penegakan hukum membutuhkan kekuatan fisik untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan wewenang yang sah. Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum dan promises, yaitu suatu ancaman tidak akan mendapatkan legitimasi bila tidak ada faedahnya untuk dipatuhi atau ditaati. Internal values merupakan penilaian pribadi menurut hati nurani dan ada hubungan dengan yang diartikan sebagai suatu sikap tingkah laku.

(14)

Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk

ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif.

Menurut Syamsuddin Pasamai, persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.10

Terkait dengan penegakan hukum dalam kaitannya dengan efektivitas hukum, Friedman mengemukakan sebuah sistem hukum agar penegakan hukum dapat

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.

10

(15)

berjalan dengan baik, dimana sistem yang dimaksud adalah pertama mempunyai struktur. Kedua memiliki substansi, meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada didalam sistem itu. Termasuk pula dalam pengertian substansi ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang disusun dan dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem itu pula. Aspek ketiga, budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Struktur dapat diibaratkan sebagai mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum (legal culture) adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta bagaimana mesin itu harus digunakan. Masalah penegakan hukum tampaknya sangat sederhana, tetapi dalam kenyataankeadaan adalah tidak seperti itu, melainkan yang terjadi adalah bahwa penegakan hukum itumengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan yang kompleks.11

Efektifitas hukum diperlukan dalam pengutipan pajak parkir dalam rangka Masyarakat memerlukan sebuah aturan untuk menciptakan suatu suasana yang harmonis didalam kehidupannya. Aturan tersebut berupa hukum, hukum yang ada dapat merupakan hukum tertulis atau tak tertulis. Hukum yang ada dalam masyarakat ini hendaknya memiliki sebuah dasar hukum yang menjiwai dari keadaan seluruh masyarakaat, memiliki fungsi yang ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.

11

(16)

meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai wujud pembangunan daerah, dimana daerah diberikan kewenangan dalam mengurus daerahnya sendiri (desentralisasi) sebagai daerah otonom. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:12

Ditinjau dari aspek administrasi atau manajemen yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan adalah proses pengurusan, penyelenggaraan, penyediaan dan 1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah

2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat

3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.

12

(17)

penggunaan uang dalam setiap usaha kerjasama sekelompok orang untuk tercapainya suatu tujuan. Proses ini tersusun dari pelaksanaan fungsi-fungsi penganggaran pembukuan dan pemeriksaan atau secara operasional apabila dirangkaikan dengan daerah maka pengelolaan keuangan daerah adalah yang pelaksanaannya meliputi penyusunan, penetapan, pelaksanaan pengawasan dan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah.13

Sejalan dengan pengertian tersebut di atas Abdul Halim

14

Devas yang dikutip Tjahjanulin Domai mengemukakan bahwa tujuan utama dari pengelolaan keuangan daerah adalah:

mengatakan, membicarakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari pembahasan anggaran pendapatan dan belanja daerah : oleh karena itu anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka selama satu tahun anggaran.

15

5. Pengendalian petugas keuangan pemerintahan daerah, dewan perwakilan rakyat 1. Pertanggungjawaban. Pemerintah daerah harus mempertanggung-jawabkan tugas

keuangannya pada lembaga yang sah.

2. Mampu memenuhi kewajiban. Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang.

3. Kejujuran. Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur.

4. Hasil guna dan daya guna kegiatan daerah. Tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya.

13

Tjahjanulin Domai, Reinventing Keuangan Daerah (Studi tentang Pengelolaan Keuangan Daerah), Bahan Ajar, Fakultas Ilmu Administrasi dan Program S2 Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Unibraw Malang. 2002, hal. 1

14

Abdul Halim, Loc.Cit.

15

(18)

daerah dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut di atas tercapai mereka harus mengusahakan agar selalu mendapat informasi yang diperlukan untuk memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran, dan untuk membandingkan penerimaan dan pengeluaran dengan rencana dan sasaran.

Secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: “Manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah.”16

Secara garis besar kebijaksanaan mencakup beberapa komponen utama yaitu:

Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.

Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab, penyelenggaraan pemerataan dan pembangunan daerah secara bertahap akan semakin banyak diserahkan kepada daerah. Berbagai kebijaksanaan keuangan daerah yang diambil diarahkan untuk semakin meningkatkan kemampuan dalam membiayai urusan penyelenggaraan pemerataan dan pembangunan daerahnya.

