commit to user
PENGARUH PENERAPAN MEKANISME
CORPORATE
GOVERNANCE
TERHADAP KUALITAS LABA DENGAN
MODERASI KOMPETENSI KOMISARIS INDEPENDEN
TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Magister Sains Program Studi Magister Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
ERNIYAWATI MUSTAQOMAH
NIM: S4309006
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
commit to user
commit to user
commit to user
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Terucap syukur pada kecintaan abadi, Allah SWT, karena uluran Rahman dan RahimNYA, aku berhasil mengakhiri perjalanan panjangku dengan baik.
Suamiku terkasih, Mas Bayu, terima kasih atas restumu, karya ini adalah buah dukungan dan tengadah tanganmu di sepertiga malam yang sangat dingin.
My heroes, Afin dan Fay, terima kasih nak pengertiannya, untuk waktu dimana tiada bunda mengiringi waktu kalian. Karya ini tercipta karena senyuman dan pengorbanan kalian.
Orang tua- orang tua kami, karya ini adalah hasil tengadah tangan beliau pada setiap tahajjud.
Pembimbingku, karya ini adalah buah kesabaran, ketelitian, kritikan, masukan, dan setiap menit waktu yang beliau luangkan tuk membimbingku menemukan jalan yang benar. Terima kasih …. Matur nuwun terutama untuk support di keputusasaanku.
commit to user
vi
Motto
v Kebahagiaan adalah salah satunya yang akan bertambah jika orang mau membaginya.
v
Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima
tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling
Anda dan buku-buku yang Anda baca. -
Charles "tremendeous"
Jones
v
Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah
Yang Terbaik untukmu ! Dan karena itulah, Qalbu seorang
pecinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya. -
Jalaludin Rumi
v
Sesungguhnya seseorang bisa disebut mandiri bukan
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat,
karunia dan hidayahNya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Tesis
dengan judul “ Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas Laba
dengan Moderator Kompetensi Komisaris Independen” ini disusun untuk memenuhi
syarat guna mencapai derajat magister sains program studi Akuntansi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini bukan hasil dari jerih
payah sendiri, akan tetapi banyak pihak yang telah membantu kelancarannya. Pada
kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada
semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
hingga selesainya Tesis ini. Dengan kerendahan hati, peneliti mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah berkenan
memberikan bantuan kepada peneliti berupa Beasiswa BPPS dalam
menyelesaikan studi di program studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. dr. H.M. Syamsulhadi, Sp.KJ (K), selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret.
3. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.d., selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
4. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
commit to user
viii
5. Dr. Bandi, M.Si, Ak., selaku Ketua Program Studi Magister Akuntansi
Universitas Sebelas Maret .
6. Ibu Dra. Y. Anni Aryani, M.Prof.Acc.,Ph.D.,Ak., selaku pembimbing I yang telah
meluangkan waktu dan pikiran, serta memotivasi peneliti dalam penyusunan
tesis.
7. Drs. Subekti Djamaluddin, M.si.,Ak., selaku pembimbing II yang telah
memberikan waktu dan segala kemudahan serta kesabaran mengarahkan dalam
penyusunan tesis.
8. Bapak Ibu dosen beserta Staf di Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberikan bimbingan
keilmuan, khususnya dalam ilmu Akuntansi.
9. Direktur Politeknik Pratama Mulia yang telah memberikan kesempatan untuk
melanjutkan studi ini.
Surakarta, April 2011
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………. v
HALAMAN MOTTO ………. vi
KATA PENGANTAR ……… vii
DAFTAR ISI ……….. viii
DAFTAR TABEL ……….. xi
DAFTAR GAMBAR ……….. xv
DAFTAR LAMPIRAN ……… ….xvii
ABSTRAK ………. xix
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
A.Latar Belakang Masalah ……… 1
B.Perumusan Masalah ……….. 8
commit to user
x
D.Manfaat Penelitian ……… 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS ……... 11
A.Tinjauan Literatur dan Review Penelitian Sebelumnya ……… 11
A. 1 Tinjauan Literatur ……….. 11
A.1.1 Teori keagenan dan masalah keagenan ………... 11
A.1.2 Corporate Governance ………. 13
A.1.3 Kualitas Laba ………... 19
A.1. 4 Manajemen Laba ………... 24
A.1. 5 Hubungan Kualitas Laba dengan Mekanisme Pengawasan ………. 29
A.2 Review Penelitian Sebelumnya ………. 31
B. Perumusan Hipotesis ………. 38
B.1 Kerangka Konseptual ………. 38
B.2 Perumusan Hipotesis ……….. 39
B.2.1 Komisaris Independen ……….. 39
B.2.2 Pengalaman Komisaris ……….. 41
B.2.3 Ukuran Komisaris ……….. 42
commit to user
xi
BAB III METODE PENELITIAN ………. 44
A. Metode Penelitian ………... 44
B. Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data ……… 44
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ………. 46
C.1 Kualitas Laba ………46
C.2 Komisaris Independen ………..47
C.3 Pengalaman Komisaris ………..48
C.4 Ukuran Dewan Komisaris ……….48
C.5 Kompetensi Komisaris Independen ………. 48
D. Analisa Data ………48
D.1 Uji Asumsi Klasik ……… .48
D.1.1 Uji Normalitas ………..49
D.1.2 Uji Multikolinearitas ………... 49
D.1.3 Uji Autokorelasi ………49
D.1.4 Uji Heterokedastisitas ……….. 50
D.2 Uji Hipotesis ……… 51
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ………. .52
commit to user
xii
B. HasilUji Asumsi Klasik ………...55
C. HasilPengujian Hipotesis ……….57
D. Pembahasan ……… 60
BAB V PENUTUP ………. 66
A. Kesimpulan ………..66
B. Keterbatasan ……….67
C. Saran ……….68
D. Implikasi ………...68
DAFTAR PUSTAKA ………..70
DAFTAR LAMPIRAN ………... .79
commit to user
xiii
1. Tabel 1 Perkembangan Teori keagenan dan Implikasinya terhadap corporate
governance………..14
2. Tabel 2 PengambilanKeputusanDurbinWatsonTest ……… 50
3. Tabel 3 Jumlah sampel Penelitian ……… 52
4. Tabel 4 Klasifikasi sampel berdasarkan karakteristik industri……… 53
5. Tabel 5 Deskripsi Statistik ……… 53
6. Tabel 6 Uji Normalitas Data ……… 55
7. Tabel 7 Hasil Uji Multikolinearitas ……… 56
8. Tabel 8 Uji Autokorelasi ……… 57
9. Tabel 9 Uji Heterokedastisitas ……… 57
10.Tabel 10 Pengujian kelayakan model regresi ……… 58
11.Tabel 11 Hasil uji signifikansi parsial ……… 59
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
commit to user
xv
2. Data GCG dan Discretionary accruals ………...81
commit to user
ii ABSTRAK
Pengaruh Penerapan Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas laba dengan Moderasi Kompetensi Komisaris Independen
Erniyawati Mustaqomah NIM S.4309006
Penelitian ini menguji pengaruh penerapan mekanisme corporate governance dari sisi karakteristik dewan komisaris, yaitu komisaris independen, pengalaman komisaris dan ukuran komisaris terhadap kualitas laba. Penelitian ini juga melakukan pengujian efek moderasi kompetensi komisaris independen terhadap hubungan komisaris independen dengan kualitas laba. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Dengan menggunakan 120 perusahaan yang terdaftar di bursa efek Indonesia sebagai sampel, penelitian berhasil mendapatkan bukti pengaruh yang signifikan keberadaan komisaris independen dan kompetensi di bidang akuntansi dan keuangan terhadap kualitas laba yang ditinjau dari nilai discretionary accruals. Proporsi komisaris independen dan kompetensi akuntansi atau keuangan yang semakin besar terbukti mampu menurunkan nilai
discretionary accruals. Jika dihubungkan dengan manajemen laba, jumlah komisaris
independen yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah komisaris non independen terbukti mampu membatasi praktek manipulasi accruals, terutama dalam bentuk manajemen laba. Dengan menurunnya praktek manajemen laba, maka kualitas labanya meningkat. Penelitian ini juga memberikan bukti adanya moderasi kompetensi komisaris independen terhadap hubungan antara komisaris independen dan kualitas laba. Namun begitu, penelitian ini tidak berhasil menemukan bukti adanya pengaruh yang signifikan antara variabel pengalaman maupun ukuran dewan komisaris terhadap kualitas laba.
