1 BAB I
PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan formal yang sedang banyak diminati masyarakat, yaitu pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Berdasarkan pada Data Rekapitulasi Nasional SMK Tahun 2015/2016, jumlah SMK di seluruh Indonesia mencapai 12.799 sekolah dengan siswa sebanyak 3.574.649 orang (dapo.diken.kemendikbud.go.id). Masyarakat menaruh kepercayaan besar terhadap pendidikan SMK yang dapat meningkatkan masa depan dan taraf hidup mereka disebabkan lulusan SMK jauh lebih siap diterjunkan dalam dunia kerja. Seperti yang telah tertera pada Permendiknas nomor 22 Tahun 2006 bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan siswa untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Pendidikan SMK tidak hanya meningkatkan potensi kognitif siswa saja melainkan juga menyiapkan siswa menjadi manusia produktif yang memiliki jiwa kewirausahaan dan siap terjun di dunia kerja.
2 bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan siswa terkait lingkungan dalam bidang sosial, budaya, dan seni; mata pelajaran produktif merupakan program kulikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan siswa sesuai dengan minat, bakat dan atau kemampuan dalam bidang keahlian, program keahlian, dan paket keahlian; dan mata pelajaran adaptif merupakan program kulikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu mata pelajaran adaptif, yaitu matematika.
3 Bobango (1993: 148) berpendapat bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri pada kemampuan matematika yang dimilikinya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara matematika. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Suydam (1985: 481) yang menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi spasial mengenai dunia nyata, menanamkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk matematika lanjut, dan mengajarkan cara membaca dan menginterpretasikan argumen matematika.
4 siswa SMU masih mengalami kesulitan dalam melihat gambar bangun ruang. Selain itu, berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penelitian oleh Madja di perguruan tinggi, ditemukan bahwa kemampuan mahasiswa dalam melihat ruang dimensi tiga masih rendah. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Budiarto (2000: 440) bahwa dari berbagai penelitian, masih ditemukan mahasiswa yang menganggap gambar bangun ruang sebagai bangun datar, mahasiswa masih sulit menentukan garis bersilangan dan garis berpotongan, serta belum mampu menggunakan perolehan geometri SMU untuk menyelesaikan permasalahan geometri ruang.
Di Indonesia daya serap siswa kelas XII yang melaksanakan ujian nasional tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015 pada materi geometri cenderung menurun. Hal tersebut ditunjukkan oleh data daya serap nilai ujian nasional siswa SMA di seluruh Indonesia pada materi geometri yang disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Daya Serap Materi Geometri Tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015 Tahun Daya Serap Materi Geometri
2012 63,77 2013 52,82 2014 54,61 2015 37,58
5 akhir sekolah untuk sub-materi jarak antara titik ke bidang hanya 25,8%, sedangkan untuk sub-materi sudut antar dua garis adalah 52,3%.
Untuk siswa kelas X Kendaraan Ringan 1 dan X Teknik Permesinan 2 di SMK Negeri 3 Yogyakarta tahun ajaran 2015/2016 yang akan menerima materi geometri ternyata memiliki kemampuan dasar geometri yang cenderung rendah. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata nilai tes pengetahuan pra-syarat siswa dengan soal mengenai bentuk-bentuk bangun ruang, unsur-unsur pada bangun ruang, hubungan antar unsur, dan konsep segitiga yang hanya mencapai 55,26. Pada saat menyebutkan bentuk-bentuk bangun ruang banyak siswa yang belum dapat membedakan bangun limas dan prisma. Siswa belum memahami tentang perbedaan unsur-unsur pada bangun ruang, seperti diagonal ruang, bidang diagonal, dan diagonal bidang. Masih banyak siswa yang belum memahami hubungan antar unsur pada bangun ruang, seperti garis yang berpotongan, sejajar, tegak lurus, dan bersilangan. Siswa juga belum memahami prinsip pada segitiga siku-siku yang seharusnya sudah dipelajari di SMP yakni tentang teorema Pythagoras.
6 Pada materi geometri, KKM yang ditentukan oleh guru adalah 70. Selain itu, hasil tes diagnostik yang dilakukan oleh peneliti kepada siswa kelas X Kendaraan Ringan 1 dan X Teknik Permesinan 2 menunjukkan terdapat 33 siswa yang membuat kesalahan lebih dari 50% saat mengerjakan tes diagnostik. Berdasarkan dokumentasi hasil ulangan harian, ujian tengah semester, dan tes diagnostik, siswa banyak mengalami kesulitan menyelesaikan masalah geometri pada saat mereka diminta untuk menentukan jarak antara titik ke garis, jarak antara titik ke bidang, besar sudut antara garis dan bidang, serta besar sudut antara dua bidang. Hal tersebut dilihat dari persentase jawaban siswa untuk setiap butir soal.
Kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah geometri tersebut, menandakan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar. Kesulitan belajar siswa harus diketahui guru untuk kelancaran proses belajar dan mengajar selanjutnya, serta digunakan sebagai bahan pertimbangan guru untuk melakukan perbaikan mengajar atau remidial teaching. Kesulitan belajar siswa dapat dikaji melalui kesulitan-kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal geometri. Kesulitan tersebut terkait dengan objek-objek langsung dalam matematika yaitu fakta, konsep, keterampilan matematika, dan prinsip. Seperti yang dijelaskan Cooney (1975: 203) bahwa konsep dan prinsip merupakan pengetahuan dasar matematika. Konsep dan prinsip ini harus dikuasai siswa agar siswa dapat menyelesaikan persoalan matematika dengan benar.
7 dan faktor-faktor penyebab kesulitan belajar siswa pada materi geometri, sehingga hal tersebut dapat menjadi bahan refleksi guru untuk melakukan tindak lanjut terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
banyak siswa kelas X di SMK Negeri 3 Yogyakarta tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada ulangan harian dan ujian tengah semester materi geometri.
C. Pembatasan Masalah
Melihat bahwa banyak siswa kelas X SMK Negeri 3 Yogyakarta tidak mencapai KKM pada ulangan harian dan ujian tengah semester materi geometri. Hal tersebut menandakan adanya gejala kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, peneliti bermaksud menggali kesulitan belajar siswa sebagai penyebab tidak tercapainya KKM pada ulangan harian dan ujian tengah semester materi geometri.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, pemasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kesulitan siswa kelas X di SMK Negeri 3 Yogyakarta dalam menyelesaikan masalah geometri?
8 E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraiakan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan kesulitan siswa kelas X di SMK Negeri 3 Yogyakarta dalam menyelesaikan masalah geometri dan
2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar matematika pada materi geometri siswa-siswa Kelas X SMK Negeri 3 Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi praktisi pendidikan sekolah menengah kejuruan khususnya tentang kesulitan belajar matematika pada materi geometri.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, penelitian ini dapat memberikan informasi terkait kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah geometri dan faktor-faktor penyebab kesulitan belajar matematika pada materi geometri siswa-siswa kelas X SMK Negeri 3 Yogyakarta.
10 BAB II
KAJIAN TEORI BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori
Penelitian ini mengkaji masalah penyebab siswa kelas X di SMK Negeri 3
Yogyakarta tidak mencapai KKM pada ulangan harian dan ujian tengah semester
materi geometri. Untuk mendukung pembahasan masalah tersebut, diperlukan
teori-teori yang relevan. Beberapa teori yang relevan adalah kajian tentang
diagnosis kesulitan belajar matematika, kajian tentang pembelajaran matematika
SMK, dan materi geometri kelas X SMK. Deskripsi teori-teori tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Kajian tentang Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika
Kajian tentang diagnosis kesulitan belajar matematika terdiri atas pemaparan
tentang pengertian diagnosis kesulitan belajar matematika, penyebab kesulitan
belajar siswa, prosedur diagnosis kesulitan belajar, tes diagnostik, dan strategi
penelitian studi kasus.
a. Pengertian Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika
Telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang bahwa hasil observasi,
wawancara dan dokumentasi menunjukkan adanya kesulitan belajar matematika
siswa kelas X SMK Negeri 3 Yogyakarta pada materi geometri. Hal tersebut
ditunjukkan dengan rendahnya nilai siswa pada ulangan harian dan ujian tengah
semester. Banyak siswa yang tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Cooney (1975: 202-203) memberikan petunjuk bahwa untuk mengetahui
11 kesulitan siswa agar dapat ditentukan cara perbaikan yang tepat. Kegiatan
mendiagnosis kesulitan belajar dan pembelajaran remedial merupakan kegiatan
yang harus dilakukan guru bersama dengan siswa serta unsur lain jika
memungkinkan. Pemberian bantuan terhadap siswa berkesulitan belajar
didasarkan pada diagnosis yang cermat.
