• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDALAMAN MATERI PAJAK. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPN BM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDALAMAN MATERI PAJAK. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPN BM)"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)PENDALAMAN MATERI PAJAK Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPN BM). Nama Penulis: Ponty SP Hutama, S.E., M.Si., Ak., CA. Amanita Novi Yushita, S.E., M.Si.. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Sarjana dan Sarjana Terapan Akuntansi 2019. 1.

(2) DAFTAR ISI KEGIATAN BELAJAR 3: PPN & PPN BM ........................................................................................ 3 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 3. A. 1.. DESKRIPSI SINGKAT ............................................................................................................... 3. 2.. RELEVANSI ............................................................................................................................... 3. 3.. PETUNJUK BELAJAR ............................................................................................................... 4 INTI................................................................................................................................................ 4. B. 1.. CAPAIAN PEMBELAJARAN .................................................................................................... 4. 2.. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA DAN POKOK MATERI......................................... 5. 3.. POKOK-POKOK MATERI ......................................................................................................... 5. 4.. URAIAN MATERI...................................................................................................................... 6. 5. C.. a.. DASAR-DASAR PPN & PPN BM .......................................................................................... 6. b.. PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) ........................................................... 8. c.. OBJEK PPN .......................................................................................................................... 12. d.. TARIF DAN DASAR PENGENAAN PAJAK ....................................................................... 32. e.. JENIS-JENIS DPP ................................................................................................................. 35. f.. FAKTUR PAJAK .................................................................................................................. 39. g.. PENGHITUNGAN PPN ........................................................................................................ 49. h.. SPT MASA PPN .................................................................................................................... 54 FORUM DISKUSI .................................................................................................................... 62. PENUTUP .................................................................................................................................... 63 RANGKUMAN ................................................................................................................................ 63. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 67. 2.

(3) PPN & PPN BM A. PENDAHULUAN 1. DESKRIPSI SINGKAT Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tuntutan pembiayaan APBN dari sektor perpajakan yang setiap tahun semakin meningkat sangat dirasakan bahwa pajak merupakan suatu kebutuhan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN BM) merupakan salah satu jenis pajak pusat yang kewenangan pemungutannya berada di Direktorat Jenderal Pajak. Sistem self assessment yang dianut oleh sistem perpajakan memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak diwajibkan menghitung, menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Dalam sistem ini aparat pajak berperan dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan dari wajib pajak. Dalam rangka efektifitas administrasi perpajakan dan memberikan keadilan, merupakan suatu keharusan bagi setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak mempunyai penguasaan ketentuan PPN dan PPN BM sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.. 2. RELEVANSI Pelatihan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan ini memberikan bekal bagi guru agar siap menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Penyelenggara pelatihan bertanggungjawab untuk menyelenggarakan administrasi empat jenis pajak, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan, perkebunan, dan perhutanan, dan Bea Meterai. Oleh karena itu, peserta pelatihan harus memahami jenis-jenis pajak tersebut. Kegiatan Belajar 3 (KB3) ini memberika gambaran secara utuh mengenai ketentuan PPN dan PPN BM, yang meliputi dasar-dasar PPN dan ketentuan pengenaan PPN dan PPN BM dalam Undang Undang PPN 1984 dan perubahannya meliputi; pengukuhan pengusaha kena pajak,. 3.

(4) objek PPN, faktur pajak, pemungut PPN, pemberian fasilitas dan restitusi. Selain itu modul ini juga membahas penghitungan PPN dan PPN BM sampai dengan pengisian surat pemberitahuan (SPT).. 3. PETUNJUK BELAJAR Agar peserta berhasil menguasai materi-materi pajak di atas, ikutilah petunjuk belajar berikut: a. Baca capaian/sub-capaian dengan cermat sebelum membaca materi kegiatan belajar. b. Baca materi kegiatan belajar dengan cermat. c. Kerjakan latihan sesuai petunjuk/rambu-rambu yang diberikan. Jika tersedia kunci latihan, janganlah melihat kunci sebelum mengerjakan latihan. d. Baca rangkuman, kemudian kerjakan tes formatif secara jujur tanpa terlebih dahulu melihat kunci. e. Pajak selalu dan selalu berubah, baik dari aspek undang-undang dan peraturan di bawahnya (Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak, dll). Kadangkala dan bahkan tidak jarang, ketika buku/modul tentang pajak terbit, seketika itu pula ada undang-undang atau peraturan yang berubah. Oleh sebab itu, cara belajar pajak yang terbaik, disamping menggunakan buku atau modul, peserta harus selalu mencari informasi terbaru secara mandiri dengan menggunakan internet (misalnya dengan mesin cari, google search, selalu kunjungi website resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP): www.pajak.go.id, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, ortax.org, dll). Selain website, medsos juga penting untuk disimak, antara lain follow akun Instagram (IG) ortax, ddtc, ddtcindonesia, ditjenpajakri, dan sebagainya. f. Jika petunjuk di atas Anda ikuti dengan disiplin, Anda akan berhasil.. g. Selamat belajar. B. INTI 1. CAPAIAN PEMBELAJARAN Peserta memahami Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPN BM) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, penghitungan pajak, dan pelaporan pajak dan dapat 4.