commit to user
iii ABSTRACT
The Effect of Implementation of Corporate Governance Mechanism on Earnings Quality with Boards of Commissioner’s Competence as Moderating
Variable
Erniyawati Mustaqomah S4309006
This paper examines the effect of corporate governance mechanism namely the role of boards of commissioner and earnings quality. It focus on three importance characteristics of boards of commissioner effectiveness which are boards independence, boards expert, boards size. Purposive sampling are being used to identify the correct samples. Using data from 120 of manufacture, construction, mining, transportation service, telecommunication and wholesale companies, this study find a positive significant association between boards independence and earnings quality measured by the discretionary accruals model. This study also find that association between boards independen and earnings quality has been moderated by boards independence competency. No evidence of association is found between boards expertise and boards size on earnings quality.
commit to user
44 BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Informasi keuangan yang berkualitas merupakan informasi yang sangat
penting bagi pengambilan keputusan bisnis dan investasi. Menurut IAI (2009) yang dinyatakan dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan
keuangan SAK tahun 2009 paragraf 12, tujuan laporan keuangan adalah
menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta
perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi
keputusan-keputusan ekonomi. Bagi pihak eksternal, laporan keuangan yang dipublikasikan
merupakan sumber informasi utama yang digunakan sebagai dasar pembuatan
keputusan bisnis.
Salah satu komponen penting dalam laporan keuangan perusahaan yang
menarik perhatian pihak eksternal perusahaan adalah laba. Hal ini dikarenakan
laba mempunyai nilai prediktif, sehingga berbagai keputusan bisnis mendasarkan
pada komponen tersebut (FASB, 1980) yang dinyatakan dalam conceptual
framework SFAC nomer 3. Informasi laba juga berguna untuk menilai perubahan
potensi sumberdaya ekonomis perusahaan yang kemungkinan dapat dikendalikan
di masa depan, penilaian arus kas, dan penilaian keefektifan pengelolaan sumber
daya perusahaan oleh manajemen (Boediono, 2005). Peningkatan laba merupakan
sinyal baik bagi para investor karena terdapat kemungkinan penambahan
commit to user
Mengingat pentingnya kedudukan laba sebagai salah satu sumber
pengambilan keputusan bisnis, laba yang dilaporkan perusahaan harus
mempunyai kualitas yang baik. Menurut FASB (1980) dalam conceptual
framework SFAC nomer 2, laba yang berkualitas adalah laba yang bermanfaat
bagi pengambilan keputusan bisnis, yaitu yang memiliki karakteristik relevansi,
reliabilitas, dan konsistensi.
Informasi laba dikatakan relevan apabila informasi tersebut dapat
mempengaruhi ekspektasi atau mengubah pengambilan keputusan para
pemakainya (Paluruan dan Siregar, 2007). Laba yang berkualitas tinggi dipercaya
dapat menyampaikan informasi laba perusahaan yang fundamental (Dechow et
al., 2009).
Pengukuran kualitas laba merupakan sesuatu hal yang sangat multi
dimensi (Teets, 2002; Wysocki, 2008). Artinya, kualitas laba dapat dilihat dari
aspek manfaatnya bagi pengambilan keputusan bisnis para pengguna laporan
keuangan maupun dari core earnings (Schipper dan Vincent, 2003). Dalam
kontek riset akuntansi, pengukuran kualitas laba dititikberatkan pada manfaatnya
bagi pengambilan keputusan bisnis oleh para pemakai laporan keuangan
(Dechow et al., 2009). Dari sisi dimensi ini, kualitas laba dapat dilihat
berdasarkan nilai accruals. Menurut model accruals, laba terdiri dari aliran kas
dari aktivitas operasi dan total accruals (Han An dan Naughton, 2009).
Akuntansi accruals digunakan untuk mengakui pendapatan dan beban
pada saat terjadinya suatu transaksi keuangan dan bukan saat terjadi penerimaan
atau pengeluaran kas sehingga membuat informasi akuntansi, terutama informasi
commit to user
Namun begitu, accruals dapat menjadi kurang relevan karena adanya
perilaku oportunistik manajemen dalam bentuk manipulasi accruals (Schipper
dan Vincent, 2003; Sulistyanto, 2008; Dechow et al., 2009).
Manipulasi accruals dilakukan pihak manajemen perusahaan pada saat
proses penyusunan laporan keuangan. Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem
pengawasan dan pengendalian untuk membatasi perilaku oportunistik manajemen
dalam bentuk manipulasi accruals yang dapat menyesatkan pengguna laporan
keuangan, terutama pihak investor dan kreditur.
Corporate governance adalah salah satu mekanisme pengawasan yang
dapat diterapkan perusahaan untuk mengendalikan tindakan oportunistik
manajemen yang menyebabkan penurunan kualitas laporan keuangan (Wang,
2006; Dechow et al, 2009; Hashim, 2009; Ismail et al., 2010). Corporate
governance sangat erat kaitannya dengan Teori Keagenan Jensen dan Meckling
(1976) yang mengatur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam
pengelolaan perusahaan, terutama bagi perusahaan yang terpisah antara pemilik
dan pengelolanya (Husnan, 2001). Menurut Sulistyanto (2008), corporate
governance adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan agar
tercipta nilai tambah bagi semua stakeholders perusahaan.
Dalam hubungannya dengan manajemen laba, corporate governance
merupakan pengawas sistem penyusunan laporan keuangan yang membatasi
kesempatan atau kemampuan seorang manajer dalam mengelola laba (Fayoumi et
al., 2010). Dewan komisaris merupakan mekanisme utama dalam corporate
commit to user
keuangan perusahaan dari tindakan manajemen accruals sehingga laporan
keuangan perusahaan tidak menyesatkan para penggunanya (Hasim dan Devi,
2008; Hasim, 2009).
Peran dewan komisaris yang efektif diharapkan dapat mengurangi
perilaku manajemen perusahaan yang berhubungan dengan tindakan-tindakan
perekayasaan laporan keuangan untuk menyesatkan para pengguna karena
beberapa motivasi pribadi, misalnya motivasi bonus based earnings atau untuk
menyembunyikan adanya penurunan laba dalam periode tertentu (Fayoumi et al.,
2010).
