• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA PROVINSI SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA PROVINSI SUMATERA UTARA"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

SAMUDERA HINDIA PROVINSI SUMATERA UTARA

RAIHAN ULIYA 150302058

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)

SAMUDERA HINDIA PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

RAIHANULIYA 150302058

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(3)

SAMUDERA HINDIA PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

RAIHAN ULIYA 150302058

Skripsi sebagai Salah Satu Diantara Beberapa Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(4)
(5)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rakhmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan hasil penelitian tentang

“Identifikasi dan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara” dapat terselesaikan. Laporan hasil penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi S-1 Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan proposal ini. Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi semua pihak, khususnya bagi mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan, terutama dalam hal ilmu parasit dan penyakit ikan.

Medan. September 2019

Penulis

(6)

RAIHAN ULIYA. Identifikasi dan Prevalensi Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara. Dosen Pembimbing Dr. Eri Yusni, M. Sc.

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah salah satu spesies ikan komersial di Indonesia yang sering ditangkap oleh nelayan tradisional Sibolga di perairan Samudera Hindia, Provinsi Sumatera Utara. Namun, saat ini, sulit ditemukan penelitian yang dilakukan pada infestasi endoparasit pada ikan di perairan Barat Sumatera. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi endoparasit dan meneliti tingkat prevalensinya terhadap saluran pencernaan ikan cakalang (K. Pelamis) dari perairan Samudera Hindia, Provinsi Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan di Tangkahan Debora dan Horizon, Sibolga pada tanggal 20 Juni hingga 5 juli 2019 dan total 50 sampel ikan dengan berat berkisar antara 380-1.300 gram dan panjang total 30 cm hingga 42 cm.. Identifikasi dilakukan di laboratorium menggunakan mikroskop cahaya.

Hasil penelitian ditemukan delapan genera cacing endoparasit pada organ usus dan lambung. Cacing-cacing tersebut dengan prvalensinya masing-masing ialah Echinorhynchus sp. (100%), Acanthocephalus sp. (22%), Pomphorhynchus sp.

(20%), Leptorhynchoides sp. (40%), Rhadinorhynchus sp. (64%), Neoechinorhynchus sp. (50%), dan Apororhynchus sp. (4%) dan Anisakis sp.

(2%). Seluruh cacing ditemukan pada organ usus dan hanya cacing Echinorhynchus sp. dan Rhadinorhynchus sp yang ditemukan pada organ lambung. Echinorhynchus sp, merupakan cacing endoparasit dengan tingkat prevalensi tertinggi.

Kata Kunci: Ikan cakalang, Katsuwonus pelamis, Endo-parasit, Echinorhynchus sp., Prevalensi

(7)

RAIHAN ULIYA. Identification and Prevalence of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Gastrointestinal from Indian Ocean, North Sumatera Province. Academic Advisor Dr. Eri Yusni, M. Sc.

Skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) is one of the commercial species of fishes in Indonesia frequently caught by Sibolga fishermen from Indian Ocean, North Sumatra Province. There is, however, presently limitide study conducted on the endoparasites infestation in these fishes from that waters of West Sumatera.

Therefore, the objectives of the present study were to identify endoparasitic worms and examine the prevalence level in skipjack tuna (K.pelamis) from Indian Ocean, North Sumatra Province. Sampling was conducted in Debora and Horizon Private Fishing Port, Sibolga from 20th June to 5th July 2019 and a total of 50 fish samples with weight ranged between 380 g and 1.300 g and length from 30 cm to 42 cm were analyzed in the study. The identification of the worm was conducted in the laboratory using a stereomicroscope. The results showed eight species or genera of worms were found in the intestine and stomach of the fish with varying level of prevalence. The parasites with prevalence were namely Echinorhynchus sp. (100%), Acanthocephalus sp. (22%), Pomphorhynchus sp.

(20%), Leptorhynchoides sp. (40%), Rhadinorhynchus sp. (64%), Neoechinorhynchus sp. (50%), dan Apororhynchus sp. (4%) and Anisakis sp.

(2%). All worms are found in intestinal organs and only Echinorhynchus sp. and Rhadinorhynchus sp. which also found in the stomach. Echinorhynchus sp, is an endoparasitic worm with the highest prevalence rate.

Keywords: Skipjack tuna, Katsuwonus pelamis, Endo-parasite, Echinorhynchus sp., Prevalence

(8)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Kerangka Pemikiran... 3

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cakalang ... 7

Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Cakalang ... 8

Parasit pada Ikan Cakalang ... 9

Protozoa ... 10

Krustasea ... 11

Digenea ... 12

Nematoda ... 12

Cestoda ... 13

Acanthocephala ... 14

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

Alat dan Bahan ... 15

(9)

Prosedur Kerja ... 17

Pengambilan Sampel ... 17

Teknik Parasitologi ... 17

Pewarnaan Endoparasit ... 18

Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 21

Identifikasi Endoparasit ... 21

Prevalensi Endoparasit ... 26

Pembahasan... 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 40

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 51

(10)

No. Teks Halaman

1. Bagan Kerangka Konseptual Penelitian ... 4

2. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) ... 7

3 Diagram Alir Penelitian ... 16

4. Echinorhynchus sp ... 22

5. Acanthocephalus sp ... 22

6. Pomphorhynchus sp ... 22

7. Leptorhynchoides sp ... 23

8. Rhadinorhynchus sp ... 23

9. Neoechinorhynchus sp ... 23

10. Apororhynchus sp ... 24

11. Anisakis sp ... 24

12 Perbandingan Jumlah dan Jenis Cacing Enoparasit antar Dua Kelompok Ukuran Ikan ... 26

13 Perbandingan Prevalensi Cacing Endoparasit antar Dua Kelompok Ukuran Ikan ... 28

(11)

No. Teks Halaman 1. Kategori Prevalensi Endoparasit ... 20 2. Identifikasi Endoparasit yang Menyerang Saluran Pencernaan Ikan

Cakalang ... 21 3 Ukuran panjang cacing endoparasit yang menyerang organ pencernaan

ikan cakalang ... 22 4 Perbandingan Jumlah dan Jenis Cacing Endoparasit antar Dua

Kelompok Ukuran Ikan ... 25 5 Prevalensi Endoparasit yang Menyerang Saluran Pencernaan Ikan

Cakalang ... 27

(12)

No. Teks Halaman

1. Alat yang Digunakan Selama Penelitian ... 52

2. Bahan yang Digunakan Selama Penelitian ... 55

3. Proses Pengambilan Sampel Ikan ... 57

4. Teknik Parasitologi ... 58

5. Temuan Infeksi Cacing Endoparasit ... 61

6. Data Pengambilan Sampel Ikan Cakalang ... 62

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumber daya Ikan Tuna dan Cakalang memiliki peranan penting bagi sektor perikanan tangkap di Indonesia. Potensi Cakalang (Katsuwonus pelamis) di wilayah perairan barat Sumatera adalah sebesar 64.000 ton per tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 14.6% (Aziz et al., 1998; Firdaus, 2018). Selama tahun 2011 sampai tahun 2016 produksi tangkapan Ikan Cakalang yang didaratkan di PPN Sibolga sangat bervariasi serta mengalami peningkatan dan penurunan yang sangat fluktuatif. Hasil produksi tangkapan Ikan Cakalang tertinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu sebanyak 3.501,80 ton dengan rata-rata produksi sebesar 87,54 ton (Pulungan dan Fadhilah, 2018).

Masalah penyakit pada ikan, terutama yang disebabkan oleh parasit dapat menyebabkan penurunan kualitas ikan dan gangguan kesehatan pada manusia.

Parasit tidak hanya dapat merugikan industri perikanan, tetapi juga manusia jika dikonsumsi (Palm et al., 2008). Menurut Hidayati et al. (2016), keberadaan parasit pada ikan akan berdampak pada pengurangan konsumsi, penurunan kualitas pada usaha budidaya, penurunan bobot badan ikan konsumsi, dan penolakan oleh konsumen akibat adanya morfologi atau bentuk tubuh ikan yang abnormal. Jenis parasit pada ikan laut ditentukan oleh distribusi geografisnya, keberadaan inang antara, ketahanan tubuh ikan (pada fase inang terinfeksi), dan lama waktu ikan terinfeksi.

Pengaruh parasit pada ikan bukan hanya memengaruhi individu ikan,

(14)

Selain pengaruh terhadap pola fisiologis dan kualitas ikan, pengaruh parasit juga dapat memengaruhi manusia yang mengkonsumsi ikan mentah atau kurang masak yang terinfeksi oleh parasit (Taufik et al., 2014).

