1
PENGARUH KEANEKARAGAMAN VEGETASI, JUMLAH STRATUM
DAN KEPADATAN SEMAK TERHADAP KEANEKARAGAMAN
JENIS BURUNG DI HUTAN PENDIDIKAN WANAGAMA I
Oleh:
Diani Santi Nuswantari
Intisari
Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan hutan sekunder yangmempunyai struktur vegetasi beragam dan memiliki kondisi ekosistem yang baik. Keadaan seperti ini membuat Hutan Pendidikan Wanagama I menjadi tempat tinggal barbagai satwa salah satunya adalah burung. Struktur vegetasi seperti keanekaragaman vegetasi, jumlah stratum dan kepadatan semak pada umumnya mempunyai peran penting dalam distribusi dan kelimpahan jenis burung sehingga dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis burung di Hutan Pendidikan Wanagama I. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh keanekaragaman vegetasi, jumlah stratum dan kepadatan semak terhadap keanekaragaman jenis burung di Hutan Pendidikan Wanagama I. Metode yang digunakan untuk mengambil data keanekaragaman jenis burung digunakan metode point count, keanekaragaman vegetasi dengan metode nested sampling, jumlah stratum dengan plotless sampling, dan kepadatan semak dengan plot
protocol sampling. Analisis keanekaragam jenis burung dan vegetasi menggunakan perhitungan indeks diversitas Shannon-Wiener. Sedangkan analisis regresi menggunakan program R statistik digunakan untuk menguji pengaruh keanekaragaman vegetasi, jumlah stratum, dan kepadatan semak terhadap keanekaragaman jenis burung. Keanekaragaman jenis burung di Hutan Pendidikan Wanagama tergolong sedang dengan nilai indeks diversitas sebesar 2,9295. Persamaan regresi yang diperoleh adalah Y=0,10944+0,29341x1+0,19945x2 dengan X1 adalah keanekaragaman sapihan dan X2 adalah kepadatan semak. Berdasarkan hasil analisis Keanekaragaman sapihan dan kepadatan semak mempunyai pengaruh yang signifikat terhadap keanekaragaman jenis burung di Hutan Pendidikan Wanagama I.
Kata kunci: Burung, Pengaruh, Keanekaragaman, Vegetasi, Startum, Semak, Hutan Wanagama I
PENDAHULUAN
Pada mulanya Hutan Pendidikan
Wnaagama I merupakan kawasan karst yang
cukup kritis sehingga hanya jenis-jenis
tertentu yang mampu beradaptasi di
kawasan tersebut. Kegiatan rehabilitasi lahan
yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan
UGM telah mampu membuat Hutan
Pendidikan Wanagama I sebagai hutan
sekunder yang memiliki beraneka ragam
jenis dan struktur vegetasi di dalamnya.
Keadaan ini tentu saja dapat memacu
bermacam-macam fauna untuk dapat hidup
di Hutan Pendidikan Wnagama I karena
kondisi ekosistemnya yang cukup baik.
Salah satu satwa yang dapat ditemukan di
Hutan Pendidikan Wanagama I adalah
2
yang ada maka burung-burung dapat mencari
makan baik berupa biji, serangga, ataupun
buah yang lebih bervariasi. Struktur vegetasi
dan konfigurasi habitat pada umumnya lebih
mempunyai peran penting dalam distribusi
dan kelimpahan jenis burung dibandingkan
dengan komposisi tanaman (Setyadi 1999).
Burung merupakan satwa liar yang
memiliki kemampuan hidup di hampir semua
tipe habitat sehingga burung mempunyai
mobilitas yang tinggi dan mampu
beradaptasi terhadap berbagai tipe habitat
yang luas (Welty 1982). Pada daerah yang
keanekaragaman jenis tumbuhannya tinggi
akan memiliki keanekaragaman jenis hewan
yang tinggi pula. (Ewusie, 1990). Struktur
vegetasi dan ketersediaan pakan pada habitat
merupakan faktor utama yang
mempengaruhi keanekaragaman jenis di
suatu habitat (Tortosa, 2000).
Keanekaragaman burung pada suatu tempat
berkolerasi dengan kondisi tempat yang
menjadi habitatnya. Tinggi, struktur, dan
kepadatan vegetasi sering berpengaruh pada
burung dalam menyediakan tempat
bertengger atau pelindungan dan membatasi
luas pandangan dan kemempuan untuk
berlari, terbang menangkap mangsa
(Sutherland dan Green, 2004). Dengan
keanekaragaman jenis dan struktur yang
bervariasi di Hutan Pendidikan Wanagama I
maka akan membua semakin beragam jenis
burung yang mampu hidup dan beradaptasi
di Hutan Pendidikan Wanagama I.