Ada beberapa faktor internal dari diri dewan komisaris yang berpengaruh
terhadap keefektifan peran pengawasan yang dijalankannya. Faktor-faktor
tersebut misalnya keberadaan komisaris independen, pengalaman dan ukuran atau
jumlah komisaris yang dimiliki perusahaan (Johari et al., 2008; Hasim dan Devi,
2008; Hasim, 2009; Ismail et al., 2010).
Penjelasan di atas menegaskan bahwa corporate governance
mempengaruhi kualitas laba melalui mekanisme pengawasan pada proses
penyusunan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan
(Cohen et al., 2004). Komisaris independen yang mengetahui aturan, standar
maupun proses penyusunan laporan keuangan diharapkan memberikan pengaruh
positif terhadap terciptanya informasi keuangan yang berkualitas, khususnya laba.
Penelitian empiris telah memberikan bukti adanya pengaruh mekanisme
corporate governance terhadap kualitas laba dan manajemen laba yang ditinjau
commit to user
2002; Ebrahim, 2007; Jaggi et al., 2007; Johari et al, 2008;). Penelitian empiris
mengenai pengaruh corporate governance terhadap kualitas laba tidak dapat
dipisahkan dari manajemen laba. Manajemen laba merupakan salah satu bentuk
perilaku oportunistik manajemen dalam memanipulasi accruals yang dapat
mengakibatkan penurunan kualitas laba. Namun demikian, hasil-hasil penelitian
empiris tersebut masih sangat bervariasi dan bertolak belakang.
Beberapa peneliti menemukan bukti adanya hubungan negatif keberadaan
komisaris independen dengan tindakan manajemen laba oleh pihak manajemen
(Dechow et al., 1996; Klein, 2002; Xie et al., 2003; Ebrahim, 2007; Mashayekhi,
2008). Bukti penelitian empiris tersebut di atas memberikan arti bahwa
keberadaan komisaris independen dapat membatasi praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh pihak manajemen, sehingga kualitas labanya meningkat. Namun
beberapa peneliti yang lain memberikan bukti yang bertolak belakang, yaitu
komisaris independen tidak berhubungan signifikan dengan manajemen laba
(Park dan Shin, 2004; Boediono, 2005; Siregar dan Utama, 2008; Sriwedari,
2009; Sefiana, 2010; Fitriannasari, 2010; Ismail et al., 2010).
Pengalaman merupakan salah satu faktor internal pada diri komisaris
independen yang mampu meningkatkan keefektifan fungsi pengawasan yang
dilakukannya. Pengalaman merujuk pada pengalaman yang dimiliki oleh seorang
komisaris independen pada posisi sama, di suatu perusahaan. Pengalaman
memungkinkan seorang komisaris independen untuk mengetahui dan memahami
kegiatan operasional beserta jajaran manajemen yang mengelola perusahaan
commit to user
Penelitian Beasley (1996) menemukan adanya hubungan negatif
signifikan antara lamanya jabatan seorang anggota dewan komisaris dengan
kemungkinan terjadinya penipuan pelaporan keuangan. Hal ini dikarenakan
adanya peningkatan kemampuan yang dimiliki dewan komisaris independen
dalam melakukan pengawasan terhadap tindakan manajemen perusahaan seiring
dengan meningkatnya umur jabatannya. Akan tetapi hasil penelitian Peasnell et
al. (1999) dan Xie et al. (2003) menemukan bukti bahwa lamanya jabatan
komisaris independen pada perusahaan yang sama akan menurunkan keefektifan
proses pengawasan yang dijalankannya.
Jabatan yang terlalu lama menyebabkan hubungan personal yang terjalin
antara komisaris independen dengan direktur perusahaan sebagai badan yang
menjadi obyek pengawasan menjadi dekat sehingga mempengaruhi sifat
independensi. Untuk perusahaan di Indonesia, penelitian banyak difokuskan pada
ukuran dan independensi yang dimiliki oleh seorang komisaris (Midiastuty dan
Macfoedz, 2003; Rachmawati dan Triatmoko, 2007; Siregar dan Utama, 2008;
Fitriannasari, 2010) dan belum diperluas pada permasalahan umur jabatan
komisaris maupun kompetensi yang dimiliki oleh komisaris independen.
Ukuran atau jumlah anggota dewan komisaris yang dimiliki oleh suatu
perusahaan juga dapat mempengaruhi kualitas laba. Hasil penelitian empiris
menunjukkan bahwa jumlah dewan komisaris yang besar berhubungan positif
signifikan dengan kualitas laba (Zahra dan Pierce II, 1989; Ismail et al., 2010).
commit to user
dewan komisaris yang kecil berhubungan negatif dengan manajemen laba
sehingga berdampak pada peningkatan kualitas laba (Dechow et al., 1996).
Alasannya adalah dengan ukuran yang kecil, proses komunikasi dan
koordinasi di antara para anggota dewan komisaris tersebut dapat berjalan dengan
efektif dan berkualitas sehingga berdampak signifikan terhadap kinerjanya. Hal
ini konsisten dengan pernyataan Sarkar et al. (2006) bahwa keefektifan
komunikasi dan koordinasi yang diukur dari banyaknya pertemuan yang
dilakukan oleh para anggota dewan komisaris memberikan dampak penurunan
manajemen laba. Mashayekhi (2008) memberikan bukti hubungan yang tidak
signifikan antara jumlah pertemuan yang diselenggarakan dewan komisaris
dengan aktivititas manajemen laba.
Perbedaan hasil-hasil penelitian empiris mengenai pengaruh mekanisme
corporate governance terhadap kualitas laba secara langsung maupun melalui
manajemen laba yang bervariasi dan bertolak belakang seperti telah diuraikan di
atas memberikan sebuah tanda bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi
keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris.
Kompetensi merupakan karakteristik penunjang lain yang sangat
berpengaruh terhadap keefektifan proses pengawasan yang dilakukan komisaris
independen. Kompetensi pada uraian di atas merujuk pada keahlian yang
dimiliki komisaris independen di bidang akuntansi atau keuangan. Beberapa
peneliti menemukan bukti adanya penurunan praktik manipulasi laba pada
perusahaan yang mempunyai dewan komisaris dengan keahlian di bidang
commit to user
Hasim (2009) menemukan hubungan signifikan antara keahlian dewan
komisaris di bidang governance, akuntansi dan keuangan dengan kualitas laba.
Oleh karena itu, merujuk pada hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai
kompetensi komisaris independen (Agrawal dan Chada, 2005; Xie et al., 2003;
Hasim, 2009), maka penelitian ini melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya
dengan menambahkan kompetensi komisaris independen sebagai variabel
pemoderasi.
Kompetensi diharapkan dapat berpengaruh terhadap hubungan antara
komisaris independen dan faktor pengalamannya dengan kualitas laba melalui
meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi praktik-praktik manipulasi yang
dilakukan manajemen, terutama pada saat proses penyusunan laporan keuangan
(Chtorou et al., 2001; Johari et al., 2008) sehingga dapat membatasi keinginan
manajemen untuk melakukan manipulasi accruals. Dengan demikian, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih comprehensive mengenai
pengaruh antara corporate governance dan kualitas laba.