Hewan-hewan parasit yang sering ditemukan menyerang ikan adalah kelompok cacing dan krustasea. Cacing-cacing yang merupakan hewan parasit pada ikan adalah kelas-kelas Trematoda, Cestoda, Nematoda dan Acanthocephala.

Sedangkan dari krustasea adalah anak kelas Copepoda, Cirripedia serta ordo-ordo Isopoda dan Amphipoda (Rahayu, 1986).

Penelitian tentang infestasi parasit pada Ikan Cakalang di Laut Oman dan Laut Batangas telah dilaporkan oleh Sattari et al. (2014) dan Briones et al. (2015).

Selain itu, Amin et al. (2019) juga melaporkan infestasi cacing pada ikan ini di Pantai Pasifik Vietnam. Namun, penelitian tentang infeksi parasit pada Ikan Cakalang di perairan Indonesia sangat terbatas, di antaranya dilaporkan oleh Sabariah et al. (2018), Diba dan Rahmad (2018), dan Yani dan Susianti (2017), tentang infeksi cacing endoparasit dari perairan Manokwari dan Selat Makassar.

Penelitian terhadap parasit yang pada Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara belum pernah dilakukan padahal Ikan Cakalang merupakan ikan dengan jumlah permintaan yang terus meningkat dan bernilai ekonomis tinggi. Selain itu, dampak endoparasit ini memiliki kemungkinan berkembang di Indonesia pada ikan-ikan konsumsi khususnya cakalang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi dan prevalensi endoparasit pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara agar dapat dipertimbangkan penanganan dan pengolahan hasil produksi ikan ini untuk kedepannya.

(15)

1.2. Rumusan Masalah

Kebutuhan protein kian meningkat, maka untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut sumberdaya protein di laut mulai menjadi arahan perhatian.

Namun, lingkungan laut yang luas, pada beberapa tahun kedepan berpotensi mengembangkan dampak penyakit oleh parasit pada ikan-ikan komersil.

Khususnya bagi Ikan Cakalang yang bernilai ekonomis tinggi. Menurut Rahayu (1986), penyakit ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti perubahan kondisi lingkungan, faktor keturunan atau adanya mikroorganisme dan hewan parasit.

Demi mengatasi kerugian yang ditimbulkannya, diperlukan pengetahuan tentang jenis-jenis parasit yang menyerang jenis-jenis ikan tersebut. Hasil dari penelitian ini di kemudian hari dapat dijadikan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya dan pemerintah setempat untuk mengadakan pengelolaan serta solusi untuk dapat meminimalisir dampak negatif dari parasit yang menyerang tubuh ikan. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis endoparasit apa saja yang menginfeksi saluran pencernaan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara?

2. Berapakah tingkat prevalensi endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara?

1.3. Kerangka Pemikiran

Hasil produksi perikanan tangkap kini diikuti dengan tingginya permintaan

(16)

ikan konsumsi yang banyak diminati ialah Ikan Cakalang. Namun, perubahan kondisi lingkungan akibat tingginya pencemaran dan menurunnya kualitas perairan, sifat ruaya ikan serta adanya mikroorganisme penyebab parasit menimbulkan adanya laporan-laporan penyakit pada ikan yang disebabkan oleh parasit.

Endoparasit yang paling sering menyerang ikan berasal dari golongan cacing dan krustasea. Biasanya, ikan dijadikan inang sementara bagi parasit untuk berkembang. Hal ini akan berdampak pada pengurangan bobot tubuh ikan, mempengaruhi nilai gizi, kerugian ekonomi, serta dampak kesehatan pada manusia yang kurang tepat dalam menangani produk perikanan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi jenis endoparasit yang menyerang Ikan Cakalang tersebut dan menggambarkan tingkat prevalensinya sehingga dapat dijadikan salah satu pedoman untuk tujuan baik pengelolaan maupun saran di masa yang akan datang dan persiapan menghadapi potensi perkembangan parasit pada ikan.

(17)

Keterangan:

: Aspek yang diteliti : Aspek yang tidak diteliti

Gambar 1. Bagan kerangka konseptual penelitian Perikanan Tangkap

Permintaan Pasar Terhadap Ikan

Ikan Konsumsi yang Digemari

Ikan Cakalang

Penyakit

Pencemaran

Kualitas air menurun

Parasit Virus Bakteri

Jamur

Ektoparasit Endoparasit

Patogen Lingkungan

Inang

Identifikasi Prevalensi

Saran Pengelolaan Saluran Pencernaan

(18)

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui jenis endoparasit apa saja yang menginfeksi saluran pencernaan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara.

3. Mengetahui tingkat prevalensi endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ialah untuk memberi informasi tentang berbagai jenis endoparasit yang menyerang saluran cerna Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara serta tingkat prevalensinya. Sehingga, di masa yang akan datang dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya yang berkorelasi. Selain itu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar manajemen bagi stakeholder yang berkaitan dengan topik bahasan penelitian. Skripsi ini juga sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata-1 di program studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Sumatera Utara.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cakalang

Menurut Saanin (1984), Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Phylum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Scombroidae Genus : Katsuwonus

Species : Katsuwonus pelamis

Gambar 2. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan Cakalang memiliki bentul tubuh torpedo, membulat pada bagian perutnya dan bergaris-garis (Matsumoto, 1984). Terdapat tiga sampai lima garis

(20)

longitudinal gelap yang menonjol di bagian perut. Total insang pada lengkung pertama berjumlah 53 hingga 63 lembar (Collete dan Nauen, 1983).

Bagian preorbital tidak menyembunyikan rahang atasnya, ada sekitar 40 gigi pada rahang tersebut. Sirip punggung pertama dan kedua nyaris tidak terpisah, paling besar berjarak sama dengan diameter mata. Namun, sirip punggung pertama memiliki kemiringan lebih daripada sirip punggung keduanya.

Terdapat 12 sampai 16 duri pada sirip punggung pertama. Korselet tersusun dengan baik dengan hampir tidak ada skala berbeda yang pada barisan di tubuhnya. Sirip dada pendek dan berbentuk segitiga hingga mencapai pada bagian 9 atau 10 tulang belakang pertama, tetapi pada beberapa sampel hanya mencapai pada bagian tulang belakang ke-8 atau sejauh tulang belakang ke-11 (Collete dan Nauen, 1983; Matsumoto, 1984).

2.2. Habitat dan Kebiasaan Makan Ikan Cakalang

Tuna dan spesies Ikan pelagis besar lainnya pada umumnya merupakan Ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish) atau berada di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif dari suatu atau lebih negara dan laut lepas. Penyebaran Ikan Cakalang di Indonesia meliputi Samudera Indonesia, pantai barat Sumatera, Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, perairan Indonesia Timur meliputi Laut Banda, Laut Halmahera, Laut Flores, Laut Maluku, Laut Makassar, Teluk Tomini, Teluk Cendrawasih, dan Laut arafura (Firdaus, 2018; Supriana et al., 2014;

Uktolseja, 1989).

Ada tiga komponen utama yang merupakan makanan Ikan Cakalang yaitu ikan, krustasea dan moluska (Manik, 2007). Secara umum, makanan Ikan

(21)

Cakalang terdiri dari ikan pelagis kecil dan krustasea (Mallawa et al., 2014). Ada kecenderungan bahwa Ikan Cakalang ukuran besar lambungnya berisi lebih banyak jenis krustasea dan sedikit ikan. Rantai makanan Ikan Cakalang sangat pendek yaitu plankton – ikan kecil – cakalang, yang berarti bahwa jenis ikan ini memanfaatan energi secara efisien (Coan, 2000).

2.3. Parasit pada Ikan Cakalang

Timbulnya penyakit adalah suatu proses yang dinamis dan merupakan interaksi antara inang (host), jasad penyakit (patogen) dan lingkungan. Dalam kegiatan budidaya ikan, apabila hubungan ketiga faktor adalah seimbang sehingga tidak timbul adanya penyakit. Penyakit akan muncul jika lingkungan kurang optimal dan keseimbangan terganggu. Secara umum, timbulnya penyakit pada ikan merupakan hasil interaksi yang kompleks antara 3 komponen dalam ekosistem budidaya yaitu inang (ikan) yang lemah akibat berbagai stressor, patogen yang virulen dan kualitas lingkungan yang kurang optimal. Ketiga komponen tersebut dalam bentuk lingkaran yang akan saling berinteraksi satu sama lain. Salah satu kendala yang menimbulkan masalah kerugian dalam usaha peningkatan dan pengembangan usaha dan industri perikanan adalah masalah penyakit dan parasit. Penyakit infeksi dapat diakibatkan oleh parasit, virus, bakteri dan jamur (Sarjito et al., 2013).

