• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. Miller (1983) berpendapat bahwa perusahaan yang memiliki entrepreneurship membutuhkan tiga karateristik yaitu innovativeness yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. Miller (1983) berpendapat bahwa perusahaan yang memiliki entrepreneurship membutuhkan tiga karateristik yaitu innovativeness yang"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

7

2. LANDASAN TEORI

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Entrepreneurship

Entrepreneurs adalah orang yang pandai dan kreatif dalam menemukan cara untuk menambah kekayaan, kekuasaan, dan nama baik mereka (Baumol, 1990). Menurut Lee dan Hsieh (2010) entrepreneurs dapat membawa perubahan dalam lingkungan dengan situasi normal dan mencoba untuk menggunakan kesempatan dalam lingkungan tersebut. Selain itu, entrepreneurs juga dapat menemukan sumber inovasi, perubahan lingkungan, dan petunjuk akan kesempatan di pasar, serta dapat memahami prinsip inovasi yang berhasil dan menggunakannya. Entrepreneurs diperlengkapi dengan inspirasi, motivasi dan takdir yang dimiliki serta mengaplikasikan inovasi sebagai mekanisme dalam menuntun bisnis mereka (Wingwon, 2012).

Entrepreneurship adalah proses peningkatan kekayaaan melalui inovasi dan pemanfaatan kesempatan dimana dibutuhkan karakteristik-karakteristik entrepreneurship (Nasution, Mavondo, Matanda, dan Ndubisi, 2011). Scott dan Venkataraman (2001) menambahkan entrepreneurship adalah tentang mencari kesempatan dan proses yang dapat membuka dan mengembangkan kesempatan tersebut. Dengan menerapkan entrepreneurship dalam perusahaan akan memampukan perusahaan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan yang belum terlihat dan cara inovatif untuk menyampaikan kebutuhan tersebut (Nasution, Mavondo, Matanda, dan Ndubisi, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Zahra dan Covin (1995) menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan orientasi strategi entrepreneurship menunjukkan kinerja yang lebih baik. Namun Hart (1992) mengatakan bahwa strategi perusahaan yang menerapkan entrepreneurship dapat menuntun pada kinerja yang buruk dibawah situasi tertentu.

Miller (1983) berpendapat bahwa perusahaan yang memiliki entrepreneurship membutuhkan tiga karateristik yaitu innovativeness yang

(2)

termasuk inovasi proses dan produk, risk-taking yang berarti pengambil keputusan dalam perusahaan harus memiliki kemampuan untuk mengambil resiko, dan proactiveness yang berarti perusahaan mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan akurat perubahan lingkungan dan mengadopsi strategi untuk merespon perubahan tersebut. Covin dan Slevin (1989) juga berpendapat bahwa nilai dan perilaku dari entrepreneurship meliputi tiga aspek yaitu innovativeness, risk- taking, dan proactiveness. Penelitian tersebut menggunakan ketiga dimensi diatas sebagai pengukuran atas entrepreneurship.

2.1.1.1. Innovativeness

Innovativeness didefinisikan sebagai tingkat dimana individu atau unit lain lebih awal dalam mengadopsi ide baru daripada anggota lain dalam suatu sistem (Avlonitis, Kouremenos, dan Tzokas, 1994). Menurut Miller (1983) perusahaan yang beroperasi dalam lingkungan yang dinamis lebih mungkin mendapatkan keuntungan dari inovasi produk baru daripada perusahaan yang beroperasi dalam lingkungan yang stabil. Miller (1983) juga menggambarkan innovativeness sebagai pengembangan produk, jasa atau proses yang baru dan unik. Kemampuan berinovasi adalah refleksi dari kecenderungan perusahaan terhadap ide-ide baru dan proses kreatifitas, yang memungkinkan menghasilkan produk baru, jasa dan proses teknologi (Farzi, Rezazadeh, dan Najmabadi, 2013). Zahra (1996) menemukan bahwa menjadi pelopor dalam industri lebih tepat dalam lingkungan yang dinamis.

2.1.1.2. Proactiveness

Lumpkin dan Dess (1996) menjelaskan bahwa proactiveness berhubungan dengan sikap mengantisipasi dan bertindak pada kebutuhan dan keinginan masa depan dalam pasar dan dengan demikian menciptakan keuntungan sebagai first- mover. Yeoh dan Jeong (1995) mengatakan bahwa proactiveness didefinisikan sebagai kecenderungan perusahaan untuk secara agresif dan proaktif berkompetisi dengan pesaingnya. Miller (1983) menggambarkan proactiveness sebagai penekanan dalam keteguhan dan kreatifitas untuk mengatasi rintangan hingga konsep inovator diimplementasikan. Dikarenakan kondisi industri dalam

(3)

9

lingkungan yang dinamis tertuju pada perubahan yang cepat, perusahaan yang proaktif dan secara aktif mencari kesempatan akan mengungguli perusahaan lain yang tidak mempunyai kemauan untuk memanfaatkan kesempatan pasar (Kreiser dan Davis, 2010).

2.1.1.3. Risk-taking

Risk-taking mengindikasikan kecenderungan perusahaan terhadap alokasi sumber daya dasar atas suatu proyek dimana terdapat kemungkinan kesuksesan atau kegagalan di dalamnya (Farzi, Rezazadeh, dan Najmabadi, 2013).

Cunningham dan Lischeron (1991) mendefinisikan risk-takers sebagai entrepreneurs yang lebih memilih untuk mengambil resiko dalam situasi dimana mereka mempunyai tingkat pengendalian atau kemampuan dalam mewujudkan profit. Miller (1983) mengemukakan bahwa risk-taking adalah keinginan untuk mengejar kesempatan yang beresiko dan mengambil kemungkinan terjadinya kegagalan. Risk-taking merupakan dimensi yang penting dalam entrepreneurship karena perusahaan yang menerapkan entrepreneurship cenderung mengalami tingkat ketidakpastian internal dan eksternal yang lebih tinggi (Wang, 2008).