Pengertian diagnosis kesulitan belajar dapat diperoleh dari definisi diagnosis,
kesulitan belajar, dan diagnosis kesulitan belajar. Menurut Sugihartono, dkk
(2012: 149), diagnosis adalah penentuan jenis masalah atau kelaianan atau
ketidakmampuan dengan meneliti latar belakang penyebabnya atau dengan cara
menganalisis gejala-gejala yang tampak. Selanjutnya, Sugihartono (2012: 149)
menjelaskan kesulitan belajar adalah suatu gejala pada siswa yang ditandai
dengan prestasi belajar yang tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang telah ditetapkan sekolah. Berdasarkan definisi diagnosis dan kesulitan
belajar tersebut, Sugihartono dkk (2012: 150) mendefinisikan diagnosis kesulitan
belajar sebagai proses menentukan masalah atau ketidakmampuan siswa dalam
belajar dengan cara menelusuri latar belakang penyebabnya atau dengan cara
menganalisis gejala kesulitan dan hambatan belajar yang tampak dari diri siswa.
Tidak ada definisi khusus terkait diagnosis kesulitan belajar matematika.
Berdasarkan definisi diagnosis kesulitan belajar dapat disimpulkan bahwa
diagnosis kesulitan belajar matematika adalah upaya menemukan kelemahan atau
kesulitan belajar yang dialami oleh siswa pada mata pelajaran Matematika dan
12 b. Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan belajar
sebagaimana disebutkan oleh Muhibbin Syah (2009: 184-185) dapat berupa faktor
intern dan faktor ekstern.
1) Faktor intern siswa
Faktor intern adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam
diri siswa sendiri. Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan
psiko-fisik siswa, yaitu:
a) yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/intelegensi siswa;
b) yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti sikap belajar, motivasi
belajar, kebiasaan belajar, konsentrasi belajar; dan
c) yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat
indera penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).
2) Faktor ekstern siswa
Faktor ekstern adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang bersumber dari luar
diri siswa, yakni semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak
mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor lingkungan meliputi:
a) lingkungan keluarga, seperti ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan
ibu, ekonomi keluarga yang rendah, pendidikan ayah dan ibu yang rendah,
dll;
b) lingkungan masyarakat, seperti wilayah perkampungan yang kumuh, teman
13 c) lingkungan sekolah, seperti kondisi gedung sekolah, kurikulum, guru kelas,
media pembelajaran, dll.
Penyebab kesulitan dalam penelitian ini hanya dilihat dari faktor intern
bagian ranah rasa (afektif).
c. Prosedur Diagnosis Kesulitan Belajar
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas
langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar
jenis tertentu yang dialami siswa. Adapun prosedur diagnosis secara umum yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur oleh Cooney, Davis, dan
Henderson (1975:202-209). Prosedur ini terdiri atas mengidentifikasi siswa yang
mengalami kesulitan belajar, menentukan jenis dan sifat kesulitan belajar,
memperkirakan sebab-sebab kesulitan belajar, proses pemecahan kesulitan
belajar.
1) Mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar
Tujuan identifikasi adalah untuk menemukan siswa yang diperkirakan
mengalami kesulitan belajar. Langkah-langkah yang dilakukan adalah menandai
siswa dalam satu kelas yang mengalami kesulitan belajar. Cara yang ditempuh di
antaranya adalah:
a) meneliti nilai ulangan harian dan ujian tengah semester, kemudian
dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas atau dengan kriteria tingkat
penguasaan minimal kompetensi yang dituntut,
b) menganalisis hasil ulangan harian dan ujian tengah semester dengan melihat
14 c) melakukan observasi pada saat siswa dalam proses belajar dan mengajar.
2) Menentukan jenis dan sifat kesulitan belajar
Setelah ditemukan individu atau siswa yang diduga mengalami kesulitan
belajar, ditentukan jenis dan sifat kesulitan belajar. Dalam langkah ini secara
umum terdapat tiga persoalan pokok yang harus dikaji yaitu:
a) mendeteksi kesulitan belajar dalam bidang studi tertentu,
b) mendeteksi pada kawasan tujuan belajar dan bagian ruang lingkup bahan
pelajaran manakah kesulitan terjadi, dan
c) menganalisis catatan mengenai proses belajar.
Berkaitan dengan mata pelajaran Matematika, jenis kesulitan yang
kemungkinan sering dialami oleh siswa yakni kesulitan-kesulitan berkaitan
dengan konsep, prinsip, dan algoritma untuk setiap pokok bahasan dalam mata
pelajaran Matematika. Dalam hal ini, prosedur yang digunakan yaitu tes
diagnostik.
3) Memperkirakan sebab-sebab kesulitan belajar
Sebab-sebab kesulitan belajar seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya
oleh Muhibbin Syah dapat meliputi faktor intern bagian ranah rasa (afektif).
Dalam hal ini, prosedur yang digunakan yaitu wawancara.
4) Proses Pemecahan Kesulitan Belajar
Langkah-langkah dalam proses pemecahan kesulitan belajar di antaranya
adalah:
a) memperkirakan kemungkinan bantuan,
15 c) tindak lanjut.
Tindak lanjut adalah kegiatan melakukan pengajaran remedial (remedial
teaching) yang paling tepat untuk membantu siswa yang berkesulitan belajar.
Terdapat beberapa langkah diagnosis yang tidak dilakukan oleh peneliti yakni
melakukan observasi pada saat siswa dalam proses belajar mengajar dan analisis
terhadap catatan mengenai proses belajar. Hal tersebut disebabkan oleh
keterbatasan pengamatan peneliti. Selain itu, karena keterbatasan waktu
penelitian, peneliti hanya melakukan diagnosis hingga pengambilan kesimpulan.
Untuk tindak lanjut kepada siswa yang memiliki kesulitan belajar diserahkan
kepada guru dan pihak sekolah.
Untuk mengetahui kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
dapat dilakukan dengan melihat pengetahuan siswa pada konsep dan prinsip dari
suatu materi. Untuk diagnosisnya diuraikan sebagai berikut (Cooney, Davis, dan
Henderson, 1975 : 216-225).
1) Diagnosis Kesulitan Penggunaan Konsep
Kesulitan konsep dalam diri siswa dapat ditinjau dari pengetahuan siswa
tentang konsep-konsep. Pengetahuan siswa tentang konsep-konsep ditandai
dengan kemampuan siswa:
a) menandai, mengungkapkan dengan kata-kata dan mendefinisikan konsep,
b) mengidentifikasi contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep,
c) mengungkapkan model,
16 e) mengidentifikasi sifat-sifat konsep yang diberikan dan mengenali kondisi
yang ditentukan suatu konsep, serta
f) membandingkan dan menegaskan konsep-konsep.