Kondisi stratifikasi tajuk di Hutan
Pendidikan Wanagama I cukup bervariasi.
Djuwantoko (2000) menyatakan bahwa pada
hutan yang mempunyai stratifikasi yang
kompleks akan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap keanekaragaman jenis burung
jika dibandingkan dengan stratifikasi yang
sederhana.. Sehingga semakin
beranekaragam tajuk pada suatu habitat akan
semakin beragam pula jenis burung yang ada
di dalam habitat tersebut (MacArthur, 1961).
Selain itu kepadatan semak juga dapat
mempengaruhi keanekaragaman burung di
suatu tempat. Hal ini dikarenakan terdapat
beberapa jenis burung ada yang habitatnya
berada di semak dan di lantai hutan. Menurut
McKinnon dkk., (2010), terdapat jenis
burung dari suku Sylviidae dan Cuculidae
yang cenderung lebih menyukai habitat
hutan sekunder terbuka, menghuni padang
alang-alang, semak rendah, aktif di lantai
hutan dan puncak pohon untuk mencari
makan di tanah atau terbang jarak pendek
mengepak-ngepak di atas vegetasi.
Struktur vegetasi yang dapat
mempengaruhi keanekaragaman jenis burung
inilah yang melatarbelakangi pembuatan
penelitian ini untuk mengetahui bagaimana
pengaruh keanekaragaman vegetasi, jumlah
stratum, dan kepadatan semak terhadap
keanakeragaman jenis burung di Hutan
Pendidikan Wanagama I. Sehingga dengan
diketahui pengaruhnya maka dapat
3
pengelolaan burung di Hutan Pendidikan
Wnagama I.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan pada tanggal
22 November 2014 pukul 07.00-17.00 WIB
di Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunung
Kidul, Yogyakarta. Bahan dan alat yang
digunakan yaitu jenis – jenis burung di Wanagama 1, binokuler, buku identifikasi
burung, peta Hutan Pendidikan Wanagama
I, protaktor, stopwatch, kamera, roll meter,
tallysheet, dan tongkat sepanjang 1 m. Data
yang diambil adalah keanekaragaman
vegetasi, jumlah stratum, dan kepadatan
semak sebagai variabel x dan
keanekaragaman jenis burung sebagai
variabel y.
Data keanekaragaman burung
diambil dengan teknik point count yang
mempunyai radius pengamatan sebesar 50
m, dan jarak tiap titik pengamatan adalah
200 m. Pengamatan burung dilakukan
selama 10 menit di setiap titik. Kemudian
burung yang melintas, terlihat atau terdengar
suaranya di radius 50 m di catat jumlah dan
jenisnya. Adapun asumsi-asumsi yang
dipakai sebagai landasan dalam metode ini
adalah (Bibby et al., 1992):
1. Burung tidak bergerak mendekati dan
menjauhi pengamat.
2. Burung dapat terdeteksi sepenuhnya
oleh pengamat.
3. Burung tidak melakukan pergerakan
selama penghitungan.
4. Perilaku burung terpisah satu dengan
lainnya.
5. Estimasi pengukuran jarak tepat.
6. Tidak ada kesalahan dalam
identifikasi.
7. Kegagalan dari asumsi diatas tidak
berkaitan dengan habitat atau unsur
rancangan penelitian.
4
Keanekaragaman jenis burung
dianalisis menggunakan Indeks Diversitas
Shannon-Wiener. Analisis dilakukan
menggunakan program excel ―biological statistic‖.
H : Index Shannon-Wiener
ni : Jumlah individu spesies i
N : Jumlah total Individu
Keanekaragaman vegetasi diambil
dengan metode nested sampling. Sampling
dibuat dengan cara membuat plot persegi
berukuran 1x1 m untuk perhitungan jumlah
dan jenis rumput, 2x2 m untuk perhitungan
jumlah dan jenis semai, 5x5 m untuk
perhitungan jumlah dan jenis sapihan, 10x10
m untuk jumlah dan jenis tiang, dan 20x20 m
untuk jumlah dan jenis pohon.