2.1.2. Supply Chain

Mentzer, et al., (2001) mengartikan supply chain sebagai kumpulan entitas baik organisasi maupun individu yang terlibat secara langsung dalam arus pasokan dan distribusi barang, jasa, keuangan, dan informasi dari sumber kepada pelanggan. Pujawan (2005) mengatakan supply chain adalah jaringan perusahaan- perusahaan yang secara bersama-sama berkerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk pemasok, pabrik, distributor, ritel, serta perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistic. Di sisi lain, Trkman, Mojca, Jaklic, dan Groznik (2007) menyatakan supply chain adalah kumpulan sumber daya dan proses yang saling berhubungan yang dimulai dengan pembelian bahan baku dan lebih luas lagi hingga pengiriman barang jadi ke pelanggan akhir. Supply chain adalah semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi permintaan pelanggan (Chopra dan Meindl, 2004). Christopher (2005)

(4)

memberikan contoh Dell Corporation yang merancang supply chain nya mulai dari make-to-order, yang mengijinkan konsumen membeli produk dengan spesifikasi tertentu kemudian melakukan outsourced logistics, yaitu mentransfer fungsi bisnis tertentu kepada pihak ketiga sehingga perusahaan dapat lebih fokus pada proses bisnis utamanya, kemudian meminimalkan persediaan serta pendistribusian secara langsung untuk mencapai keunggulan bersaing atas pesaing.

2.1.2.1. Supply Chain Management

Ballou, Gilbert, dan Mukherjee (2000) mengatakan bahwa supply chain management merupakan istilah bisnis yang telah berkembang selama beberapa tahun terakhir dan memperoleh popularitas. Supply chain management bertujuan untuk menguji dan mengatur jaringan supply chain (Janvier-James, 2012).

Mentzer, et al., (2001) mendefinisikan supply chain management sebagai manajemen dari arus persediaan, informasi, dan uang diantara anggota supply chain yang berbeda. Anggota supply chain tersebut saling bergantung satu dengan yang lainnya untuk mentransfer secara efektif barang dan informasi satu sama lain (Arshinder, Kanda, dan Deshmukh, 2007). Janvier-James (2012) mengatakan supply chain management adalah koordinasi strategis dan efisien dari fungsi bisnis yang konvensional, strategi antara fungsi bisnis tersebut dalam perusahaan tertentu, serta bisnis dalam supply chain, dengan tujuan untuk mengembangkan kinerja jangka panjang dari perusahaan dan supply chain secara keseluruhan. Di sisi lain, Lee, Kwon, dan Severance (2007) mengatakan supply chain management adalah alat manajemen yang terintegrasi untuk arus informasi dan material atau jasa diantara fasilitas yang berbeda dan stakeholder. Selain itu, New dan Payne (1995) mendeskripsikan supply chain management sebagai rantai yang menghubungkan setiap elemen dari pabrik dan proses pasokan mulai dari bahan baku sampai pemakai akhir serta meliputi beberapa batasan organisasi. Ozdemir dan Aslan (2011) mengatakan bahwa supply chain management mencoba untuk memperkuat keunggulan bersaing dan kinerja perusahaan dengan mengintegrasikan fungsi dalam perusahaan dan menghubungkannya dengan supplier, customer, dan operasi anggota supply chain lainnya secara efektif. Kim

(5)

11

(2006) berpendapat bahwa untuk dapat sukses dalam pengaplikasian supply chain management dimana tujuannya adalah untuk mencapai kinerja supply chain yang tinggi, integrasi eksternal dengan supplier dan customer dibutuhkan sebagai tambahan untuk integrasi antara fungsi dalam perusahaan. Otchere, Annan, dan Quansah (2013) mengatakan bahwa tujuan dari supply chain management adalah memaksimalkan keseluruhan nilai yang terbentuk daripada pembentukan laba.

Pengimplementasian supply chain management membutuhkan integrasi proses dari pembelian barang, proses manufaktur, dan pendistribusian melintasi supply chain (Cooper, Lambert dan Pagh, 1997). Kim (2006) juga mengatakan bahwa supply chain management berusaha mengembangkan kinerja kompetitif dengan cara mengintegrasikan dengan erat lintas fungsi internal dalam perusahaan dan secara efektif menghubungkannya dengan operasi eksternal dari supplier, customer, dan jaringan anggota supply chain lainnya untuk mencapai kesuksesan.

Dengan demikian perusahaan yang mengikuti praktek supply chain management harus lebih memperhatikan supply chain integration dan implementasinya (Lambert dan Pohlen, 2001). Tan, Lyman, dan Wisner (2002) mengidentifikasikan praktek supply chain management dari penelitian-penelitian terdahulu dan mengemukakan suatu bentuk yang salah satunya adalah supply chain integration.

Dalam mendeskripsikan supply chain management, sangat umum untuk melibatkan istilah integration dalam membahas bagaimana seharusnya hubungan di seluruh perusahaan dibangun (Lummus, Vokurka, dan Krumwiede, 2008).

Dengan diterapkannya supply chain integration tersebut, perusahaan dapat memperoleh peningkatan kinerja yang sangat tinggi (Frohlich dan Westbrook, 2001).

2.1.2.2. Supply Chain Integration

Supply chain integration merupakan salah satu aspek yang paling penting dari supply chain management dan hasilnya telah dipelajari secara mendalam (Frohlich dan Westbrook, 2001). Integrasi dari supply chain dipandang sebagai bagian inti dari bisnis logistik, operasi dan supply chain management (Cousins dan Menguc, 2006). Danese dan Romano (2011) mengatakan supply chain integration bertujuan untuk berkoordinasi dengan supply chain secara mulus yang

(6)