2) Diagnosis Kesulitan Penggunaan Prinsip
Kesulitan dalam memahami prinsip dalam diri siswa dapat ditinjau dari
pengetahuan siswa tentang prinsip. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip dilihat
dari kemampuan siswa:
a) mengenali kapan suatu prinsip diperlukan,
b) memberikan alasan pada langkah-langkah penggunaan prinsip,
c) menggunakan prinsip secara benar,
d) mengenali prinsip yang benar dan prinsip yang tidak benar,
e) menggeneralisasi prinsip baru dan memodifikasi suatu prinsip, dan
f) mengapresiasi peran prinsip-prinsip matematika.
d. Tes Diagnostik
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat prosedur yakni menentukan
jenis dan sifat kesulitan belajar dengan menggunakan prosedur tes diagnostik. Tes
diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan
siswa sehingga hasil tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan
tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kelemahan yang
dimiliki siswa (Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 1).
Ali Hamzah (2014: 57) menjelaskan tes diagnostik bertujuan untuk
mendiagnosis kesulitan belajar siswa untuk mengupayakan perbaikan yang tepat.
17 siswa pada mata pelajaran Matematika. Tes diagnostik memiliki dua fungsi utama
yaitu mengidentifikasi masalah atau kesulitan yang dialami siswa dan
merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau
kesulitan yang telah teridentifikasi.
Tes diagnostik dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, sehingga
format dan respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik,
dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau kesulitan
yang mungkin menjadi penyebab munculnya kesulitan belajar siswa. Soal tes
menggunakan bentuk supply response (bentuk isian singkat atau uraian), agar
mampu menangkap informasi secara lengkap. Menurut Ali Hamzah (2014:
40-41), soal isian merupakan soal dengan kalimat yang belum selesai atau tidak
lengkap. Soal ini sesuai untuk mengukur kemampuan siswa dalam hal
pengetahuan, pemahaman, dan penerapan konsep sederhana. Menurut Ali Hamzah
(2014: 42), soal uraian merupakan soal yang menuntut siswa untuk menguraikan
langkah-langkah menyelesaikan soal. Soal ini memberikan kesempatan pada
siswa untuk mengemukakan ide atau gagasan dengan kata-katanya sendiri. Soal
ini sesuai untuk mengukur penguasaan konsep dan prinsip dari suatu materi.
Sedangkan, tes diagnostik yang menggunakan bentuk selected response (misalnya
bentuk pilihan ganda) harus disertai penjelasan mengapa memilih jawaban
tersebut, sehingga dapat meminimalisir jawaban tebakan, dan dapat ditentukan
tipe kesalahan atau masalahnya. Tes diagnostik juga perlu disertai rancangan
tindak lanjut sesuai dengan kesulitan yang teridentifikasi (Departemen Pendidikan
18 Terdapat dua jenis tes diagnostik, yaitu tes diagnostik berdasarkan tes
formatif dan tes diagnostik berdasarkan analisis guru. Kedua tes diagnostik
tersebut memiliki struktur soal yang sama, namun yang membedakan adalah
proses pemberian tes tersebut kepada siswa. Tes diagnostik tipe pertama
digunakan dengan didahului tes formatif. Apabila dari hasil tes formatif diketahui
terdapat siswa yang belum tuntas, maka dilakukan tes untuk mendiagnosis
kemungkinan-kemungkinan sumber masalahnya. Tes diagnostik tipe kedua
dilakukan tanpa didahului dengan tes formatif. Dugaan atas
kemungkinan-kemungkinan sumber masalah muncul berdasarkan pengalaman guru. Keduanya
memiliki fungsi sama, dan bebas dipilih mana yang akan dilaksanakan sesuai
kondisi dan kebutuhannya (Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 3).
Pada penelitian di SMK Negeri 3 Yogyakarta, peneliti menggunakan tes
diagnostik tipe pertama. Hal tersebut sejalan dengan prosedur yang diungkapkan
oleh Cooney, Davis, dan Henderson. Alasan lain adalah karena peneliti dan guru
sudah mendapatkan hasil tes formatif untuk membuat duagaan-dugaan kesulitan
belajar siswa pada materi geometri.
Langkah-langkah pengembangan tes diagnostik menurut Departemen
Pendidikan Nasional (2007: 5-7) adalah:
1) pembatasan bahan yang diteskan;
2) menentukan kemungkinan sumber masalah;
3) menentukan bentuk soal;
4) menentukan waktu yang disediakan;
19 6) menyusun instrumen; dan
7) melakukan validitas instrumen.
e. Strategi Penelitian Studi Kasus
Diagnosis kesulitan belajar siswa dilakukan melalui penelitian dengan
menggunakan strategi yang memberikan hasil optimal. Strategi penelitian yang
digunakan adalah studi kasus. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif.
Peneliti bermaksud menelusuri kesulitan dan penyebab kesulitan siswa dalam
menyelesaikan masalah geometri yang berkaitan dengan jarak dan sudut secara
mendalam dan menyeluruh. Menurut Le:y J. Moleong (2007: 6), penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena yang
dialami subjek penelitian (perilaku, motivasi, tindakan, dll) secara mendalam
dengan cara dideskripsikan dengan kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Nana
Sudjana (2001: 200), juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dimulai
berdasarkan lingkungan alami (kondisi alamiah atau situasi sosial) bukan pada
teori yang disiapkan sebelumnya sehingga peneliti harus mengamati keseluruhan
peristiwa yang diteliti secara utuh untuk memperoleh fokus penelitian.
Studi kasus merupakan salah satu strategi penelitian kualitatif untuk
mengeksplorasi persepsi dan pengalaman guru dan siswa (Watson, 2016: 115).
Menurut Yin (2012: 13-15) studi kasus merupakan strategi penelitian untuk
memahami suatu kasus secara mendalam dengan pemberian pertanyaan
“bagaimana” dan “mengapa” melalui wawancara sehingga peneliti hanya
20 digunakan untuk memeriksa situasi baru atau kompleks secara terpadu,
mengungkapkan permasalahan yang ada secara sistematis, dan mengembangkan
solusi untuk situasi masalah tersebut (Ozguc, 2015: 806). Noeng Muhadjir (2000:
55) juga menambahkan bahwa studi kasus bertujuan untuk mencari kebenaran
ilmiah, sehingga pertimbangan penarikan kesimpulan didasarkan pada ketajaman
peneliti dalam melihat kecenderungan pola-pola yang sejenis. Berdasarkan uraian
tersebut, studi kasus yang dimaksud dalam penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan mendalam dari kasus yang
dipelajari dan tidak bertujuan untuk mendapatkan generalisasi.
Strategi penelitian studi kasus memiliki empat tipe desain, yaitu desain kasus
tunggal holistik, desain kasus tunggal terjalin, desain multikasus holistik, dan
desain multikasus terjalin (Yin, 2012: 46). Studi kasus holistik mengkaji peristiwa
sebagai unit-unit yang terpisah. Penelitian ini menggunakan desain kasus tunggal
holistik karena menekankan pada satu kasus yang perlu dikaji secara menyeluruh
sebagai satu kesatuan unit. Menurut Sri Yona (2006: 77), terdapat beberapa
langkah dalam mendesain studi kasus, yaitu menentukan masalah/kasus yang akan
dikaji, menentukan instrumen penelitian, menentukan teknik pengambilan sampel,
menentukan teknik pengumpulan data, menentukan teknik analisis data, dan
menyusun laporan.
Dalam penelitian ini, kasus yang dikaji adalah siswa kelas X di SMK Negeri
3 Yogyakarta yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah geometri
yang berkaitan dengan jarak dan sudut. Instrumen penelitian yang digunakan
21 9), pada penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen utama pengumpul data.
Peneliti bertindak sebagai human instrument yang terjun ke lapangan untuk
menentukan fokus penelitian, mengumpulkan data, menganalisis data, dan
membuat kesimpulan (Sugiyono, 2012: 306). Meskipun demikian, tetap
dikembangkan instrumen penelitian sederhana yang diharapkan dapat melengkapi
data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi
dan wawancara (Sugiyono, 2010: 307).
