• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA A. Pengertian Hak Asasi Manusia - Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim Uighur Di China Ditinjau Dari Hukum Humaniter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA A. Pengertian Hak Asasi Manusia - Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim Uighur Di China Ditinjau Dari Hukum Humaniter"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Secara etimologis, hak asasi berasal dari bahasa arab yaitu haqq dan

asasiy. Kata haqq adalah bentuk tunggal yang diambil dari kata haqqa, yahiquq, haqqan, yang artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib, berdasarkan pengertian tersebut haqq adalah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sementara itu kata asasiy berasal dari kata assa, yaussu, asasaan, yang artinya adalah membangun, mendirikan, dan meletakkan. Kata asas adalah bentuk tunggal

dari kata asus yang berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu.

Sehingga dalam bahasa Indonesia HAM dapat diartikan sebagai hak-hak dasar

yang melekat pada diri manusia.12

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia

semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan

kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan semata

mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.13

12

Majda El Muhtaj, “Dimensi-dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada , 2008, hlm. 17

13

Jack Donnely, “Universal Human Rights in Theory and Practice London”, Cornell, University Press, 2013, hlm. 21

Dalam arti ini, maka meskipun

setiap orang terlahir dengan ras, suku, jenis kelamin, bahasa, budaya, agama, dan

kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak yang harus

dijunjung tinggi oleh siapapun juga. Dalam masyarakat abad pertengahan

permasalah HAM ini belum muncul, saat itu kepentingan individu dirasakan

(2)

Kehidupan individu dan pemerintahannya merupakan satu kesatuan berdasarkan

kepercayaan agama yang sama.14

Hak-hak asasi manusia internasional adalah ideologi universal pertama di

dunia. Cita-cita agama, politik, filsafat, dan ekonomi memiliki penganutnya di

berbagai bagian dunia, akan tetapi hak-hak asasi manusia merupakan sebuah

gagasan yang sekarang ini telah diterima di seluruh dunia.

Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia Pasal 1 angka (1):

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

15

Hak asasi manusia

pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan, karena hak tersebut melekat sejak

keberadaan manusia itu sendiri, namun persoalan hak asasi manusia baru

mendapat perhatian ketika mengimplemantisakan dalam kehidupan manusia dan

menjadi perhatian saat adanya hubungan dan keterkaitan antara individu dan

masyarakat.16

Hak asasi ( fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar, pokok ataupun juga prinsipil,17

14

Dedi Supriyadi,Op-cit,. hlm: 223

15

Peter davies, “Hak-hak asasi manusia”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm. 1

16

Ahmad kosasi, “Ham dalam prespektif islam”, Jakarta, Salemba Dinniyyah, 2003, hlm.20

17

Pius A Pranoto dan M Dahlan Al Barry, “Kamus ilmiah popular”, Surabaya, Arkola, 1994, hlm. 48

dimana adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia

mempunyai suatu keistimewaan yang membuka keinginan baginya untuk

(3)

demikian ada suatu kewajiban pada seseorang yang diminta dari suatu sikap atas

dirinya terhadap keistimewaan yang ada pada orang lain.