(5) memahami ketentuan PPN dan PPN BM dan dapat menghitung PPN dan PPN BM serta mengisi SPT Masa PPN dengan benar.. 2. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA DAN POKOK MATERI Pada Kegiatan Belajar 3 (KB 3) PPN dan PPN BM ini, peserta didik diharapkan dapat: 1. Menjelaskan dasar-dasar PPN 2. Mendeskripsikan pengukuhan pengusaha kena pajak 3. Menjelaskan objek PPN 4. Menetapkan tarif dan dasar pengenaan pajak 5. Menetapkan faktur pajak 6. Menghitung PPN yang kurang (lebih) bayar 7. Menganalisis pengenaan PPN BM 8. Menguraikan pemungutan PPN dan PPN BM oleh pemungut PPN 9. Menentukan fasilitas PPN 10. Menetapkan restitusi PPN 11. Mengisi spt masa PPN. 3. POKOK-POKOK MATERI Pada KB 3 tentang PPN dan PPN BM ini, pokok-pokok materinya adalah sebagai berikut: 1. Dasar-dasar PPN & PPN BM 2. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) 3. Objek PPN dan PPN BM 4. Tarif dan Dasar Pengenaan PPN dan PPN BM 5. Jenis-Jenis Dasar Pengenaan PPN dan PPN BM 6. Faktur Pajak PPN dan PPNBM 7. Penghitungan PPN dan PPN BM 8. SPT Masa PPN dan PPN BM. 5.

(6) 4. URAIAN MATERI a. DASAR-DASAR PPN & PPN BM 1) Mekanisme Pemungutan PPN dan PPN BM Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa. Pajak konsumsi merupakan jenis pajak yang tujuannya adalah membebani penghasilan seseorang pada waktu penghasilan tersebut dibelanjakan atau digunakan untuk konsumsi. Perbedaan pajak atas konsumsi dengan dengan pajak penghasilan adalah pajak penghasilan membebani penghasilan ketika penghasilan tersebut diperoleh, sedangkan pajak atas konsumsi membebani penghasilan ketika penghasilan tersebut dibelanjakan. Pajak atas konsumsi dikenakan atas belanja barang dan/atau jasa. Dasar pemajakan atas pajak konsumsi adalah pengeluaran uang untuk konsumsi barang dan/atau jasa tersebut (Kurniawan, 2016).. 2) Pajak Pertambahan Nilai/PPN (Value Added Tax) Pajak pertambahan nilai (PPN) atau Value Added Tax merupakan pajak atas konsumsi yang mekanisme pengenaannya secara tidak langsung. PPN pada prinsipnya bukan memajaki penjualan namun memajaki nilai tambah (value added). Pemungutan PPN dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui penjual yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak kepada pembeli. Ketika pembeli membeli barang kena pajak atau jasa kena pajak dia harus membayar PPN yang dipungut melalui penjual, sehingga pengusaha kena pajak tersebut harus membayar sebesar harga barang ditambah dengan PPN. Sebagai bukti pemungutan PPN pihak penjual akan menerbitkan faktur pajak. Bagi pengusaha kena pajak selaku pembeli faktur pajak tersebut dianggap sebagai pajak masukan (VATIn), yang merupakan uang muka pajak bagi pengusaha kena pajak selaku pembeli. Selanjutnya ketika pengusaha kena pajak menjual kembali (melakukan penyerahan) barang kena pajak atau jasa kena pajak dia berkewajiban memungut PPN dengan kewajiban menerbitkan faktur pajak. Bagi pengusaha kena pajak selaku penjual faktur pajak yang diterbitkan tersebut dianggap sebagai pajak keluaran (VAT Out) yang sifatnya sebagai hutang pajak. Apabila pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan, maka kelebihan tersebut merupakan kewajiban PPN yang harus disetor ke kas negara. Dalam memberikan gambaran mekanisme pengenaan PPN dapat disimak ilustrasi pada Gambar 4.1 di bawah. A seorang produsen menjual barang kepada distributor B dengan harga jual 6.