Keanekaragaman vegetasi dianalisis
menggunakan Indeks Diversitas
Shannon-Wiener dengan rumus:
H : Index Shannon-Wiener
ni : Jumlah individu spesies i
N : Jumlah total Individu
Gambar 3. Plot Nested Sampling
Data jumlah stratum diperoleh
menggunakan metode plotless sampling
dengan lingkaran dengan diameter 22,6 m
yang dibagi menjadi empat kuadran. Pada
masing-masing kuadran dilakukan pendataan
hanya satu pohon yang terdekat dengan pusat
titik kuadran pada tiap kriteria yang ada
(kriteria S —H)
Gambar 4. Desain plotless sampling
Pohon-pohon tersebut kemudian diukur
ketingian dan TBBC (tinggi batang bebas
cabang) untuk kemudian dikelompokkan
jenis stratumnya dan hitung jumlah stratum
yang terdapat pada tiap plot. Jenis startum
dikelompokan berdasarkan pembagian
stratum hutan menurut Indriyanto (2010),
5
a. Stratum A, lapisan tajuk yang
tingginya lebih dari 30 meter.
b. Stratum B,lapisan tajuk yang
tingginya antara 20-30 meter.
c. Stratum C, lapisan tajuk yang
tingginya antara 4-20 meter.
d. Stratum D, lapisan tajuk yang
tingginya 1-4 meter.
e. Stratum E, lapisan tajuk yang
tingginya 0-1 meter.
Untuk mengetahui kepadatan semak
maka digunakan plot berbentuk lingkaran
dengan jari-jari 11,3 m. Pengambilan data
dilakukan dengan merentangkan tongkat
dengan panjang 1 m sepanjang 22,6 m dari
arah utara ke selatan atau sebaliknya dan
arah timur ke barat atau sebaliknya. Dengan
tinggi tongkat dari permukaan tanah 1,5 m.
Data yang diambil yaitu jenis dan jumlah
semak yang terkena tongkat yang
direntangkan. Diameter tumbuhan yang
dicatat yaitu kurang dari sama dengan 3 cm.
Gambar 5. Desain Protocol Sampling
Shurb Density
Kepadatan semak dihitung dengan rumus :
Untuk mengetahui pengaruh
keanekaragaman vegetasi, jumlah stratum,
dan kepadatan semak terhadap
keanekaragaman jenis burung digunakan
software R-Statistic dengan metode analisis
linier model untuk data normal, dan
generalized linier model untuk data tidak
normal atau di transformasi.
DATA DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil Pengamatan Burung
No Jenis
Jumlah Individu 1 Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) 17 2 Bubud besar (Centropus sinensis) 3 3 Burung Hantu (Ketupa ketupu) 1 4 Cabe Jawa (Dicaeum trochileum) 7 5 Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris) 14 6 Cekakak Sungai (Todirhanphus chloris) 11
6
7 Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) 12 8 Cipoh Kacat (Aegithina tiphia) 4 9 Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 48 10 Elang Ular Bido (Spilornis cheela) 18
11 Kadalan kembang (Phaenicophaeus
javanicus) 3
12 Kehicap Ranting (Hypthymis azurea) 2 13 Kepudang Dada Merah (Oriolus cruentus) 1 14 Kerak Kerbau (Acridotheres javanicus) 1 15 Kipasan Ekor Merah (Rhipidura phoenicura) 3 16 Kirik-kirik Laut (Merops philippnus) 1 17 Layang-layang Batu (Hirundo tahticia) 7 18 Madu Belukar (Anthreptes singalensis) 2 19 Madu Sriganti (Nectarinia jugularis) 7 20 Meninting Besar (Enicurus leschenaultia) 1 21 Pelanduk Semak (Malacocinla sepiaria) 5 22 Perenjak Gunung 2
23 Perenjak Jawa 5
24 Sepah kecil 9
25 Sri Gunting Hitam (Pericrocotus
cinnamomeus) 2
26 Tekukur (Dicrurus macrocercus) 5
27 Walet Gunung 15
28 Walet Linchi (Spilopelia chinensis) 9 29 Wiwik Kelabu (Collocalia volcanorum) 9 30 Wiwik Lurik (Collacolia linchi) 1 31 Wiwik Uncuing (Cacomantis merulinus) 2
Jumlah 227
Di Hutan Pendidikan Wanagama I
ditemukan total jumlah burung sebanyak 227
ekor dengan total jumlah jenis sebanyak 31.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan,
nilai indeks diversitas burung di Hutan
Pendidikan Wanagama I yang diperoleh
ialah 2,9295. Menurut Magurran (1988) bila
nilai indeks diversitas Shannon kurang dari
1,5 berarti nilai indeks keanekaragamannya
rendah, sedangkan nilai antara 1,5-3,5
menunjukkan nilai sedang dan >3,5
menunjukkan nilai tinggi. Berdasarkan
kriteria diatas dapat dikatakan Indek
diversitas burung di Wanagama tergolong
sedang. Keadaan Vegetasi di Hutan
Pendidikan Wanagama I yang rapat dan
cenderung baik sebagai habitat burung
seharusnya sangat memungkinkan untuk
mendapatkan nilai keanekaragaman burung
7
diperoleh masih dalam kategori sedang dapat
disebabkan karena keterbatasan peneliti
dalam pengambilan data juga karena
kerapatan vegetasi Hutan Pendidikan
Wanagama I yang bervariasi, sehingga pada
lokasi dengan kerapatan vegetasi yang
tinggi, keanekaragaman burung sulit
teridetifikasi dengan benar karena
keterbatasan pandangan peneliti yang banyak
tertutup tajuk vegetasi yang rapat.