saat ini dipertimbangkan sebagai faktor penentu yang penting untuk memelihara keunggulan bersaing dibandingkan pesaing. Narasimhan dan Jayaram (1998) mendefinisikan supply chain integration sebagai tingkat dimana semua aktivitas dalam perusahaan dan aktivitas dari supplier, customer, dan anggota supply chain lainnya diintegrasikan bersama. Supply chain integration merupakan salah satu strategi perusahaan untuk membantu meningkatkan proses produksi, meminimalkan biaya, dan dengan sukses bersaing dalam lingkungan bisnis yang beragam. Flynn, et al., (2010) juga mendefinisikan supply chain integration sebagai limit dimana perusahaan manufaktur bekerja dengan partner nya secara strategis, dan mengatur proses internal dan eksternal dengan perilaku yang paritisipatif. Nurmilaakso (2008) mendefinisikan supply chain integration sebagai dimensi kunci, mencakup berbagi informasi antar anggota supply chain. Datta, Granger, Barari dan Gibbs (2007) mendefinisikannya sebagai pengintegrasian proses bisnis kunci intra-organisasi dan inter-organisasi untuk meningkatkan keseluruhan performa operasional supply chain, disaat yang sama mengurangi biaya supply chain, dan meningkatkan daya saing supply chain. Berbagi informasi yang dimaksudkan disini adalah dimana kita sebagai perusahaan tidak lagi perlu memiliki semua bagian-bagian dari supply chain dan dapat memperolehnya dari supplier kita. Sistem supply chain integration adalah sarana untuk mengintegrasikan proses bisnis dalam dua atau lebih perusahaan. Davenport (1998) juga berpendapat bahwa supply chain integration bertujuan mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas terutama melalui keakuratan dan kecepatan pembagian informasi ke dalam dua atau lebih bisnis. Ozdemir dan Aslan (2011) mengatakan supply chain integration merefleksikan integrasi eksternal yang berarti hubungan perusahaan dengan upstream supplier dan downstream customer dan juga integrasi internal yang strategis. Rosenzweig, Roth, dan Dean (2003) mengatakan bahwa integrasi internal merupakan langkah awal untuk mencapai integrasi supply chain dan dapat mendapatkan peluang baru dengan berintegrasi dengan supplier, distributor, dan customer untuk meningkatkan operasi internal.

Menurut O’Learry-Kelly dan Flores (2002) tingkat integrasi mengacu pada jangkauan dimana pihak yang terpisah bekerja bersama dalam sikap yang kooperatif untuk mendatangkan hasil yang dapat diterima bersama.

(7)

13

Dalam studi yang dilakukan berbagai peneliti, terdapat beberapa dimensi dari supply chain integration. van Donk dan van der Vaart (2005) juga mengusulkan dimensi yang hampir sama meskipun membagi koordinasi dan pembagian informasi kedalam arus barang serta perencanaan dan kontrol.

Dimensi lainnya dikemukakan oleh Kim, Cavusgil, dan Calantone (2006) menggunakan dua dimensi dari supply chain integration yaitu integrasi internal dan integrasi dengan jaringan partner. Sementara beberapa penelitian mengemukakan supply chain integration sebagai konsep yang uni-dimensional (Armistead dan Mapes, 1993; Rosenzweig, Roth dan Dean, 2003). Flynn, et al., (2010); Morash dan Clinton (1998); Zhao, Huo, Selen, dan Yeung (2011) membagi supply chain integration menjadi integrasi internal dan integrasi eksternal. Integrasi eksternal merupakan perpanjangan dari perusahaan manufaktur untuk mencakup keseluruhan supply chain, bukan hanya perusahaan individu, tetapi sebagai unit kompetitif (Greis dan Kasarda, 1997). Ellram dan Siferd (1998) berpendapat bahwa visibilitas memungkinkan perusahaan menurunkan biaya. Williams dan Waller (2010) berpendapat visibilitas dapat mengurangi kesalahan dalam memprediksi. Acharya, Kagan dan Manfredo (2009) juga berpendapat bahwa visibilitas dapat mengurangi biaya pembelian.

Sedangkan, Chen dan Paulraj (2004); Kahn dan Mentzer (1996) mengatakan integrasi internal mengacu pada tingkat dimana perusahaan dapat menstukturisasi strategi organisasinya, praktek, prosedur, dan perilaku kedalam proses kolaborasi, penyamaan, dan terkontrol untuk memenuhi kebutuhan customer nya. Daugherty, Chen, Mattioda, dan Grawe (2009) juga berpendapat bahwa tingginya tingkat integrasi internal meningkatkan koneksi di dalam perusahaan dan membuat proses value-added lebih sederhana. Di samping tiu, Sahin dan Robinson (2005) membatasi penelitian mereka hanya pada integrasi dengan customers. Handfield, Petersen, Cousins, dan Lawson (2009); Lawson, Cousins, Handfield, dan Petersen (2009); Vachon, Halley, dan Beaulieu (2009) membatasi penelitian mereka hanya pada integrasi dengan suppliers. Swink dan Song (2007) memusatkan penelitian mereka pada pentingnya integrasi internal. Dimensi yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan dimensi-dimensi yang popular digunakan dibandingkan dimensi-dimensi diatas. Dimensi tersebut mencakup

(8)

integrasi dengan supplier, integrasi dengan customer, dan integrasi internal (Kim, 2006, Kim, 2009; Flynn, et al., 2010; Zailani dan Rajagopal, 2005). Stank, Keller, dan Daugherty (2001) juga mengatakan bahwa supply chain integration terdiri dari integrasi internal, integrasi dengan supplier, dan integrasi dengan customer.

a. Integrasi Internal

Chen dan Paulraj (2004) mengatakan integrasi internal merupakan tingkat dimana perusahaan dapat menyusun praktek organisasinya, perilaku dan prosedur kedalam tindakan kolaboratif, tersinkronisasi dan dapat diatur dalam memenuhi kebutuhan pelanggannya. Hosseini, Azizi, dan Sheikhi (2012) mengatakan bahwa integrasi internal mengkoordinasikan operasi dan proses internal dengan tepat serta membawanya sebagai satu kesatuan. Integrasi internal merupakan bagian yang penting dalam penerapan supply chain integration. Integrasi internal dapat membantu perusahaan memahami kebutuhan pelanggan, bekerjasama dengan pelanggan dalam perancangan produk, pertukaran informasi, dan strategi aliansi.

Koufteros, Vonderembse, dan Jayaram (2005) mengatakan integrasi internal mencakup tim lintas fungsi yang dapat membawa bersama susunan ahli yang memberikan informasi dan membuat produk, proses, dan keputusan manufaktur bersama-sama. Integrasi internal sangat membantu dalam penjadwalan pembuatan produk. Integrasi internal dideskripsikan sebagai distribusi dan penjualan, serta membutuhkan integrasi dari semua fungsi yang dikontrol oleh perusahaan untuk mencapai kepuasan pelanggan (Moshkdanian dan Molahosseini, 2013).