Nasution (2002: 56) menyatakan bahwa observasi adalah dasar dari seluruh
ilmu pengetahuan karena dengan observasi, data yang dihasilkan berupa fakta
sehingga para ilmuwan dapat bekerja menemukan pengetahuan. Sugiyono (2010:
310) menyatakan bahwa melalui observasi, peneleti akan belajar mengenai
perilaku dan makna perilaku. Terdapat beberapa jenis observasi, yaitu observasi
partisipatif, observasi terus terang atau tersamar, observasi tak berstruktrur. Dalam
menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah dengan
menggunakan lembar observasi untuk mengungkap tingkah laku yang akan terjadi
(Suharsimi Arikunto: 272). Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan teknik
observasi disebabkan keterbatasan pengamatan oleh peneliti.
Sugiyono (2010: 317) mendefinisikan wawancara merupakan pertemuan dua
orang untuk mendapatkan informasi melalui tanya jawab, sehingga dapat
diperoleh makna. Sugiyono (2010: 317) menjelaskan, wawancara digunakan
sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan apabila
22 wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara semi
terstruktur (indepth interview). Teknik wawancara ini merupakan teknik
wawancara mendalam, pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan
wawancara terstruktur, mulanya peneliti memberikan pertanyaan yang sudah
dibuat dalam pedoman wawancara, kemudian satu per satu pertanyaan tersebut
diperdalam guna mendapatkan keterangan lebih lanjut (Suharsimi Arikunto, 2013:
270). Tujuan wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara
lebih terbuka, pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.
Wawancara jenis ini menghindari pertanyaan dengan jawaban-jawaban singkat ya
atau tidak, tetapi lebih menekankan pada pertanyaan mengapa atau bagaimana
(Tohirin, 2012: 63).
Selanjutnya, teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling, yakni teknik penentuan sampel/subjek penelitian
dengan pertimbangan tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2012:
126). Subjek penelitian yang dimaksud adalah narasumber/partisipan/informan
penelitian (Sugiyono, 2010: 298). Dalam studi kasus terdapat setting penelitian,
yakni keadaan alamiah atau situasi sosial subjek penelitian saat pengumpulan data
(Le:y J. Moleong, 2007: 8).
Menurut Sugiyono (2011: 268), untuk mendapatkan data yang valid dan
reliabel dalam penelitian kualitatif yang dicek adalah datanya. Untuk mengecek
kevalidan data, peneliti menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
langkah-langkah uji kredibilitas (validitas internal), uji transferebilitas (validitas
23 1) Uji kredibilitas (validitas internal)
Uji kredibilitas dapat dilakukan dengan cara memperpanjang pengamatan,
meningkatkan ketekunan dalam penelitian, triangulasi data, diskusi teman sejawat,
analisis kasus negatif, dan member check. Terdapat beberapa jenis triangulasi data
yang dapat digunakan untuk menguji kredibilitas data, yaitu triangulasi sumber,
triangulasi teknik, dan triangulasi waktu (Sugiyono, 2010: 373-374).
a) Triangulasi sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Sebagai
contoh, untuk menguji kredibilitas data tentang perilaku siswa, maka
pengumpulan dan pengujian data yang telah diperoleh dapat dilakukan
kepada guru, teman siswa yang bersangkutan, dan orang tua siswa. Setelah
dilakukan analisis dan penarikan kesimpulan oleh peneliti, selanjutnya
kesimpulan tersebut dimintakan persetujuan kepada ketiga sumber data.
b) Triangulasi teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik pengumpulan data
yang berbeda. Misalnya, data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan
observasi, dokumentasi, atau kuesioner. Jika dengan tiga teknik pengujian
kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti
melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau
yang lain untuk memastikan data mana yang dianggap benar atau mungkin
24 c) Triangulasi waktu
Pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan
pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik pengumpulan data
yang lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Jika hasilnya berbeda maka
pengumpulan data dilakukan secara berulang-ulang hingga memperoleh
kepastian datanya.
2) Uji transferabilitas (validitas eksternal)
Penelitian dikatakan memenuhi standar transferabilitas apabila pembaca
laporan penelitian memperoleh gambaran yang jelas dari suatu hasil penelitian
dan dapat menerapkannya, dengan kata lain hasil penelitian dapat
digeneralisasikan terhadap masalah lain.
3) Uji dependabilitas (reliabilitas)
Uji dependabilitas dapat dilakukan dengan cara mengaudit atau mengecek
kembali pelaksanaan penelitian yang dilakukan melalui kontrol dari dosen
pembimbing.
4) Uji konfirmabilitas (objektivitas)
Uji konfirmabilitas dapat dilakukan dengan cara mengaudit atau mengecek
kembali data hasil penelitian dengan proses penelitian yang dilakukan melalui
kontrol dari dosen pembimbing.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
deskriptif kualitatif model Miles dan Huberman (Nasution, 2002: 128-130)
dengan tahapan yang terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan
25 1) Reduksi data
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, sehingga perlu
dilakukan analisis data melalui reduksi. Pada tahap ini, peneliti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan
menentukan pola dari data yang diperoleh. Data yang telah direduksi ini dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai hal-hal yang menarik. Data ini dapat
digunakan untuk menentukan fokus penelitian.
2) Penyajian data
Pada langkah ini peneliti berusaha menyusun data yang relevan, sehingga
menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu dengan
cara menampilkan dan membuat hubungan antar variabel agar pembaca laporan
penelitian mengerti apa yang terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk
mencapai tujuan penelitian. Data hasil penelitian dapat ditampilkan dalam bentuk
narasi, transkrip hasil wawancara, tabel, atau gambaran lainnya yang dapat
mempermudah peneliti dalam menarik kesimpulan.
3) Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Pengambilan kesimpulan ini berlangsung secara terus menerus setelah proses
pengumpulan data, reduksi data, dan penyajian data. Kesimpulan yang diambil
pada mulanya bersifat tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan
bertambahnya data, maka kesimpulan akan lebih bermakna. Oleh karena itu,
kesimpulan harus senantiasa diverifikasi. Verifikasi dapat dilakukan dengan
26 Ketiga teknik analisis tersebut saling berhubungan dan berlangsung terus
menerus selama penelitian dilakukan. Jadi, analisis adalah kegiatan yang bersifat
kontinu dari awal penelitian, berlangsungnya penelitian, hingga setelah penelitian.
2. Kajian tentang Pembelajaran Matematika di SMK
Kajian tentang pembelajaran matematika di SMK terdiri atas pemaparan
tentang pembelajaran matematika kelas X SMK Kurikulum 2013 dan karakteristik
siswa SMK.
a. Pembelajaran Matematika kelas X SMK Kurikulum 2013
Erman Suherman, dkk (2003: 8) mengemukakan pembelajaran adalah proses
komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa, dalam
rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa
yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 1 butir 20 UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, menyebutkan pembelajaran adalah proses
interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat lima komponen pembelajaran yaitu
interaksi, siswa, guru, sumber belajar, dan lingkungan belajar.
Pembelajaran di sekolah meliputi pembelajaran pada berbagai mata pelajaran.
Salah satu mata pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah, yakni mata
pelajaran Matematika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika
adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antar bilangan, dan prosedur operasional
yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Menurut
Hamzah B. Uno (2007: 129-130), matematika adalah suatu bidang ilmu yang
27 persoalan praktis. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, diperoleh pengertian
bahwa matematika adalah suatu bidang ilmu yang berperan sebagai alat berfikir,
berkomunikasi, dan menyelesaikan berbagai persoalan terkait bilangan.
Dilihat dari pemaparan pembelajaran dan definisi matematika di atas dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan proses interaksi antara
siswa, guru, dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar dalam rangka
mempelajari ilmu tentang bilangan, hubungan antar bilangan, dan prosedur
operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah terkait bilangan.