Endoparasit ialah parasit yang hidup dan menetap didalam tubuh inang, dengan menyerap nutrisi dari inang untuk berkembang biak, endoparasit biasanya hidup di dalam tubuh inang seperti pada alat pencernaan, usus, otak, otot, ginjal, hati dan gelembung renang. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa organ target

(22)

yang diserang oleh endoparasit beberapa diantaranya adalah organ vital, sehingga ketika ikan terinvasi endoparasit maka batas letal ketahanan tubuhnya akan berbeda terhadap invasi ektoparasit (Syafitri et al., 2018).

2.3.1. Protozoa

Hampir semua porozoa merupakan parasit sehingga makanan didapat dari hospesnya (Sayoga et al., 2017). Protozoa pada ikan dapat ditemukan di sirip, kulit, insang, rongga mulut, hidung, sistem saraf, sitem skeletal, saluran pencernaan dan urat daging. Spesies protozoa sangat banyak sehingga dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan alat gerak yang dimiliki atau berdasarkan pada keberadaan spora, yaitu Ciliophora, Sarcomastigophora dan Sporozoa (Kabata, 1985). Protozoa membutuhkan suhu untuk hidup antara 16 – 25 ºC dengan suhu maksimal antara 30 – 40 ºC. Derajat keasaman (pH) untuk proses metabolismenya antara 6 – 8 (Kurihara et al., 1978).

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak sekali kelompok protozoa yang dapat menimbulkan penyakit pada ikan laut. Namun yang paling sering ditemui pada ikan laut adalah Eimeria sardinae (Coccidia), Chloromyxum sp. (Myxosporida) dan Glugea hertwigi (Myxosporida) (Rahayu, 1986).

Pengamatan karakteristik morfologi, pengukuran bentuk tubuh, keberadaan protozoa, dan lesi akibat invasi yang ditimbulkan yang dicocokkan dengan literatur yang ada dapat menentukan ciri protozoa yang menginfeksi (Noga 2010).

Kelompok Sporozoa antara lain terdiri dari Apicomplexa, Myxozoa dan Microspora. Golongan Sporozoa tidak memiliki alat gerak. Identifikasi dilakukan berdasarkan ukuran, jumlah dan bentuk spora. Apicomplexa terdiri dari satu kelas yaitu Sporozoa, contohnya Haemogregarina, Eimeria dan Goussia. Microspora

(23)

dan Myxozoa terdiri dari satu kelas yaitu Microsporea dan Myxosporea. Contoh Myxosporea antara lain Kudoa, Henneguya, dan Ceratomyxa. Microsporea contohnya Glugea, Pleistophora, dan Nosema (Moller, 1989).

Inang dapat mengalami kerusakan jaringan kulit yang parah akibat protozoa yang menginvasi permukaan kulit hingga menembus ke lapisan lebih dalam. Lesi berupa erosi epidermis serta degenerasi hingga nekrosa terjadi pada otot. Temuan patologi anatomi kulit ikan mengalami hemoragi di beberapa tempat diantaranya kulit daerah abdomen, lateral dan sekitar dorsal (Putri, 2013).

2.3.2. Krustasea

Krustasea dapat juga hidup dalam tubuh (endoparasit) maupun menempel pada tubuh ikan bagian luar (ektoparasit). Krustasea yang dapat menimbulkan penyakit adalah Copepoda, Isopoda, Amphipoda dan Cirripedia. Namun yang paling sering ditemukan pada ikan adalah Copepoda dan Isopoda. Copepoda berbahaya bagi kehidupan ikan karena selain bersifat sebagai parasit dapat juga menjadi inang perantara bagi sejumlah cacing cestoda dan nematoda. Di samping itu Copepoda dapat membantu penyebaran jamur-jamur yang bersifat parasit bagi ikan, misalnya jamur Ichtyophonus (Rahayu, 1986).

Beberapa kelompok dari Krustasea ada yang hidupnya sebagai parasit pada ikan laut. Keberadaan parasit Krustasea pada permukaan tubuh ikan dapat membahayakan kondisi ikan di perairan dan dapat menurunkan kualitas dari ikan.

Infeksi dari parasit Krustasea umumnya akan menyebabkan kerusakan beberapa jaringan tubuh, dan akibat dari kerusakan jaringan tersebut nantinya akan dapat mempermudah terjadinya infeksi sekunder yang dapat lebih membahayakan

(24)

kondisi ikan dan dapat menurunkan kualitas ikan (Hambarsika et al., 2014;

Widyastuti, 2002).

2.3.3. Digenea

Digenea sejauh ini merupakan kelompok endoparasit ikan metazoa yang paling spesifik dan telah mengembangkan siklus kehidupan mulai dari yang cukup sederhana hingga yang sangat kompleks. Cacing ini secara umum merupakan parasit usus, tetapi pada ikan juga ditemukan di bawah sisik, insang, gelembung renang, rongga tubuh, kandung kemih, kandung empedu, daging, ovarium dan sistem peredaran darah (Rohde, 2005).

Digenea pada ikan biasanya bersifat hermaprodit untuk menyesuaikan kondisi siklus hidupnya yang banyak berpindah tempat atau inang antara sehingga sedikit yang mampu mencapai inang definitif. Siklus hidup digenea dimulai dari telur yang hidup bebas di perairan menetas melalui terbukanya operkulum menjadi mirasidium. Kemudian menembus permukaan kulit inang antara pertama siput atau moluska yang akan berkembang menjadi serkaria (Jabal, 2015). Pada kondisi kurang menguntungkan digenea mampu berada di dinding mukosa (submukosa) sehingga sering mengakibatkan kerusakan pada saluran pencernaan, saluran empedu dan berada di darah inang yang dapat menyebabkan anemia (Grabda, 1991).

2.3.4. Nematoda

Nematoda merupakan jenis cacing gilig yang permukaan kulitnya dilapisi oleh kutikula (Buchmann dan Bresciani, 2001). Nematoda telah berhasil beradaptasi dengan hampir setiap ekosistem dari laut (air asin) sampai air tawar,

(25)

tanah, dan dari daerah kutub sampai daerah tropis, serta ketinggian yang tertinggi sampai yang terendah. Filum ini mewakili 90% dari seluruh hewan yang terdapat di dasar lautan (Danovaro et al., 2008). Jenis cacing ini ditemukan di seluruh bagian pada litosfer bumi (Borgonie et al., 2011).

Nematoda adalah parasit penting bagi banyak kelompok hewan laut termasuk ikan, mamalia laut, burung dan invertebrata (Rohde, 2015). Nematoda pada umumnya berbentuk simetris bilateral, silinder memanjang dan meruncing pada ujungnya. Ukuran bervariasi yaitu panjangnya kurang dari 1 mm hingga lebih dari 1 m bagi cacing dewasa (Roberts and Janovy 2005). Siklus hidup nematoda membutuhkan inang antara sebelum mendapatkan inang definitif. Ikan merupakan inang antara atau inang definitif nematoda. Ikan terinfeksi nematoda karena memakan crustacea seperti Copepoda, Amphipoda, Euphausiacea, dan Decapoda (Grabda, 1991).

2.3.5. Cestoda

Stadia larva maupun dewasa dari cacing pita cestoda sangat berbahaya bagi ikan. Stadia larva biasanya hidup pada saluran pencernaan makanan. Cacing cestoda dapat juga menjadi parasit bagi manusia, oleh karena itu pemanfaatan ikan yang mengandung parasit cestoda akan berbahaya bagi kesehatan manusia.

Ikan yang sering dimakan oleh manusia seperti hering, hake dan tuna, ternyata sering mengandung cacing cestoda. Pemerintah Meksiko pernah melarang penjualan ikan drum (Pogonius cromis) di pasaran karena ternyata mengandung larva cacing Poecilancistrium robustum yangcxdff- sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Rahayu, 1986).

(26)

Cacing cestoda tidak memiliki sistem pencernaan, menyerap nutrisi melalui lapisan luar tubuh khusus yang disebut neodermis. Cacing ini lebih erat terikat pada aspe biologi inangnya dibandingka kebanyakan parasit lainnya (Rohde, 2005). Memurut Mackiewicz (1988), siklus hidup cestoda telah menjadi

‘diinterpolasi terhadap inangnya secara biologi. Dengan beberapa pengecualian, siklus kehidupan cacing pita tidak memiliki tahap hidup bebas dan bergantung alih-alih pada dinamika alami dari jaring makanan untuk memengaruhi transfer antar kelompok inang.