Rosenzweig, Roth dan Dean (2003) berpendapat melalui koordinasi lintas fungsi dan bekerja bersama, perusahaan dapat menfasilitasi perencanaan produksi dan penjadwalan, manajemen customer order, dan perencanaan permintaan untuk memenuhi kebutuhan penjadwalan. Mereka juga menambahkan dengan adanya integrasi internal, informasi-informasi seperti pesanan pelanggan, tingkat persediaan, dan informasi penjadwalan pembelian dan produksi dapat dikomunikasikan secara efektif antar departemen. Flynn, Huo, dan Zhao (2010) mendefinisikan integrasi internal sebagai proses interaksi antar organisasi, kolaborasi, koordinasi, komunikasi, dan kooperasi yang membawa area fungsional bersama kedalam perusahaan yang terpadu. Lee, Padmanabhan, dan Whang

(9)

15

(1997) mengatakan, komunikasi yang baik antar fungsi dapat dengan cepat menyajikan informasi permintaan yang dengan demikian mengurangi bullwhip effect.

b. Integrasi Eksternal

Integrasi eksternal merupakan integrasi aktivitas logistik yang melintasi batasan organisasi (Chen dan Paulraj, 2004). Integrasi eksternal merupakan perpanjangan dari perusahaan manufaktur untuk mencakup keseluruhan supply chain, bukan hanya perusahaan individu, tetapi sebagai unit kompetitif (Greis dan Kasarda, 1997). Ballou, Gilbert, dan Mukherjee (2000) mengatakan bahwa manajer berkoordinasi dengan perusahaan lainnya, mencari cara untuk mengurangi biaya atau meningkatkan jasa melalui mekanisme seperti just-in-time schedulling. Hosseini, Azizi, dan Sheikhi (2012) mengatakan bahwa integrasi eksternal penting untuk menciptakan kesempatan berdasarkan kerjasama dengan supplier dan customer. Moshkdanian dan Molahosseini (2013) mengatakan integrasi eksternal memperluas wilayah integrasi keluar perusahaan yang mencakup supplier dan customer. Otchere, Annan, dan Quansah (2013) mengungkapkan bahwa integrasi eksternal ditekankan pada dua dimensi yaitu integrasi dengan customer dan integrasi dengan supplier.

Integrasi dengan customer adalah tingkat dimana perusahaan dapat bekerjasama dengan customer kunci untuk menyusun strategi inter-organisasi, praktek, prosedur dan perilaku kedalam kolaboratif, proses yang tersinkronisasi dan dapat diatur dalam rangka memenuhi kebutuhan customer (Chen dan Paulraj, 2004). Zhao, Xie, dan Zhang (2002) mengatakan bahwa integrasi dengan customer mengacu pada proses interaksi dan kolaborasi antara perusahaan dengan customer nya untuk menjamin arus produk dan jasa yang efektif kepada customer.

Flynn, Huo, dan Zhao (2010) mengemukakan bahwa integrasi dengan customer mencakup berbagi informasi permintaan, membantu pabrik untuk mengerti kebutuhan customer dan untuk memprediksikan permintaan customer dengan lebih baik, juga keterlibatan kolaboratif dari customer terhadap desain produk.

Dengan adanya integrasi dengan customers, perusahaan dapat membangun hubungan kerjasama yang baik dengan customers (Power, 2005). Power (2005)

(10)

juga mengatakan bahwa hubungan kerjasama tersebut dapat mendukung kooperasi, komunikasi yang terbuka, dan pembagian masalah dalam kegiatan bisnis, serta customer dapat memberikan masukan mengenai peningkatan kualitas barang dan jasa serta performa pengiriman. Lee, So, dan Tang (2000) mengatakan bahwa saling berbagi informasi dapat mengurangi biaya sebanyak 11-23 persen, sementara Gavirneni, Kapuscinski, dan Tayur (1999) melaporkan pengurangan biaya 1-35 persen ketika membagikan data permintaan retailer. Di samping itu, Lee, Padmanabhan, dan Whang (1997) mengemukakan bahwa pengkomunikasian informasi pesanan dan kapasitas barang mempermudah perusahaan untuk menyesuaikan jadwal produksi dan kapasitas yang lebih baik. Swink, Narasimhan, dan Wang (2007) juga berpendapat, dengan adanya integrasi dengan customers dapat meningkatkan pengertian perusahaan mengenai pilihan pelanggan, dimana dapat membuat perusahaan lebih tanggap terhadap kebutuhan pelanggannya.

Menurut Ragatz, Handfield, dan Petersen (2002), dalam lingkungan globalisasi yang kompetitif ini, supplier menjadi sangat penting bagi perusahaan karena supplier memberikan dampak yang besar bagi kapabilitas perusahaan seperti biaya, kualitas, teknologi, kecepatan, dan respon perusahaan. Dikarenakan kapasitas produksi perusahaan terbatas, perusahaan perlu mengalokasikan sumber daya produksinya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan permintaan pelanggannya yang beragam dengan biaya yang pantas (Zhao, Huo, Xun, dan Zhao, 2013). Hal tersebut dapat dicapai perusahaan dengan berintegrasi dengan supplier nya. Menurut Lee, Kwon, dan Severance (2007), hubungan dengan supplier menyangkut hubungan strategis dengan suppliers, mencakup suppliers dalam produk baru selama tahap desain, dalam perencanaan produksi dan manajemen persediaan, mengembangkan respon yang cepat sistem pemrosesan dengan supplier, menempatkan jaringan supplier yang menjamin pengiriman yang reliable, dan pertukaran informasi dengan supplier. Zhao, Huo, Selen, dan Yeung (2011) mengatakan bahwa integrasi dengan supplier mengacu pada proses interaksi dan kolaborasi antara perusahaan dan supplier nya untuk menjamin arus persediaan yang efektif. Dengan berintegrasi dengan supplier, perusahaan dapat berbagi order dan informasi persediaan dengan supplier dimana memungkinkan

(11)

17

supplier dapat menyediakan material dengan kualitas tinggi dan pelayanan yang tepat waktu. Integrasi dengan supplier adalah tingkat dimana perusahaan dapat bekerja sama dengan supplier kuncinya untuk menyusun strategi antar organisasi, praktek, prosedur dan perilaku kedalam tindakan kolaboratif, proses yang tersinkronisasi dan dapat diatur dalam rangka memenuhi kebutuhan customer (Flynn, et al., 2010). Lee, Padmanabhan, dan Whang (1997) mengatakan pembelian yang tidak direncanakan dari supplier akan mengakibatkan kelebihan bahan baku dan biaya penyimpanan di gudang. Selain itu, menurut Lee, Padmanabhan, dan Whang (1997) integrasi dengan supplier yang termasuk komunikasi, berbagi informasi terkait data persediaan dan dan jadwal produksi, serta bekerja sama dengan supplier dapat mengurangi kompleksitas kegiatan upstream.