Menurut Ebbutt, S. and Straker, A. (1995: 8-10) pembelajaran matematika di
sekolah merupakan:
1) kegiatan penelusuran pola dan hubungan antar ide matematika;
2) kegiatan yang memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi, dan penemuan;
3) kegiatan yang tidak dapat terlepas dari menyelesaikan masalah (problem
solving); dan
4) kegiatan yang mengajarkan siswa memaknai matematika sebagai alat
komunikasi dalam menyampaikan informasi.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 178) mata pelajaran
Matematika di SMK bertujuan agar siswa memiliki kemampuan:
1) memahami dan mengaplikasikan konsep matematika dengan tepat dan efisien
dalam menyelesaikan masalah;
2) menggunakan penalaran pada pola, melakukan manipulasi matematika dalam
28 3) menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol,
tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
4) menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari Matematika, serta sikap
ulet dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah; dan
5) menalar secara logis dan kritis serta mengembangkan aktivitas kreatif dalam
menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan ide.
Hal tersebut sejalan dengan Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika di SMK
adalah agar siswa SMK dapat memahami konsep matematika, menggunakan
penalaran, menyelesaikan masalah, mengomunikasikan gagasan, dan memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Menyelesaikan
masalah yang dimaksud meliputi kemampuan merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Kemampuan
menyelesaikan masalah tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan Kurikulum
2013 yang dijelaskan di Permendikbud Nomor 60 Tahun 2013 yakni agar siswa
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
60 Tahun 2014 ayat 5 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan menjelaskan bahwa mata pelajaran
29 merupakan program kulikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi
sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Program adaptif juga menitikberatkan pada pemberian
kesempatan kepada siswa untuk memahami dan menguasai konsep dan prinsip
dasar ilmu serta teknologi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari atau
melandasi kompetensi kerja.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan, ruang lingkup mata pelajaran Matematika
di SMK sesuai dengan Kurikulum 2013 mencakup bilangan real, aljabar, geometri
dan transformasi, dasar-dasar trigonometri, limit fungsi aljabar, matriks,
kombinatorika, statistika dan peluang, turunan fungsi aljabar, program linier,
geometri ruang, bunga majemuk, angsuran, anuitas, pertumbuhan dan peluruhan,
matriks dan vektor, induksi Matematika, integral, serta logika. Mata pelajaran
Matematika di SMK memuat 58 kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Di
kelas X terdapat 23 kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa, termasuk
kemampuan mendeskripsikan konsep jarak dan sudut antar-titik, garis, dan bidang
melalui demonstrasi menggunakan alat peraga atau media lainnya. Kompetensi
dasar tersebut berkaitan dengan materi geometri yang digunakan dalam penelitian
ini. Melalui kompetensi dasar tersebut, dikembangkan indikator pencapaian
kompetensi siswa dengan memperhatikan kemampuan siswa dan kekhasan materi.
Uraian indikator pencapaian kompetensi siswa pada materi geometri disajikan
30 Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun
2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah
Kejuruan juga menjelaskan pelaksanaan pembelajaran matematika di SMK
berlangsung selama 4 jam pelajaran. Di SMK Negeri 3 Yogyakarta pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar mata pelajaran Matematika dilaksanakan 4 jam
sekaligus dalam satu hari per minggu. Pada saat peneliti melakukan wawancara
tentang pembelajaran matematika di SMK Negeri 3 Yogyakarta, guru
menjelaskan bahwa salah satu hambatan dalam pembelajaran matematika di SMK
Negeri 3 Yogyakarta dengan berbasis Kurikulum 2013 yaitu buku siswa atau
materi yang ada pada kurikulum dirasa masih tidak runtut dan banyak terjadi
kesalahan sehingga sulit dipahami oleh siswa.
Agar proses pembelajaran matematika berjalan dengan optimal, seorang guru
harus mengetahui karakteristik siswanya terlebih dahulu. Untuk selanjutnya akan
dipaparkan mengenai karakteristik siswa SMK.
b. Karakteristik Siswa SMK
Usia anak Indonesiasaat masuk Sekolah Menengah Atas atau Sekolah
Menegah Kejuruan maksimal berusia 21 tahun pada tahun ajaran baru. Hal
tersebut diatur dalam Peraturan Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan
Menteri Agama nomor 04/VI/PB/2011 nomor MA/111/2011 tentang Penerimaan
Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal/Bustanul Athfal
dan Sekolah/Madrasah. Hal itu menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia
masuk Sekolah Menengah Kejuruan pada usia belasan atau masa remaja. Rita Eka
31 anak, periode masa remaja merupakan anak usia 15 tahun atau 16 tahun. Hurlock
yang dikutip oleh Rita Eka Izzaty, dkk (2008:124), menyatakan awal masa remaja
berlangsung kira-kira dari usia 13 tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia
16 tahun atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Masa
remaja ditinjau dari rentang kehidupan manusia merupakan masa peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa, sifat-sifat remaja sebagian sudah tidak
menunjukkan sifat-sifat masa kanak-kanaknya, tetapi juga belum menunjukkan
sifat-sifat sebagai orang dewasa.
Pada masa remaja terjadi proses terbentuknya identitas diri dan tujuan hidup
berupa pemantapan cita-cita. Pada masa remaja ini juga terjadi banyak
perkembangan baik secara fisik, psikoseksual, kognisi, emosi, sosial, dan moral
(Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 152-153). Dilihat dari perkembangan kognisi
menurut teori perkembangan oleh Piaget, remaja atau siswa di sekolah menengah
masuk dalam tahapan operasional formal yang memiliki ciri-ciri memiliki
kemampuan introspeksi yaitu kemampuan berpikir kritis tentang dirinya.
Kemampuan introspeksi sangat berpengaruh dalam proses belajar siswa karena
dengan kemampuan tersebut siswa dapat menyadari bagian-bagian yang sulit ia
pahami dalam belajar dan gaya belajar yang sesuai dengan dirinya. Kemampuan
lain yang dimiliki yaitu kemampuan berfikir logis sehingga siswa dapat
mempertimbangkan hal-hal penting dan mengambil kesimpulan, kemampuan
berpikir berdasarkan hipotesis sehingga siswa sudah dapat membuat
dugaan-dugaan, menggunakan simbol-simbol, dan berpikir yang tidak kaku (Rita Eka
32 Frederick H. Bell (1981: 100) juga menjelaskan menurut Piaget, siswa di
sekolah menengah berada pada masa operasional formal dengan usia 12 tahun
sampai dewasa. Pada usia tersebut seorang siswa akan mampu untuk berpikir
abstrak. Siswa telah mampu merumuskan teori, membuat dan menguji hipotesis.
Siswa juga telah mampu untuk mengambil kesimpulan dari sebuah pernyataan
atau berpikir secara deduktif dan induktif, dan telah mampu berargumentasi
menggunakan implikasi.
Pada tahap operasinal formal, siswa juga dapat mengoperasikan
argumen-argumen tanpa dikaitkan dengan benda-benda konkret. Siswa mampu bernalar
tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwa langsung sehingga siswa
sekolah menengah kejuruan seharusnya sudah mampu mempelajari objek-objek
geometri yang bersifat abstrak. Misalnya, apabila siswa dihadapkan suatu
permasalahan tentang menentukan diagonal ruang suatu limas segitiga T.ABC
maka siswa akan menjawab bahwa limas T.ABC tidak mempunyai diagonal ruang
seperti kubus dan balok yang memiliki diagonal ruang. Untuk membuktikan
bahwa limas T.ABC tidak mempunyai diagonal ruang siswa mampu
mengungkapkan definisi diagonal ruang dan limas segitiga T.ABC. Dalam hal ini
siswa seharusnya dapat melakukannya tanpa menggunakan bantuan benda konkret
atau model dari limas segitiga T.ABC.