2.3.6. Acanthocephala

Cacing berkepala berduri ini ditemukan sebagai parasit pada pinnipeds, cetacea, dan berang-berang di seluruh dunia. Cacing ini juga ditemukan pada ikan laut dan biasanya dijumpai pada stadia larva dan dewasa. Cacing ini banyak dijumpai pada saluran pencernaan dan tubuh ikan. Hewan vertebrata adalah inang terakhirnya, meskipun temuan terbaru menunjukkan bahwa spesies ichthyoparasitic laut tertentu dapat dewasa dalam tubuh cumi-cumi (Rohde, 2005;

Rahayu, 1986).

Tubuh acanthocephala yang khas terdiri dari metasoma (batang) yang terletak di dalam lumen usus inang, dan presoma (belalai dan leher) dimasukkan ke dalam dinding usus. Proses pengidentifikasiannya dalam taksonomi, diharuskan untuk menghitung jumlah kait pada belalai dan cacing diukur dalam keadaan rileks. Acanthocephala tidak memiliki usus. Mereka menyerap nutrisi mereka melalui kripta padat dari membran luar metasoma dari lumen usus (Rohde, 2005).

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2019. Sampel ikan diambil dari nelayan tradisional Sibolga yang menangkap di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara dalam rentang waktu dua minggu. Identifikasi endoparasit dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Sumatera Utara.

3.2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam pengambilan ikan dan identifikasi parasit yaitu ice box, cool box 12L (Marina Cooler 18S), penggaris 30 cm, timbangan, satu set alat bedah, botol sampel (100 ml), cawan petri (100 mm x 15 mm), object glass (25,4 x 76,2 mm), cover glass (22 x 22 mm), mikroskop cahaya (Olympus CX22), pipet tetes, kertas label, erlenmeyer (500 ml), dan gelas kimia (100 ml) dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan panjang total antara 29-42 cm dan berat total antara 380-1300 gram, aquades, larutan neutral buffered formalin 10%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95%, alkohol asam (alkohol 70% + HCl) dan alkohol basa (alkohol 70% + NaHCO3), KOH 10%, larutan aceto-carmine, xylol, dan kutex bening.

(28)

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan pengambilan langsung pada masing-masing lokasi penelitian. Sampel diambil menggunakan teknik random sampling, memberikan kesempatan seluruh populasi Ikan Cakalang yang ditangkap untuk dipilih sebagai anggota sampel secara acak.

3.4. Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 3. Diagram alir penelitian Penentuan lokasi pengambilan sampel ikan

Persiapan alat dan bahan

Pengambilan sampel ikan dari kapal nelayan

Pengukuran panjang total dan berat ikan

Pengambilan organ pencernaan untuk difiksasi

Pemeriksaan endoparasit pada saluran pencernaan

Pewarnaan, Pengawetan, dan Identifikasi

(29)

3.5. Prosedur Kerja 3.5.1. Pengambilan Sampel

Sampel Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diambil adalah ikan yang masih segar. Ikan didapatkan dari hasil tangkapan nelayan tradisional Sibolga yang menangkap ikan di Perairan Samudera Hindia Provinsi Sumatera Utara. Sampel ikan diambil secara acak dengan total sebanyak 50 ekor ikan dengan dua kelas ukuran panjang yaitu 29-35 cm dan 36-42 cm tanpa menunggu laporan atau informasi terjadinya infeksi endoparasit.

3.5.2. Teknik Parasitologi

Sampel yang telah diambil kemudian diukur panjang dan beratnya. Organ ikan yang akan diperiksa adalah saluran pencernaan (usus), lambung, hati, dan ginjal. Spesimen ikan dibedah dengan cara dibuat sayatan pada bagian ventral ikan mulai dari operkulum hingga ke arah posterior sampai ke arah kloaka.

Setelah itu saluran pencernaan yang akan diperiksa kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel 100 ml berisi larutan fiksatif neutral buffered formalin 10%. Masing-masing botol sampel kemudian diberi kode dan dimasukkan ke dalam cool box.

Identifikasi endoparasit dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Sumatera Utara.

Pemeriksaan organ usus dan lambung dilakukan metode natif.

Metode natif dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Mengeluarkan isi saluran pencernaan (usus dan lambung) dengan dikerik menggunakan spatula

(30)

2. Isi saluran pencernaan yang telah keluar kemudian ditampung dalam cawan petri lalu dipindahkan ke object glass, ditetesi air dan ditutup cover glass 3. Kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x.

4. Dinding bagian saluran pencernaan diperiksa kembali untuk mengambil parasit yang menempel pada dinding organ

Spesimen yang didapatkan selanjutnya diteruskan ke tahap pengawetan ataupun pewarnaan endoparasit.

3.5.3. Pewarnaan Endoparasit

Pewarnaan endoparasit bertujuan untuk memudahkan identifikasi dan untuk mengawetkan preparat agar tahan lama. Pewarnaan menggunakan metode Semichen-Acetic Carmine. Pewarnaan cacing dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Spesimen parasit yang akan diwarnai terlebih dahulu ditetesi alkohol 70%

dan dikeringkan selama selama 1 menit.

2. Bagi spesimen cacing filum nematoda dan crustacea terlebih dahulu direndam dalam KOH 10% selama 1-3 menit untuk menipiskan kutikula dan epikutikula (tegumen) agar transparan. Selanjutnya dilakukan tahap pewarnaan.

3. Spesimen parasit yang akan diwarnai ditetesi dengan larutan carmine yang sudah diencerkan dengan alkohol 70% dengan perbandingan 1 : 2 dan didiamkan selama 3 jam

4. Kemudian ditetesi/dicuci dengan larutan alkohol asam (alkohol 70% + HCl) dan didiamkan selama dua menit.

(31)

5. Lalu ditetesi dengan larutan alkohol basa (alkohol 70% + NaHCO3) dan didiamkan selama 2 menit

6. Selannjutnya dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol 70%, alkohol 80% dan alkohol 95% masing-masing selama 5 menit.

7. Selanjutnya clearing untuk membuat spesimen transparan menggunakan xylol hingga kering.

8. Spesimen parasit kemudian dilapisi kutex bening sebagai perekat saat ditutup dengan cover glass.

9. Kemudian preparat dikeringkan selama 1 jam.

3.6. Analisis Data

Pada penelitian ini parameter utama yang diamati meliputi tingkat prevalensi dan jenis endoparasit yang menginfeksi ikan tongkol. Prevalensi infeksi endoparasit dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Parameter penunjang pada penelitian ini adalah ukuran ikan yang meliputi panjang dan berat tubuh ikan. Data parameter penunjang ini digunakan sebagai data pelengkap parameter utama.

Jenis dan jumlah parasit dari hasil pemeriksaan dicatat, dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

Prevalensi = Jumlah ikan yang terinfeksi

Jumlah ikan yang diperiksa x 100%

(32)

Tabel 1. Kategori prevalensi endoparasit

Prevalensi (%) Kategori Infeksi Keterangan

<0,01 Hampir tidak pernah Infeksi tidak pernah

<0,1-0,01 Sangat jarang Infeksi sangat jarang

<1–0,1 Jarang Infeksi jarang

1–9 Kadang Infeksi kadang

10–29 Sering Infeksi sering

30–49 Umumnya Infeksi biasa

50–69 Sangat sering Infeksi sangat sering

70–89 Biasanya Infeksi sedang

90–98 Hampir selalu Infeksi parah

99-100 Selalu Infeksi sangat parah

Sumber: Williams dan Williams, 1996

(33)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Identifikasi Endoparasit

Sebanyak 50 ekor Ikan Cakalang yang diperiksa dengan ukuran panjang antara 39-42 cm dan berat 390-1200 gram. Seluruh ikan ditemukan terinfeksi oleh endoparasit cacing pada saluran pencernaan terutama di bagian usus dan hanya beberapa ikan yang terinfeksi di bagian lambung. Namun tidak ditemukan jenis endoparasit lain yang menginfeksi Ikan Cakalang tersebut.

Tabel 2. Identifikasi endoparasit yang menyerang saluran pencernaan Ikan Cakalang

Filum Kelas Ordo Family Genus Total

(Ind) Acanthoce

phala

Palaecantho cephala

Echinorhy nchida

Echinorhyn chidae

Echinorhynchus 485 Acanthocephalus 16 Pomphorhy

nchidae

Pomphorhynchus 12 Rhadinorhy

nchidae

Rhadinorhynchus 108 Leptorhynchoides 38 Eocanthoce

phala

Neoechino rhynchida

Neoechinor hynchidae

Neoechinorynchus 58 Archiacanth

ocephala

Apororhyn chida

Apororhync hidae

Apororhynchus 2 Nemathel

minthes

Nematoda Ascaridia Anisakidae Anisakis 1

Cacing parasitik yang ditemukan menginfeksi saluran pencernaan Ikan Cakalang ini didominasi oleh filum Acanthocephala dan hanya ditemukan satu jenis cacing parasit yang berasal dari filum Nemathelminthes. Terdapat

(34)

tujuh genus cacing filum Acanthocephala yaitu Echinorhynchus sp., Acanthocephalus sp., Pomphorhynchus sp., Leptorhynchoides sp., Rhadinorhynchus sp., Neoechinorhynchus sp., dan Apororhynchus sp. (Gambar 4- 10). Namun, hanya terdapat satu genus Anisakis sp. (Gambar 11) yang berasal dari filum cacing Nemathelminthes (tabel 2).