(7) Rp1.000.000. Oleh B barang tersebut dijual kepada pengecer C dengan harga jual Rp1.500.000. Selanjutnya oleh C barang tersebut dijual ke konsumen D dengan harga jual Rp2.000.000. Asumsi tarif PPN 10%. Dalam kasus ini ketika A menjual barang ke B maka A akan memungut PPN sebesar Rp100.000, dengan demikian B harus membayar kepada A sebesar Rp1.100.000. PPN sebesar Rp100.000 tersebut bagi A merupakan pajak keluaran, sedangkan bagi B merupakan pajak masukan. Karena A tidak mempunyai pajak masukan maka jumlah yang harus disetor oleh A ke kas negara adalah sebesar Rp100.000. Ketika B menjual barang ke C maka B akan memungut PPN sebesar Rp150.000, dengan demikian C harus membayar kepada B sebesar Rp1.650.000. PPN sebesar Rp150.000 tersebut bagi B merupakan pajak keluaran sedangkan bagi C merupakan pajak masukan. Selanjutnya B harus menyetor PPN ke kas negara sebesar Rp50.000 yang selisih pajak keluaran Rp150.000 dengan pajak masukan Rp100.000. Ketika C menjual barang ke D maka C akan memungut PPN sebesar Rp200.000, dengan demikian D harus membayar kepada C sebesar Rp2.200.000. PPN sebesar Rp200.000 tersebut bagi C merupakan pajak keluaran sedangkan bagi D pajak masukan tersebut tidak dapat dikurangkan karena D merupakan konsumen akhir, atau dengan kata lain PPN sebesar Rp200.000 sebagai beban bagi D selaku konsumen akhir. Selanjutnya C harus menyetor PPN ke kas negara sebesar Rp50.000 yang selisih pajak keluaran Rp200.000 dengan pajak masukan Rp150.000. Dalam mekanisme PPN pajak yang dibayar oleh pengusaha kena pajak ketika membeli barang kena pajak atau jasa kena pajak dapat dikurangkan dalam menghitung pajak yang harus disetor ke kas negara (tidak diperlakukan sebagai biaya). Pengusaha kena pajak penjual hanya menyetor PPN ke kas negara atas selisih pajak keluaran dan pajak masukan saja, artinya hanya dikenakan pajak atas nilai tambahnya (selisih penjualan dan pembelian). Dalam ilustrasi diatas jumlah PPN yang disetor ke kas negara Rp200.000 (atau Rp100.000 + Rp50.000 + Rp50.000) akan sama dengan PPN yang dibayar oleh konsumen akhir. Dengan demikian tujuan pemajakan atas konsumsi dapat tercapai dengan mekanisme ini. Pajak sejatinya dikenakan kepada konsumen akhir. Produsen, distributor dan pengecer sejatinya tidak memikul beban pajak, mereka hanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah saja dalam melakukan pemajakan. Dapat pula dikatakan bahwa sejatinya PPN bukan merupakan pajak atas kegiatan bisnis, karena tujuan pemajakan bukan kepada pelaku usaha tapi kepada konsumen akhir. 7.

(8) Gambar 4.1 Mekanisme PPN (Kurniawan, 2016) b. PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) 1) Pengertian Pengusaha Kena Pajak Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang PPN1. Sedangkan yang dimaksud dengan pengusaha adalah baik orang pribadi maupun badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean2. Pengertian pengusaha dalam Undang Undang PPN tersebut tidak hanya melihat bentuk formal dari suatu perusahaan (misalnya ijin usaha) namun lebih pada pendekatan material, yaitu subtansi dari usaha wajib pajak. Dalam praktik kadang terjadi perusahaan secara formal mempunyai ijin usaha bidang usaha tertentu, namun subtansinya melakukan usaha yang lain yang 1 2. Pasal 1 angka 15 UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 14 UU No. 42 Tahun 2009. 8.

(9) tidak sesuai dengan ijin usaha tersebut. Dalam hal ini Undang Undang PPN menggunakan pendekatan material, apabila kenyataannya pengusaha ternyata melakukan penyerahan yang terutang PPN maka pengusaha tersebut dapat dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. 2) Batasan Pengusaha Kecil Untuk memberikan keadilan dan kesederhanaan administrasi PPN, Undang-Undang memberikan batasan, dimana pengusaha yang masih termasuk dalam kategori pengusaha kecil tidak wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) walaupun pengusaha ini melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Dengan demikian pengusaha kecil ini tidak dibebani kewajiban dan administrasi PPN. Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000. Yang dimaksud dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya. Bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender 3. Dalam rangka kepetingannya Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Namum perlu diingat, pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib memenuhi kewajiban sebagai PKP pada umumnya, yaitu memungut, menyetor, dan melaporkan kewajiban PPN. 3) Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan: 1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 2. memungut pajak yang terutang;. 3. Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2013. 9.