2.1.3. Keunggulan Bersaing

Pencapaian keunggulan bersaing telah lama menjadi tujuan dan gol dari perusahaan-perusahaan. Dengan adanya keunggulan bersaing, perusahaan mampu bersaing dengan kompetitor domestik maupun multi-nasional. Secara umum, keunggulan bersaing mengindikasikan bahwa perusahaan dapat memperoleh kinerja bisnis yang lebih dibandingkan dengan pesaingnya dalam industri yang sama dengan memanfaatkan aset atau kompetensinya (Lee dan Hsieh, 2010).

Porter (1998) mengatakan keunggulan bersaing adalah kemampuan untuk secara konsisten memperoleh pengembalian atas investasi diatas rata-rata dalam industri.

Dasar yang fundamental dari kinerja diatas rata-rata dalam jangka panjang adalah sustainable competitive advantage (Porter, 1998). Barney (1991) secara spesifik mengatakan bahwa keunggulan bersaing dapat dicapai jika perusahaan mengimplementasikan strategi value-creating yang tidak diimplementasikan oleh kompetitor potensial. Ma (1999) mendefinisikan keunggulan bersaing sebagai perbedaan dalam atribut atau faktor yang mengijinkan perusahaan melayani pelanggannya lebih efektif dibandingkan perusahaan lain, dan dengan demikian menciptakan nilai yang lebih baik bagi pelanggan dan mencapai performa yang superior. Meso dan Smith (2000) mengatakan bahwa keunggulan bersaing tercipta dari aset yang strategis, dimana menurut Barney (1991) mengacu pada aset yang

(12)

secara internal dikontrol dan mengijinkan perusahaan untuk mengformulasikan dan mengimplementasikan strategi yang mengembangkan efektifitas dan efisiensinya. Kotha dan Orne (1989) juga mengatakan sumber dari keunggulan bersaing perusahaan bergantung pada kemampuan perusahaan mengadakan perbedaan pada barang dan jasanya yang secara keseluruhan atau sebagian terjadi melalui keterampilan pekerja, kapabilitas dari proses dan teknologi, dan standar prosedur manufaktur yang mengatur manajemen. Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan harus bersaing untuk memberikan nilai yang superior bagi pelanggan. Perusahaan dapat menawarkan nilai yang superior bagi pelanggan dengan menawarkan barang dan jasa yang sama dengan kompetitor pada harga yang lebih murah atau dengan cara membedakan barang dan jasa tersebut dari kompetitor.

Walaupun perusahaan dapat memiliki banyak sekali kekuatan dan kelemahan dibandingkan dengan pesaingnya, terdapat dua tipe dasar dari keunggulan bersaing yang dapat dimiliki oleh perusahaan yaitu cost leadership dan differentiation (Porter, 1998). Namun dalam investigasi literatur keunggulan bersaing yang lebih rinci menurut Kim (2006, 2009), Rosenzweig, Roth dan Dean (2003), Swink, Narasimhan dan Wang (2007), Li, B. Ragu-Nathan, T. S. Ragu- Nathan dan Rao (2006) menunjukkan bahwa cost leadership dan differentiation (Kim, 2006; Kim, 2009; Baharanchi, 2009) digunakan lebih sering daripada indikator lainnya untuk mengukur keunggulan bersaing. Oleh karena itu, menurut literatur dan pendekatan generic strategic Porter (1998), konsentrasi pada kedua strategi cost leadership dan differentiation akan lebih sesuai.

2.1.3.1. Cost Leadership

Porter (1998) mengatakan sebuah perusahaan dikatakan menggunakan cost leadership ketika perusahaan menawarkan biaya yang lebih rendah sementara tetap mempertahankan profit yang tinggi. Li, B. Ragu-Nathan, T. S. Ragu-Nathan dan Rao (2006) mendefinisikan cost leadership sebagai kemampuan perusahaan untuk bersaing dengan kompetitor utama berdasarkan pada harga yang rendah.

Strategi cost leadership terbentuk melalui pengalaman, investasi dalam fasilitas produksi, konservasi, dan pengamatan secara hati-hati pada total biaya operasi

(13)

19

(Valipour, Birjandi dan Honarbakhsh, 2012). Cost leadership menciptakan excess return dengan menyediakan produk pada biaya produksi yang paling rendah (Reitsperger, Daniel, Tallman dan Chismar, 1993). Perusahaan yang mengikuti strategi tersebut menerima komponen yang lebih murah, menggunakan proses produksi standar, dan mencari pangsa pasar yang tinggi untuk mengurangi biaya per unit (Phillips, Chang dan Buzzell, 1983). Pelanggan akan menerima kualitas yang lebih rendah untuk harga yang lebih rendah, dan perusahaan yang dapat mengoptimalkan efisiensi produksi dapat menghasilkan marjin yang lebih besar dalam bisnis (Reitsperger, Daniel, Tallman dan Chismar, 1993).

2.1.3.2. Differentiation

Porter (1998) mengemukakan bahwa dalam strategi differentiation, perusahaan berusaha menjadi unik dalam industrinya diikuti dengan beberapa dimensi yang dinilai tinggi oleh pembeli. Strategi tersebut memilih satu atau lebih atribut dimana banyak pembeli merasa hal tersebut penting, dan secara unik memposisikan dirinya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keunikan tersebut memperbolehkan perusahaan untuk mengenakan harga premium untuk produk dan jasanya (A. Douglas, J. Douglas dan Davies, 2010). Selain itu, Porter (1998) juga mengatakan bahwa differentiation dapat berdasarkan pada produk itu sendiri, sistem pengiriman, pendekatan pemasaran, dan banyak faktor lainnya.