Gambar 4. Echinorhynchus sp. (a. Anterior, b. Posterior Betina, c. Posterior Jantan, P: Belalai) perbesaran 40x (c) dan 100x (a, b)

Gambar 5. Acanthocephalus sp. (a. Anterior, b. Posterior Betina, c. Posterior

Jantan, P: Belalai) perbesaran 40x

a b c

P

a b c

P

(35)

Gambar 6. Pomphorhynchus sp. (a. Anterior, b Posterior Betina, c. Posterior Jantan, P: Belalai, FN: False Neck) perbesaran 40x (c) dan 100x (a, b)

. Gambar 7. Leptorhynchoides sp. (a. Anterior, b. Posterior Betina, c. Posterior

Jantan, P: Belalai, CG: Kelenjar Semen) perbesaran 40x (a dan c) dan 100x (b)

Gambar 8. Rhadinorhynchus sp. (a. Anterior, b. Posterior Betina, c. Posterior Jantan, P: Belalai, CG: Kelenjar Semen, T: Duri) perbesaran 40x (b dan c) dan 100x magnification (a)

a b c

P

FN

a b c

P

CG

CG

T P

a b c

(36)

Gambar 9. Neoechinorhynchus sp. (a. Anterior, b. Posterior Betina, c. Posterior Jantan, P: Belalai) perbesaran 40x (b) dan 100x (a, c)

Gambar 10. Apororhynchus sp. (a. Anterior, b. Posterior, c. Seluruh tubuh, H:

Kepala) perbesaran 40x (a, b)

Gambar 11. Anisakis sp. (a. Posterior, b. Anterior, M: Mukron, B: Bibir, V:

Ventriculus) perbesaran 40x (c) dan 100x (a dan b)

a

P

b c

a b

c

H

a b c

M B

V

(37)

Tabel 3. Infeksi cacing endoparasit berdasarkan kelompok ukuran ikan Kelompok

Ukuran (cm)

Cacing Endoparasit*

1 2 3 4 5 6 7 8

29-35 v v v V v v - -

36-42 v v v V v v v v

*1 = Echinorhynchus; 2 = Acanthocephalus; 3 = Pomphorhynchus;

4 = Leptorhynchoides; 5 = Rhadinorhynchus; 6 = Neoechinorhynchus; 7 = Apororhynchus; 8 = Anisakis

Keterangan: v = terinfeksi - = tidak terinfeksi

Jenis cacing yang menginfeksi ikan yang berukuran kecil pada kelompok ukuran pertama (29-35 cm) lebih sedikit dibandingkan ikan yang berukuran besar pada kelompok ukuran kedua (36-42 cm) (tabel 3, lampiran 6). Selain itu, pada kedua kelompok ukuran ikan, cacing Echinorhynchus sp. merupakan cacing yang jumlahnya lebih banyak menginfeksi Ikan Cakalang dibandingkan jenis cacing lainnya (gambar 12, lampiran 6).

Gambar 12. Perbandingan jumlah dan jenis cacing endoparasit antar dua kelompok ukuran ikan

0 50 100 150 200 250 300 350

Jumlah (ind)

Cacing Endoparasit

29-35 cm 36-42 cm

(38)

4.1.2. Prevalensi Endoparasit

Prevalensi encoparasit cacing yang ditemukan menyerang saluran pencernaan Ikan Cakalang memiliki nilai yang berbeda tiap genusnya. Data hasil perhitungan prevalensi cacing endoparasit pada Ikan Cakalang dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Prevalensi endoparasit yang menyerang saluran pencernaan Ikan Cakalang

Jumlah sampel yang diperiksa

Jumlah sampel yang terinfeksi

Jenis

Prevalensi (%)

Usus Lambung

50 50 Echinorhynchus sp. 100 4

11 Acanthocephalus sp. 22 0

10 Pomphorhynchus sp. 20 0

20 Leptorhynchoides sp. 40 0

32 Rhadinorhynchus sp. 62 2

25 Neoechinorynchus sp. 50 0

2 Apororhynchus sp. 4 0

1 Anisakis sp. 2 0

Berdasarkan tabel perhitungan prevalensi cacing endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara memiliki nilai yang berbeda-beda. Tingkat prevalensi cacing Echinorhynchus sp. merupakan yang tertinggi, ia menginfeksi seluruh sampel uji yaitu 100% pada organ usus dan menginfeksi dua ekor sampel dengan prevalensi 4% pada organ lambung, cacing Acanthocephalus sp. sebesar 22% dan menginfeksi 11 ekor sampe pada organ usus, Pomphorhynchus sp. sebesar 20%

(39)

menginfeksi 20 ekor sampel memiliki tingkat prevalensi 40% pada organ usus, Rhadinorhynchus sp. menginfeksi 31 ekor sampel pada organ usus dengan tingkat prevalensi 62% dan seekor ikan pada organ lambung dengan prevalensi 2%, Neoechynorhynchus sp. dengan tingkat prevalensi 50% menginfeksi 25 ekor sampel pada organ usus, Apororhynchus sp. dengan tingkat prevalensi 4% hanya menginfeksi dua ekor sampel pada organ usus, sedangkan Anisakis sp. hanya memiliki tingkat prevalensi sebesar 2% dan meginfeksi satu ekor sampel pada organ usus.

Gamba 13. Perbandingan prevalensi cacing endoparasit antar dua kelompok ukuran ikan

Nilai prevalensi cacing endoparasit antar dua kelompok ukuran ikan diketahui bahwa kelompok ukuran pertama memiliki nilai prevalensi yang lebih tinggi daripada kelompok ukuran kedua pada semua jenis cacing kecuali cacing Echinorhynchus sp. (gambar 13). Cacing Echinorhynchus sp. pada kedua kelompok berhasil mencapai tingkat infeksi sebesar 100%, sedangkan cacing

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

Prevalensi (%)

Cacing Endoparasit

29-35 cm 36-42 cm

(40)

pertama dan 25% pada kelompok ukuran kedua. Cacing endoparasit lain pada kelompok ukuran pertama dan kedua masing-masing tingkat prevalensinya yaitu Neuechinorhynchus sp. 73% dan 25 %, Leptorhynchoides sp. 57,7% dan 20,8%, Pomphorhynchus sp. 30,8% dan 8,3%, dan Acanthocephalus sp. dengan tingkat infeksi 23% dan 20,8%. Sedangkan, Apororhynchus sp. dan Anisakis sp. hanya ditemukan menginfeksi kelompok ukuran kedua dengan tingkat infeksi masing- masing 8,3% dan 4,2%.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Identifikasi Endoparasit

Ikan Cakalang termasuk ikan pelagis yang beruaya jauh (highly migratory) di wilayah Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) suatu negara (Firdaus, 2018). Komponen parasit yang menginfeksi ikan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik suatu perairan. Kabata (1985) menyebutkan faktor-faktor tersebut berasal dari faktor fisika dan kimia air, adanya inang bagi parasit, dan berbagai organisme patogen di lingkungan yang memungkinkan untuk menginfeksi ikan. Namun, parasit krustasea dan protozoa yang mungkin menyerang ikan diperkirakan telah mengalami kerusakan jaringan saat perlakuan penanganan ikan di atas kapal, penyimpanan di dalam palka, sampai kegiatan bongkar muat. Hal ini dikarenakan jenis parasit yang berukuran mikroskopis tersebut biasanya rentan rusak khususnya jika ikan disimpan dengan suhu rendah di bawah 4 0C. Berbeda dengan cacing parasit, struktur tubuh yang lebih makro dan kasat mata, serta akan mengalami kerusakan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan krustasea dan protoza. Sehingga menyebabkan cacing endoparasit lebih sering ditemukan pada

(41)

ikan-ikan hasil tangkapan nelayan yang berlayar selama dua minggu atau lebih, terutama pada Ikan Cakalang pada penelitian ini.