B. PERUMUSAN MASALAH
Dari hasil-hasil penelitian empiris mengenai penerapan mekanisme
corporate governance seperti yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan
belum mencapai satu kesepakatan hasil penelitian. Jika ditinjau lebih jauh,
khususnya terhadap penelitian yang dilakukan di Indonesia, terdapat satu
permasalahan penelitian yaitu menguji pengaruh penerapan mekanisme corporate
governance terhadap kualitas laba secara individual tanpa mempertimbangkan
commit to user
Dengan adanya penambahan variabel pemoderasi, faktor lain yang
berdampak pada pengaruh masing-masing mekanisme corporate governance
terhadap kualitas laba tersebut dapat dijelaskan dengan lebih mendetail serta jelas
dan kemungkinan dapat memperkecil gab hasil penelitian yang ada dengan
memberikan bukti penelitian yang lebih comprehensive. Penelitian ini menguji
pengaruh salah satu mekanisme corporate governance yaitu karakteristik dewan
komisaris yang ditinjau dari aspek independensi, pengalaman, dan jumlah dewan
komisaris dengan penambahan variabel pemoderasi kompetensi komisaris
independen.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh komisaris independen secara langsung maupun
dimoderasi oleh adanya kompetensi terhadap kualitas laba perusahaan?
2. Bagaimana pengaruh pengalaman yang dimiliki komisaris perusahaan
terhadap kualitas laba?
3. Bagaimana pengaruh ukuran dewan komisaris yang dimiliki perusahan
terhadap kualitas laba perusahaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dapat
diuraiakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh komisaris independen baik langsung maupun
commit to user
2. Untuk mengetahui pengaruh pengalaman komisaris independen terhadap
kualitas laba.
3. Untuk mengetahui pengaruh ukuran dewan komisaris yang dimiliki
perusahaan terhadap kualitas laba.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi yang melengkapi
penelitian sebelumnya mengenai pengaruh mekanisme corporate governance
yaitu dewan komisaris yang ditinjau dari faktor independensi, pengalaman
dan ukuran atau jumlah anggota dewan komisaris dalam sebuah perusahaan
terhadap kualitas laba yang dilaporkan perusahaan.
2. Bukti-bukti yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dijadikan masukan
bagi perusahaan maupun pemerintah dalam merumuskan mekanisme good
corporate governance yang sesuai dengan lingkungan institusional di
Indonesia sehingga secara efektif dapat meningkatkan kualitas pelaporan
keuangan serta memberikan perlindungan yang memadai terhadap
kepentingan para pemegang saham. Dengan demikian dapat mendorong
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. TINJAUAN LITERATUR dan REVIEW
PENELITIAN SEBELUMNYA A.1 Tinjauan literatur
A.1.1 Teori keagenan dan masalah keagenan.
Pembahasan mengenai corporate governance tidak dapat dipisahkan dari
masalah keagenan. Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai
pentingnya penerapan corporate governance, pada sub bab ini akan dijabarkan
terlebih dahulu mengenai teori keagenan dan masalah keagenan.
Pada dasarnya teori keagenan membahas hubungan kontraktual antar
anggota-anggota dalam organisasi, yaitu antara pemegang saham atau principal
dengan manajemen perusahaan atau dikenal dengan nama agent (Husnan, 2001;
Arifin, 2005). Jensen dan Meckling (1976) memberikan definisi yang lebih jelas
mengenai hubungan keagenan dan biaya keagenan. Hubungan keagenan menurut
Jensen dan Meckling (1976: 5) adalah:
A contract under which one or more persons (the principal’s) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent.
Menurut definisi di atas, principal memberikan wewenang kepada agent
bertindak atas nama principal untuk mengelola perusahaan. Secara periodik,
agent harus mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan principal
commit to user
Dalam tata kelola perusahaan, aplikasi teori keagenan dapat dilihat dari
kontrak kerja yang disepakati antara pemegang saham dengan manajemen selaku
pengelola perusahaan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya inti dari teori
keagenan adalah proses penyusunan kontrak yang tepat untuk menselaraskan
kepentingan antara principal dan agent apabila terjadi conflict of interest (Scott,
2006).
Eisenhard (1989) mengungkapkan asumsi yang melandasi teori keagenan
yaitu: (a) asumsi sifat manusia, (b) asumsi keorganisasian, (c) asumsi informasi.
Asumsi sifat manusia menekankan pada sifat manusia yang mementingkan diri
sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality),
dan tidak menyukai risiko (risk averse). Asumsi keorganisasian menekankan
pada timbulnya konflik antar anggota dalam sebuah organisasi, efisiensi, serta
adanya asymmetry information antara principal dan agent. Selanjutnya asumsi
informasi memandang bahwasanya informasi merupakan sebuah komoditi yang
dapat diperjualbelikan.
Principal sebagai pemilik modal memiliki hak akses atas informasi
internal perusahaan serta bertindak sebagai pengambil keputusan-keputusan
strategis jangka panjang dan global. Agent, di sisi yang lain mempunyai informasi
riil dan lengkap mengenai kegiatan operasional perusahaan namun tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengambilan keputusan strategis
perusahaan (Arifin, 2005). Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang
commit to user
menimbulkan masalah perbedaan kepentingan yang berpotensi kepada agency
problems.
Menurut Arifin (2005) masalah keagenan yang fundamental timbul karena
adanya pemisahan antara pemilik dan pengelola. Pemisahan antara pemilik dan
pengelola dapat menyebabkan timbulnya asymmetry information. Asymmetry
information adalah ketidakseimbangan informasi yang disebabkan adanya
distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agent (Arifin, 2005).
Artinya agent tidak menyajikan informasi yang digunakan principal sebagai
dasar pengambilan keputusan secara transparan. Akibatnya, informasi yang
diperoleh principal kurang lengkap sehingga tidak dapat menjelaskan kinerja
agent yang sesungguhnya dalam hal mengelola kekayaan yang diamanahkan
kepadanya. Asymmetry information merupakan salah satu faktor yang
mendorong terciptanya agency problems. Faktor asymmetry information dapat
merangsang perilaku oportunistik pihak manajemen perusahaan (agent) untuk
memaksimalkan keuntungan pribadi sehingga dapat merugikan pihak lain,
khususnya pemegang saham (principal).
A.1.2 Corporate governance.
Munculnya isu corporate governance sangat berkaitan dengan terpisahnya
pemilik dan pengelola perusahaan. Terpisahnya fungsi pemilik dan pengelola
perusahaan menyebabkan perlunya mekanisme pengawasan yang spesifik untuk
memastikan bahwa tindakan manajemen perusahaan sejalan dengan kepentingan
commit to user
Perkembangan teori keagenan dan implikasinya terhadap corporate
governance dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1
Perkembangan Agency Theory dan Implikasinya terhadap Corporate Governance
Karakteristik 1. Perusahaan dengan single majority
corporate governance dapat berbeda-beda menyesuaikan tahap perkembangan
perusahaan, terutama berkaitan dengan struktur kepemilikan. Aspek corporate
governance akan semakin diperlukan pada perusahaan yang mempunyai struktur
kepemilikan yang menyebar (dispear ownership).
A.1.2.1 Definisi corporate governance.
Konsep corporate governance muncul bersamaan dengan konsep
korporasi (Maksum, 2005). Namun banyak yang berpendapat bahwa konsep ini
commit to user
Faktor inilah yang menyebabkan masih banyak perusahaan sekalipun
telah beroperasi di pasar modal yang menganggap good corporate governance
sebagai formalitas saja. Lahirnya teori keagenan telah memberikan kontribusi
yang besar terhadap konsep corporate governance khususnya corporate
governance (Maksum, 2005). Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam mengenai konsep corporate governance perlu diketahui terlebih
dahulu pengertian atau definisi dari corporate governance tersebut.