(10) 3. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan 4. melaporkan penghitungan pajak.. Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan4. Terkait dengan kewajiban pengukuhan PKP, pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000. Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.0005. Misalnya Pengusaha A pada bulan Agustus 2014 jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000 maka paling lambat harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP tanggal 30 September 2014. Dalam hal pengusaha tidak memenuhi kewajiban tersebut, apabila diperoleh data dan/ atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000. Apabila pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp4.800.000.000, Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.. 4) Tempat Pengukuhan PKP Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak atau ke Kantor. 4 5. Penjelasan pasal 3A ayat (1) UU 42 Tahun 2009 Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2013. 10.

(11) Pelayanan Pajak tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha sedangkan Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha6. Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Contoh tempat pengukuhan adalah sebagai berikut. Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. PT A mempunyai 3 (tiga) tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk 6. Psal 12 UU No. 42 Tahun 2009. 11.

(12) melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut. Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu (Kurniawan. 2016).. c. OBJEK PPN 1) Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak i. Barang Kena Pajak Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang PPN7. Ruang lingkup Barang menurut Undang Undang PPN meliputi barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud8. Undang Undang PPN pada prinsipnya menganut prinsip negatif list, artinya semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang Undang. Sehingga yang diatur secara rinci oleh Undang Undang PPN adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN9. Dengan demikian, secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak. Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut 10: 1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang tidak terutang PPN meliputi: a. minyak mentah (crude oil); b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat; c) panas bumi; c. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan. 7. Pasal 1 angka 3 UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 2 UU No. 42 Tahun 2009 9 Diatur di pasal 4A ayat (2) UU No. 42 Tahun 2009 10 Pasal 4A ayat (2) UU No. 42 Tahun 2009 dan penjelasannya 8. 12.

(13) kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; d. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan e. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.. 2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak yang tidak terutang PPN meliputi: a. beras; b. gabah; c. jagung; d. sagu; e. kedelai; f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium; g. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus; h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas; i.. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;. j.. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan. k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah. l.. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa 13.

(14) boga atau katering. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah. m. Uang, emas batangan, dan surat berharga.. ii. Jasa Kena Pajak Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang PPN11. Ruang lingkup Jasa menurut Undang Undang PPN adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan 12. Undang Undang PPN pada prinsipnya menganut prinsip negatif list, artinya semua jasa pada prinsipnya merupakan Jasa Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang Undang. Sehingga yang diatur secara rinci oleh Undang Undang PPN adalah jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN13. Dengan demikian, secara otomatis jasa-jasa lainnya merupakan Jasa Kena Pajak. Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: 1. Jasa pelayanan kesehatan medis. Jasa pelayanan kesehatan medis yang tidak terutang PPN meliputi: a. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi; b. jasa dokter hewan; c. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi; d. jasa kebidanan dan dukun bayi; e. jasa paramedis dan perawat; f. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium; g. jasa psikolog dan psikiater; dan h. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal. 2. Jasa pelayanan sosial. Jasa pelayanan sosial yang tidak terutang PPN meliputi:. 11. Pasal 1 angka 6 UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 5 UU No. 42 Tahun 2009 13 Diatur di pasal 4A ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009 12. 14.

(15) a. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; b. jasa pemadam kebakaran; c. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; d. jasa lembaga rehabilitasi; e. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan f. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial. 3. Jasa pengiriman surat dengan perangko. Jasa pengiriman surat dengan perangko yang tidak terutang PPN meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel. 4. Jasa keuangan. Jasa keuangan yang tidak terutang PPN meliputi: a. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; b. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya; c. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: d. sewa guna usaha dengan hak opsi; e. anjak piutang; f. usaha kartu kredit; dan/atau g. pembiayaan konsumen; h. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan i.. jasa penjaminan.. 5. Jasa asuransi. Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi. 6. Jasa keagamaan. Jasa keagamaan yang tidak terutang PPN meliputi: a. jasa pelayanan rumah ibadah; b. jasa pemberian khotbah atau dakwah; c. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan 15.

(16) d. jasa lainnya di bidang keagamaan. 7. Jasa pendidikan. Jasa pendidikan yang tidak terutang PPN meliputi: a. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan b. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah. 8. Jasa kesenian dan hiburan. Jasa kesenian dan hiburan yang tidak terutang PPN meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan. 9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan yang tidak terutang PPN meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. 10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri. 11. jasa tenaga kerja. Jasa tenaga kerja yang tidak terutang PPN meliputi: a. jasa tenaga kerja; b. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan c. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja. 12. jasa perhotelan. Jasa perhotelan yang tidak terutang PPN meliputi: a. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan b. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel. 13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum yang tidak terutang PPN meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. 16.