3. Tinjauan Materi Geometri Kelas X SMK Kurikulum 2013
Pemaparan mengenai materi geometri kelas X SMK Kurikulum 2013 terdiri
atas uraian materi geometri kelas X SMK Kurikulum 2013 dan objek-objek
33 a. Uraian Materi Geometri Kelas X SMK Kurikulum 2013
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah geometri kelas X
Kurikulum 2013. Pembelajaran geometri sangat penting karena mendukung
banyak materi antara lain vektor, kalkulus, dan mengembangkan kemampuan
menyelesaikan masalah (Sugiyono, dkk, 2014:118-119). Berdasarkan sudut
pandang psikologi, geometri merupakan penyajian abstrak pengalaman visual dan
spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran, dan pemetaan. Ditinjau dari sudut
pandang matematika, geometri memberikan kontribusi penting dalam strategi
penyelesaian masalah, misalnya membuat gambar, diagram, sistem koordinat,
vektor, dan transformasi yang digunakan dalam pendekatan penyelesaian masalah
(Kartono, 2010:25). Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh
rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah
masalah yang baik, dapat berkomunikasi dan bernalar secara matematika,
mengembangkan intuisi spasial, menanamkan pengetahuan untuk menunjang
materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan argumen-argumen
matematika (Kartono, 2010: 25).
Materi yang dipelajari oleh siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan
meliputi menentukan kedudukan, jarak, dan besar sudut yang melibatkan titik,
garis, dan bidang dalam ruang dimensi tiga (Kemendikbud, 2014: 404-448)..
1) Kedudukan Titik
Definisi:
a) Jika suatu titik dilalui garis, maka dikatakan titik itu terletak pada garis
34 Gambar 1. Titik teletak pada garis
b) Jika suatu titik tidak dilalui garis, maka dikatakan titik tersebut berada di
luar garis.
Gambar 2. Titik terletak di luar garis
c) Jika suatu titik dilewati suatu bidang, maka dikatakan titik itu terletak
pada bidang.
d) Jika titik tidak dilewati suatu bidang, maka titik itu berada di luar bidang.
Gambar 3. Kedudukan titik terhadap bidang 2) Jarak antara Dua Titik
Jarak antara dua titik merupakan panjang ruas garis yang menghubungkan
kedua titik tersebut.
•
A
35 Gambar 4. Jarak antara dua titik sebagai panjang sisi miring segitiga siku-siku
Jika terdapat titik A, B, dan C adalah titik-titik sudut segitiga ABC dan
siku-siku di B, maka jarak antara titik A dan Cadalah:
= ( ) + ( )
3) Jarak Titik ke Garis
Jarak antara titik dan garis merupakan panjang ruas garis yang ditarik dari
titik tersebut tegak lurus terhadap garis itu.
Gambar 5. Kubus ABCD.EFGH
Jika dari titik A ditarik garis yang tegak lurus terhadap segmen garis CD maka
diperoleh titik D sebagai hasil proyeksinya (AD ┴ CD). Jadi, jarak titik A ke
segmen garis CD adalah panjang segmen garis yang dibentuk oleh titik A dengan
36 4) Jarak Titik ke Bidang
Gambar 6. Jarak titik ke bidang
Jarak antara titik dengan bidang merupakan panjang ruas garis yang tegak
lurus dan menghubungkan titik tersebut dengan bidang. Misalkan ACF adalah
suatu bidang datar dalam kubus ABCD.EFGH dan titik B merupakan sebuah titik
yang berada diluar bidang ACF. Jarak antara titik B terhadap bidang ACF
merupakan panjang garis tegak lurus dari titik B ke bidang ACF yaitu ruas garis
BP.
5) Jarak antara Dua Garis dan Dua Bidang
Gambar 7. Jarak antara dua garis sejajar
Garis AC dan EG dikatakan sejajar jika jarak antara kedua garis tersebut
selalu sama (konstan), dan jika kedua garis tidak berhimpit, maka kedua garis
tidak pernah berpotongan meskipun kedua garis diperpanjang. Jadi, jarak antara
A B
C D
H G
37 dua garis sejajar merupakan panjang ruas garis yang tegak lurus terhadap dua
garis tersebut yaitu garis AE dan CG.
Gambar 8. Balok PQRS.TUVW
Bidang PQRS sejajar dengan bidang TUVW dan jarak antara kedua bidang
tersebut adalah panjang rusuk yang menghubungkan kedua bidang yaitu rusuk PT,
SW, RV, dan QU. Jadi, jarak antara dua bidang sejajar merupakan panjang ruas
garis yang tegak lurus terhadap dua bidang tersebut.
6) Sudut antara Dua Garis dalam Ruang
Gambar 9. Sudut antara dua garis
Ruas garis AH dan AD berpotongan, sudut antara ruas garis AH dan AD
38 7) Sudut antara Garis dan Bidang
Gambar 10. Sudut antara garis dan bidang
Pada Gambar 10, sudut antara garis AG dan bidang ABCD adalah sudut lancip
yang dibentuk oleh ruas garis AG dan proyeksinya dengan bidang yaitu ruas
garis AC.
8) Sudut antara dua Bidang
Gambar 11. Sudut antara dua bidang
Pada Gambar 11, sudut antara bidang BDG dan ABCD dapat ditentukan oleh
garis GO pada bidang BDG dan garis OC pada bidang ABCD yang saling tegak
lurus pada garis potong bidang BDG dan ABCD.
Berdasarkan uraian materi pembelajaran geometri kelas X SMK, siswa harus
39 menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi tersebut. Berikut ini adalah
beberapa konsep yang harus dipahami siswa.
1) Konsep bangun ruang kubus dan balok (unsur-unsurmya).
2) Konsep segitiga siku-siku (sifat-sifat segitiga siku-siku).
3) Konsep segitiga sama sisi (sifat-sifat segitiga sama sisi).
4) Konsep titik terletak pada garis (jika suatu titik dilalui garis, maka dikatakan
titik terletak pada garis).
5) Konsep titik berada di luar garis (jika suatu titik tidak dilalui garis, maka
dikatakan titik tersebut berada di luar garis).
6) Konsep titik terletak pada bidang (jika suatu titik dilewati suatu bidang, maka
dikatakan titik itu terletak pada bidang).
7) Konsep titik berada di luar bidang (jika titik tidak dilewati suatu bidang, maka
titik itu berada di luar bidang).
8) Konsep proyeksi titik pada garis (misal terdapat titik A, jika dari titik A
ditarik garis AA1 (A1 terletak pada garis) yang tegak lurus dengan garis maka
A1 disebut proyeksi titik A pada garis tersebut).
9) Konsep proyeksi titik pada bidang (misal terdapat titik A, jika dari titik A
ditarik garis AA1 (A1 terletak pada bidang) yang tegak lurus dengan bidang,
maka A1 disebut proyeksi titik A pada bidang tersebut).
10) Konsep proyeksi garis pada bidang (untuk memproyeksikan sebuah ruas garis
AG cukup dengan memproyeksikan titik A dan G pada bidang ABCD,
kemudian menghubungkan A1 dan G1 dengan garis lurus untuk memperoleh
40 11) Konsep ketegaklurusan dua garis (dua buah garis dikatakan saling tegak
lurus, jika saling berpotongan membentuk sudut siku-siku).
12) Konsep ketegaklurusan antara garis dan bidang (sebuah garis dikatakan tegak
lurus bidang, jika garis tersebut tegak lurus pada semua garis pada bidang).
13) Konsep jarak antara dua titik (panjang ruas garis penghubung kedua titik
tersebut).
14) Konsep jarak antara titik ke garis (panjang ruas garis penghubung dari titik
dengan proyeksi titik pada garis).
15) Konsep jarak antara titik ke bidang (panjang ruas garis penghubung titik
dengan proyeksinya pada bidang).
16) Konsep jarak antara dua garis sejajar (panjang ruas garis penghubung salah
satu titik pada masing-masing garis yang tegak lurus terhadap kedua garis).
17) Konsep jarak antara dua bidang sejajar (panjang ruas garis penghubung salah
satu titik pada masing-masing bidang yang tegak lurus terhadap kedua
bidang).