Hukum Internasional telah lama mengatur tentang hak dan kewajiban

individu, akan tetapi pengaturan masalah HAM dalah hukum internasional

belumlah lama. Setelah terjadinya Perang Dunia II, timbul kesadaran bahwa

penghormatan atas HAM sangat penting untuk menjamin agar orang dapat hidup

sesuai dengan martabat manusianya, pengalaman sekitar keadaan dalam Perang

Dunia II menunjukkan bahwa tidak ada penghormatan atas HAM yang

memungkinkan timbulnya kediktatoran dan tirani, yang kemudian dalam tataran

Internasional dapat menimbulkan ketegangan dan perang. Untuk kepentingan

perdamaiaan diharapkan semua negara menghormati HAM, oleh karena itu, PBB

yang dibentuk pada akhir Perang Dunia II menetapkan dalam piagam

pendiriannya dengan tujuan untuk mencapai kerjasama internasional dalam

mempromosikan dan mendorong penghormatan HAM dan kebebasan

fundamental bagi semua orang, tanpa suatu pembedaan.18

Kepedulian internasional terhadap HAM merupakan gejala yang relative

baru. Meskipun kita dapat menunjuk pada sejumlah traktat atau perjanjian

internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang Dunia II, baru

setelah dimasukkan ke dalam piagam PBB pada tahun 1945, kita dapat berbicara

mengenai adanya perlindungan HAM yang sistematis di dalam sistem

Internasional.

19

18

Todung mulya lubis, “Jalan panjang Hak Asasi Manusia”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 216

19

(4)

Ruang lingkup hak asasi manusia dalam hukum internasional meliputi

proses peradilan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia menurut Hukum

HAM internasional baik berupa pelanggaran terhadap Universal Declaration of Human Rights maupun oleh ketentuan-ketentuan khusus dalam konvensi internasional lainnya yang menyangkut hak asasi manusia.20 Yang terpenting

dalam penegakan hak asasi manusia itu adalah pemberlakuan hukumnya perlu

dijalankan secara bertahap sambil mendidik bangsa sadar akan hak dan

kewajibannya dalam bidang hukum hak asasi manusia.21

1. Gerakan Renaisance ( Abad XV)

Sejarah hak asasi dimulai dari gagasan hak asasi manusia yang muncul

sebagai akibat dari reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa yang memerintah

otoriter. Munculnya penguasa yang otoriter mendorong orang yang tertekan hak

asasinya untuk menyatakan keberadaannya sebagai mahluk yang bermartabat.

Kemudian dalam perkembangan perjuangan dalam hal mendukung perlindungan

hak asasi manusia dimulai dari gerakan hak asasi manusia di dunia, yaitu :

Gerakan ini muncul di Eropa dan bertujuan mengugah kembali kesadaran

manusia akan martabat sebagai mahluk berakal.

2. Gerakan Reformasi ( Abad XVI)

Gerakan ini terjadi di lingkungan agama Kristen pada tahun 1517 yang

dipimpin oleh Marthin Luther. Tujuan gerakan ini adalah membebaskan

diri dari ikatan kepausan dan melahirkan agama Protestan.

3. Revolusi Amerika

20

A.Bazar harahap, Nawangsih Sutardi, “Hak Asasi Manusia Dan Hukumnya”, Jakarta. PECIRINDO. 2007. hlm.36

21

(5)

Revolusi Amerika adalah perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat

melawan penjajahan Inggeris. Revolusi ini kemudian melahirkan

Declaration of independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli 1776.

4. Revolusi Prancis

Revolusi Prancis adalah penentangan rakyat Prancis pada rajanya sendiri

Louis XVI yang bertindak sewenang-wenang dan absolut. Revolusi

Prancis menghasilkan Declaration dres drotis de I’homme et du citoyen

(Pernyataan Hak-hak manusia dan warga negara). Pernyataan ini memuat

tiga hal yaitu, hakatas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite).

HAM memperoleh legitimasinya melalui pengesahan PBB terhadap

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. UDHR adalah sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh

Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah pernyataan yang

bersifat universal, piagam ini baru mengikat secara moral namun belum secara

yuridis. Tetapi dokumen ini mempunyai moril, politik dan edukatif yang sangat

besar, melambangkan “Commitment” moril dari dunia internasional pada norma-norma dan hak-hak asasi. Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya

perlindungan HAM sangat meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Sejak

tahun 1989, negara-negara maju dan negara-negara berkembang telah banyak

memproklamirkan dukungan terhadap HAM Internasional dengan tulus. Hal ini

(6)

universalitas yang luar biasa dalam menghargai prinsip manusia sebagai mahluk

manusia.