(17) 14. Jasa penyediaan tempat parkir. Yang dimaksud dengan “jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran. 15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam. Yang dimaksud dengan “jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. 16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos. 17. Jasa boga atau katering.. 2) Penyerahan yang Terutang PPN PPN terutang atas penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Ruang lingkup pengertian penyerahan barang kena pajak menurut Undang Undang PPN meliputi14: 1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian. Yang dimaksud dengan “perjanjian” meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. 2. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian leasing (sewa guna usaha). Adapun yang dimaksud dengan pengalihan karena Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee). 3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang. Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak 14. Pasal 1A ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009. 17.

(18) Penjualan atas Barang Mewah. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan dengan penerbitan Faktur Pajak oleh pemilik barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dalam hal pemilik barang tidak menerbitkan Faktur Pajak, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan sendiri oleh pemenang lelang melalui Surat Setoran Pajak. 4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak" adalah pemakaian Barang Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak" adalah pemakaian Jasa Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut meliputi pemakaian sendiri untuk15: a. tujuan produktif; atau b. tujuan konsumtif.. Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.. Sedangkan yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak ada kaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak 15. Pasal 5 PP No. 1 Tahun 2012. 18.

(19) mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.. Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak: 1. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan Konsumtif: a. Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu. b. Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut dan sebagian dibagikan kepada karyawannya. c. Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para direksinya. 2. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan: a. Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang. b. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik. c. Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya. 3. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya: a. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi. b. Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak. c. Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya. 4. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan 19.

(20) Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang: a. tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau b. mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.. Transaksi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudahan administrasi tersebut diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.. Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal pemakaian sendiri digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perlakuan ini diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.. Contoh pemakaian sendiri untuk tujuan produktif: Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk: 1. truk yang digunakan untuk pengangkutan ban produksinya; dan 2. kendaraan angkutan umumnya.. Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada contoh angka 1 di atas tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada contoh angka 2 tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai, karena digunakan untuk penyerahan jasa angkutan umum yang merupakan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. 20.

(21) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dipakai sendiri tidak termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dibebaskan, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Dengan demikian apabila yang dipakai sendiri adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Demikian juga apabila barang dan/atau jasa yang dipakai sendiri termasuk dalam jenis bukan Barang Kena Pajak dan/atau bukan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan barang dan/atau jasa tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.. 5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak. 6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang. Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya. 7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi. Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak 21.

(22) yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut. Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur). 8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.. Contoh: dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B. Sedangkan yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah 16: a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Yang dimaksud dengan makelar adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orangorang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja. b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang. c. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak 16. Pasal 1A ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. 22.

(23) terutang Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang. d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak. Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak terkait dengan usaha atau perolehan kendaraan bermotor jenis sedan dan station wagon17.. 3) Objek PPN pasal 4 Undang Undang PPN Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang Undang No.42 Tahun 2009 PPN dikenakan atas delapan objek yaitu: 1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 2. impor Barang Kena Pajak; 3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; 7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan 8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. 17. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c UU No. 42 Tahun 2009. 23.

(24) i.. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean Contoh: PT A sebuah perusahaan bergerak dalam bidang penjualan komputer yang berkedudukan di Bandung menjual sejumlah komputer kepada PT B sebuah perusahaan yang berkedudukan di Surabaya. Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak; 2. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; 3. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan 4. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.. ii.. Impor Barang Kena Pajak Contoh: PT A sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang otomotif berkedudukan di Jakarta melakukan impor kendaraan bermotor dari Jepang. Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.. iii.. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean Contoh: PT A sebuah perusahaan bertempat kedudukan di Jakarta bergerak dalam bidang persewaan kendaraan, menyewakan sejumlah mobil kepada PT B yang berkedudukan di Bandung. Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak; 24.

(25) b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma. Terkait dengan transaksi jasa lintas negara Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean18.. Contoh 1: A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.. iv.. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai PPN. Contoh: Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.. v.. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.. 18. Pasal 6 No. 1 TAhun 2012. 25.