18) Konsep sudut antara dua garis (dua ruas garis yang salah satu ujungnya
bertemu di satu titik).
19) Konsep sudut antara garis dan bidang (sudut lancip yang dibentuk oleh ruas
garis dan proyeksinya pada bidang).
20) Konsep sudut antara dua bidang (sudut yang terbentuk oleh dua garis pada
masing-masing bidang, setiap garis itu tegak lurus pada garis potong kedua
41 Selain konsep, siswa juga harus menguasai beberapa prinsip berikut ini.
1) Mengingat langkah penyelesaian yang diperlukan.
2) Menentukan proyeksi titik pada garis.
3) Menentukan proyeksi titik pada bidang.
4) Menentukan proyeksi garis pada bidang.
5) Menggunakan teorema Pythagoras.
6) Menyederhanakan bentuk akar
7) Mengoperasikan bentuk akar.
8) Menyelesaikan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan.
9) Merasionalkan bentuk akar.
10) Menggunakan prinsip kesebangunan
11) Menentukan panjang ruas garis tegak lurus yang menghubungkan antara
masing-masing titik pada dua garis yang sejajar.
12) Menentukan panjang ruas garis tegak lurus yang menghubungkan antara
masing-masing titik pada dua bidang yang sejajar.
13) Menentukan besar sudut yang dibentuk oleh dua garis yang salah satu
ujungnya bertemu di satu titik.
14) Menentukan besar sudut lancip yang dibentuk oleh ruas garis dan
proyeksinya pada bidang
15) Menentukan besar sudut yang terbentuk oleh dua garis pada masing-masing
bidang, setiap garis itu tegak lurus pada garis potong kedua bidang tersebut di
satu titik
42 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Krismanto (2008: 38),
terdapat masalah pada siswa kelas X yang sedang mempelajari materi geometri.
Masalah utama yang muncul dalam mempelajari sudut dalam ruang adalah siswa
tidak terampil menggambar bangun ruang dan kesulitan memahami konsep
bangun ruang. Tanpa gambar yang jelas dan benar menurut tata cara menggambar
bangun ruang, menentukan besar sudut dalam ruang tidaklah mudah. Apabila
gambar siswa sudah baik, pemahaman konsep bangun ruang khususnya berkaitan
dengan kedudukan antara dua garis merupakan sumber kesulitan. Terdapat juga
dua masalah utama dalam pembelajaran jarak yaitu menentukan/menggambar ruas
garis yang menunjukkan jarak dan menghitung jarak tersebut. Kadang-kadang
untuk menghitung jarak tidak selalu harus menggambar ruas garis yang
menunjukkan jarak tersebut, namun siswa tetap perlu menguasai cara melukis ruas
garis yang menunjukkan jarak antara titik, garis, dan bidang.
Ika Kurniasari (2013: 328) menemukan kesulitan mempelajari geometri
dengan mendefinisikan kesalahan siswa menyelesaikan soal geometri dalam tiga
jenis yaitu kesalahan abstraksi, kesalahan prosedural dan kesalahan konsep.
Kesalahan abstraksi meliputi ketidakmampuan siswa dalam mengabstraksikan
jarak antara garis ke bidang dan sudut antara garis dan bidang. Kesalahan
prosedural meliputi kesalahan pada perhitungan bentuk akar dan penggunaan
rumus Pythagoras. Kesalahan konsep meliputi kesalahan dalam memahami
konsep jarak, konsep sudut dan kesalahan dalam memahami segitiga siku-siku
43 b. Objek-Objek Geometri Kelas X SMK
Terdapat dua objek yang dapat diperoleh siswa setelah belajar matematika.
Menurut Gagne yang dikutip oleh Bell (1978:108), objek dalam matematika
tersebut meliputi objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung dalam
pelajaran matematika meliputi fakta, konsep, keterampilan (skill), dan prinsip,
sedangkan objek tak langsung dalam pelajaran matematika meliputi kemampuan
menyelidiki, kemampuan penemuan, kemampuan problem solving, transfer
belajar, kedisiplinan diri, dan apresiasi pada struktur matematika. Gagne
sebagaimana dikutip oleh Bell (1978: 108) juga menegaskan bahwa fakta, konsep,
keterampilan matematika, dan prinsip merupakan empat kategori yang tidak dapat
dipisahkan dalam matematika. Gagne yang dikutip oleh Bell (1978: 108-110),
menjabaran objek-objek matematika pada materi geometri kelas X adalah sebagai
berikut.
1) Fakta matematika adalah suatu kesepakatan dalam matematika yang ditandai
dengan simbol matematika. Fakta meliputi istilah (nama), notasi
(lambang/simbol). Contoh fakta dalam geometri kelas X di SMK antara lain:
titik sudut, apotema, segmen, segaris (collinear), diagonal bidang, diagonal
ruang, bidang diagonal, “⃖ ⃗” bermakana garis AB, “ ” bermakna ruas garis
, “∟” adalah simbol sudut siku-siku, “∠” adalah simbol sudut misal
∠( , bidang ) artinya besar sudut yang terbentuk oleh garis AH
dengan bidang ABCD, “ // ” bermakna sejajar, “⊥” bermakna tegak lurus, dan
“Δ” yang bermakna segitiga. Fakta dipelajari melalui berbagai teknik
44 kontes. Siswa dianggap telah belajar fakta ketika mereka dapat menyatakan
fakta dan menggunakan dengan tepat dalam sejumlah situasi yang berbeda.
2) Keterampilan matematika adalah kemampuan siswa dalam mengoperasikan
dan menggunakan prosedur penyelesaian masalah matematika secara cepat
dan tepat. Keterampilan dalam menyelesaikan masalah matematika harus
menggunakan serangkaian aturan yang disusun menjadi langkah-langkah
penyelesaian masalah yang disebut dengan algoritma. Di antara contoh
keterampilan pada materi geometri kelas X di SMK adalah keterampilan
menentukan kedudukan titik pada garis dan bidang, menghitung jarak antara
dua titik, menghitung antara jarak titik ke garis, menghitung jarak antara titik
ke bidang, menghitung jarak antara garis ke bidang, menghitung jarak antara
dua garis dan dua bidang yang sejajar, menghitung besar sudut antara dua
garis, menghitung besar sudut antara garis dan bidang, serta menghitung jarak
antara dua bidang. Keterampilan dapat dipelajari melalui demonstrasi dan
berbagai jenis latihan dan praktik seperti lembar kerja, bekerja di papan tulis,
kegiatan kelompok dan permainan. Siswa diketahui telah menguasai
keterampilan ketika mereka dapat menyelesaikan berbagai jenis masalah yang
membutuhkan keterampilan tersebut dalam berbagai situasi.
3) Suatu konsep dalam matematika adalah ide abstrak yang memungkinkan
orang mengklasifikasikan objek atau peristiwa dan untuk menentukan apakah
objek dan peristiwa tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide
abstrak. Bangun ruang, proyeksi, ketegaklurusan, segitiga siku-siku, segitiga
45 bidang, jarak antara garis ke bidang, jarak antara dua titik dan dua bidang
yang sejajar, sudut antara dua garis, sudut antara garis dan bidang, serta sudut
antara dua bidang merupakan contoh konsep dalam geometri kelas X di
SMK. Konsep dapat dipelajari melalui pemahaman terhadap definisi atau
dengan pengamatan terhadap benda secara langsung. Siswa belajar untuk
mengklasifikasikan benda ke dalam himpunan bangun ruang kubus, balok,
limas, prisma dengan observasi langsung dan eksperimen, namun beberapa
siswa dapat mengklasifikasikan benda termasuk dalam himpunan bangun
ruang kubus, balok, limas, maupun prisma dengan pemahaman tentang
definisi keeempat bangun ruang tersebut. Konsep juga dapat dipelajari
dengan mendengar, melihat, diskusi, atau berpikir dan membandingkan
contoh-contoh dan bukan contoh. Siswa diketahui telah belajar suatu konsep
ketika mereka mampu memisahkan contoh dan non-contoh dari suatu konsep.