Terdapat delapan jenis cacing endoparasit yang menginfeksi saluran pecernaan Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara, tujuh di antaranya berasal dari filum Acanthocephala atau disebut juga dengan cacing berkepala duri, yaitu Echinorhynchus sp., Acanthocephalus sp., Pomphorhynchus sp., Leptorhynchoides sp., Rhadinorhychus sp., Neoechinorhynchus sp., dan Apororhynchus sp. Sedangkan hanya ditemukan seekor cacing Anisakis sp. yang berasal dari filum Nemathelminthes.

Keberadaan cacing parasit acanthocephala dan nematoda pada saluran pencernaan ikan kemungkinan berasal dari host inang sementara cacing parasit seperti arthropoda maupun ikan-ikan kecil lainnya yang dimakan oleh Ikan Cakalang. Ikan ini merupakan ikan karnivora (Azwir et al., 2004). FAO (1983) menyebutkan bahwa makanan utama Ikan Cakalang adalah ikan-ikan kecil, crustacea, dan moluska.

Spesies Echinorhynchus sp. (gambar 4) biasanya berperan sebagai parasit pada ikan laut (Wayland et al., 2015). Cacing ini ditandai dengan belalai pendek berduri dan berbentuk silinder serta leher yang pendek (Arai, 1989). Struktur tubuh cacing betina diketahui lebih besar daripada jantan. Secara umum, Amin (2016) menyatakan bahwa bentuk batang tubuhnya silindris dan melebar pada sepertiga bagian anterior lalu semakin meruncing ke bagian posteriornya. Selain itu, Arai (1989) juga menyebutkan bahwa ganglion Echinorhynchus sp. terhubung ke bagian tengah tubuh pada ujung bawah belalainya.

(42)

Sebaliknya cacing Acanthocephalus sp. (gambar 5) yang ditemukan pada Ikan Cakalang memiliki leher yang panjang serta probosis yang sedikit membengkak dan pendek. Ganglion berada di dasar bagian ujung belalai (Arai, 1989). Namun, jika dilihat sekilas dari bentuk tubuhnya, maka akan terlihat sangat mirip dengan Echinorhynchus sp. Untuk dapat memastikan jenis cacing, pewarnaan dan pemeriksaan harus dilakukan menggunakan mikroskop. Cacing ini memiliki tubuh tanpa duri, berbentuk anak panah yang semakin meruncing ke kedua ujung tubuhnya. Dinding tubuh tertipis berbada di bagian anterior dan ventral (Amin et al., 2014).

Pomphorhynchus sp. (gambar 6) ditandai oleh belalai yang didukung oleh leher yang sangat panjang (>1 mm) bila dibandingkan dengan leher belalai Echinorhynchus sp. dan Acanthocephalus sp. Leher ini disebut juga dengan false neck atau pseudo neck (Arai, 1989). Ia memiliki rongga kulit yang tipis dan tidak terdapat duri di bagian batang tubuhnya.

Sedangkan, karakteristik cacing Leptorhynchoides sp. (gambar 7) dapat dilihat dari belalai berbentuk silinder yang sangat panjang dan tubuh silinder tanpa duri. Steinauer dan Nickol (2015) menyatakan bahwa dimorfisme seksual cacing ini dapat dilihat dari ukurannya, ukuran tubuh betina selalu lebih besar daripada jantan.

Rhadinorhynchus sp. (gambar 8) secara umum, struktur tubuh betina lebih besar daripada jantan. Batang tubuhnya agak kecil, silindris dan melengkung ke belakang. Terdapat dua bidang tubuh yang dipisahkan oleh zona tanpa duri, lalu melebar ke arah posterior. Belalai luarnya jauh lebih panjang daripada belalai dengan ganglion cephalic di dekat bagian tengah (Amin dan Heckman, 2017).

(43)

Terkadang, cacing ini terlihat mirip dengan Leptrhynchoides sp., perbedaan yang paling mencolok adalah pada bagian-bagian tubuhnya, Arai (1989) menyatakan bahwa Rhadinorhynchus sp. memiliki batang tubuh anterior yang berduri dan dua kelenjar semen sedangkan Leptrhynchoides sp. memiliki batang tubuh tanpa duri dengan delapan kelenjar semen.

Cacing Neoechinorhynchus sp. (gambar 9) memiliki belalai kecil dan bentuk membulat (Briones et al., 2015). Tubuhnya pendek dengan belalai yang kecil dan berbentuk persegi panjang. Belalai tersebut memiliki kait yang membentuk tiga lingkaran dan setiap lingkaran memiliki enam kait (Arai, 1989;

Amin et al., 2014). Batang tubuh memanjang, silinder dan ramping, sedikit lebih lebar pada bagian anterior. Tekadang, punggung tubuh terlihat seperti beprunuk (Amin et al., 2019).

Namun, Apororhynchus sp. (gambar 10) ditandai oleh kepala belalainya yang lebih halus, besar dan lebih penuh dibandingkan dengan cacing endoparasit lainnya yang ditemukan pada penelitian ini. Sangat sedikit informasi yang menjelaskan tentang cacing ini secara umum. Cacing ini biasanya ditemukan lebih banyak menginfeksi burung daripada ikan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa burung menjadi perantara yang membawa cacing ini ke lautan. Pada tahun 1899, Shipley merubah nama genus Arhynchus menjadi Apororhynchus. Genus Arhynchus seseungguhnya memiliki arti ‘tanpa belalai’ (Das, 1950; Shipley, 1987; Shipley, 1899). Spesies ini memiliki batang tubuh yang berbentuk kerucut dan pendek, memiliki sedikit leher atau bahkan tidak mempunyainya sama sekali.

Belalai itu besar, bundar, dengan banyak duri yang tidak berakar yang diatur secara spiritual biasanya tidak mencapai permukaan, atau tanpa duri sama sekali

(44)

(Amin, 1987). Pada penelitian ini, Apororhynchus sp. ditemukan tanpa memeliki duri pada belalainya.

Cacing endoparasit Anisakis sp. (gambar 11) ini termasuk dalam kelas Nematoda (Grabda, 1991). Cacing ini berwarna putih dengan bentuk bulat memanjang (Linayati, 2018). Hasil penelitian menunjukan adanya bibir dan mukron pada bagian anterior dan posteriornya. Ukuran cacing ini kecil dan halus.

Kemampuan Anisakis sp. sebagai endoparasit dalam tubuh ikan ditunjang oleh sturuktur tubuh yang memiliki epidermis kulit yang mampu menjadi pelindung dari kerusakan oleh enzim-enzim pencernaan. Adanya kutikula yang disekresikan oleh kulit Anisakis sp. mampu melindungi Anisakis sp. dari enzim dalam usus halus (Linayati, 2018; Lorenzo, 2000).

Rahayu (1986) berpendapat bahwa cacing Acanthocephala yang ditemukan pada ikan laut biasanya ditemukan pada tahap larva dan dewasa. Hasil dari penelitian ini menemukan cacing acanthocephala yang menginfeksi Ikan Cakalang ialah cacing-cacing yang telah berada pada tahap dewasa. Dewasanya cacing ini pada saluran pencernaan inangnya juga dijelaskan oleh Margulis dan Chapman (2009), inang vertebrata biasanya terinfeksi dengan menelan larva infektif yang disebut cystacanth, larva ini terkandung di dalam inang perantara inverebrata yang terinfeksi. Di dalam usus, cacing betina dan jantan menjadi dewasa, kawin, dan bertelur. Sedangkan, cacing Anisakis sp. ditemukan dalam bentuk larva stadium tiga karena memiliki booring tooth atau gigi pengebor (Grabda, 1991). Cacing ini menjadikan ikan sebagai inang perantara yang kemudian dewasa pada tubuh mamalia laut. Beberapa penelitian lain pada ikan

(45)

laut seperti Herman (2014), Kurniawati (2014), dan Yani dan Susaniati (2017) juga menemukan cacing Anisakis sp. ini dalam bentuk larva stadium tiga.

4.2.2. Prevalensi Endoparasit

Pada penelitian ini, cacing Echinorhynchus sp. ditemukan dengan total jumlah paling banyak dibandingkan dengan cacing yang lain yaitu sebanyak 485 cacing. Cacing ini menginfeksi seluruh sampel Ikan Cakalang (50 ekor) pada organ usus dan dua ekor Ikan Cakalang pada organ lambung. Kemudian berturut- turut diikuti oleh 108 ekor cacing Rhadinorhynchus sp. yang menginfeksi 31 ekor Ikan Cakalang pada organ usus dan seekor Ikan Cakalang pada organ lambung, 58 ekor cacing Neoechinorhynchus sp. ditemukan menginfeksi 25 ekor ikan pada organ usus, sedangkan 38 ekor cacing Leptorhynchoides sp. menginfeksi organ usus 20 ekor Ikan Cakalang. Selanjutnya, 16 ekor cacing Acanthocephalus sp.

berhasil menginfeksi 11 organ usus Ikan Cakalang, 12 ekor cacing Pomphorhynchus sp. menginfeksi 10 organ usus Ikan Cakalang. Namun, infeksi yang paling sedikit ditemukan pada dua ekor cacing Apororhynchus sp. yang menginfeksi dua ekor Ikan Cakalang dan seekor cacing Anisakis sp. yang hanya menginfeksi seekor Ikan Cakalang pada organ usus.