(26) vi.. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud Contoh: PT A berkedudukan di bandung telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Pada suatu waktu PT A melakukan ekspor sejumlah garmen ke Hongkong. Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.. vii.. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Contoh: PT Indocinema sebuah perusahaan berkedudukan di Jakarta bergerak dalam bidang produksi film dan sinetron. Pada suatu waktu PT Indoncinema menjual hak pemutaran salah satu film produksinya untuk ditayangkan di bioskop di Kuala Lumpur Malaysia. Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak Tidak Berwujud" adalah: 1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya 2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah 3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial; 4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: i.. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;. 26.

(27) ii.. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan. iii.. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;. 5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan 6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.. viii.. Ekspor Jasa Kena Pajak Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.. Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan 19 sebagai berikut: 1. Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan 2. jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan 3. jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan.. Batasan kegiatan Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut:. 19. Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.03/2010 jo 30/PMK.03/2011 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya dikenai PPN. 27.

(28) a. untuk Jasa Maklon: a. pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya b. spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; c. bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan; d. kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dan e. pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean. b. untuk selain Jasa Maklon: a. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau b. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak adalah pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak yaitu pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai atas:. 28.

(29) a. perolehan Barang Kena Pajak; b. perolehan Jasa Kena Pajak; c. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean; d. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan/atau e. impor Barang Kena Pajak, merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.. 4) Objek PPN pasal 16C Undang Undang PPN Objek PPN pasal 16C sering disebut dengan istilah PPN Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS). Berdasarkan Undang Undang PPN20, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan21, PPN Kegiatan Membangun Sendiri terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Yang dimaksud kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Kriteria bangunan yang terutang PPN Kegiatan Membangun Sendiri yaitu bangunan yang berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan c. luas keseluruhan paling sedikit 200m2. Pajak Pertambahan Nilai terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak untuk PPN Kegiatan Membangun Sendiri adalah 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk. 20 21. Pasal 16C UU No. 18 Tahun 2000 Peraturan Menteri Keuangan No. 163/PMK.03/2012. 29.

(30) membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Dengan kata lain tarif efektif PPN Kegiatan Membangun Sendiri adalah 2% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari dua tahun. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak. Jika orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak. Apabila hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, 30.

(31) Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.. 5) Objek PPN pasal 16D Undang Undang PPN Berdasarkan pasal 16D Undang Undang No.42 Tahun 2009 Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena: 1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha 22 2. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon 23. Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan. Tarif PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan adalah 10%. Dasar Pengenaan Pajak PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan adalah harga jual. Dengan demikian PPN terutang dihitung 10% x harga jual.. Contoh: Pengusaha Kena Pajak A bergerak dalam bidang industri tekstil. Pada suat saat Pengusaha Kena Pajak A menjual aktiva berupa mesin yang selama ini digunakan untuk memproduksi tekstil dengan harga jual Rp100.000.000. Atas penjualan mesin ini terutang PPN pasal 16D yaitu atas. 22 23. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b UU No. 42 Tahun 2009 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c UU No. 42 Tahun 2009. 31.

(32) penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebesar 10% x 100.000.000 atau Rp10.000.000.. d. TARIF DAN DASAR PENGENAAN PAJAK 1) TARIF i.. Tarif PPN Tarif umum Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%24. Berdasarkan pertimbangan. perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif tersebut dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara25. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. ekspor Jasa Kena Pajak 26.. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor, Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.. 24. Pasal 7 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009 26 Pasal 7 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2009 25. 32.

(33) ii.. Tarif PPN BM Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi. 125%27. Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%. Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0%. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.. 2) DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP) i.. DPP PPN dan PPN BM Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak. yang terutang. PPN atau PPN BM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).. PPN Terutang = Tarif X DPP PPN BM Terutang = Tarif PPN BM X DPP Ketentuan PPN28 mengatur bahwa dalam membuat kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling sedikit memuat: a. nilai kontrak; b. Dasar Pengenaan Pajak; dan c. besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.. Contohnya misalkan Pengusaha Kena Pajak PT A menjual BKP yang tergolong mewah kepada PT B dengan harga jual Rp200 Juta. Tarif PPN BM atas BKP yang tergolong mewah 27. Pasal 8 UU No. 42 Tahun 2009 sebagaimana telah dirubah di Peraturan Menteri Keuangan No. 64/PMK.011/2014 dan telah dirubah di Peraturan Menteri Keuangan No. 33/PMK.010/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 35/PMK.010/2017 28 Pasal 10 ayat (1) PP No. 1 Tahun 2012. 33.