Strategi differentiation meliputi perusahaan yang menciptakan produk atau jasa dimana dikatakan sebagai unik dalam beberapa aspek yang dinilai pelanggan (Spencer, Joiner dan Salmon, 2009). Diferensiasi produk menyediakan excess return dengan memberikan harga yang lebih tinggi untuk barang yang unik (Reitsperger, Daniel, Tallman dan Chismar, 1993). Walaupun diferensiasi mungkin memiliki banyak sumber, namun diferensiasi paling sering dikarakteristikkan oleh kualitas produk yang superior (Phillips, Chang dan Buzzell, 1983). Tingkat kualitas yang tinggi memberikan posisi pasar yang dapat dipertahankan dimana pelanggan yang setia tidak keberatan untuk membayar lebih (Reitsperger, Daniel, Tallman dan Chismar, 1993). Porter (1998) mengatakan perusahaan yang dapat mencapai diferensiasi akan menjadi perusahaan yang diatas rata-rata dalam industrinya.

(14)

2.2. Hubungan Antar Variable

2.2.1. Pengaruh Entrepreneurship terhadap Supply Chain Integration

Dalam kondisi pasar saat ini, perusahaan harus mengetahui bahwa dengan menerapkan entrepreneurship saja tidak cukup untuk bersaing. Entrepreneurship merupakan langkah awal yang memungkinkan dampak kompetensi yang lebih tinggi dalam kinerja perusahaan (Walter, Auer dan Ritter, 2006). Menyelaraskan aktivitas entrepreneurship dengan praktek supply chain management penting untuk mencapai peningkatan kinerja perusahaan (Anari dan Rezaei, 2013). Selain itu, aktivitas entrepreneurship juga dapat melengkapi praktek supply chain management dan menciptakan kompetensi bagi perusahaan (Giunipero, Denslow dan Eltantawy, 2005). Anari dan Rezaei (2013) mengatakan bahwa kompetensi entrepreneurship dalam supply chain management merupakan faktor penentu yang penting atas kinerja perusahaan.

Penelitian saat ini mulai menelusuri pentingnya perilaku entrepreneurship dalam supply network (Giunipero, Denslow dan Eltantawy, 2005; Walter, Aurer dan Ritter, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Anari dan Rezaei (2013) mengatakan bahwa perusahaan dengan karakteristik entrepreneurship yang risk- taking cenderung mencari strategi untuk memaksimalkan keuntungan mereka dengan menggunakan aplikasi supply chain management. Selain itu, dikatakan bahwa orientasi inovasi mengindikasikan pencarian yang aktif akan bisnis baru melalui supply chain. Lebih dari itu, orientasi inovasi seharusnya memberikan peningkatan dalam proses, praktek, dan aktivitas pengambilan keputusan yang berhubungan dengan supply chain management.

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas dibuatlah hipotesa di bawah ini:

H1: Entrepreneurship berpengaruh positif terhadap supply chain integration.

(15)

21

2.2.2. Pengaruh Entrepreneurship terhadap Keunggulan Bersaing

Pikiran yang terbuka, keinginan untuk memanfaatkan perubahan dan tidak menghindarinya, kemampuan untuk melihat kesempatan di mana orang lain melihatnya sebagai ancaman merupakan karakteristik yang penting dari entrepreneurs yang sukses (Morland, 1985). Entrepreneurs dapat mencari sumber inovasi, perubahan dalam lingkungan, dan petunjuk atas kesempatan dalam lingkungan, serta dapat memahami prinsip dari inovasi yang sukses dan menggunakannya (Lee dan Hsieh, 2010). Perusahaan yang memiliki karateristik entrepreneurship dapat dengan cepat menyelidiki berbagai macam pasar dan meresponnya dengan lebih cepat dibandingkan pesaingnya (Naman dan Slevin, 1993). Entrepreneurship merupakan faktor penentu yang penting untuk keunggulan bersaing perusahaan yang berkelanjutan. (Lee dan Hsieh, 2010).

2.2.2.1. Pengaruh Entrepreneurship terhadap Differentiation

Entrepreneur merupakan seorang pengambil resiko dan termotivasi untuk menciptakan inovasi serta berfokus pada tindakan proaktif yang menghasilkan produk baru, jasa baru atau proses baru dan dengan demikian membawa pada bisnis yang berkesinambungan (Wingwon, 2012). Kemampuan berinovasi entrepreneur adalah refleksi dari kecenderungan perusahaan terhadap ide-ide baru dan proses kreatifitas, yang memungkinkan menghasilkan produk baru, jasa dan proses teknologi (Farzi, Rezazadeh, dan Najmabadi, 2013). Dengan kemampuan entrepreneur untuk berinovasi tersebut, perusahaan dapat menciptakan produk- produk baru yang unik bagi pelanggan. Tingginya kecenderungan entrepreneurship untuk berinovasi sesuai dengan strategi diferensiasi (Gutierrez, Martinez-Ros dan De Castro, 2008). Selain itu, perusahaan yang menerapkan karakteristik proactiveness dapat menciptakan keuntungan first-mover¸

menargetkan segmen pasar premium, dan menyaring pasar lebih dulu dibandingkan pesaingnya (Zahra dan Covin, 1995). Mereka dapat mengontrol pasar dengan cara mendominasi jaringan distribusi dan membentuk pengenalan pasar (Wiklund dan Shepherd, 2003). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas maka dibuatlah hipotesa di bawah ini:

(16)

H2a: Entrepreneurship berpengaruh positif terhadap differentiation 2.2.2.2. Pengaruh Entrepreneurship terhadap Cost Leadership

Entrepreneurship telah dikenal sebagai penggerak dari inovasi, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi (Korres, Papanis, Kokkinou dan Giavrimis, 2011).

Miller (1983) menggambarkan innovativeness sebagai pengembangan produk, jasa atau proses yang baru dan unik. Innovativeness mengacu pada kemauan untuk mendukung kreatifitas dan eksperimen dalam memperkenalkan produk dan jasa yang baru, teknologi yang baru, dan R&D dalam pengembangan proses baru (Lumpkin dan Dess, 2005). Inovasi proses dapat menawarkan banyak keunggulan bersaing bagi perusahaan seperti pengurangan biaya, meningkatkan kualitas dan mengurangi persediaan (Congden dan Schroeder, 1996). Inovasi proses merupakan alat untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan menurunkan biaya (Jimenez, Valle dan Hernandez, 2008). Hal tersebut termasuk produksi baru atau terintegrasi, distribusi atau metode pengiriman (Farzi, Rezazadeh dan Najmabadi, 2013). Selain itu, inovasi proses mewakili perubahan dalam cara perusahaan memproduksi produk akhir atau jasa (Cooper, 1998). Dengan adanya pengurangan biaya, perusahaan dapat menawarkan harga yang lebih rendah kepada pelanggan.