17

16

Mardiasmo, “Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, ” Makalah Disampaikan Dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia, Jakarta, 7 Mei 2002.

17

(19)

b. Kebijaksanaan di bidang penerimaan, yaitu untuk mendorong kemampuan daerah

yang semaksimal mungkin dalam membiayai urusan rumah tangganya sendiri

c. Kebijaksanaan di bidang pengeluaran, berorientasi pada prinsip desentralisasi

dalam perencanaan, penyusunan program, serta pengambilan keputusan dalam memilih Negara dan proyek daerah serta pelaksanaannya.

d. Peningkatan kemampuan organisasi pemerintah daerah termasuk kemampuan personil dan struktur organisasinya.

Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).

Melalui peraturan daerah, kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Sementara di Pihak lain, dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis pajak akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

2. Konsepsi

(20)

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.18 Pentingnya definisi profesional adalah untuk menghindari perbedaaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai”.19

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam suatu penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah “suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori”.20

3. Pajak adalah: ”Pajak adalah iuran negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

Konsepsi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Efektivitas hukum adalah proses yang bertujuan agar hukum dapat berlaku efektif.

2. Pemungutan adalah suatu rangkaian mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang tertuang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib Retribusi serta pengawasan penyetoran.

18

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 10.

19

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara (Medan: PPs-USU, 2002), hal. 35.

20

(21)

mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.21

4. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.22

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ialah pendekatan yuridis empiris, 5. Pendapatan Asli Daerah adalah dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian ini akan dipaparkan tentang efektivitas pajak parkir dihubungkan dengan peningkatan pendapatan asli daerah. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu dilakukan analisis data secara kualitatif.

21

Hamdan Aini, Perpajakan,(Jakarta: Bumi Aksara, 1985), hal. 1.

22

(22)

yaitu melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan efektivitas pajak parkir dihubungkan dengan peningkatan pendapatan asli daerah.

2. Sumber Data

Sumber data diperoleh dari data primer, yang dilakukan melalui metode wawancara. Selain itu sumber data penelitian juga berasal dari data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa:

a. Bahan hukum primer, berupa bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan yang mendukung yaitu Undang-Undang UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda Kota Medan No. 12 Tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan, Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir.

b. Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan berupa buku-buku yang berhubungan dengan bahan penelitian.

c. Bahan hukum tertier, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa Inggris, Indonesia, Belanda, dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law

maupun common law.

3. Alat Pengumpulan Data

(23)

terdiri dari wawancara langsung dan mendalam, penggunaan kuisioner dan observasi atau survey lapangan.23

23

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 166.

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah melalui:

1) Pedoman wawancara (interview guide) dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait didalamnya, yakni staf yang ada di wilayah Dinas Pendapatan Kota Medan, sebagai responden.

2) Studi dokumen yaitu pengumpulan data, dengan jalan mengadakan pencatatan langsung mengenai data yang berupa dokumen ataupun mengutip keterangan-keterangan yang dibutuhkan.

4. Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :”(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan

Permukaan tanah yang rendah dan pengaruh pasang surut air laut dipertengahan anak sungai nipah kuning dalam, kerap menjadi titik rawan genangan air ketika hujan.. Untuk

Hasil ini lebih kecil dibanding udang merah (Parapenaopsis sculptilis) di perairan bagan Siapi-api yang pertama kali matang gonad pada ukuran panjang karapas 34,1 mm

Mengingat masalah-masalah matematika yang disajikan dalam perangkat pembelajaran matematika selama ini tidak realistik, maka perangkat pembelajaran yang perlu dikembangkan

Implementasi merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, karena tanpa adanya implementasi maka perencanaan dari suatu kebijakan yang dibuat akan sia-sia karena

Forms of community participation in waste handling or disposal include: knowledge of waste / sanitation, routine retribution fee payments, RT / RW / village

Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penataan ruang nasional pada tahun 2014 telah dilakukan melalui berbagai kegiatan rapat koordinasi di tingkat Eselon III, II, dan I dalam

Teknologi yang berkembang pada saat ini menuntut perusahaan untuk mengembangkan Sistem informasi berbasis komputer, sistem informasi ini membuat sistem agar lebih