(34) tersebut adalah 20%. PT A harus memungut PPN sebesar Rp20 Juta (10% x Rp200 Juta), dan PPN BM Rp40 Juta (20% x Rp 200 Juta). Artinya, PT B selaku pembeli akan membayar total Rp260 Juta yang terdiri dari harga jual Rp200 Juta, PPN Rp20 Juta, dan PPN BM Rp40 Juta.. ii.. DPP jika ada Kontrak Jual-Beli Seringkali jual beli seperti yang dilakukan oleh PT A dan PT B tersebut di atas dituangkan. dalam bentuk kontrak jual-beli. Dalam nilai kontrak harus dinyatakan dengan tegas apakah sudah termasuk atau belum untuk memberikan kejelasan tentang pemungutan PPN atau PPN dan PPN BM. Dalam hal nilai kontrak atau perjanjian tertulis sudah termasuk PPN atau PPN dan PPN BM, dalam kontrak atau perjanjian tertulis wajib disebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk PPN atau PPN dan PPN BM29. Jika tidak demikian, maka nilai kontrak yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP)30. Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis bahwa dalam nilai kontrak sebesar Rp260.000.000 secara tegas dinyatakan sudah termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPN BM (sebesar 20%), penghitungan PPN dan PPN BM adalah sebagai berikut: PPN PPN BM. = =. (10/130*) x Rp260.000.000 = (20/130*) x Rp260.000.000 =. Rp20.000.000 Rp40.000.000. * 130 = 100% + 10% PPN + 20% PPN BM. Jika dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bahwa PPN dan PPN BM termasuk dalam nilai kontrak, besarnya DPP untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp260.000.000. Sehingga penghitungan PPN dan PPN BM adalah sebagai berikut: PPN PPN BM. iii.. = =. 10% x Rp260.000.000,00 20% x Rp260.000.000,00. = =. Rp26.000.000 Rp52.000.000. DPP Jika Harga sudah Termasuk PPN dan PPN BM Apabila dalam jumlah yang harus dibayar oleh pembeli BKP atau penerima JKP sudah. termasuk PPN atau juga PPN dan PPN BM, maka cara menghitung PPN dan PPN BM terutang. 29 30. Pasal 10 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2012. 34.

(35) tidak dengan mengenakan tarif PPN/PPN BM langsung dari pembayaran karena dalam pembayaran tesebut sudah termasuk PPN/PPN BM, padahal dalam DPP PPN ataupun PPN BM tidak termasuk PPN dan PPN BM. Jadi, cara menghitung PPN dan PPN BM dalam kosndisi seperti ini adalah31: PPN = (10/110) PPN = (10/110). X X. harga atau pembayaran BKP (bukan BKP mewah) harga atau pembayaran JKP. Jika atas penyerahan BKP terutang juga PPN BM dan tarif PPN BM adalah t%, maka PPN dan PPN BM yang terutang adalah: PPN PPN BM. = =. (10/(110+t)) (t/(110+t)). X X. harga atau pembayaran BKP harga atau pembayaran BKP. Dalam melakukan perhitungan PPN atau PPN dan PPN BM yang terutang, maka harus diperhatikan apakah dalam harga atau pembayaran BKP/JKP, harga sudah termasuk PPN/PPN BM atau belum. Jika harga belum termasuk PPN/PPN BM, maka PPN/PPN BM yang terutang adalah sebesar tarif dikalikan harga atau pembayaran BKP/JKP. Jika harga sudah termasuk PPN/PPNBM, maka menggunakan perhitungan seperti di atas. Di dalam kontrak jual-beli harus ditegaskan tentang PPN/PPN BM ini. Jika kontrak jual-beli tidak tegas/tidak jelas/belum menyatakan nilai kontrak sudah termasuk PPN ataupun PPN BM, pajak terutang adalah tarif dikalikan nilai kontrak jual-beli.. e. JENIS-JENIS DPP Jenis dasar pengenaan pajak yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang terdiri dari32: 1) Harga Jual Harga jual dipakai untuk menentukan dasar pengenaan pajak atas penyerahan barang kena pajak. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam. 31 32. Pasal 11 ayat (1) dan (2) PP Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 1 angka 17 UU No. 42 Tahun 2009. 35.

(36) Faktur Pajak33. Yang termasuk dalam pengertian biaya yg merupakan unsur harga jual, antara lain; pengangkutan, asuransi, bantuan teknik, pemeliharaan dan garansi.. 2) Penggantian Harga jual dipakai untuk menentukan dasar pengenaan pajak atas transaksi jasa kena dan barang kena pajak tidak berwujud. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean34.. 3) Nilai Impor Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang PPN35. Sejalan dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai, nilai impor dihitung dengan formula sebagai berikut: Nilai Impor = Harga Impor (CIF) + Bea Masuk PPN impor = 10% x Nilai Impor Keterangan: Harga Impor (CIF) = C + I + F C = Cost/Harga FOB I = Insurance F = Freight. 33. Pasal 1 angka 18 UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 19 UU No. 42 Tahun 2009 35 Pasal 1 angka 20 UU No. 42 Tahun 2009 34. 36.