Secara sederhana, corporate governance diartikan sebagai seperangkat
tindakan untuk melindungi kepentingan para pemegang saham (Hasim, 2009).
Definisi lain dari corporate governance yang dinyatakan dalam
The Cadbury Report (1992: 15) adalah sebagai berikut:
The system by which companies are directed and controlled. Boards of directors are responsible for the governance of their companies. The Shareholders’ role governance is to appoint the directors and the auditor and to satisfy themselves that an appropriate governance structure is in place. The responsibilities of the Board include setting the strategies aims, providing the leadership to put them into effect, supervising the management of the business and reporting to shareholders on their stewardship. The board’s actions are subject to laws, regulations and the shareholders in general meeting.
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG: 21)
mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:
Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka. Atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Parkinson (1993) memberikan definisi yang lebih praktis, yaitu proses
commit to user
manajemen perusahaan bertindak sejalan dengan kepentingan para pemegang
saham.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa corporate
governance merupakan suatu sistem yang disusun dalam rangka mengarahkan
dan mengendalikan perusahaan demi tercapainya keselarasan kepentingan
berbagai pihak yang berhubungan dengan perusahaan.
A.1.2.2 Asas corporate governance.
Banyak pihak yang menduga bahwa terjadinya krisis perekonomian global
yang melanda negara-negara Asia Tenggara tahun 1998 disebabkan adanya
penerapan mekanisme corporate governance yang buruk, khususnya pada
perusahaan – perusahaan di Indonesia (Husnan, 2001; Maksum, 2005; Arifin,
2005). Oleh karena itu, sejak tahun 1999 Komite nasional kebijakan corporate
governance (KNKCG) telah mengeluarkan pedoman good corporate governance
yang telah mengalami perbaikan tahun 2001. Menurut KNKCG (2006) yang
tertuang dalam pedoman good corporate governance Indonesia mengenai
asas-asas good corporate governance, agar tercipta pelaksanaan corporate
governance yang baik diperlukan asas-asas fundamental yang menjadi dasar bagi
setiap tindakan berbagai pihak dalam perusahaan dan kerjasama yang baik di
antara organ-organ perusahaan. Asas–asas fundamental tersebut meliputi
transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness.
Asas transparency mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan
semua informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan
commit to user
pertanggungjawaban pihak manajemen kepada pemegang saham berkaitan
dengan kinerjanya secara transparan dan wajar. Responsibility berkaitan dengan
kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selain itu, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga tidak
ada dominasi di antara organ-organ perusahaan (independency) dan senantiasa
memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan (fairness).
A.1.2.3 Organ – organ perusahaan.
Organ perusahaan yang terdiri dari rapat umum pemegang saham (RUPS),
dewan komisaris dan direksi mempunyai peran penting dalam pelaksanaan
corporate governance yang efektif. Selanjutnya akan diuraikan wewenang
masing-masing organ tersebut di atas dalam perusahaan.
A.1.2.3.1 RUPS.
RUPS bertanggungjawab dalam pengangkatan, pemberhentian, pemberian
bonus dan insentif bagi dewan komisaris dan direksi. Pengangkatan dewan
komisaris dan direksi harus memperhatikan kualitas dan melalui proses fit and
proper test.
A.1.2.3.2 Dewan komisaris.
Dewan komisaris bertanggungjawab melakukan pengawasan dan
memberikan nasihat kepada dewan direksi serta memastikan bahwa good
corporate governance (GCG) telah dilaksanakan dengan baik. Dewan komisaris
tidak boleh melakukan tugas yang berhubungan dengan pengambilan keputusan
operasional. Agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, perlu dipenuhi
commit to user
- Komposisi dewan komisaris harus dibuat sedemikian rupa sehingga
mendorong terciptanya independensi dan pengambilan keputusan yang
efektif, tepat dan jelas.
- Seorang komisaris harus professional dalam arti mempunyai integritas
dan kemampuan yang memadai dalam menjalankan tugasnya.
- Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris independen dan
komisaris terafiliasi. Salah satu anggota dewan komisaris independen
harus mempunyai keahlian di bidang akuntansi atau keuangan.
A.1.2.3.3 Direksi.
Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara efektif, perlu
dipenuhi prinsip-prinsip berikut KNKCG (2006: 19):
Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan. Direksi mempertanggung jawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sistem corporate governance yang baik harus dapat memberikan
perlindungan kepada pemegang saham dan kreditur melalui mekanisme internal
maupun eksternal. Perlindungan melalui mekanisme internal dapat dilakukan
dengan melibatkan unsur auditor internal dan dewan komisaris sedangkan
perlindungan mekanisme eksternal dapat diwakili oleh peran auditor eksternal
(Sulistyanto, 2008). Agar tercapai perlindungan maksimal, diperlukan kerja yang
commit to user A.1.3 Kualitas laba.
A.1.3.1 Definisi kualitas laba.
Informasi keuangan yang berkualitas merupakan informasi yang sangat
penting bagi pengambilan keputusan bisnis dan investasi. Agar bermanfaat,
laporan keuangan perlu mempunyai karakteristik sebagai laporan keuangan yang
berkualitas (Sutopo, 2009). Laporan laba merupakan salah satu komponen
laporan keuangan yang harus mempunyai kualitas tinggi karena berbagai pihak
sangat menaruh perhatian pada unsur ini. Kualitas laba yang rendah merupakan
permasalahan tersendiri karena dapat menyesatkan pengguna laporan keuangan
tersebut (Ismail et al., 2010)
Dalam literatur penelitian, tidak ada konsensus yang seragam mengenai
definisi kualitas laba. Schipper dan Vincent (2003: 4) melakukan benchmark
untuk mendefinisikan kualitas laba, yaitu:
Earning quality is the extent to which reported earnings correspond to economic income as defined by Hicks (1939): The Amount that the firm can pay out in dividends (that is, the amount that can be consumed) during a period, while leaving the firm equally well off at the beginning and the end of period.
Akan tetapi definisi kualitas laba di atas sangat sulit diobservasi baik
secara praktis maupun secara operasional sehingga muncul definisi kualitas laba
dari benchmark yang ke dua yaitu:
Earnings quality is the function of decision usefulness based on the FASB’s conceptual framework and on direct observation of the function of earnings capital allocation: (Schipper dan Vincent, 2003: 6)
1. Financial reporting should provide information that is useful to present and potential investors and creditors and other users in making rational investment , credit and similar decisions (concepts statement #1).
commit to user
Menurut Soewardjono (2005), kualitas laba akuntansi ditunjukkan oleh
korelasi antara laba akuntansi dan laba ekonomi. Berdasarkan dua definisi yang
dinyatakan oleh Schipper dan Vincent (2003) serta Soewardjono (2005), dapat
disimpulkan bahwa definisi kualitas laba secara garis besar dapat dikategorikan
ke dalam dua kelompok, yaitu definisi kualitas laba yang dilihat dari sisi core
earnings dan definisi kualitas laba yang dilihat dari kegunaan laba dalam konteks
pengambilan keputusan bisnis.
Kategori kualitas laba yang ke dua ini lebih observable baik secara
operasional maupun praktis sehingga menyediakan topik penelitian empiris yang
banyak. Oleh karena itu, kualitas laba yang ada dalam penelitian-penelitian
empiris terdahulu mendasarkan pada definisi kualitas laba dalam konteks
kegunaannya dalam pengambilan keputusan bisnis para pemakainya.
A.1.3.2 Pengukuran kualitas laba.
Ada berbagai pendekatan untuk menentukan tingkat kualitas laba.
Dechow et al. (2009) mengelompokkan ukuran kualitas laba ke dalam tiga
aspek, yaitu: statistical properties of earnings, investor responsiveness to
earnings, dan external indicators of financial reporting quality.
Statistical properties of earnings meliputi persistensi dan accruals,
earnings smoothness, asymmetric timeliness dan timely loss recognition, serta
benchmarking.
Investor responsiveness meliputi penggunaan earnings response
coefficient (ERC) sebagai ukuran kualitas laba, sedangkan external indicators
melihat kualitas laba dari dimensi standar akuntansi dan auditing, restatement,
commit to user
Schipper dan Vincent (2003) mengkategorikan ukuran kualitas laba
sebagai berikut:
a. Properties earnings.
Kualitas laba dari properties of earnings dilihat berdasarkan time series
properties of earnings yaitu tingkat persistensi, predictive ability, dan variability
yang merupakan standar deviasi dari realisasi laba terhadap arus kas. Selain itu
kualitas laba dari sisi ini dapat juga dinilai melalui hubungan antara laba, kas dan
accruals. Kualitas laba dikatakan baik jika nilainya semakin mendekati nilai kas
atau tingkat accruals yang rendah. Model accruals yang paling sering
dipergunakan untuk menentukan kualitas laba adalah discretionary accruals
(Hasim, 2009). Keberadaan discretionary accruals berarti terdapat praktek
manajemen dan mengindikasikan kualitas laba yang rendah.
b. Nilai relevansi earnings terhadap harga saham sepanjang waktu.
Nilai relevansi laba dapat diperoleh melalui regresi antara laba dengan nilai buku
saham pada saat tertentu. Nilai relevansi yang semakin turun dapat memberikan
sinyal bahwa kualitas laba juga menurun.
c. Hubungan earnings dengan karakteristik ekonomi yang lain.
Kualitas laba dari aspek ini biasanya dihubungkan dengan cost of capital dan
strategi pembiayaan modal perusahaan.
d. Kualitas laba yang dinilai dari standar pelaporan keuangan.
Kualitas laba dihubungkan dengan FASB (1980) mengenai karakteristik kualitatif
laporan keuangan yang dituangkan dalam conceptual framework SFAC nomer 2
mengenai laba yang berkualitas, yaitu meliputi relevansi, reliabilitas dan
commit to user
A.1.3.3 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kualitas laba.
Jun (2009) menyatakan bahwa kualitas laba dipengaruhi oleh beberapa
faktor sebagai berikut:
a. Standar akuntansi.
Perbedaan standar akuntansi yang dipergunakan di suatu perusahaan dapat
menyebabkan perbedaan kualitas laba. Webster dan Thornton (2005) menemukan
perbedaan kualitas laba yang dilihat dari nilai discretionary accruals pada
perusahaan US yang menganut GAAP dan perusahaan US yang menganut IAS.
b. Karakteristik perusahaan.
Karakteristik perusahaan yang dapat berpengaruh terhadap kualitas laba adalah
komposisi pemegang saham, keberadaan pemegang saham pengendali dan
ukuran perusahaan. Beberapa peneliti menemukan berkurangnya tindakan
manajemen laba pada perusahaan dengan komposisi pemegang saham
institusional yang lebih besar (Lee et al., 2007; Velury dan Jenkins, 2006).
Penelitian Wang dan Tong (2006) menemukan bukti bahwa kualitas laba
berhubungan negatif dengan keberadaan pemegang saham pengendali dan akan
meningkat seiring dengan menurunnya persentase kepemilikan saham oleh
pemegang saham pengendali.
c. Karakteristik komisaris dan komite audit.
Fungsi pengawasan yang melekat pada dewan komisaris terbukti mampu
meningkatkan kualitas laba dengan cara membatasi tindakan manajemen laba
yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Keberadaan komisaris independen
commit to user
Dechow et al., 1995). Vafeas (2005) mengungkapkan bukti bahwa jumlah
pertemuan komite audit berhubungan positif dengan kualitas laba.
d. Karakteristik manajerial.
Karakteristik manajerial yang berpengaruh terhadap kualitas laba misalnya
kompensasi, reputasi, gender, tingkat perputaran, usia, dan sebagainya. Healy
(1985), Balsam (1998), serta Kalyta dan Magnan (2008) mengungkapkan bahwa
adanya kompensasi yang berbentuk tunai, rencana bonus maupun program
pensiun perusahaan dapat menjadi dorongan para manajer untuk melakukan
manajemen laba.
A.1.3.4 Manfaat kualitas laba.
Laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan merupakan
sumber informasi utama bagi dasar pengambilan keputusan pihak eksternal.
Laporan keuangan diterbitkan dengan tujuan menyediakan informasi keuangan
perusahaan yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan penanaman modal
investor, pihak kreditur maupun keputusan-keputusan lain yang berhubungan
dengan bisnis perusahaan (FASB, 1978) dalam conceptual framework SFAC
nomer 1.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa informasi keuangan merupakan
informasi penting yang berpengaruh bagi berbagai pihak. Oleh karena itu
informasi keuangan yang dilaporkan harus berkualitas tinggi. Wild (1996)
menekankan pentingnya memastikan bahwa laporan keuangan melaporkan
informasi keuangan yang berkualitas tinggi. Informasi keuangan yang berkualitas
commit to user
manajemen perusahaan dan para pemegang saham (Karamanou dan Vafeas,
2005).
Informasi laba merupakan salah satu komponen yang paling menarik
perhatian pihak eksternal karena menjadi dasar bagi penilaian investasi dan
keputusan kerjasama bisnis (Lev, 1989; Schipper dan Vincent, 2003; Francis et
al., 2005). Para analis keuangan menggunakan informasi laba untuk meramalkan
nilai pengembalian investasi di masa datang (Siegel, 1982). Komisaris
perusahaan dan pemilik institusional menggunakan informasi laba untuk menilai
kinerja perusahaan dan kualitas manajemen perusahaan (Lev, 2003). Peasnell et
al. (2000) menyatakan bahwa pemegang saham memerlukan informasi laba untuk
menentukan bonus berbasis laba sekaligus sebagai dasar dalam memberikan
penghargaan kepada para eksekutif perusahaan.
FASB (2000) dalam conceptual framework SFAC nomer 7 secara tegas
menyatakan bahwa tujuan laba adalah untuk memberikan acuan bagi investor
meramalkan cash flow perusahaan atau tingkat pengembalian saham. Isu
mengenai kualitas laba menjadi penting seiring kebutuhan para pengguna akan
informasi laba yang berkualitas tinggi sehingga meningkatkan nilai
kebermanfaatannya dalam pengambilan keputusan.
A.1.4 Manajemen laba.
Pembahasan tentang kualitas laba tidak dapat dipisahkan dari manajemen
laba. Terdapat hubungan yang sangat erat antara manajemen laba dengan kualitas
laba. Hal ini dikarenakan keberadaan praktik manajemen laba dapat
commit to user
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan manajemen laba
berpengaruh negatif terhadap kualitas laba (Dechow et al., 1995; Beasley, 1996;
Xie et al., 2003).
A.1.4.1 Definisi manajemen laba.
Dalam literatur penelitian, terdapat beberapa definisi mengenai
manajemen laba. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai
tindakan intervensi yang penuh arti terhadap proses pembuatan laporan keuangan
kepada pihak eskternal dengan maksud mendapatkan beberapa keuntungan
pribadi.
Hampir sama dengan Schipper (1989), Asih dan Gudono (2000)
mengartikan manajemen laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan
sengaja dalam batasan General Accepted Accounting Principles (GAAP).
Berbeda dengan kedua definisi di atas, Scott (2006) mengartikan
manajemen laba sebagai pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer untuk
tujuan tertentu.
A.1.4.2 Faktor – faktor penyebab manajemen laba.
Ada beberapa faktor pendorong terjadinya manajemen laba. Dalam positif
accounting theory terdapat tiga hipotesis yang dapat menjelaskan motivasi
praktik manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986):
a. Bonus Plan Hypothesis.
Standar akuntansi memberikan kelonggaran bagi manajemen untuk memilih
berbagai metode pengukuran dan pencatatan (Fayoumi et al., 2010). Menurut
commit to user
memaksimalkan keuntungan pribadi, yaitu penerimaan bonus yang tinggi.
Perusahaan yang memberikan apresiasi kinerja manajemen dalam bentuk bonus
menyebabkan para manajer cenderung memilih metode akuntansi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan laba. Terdapat dua istilah yang berkaitan dengan
bonus, yaitu bogey dan cap. Bogey merupakan tingkat laba terendah untuk
mendapatkan bonus, sedangkan cap merupakan tingkat laba tertinggi untuk
pembagian bonus. Bonus akan tersedia jika perusahaan berhasil memperoleh
tingkat laba di antara bogey dan cap.
b. Debt covenant hypothesis.
Manajer di sebuah perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity yang cukup
tinggi cenderung melakukan manajemen laba dengan cara memilih metode
akuntansi yang dapat mencerminkan angka laba yang lebih tinggi. Tujuannya
adalah untuk menjaga reputasi perusahaan di mata pihak eksternal. Rasio debt to
equity yang tinggi dapat menyebabkan perusahaan kesulitan mencari sumber
dana eksternal.
c. Political cost hypothesis.
Profitabilitas yang tinggi dapat menciptakan political cost yang tinggi pula.
Profitabilitas tinggi akan menarik perhatian banyak pihak. Pemerintah tertarik
pada perusahaan dengan profitabilitas tinggi karena berhubungan dengan
pembayaran pajak yang tinggi. Oleh karena itu, manajer pada perusahaan dengan
tingkat profitabilitas tinggi cenderung memilih metode akuntansi menangguhkan
laba pada periode mendatang sehingga angka laba yang dilaporkan kecil.
commit to user
mengungkapkan beberapa motivasi yang mendorong manajemen mempraktikkan
manajemen laba yaitu: motivasi kontraktual, motivasi peraturan, dan motivasi
pasar.
Motivasi kontraktual berhubungan dengan hal-hal yang bertujuan untuk
memperoleh hasil yang memuaskan yang berkaitan dengan perjanjian kredit,
kompensasi manajemen, keamanan pekerjaan dan kesepakatan kerja antar
perusahaan (Hasim, 2009). Praktek manajemen laba dilakukan dalam rangka
mendapatkan hasil yang memuaskan dalam pembagian bonus karena laba
menjadi salah satu komponen yang banyak dipakai untuk menghitung
penghargaan atas prestasi seseorang (Peasnell et al., 2000; Healy, 1985).
Faktor lain yang menjadi latar belakang dilakukannya manajemen laba
oleh manajer adalah untuk menghindari penurunan laba dan kerugian yang
disebabkan hasil transaksi keuangan perusahaan dengan pihak lain (Burgstahler
dan Dichev, 1997). Besarnya rangsangan yang dimiliki manajer untuk
mempraktikkan manajemen laba akan berpengaruh terhadap keinformatifan laba
yang diumumkan perusahaan. Tingkat rangsangan yang semakin besar akan
menyebabkan berkurangnya keinformatifan laba yang dilaporkan perusahaan
(Marquadt dan Wiedman, 2004).
A.1.4.3 Pengukuran manajemen laba.
Literatur penelitian mengungkapkan beberapa metode yang biasa dipakai
para peneliti untuk mengukur praktik manajemen laba, yaitu agregate accruals
model, specific accruals model dan distribution of earnings after management
commit to user
Jones (1991) adalah metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur
manajemen laba (McNichols, 2002).
Total accruals dibedakan menjadi dua komponen, yaitu komponen non
discretionary dan komponen discretionary. Komponen non discretionary
merupakan komponen yang timbul secara alami dari aktivitas ekonomi
perusahaan sedangkan komponen discretionary accruals yaitu bagian yang
mencerminkan manajemen laba (Hasim, 2009). Model Jones (1991) mengukur
tingkat non discretionary accruals dengan menggunakan model regresi linier
antara total accruals dan perubahan dalam penjualan serta property, plant dan
equipment (Dechow et al., 1995). Dechow et al. (1995) memperkenalkan model
Modified Jones dengan menambahkan rekening piutang sebagai penyesuaian
perubahan pendapatan sehingga dapat mendeteksi keberadaan manajemen laba
dengan lebih baik. Aggregate accruals modified model Jones oleh Dechow et al.
(1995) dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matematis sebagai berikut:
Dalam hal ini :
NDA : Non discretionary accruals,
A : Asset perusahaan pada tahun t-1,
REV : Pendapatan perusahaan tahun t,
NDAt : a1 ( 1 ) + a2 (Δ REVt – Δ RECt) + a3 (PPEt) ……. (1)
At-1 At-1 At-1
commit to user REC : Piutang perusahaan tahun t,
PPE : Property, plant dan equipment perusahaan tahun t,
TA : Total accruals,
DA : Discretionary accruals.
Tingkat discretionary accruals dapat dipakai sebagai ukuran keberadaan
manajemen laba maupun tingkat kualitas laba yang dilaporkan perusahaan.
Tingkat discretionary accruals yang tinggi mencerminkan praktik manajemen
laba yang tinggi. Semakin tinggi manajemen laba yang diterapkan perusahaan,
maka kualitas labanya semakin rendah.
A.1.4.4 Teknik-teknik manajemen laba.
Teknik manajemen accruals yang biasa dilakukan manajemen yaitu:
(McNichols dan Wilson, 1988; Schipper, 1989; Fayoumi et al., 2010)
- Mengakui pendapatan yang terlalu cepat.
- Mencatat transaksi pendapatan fiktif.
- Melakukan mark-up terhadap pendapatan pada periode tertentu.
- Menangguhkan pencatatan biaya dan pendapatan pada periode berikutnya.
A.1.5 Hubungan kualitas laba dengan mekanisme pengawasan.
Salah satu faktor timbulnya keberanian para manajer melakukan
manajemen accruals dalam bentuk manajemen laba karena standar akuntansi
memberikan kelonggaran untuk menggunakan kebijakan akuntansi accruals
(Fayoumi et al., 2010). Manajemen accruals biasanya dilakukan pada saat proses
penyusunan laporan keuangan oleh pihak manajemen.
Kualitas laba sangat tergantung dari tingkat manajemen accruals yang
commit to user
diterapkan manajemen, maka akan semakin rendah kualitas laba yang dilaporkan
perusahaan.