Tingkat infeksi serangan cacing endoparasit berdasarkan Williams dan Williams (1996), cacing Echinorhynchus sp. berada pada kategori infeksi ‘selalu’

dengan tingkat prevalensi sebesar 100% pada organ usus dan kategori infeksi

‘kadang’ dengan tingkat prevalensi 4% pada organ lambung. Artinya, infeksi cacing ini pada usus termasuk infeksi sangat parah. Cacing ini didapati selalu menyerang seluruh individu ikan sampel di bagian usus dan hanya terkadang

(46)

Sumatera Utara. Sedangkan, pada urutan kedua dimiliki oleh cacing Rhadinorhynchus sp. yang mendapatkan kategori infeksi ‘sangat sering’ dengan tingkat prevalensi 62% pada organ usus, dan kategori infeksi ‘kadang’ dengan tingkat prevalensi 2% pada organ lambung . Hal ini menggambarkan cacing Rhadinorhynchus sp. sangat sering ditemukan menginfeksi Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara pada organ usus dan sama seperti Echinorhynchus sp. terkadang ditemukan menginfeksi organ lambung Ikan Cakalang.

Tidak jauh berbeda dengan Rhadinorhynchus sp., infeksi cacing Neoechinorhynchus sp. juga dikategorikan ‘sangat sering’ dengan tingkat prevalensi sebesar 50% pada organ usus. Berbeda dengan infeksi cacing Leptorhynchoides sp. yang memiliki tingkat prevalensi 40% pada organ usus yang dikategorikan ‘umumnya’ atau infeksi yang biasa pada Ikan Cakalang Selanjutnya infeksi oleh cacing Acanthocephalus sp. dan Pomphorhynchus sp. dikategorikan

‘sering’ dengan tingkat prevalensi masing-masing 22% dan 20% pada organ usus.

Keempat cacing tersebut sama sekali tidak ditemukan pada organ lambung.

Berbanding kontras dengan tingkat prevalensi 4% yang dimiliki oleh cacing Apororhynchus sp. dan 2% oleh cacing Anisakis sp. Berdasarkan Williams dan Williams (1996), kedua cacing ini termasuk dalam kategori infeksi ‘kadang’.

Artinya, infeksi dari cacing Apororhynchus sp. dan Anisakis sp. hanya terkadang didapati menginfeksi Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara.

Selain itu, kedua jenis cacing tersebut hanya menginfeksi organ usus dan tidak ditemukan menginfeksi organ lambung Ikan Cakalang tersebut.

(47)

Infeksi cacing parasit dari filum Acanthocephala juga pernah dilaporkan oleh Sabariah et al. (2018) pada Ikan Cakalang di perairan Manokwari, tingkat prevalensi cacing ini hanya sebesar 3,3% dan menyerang kulit ikan, cacing parasit yang mendominasi berasal dari cacing Trematoda dengan prevalensi 93,3%.

Namun, Diba dan Rahman (2019) hanya menemukan infestasi cacing endoparasit oleh cacing Anisakis sp. pada Ikan Cakalang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere dengan prevalensi 50%. Di samping itu, infeksi cacing dari filum Acanthocephala pada cakalang di saluran pencernaan secara umum diketahui dan didukung seperti penelitian dialporkan oleh Amin et al. (2019) di Pantai Pasifik Vietnam, Ikan Cakalang di Laut Oman (Sattari et al., 2014) dan Laut Batangas (Briones et al., 2015).

Dalam hal ini, tingkat infeksi berdasarkan prevalensi atau disebut juga insidensi hanya dapat mengambarkan frekuensi kejadian individu ikan terserang oleh masing-masing jenis parasit yang digolongkan pada beberapa kategori menurut Williams dan Williams (1996). Walaupun prevalensi parasit terhadap ikan memiliki nilai yang tinggi, gambaran tersebut hanya dapat menunjukkan jenis-jenis parasit yang sering ditemukan pada ikan. Untuk mengetahui tingkat serangan parasit termasuk membahayakan inang atau tidak, perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait intensitas parasit serta histopatologi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh parasit.

4.2.3. Perbandingan Infeksi terhadap Dua Kelompok Ukuran Ikan

Infeksi cacing parasit pada ikan ini juga dibandingkan antar dua kelompok ukuran panjang total Ikan Cakalang, yaitu kelompok ukuran pertama (kecil) atau

(48)

kedua (besar) yang kemudian disebut Cakalang. Jika dilihat dari perbandingan banyaknya jumlah cacing yang menginfeksi dan tingkat prevalensinya terhadap kedua kelompok ukuran ikan pada gambar 12 dan 13, ikan berukuran kecil diketahui menerima infeksi dan nilai prevalensi individu cacing endoparasit dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan berukuran besar. Hasil ini berbeda dengan laporan parasit yang menyerang ikan betok di perairan Aceh Utara (Maulana et al., 2017), ikan kereling (Tor Tambra) di perairan Nagan Raya (Muchlisin et al., 2014; Muchlisin et al., 2015), serta pada ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong (Kurniawati, 2014) yang menemukan tingkat prevalensi parasit pada ikan berukuran besar lebih tinggi dibandingkan ikan berukuran kecil.

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ukuran inang tidak selalu berbanding lurus terhadap tinggi atau rendahnya infeksi parasit. Umasugi dan Burhanuddin (2015) pada penelitiannya menemukan jumlah parasit dengan ukuran ikan tidak menunjukkan suatu hubungan yang mutlak, tidak dapat dipastikan bahwa dalam hal ukuran ikan tertentu maka parasit dapat menginfeksi tubuh inang, dengan kata lain ukuran berat dan panjang ikan tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat serangan parasit.

Tingginya serangan parasit pada ikan yang berukuran lebih kecil dibandingkan ikan berukuran besar dapat disebabkan oleh kerentanan ikan muda terhadap serangan parasit. Hal ini dikarenakan sistem imun pada hewan yang dewasa sudah terbentuk dengan sempurna, sehingga lebih tahan terhadap infeksi parasit. Ikan yang lebih muda biasanya lebih mudah terkena stress dibandingkan dengan ikan yang lebih tua. Stres akibat lingkungan pada ikan dapat

(49)

mengakibatkan menurunnya respon imun terhadap organisme penyebab penyakit.

Sari et al. (2015) menyebutkan bahwa ikan muda lebih rentan terserang penyakit terutama parasit karena memiliki respon antibodi yang lebih lemah daripada ikan dewasa.

Pada penelitian ini, jenis cacing parasit yang menginfeksi ikan berukuran besar lebih variatif dibandingkan dengan ikan berukuran kecil. Adanya variasi dari jumlah cacing ini disebabkan oleh banyak faktor seperti lokasi mencari makan, luasan dan lamanya migrasi ikan di perairan sehingga jenis makanan yang terinfeksi jenis parasit juga berbeda-beda antar dua kelompok ukuran ikan.

Sakthivel et al. (2014) menjelaskan dalam tingkat infeksimya, eksistensi cacing parasit tergantung dari hasil pemeriksaan habitat ikan dalam mencari makan dan adanya pengaruh perubahan iklim. Variasinya dalam tingkat parasitisme dapat dikaitkan dengan kondisi abiotik dan biotik dari lingkungan tempat studi dilakukan.

Perubahan umur ikan menyebabkan perubahan pada ukuran ikan, perubahan morfologi, perubahan fisiologi dan perubahan ekologi dari ikan.

Perubahan ini berkaitan erat dengan perubahan jenis makanan dari tiap umur atau ukuran ikan. Pola hubungan prevalensi dan ukuran ikan ini berbeda–beda untuk setiap jenis ikan dan ukuran ikan (Bawia et al., 2014). Klimpel et al. (2004) juga menyatakan bahwa pertambahan panjang tubuh ikan mengakibatkan semakin tinggi akumulasi parasit terhadap siklus hidup inang karena adanya pertambahan jumlah dan jenis makanan pada ikan yang lebih besar.