Magnis Suseno22 menjelaskan bahwa inti dari paham HAM terletak dari

kesadaran bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijungjung tinggi

kecuali setiap manusia, individu, tanpa diskriminasi, tanpa pengecualian,

dihormati keutuhannya. Sementara itu Anthony Flew23

Jadi, apapun yang diartikan atau dirumuskan dengan hak asasi, gejala

tersebut tetap merupakan suatu manifestasi dari nilai-nilai yang kemudian

dikonkretkan menjadi kaedah hidup bersama. Sistem nilai yang menjelma dalam

konsep HAM tidaklah semata-mata produk Barat, melainkan memiliki dasar

pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama. Pandangan dunia tentang

HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan

martabat manusia.

memberikan uraiannya

tentang hak dengan mengatakan A person entitlement as a member of society, including” liberties” such as the right to use public highway and claim righs, such as the right to defence counsel. “To have a right” said Mill, “is to have something society ought to protect me in the possession of”

24

Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intesitas kesadaran

manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana

HAM menjadi actual karena sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal

hingga kurun waktu ini. Gerakan dan diskriminisasi HAM terus berlangsung

bahkan dengan menembus batas-batas teritorial sebuah negara. Manfred Nowak

22

Frans Magnis Suseno, “Etika Politik; Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern”,Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 145

23

Anthony Few, “A dictionary of philosophy”, New York, Martin’s press, 1984, hlm. 306

24Ibid

(7)

menegaskan Human rights must be considered one of the major achievents of modern day philosophy. Ruth Gavison juga menegaskan the twentieth century is often described as “the age of rights”. Begitu derasnya kemauan dan daya tarik desak HAM, maka jika ada sebuah negara diidentifikasikan melanggar dan

mengabaikan HAM, dengan sekejap mata nation-state di belahan bumi ini memberikan respon, terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa

memberikan kritik, tudingan bahkan kecaman keras seperti embargo dan

sebagainya.25

B. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kemanusiaan

Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan menurut statuta roma pada Pasal 7

ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Di dalam hukum internasional, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan

mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan fisik. Biasanya

kejahatan kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang

terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler dan yang terjadi di Rwanda ataupun

Yugoslavia.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau

sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan:

a. Pembunuhan;

b. Pemusnahan;

c. Perbudakan;

25

(8)

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk;

e. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain;

f. Menganiaya;

g. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur,

menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun

bentuk kejahatan seksual lainnya;

h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras,

kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender)

sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan

lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang

oleh hukum internasional;

i. Penghilangan seseorang secara paksa;

j. Kejahatan apartheid;

k. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara

sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh

maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.26

Dari definisi diatas maka dapat dilihat bahwa yang menjadi tindak pidana

pada kejahatan kemanusiaan adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik

yang ditujukan langsung pada penduduk sipil, yang berarti bahwa suatu rangkaian

perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil.

Dari faktor penyebab terjadinya kejahatan terhadap kejahatan kemanusiaan

tersebut ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Keinginan untuk menguasai

suatu daerah atau kelompok dengan tujuan menjadi pemimpin adalah alasan yang

26

(9)

mendasar penyebab terjadinya kejahatan kemanusiaan tersebut. Lebih lanjut

menurut Bassiouni, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan

yang dilakukan sebagai bagian dari “aksi atau kebijakan negara”, bila berkaitan

dengan pelaku-pelaku yang memiliki hubungan dengan negara (state actors), dan sebagai bagian dari suatu “kebijakan”,bila berkaitan dengan para pelaku yang

tidak memiliki hubungan dengan negara namun memiliki karakteristik negara

berkenan dengan kemampuannya menggunakan dominasi dan kontrol atas

wilayah dan rakyat (non-state actors).27

Faktor penyebab terjadinya kejahatan kemanunsiaan terhadap Muslim di

Uighur disebabkan oleh kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Kekerasan

kultural bersumber dari struktur politik yang menjajah. