• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 : KEWAJIBAN MENJAUHI BID’AH - Risalah Ramadhan Full

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 1 : KEWAJIBAN MENJAUHI BID’AH - Risalah Ramadhan Full"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

Yayasan Pesantren Raudlatul Uluum Aek Nabara

Adi Permadi, ST

Risalah Ramadhan

(2)

D

AFTAR

ISI

KATA PENGANTAR PADA TAHUN 2007

KATA PENGANTAR oleh Ridwan Hamidi Lc SEPATAH KATA

BAB 1 : KEWAJIBAN MENJAUHI BID’AH BAB 2 : KEUTAMAAN QIYAMU ROMADHON

BAB 3 : RINGKASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON [koreksi ulang terhadap pelaksanaan sholat malam dalam rangka tashfiyyah dan tarbiyyah]

BAB 4: ULASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON Poin 1 : Perintah untuk mengatur shof

Poin 2 : Tidak adanya seruan untuk mendirikan sholat tarawih dan witir Poin 3 : Dalil sholat tarawih dan witir 11 raka’at

Poin 4 : Cara melaksanakan witir yang 3 raka’at Poin 5 : Tidak ada do’a khusus disela-sela tarawih Poin 6 : Bacaan khusus setelah witir

Poin 7 : Larangn Dzikir berjama’ah dan bersuara keras Poin 8 : Sunnah membaca do’a Qunut dalam sholat witir

Poin 9 : Wajib berniat puasa romadhon semenjak malam hari dan tidak perlu diucapkan dengan lisan Poin 10 : Perkara penting yang harus di perhatikan oleh imam dan jama’ah sholat

BAB 5: JUMLAH RAKA’AT SHOLAT MALAM DI BULAN ROMADHON

BAB 6: BEBERAPA KESAKSIAN PELAKU SEJARAH MENGENAI JUMLAH RAKA’AT TARAWIH DAN WITIR DALAM BULAN ROMADHON

BAB 7: APAKAH RAKA’AT SHOLAT MALAM ITU DIBATASI ? BAB 8: MENELUSURI PENTARJIHAN AL-ALBANI

BAB 9: KASUS HADITS YAZID BIN KHUSAIFAH [ sebuah perbandingan Penilaian terhadap sanad hadits yang dilakukan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Al-Anshari ]

BAB 10: ANTARA METODE AT-TARJIH DAN AL-JAM’U TERHADAP RAKA’AT QIYAMUR ROMADHON

BAB 11: KUMPULAN HADITS-HADITS LEMAH BERKAITAN JUMLAH RAKA’AT TARAWIH

BAB 12: BOLEHKAH SHOLAT SUNAT SETELAH WITIR ? BAB 13: STATUS SHOLAT 2 RAKA’AT PEMBUKA

BAB 14: SURAH-SURAH YANG DIBACA DALAM SHOLAT MALAM BAB 15: PENGERJAAN QUNUT WITIR

BAB 16: BEBERAPA SIFAT SHOLAT MALAM BAB 17: SEBAGIAN DARI ETIKA QIYAMUL LAIL

BAB 18: MASALAH SHOLAT TARAWIH 4 RAKA’AT 1 SALAM BAB 19: TANYA JAWAB BERKAITAN QIYAMU ROMADHON BAB 20: ETIKA MENYIKAPI PERMASALAHAN KHILAFIYAH BEBERAPA TAMBAHAN DAN KOREKSI

(3)
(4)

K

ata Pengantar

Pada tahun 2007

Dalam penyempurnaan edisi di tahun 2007, ada beberapa tambahan yang penulis berikan diantaranya : perluasan pembahasan bid’ah, Ucapan-ucapan yang dibuat-buat disela-sela pelaksanaan sholat tarawih, masalah bid’ahnya dzikir berjama’ah, bentuk do’a iftitah yang lain dalam sholat malam, atsar – atsar qunut witir di bulan ramadhan, kaidah-kaidah menambahkan do’a di dalam qunut witir, koreksi atas rawi yang bernama Isa bin Jariyah, penambahan dalil atas pemahaman keliru bid’ah hasanah, membuat bab baru yakni masalah sholat tarawih 4 raka’at.

Satu hal yang menganehkan, penulis mendapati beberapa orang dari kaum muslimin berkeinginan menambahkan do’a-doa disela-sela pelaksanaan sholat tarawih dengan maksud pengajaran.

Penulis katakan

Subhanallah, untuk pengajaran !! Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam tidak mengajarkan satu kalimat apapun secara khusus untuk dibaca disela-sela sholat tarawih. Apa yang ingin Saudara ajarkan? Melainkan bid’ah bukan.

Apakah penulis harus mengingatkan dengan keras kepada saudara-saudaraku seperti pengarang kitab Shahih Fiqih Sunnah - Syaikh Abu Malik Kamal- yang mengatakan “Tidak disyariatkan, saat istirahat tersebut, dzikir-dzikir tertentu atau selainnya, sebagaimana dikerjakan oleh sebagian orang-orang bodoh”. Betapa kerasnya celaan beliau.

Adapun penulis berpendapat sungguh banyak faktor selain faktor yang disebutkan pengarang Shahih Fiqih Sunnah diatas yang mendorong mereka melakukan itu seperti adanya tekanan masyarakat, dikucilkan dari lingkungan pergaulan tertentu atau akan kehilangan masa. Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah mengerjakan Sunnah Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam. Amiin

Sungguh risalah ini bukan memaksa, pilihan tetap ada di tangan saudara masing-masing. Risalah ini hanya bersifat mengingatkan dan sebagai bahan tambahan untuk dikaji lebih lanjut.

Hanya saja penulis menyarankan kepada saudaraku-saudaraku itu agar mau belajar lebih giat dalam mempelajari Islam sebagaimana penulis pun juga mau belajar Islam dan tidak malu.

Penulis khawatir jika sebagian orang menyembunyikan ilmunya baik pura-pura tidak tahu (cuek), atau tidak menyampaikan kebenaran kepada kaum muslimin karena enggan mengakui kebenaran atau karena takut bid’ahnya terbongkar lantas tidak memiliki lagi pengikut dan masa ataukah kesenioritasannya hilang karena diungguli oleh anak baru kemarin sore belajar Islam.

Maka risalah ini penulis tujukan kepada kaum muslimin dimana saja berada untuk mengambil manfaat darinya dan tidak penulis khususkan bagi satu atau beberapa masjid tertentu. Penulis tidak merasa malu untuk menarik pendapatnya bila dikemudian hari di dapatkan dalil yang lebih kuat.

Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada guruku Ustadz Ridwan Hamidy Lc yang sedari awal pembuatan ikut memperhatikan penyusunan risalah ini dan memberi masukan disana-sini. Juga kepada temanku dan saudaraku Kautsar Amru ST yang saat ini bekerja di PT Medco Energy yang sudi memberi komentar atas risalah ini.

(5)

Yogyakarta, 31 Juli 2007

(6)

K

ata Pengantar

Oleh : Ridwan Hamidi Lc

Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan setetes air ditengah kehausan umat akan adanya buku fiqih Ramadlan yang selalu mengedepankan penggunaan dalil yang shahih. Sebab setiap muslim sepakat bahwa Alqur’an dan Sunnah merupakan dasar dalam menetapkan setiap persoalan hidup, termasuk Fiqih.

Upaya pemurnian ajaran Islam dari semua yang melekat dalam Islam dan bukan merupakan bagian dari Islam, perlu terus dihidupkan, agar peningkatan kehidupan beragama ditengah-tengah umat menjadi nyata. Karena kita semua yakin bahwa umat di zaman manapun tidak akan menjadi baik kecuali dengan pedoman yang telah menjadikan baik generasi awal umat ini.

Tentu buku ini bukan merupakan satu-satunya buku yang ada ditengah-tengah umat yang membahas seputar puasa dan hal-hal yang berkaitan dengan bulan Ramadlan. Tapi yang menarik untuk dicermati adalah ketekunan penulis yang secara sungguh-sungguh mencari kebenaran dan memilih pendapat yang dinilai paling kuat dengan melihat dasarnya (dalilnya). Ditambah lagi jika kita melihat latar belakang penulis yang saat itu sebagai mahasiswa jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada dan sedang melaksanakan KKN.

Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang mencari tuntunan puasa dan amalan seputar Ramadlan.

Yogyakarta, 22 Agustus 2005

(7)

S

epatah Kata

Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan serta ampunan kepada-Nya, kita berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kita dan keburukan amalan-amalan kita.Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka tak seorang pun yang bisa memberi hidayah kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah saja, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” QS. Ali Imran :102

“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” QS. An-Nisaa:1

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar.” QS. Al Ahzab :70-71

Amma Ba’du

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah sholallahu alaihi wasallam. Dan seburuk-buruk urusan adalah perbuatan ada, setiap perbuatan mengada-ada mengada-adalah bid’ah, setiap bid’ah mengada-adalah sesat, dan setiap yang sesat mengada-adalah di neraka.

Wa Ba’du

Buku ditangan pembaca budiman adalah buku yang membahas Fiqih Qiyamu Romadhon, merupakan runtutan tulisan demi tulisan tiap tahunnya dari tahun 1423 H yang sebagian besar kandungannya disusun ketika penulis menjalankan Kuliah Kerja Nyata. Tentu saja di dalamnya terjadi pergulatan nash-nash, seperti ciri khas dalam Fiqih yang satu menguatkan kemudian yang lain melemahkan, yang lain menghapus ketentuan syariat yang ditetapkan oleh nash yang lain, satu nash kita dapati bersifat umum sedangkan nash yang lain kita dapati bersifat khusus. Begitulah adanya dunia Fiqih, perbedaan pendapat atau ikhtilaf terkadang memang tidak bisa dihindari 1. Disinilah

butuhnya toleransi, namun tentunya sikap nasehat menasehati dalam kebenaran dan saling melihat kekuatan dalil masing-masing pihak dengan ikhlas dan cermat dengan menjunjung kejujuran serta metodologi ilmiah yang benar harus didahulukan. Dari pandangan penulis, ilmu Hadits sangat berperan banyak bagi mereka yang memasuki dunia Fiqih, Reduksi (pengurangan) ikhtilaf terjadi secara besar-besaran dan ini akan sangat membantu kita untuk memilih pendapat mana yang akan kita ikuti.

Sebelum kita memasuki halaman demi halaman dari buku ini, apakah pembaca budiman sepakat dengan penulis bahwa Islam dibangun berdasarkan Alqur’an dan Sunnah ? Setujukah bahwa kita harus mendahulukan perkataan Allah dan Rasulnya dari perkataan siapapun ? Sependapatkah pembaca dengan penulis bahwasanya konstruksi hukum Islam tidak diperkenankan memakai hadits yang berkualitas lemah (dhaif) apalagi lemah sekali (dhaif jiddan) ? dan Apakah pembaca sepakat bahwasanya dalam memahami Alqur’an dan As-Sunnah kita perlu melihat pemahaman para salafush shaleh ? Bila pembaca sejalan dengan hal hal tadi berarti kita bersama-sama berangkat dari sebuah parameter penilaian yang sama.

Pernah dalam sebuah kesempatan penulis berkesempatan bertukar pikiran dengan seorang ustadz, dimana beliau juga mengarang buku yang berjudul “Memahami dan mendalami masalah tahajud, tarawih dan witir.” Hanya saja menurut saya pengambilan-pengambilan kesimpulan beliau dalam buku tersebut sebagian telah jatuh dalam kekeliruan. Pendapat beliau yang paling ganjil menurut saya adalah:

(8)

Kedua, “bahwa sholat tahajud dan tarawih beliau sholallahu alaihi wasallam, tidak pernah ditampakkan kepada umatnya, sehingga tidak seorangpun yang mengetahui jumlah atau bilangannya.” (hal 139)

Ketiga, “Cara melaksanakan witir 3 raka’at menurut ijma’us sahabat ialah dengan salam sekali pada raka’at ketiga. Hadits ke tiga (dalam uraian beliau) memberi pengertian bahwa nabi saw tidak pernah salam pada dua raka’at witir dalam witir 3, tetapi kalau 2 raka’atnya itu tidak berdiri sendiri dalam witir tujuh, itu diperbolehkan. (hal. 46-47) lihat hadits 3 dan 4 pada hal tsb.2

Untuk masalah pertama, penulis tidak mengetahui dari ulama mana beliau mengikuti pemahaman seperti itu, Bahkan terdapat sabda Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam yang berbunyi “Sesungguhnya barang siapa yang sholat (qiyamul lail) bersama imam hingga imam selesai sholat, ia akan mendapatkan ganjaran sholat semalam suntuk.” Juga telah shahih riwayat Umar bin khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia dalam sholat tarawih 11 raka’at.3 Pengerjaan Tarawih secara berjamaah telah masyhur dari generasi ke generasi dan tidak ada yang mempermasalahkan masalah ini.

Sedangkan untuk masalah kedua, memang sebagian dari madzhab Syafi’i memandang dalam hadits Aisyah: “Bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at baik pada bulan Romadhon maupun pada bulan lainnya lebih dari 11,” yang dimaksud adalah sholat witir seperti yang disebutkan oleh Al-Qastalani dari kalangan Syafi’iyah . Pendapat itu jelas-jelas lemah; kalau kita kembali menilik bahwa pernyataan Aisyah tadi adalah sebagai jawaban dari pertanyaan: ‘bagaimana Rasulullah sholat di bulan Romadhon?” Sholat yang dipertanyakan disitu meliputi seluruh sholat malam. Bagaimana mungkin bisa ditakwilkan hanya dengan sholat witir tanpa sholat lainnya? Takwil itu membawa konsekuensi bahwa sholat rasulullah disitu ada dua macam; yang pertama, adalah sholat malam, dan kita tidak tahu berapa jumlah raka’atnya; yang kedua, adalah sholat witir, yang mana jumlah raka’atnya paling banyak adalah 11 raka’at. Pendapat begini jelas tak akan dilontarkan oleh orang yang mengerti sunnah. Disana bertumpuk hadits-hadits yang menunjukkan bahwa sholat malam Rasulullah tidak lebih dari 11 raka’at4.

Untuk masalah ketiga, penulis menduga beliau belum mendapatkan hadits “bahwa nabi sholallahu alaihi wa sallam biasa memisahkan raka’at genap dan ganjil dengan salam yang dapat kami dengar”. Penukilan ijma sahabat dimana beliau mengikuti Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar tertolak. Justru ada riwayat shahih yang marfu dari Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam dan riwayat mauquf Abdullah bin Umar yang menerangkan bahwa Abdullah bin Umar biasa melakukan witir dengan salam antara dua raka’at pertama dengan satu raka’at terakhir. Disamping itu Hadits –hadits yang menyatakan bahwa nabi Sholallahu alaihi wa sallam hanya salam diakhir raka’at (dalam witir 3 raka’at) adalah lemah. Diantaranya adalah hadits Ubay bin Ka’ab dengan lafazh: ‘Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam di dalam sholat witir membaca (3 surah ), dan hanya salam pada akhir raka’at.”5 Penulis berharap semoga

kritik membangun ini merupakan masukan yang berguna bagi beliau dalam melengkapi karya ilmiahnya.6

Kesalahan dalam mengambil sebuah kesimpulan kadang kala bisa terjadi bila seseorang tidak memiliki pengetahuan yang luas berkaitan ilmu Musthalah hadits , perbendaharaan hadits serta syarah hadits. Walaupun mereka yang berpengetahuan luas pun tidaklah maksum dari kesalahan. Melalui ilmu Musthalah hadits seorang peneliti bisa mengetahui derajat sebuah hadits apakah shahih ataukah dhaif dan dalam masalah hal-hal yang berkaitan dengan hukum Qiyamul Lail ulama tidak memperkenankan seseorang memakai hadits dhaif sebagai dalil. Melalui perbendaharaan hadits yang mapan maka seorang peneliti mampu menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama sehingga lebih akurat dalam menarik kesimpulan7 dan dengan memiliki kekayaan terhadap syarah

hadits maka kita bisa melihat pemahaman ulama-ulama (terutama para salafus sholeh) akan maksud dari hadits tersebut.

Risalah ini secara umum mendukung kedua pelaksanaan sholat tarawih dan witir, entah itu 11 raka’at atau 23 raka’at bagi mereka yang memandang atsar Yazid bin Khushaifah dari Saib bin Yazid dipandang shahih.Walaupun demikian, penulis katakan bahwa mengikuti tuntunan Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam itu tetap lebih utama. Memang penulis melihat bila kita mau menggunakan metode tarjih (penguatan) tidak dipungkiri lagi hal ini memang terjadi khilaf di dalamnya dimana salah satu pendapat harus diunggulkan. Namun harus diketahui disini penulis memakai metode jama’ (kompromi).8 Metode jama’ bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia hadits, sebutlah Ibnu Qutaibah beliau memiliki karya yang bagus dalam metode jama’ yang berjudul Ta’wil Mukhtalafil Hadits, kemudian At-Thahawi dalam Musykilul Atsar dan Imam Asy-Syafi’i dengan karyanya Ikhtilaful hadits (beliaulah orang yang pertama membicarakan dan menyusun kitab dalam bidang jama’ dan tarjih )9. Dalam hal ini penulis telah berusaha untuk melihat kekuatan masing-masing dalil dari kedua pendapat itu. Inilah yang rajih dalam pandangan penulis. Wallahu a’lam.

Pembaca yang budiman, setiap usaha melakukan pemurnian syariat Islam seperti pelaksanaan qiyamu romadhon mengikuti sunnah Rasulullah saw salah satunya 10 tidaklah segampang anda membalik telapak tangan

(9)

dalam penerimaan dakwah yang dilakukan oleh para da’i dan sejumlah konflik baik besar maupun kecil akibat respon masyarakat terhadap usaha pemurnian tersebut. Disinilah kita mulai berpikir bagaimana usaha atau menciptakan daya dukung terhadap pemurnian syariat. Apa saja yang telah kita lakukan ? Sudahkah kita berusaha mendakwahkan ajaran Islam baik dengan memperbanyak kajian Islam, kultum, ceramah, dakwah perseorangan atau sejenisnya ? Sudahkah kita berlemah lembut dalam menyampaikan kepada mereka yang benar-benar awam dalam Islam dan berdiskusi serta menjawab keragu-raguan mereka yang menentang ? Sudahkah kita memohon kepada Allah agar memberi kekuatan kepada diri kita untuk bisa mengamalkan dakwah yang kita serukan dan memohon keberkahan atas dakwah ini serta memohon hidayah kepada-Nya agar masyarakat mudah menerima ? 11

Terakhir kalinya saya berharap mudah-mudahan dengan risalah ini adalah sarana mencapai terwujud persatuan Islam karenanya saya menyertakan 1 bab yang berkaitan dengan permasalahan khilafiyah agar dipahami, itulah yang kami harapkan dan bukan sebaliknya. Saya mengucapkan jazakumullahu khairan dan rasa hormat kepada “guru-guruku” yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengajariku melalui karya-karya tulisnya, diantaranya :

Ustadz Ridwan Hamidi Lc, Ustadz Abu Hamzah Al-Sanuwi Lc, MAg, Ustadz Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Atsary, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsary, Ustadz Drs. Zainul Muttaqin rahimahullahu ta’ala 12 , Ustadz Hariyadi Lc, Ustadz Abu

Ahmad Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc, Ustadz Drs Muhammad Thalib, Ustadz Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari, Ustadz Iman Sulaiman Lc, Ustadz Arman bin Amri Lc, Ustadz Abul Mundzir Ja’far Shalih, Ustadz Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, Lc, Ustadz Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Ustadz Abu Umar Basyir dan mereka-mereka yang belum sempat saya sebutkan disini

Penulis belum sempat meminta izin dengan memuat karya tulisnya dimana pembaca menduga seolah-olah itu adalah hasil diri penulis sendiri.13 Tidak!, ini adalah Ekstrak (saripati) karya tulis puluhan

ulama yang malam serta siang mereka disibukan dengan penelaahan, pengkajian dan dakwah atas kitab-kitab Hadits, Biografi rawi, Jarh wa ta’dil, Syarah dan Tafsir, Ushul dan Fiqih. Semoga jerih payah mereka Allah balas dengan kedudukan di Jannah. Amiin. Akhir ucapan kami adalah Alhamdulillah.

(10)

Bab 1

K

ewajiban menjauhi Bid’ah

uatu amal perbuatan tidak akan diterima oleh Allah kecuali jika dilakukan dengan ikhlas dan

mengikuti Sunnah Rasulullah SAW yang shahih. Yang sudah menjadi ketetapan para ulama

pentahqiq, bahwa semua ibadah yang dilakukan tidak disyari’atkan oleh Rasulullah saw dan

tidak juga beliau lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ibadah tersebut jelas

bertentangan dengan sunnahnya. Sebab sunnahnya terdiri dari dua bagian: Sunnah fi’liyyah (sunnah

dalam bentuk perbuatan) dan sunnah tarkiyyah (yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw). Dan ibadah

yang beliau tinggalkan, maka sunnah pula untuk ditinggalkan

14

Karena itu perlu kita menghindari suatu

ibadah yang dibangun dengan bersandarkan hadits-hadits dhaif dan maudhu atau hadits yang tidak

mempunyai dasar, beberapa ijtihad dan istihsan yang dikeluarkan dari beberapa ahli fiqih

15

, khususnya

dari orang-orang yang datang kemudian, dimana mereka tidak melandasinya dengan satu dalil

syariatpun. Tetapi, mereka menyitirnya dari pembawaan kebanyakan kaum muslimin, sehingga menjadi

sunnah yang harus di ikuti. Kemudian berbagai tradisi dan khurafat yang tidak pernah diajarkan oleh

syari’at sama sekali, serta tidak juga diterima oleh akal sehat. Perkara-perkara diatas tadilah yang

biasanya menjadi referensi setiap bid’ah. Rasulullah saw bersabda : “

Sesungguhnya Allah menolak

taubat setiap pelaku bid’ah sehingga dia meninggalkan bid’ahnya

.”

16

S

Berkata Sufyan Ats-Tsauri : “Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada kemaksiatan, pelaku

maksiat masih ingin bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku bid’ah tidak ada keinginan untuk

bertaubat dari kebid’ahannya.

17

Dampak negatif bahaya bid’ah

18

Bid’ah mempunyai dampak negative, akibat, dan bahaya fatal dan menghancurkan. Diantaranya adalah

sebagai berikut:

Pertama. Berkata atas nama Allah tanpa ilmu

.

Orang yang memperhatikan perjalanan hidup orang-orang yang suka menciptakan bid’ah akan melihat

bahwa mereka adalah manusia yang paling banyak berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya. Padahal,

Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mengada-adakan perkataan dusta atas nama-Nya. Allah berfirman:

seandainya ia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar

kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya

.”

19

Nabi Sholallahu alaihi wa Sallam melarang berdusta atas nama beliau dan beliau mengancam orang

yang berbuat demikian dengan adzab yang keras. Beliau bersabda:

Barang siapa senganja berdusta atas nama diriku. Maka silakan mengambil tempat duduknya dari api

neraka

.”

20

Kedua.Kebencian ahli bid’ah terhadap As-Sunnah dan Ahli Sunnah

Hal ini sebagai bukti atas bahayanya bid’ah. Imam ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullahu

berkata, “adapun tanda-tanda ahli bid’ah yang paling nyata dan mencolok ialah bahwa mereka sangat

memusuhi dan merendahkan orang-orang yang membela sunnah Nabi Sholallahu Alaihi Wa Sallam.”

21

(11)

Ahli bid’ah melihat kebaikan sebagai kejelekan dan kejelekan sebagai kebaikan. Ia melihat Sunnah

sebagai Bid’ah dan Bid’ah sebagai Sunnah. Hudzaifah bin Yaman ra berkata: “Demi Allah, sungguh

bid’ah-bid’ah itu akan tersebar luas hingga jika ada satu bid’ah yang ditinggalkan, merekapun berkata

“waduh, Sunnah telah ditinggalkan.”

22

Keempat. Bid’ah dapat menyebabkan pelakunya mendapat laknat Allah

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra dari nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam bahwa

beliau bersabda mengenai orang yang membuat perkara baru di Madinah,

“Barang siapa membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) di dalamnya atau melindungi orang yang

membuat bid’ah (dosa dan maksiat), maka ia akan memperoleh laknat Allah, para malaikat, dan seluruh

umat manusia. Allah tidak akan menerima amalan wajibnya dan tidak pula amalan sunnahnya.”

23

Kelima. Ahli bid’ah tidak diperbolehkan meminum air dari telaga Nabi Sholallahu alaihi wa Sallam

Sahl bin Sa’d ra meriwayatkan hadits dari nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:

“aku akan mendahului kalian menuju telaga. Barang siapa mendatanginya, ia pasti meminumnya dan

barang siapa meminumnya, ia tidak akan haus selam-lamanya. Sungguh akan ada sekelompok orang

yang mendatangiku. Aku mengenal mereka dan mereka pun mengenalku. Kemudian mereka dihalangi

untuk sampai kepadaku.”

24

Dalam lafazh lain disebutkan

Kemudian aku berkata, ‘mereka termasuk umatku”. Kemudian dikatakan,”sesungguhnya kamu tidak tahu

apa yang mereka ada-adakan ( dalam urusan agama) sepeninggalmu.” Kemudian aku berkata, “jauh,

jauh (dari telagaku ini) orang-orang yang suka mengubah (ajaran agamaku) sepeninggalku.”

25

Keenam. Ahli bid’ah suka menyembunyikan kebenaran dari para pengikut mereka

Allah telah mengancam mereka yang suka mennyembunyikan kebenaran dan orang-orang yang

sehaluan dengan mereka bahwa mereka akan mendapat laknat. Allah berfirman:

“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa

keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-kitab,

mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.”

26

Imam Yang Empat Mengikuti Sunnah Dan Membenci Bid’ah

Seluruh ulama dan imam madzhab empat sepakat untuk mengikuti sunnah dan meninggalkan kebid’ahan

dalam beragama dalam hal sekecil apapun sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Sufyan Ats tsauri

ketika menukil perkataan fuqoha: “tidak akan lurus suatu ucapan kecuali disertai dengan perbuatan, tidak

akan lurus ucapan dan perbuatan kecuali harus disertai dengan niat yang ikhlas dan tidak akan lurus

ucapan, perbuatan dan niat yang ikhlas melainkan harus sesuai dengan sunnah.”

27

Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80-150H)

“apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.”

28

“tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui

darimana kami mengambilnya.”

29

“jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah

sholallahu alaihi wasallam, maka tinggalkanlah perkataanku.”

30

(12)

“sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah

pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan Sunnah, ambilah dan setiap yang tidak

sesuai dengan alkitab dan Sunnah, tinggalkanlah.”

31

“tidak ada seorang pun setelah Nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam kecuali dari perkataannya itu ada yang

diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam.”

32

“Janganlah kamu menentang sunnah dan terimalah dengan sepenuh hati.”

33

“Sunnah laksana perahu nabi Nuh as. Siapa yang naik maka akan selamat dan siapa yang tidak naik

maka akan tenggelam.”

34

“Siapa pun diantara umat ini yang mengada-adakan perkara baru dalam agama yang tidak terdapat

petunjuk pada generasi Salaf maka ia telah menuduh bahwa Muhammad telah berkhianat terhadap

risalah karena Allah telah berfirman: “pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah

Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al-Maidah :3),

sehingga segala perkara agama yang tidak terdapat petunjuk dari Nabi maka sampai kapanpun tidak

termasuk bagian dari agama.”

35

Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-205 H)

“Tidak seorang pun, kecuali harus bermadzhab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya.

Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari

Rasulullah sholallahu alaihi wasallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda

Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam. Inilah ucapanku.”

36

“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah

Sholallahu Alaihi wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti

perkataan seseorang.”

“Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah

Sholallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullah Sholallahu Alaihi wa Sallam

dan tinggalkanlah apa yang aku katakan

37

.”

Imam Ahmad bin Hambal (164-241H)

“Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Sholallahu Alaihi wa Sallam, maka sesungguhnya ia telah

berada di tepi kehancuran.”

(13)

Bab 2

K

EUTAMAAN QIYAMU ROMADHON

Sudah sepantasnya sebagai seorang muslim kita berusaha mendekatkan diri kepada Allah

dengan mengerjakan amal-amal yang difardhukan Allah lalu setelah itu kita mengerjakan amal-amal

sunnah. Sungguh bulan Romadhon merupakan bulan yang penuh kebaikan jangan sampai diri kita tidak

mendapatkan kebaikan yang besar di dalamnya. Kebaikan-kebaikan itu diantaranya dapat diperoleh

dengan melaksanakan Qiyamu Romadhon pada malam-malamnya. Saya akan menyebutkan keutamaan

Qiyamu Romadhon yakni pelaksanaan sholat tarawih dan witir di malam-malam bulan romadhon

berdasarkan hadits-hadits.

Pertama

Barang siapa mengerjakan Qiyam (sholat tarawih) pada bulan Romadhon karena keimanan dan

mengharap pahala niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.”

39

Maksud Qiyam Romadhon, secara khusus, menurut Imam An-Nawawi adalah Sholat Tarawih. Hadits ini

memberitahukan, bahwa sholat tarawih itu bisa mendatangkan ampunan dan bisa menggugurkan semua

dosa, tetapi dengan syarat dengan berlandaskan iman,membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh

Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar adat kebiasaaan.

40

Kedua

Sesungguhnya barang siapa yang sholat (qiyamul lail) bersama imam hingga imam selesai

sholat, ia akan mendapatkan ganjaran sholat semalam suntuk.”

41

Hadits selengkapnya :

Abu Dzar menceritakan : “kami dahulu melakukan puasa bersama Rasulullah sholallalhu alaihi wasallam

di bulan Romadhon. Namun beliau tidak turut sholat bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan

tersebut. Saat itu baru beliau sholat bersama kami hingga berakhir sepertiga malam. Pada saat bersisa

enam hari lagi dari bulan Romadhon, beliau kembali tidak sholat bersama kami. Sementara pada saat

tinggal tersisa lima hari lagi, beliau sholat bersama kami hingga berakhir separuh malam. Kami berkata :

“wahai Rasulullah, andaikata engkau sudi menghabiskan sisa malam ini dengan sholat sunnah bersama

kami?” Beliau menanggapi

: “sesungguhnya barang siapa yang sholat (qiyamul lail) bersama imam

hingga sholat usai, Allah akan menuliskan baginya pahala sholat satu malam suntuk.”

Dalam riwayat

lain

: “akan dituliskan baginya pahala sholat satu malam suntuk.”

Ketika tinggal tersisa empat hari lagi,

beliau kembali tidak sholat bersama kami. Saat Romadhon tinggal bersisa tiga hari, beliau

mengumpulkan seluarga beliau dan istri-istri beliau, lalu sholat bersama kami hingga kami khawatir

tertinggal waktu falah.” Aku bertanya : “apa yang dimaksudkan dengan waktu falah?” Beliau menjawab :

“waktu sahur.” Kemudian, pada hari-hari yang tersisa, beliau kembali tidak sholat bersama kami lagi.”

Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran agar melakukan sholat tarawih secara berjamaah

dan mengikuti imam hingga selesai sholat. An-Nawawi menegaskan : “para ulama bersepakat

bahwa sholat tarawih itu dianjurkan.

42

Tidak diragukan lagi bahwa sholat tarawih itu hukumnya

sunnah muakkad, yang pertama kali menetapkan sunnahnya dengan ucapan dan perbuatan

Rasulullah sholallahu alaihi wasallam.

43

Ketiga

(14)

Romadhon karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana

pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.”

44

Ke empat

Suatu ketika datang seseorang dari Qudha’ah berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila aku

bersaksi bahwa tidak ada yang patut di ibadati kecuali Allah, dan bahwa engkau Rasulullah, dan saya

melakukan sholat yang lima, puasa Romadhon, dan sholat malam di bulan Romadhon, dan saya

menunaikan zakat?’ Rasulullah saw bersabda,”barang siapa yang wafat di atas (amalan) ini maka ia

termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.”

45

Kelima

“Barang siapa yang melaksanakan sholat dimalam lailatul Qodar ( kemudian ia mendapatkannya),

dengan keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

46

(15)

Bab 3

R

INGKASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON

Koreksi ulang terhadap pelaksanaan sholat malam dalam rangka tashfiyah dan tarbiyah

1. Setelah selesai kultum (bila ada), hendaklah imam bersiap melakukan Sholat Tarawih dengan

menghadap kepada jama’ah untuk merapatkan, mengatur dan merapikan shof. Jama’ah serentak

berdiri untuk sholat tarawih. Lihat poin Pertama.

2. Tidak perlu mengucapkan “Shollu sunatan tarawihi arba’a… dst.” Dan tidak perlu pula menjawab

dengan Laa ila ha illallah. Ini perkara yang tidak ada contohnya dari Rasulullah sholallahu alaihi

wasallam.Juga tidak perlu mengucap Shollu sunatan witri…. Dst. Sebagai gantinya setiap selesai

sholat imam menghadap jama’ah untuk mengatur (meluruskan dan merapatkan) shof. Lihat poin

kedua

3.

Qiamur Romadhon dilakukan dengan 11 raka’at (dengan perincian 8 raka’at tarawih dan 3 raka’at

witir) dan diperkenankan pula melakukannya dengan 23 raka’at.

47

Mengenai pelaksanaan sholat

tarawih 8 raka’at dapat dikerjakan dengan 4 raka’at 1 salam ataupun dengan 2 raka’at 1 salam.

Hanya saja menurut penyusun, sholat tarawih dengan 2 raka’at 1 salam lebih baik. Lihat poin ketiga

dan keempat

4. Tidak ada do’a khusus yang harus dibaca setelah tarawih, jadi setelah salam sholat tarawih

hendaknya jama’ah bersegera berdiri untuk melakukan sholat tarawih berikutnya dan telah benar

mengenai adanya do’a khusus setelah witir. Hendaknya dibaca sendiri-sendiri tanpa mengeraskan

suara. Contoh bacaan setelah witir “Subhaanal malikil Quddus” ( 3 X ). Lihat poin kelima, keenam

dan ketujuh

5. Disunnahkan bagi Imam untuk membaca do’a Qunut dalam sholat witir. Lihat poin kedelapan.

6. Petunjuk yang benar adalah tidak melafalkan ataupun mengeraskan niat puasa Romadhon. Jadi

tidak perlu mengeraskan membaca “nawaitu Shouma Ghodin…dst.” Lihat poin kesembilan

(16)

Bab 4

U

LASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON

Poin Pertama : Perintah untuk mengatur shof

Kami katakan setelah kultum bila ada maksudnya bahwa kultum bukanlah sesuatu yang harus ada dalam kegiatan tarawih, meyakininya bahwa kultum harus ada adalah kekeliruan yang berakibat kepada bid’ah yaitu membuat sebuah ajaran Islam yang baru yang tidak pernah diajarkan Rasulullah saw.

Kemudian hendaknya Imam memerintahkan makmum meluruskan dan merapatkan shaf.

Seperti dalam sebuah hadits Rasulullah melakukan demikian, Rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersabda : “Rapatkanlah barisanmu (3X). Demi Allah, kalian akan menegakkan barisan, atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisih.”48

Begitupula Umar bin Khattab, beliau mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir sehingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, “maju wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”49

Salah satu kesalahan yang sering terjadi. Seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan Shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami semua orang?!

Anas bin Malik berkata, “adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, “aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagikan keledai liar ( tidak suka dengan hal itu, pen).”50

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa maksud dari meluruskan dan merapatkan shof adalah :

1. Menempelkan bahu seseorang dengan orang lain yang ada disampingnya, menempelkan kaki dengan kaki temannya, lutut dengan lutut temannya, dan menempelkan mata kaki dengan mata kaki temannya.

2. Selalu menjaga dalam merapatkan bahu, leher dan dada, sehingga lehernya sejajar, bahunya sejajar dan dadanya juga sejajar

Ibnu Taimiyah berpendapat wajib perbuatan meluruskan shaf berdasarkan hadits-hadits yang ada.51 Syaikh

Muhammad bin shalih Al-Utsaimin menyatakan : “yang benar dalam persoalan ini adalah bahwa meluruskan shaf adalah wajib. Yakni bahwa apabila jama’ah sholat tidak meluruskan shaf mereka, maka mereka berdosa.

Sedangkan ucapan Nabi sholallahu alaihi wasalam dalam memerintahkan pelurusan shaf ada beberapa macam diantaranya :

-Aqiimuu shufuu fakum wataroshshuu

Tegakkan dan rapatkanlah shaf kalian52

- Aqiimuu shufuu fakum ( 3 kali )

Tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian53

-Atimmuu shufuuf

Sempurnakanlah shaf54

(17)

Tegakkan shaf dengan baik55

-Sawwuu shufuu fakum fa inna taswiyatash shufuufi min iqoomatish sholaat

Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat (berjamaah) 56

-Sawwuu shufuu fakum fa inna taswiyatash shufuufi min tamaamish shalaat

Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk menyempurnakan sholat (berjamaah)57

Ragam yang lain beserta dalil-dalilnya bisa pembaca temui dalam buku Imam dalam sholat menurut Alqur’an dan As-Sunnah tulisan DR. Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani

Perlu pembaca ketahui pula bahwa ucapan imam tadi tidak perlu dijawab oleh makmum dengan sami’naa wa atho’naa (kami mendengar dan kami taat) karena tidak dituntunkan.

Poin Kedua : Tidak adanya seruan untuk mendirikan sholat tarawih dan witir

Tidak pernah Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatnya meneriakkan “shollu sunatan tarawihi arba’a rak’atan jami’atar rahimakumullah atau shollu sunatan witri…” kemudian dijawab dengan “laa ilaha illallah.” Ini perkara yang tidak ada contohnya dari Rasulullah (bid’ah), sehingga harus ditinggalkan.Kebanyakan mereka yang mengamalkan hal ini telah membuat bacaan do’a secara khusus, yang tidak bersandar kepada satu dalilpun, dan tidak pernah diajarkan oleh para ulama salaf maupun imam sunnah.58 Orang-orang yang melakukan itu haruslah

dinasehati agar meninggalkannya dan sebagai gantinya imam mengatur shaf.

Beberapa seruan yang tidak ada dasarnya dari Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya diantaranya ketika sebagian kaum muslimin yang mengerjakan sholat tarawih 20 raka’at mereka mengucapkan

“Ash Shalaatut taraawiihi rahimahullahu”

Kemudian pada raka’at ke 8 bilal membaca: “Al khalifatul –uula amiirul mu’miniina sayyidunaa Abuu bakrinish shiddiiq”

Lalu jama’ah menjawab : “Radhiyallahu anhu”

Seruan dan jawaban ini terulang kembali pada rakaat ke 12 dengan bacaan “Al khalifatuts tsaniyatu amiirul mu’miniina sayyidunaa Umarab nil khaththaab”

lalu pada raka’at ke 16 dengan bacaan “Al khalifatuts tsaalitsatu amiirul mu’miniina sayyidunaa Utsmaanab ni’ Affan”

lalu pada raka’at ke 20 dengan bacaan “Al khalifatuts raabi’atuamiirul mu’miniina sayyidunaa Aliyyib ni Abii Thaalib. 59

Bid’ah ini banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik dan sunnah, padahal hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.60 Padahal setiap cara ibadah dan praktek

agama yang tidak ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah. Rasulullah saw bersabda, “barang siapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak.”61

Seruan untuk mendirikan sholat selain adzan dan iqomat untuk sholat fardhu tidak ditemukan dalam sholat sunat kecuali pada sholat sunat gerhana, dimana disunatkan untuk menyuarakan Ash sholatu jaamiah. 62

Poin ketiga : Dalil Sholat Tarawih dan witir 11 raka’at

Dalil sholat tarawih63 dan witir 11 raka’at, ditunjukkan oleh hadits aisyah. Dari Abi Salamah bin Abdirrahman, ia

pernah bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana sholat Rasulullah sholallahu alaihi wasallam di bulan Romadhon. Aisyah berkata: “Rasulullah tidak pernah menambah sholat malam itu, baik ketika bulan Romadhon atau lainnya dari 11 raka’at. Beliau sholat 4 raka’at64 jangan ditanya baik dan panjangnya. Kemudian sholat lagi 4 raka’at, jangan

ditanya baik dan panjangnya, lalu sholat juga 3 raka’at. … dst.65 Ini menjadi landasan bahwa sholat malam dapat

dikerjakan dengan tarawih 4 raka’at 1 salam, 4 raka’at 1 salam dan 3 witir.66 Ibnu Hajar berkata, “jelas sekali, bahwa

(18)

Diterima pula secara Shahih, dari Ibnu Umar : Bahwa seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam tentang sholat malam, maka beliau Sholallahu alaihi wasallam menjawab: “sholat malam itu 2 raka’at, 2 raka’at. Apabila seorang diantara kamu takut kedahuluan shubuh, maka hendaklah ia berwitir 1 raka’at menutup sholat-sholat sebelumnya itu.”67

Syaikh Abdul Aziz bin Baz68 mengomentari hadits Aisyah ra tentang 4 raka’at, 4 raka’at itu, “maksudnya adalah

beliau (Rasulullah) salam disetiap 2 raka’at, dan maknanya bukan beliau langsung mengerjakan 4 raka’at dengan 1 salam berdasar hadits yang lalu dan telah tsabit dari nabi Sholallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau berkata: “sholat malam itu dua dua.” Sebagaimana yang telah lalu. Hadits-hadits itu saling membenarkan dan saling menjelaskan, Maka setiap muslim wajib mengambil keseluruhannnya dan hendaknya menafsirkan hadits yang bersifat mujmal (global) dengan hadits yang bersifat Mubayyan (lebih rinci).69

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin70 berkomentar : Penuturan Aisyah : “…beliau sholat 4 raka’at, kemudian

sholat lagi 4 raka’at,” menunjukkan bahwa ada pemisah antara 4 raka’at pertama dengan yang kedua dan tiga raka’at yang terakhir. Pada masing-masing 4 raka’at, beliau melakukan salam setelah 2 raka’at.”71

Berkata Al Hafizh Muhammad bin Nashar Al-Mirwazi Rahimahullah menyatakan dalam qiyamul lail (hal.119) : “yang menjadi pilihan kami, untuk orang yang sholat malam baik pada bulan Romadhon atau bulan yang lain; hendaknya ia bersalam pada setiap 2 raka’at. Sampai kalau dia mau sholat witir yang 3 raka’at, hendaknya dia membaca Sabbihisma Rabbika pada raka’at pertama, Qul yaa ayyuhal kafirun pada raka’at kedua, lalu pada raka’at yang kedua itu dia bertasyahud dan salam. Kemudian dia bangkit dan sholat 1 raka’at dengan membaca al fatihah, qul huwallahu ahad, dan mu’awwidzatain ( An-Naas dan Al-Falaq).”72

Inilah mengapa saya (penulis) lebih menyukai dilaksanakan dua-dua, walaupun empat-empat juga tidak mengapa melihat dzahir hadits aisyah tersebut. Penulis mempunyai beberapa alasan lagi terhadap sholat tarawih secara dua-dua, yaitu:

1.

Aisyah meriwayatkan pula hadits mengenai sholat malam Rasulullah dengan tata cara yang berbeda, yakni sholat 8 raka’at dengan setiap 2 raka’at Rasulullah ber tahiyyat, kemudian berwitir 5 raka’at.73

2.

Riwayat Zaid bin Kholid Al Juhani, yang menceritakan keingintahuannya tentang sholat Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam. Ia berkata: “beliau sholat 2 raka’at ringan kemudian beliau sholat 2 raka’at panjang lalu 2 raka’at panjang,…dst.74

3.

Seandainya saya melakukan tarjih maka akan saya katakan bahwa 4 raka’at – 4 raka’at adalah pengabaran Aisyah sedangkan yang 2 raka’at – 2 raka’at adalah sabda nabi Saw, mana mungkin beliau saw mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang beliau sabdakan. Atau kita akan menempuh seperti yang dilakukan kedua Syaikh (bin Baz dan Al-utsaimin) dimana mereka meletakkan hadits 4 raka’at – 4 raka’at sebagai dalil yang bersifat umum sedangkan 2 raka’at – 2 raka’at diletakkan diposisi yang khusus. Sehingga yang 4 raka’at – 4 raka’at harus dijelaskan dengan yang 2 raka’at – 2 raka’at.75

Namun saya melakukan metode jama’ (kompromi) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam An-Nawawi serta disetujui oleh Al-Albani dalam hal ini yakni dzahir hadits menunjukkan bolehnya sholat dengan hitungan 4 raka’at 1 salam walaupun mengerjakan 2 raka’at 1 salam lebih utama76. Sehingga dengan cara ini tidak ada pemahaman

hadits yang digugurkan dan keduanya bisa dipakai. Wallahu a’lam

4. Dengan melakukan sholat tarawih 2 raka’at 1 salam maka akan menghindari permasalahan apakah ada duduk tasyahud pada raka’at ke-2 bila dikerjakan 4 raka’at 1 salam.

Poin ke empat : Cara melaksanakan witir yang 3 raka’at Witir yang sebanyak 3 raka’at dapat dilakukan 2 cara.

Pertama, 3 raka’at sekaligus dengan satu salam dan tanpa duduk tasyahud pada raka’at ke-2, agar tidak serupa dengan sholat maghrib. Dasarnya : Hadits Ubai bin Ka’ab, pada raka’at pertama Rasul membaca surah Al A’la, raka’at kedua membaca surah al Kafirun dan raka’at ketiga membaca surah al Ikhlas.77 Juga berdasarkan riwayat

Ibnu Abbas ra.78 Sedangkan dalam riwayat Abdul Aziz bin Juraih, pada raka’at ketiga Rasulullah membaca surah Al

(19)

Kedua, 3 raka’at dikerjakan dengan 2 raka’at 1 salam lalu 1 raka’at 1 salam. “Jangan samakan (sholat witir) dengan sholat maghrib.”80 Tidak diragukan lagi, bahwa sholat itu dapat lebih tidak serupa lagi dengan maghrib, apabila ada

salam pemisah antara 2 raka’at pertamanya dengan 1 raka’at terakhirnya. Imam Ahmad pernah ditanya oleh Al Muhanna, “apa pendapat kamu tentang sholat witir, apakah kamu bersalam pada raka’at kedua ? Beliau menjawab: “iya”. Aku bertanya lagi: “apa alasannya?” Beliau menjawab lagi: “karena hadits-haditsnya dari nabi Sholallahu alaihi wasallam lebih banyak dan lebih kuat.” Imam Ahmad pernah ditanya tentang sholat witir, beliau menjawab: “dengan salam pada raka’at kedua, kalau tanpa salam, aku harap juga sah.”81

Poin kelima : Tidak ada do’a khusus disela-sela tarawih

Tidak ada do’a khusus yang dibaca setelah sholat tarawih.82 Akan kami paparkan 3 ragam do’a yang popular dibaca

setelah sholat tarawih beserta kritik kami atasnya.

1.

“Allahumma innaka afuwun tuhibbul afwa fa’fu annii.” Do’a ini berasal dari hadits Aisyah ra, dia berkata : “aku bertanya, ya Rasulullah! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan lailatul Qodar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?” beliau menjawab, “ucapkanlah Allahumma innaka afuwun….83 Do’a ini bisa dibaca pada

malam-malam 10 hari akhir bulan Romadhon, kapan saja dalam waktu itu. Jadi bukan bacaan yang dibaca secara khusus setelah sholat tarawih maupun witir.

2.

“Subbuhun Quddus Rabbul malaa ikati warruuh”84 Penulis mendapati dzikir ini dibaca setelah setelah ruku’

dan sujud bukan bacaan setelah sholat malam. Karena itu sudah sepantasnya diletakkan pada tempat semestinya.

3. “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Astaghfirullah, As alukal jannata wa Audzubika minan naar.” Pendasaran bacaaan ini dari hadits Salman, namun dinilai lemah oleh ulama-ulama hadits. Haditsnya sebagai berikut: “Wahai sekalian manusia, telah menaungi kalian suatu bulan yang sangat agung. Bulan yang di dalamnya terdapat kebaikan melebihi kebaikan seribu bulan. Allah telah menjadikan puasanya fardhu dan qiyam pada malamnya tathawwu’. Siapa saja yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan kebaikan, maka ia bagaikan orang yang menjalankan fardlu pada selain bulan tersebut. Sedangkan orang yang mengamalkan fardhu pada bulan itu bagaikan orang yang menjalankan tujuh puluh fardlu pada selain bulan itu. Inilah bulan kesabaran, dan sabar berpahalakan surga. Dan juga bulan santunan, bulan yang didalamnya terdapat tambahan rezeki bagi seorang mukmin. Siapa saja yang memberi makan orang yang sedang berpuasa, maka baginya ampunan atas dosa-dosanya dan pembebasan dari api neraka, dan baginya pula pahala bagi orang yang berpuasa tanpa dikurangi sedikitpun. Para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah, tidak semua kami berkemampuan untuk memberi makan orang yang berpuasa,” beliau menjawab: “Allah memberikan pahala tersebut kepada siapa saja yang memberi makan berupa air susu yang dicampur dengan air, atau buah kurma, atau hanya air. Dan siapa saja yang mengenyangkan orang yang berpuasa, maka Allah akan meminumkannya air dari telaga sekali minum dan tidak akn pernah merasa haus selamanya hingga ia masuk ke dalam surga. Itulah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Karena itu hendaknya kalian memperbanyak melakukan empat hal, dua hal sangat di ridloi Allah, dan dua hal lainnya kalian tidak mungkin mengabaikannya. Dua hal yang sangat di ridloi –Nya adalah mengucap syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan memohon ampunan kepada-Nya. Sedangkan dua hal yang sangat kalian butuhkan adalah memohon kepada-Nya untuk mendapatkan surga dan berlindung kepada-Nya dari neraka.”

Derajat hadits: Dhaif

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al Muhamili di dalam amali (293) dan Al Ashbahani dalam At Targhib ( q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya dlaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, tidak kuat. Berkata Ibnu Ma’in, Dlaif. Berkata Ibnu Abi Khaitsamah, lemah disegala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hapalannya. Demikianlah di dalam Tahdzibut tahdzib (7/322-323). Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam illalul hadits (1/249), hadits yang mungkar.85 Penulis katakan hadits inipun jika seandainya shahih tetap tidak bisa

(20)

4. Juga terdapat do’a seperti “Allahummaj alnaa bil iimaani kaamiliin wa lifaraa’idhika mu’addiina wa ‘alash sholawaati muhaafizhiin ... “

Doa ini tidak ada asalnya untuk dibaca disela-sela tarawih

Poin ke enam : Bacaan khusus setelah witir Terdapat beberapa bacaan setelah sholat witir 87

1.

“Subhaanal Malikil Qudduus” (Maha suci sang Maha Raja yang maha suci) sebanyak 3x dengan memanjangkan suara dan mengeraskannya pada kali ketiga.88

Terdapat tambahan “Rabbil Malaaikati Warruuh”89 namun tambahan ini lemah.90

2.

“Allahumma innii audzu biridhoka min sakhotik, wabimuu aafaatika min uquubatik, wa auudzubika minka laa uhshi tsanaa an alaik, anta kamaa atsnaita alaa nafsik.” (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada ridho-Mu dari murka-Mu. Dengan ampunan-Mu dari hukuman-Mu, Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung sanjungan terhadap-Mu. Sebagaimana engkau memuji atas diri-Mu sendiri). Pendasarannya adalah sebuah hadits yang menyebutkan : Dari Ali bin Abi Tholib, dia berkata : suatu malam aku bermalam di tempat Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam. Aku mendengar beliau bersabda seusai sholat dan hendak beranjak ke tempat tidur. “allahumma innii….dst.91

Poin ketujuh: Larangan Dzikir berjama’ah dan bersuara keras

Dzikir berjama’ah dengan suara keras seperti koor pada setiap waktu istirahat dalam sholat tarawih dengan dipandu seorang bilal selesai sholat 2 raka’at dari sholat tarawih, maka ini merupakan perbuatan bid’ah. Adapun lafadz dzikir yang mereka baca berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah, maka perbuatan seperti ini termasuk mengumpulkan berbagai macam keburukan dan kebid’ahan. Pendasaran ini antara lain karena:

Pertama, firman Allah Swt yang berbunyi: “dan sebutlah nama Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.92

Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan: “Asal dalam berdzikir adalah dengan merendahkan suara sebagaimana di nashkan dalam Alqur’an dan As-Sunnah, kecuali yang telah dikecualikan.”93 Seperti ketika mengumandangkan

adzan dan iqomat, bertakbir pada kedua hari raya, bertalbiyah haji, mengucapkan dan menjawab salam, membaca doa setelah sholat witir. Yaitu ucapan subhanal malikil Quddus. Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam mengeraskan dan memanjangkan suara pada kali yang ketiga.

(21)

halqoh-halqoh itu dan melihat mereka, lalu berkata:”apakah ini, yang aku melihat kamu sedang melakukannya?” Mereka menjawab:”wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kerikil yang dengannya kami menghitung takbir,tahlil dan tasbih”. Dia berkata:”hitung saja kesalahan-kesalahanmu, aku menjamin bahwa kebaikan-kebaikanmu tidak akan disia-siakan sedikitpun. Kasihan kamu hai umat Muhammad! Alangkah cepat kebinasaanmu! Mereka ini para sahabat nabi kamu masih banyak, dan ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan bejana-bejana Beliau belum retak. Demi (Allah) yang jiwaku ditangannya, sesungguhnya kamu berada di atas satu agama yang lebih benar daripada Agama muhammad, atau kamu orang-orang yang membuka pintu kesesatan?!” Mereka menjawab:”demi Allah hai Abu Abdurrahman! Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan.” Dia berkata: “alangkah banyaknya orang yang menghendaki kebaikan (tetapi) tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah sholallahu alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami: “Sesungguhnya Sekelompok Orang Akan Membaca Alqur’an, (Tetapi) Tidak Melewati Tenggorokan Mereka, Mereka Menembus Dan Keluar Dari Islam Sebagaimana Anak Panah Menembus Dan Keluar Dari binatang Buruan Yang Dipanah.”Demi Allah, aku tidak tahu kemungkinan mereka adalah dari kamu!” Kemudian dia berpaling dari mereka. ‘Amr bin Salamah berkata:”kemudian kami melihat kebanyakan orang-orang pada halqoh-halqoh itu bersama khawarij memerangi kami pada peperangan nahrawan.”94

Setelah memaparkan takhrij hadits ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah Ahadits As-Shahihah (5/13): “Dalam kisah ini terdapat pelajaran bagi kaum tariqot dan kelompok dzikir yang menyelisihi sunnah. Tatkala ada yang mengingkari amalan dzikir yang mereka lakukan serta merta menuduh orang tadi mengingkari dzikir yang mereka lakukan!! Padahal tidak ada seorang muslimpun di dunia ini yang mengingkari dzikir karena hal itu merupakan kekufuran. Namun yang di ingkari adalah model dan perkumpulan dzikir yang tidak pernah disyariatkan semasa nabi. Kalau bukan begitu, lantas apa yang di ingkari oleh Abdullah bin Mas’ud pada mereka? Bukankah yang beliau ingkari adalah perkumpulan yang pada hari tertentu, bilangan dzikir yang dibikin-bikin, itu semua ditentukan oleh ketua halaqoh tersebut dan hasil ciptaannya saja. Seakan-akan dia adalah pembuat syari’at guna melawan Allah! “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak di izinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Asy-Syu’ara : 21)

Ketiga, Setelah sempat hilang maka bid’ah ini muncul kembali setelah wafatnya sahabat Abdullah bin Mas’ud sekitar tahun 32 atau 33 H.

Abdullah bin Khabbab bin Art, pernah duduk bersama beberapa orang yang memimpin dzikir mereka, maka ketika ayahnya Khabbab bin Art melihatnya berbuat demikian, ia pun memanggilnya dan mengambil sebuah cambuk untuk memukul kepala putranya itu, lalu putranya bertanya : Mengapa engkau memukulku? “karena engkau duduk bersama orang-orang amaliqah” jawab ayahnya.95

Keempat, Dari Abu Utsman An-Nahdi dia berkata: Seorang pembantu Umar bin Khathab melaporkan kepadanya bahwa disana ada sekelompok orang, mereka berkumpul berdo’a bersama-sama mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin dan pemimpin mereka. Lalu Umar menulis surat kepadanya yang isinya: “hendaklah kamu bersama mereka datang menghadap kepadaku.” Ketika mereka akan menghadap kepada Umar, beliau berkata kepada penjaga pintu, “sediakan cambuk!”, tatkala mereka datang menjumpai Umar, sang pemimpin mencambuk mereka.”96

Sikap sahabat Umar ini tidak ditentang oleh seorang sahabatpun, karena mereka tahu bahwa dzikir adalah ibadah dan harus ada tuntunan, tentunya larangan tersebut dalam rangka membendung perbuatan bid’ah. Umar bin Khathab bukan melarang mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin dan pemimpinnya karena hal itu termasuk sunnah, tetapi beliau melarang caranya yaitu dengan berkumpul dan berdo’a bersama-sama. Prinsip ini hendaknya diperhatikan agar tidak salah faham.97

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid menerangkan “sikap sahabat Umar diatas menunjukkan bahwa dzikir jama’i atau dzikir bersama mencakup dzikir dan do’a secara umum dibeberapa tempat, baik ibadah secara umum atau tertentu, wirid-wirid tertentu, setelah sholat wajib, ditempat-tempat ketika menjalankan ibadah haji, bertalbiyah ketika haji, takbir pada hari raya dan lainnya.98

(22)

mengeraskan suaramu dalam sholatmu dan janganlah pula merendahkannya…Al Israa’:110 ” (Perkataan Imam Syafi’i dalam Al Umm)

Beberapa Syubhat dan Jawabannya 99

Soal pertama

Bukankah Dzikir bersama itu lebih utama ?

Jawab:

Jika hal itu benar maka Rasulullah sholallahu Alaihi Wa Sallam adalah orang yang paling berhak untuk melakukannya. Ternyata tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau melakukan hal itu.

Soal kedua

Bukankah dzikir bersama itu sudah menjadi trend masyarakat dan biasa dikerjakan orang banyak ?

Jawab:

Yang menjadi hujjah adalah ajaran syariat beserta dalilnya untuk menyanggah atau menetapkan sesuatu. Adapun menjadikan pendapat orang banyak atau mengikuti mereka dalam urusan agama tidak lain hanyalah membuka pintu kesesatan.

Allah berfirman :

“dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.” 100

Abdullah bin Al hasan menjelaskan bahwa banyaknya orang-orang jahil dan para penganut bid’ah yang mendominasi ditengah masyarakat, juga karena gencarnya mereka menyebarkan kebid’ahan tidak bisa menjadi hujjah untuk membantah ajaran As-Sunnah dan Syariat.

Soal ketiga

Dzikir bersama adalah sarana dan hukum yang menjadi tujuannya. Sementara tujuan dari dzikir berjama’ah adalah beribadah kepada Allah

Jawab:

Kaidah tersebut tidak bisa berlaku untuk seluruh kasus. Kaidah itu memiliki ruang aplikasi yang terbatas pada hal-hal yang disebutkan oleh syariat saja, baik sebagai sarana ataupun tujuannya. Diantara bukti yang menunjukkan hal itu adalah bahwa ada suatu amalan yang hukumnya mubah, bahkan wajib, namun disisi lain sarana yang digunakan adalah makruh atau haram, seperti orang yang mengusahakan air wudhu dengan jalan merampas atau mencuri.

Hal itu bisa dibuktikan pula dengan melihat amaliah kaum salafus sholeh. Mereka melakukan semua amal ibadah dengan sangat hati-hati, tanpa membedakan mana sarana dan mana yang merupakan tujuan.

Untuk melihat fatwa-fatwa para ulama 101 untuk masalah dzikir berjamaah ini silakan membaca buku yang berjudul

Dzikir berjama’ah antara Sunnah dan Bid’ah yang ditulis DR. Muhammad bin Abdirrahman Al-Khumais Poin ke delapan: Sunnah membaca do’a Qunut dalam sholat witir

Di sunnahkan membaca do’a Qunut dalam Sholat Witir. Hukumnya Sunat bukan wajib. Dibaca sebelum ruku’ dan boleh pula dibaca setelah ruku’ (raka’at terakhir).102 Dilakukan dengan mengangkat kedua tangan, dibaca dengan

keras dan makmum mengaminkan, dan tidak mengusap ke muka setelah selesai pembacaan do’a Qunut.

Bacaan qunut Witir :

(23)

“Ya Allah berilah aku petunjuk bersama hamba-hambamu yang telah engkau beri petunjuk. Berilah aku keafiatan bersama hamba-hamba yang engkau beri keafiatan, lindungilah aku bersama hamba-hamba yang Engkau lindungi, berkahilah apa yang Engkau berikan kepadaku. Jauhkanlah aku dari kejelekan yang telah Engkau taqdirkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menetapkannya dan tidaklah Engkau dikenai ketetapan. Sungguh tidak akan terhina hamba yang Engkau cintai. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha suci Engkau wahai Rabb kami dan maha tinggi. Tidak ada keselamatan dari siksaMu kecuali dengan kembali kepadamu.”

Kata ganti Nii (semisal dinii, aafini, tawallanii,dan waqinii) diganti dengan naa sekedar mengganti kata ganti “saya” menjadi “kami”, hal ini diperuntukkan bila ia menjadi imam, karena ia sedang berdo’a untuk dirinya dan orang di belakangnya. Begitupula kata ganti Lii seperti pada wabariklii menjadi wabariklanaa.104 Dan jika menambah dengan

sesuatu do’a yang dibutuhkan maka tidaklah mengapa, tetapi jangan memperpanjang sehingga menyusahkan para makmum, atau menjadikan mereka bosan. Karena Nabi saw pernah marah kepada Mu’adz saat ia memanjangkan bacaan ketika berdiri dalam sholat dan menjadi Imam. Beliau saw bersabda : “apakah engkau hendak membuat fitnah wahai Muadz ?” 105

Poin kesembilan : Wajib berniat puasa Romadhon semenjak malam hari dan tidak perlu diucapkan dengan lisan

Niat puasa Romadhon wajib semenjak malam hari. Sebagaimana sabda Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam : “Barang siapa yang tidak berniat untuk melakukan puasa (wajib) sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”106

Namun tidak perlu dikeraskan. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata: “tidak boleh melafalkan niat dengan lisan karena tidak ada perintahnya dari nabi sholallahu alaihi wasallam dan juga para sahabat. Mereka tidak mengucapkan “saya niat akan puasa… Berkata Ibnu Taimiyah : “Setiap orang yang mengetahui bahwa besok adalah Romadhon dan ingin berpuasa maka dia telah berniat. Inilah yang kebanyakan dilakukan oleh kaum muslimin.”107

(24)

Poin kesepuluh: Perkara penting yang harus diperhatikan oleh imam dan jama’ah sholat Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh imam dan juga jama’ah sholat.

1.

Cara membaca Ayat Al-Qur’an dalam sholat. Hendaknya ayat-ayat Alqur’an dibaca dengan tartil 108 dan

tadabbur sehingga jelas panjang pendeknya serta tidak mengubah arti ayat. Beliau Sholallahu alaihi wasallam membaca dengan memenggal menggal, berhenti untuk setiap ayat. Misalnya membaca : “Alhamdulillahi Rabbil aalamiin (berhenti). Ar Rohmaanir Rohiim (berhenti). Maaliki Yaumid diin (berhenti)…

109

2.

Hendaknya menyempurnakan Ruku’ dan sujud. Abu Hurairah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling jelek cara malingnya adalah orang yang mencuri dari sholatnya.” Mereka bertanya : “wahai Rasulullah, bagaimana ia bisa mencuri dari sholatnya ? “beliau menjawab : “bisa, yaitu ketika ia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud.”110

3.

Menjaga kekhusyuan dan kehadiran hati dalam Sholat. Ammar bin Yasir meriwayatkan bahwa beliau berkata : aku pernah mendengar Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam bersabda : “sesungguhnya seorang hamba itu terkadang sholat, namun hanya dicatat ganjarannya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperempat, sepertiga, atau setengahnya.”111

4.

Memperhatikan kondisi jama’ah. Abu Hurairah meriwayatkan bahwasanya nabi Sholallahu alaihi wasallam bersabda : “apabila salah seorang diantara kalian mengerjakan sholat bersama orang banyak, maka persingkatlah (ringankanlah) karena diantara mereka ada yang lemah, sakit dan berusia lanjut. Apabila dia mengerjakan sholat sendirian, maka panjangkanlah sesuka hatinya.”112 Akan tetapi perlu diingat, bahwa

“meringankan” merupakan suatu perkara yang relatif. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan sholatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam dalam hal ini mencontoh yang dilakukan nabi Shalallahu alaihi wasallam. Hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam dan tidak juga kepada keinginan makmum.113 Harus dijelaskan disini bahwa yang dikerjakan oleh kebanyakan imam untuk meringankan

(25)

Bab 5

J

UMLAH RAKA’AT SHOLAT MALAM DI BULAN ROMADHON

Tidak dipungkiri lagi bila kita memasuki bulan Romadhon maka pertanyaan-pertanyaan seperti dibawah ini selalu mengusik hati kita. Diantaranya: berapa jumlah raka’at sholat tarawih yang harus kami lakukan? apakah sholat tarawih witir 23 raka’at tidak memiliki dasar? Apakah kita boleh mengerjakan sholat malam lebih dari 11 raka’at dan boleh juga kurang dari 23 raka’at? Apakah sholat malam itu tidak terbatas? Persoalan seperti itu selalu berulang setiap tahunnya seakan akan pada tahun yang lalu permasalahan itu masih menjadi “PR” bagi kaum muslimin untuk dijawab tahun depan begitu seterusnya. Maka dengan mengharap keridhoan Allah saya berusaha menjabarkan hal itu berdasarkan pengetahuanku saat ini, mudah-mudahan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan dapat menjawab kehausan para pencari kebenaran.

Bila kita berbicara masalah raka’at sholat tarawih maka pembagian terbaik nampaknya kita harus membagi periodisasi menjadi 2 bagian yakni dimasa Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam dan dimasa selain itu yakni era para shahabat, tabi’in dan generasi dibawahnya.115

a. Periodisasi Rasulullah

Rasulullah telah melakukan beberapa variasi dalam melakukan sholat malam sebagaimana dibawah ini.

Kaifiyat pertama

13 raka’at (2 dan 2,2,2,2,2 dan 1), membukanya dengan sholat 2 raka’at ringan lalu mengerjakan 2 raka’at 1 salam selama 5 kali dimana dalam pengerjaannya dari yang paling panjang pelaksanaannya menuju yang ringan/pendek. kemudian berwitir 1 raka’at.116

Kaifiyat kedua

13 raka’at (2,2,2,2 dan 5), dikerjakan sebanyak 8 raka’at dengan mengucapkan salam setiap 2 raka’at lalu mengerjakan witir 5 raka’at dengan sekali salam.117

Kaifiyat ketiga

11 raka’at (2,2,2,2,2 dan 1),dikerjakan sebanyak 10 raka’at dengan mengucap salam setiap 2 raka’at lalu ditutup dengan witir 1 raka’at.118

Kaifiyat ke-empat

11 raka’at (4,4 dan 3),dikerjakan 4 raka’at dengan sekali salam l , lalu 4 raka’at sekali salam lalu ditutup witir 3 raka’at.119

Kaifiyat kelima

11 raka’at , dikerjakan 8 raka’at dengan melakukan tasyahud awal pada raka’at ke 8 lalu bangkit tanpa mengucapkan salam untuk mengerjakan sholat witir 1 raka’at baru kemudian mengerjakan salam. Itulah 9 raka’at, lalu ditutup dengan dua raka’at yang dikerjakan sambil duduk120.

Kaifiyat ke enam

9 raka’at , dikerjakan 6 raka’at dengan melakukan tasyahud awal pada raka’at ke enam lalu bangkit tanpa mengucapkan salam untuk mengerjakan sholat witir 1 raka’at baru kemudian mengucapkan salam. Lalu ditutup dengan 2 raka’at yang yang dikerjakan sambil duduk.121

(26)

Adapun sholat witir 5 raka’at dan 3 raka’at dengan melakukan tasyahud setiap kali 2 raka’at tanpa salam, pada asalnya boleh saja122, namun Rasulullah telah melarang mengerjakan witir sebanyak 3 raka’at menyerupai sholat

maghrib. Oleh sebab itu bagi yang hendak berwitir dengan 3 raka’at dianjurkan agar tidak mengerjakan seperti sholat maghrib. Hendaklah melakukan kaifiyat berikut ini:

Pertama : Bertasyahud lalu mengucapkan salam pada raka’at kedua kemudian melanjutkan satu raka’at lagi, inilah kaifiyat yang paling utama.

Dasarnya adalah hadits Abdullah bin umar bahwa ia menceritakan: “Nabi biasa memisahkan antara raka’at genap dan ganjil dengan salam yang dapat kami dengar.123 Al-Albani menyatakan; hadits ini memiliki riwayat penguat

yang marfu’. Dari Aisyah diriwayatkan bahwa Nabi saw biasa melakukan witir dengan memisahkan antara dua raka’at dengan satu raka’at. Sanadnya shahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim. Al-Albani menisbatkan hadits ini kepada Ibnu Abi Syaibah. Lihat Irwaul Ghalil (II:150) karya Al-Albani.124

Telah diriwayatkan dengan shahih dari Abdullah bin Umar secara mauquf. Dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar biasa melakukan witir dengan salam antara dua raka’at pertama dengan satu raka’at terakhir, sehingga beliau sempat memerintahkan beberapa hal dari kebutuhannya.125 Hadits Mauquf itu bisa menguatkan hadits marfu’.

Berkata DR. Said bin Ali bin Wahf Al-Qothoni : “penulis sendiri pernah mendengar guru kita Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan tentang witir 3 raka’at, bahwa itu dilakukan dengan dua kali salam: “itu lebih utama, bagi orang yang ingin sholat tiga raka’at dan inilah yang mendekati kesempurnaan.”126

Kedua : Tidak bertasyahud awal pada raka’at kedua hanya bertasyahud pada raka’at terakhir lalu salam.127

Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya mengerjakan sholat malam dengan bentuk yang lain. Diantaranya adalah hadits-hadits yang menunjukkan jumlah raka’at witir (1,3,5,7,9) 128

Witir 1 raka’at

“Sholat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Dan jika kamu khawatir tiba waktu shubuh, maka kerjakanlah sholat witir 1 raka’at.129

Witir 3 raka’at

Lihat uraian diatas berkaitan witir 3 raka’at

Witir 5 raka’at

Anda mengerjakan 5 raka’at itu secara bersambungan tanpa duduk tahiyat kecuali di akhir raka’at saja. Dalam riwayat Aisyah: “sesungguhnya Nabi Sholallahu Alaihi Wa sallam pernah mengerjakan witir 5 raka’at dan beliau tidak duduk tahiyat kecuali di akhir raka’at.”130

Witir 7 Raka’at

Anda holat dengan 7 raka’at langsung secara bersambungan, tidak duduk tahiyat kecuali pada raka’at keenam, lalu membaca tahiyat, lalu berdiri dan tidak salam, untuk selanjutnya mengerjakan raka’at ketujuh dan kemudian salam. (lihat kaifiyat 6 )

Witir 9 raka’at

Anda Sholat 9 raka’at secara bersambungan, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan untuk bertasyahud. Kemudian mengerjakan raka’at yang kesembilan dan duduk pada raka’at ini untuk melakukan tasyahud akhir lalu salam.( Lihat kaifiyat 5 )

b. Periodisasi setelah Rasulullah

Referensi

Dokumen terkait

Proses klorinasi basah terhadap residu pelindian timbal dilakukan berdasarkan kondisi optimal yang diperoleh dari percobaan sebelumnya yaitu pada kapasitas 5 g umpan

Dalam sejarah perkembangannya, ekonomi Islam telah memenuhi tahapan bagi lahirnya sebuah disiplin ilmu, yaitu pada problematic stage pemikiran ekonomi Islam masih

Phenobarbital. Anti histamin juga dianjurkan, seperti dramamin, avomin. Pada keadaan lebih berat diberikan antiemetik seperti hidrokhloride atau khlorpromasin.

3: untuk jawaban Cukup berpengaruh, jika menurut responden pernyataan dalam kuesioner terjadi pada kondisi tertentu dan sesuai dengan kejadian sebenarnya yang pernah diketahui

Kemudian data-data yang telah terangkum dalam database SNMPTN diolah dengan menggunakan algoritma Fuzzy AHP, dimana panitia SNMPTN akan menginput parameter adaptif

Diagram konteks adalah diagram yang terdiri dari suatu proses dan menggambarkan ruang lingkup suatu sistem. Diagram konteks merupakan level tertinggi dari DFD yang

Oleh karena itu di dalam sistem pengolahan air, senyawa mangan dan besi valensi dua tersebut dengan berbagai cara dioksidasi air, senyawa mangan dan besi valensi dua

Ketua Tim Pengendali DAK sub bidang KB Provinsi (Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi) dan Ketua Tim Pengendali DAK SKPD KB Provinsi secara berkala melakukan