Selain itu, terjadinya parasit pada ikan inang juga dipengaruhi oleh suhu perairan yang berkorelasi terhadap cuaca. Suhu perairan samudera yang fluktuatif,

(50)

serta berbedanya titik migrasi gerombolan ikan kecil dan besar di perairan, juga dapat menyebabkan perbedaan jenis parasit yang menginfeksi kedua kelompok ukuran tersebut. Kennedy (2006) menjelaskan periodisitas musiman cacing-cacing ini. Cystacanth (larva) hadir dalam inang perantara dan tersedia untuk menginfeksi ikan sepanjang tahun. Sedangkan infeksi dalam inang definitif (vertebrata) juga menunjukkan siklus musiman, yaitu tertinggi di pertengahan musim panas dan terendah di musim dingin, dan betina dewasa ditemukan sepanjang tahun.

Dalam hal ini, kondisi suhu perairan yang tidak menguntungkan bagi ikan dapat mengganggu keseimbangan fisiologi ikan yang kemudian mendukung terjadinya infestasi dari parasit (Thompson dan Larsen, 2004). Suhu perairan yang buruk dapat mengubah fungsi kekebalan tubuh ikan (Rohlenova et al., 2011).

Secara signifikan, pencemaran lingkungan juga berkontribusi terjadap parasitisasi ikan (Kelly et al., 2010).

4.2.4. Dampak dan Saran Pengelolaan

Peran dari Acanthocephala dalam parasitisme dengan inangnya lebih rumit dari sekedar parasit pada usus ikan biasanya. Ikan yang terinfeksi cacing parasit dapat menjadi lebih kurus dengan saluran usus yang meradang dan terjadi nekrosis pada jaringan dinding usus tempat cacing melekat (Lampiran 5-d). Hal ini dikarenakan menurunnya daya ikan dalam menyerap nutrisi dari makanan karena nutrisi tersebut juga diserap oleh cacing parasit. Jithendran dan Kannappan (2010) menyatakan bahwa pada ikan yang sangat terinfeksi oleh acanthocephala dapat melubangi dinding perut dan menyebabkan kerusakan parah dan reaksi peradangan lokal. Penyelidikan saat ini menunjukkan bahwa beberapa spesies

(51)

inang menyimpan cacing besar yang dengan mudah menembus ke dalam usus. Di inang lain, cacing yang terkandung relatif sama dan hanya menyebabkan lesi superfisial pada dinding usus (Taraschewski, 1988).

Cacing acanthocephala menempel pada dinding usus inang menggunakan belalainya, kemudian menyebabkan kerusakan jaringan yang luas dan menyebabkan potensi kematian di berbagai vertebrata (Nickol dan Crompton, 1983). Namun Reyda et al. (2011) menemukan dalam penelitiannya, pengamatan terhadap kerusakan usus yang disebabkan oleh acanthocephala sangatlah luas pada tingkat lapisan mukosa usus. Meskipun tidak ada kasus tentang perforasi usus dalam pengamatannya, robeknya sel-sel epitel dan gangguan mikrovili dan lamina propria yang mendasarinya meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri.

Meskipun kelekatan parasit mungkin bukan satu-satunya penyumbang kematian hewan pada umumnya (Nickol dan Crompton, 1983), efek cacing ini dapat mengganggu kesehatan inang (Bullock, 1963) meskipun sulit untuk mengukur kesehatan populasi ikan di perairan. Parasit umumnya dapat ditularkan dari makanan, terutama yang tidak diproses secara memadai. Salah satu penyebab yang mungkin terjadi ialah sifat kerentanan ikan, terutama dari perairan yang tidak sehat (Muchlisin et al., 2014; Muchlisin et al., 2015; Muchlisin et al., 2018).

Penemuan endoparasit cacing pada penelitian ini diperkirakan berhubungan erat dengan potensi pencemaran di wilayah perairan tersebut.

Khususnya, cacing acanthocephala yang dominan ditemukan diduga disebabkan oleh adanya potensi limbah logam yang berasal dari limbah kapal-kapal penangkap ikan yang dapat menjadi sumber pencemaran logam di wilayah

(52)

perairan tersebut. Cacing ini memiliki kemampuan untuk mengakumulasikan logam berat dalam konsentrasi yang lebih tinggi (Sures et al., 1999; Hassanie et al., 2019). Selain itu, ditemukannya sejenis cacing Anisakis sp. juga menggambarkan adanya sumber pencemaran lain yang dapat menyebabkan meningkatnya potensi parasit ini di masa yang akan datang. Sehingga, dikhawatirkan Ikan Cakalang pada perairan tersebut mengalami penurunan produktivitas dan penurunan bobot ikan dari masa ke masa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, Ikan Cakalang yang diteliti berasal dari hasil tangkapan di wilayah perairan Sibolga hingga Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Namun, Sitanggang (2015) menjelaskan wilayah penangkapan (fishing ground) Ikan Cakalang oleh nelayan Sibolga biasanya yang potensial hanya ditemukan di sekitar Pulau Dua, Aceh. Sedangkan daerah penangkapan dengan kategori sedang terdapat pada wilayah Perairan Pulau Mursala, Pulau Ilir dan Sikara-kara, Sumatera Utara.

Oleh karena wilayah penangkapan secara umum masih dalam pengelolaan pemerintah Sumatera Utara dan adanya parasit erat dikaitkan dengan potensi pencemaran, maka diharapkan pemerintah, stakeholder, dan masyarakat dapat bekerjasama untuk mengurangi pembuangan limbah yang dapat meningkatkan pencemaran di wilayah tersebut. Penelitian lanjutan terhadap sumber pencemaran pada perairan serta makanan dan kebiasaan makan Ikan Cakalang di perairan ini dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pengelolaan.

(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Cacing parasitik yang ditemukan menginfeksi saluran pencernaan Ikan Cakalang yaitu Echinorhynchus sp., Acanthocephalus sp., Pomphorhynchus sp., Leptorhynchoides sp., Rhadinorhynchus sp., Neoechinorhynchus sp., dan Apororhynchus sp., dan Anisakis sp.

2. Prevalensi cacing endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan Ikan Cakalang yaitu cacing Echinorhynchus sp. 100%, Acanthocephalus sp. 22%, Pomphorhynchus sp. 20%, Leptorhynchoides sp 40%, Rhadinorhynchus sp.

64%, Neoechynorhynchus sp. 50%, Apororhynchus sp. 4% dan Anisakis sp.

2%/

5.2. Saran

Dengan ditemukannya cacing filum Acanthocephala yang dominan dan adanya Nemathelminthes pada penelitian ini, maka diperlukan pengolahan yang baik pada ikan tersebut untuk kebutuh konsumsi demi mencegah terjadinya penularan maupun efek alergi dari polutan laut. Selain itu, juga dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya dan pemerintah untuk mengelola hingga menemukan solusi terhadap dampak perkembangan parasit ini di masa yang akan datang. Khususnya, rujukan dalam ketahanan pangan serta pengelolaan lingkungan.

Gambar

Gambar 1. Bagan kerangka konseptual penelitian Perikanan Tangkap Permintaan Pasar Terhadap Ikan Ikan Konsumsi yang Digemari Ikan Cakalang Penyakit  Pencemaran  Kualitas air menurun Parasit Virus Bakteri Jamur Ektoparasit Endoparasit Patogen Lingkungan Inan
Gambar 2. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Gambar 4.  Echinorhynchus  sp.  (a.  Anterior,  b.  Posterior  Betina,  c.  Posterior  Jantan, P: Belalai) perbesaran 40x (c) dan 100x (a, b)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dinamika populasi ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis, Linnaeus) di perairan Selat Makassar yang merupakan bagian Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 713 (WPP

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran pada masing-masing musim, ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran layak tangkap ikan cakalang di perairan

Tuna (Thunnus sp) dan Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan sumberdaya ikan pelagis besar yang banyak dieksploitasi oleh nelayan di wilayah perairan Teluk Bone

Selain itu juga, terdapat pola pertumbuhan ikan cakalang yang berbeda pada perairan di perairan sekitar Pulau Seram Selatan dan Pulau Nusa Laut yang memiliki pola

Dari penelitian penulis di perairan Bitung terungkap bahwa bulan Februari, Maret, dan April sebagai musim tangkap ikan cakalang (Kekenusa, 2006). Bukan musim tangkap II

Perkiraan laju kematian alami (M) tongkol komo di Perairan Barat Sumatera sebesar 1,07 cenderung lebih tinggi dari pada lokasi lainnya di Samudera Hindia, kecuali di

Dinamika populasi ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis, Linnaeus) di perairan Selat Makassar yang merupakan bagian Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 713 (WPP

Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan cacing nematoda yang menginfeksi saluran pencernaan anak babi yang dijual di pasar tradisional di wilayah