(37) 4) Nilai ekspor Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Yaitu, nilai yg tercantum dalam dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.. 5) Nilai Lain Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk transaksi tertentu. Transaksi menggunakan nilai lain yang ditetapkan Menteri Keuangan adalah sebagai berikut: a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; c. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran. PPN menggunakan tarif efektif yaitu = 8,7% dikalikan harga jual eceran, yaitu harga yang tercantum pada pita cukai (harga bandrol); f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar; g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan; h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli; i.. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;. j.. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah yang ditagih atau umlah yang seharusnya ditagih;. k. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; 37.

(38) l.. untuk penyerahan Emas Perhiasan dan/atau jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Emas Perhiasan adalah 20% dari harga jual Emas Perhiasan atau nilai penggantian;. m. untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang didalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.. Terkait dengan perlakuan pajak masukan atas transaksi yang menggunakan nilai lain, pajak masukan yang berhubungan dengan: 1. penyerahan jasa pengiriman paket (huruf j) yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengiriman paket; 2. penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata (huruf k) yang dilakukan oleh pengusaha jasa biro perjalanan atau pengusaha jasa biro pariwisata; 3. penyerahan emas perhiasan termasuk penyerahan jasa perbaikan dan modifikasi emas perhiasan serta jasa-jasa lain yang berkaitan dengan emas perhiasan sebagaimana dimaksud dalam (huruf l) yang dilakukan oleh pengusaha pabrikan emas; dan 4. penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) (huruf m) yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengurusan transportasi, tidak dapat dikreditkan.. 6) Nilai Lain Film untuk Film Cerita Impor Penetapan Nilai Lain untuk penyerahan film cerita tidak termasuk penetapan Nilai Lain untuk film cerita impor. Penetapan Nilai Lain untuk film cerita impor berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Nilai Lain sebagai dasar pengenaan pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor, serta dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas kegiatan impor film cerita. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, dipungut pada saat impor media Film Cerita Impor. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah Nilai Lain yang telah telah memperhitungkan nilai dari media Film Cerita Impor. Nilai Lain yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah berupa uang 38.

(39) yang ditetapkan sebesar Rp 12.000.000 per copy Film Cerita Impor. Atas penyerahan Film Cerita Impor oleh Importir kepada Pengusaha Bioskop, terutang Pajak Pertambahan Nilai. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Film Cerita Impor tersebut adalah Nilai Lain. Nilai Lain yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tersebut adalah berupa uang yang ditetapkan sebesar Rp 12.000.000 per copy Film Cerita Impor. Pajak Pertambahan Nilai tersebut dipungut hanya sekali untuk setiap copy Film Cerita Impor, yang pemungutannya dilakukan pada saat pertama kali copy Film Cerita Impor tersebut diserahkan kepada Pengusaha Bioskop.. a. Dasar Pengenaan Pajak Transaksi Dengan Mata Uang Asing Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak. Dalam hal pembayaran atau Harga JuaI atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang PPN (Pemungut PPN) mempergunakan mata uang asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata ang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Bendahara Pemerintah selaku Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.. f. FAKTUR PAJAK 1) FAKTUR PAJAK Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap: a. penyerahan Barang Kena Pajak; b. penyerahan Jasa Kena Pajak; c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau d. ekspor Jasa Kena Pajak.. 39.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hubungan perilaku ibu tentang masa pergantian gigi dengan persistensi pada murid di MIN Cot Gue Kecamatan Darul

Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk dikaji melalui suatu studi mikro, bagaimanakah pengambilan keputusan suami-istri keluarga petani dalam menentukan jumlah keluarga

Artemia franciscana (Anostraca, Artemidae) adalah Crustacea tingkat rendah yang digunakan sebagai pakan alami dalam usaha budidaya ikan dan udang, terutama dalam

Consequently, when thinkers such as Offe or Gorz underline this type of trend as the end of what might be called the labour society (Offe, 1985; Gorz, 1989), they are putting a name

Berisikan tentang analisa lokasi atau site, rumah susun yang layak huni, serta fleksibelitas ruang yang. dapat mewadahi proses

Pada kasus trauma gigi anterior, bahan yang biasa digunakan untuk restorasi gigi adalah komposit.. Pada penumpatan dengan bahan komposit ini membutuhkan teknik

[r]

The query shown in Listing 5-9 uses the table created in Listing 5-8 to return the same results as Listing 5-7—just much more efficiently, since this version doesn’t need to