Dari hasil yang diperoleh, ditemukan
berbagai macam jenis burung di Hutan
Pendidikan Wanagama I. Hal ini disebabkan
karena beragamnya karakter pada setiap
habitat di Wanagama, dari yang memiliki
kerapatan tinggi sampai rendah. Sebagian
jenis burung menggunakan berbagai tipe
hatiat sebagai sumber makan, tempat
reproduksi dan berlindung secara fisiologis.
Masing – masing petak di Wanagama memiliki keragaman jenis yang berbeda, hal
tersebut disebabkan oleh kondisi Wanagama
1 sebagai hutan sekunder yang memiliki
berbagai tipe habitat.
Tabel 2. Nilai Keanekaragaman Vegetasi di
Hutan Pendidikan Wanagama I
No. Jenis
Nilai keanekaragaman vegetasi baik
keanekaragaman rumput, semai, sapihan,
tiang dan pohon menunjukan nilai
keanekaragaman rendah karena berdada
dibawah nilai 1,5. Hal ini dapat disebabkan
walaupun banyak vegatasi dapat ditemukan,
tetapi di Hutan Pendidikan Wanagama I ada
beberapa jenis yang lebih sering ditemukan
dibanding jenis lainnya, contohnya adalah
pohon Jati, Mahoni, Akasia, dan beberapa
pohon Legum. Hal ini juga berkaitan dengan
penggunaan laha di Hutan Pendidikan
Wanagama I yang digunakan sebagai lahan
agroforestri dan untuk kepentingan
penelitian, sehingga terdapat jenis-jenis
tertentu yang sengaja ditanam sesuai dengan
kebutuhan penggunaan lahan.
Berdasarkan hasil analisis regresi
linear menggunakan program R-statistic,
indeks diversitas sapihan dan kepadatan
semak berpengaruh signifikan terhadap
keanekaragaman burung di Hutan
Pendidikan Wanagama 1. Sedangkan pada
jumlah startum pengaruhnya tidak signifikan.
Hasil analisis menunjukan adanya korelasi
positif dari keanekaragaman sapihan dan
kepadatan semak terhadap keanekaragaman
burung. Hal ini berarti bahwa semakin besar
keanekaragaman sapih atau kepadatan semak
maka akan semakin besar nilai
keanekaragaman burungnya.
Keanekaragaman sapihan
8
burung karena sifat burung yang suka
beraktivitas di daerah dengan tajuk terbuka.
Habitat yang mempunyai kanopi yang relatif
terbuka akan digunakan oleh banyak jenis
burung untuk melakukan aktivitasnya,
dibandingkan dengan habitat yang rapat dan
tertutup (Orians, 1969). Tajuk sapihan yang
belum terlalu rapat membuat susunan kanopi
di hutan menjadi lebih terbuka. Tinggi
sapihan merupakan ideal bagi aktivitas
burung karena tidak terlalu tinggi sehingga
burung tidak terlalu panas akibat sinar
matahari dan juga tidak terlalu dekat ke
permukaan tanah sehingga sulit dijangkau
oleh predatornya. Selain itu, kondisi hutan
dengan sapihan yang beraneka ragam juga
dapat menunjang pasokan pakan yang
bermacam-macam bagi burung.
Begipula dengan pengaruh positif
kepadatan semak terhadap keanekaragaman
Burung. Hal ini dikarenan semak-semak
dapat menyediakan pasokan pakan burung
khususnya burung pemakan serangga sebab
semakin padat semak, makin banyak
serangga yang ada di dalamnya, sehingga
makin banyak jenis burung yang tertarik
untuk mencari makan. Selain itu, semak
dapat menyediakan ranting-ranting kecil
untuk keperluan burung bersarang, sehingga
burung tertari untuk mengambil ranting kecil
disekitar semak.