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas maka dibuatlah hipotesa di bawah ini:

H2b: Entrepreneurship berpengaruh positif terhadap cost leadership.

2.2.3. Pengaruh Supply Chain Integration terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan yang mengatur supply chain nya sebagai entitas tunggal dan menjamin penggunaan yang tepat atas peralatan dan teknik-teknik untuk memenuhi kebutuhan pasar tidak akan menjadi yang terakhir dalam memperjuangkan keberlangsungan bisnisnya (Stevens, 1989). Supply chain management memperbesar daya saing perusahaan dengan cara mengintegrasikan fungsi internal dalam perusahaan dan menghubungkannya dengan operasi eksternal dari supplier, customer, dan jaringan anggota lainnya (Han, Omta dan Trienekens, 2007). Perusahaan yang dapat mengkombinasikan proses internalnya dengan supplier dan customer dalam supply chain dapat memperoleh keunggulan

(17)

23

bersaing (Frohlich dan Westbrook, 2001). Keuntungan diperoleh oleh perusahaan dengan supply chain integration dari hubungan antar operasi supply chain (Ozdemir dan Aslan, 2011). Kim (2006) berargumentasi bahwa untuk menjadi sukses dalam aplikasi supply chain management dimana tujuannya adalah untuk mencapai kinerja supply chain yang tinggi, dibutuhkan integrasi eksternal dengan supplier dan customer sebagai tambahan bagi integrasi antar fungsi dalam perusahaan. Integrasi dan koordinasi seperti inilah yang memungkinkan supply chain perusahaan mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Hosseini, Azizi dan Sheikhi, 2012). Menurut Ozdemir dan Aslan (2011), perusahaan yang tingkat integritasnya sangat tinggi memperoleh keunggulan dalam hal biaya dibandingkan perusahaan lain yang kurang terintegritas. Penelitian tersebut terkonsentrasi pada strategi yang dikemukakan oleh Porter (1998) yaitu cost leadership dan differentiation.

2.2.3.1. Pengaruh Supply Chain Integration terhadap Differentiation

Menurut Kim (2009), Baharanchi (2009), dan Feng, Sun, dan Zhang (2010), integrasi eksternal dengan supplier dan customer memungkinkan perusahaan untuk memperbesar kemampuan teknis dan logistiknya serta mempengaruhi kualitas dan diferensiasi produknya. Kaulio (1998) mengatakan bahwa partisipasi dengan customer dalam penciptaan dan pengembangan produk baru merupakan sumber ide yang baru. Selain itu menurut Nambisan (2002), customer dapat berpartisipasi dalam pengujian produk jadi, mendukung produk perusahaan, dan perbaikan terus menerus dalam proses pencipataan ide baru.

Selain itu, menurut Chang, et al., (2006) dalam penelitian yang dilakukannya bahwa sangat penting untuk memiliki partisipasi dengan supplier dan berkoordinasi dengan mereka untuk meningkatkan keefektifisan supply chain dan daya saing perusahaan. Porter (1998) percaya bahwa customers dan suppliers merupakan penggerak daya saing dalam industri.

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas dibuatlah hipotesa di bawah ini:

H3a: Supply chain integration berpengaruh positif terhadap differentiation.

(18)

2.2.3.2. Pengaruh Supply Chain Integration terhadap Cost Leadership

Perusahaan dengan tingkat integrasi yang tinggi memiliki dampak pada cost leadership (Rosenzweig, Roth, dan Dean, 2003). Pendayagunaan pengetahuan dari supplier dan customer berhasil meningkatkan kemampuan kompetitif perusahaan (Nambisan, 2002). Kim (2009) dan Rosenzweig, Roth dan Dean (2003) mengemukakan bahwa integrasi internal mampu membawa pada peningkatan kapabilitas perusahaan untuk pengurangan biaya. Feng, Sun dan Zhang (2010) mengemukakan bahwa partisipasi dengan supplier mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap cost leadership. Partisipasi dengan supplier sebagai langkah awal pengembangan produk baru merupakan cara pemanfaatan yang baik atas pengetahuan supplier untuk pengurangan biaya dan peningkatan waktu produksi (Handfield dan Bechtel, 2002).

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas dibuatlah hipotesa di bawah ini:

H3b: Supply chain integration berpengaruh positif terhadap cost leadership.

2.3. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian oleh Anari dan Rezaei (2013) meneliti penerapan entrepreneurship terhadap supply chain management dan kinerja perusahaan.

Atribut entrepreneurship dalam penelitian tersebut mencakup innovativeness, risk-taking, proactiveness, relational capital, dan coordination capacity. Atribut tersebut mempengaruhi kompetensi entrepreneurship perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan untuk dapat berhasil dalam lingkungan yang kompetitif, perusahaan harus mengembangkan kompetensi unik yang tidak dapat ditiru untuk memaksimalkan pemanfaatan mereka dalam supply chain, dan dengan demikian meningkatkan kinerja perusahaan.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Walter, Aurer dan Ritter (2006) meneliti dampak kemampuan perusahaan untuk mengembangkan dan memanfaatkan hubungan antar organisasi dengan orientasi entrepreneurship pada kinerja perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan

(19)

25

untuk mengembangkan dan memanfaatkan hubungan antar organisasi memoderasi hubungan antara orientasi entrepreneurship dengan kinerja perusahaan.

Penelitian mengenai hubungan entrepreneurship, marketing capability, dan innovative capability terhadap keunggulan bersaing perusahaan telah dilakukan oleh Lee dan Hsieh (2010). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa entrepreneurship secara langsung mempengaruhi keunggulan bersaing serta secara tidak langsung mempengaruhi keunggulan bersaing perusahaan melalui marketing capability dan innovative capability.

Ong, Ismail, dan Goh (2010) meneliti peran entrepreneurship dan faktor keberuntungan terhadap keunggulan bersaing perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kualitas dari entrepreneur dalam perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap daya saing perusahaan.

Penelitian oleh Liu, Hou, Yang, dan Ding (2011) meneliti mengenai orientasi entrepreneurship terhadap keunggulan bersaing melalui kapabilitas perusahaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orientasi penerapan entrepreneurship mempunyai dampak positif pada keunggulan bersaing perusahaan di China dan hubungan positif tersebut lebih kuat di bawah faktor tidak menentu dari kapabilitas pasar yang tinggi.