Dalam kondisi semacam ini, peran dewan komisaris adalah
menyelenggarakan fungsi pengawasan untuk membatasi diterapkannya
manajemen accruals yang berdampak pada penurunan kualitas laba. Mekanisme
pengawasan yang baik, yang mengutamakan kepentingan seluruh stakeholders
perusahaan sangat dibutuhkan. Corporate governance merupakan salah satu
alternatif mekanisme pengawasan yang telah didesain sedemikian rupa sehingga
dapat mengakomodasi kepentingan semua pemangku kepentingan. Corporate
governance merupakan seperangkat mekanisme pengawasan yang dapat berperan
penting dalam rangka peningkatan kualitas informasi keuangan (Cohen et al.,
2004).
Krisis keuangan Asia tahun 1997-1998 dan terjadinya skandal korporasi
perusahaan besar seperti Enron, Tycon, dan Kimia Farma semakin mengukuhkan
pentingnya implementasi mekanisme corporate governance dengan baik dalam
rangka meningkatkan kualitas informasi keuangan. Kualitas informasi keuangan
harus selalu ditingkatkan karena menjadi dasar penilaian investasi dan keyakinan
investor.
Friday et al. (2006) melaporkan nilai relevansi laba di Indonesia selama
krisis keuangan mengalami penurunan signifikan dan hal ini terjadi di hampir
semua negara yang mempunyai mekanisme corporate governance yang lemah
seperti Korea Selatan, Malaysia dan Thailand. Hasil survei McKinsey dan
commit to user
besar investor sangat menaruh perhatian pada corporate governance dan
peningkatan kualitas pengungkapan akuntansi. Mayoritas responden menyatakan
bahwa pengungkapan akuntansi adalah faktor utama yang menjadi dasar
pengambilan keputusan investasi.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa implementasi corporate
governance yang baik dapat mendorong terciptanya kualitas informasi keuangan
yang baik sehingga memadai untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan bisnis
bagi para pemakainya.
A.2 Review penelitian sebelumnya
Uraian dibawah ini akan membahas penelitian-penelitian sebelumnya
mengenai pengaruh penerapan mekanisme corporate governance, terutama
menyangkut fungsi pengawasan oleh dewan komisaris terhadap kualitas laba
yang dilaporkan perusahaan. Peran dewan komisaris sebagai alat pengawasan
merupakan elemen yang sangat penting bagi terciptanya kualitas laporan
keuangan (Cadbury report, 1992). Teori Fama dan Jensen (1983)
mengatakan bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme pengendalian
internal yang paling penting yang berperan melakukan pengawasan terhadap
tindakan manajemen. Pemisahan antara pemilik dan pengendali perusahaan
semakin mengukuhkan pentingnya peran dewan komisaris sebagai mekanisme
penting yang harus ada untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan
para pemegang saham. Dalam hal ini menjalankan fungsi pengawasan terhadap
tindakan manajemen merupakan tugas utama bagi dewan komisaris. Ada
commit to user
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, misalnya komposisi, ukuran,
kompetensi dan pengalaman.
Komposisi dewan komisaris sangat berpengaruh terhadap keefektifan
fungsi pengawasan yang diselenggarakannya (Fama dan Jensen, 1983). Beberapa
tahun ini, negara-negara di Asia Tenggara telah melakukan perubahan pedoman
corporate governance khususnya mengenai masalah karakteristik dewan
komisaris yang meliputi komisaris independen, bidang keahlian yang dimiliki
maupun jumlah dewan komisaris yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan
(Hasim, 2009).
Anggota dewan komisaris dapat diangkat dari senior manajer dari internal
perusahaan sehingga dapat memanfaatkan keahlian manajemen yang dimilikinya.
Kelemahannya adalah anggota dewan komisaris ini tidak independen sehingga
kurang efektif dalam menjalankan fungsi pengawasan (Ismail et al., 2010). Untuk
mengatasi permasalahan ini salah satu solusinya adalah mengangkat dewan
komisaris dari pihak eksternal yang independen sehingga dapat memastikan
bahwa manajemen bertindak dalam koridor kepentingan pemegang saham (Fama
dan Jensen, 1983).
Menurut Fama dan Jensen (1983) adanya anggota dewan komisaris dari
pihak eksternal dapat meningkatkan kemampuan dewan komisaris dalam
menjalankan fungsi pengawasan terhadap tindakan manajemen secara lebih
efisien. Dewan komisaris eksternal yang berpengalaman, independen, objektif
commit to user
governance yang mampu membatasi biaya keagenan dan memberikan
perlindungan terhadap kemakmuran pemegang saham (Li, 1994).
Beasley (1996: 448) mengelompokkan komisaris ke dalam dua kelompok
yaitu komisaris independen dan komisaris “grey”:
An independent director is an outside director who has no affiliation with the firm other than the affiliation from being on the board of directors. In contrast, grey directors are a potential source of violation of board independence because of their other affiliations with management.
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa seorang komisaris
independen harus berasal dari pihak eksternal perusahaan yang tidak mempunyai
hubungan apapun dengan perusahaan kecuali sebagai anggota dewan komisaris.
Beasley (1996) menyatakan bahwa keberadaan komisaris ”grey” yang
mempunyai hubungan dengan manajemen dalam keanggotaan dewan komisaris
dapat merusak independensi dewan komisaris.
A.2.1 Pengaruh komisaris independen terhadap kualitas laba.
Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh
karakteristik dewan komisaris tersebut terhadap tindakan manipulasi accruals
dalam bentuk manajemen laba (Beasley, 1996; Dechow et al., 1996; Peasnell et
al., 2000; Klein, 2002; Xie et al., 2003; Park dan Shin, 2004; Sarkar et al., 2006;
Ebrahim, 2007; Mashayekhi, 2008; Shah et al., 2009; Abdolmohammadi, 2010).
Beberapa peneliti menemukan bahwa keberadaan komisaris independen
dalam keanggotaan dewan komisaris dapat membatasi praktik manajemen laba
(Dechow et al., 1996; Beasley, 1996; Klein, 2002; Xie et al., 2003; Peasnel et al.,
2003; Ebrahim, 2007; Mashayekhi, 2008; Johari et al., 2008; Jaggi et al., 2009;
commit to user
berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif sehingga dapat membatasi
manajemen laba (Ismail et al., 2010). Jaggi et al., (2009) menemukan kualitas
laba yang lebih tinggi pada perusahaan dengan jumlah komisaris independen
yang lebih besar.
Niu (2006) menemukan hubungan negatif antara proporsi komisaris
independen dengan manajemen laba. Penelitian Ujiantho dan Pramuka (2007)
menemukan bukti mekanisme corporate governance yang diwakili oleh
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan
jumlah dewan komisaris berpengaruh signifikan dalam membatasi praktik
manajemen laba. Beberapa bukti empiris di atas semakin mendukung teori agensi
Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa tingkat independensi
anggota komisaris yang tinggi akan memperlihatkan kinerja pengawasan yang
lebih baik pula sehingga menciptakan kualitas laba yang tinggi. Uzun et al.
(2004) dan Dechow et al. (1996) menemukan bukti bahwa perusahaan yang
terkena kasus penipuan umumnya memiliki karakteristik dewan komisaris
sebagai berikut: ukuran dewan komisaris banyak dan persentase dewan komisaris
non independen yang lebih banyak.
Namun sebaliknya hasil penelitian lain menemukan bukti yang bertolak
belakang yaitu komisaris independen tidak berhubungan signifikan dengan
manajemen laba (Park dan Shin, 2004; Boediono, 2005; Rachmawati dan
Triatmoko, 2007; Siregar dan Utama, 2008; Sriwedari, 2009; Sefiana, 2010;