Sedangakan jumlah statum tidak
berpengaruh signifikan dikarenakan
burung-burung yang diamati biasanya mendominasi
pada stratum tertentu dan tidak tersebar
merata pada semua tingkatan startum. Hali
ini diperkuat dengan hasil penelitian
Wisnubudi (2009) yang menyatakan bahwa
Sebagian besar individu jenis burung
menggunakan stratum V (pohon dibawah
tajuk dengan ketinggian 4,5—15 m) sebagai tempat melakukan aktivitasnya.
Gambar 6. Analisis Regresi Pengaruh Keanekaragaman Vegetasi, Jumlah Stratum dan
9
Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka
didapatkan persamaan regresi sebagai
berikut: Y= 0,10944+0,29341x1+0,19945x2
dengan x1 = keanekaragaman sapihan dan x2
= kepadatan semak.
Gambar 7. Coplot Pengaruh keanekaragaman
sapihan terhadap keanekaragaman burung
Dari penggambaran grafik coplot
pengaruh keanekaragaman sapihan terhadap
keanekaragaman burung, keanekaragaman
jenis burung sensitif terhadap
keanekaragaman sapihan pada nilai indeks
keanekaragaman 0 — 0,58. Sedangkan dari penggambaran grafik coplot pengaruh
kepadatan semak terhadap keanekaragaman
burung, keanekaragaman jenis burung
sensitif pada nilai 0,6—0 ,9 .
Gambar 8. Coplot Pengaruh kepadatan
semak dan keanekaragaman burung
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dapat
disimpulkan bahwa keanekaragaman jenis
burung di Hutan Pendidikan Wanagama I
tergolong sedang yaitu memiliki indeks
diversitas 2,9295. Sedangkan variabel yang
signifikan memengaruhi keanekaragaman
burung di Hutan Pendidikan Wanagama I
adalah keanekaragaman sapihan dan
kepadatan semak.
SARAN
Penggunaan rumus selain
Shanon-wiener untuk mendapatkan indeks
keanekaragaman mungkin bisa
dikembangkan lagi untuk pengembangan
hasil keanekaragaman jenis. Selanjutnya,
dengan melihat kondisi Wanagama 1 yang
10
sedang, tapi masih perlu dilakukan perbaikan
habitat agar keanekargaman semakin
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Bibby, C.J., Burgess, N.D., and Hill, D.A.
1992. Bird Census Techniques,
Brithis Trust for Ornithology and The
Royal Society for The Protection of
Bird. Academy Press Ltd.
Londondalam Sya’bani, B. 2000. Keanekaragaman Jenis Burung di
Sepanjang Sungai Oyo di Wanagama
I.
Djuwantoko.2000. Prespektif Ekosistem
Konservasi Satwa Liar di Hutan
Produksi dalamKaryadi. 2001.
Distribusi dan Kelimpahan Relatif
Jenis Burung Serta Pemanfaatan
Strata Tajuk di Hutan Musim Taman
Nasional Baluran Jawa Timur.
Laporan Penelitian Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi
Tropis.ITB Press . Bandung
Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Bumi
Aksara. Jakarta.
MacArthur, R.W. & J.W. Mac Arthur. 1961.
On bird species diversity. Ecology.
42:594-598.
MacKinnon, J., K. Phillipps., B. Van Balen.
2010. Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan. Penerbit
Burung Indonesia. Bogor.
Maguran, A.E.. 1998. Ecologycal Diversity
and It’s Measurement. Princeton, NJ : Prinsenton University Pres.
Orians, G. H. 1969. The Number of Birds
Species in Some Tropical Forest.
Saunders College Pub. Japan.
Setyadi, T. 1999. Peranan Struktur Vegetasi
Terhadap Populasi Burung di Hutan
Wanagama I Kabupaten Gunung
Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta.
Skripsi Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta
Sutherland, W.J. & Green R.E. 2004. Bird
Ecology and Conservation: a
Handbook of Technique chapt. 11
Habitat Assessment. 11: p 258-259.
Oxford University Press. New York.
Tortosa, F.S. 2000. Habitat Selection by
Flocking Wintering Common Cranes
(Grus grus) at Los Pedroches Valley.
Spain. Etologia 8: 21-24.
Welty, J. C. 1982. The Life of Bird. Saunders
College Publishing. Philadelphia.
Wisnubudi, G. 2009. Penggunaan Strata
Vegetasi oleh Burung Kawasan
Wisata Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak. VIS VITALIS, Vol.