4) Prinsip adalah objek matematika yang paling kompleks. Prinsip adalah urutan
beberapa konsep yang memiliki hubungan. Pernyataan “kuadrat sisi miring
dari segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat kedua sisi yang lain”
merupakan contoh prinsip dalam geometri kelas X yang digunakan dalam
menentukan jarak. Masing-masing prinsip melibatkan beberapa konsep dan
hubungan antar konsep. Untuk memahami prinsip tentang teorema
Pythagoras, siswa harus mengetahui konsep segitiga siku-siku, konsep
bilangan berpangkat, dan konsep bentuk akar. Prinsip dapat dipelajari melalui
proses penyelidikan ilmiah, pelajaran penemuan terbimbing, diskusi
46 Seorang siswa diketahui telah belajar prinsip ketika dia dapat
mengidentifikasi konsep termasuk dalam prinsip, menempatkan konsep
dalam kaitan yang benar satu sama lain, dan menerapkan prinsip untuk situasi
tertentu.
Konsep dan prinsip merupakan pengetahuan dasar matematika (Cooney,
1975: 203). Konsep dan prinsip harus dikuasai siswa agar ia dapat menyelesaikan
persoalan Matematika dengan benar.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Murdanu (2004) bertujuan untuk mengetahui
kesulitan siswa-siswa SLTP dalam menyelesaikan persoalan geometri dan untuk
mengetahui penyebab serta menunjukkan tindakan alternatif untuk mengatasi
kesulitan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesulitan yang dialami
siswa meliputi: kesulitan menginterpretasikan informasi dalam soal, kesulitan
berbahasa, kesulitan pemahaman konsep dan prinsip dalam geometri, dan
kesulitan teknis. Faktor penyebab kesulitan yang menonjol dari diri siswa, yaitu
siswa tidak mengingat dan tidak memahami konsep dan prinsip geometri yang
telah dipelajari. Tindakan alternatif yang dianjurkan untuk mengatasi kesulitan
tersebut, yaitu pembenahan pembelajaran teknik penyelesaian soal geometri,
pembenahan materi ajar, dan pemberian variasi persoalan geometri.
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Nurjana (2015) menunjukkan bahwa
kesulitan belajar matematika materi jarak, waktu, dan kecepatan di kelas 5A SD N
Pujokusuman 1 Yogyakarta masuk dalam kategori sangat tinggi. Kesulitan
47 Matematika materi jarak, waktu, dan kecepatan. Faktor-faktor yang menyebabkan
kesulitan belajar Matematika materi jarak, waktu, dan kecepatan meliputi faktor
yang menyebabkan kesalahan dalam mengerjakan soal tes, faktor intern dan faktor
ekstern. Rekomendasi pemecahan masalah kesulitan belajar materi jarak, waktu,
dan kecepatan adalah perlunya pengajaran khusus sebagai pengayaan
(enrichment) dan penyembuhan (remedial), menggunakan metode mengajar yang
inovatif dan kreatif, dan menciptakan conditioning (reinforcement, rewards,
encouragement), serta drill.
Penelitian lain dilakukan oleh Erlina Sari Candraningrum (2010)
menunjukkan bahwa 9 siswa yang berasal dari kelas XA dan XB MAN
Yogyakarta I tahun pelajaran 2009/2010 mengalami kesulitan berkaitan dengan
konsep kedudukan dua garis bersilangan, konsep kedudukan dua garis
berpotongan, konsep jarak dua titik dengan kondisi jarak titik ke garis, jarak titik
ke bidang, jarak dua bidang bersilangan, dan jarak dua bidang sejajar. Selain itu,
siswa juga mengalami kesulitan berkaitan dengan konsep sudut dengan kondisi
sudut antara garis menembus bidang dan sudut antara dua bidang yang
berpotongan. Siswa juga mengalami kesulitan berkaitan dengan prinsip jarak dari
titik ke garis, prinsip jarak dari titik ke bidang, prinsip jarak dua garis bersilangan,
dan prinsip jarak dua bidang sejajar, prinsip sudut antara garis menembus bidang,
prinsip sudut antara dua bidang berpotongan, prinsip perhitungan jarak dari titik
ke garis, prinsip perhitungan jarak dari titik ke bidang, prinsip perhitungan jarak
dua garis bersilangan, prinsip perhitungan sudut antara garis menembus bidang
48 Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa kesulitan
siswa dalam mempelajari matematika berkaitan erat dengan pemahaman konsep
dan prinsip serta dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab kesulitan, baik faktor
intern maupun ekstern. Oleh karena itu, penelitian ini lebih difokuskan untuk
mengetahui kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah geometri yang
berkaitan dengan konsep dan prinsip pada materi geometri serta faktor-faktor
yang menyebabkan kesulitan belajar siswa.
C. Kerangka Berfikir
Hasil observasi yang dilakukan peneliti di SMK Negeri 3 Yogyakarta
menunjukkan bahwa guru-guru matematika banyak yang mengeluhkan siswa
kelas XII yang akan mengikuti ujian nasional rata-rata tidak dapat menyelesaikan
soal terkait dengan bangun ruang. Selain itu, untuk siswa kelas X yang akan
menerima pelajaran geometri ternyata memiliki kemampuan dasar geometri yang
sangat rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai tes pengetahuan pra-syarat siswa
yang cenderung rendah dan banyak terjadi kesalahan dalam menjawab soal
berkaitan dengan bentuk-bentuk bangun ruang, unsur-unsur pada bangun ruang,
hubungan antar unsur, dan konsep segitiga. Pada saat menyebutkan bentuk-bentuk
bangun ruang banyak siswa yang belum dapat membedakan bangun limas dan
prisma dengan benar. Siswa belum memahami tentang perbedaan unsur-unsur
pada bangun ruang seperti diagonal ruang, bidang diagonal, dan diagonal bidang,
Masih banyak siswa yang belum paham hubungan antar unsur pada bangun ruang
seperti garis yang berpotongan, sejajar, tegak lurus, dan bersilangan. Siswa juga
49 dipelajari di SMP. Siswa yang memiliki nilai tes pengetahuan pra-syarat di atas
KKM hanya 17 siswa dari 60 siswa. Pada materi geometri, KKM yang ditentuka
oleh guru adalah 70.
Hasil pengamatan di kelas X Kendaraan Ringan 1 dan X Teknik Permesinan
2 SMK Negeri 3 Yogyakarta selama proses pembelajaran geometri, wawancara
dengan guru mata pelajaran Matematika di kelas tersebut dan dokumentasi nilai
ulangan harian mata pelajaran Matematika materi geometri menunjukkan terdapat
46 siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah geometri,
ditunjukkan dengan nilai siswa di bawah KKM. Bukti lain ditunjukkan dari hasil
ujian tengah semester yang kurang baik pada materi geometri tercatat 33 siswa
memiliki nilai di bawah KKM. Selain itu, hasil tes diagnostik menunjukkan
terdapat 33 siswa yang membuat kesalahan lebih dari 50% saat mengerjakan tes
diagnostik.
Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui kesulitan siswa dan penyebabnya
dalam menyelesaikan masalah geometri. Untuk mengetahui kesulitan siswa dan
penyebabnya dalam menjawab soal serta mengetahui faktor penyebab kesulitan
siswa dapat menggunakan kegiatan diagnosis kesulitan belajar. Diagnosis
kesulitan belajar adalah proses menentukan jenis kelemahan atau kesulitan belajar
siswa dengan meneliti dan menganalisis latar belakang atau faktor penyebab serta
gejala permasalahan yang tampak dalam belajar untuk mengambil kesimpulan
serta mencari alternatif penyelesaiannya.
Prosedur diagnosis secara umum yang akan digunakan dalam penelitian ini