Gutierrez, Martinez-Ros dan De Castro (2008) meneliti mengenai dampak entrepreneurial orientation terhadap kinerja perusahaan kecil menengah. Hasil penelitian menunjukkan entrepreneurial orientation memiliki dampak positif yang kuat pada kinerja jika perusahaan bersaing pada biaya dan menggunakan aliansi teknologi.

Richey, et al., (2009) menyatakan bahwa meningkatnya studi penelitian mengenai topik integrasi telah memberikan pengetahuan yang lebih bagi kita mengenai integrasi. Banyak penelitian yang dilakukan berfokus pada pencarian hasil positif dari supply chain integration (Gimenez dan Ventura, 2003).

Penelitian mengenai hubungan supply chain integration terhadap keunggulan bersaing telah dilakukan sebelumnya oleh Ozdemir dan Aslan (2011).

(20)

Dalam penelitiannya, Ozdemir dan Aslan (2011) meneliti hubungan dari supply chain integration pada competitive capability dan kinerja bisnis. Competitive capability diukur menggunakan 4 dimensi yaitu cost leadership, customer service, fleksibilitas, dan produk. Hasil penelitian Ozdemir dan Aslan (2011) terbukti signifikan. Supply chain integration terbukti mempengaruhi competitive capability secara positif. Semua dimensi competitive capability yaitu cost leadership, customer service, fleksibilitas, dan produk signifikan terhadap supply chain integration. Selain itu, supply chain integration juga terbukti mempengaruhi kinerja bisnis perusahaan hanya pada kinerja pasar.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Zulkiffli dan Perera (2011) yang meneliti supply chain integration sebagai variable moderating dalam menghubungkan keunggulan bersaing perusahaan dengan kinerja bisnis. Hasil penelitian membuktikan bahwa tingkat supply chain integration secara signifikan memoderasi hubungan antara keunggulan bersaing perusahaan dengan kinerja bisnis perusahaan.

Penelitian serupa dilakukan oleh Kim (2006) yang meneliti mengenai pengaruh supply chain integration sebagai variable intervening terhadap hubungan interaktif antara keunggulan bersaing perusahaan dengan kapabilitas operasional supply chain untuk peningkatan kinerja. Pada penelitian tersebut, dimensi yang digunakan untuk mengukur keunggulan bersaing adalah cost leadership, differentiation, customer service, dan teknologi pemasaran yang inovatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan supply chain integration sebagai variable intervening membawa kinerja perusahaan ketingkat yang lebih tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Hosseini, Azizi dan Sheikhi (2012) yang meneliti mengenai dampak supply chain integration pada kapabilitas kompetitif di Iran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa supply chain integration mempunyai pengaruh positif pada competitive capability perusahaan.

Feng, Sun dan Zhang (2010) melakukan penelitian mengenai dampak keterlibatan customer dan supplier terhadap keunggulan bersaing di China. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan customer mempunyai dampak positif

(21)

27

pada keunggulan bersaing dan keterlibatan supplier dapat membawa pada penurunan biaya.

Hines dan Rich (1998) juga memberikan bukti gambaran penggunaan hubungan dengan supplier yang merupakan dimensi supply chain integration digunakan sebagai kunci melakukan outsourcing untuk mencapai keunggulan bersaing perusahaan. Penggunaan integrasi dengan supplier tersebut terbukti memberikan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan dalam memperoleh keunggulan dibandingkan pesaingnya.

2.4. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1. Model Analisis Hipotesis 2.5. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka dirumuskanlah hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang diteliti yaitu sebagai berikut:

1. Pengaruh antara entrepreneurship terhadap supply chain integration H10: Entrepreneurship tidak berpengaruh positif terhadap supply chain

integration pada rumah makan di Surabaya.

H3b H3a

Keunggulan Bersaing

H1

H2b H2a

Entreprene urship

Supply Chain Integration

Cost Leadership Differen-

tiation

(22)

H11: Entrepreneurship berpengaruh positif terhadap supply chain integration pada rumah makan di Surabaya.

2. Pengaruh antara entrepreneurship terhadap keunggulan bersaing

H2a0: Entrepreneurship tidak berpengaruh positif terhadap differentiation pada rumah makan di Surabaya.

H2a1: Entrepreneurship berpengaruh positif terhadap differentiation pada rumah makan di Surabaya.

H2b0: Entrepreneurship tidak berpengaruh positif terhadap cost leadership pada rumah makan di Surabaya.

H2b1: Entrepreneurship berpengaruh positif terhadap cost leadership pada rumah makan di Surabaya.

3. Pengaruh antara supply chain integration terhadap keunggulan bersaing H3a0: Supply chain integration tidak berpengaruh positif terhadap

differentiation pada rumah makan di Surabaya.

H3a1: Supply chain integration berpengaruh positif terhadap differentiation pada rumah makan di Surabaya.

H3b0: Supply chain integration tidak berpengaruh positif terhadap cost leadership pada rumah makan di Surabaya.

H3b1: Supply chain integration berpengaruh positif terhadap cost leadership pada rumah makan di Surabaya.

Gambar

Gambar 2.1. Model Analisis Hipotesis  2.5. Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Penerimaan pajak daerah merupakan bukti nyata partisipasi wajib pajak dalam pembangunan dan pemerataan daerah demi tercapainya kepentingan bersama. Besarnya

Melalui perbandingan arah umum pergerakan sesar, kekar dan pergerakan tanah, dapat diketahui bahwa pergerakan tanah yang terjadi mempunyai arah umum yang relatif

dilakukan untuk mengambil sampel data kemacetan berdasarkan banyak motor dan mobil yang melewati setiap arus di simpang empat dan untuk mengambil data waktu lama

1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab peningkatan TAK dan akibatnya. Rasional : keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan. 2) Baringkan klie (

1) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya. 2) Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun diijual

Metode pembelajaran di Sekolah Alam tidak terpatok dengan metode ceramah atau metode klasikal tetapi lebih banyak dengan metode bergerak, anak berkebutuhan khusus tidak

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi ganda (multiple regression). Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan adanya

Pengaruh perbedaan kelajuan terhadap tekanan yang dihasilkan (Konsep II); Pengaruh kedalaman dan ketinggian terhadap jarak pancar fluida (Konsep III). Jawaban peserta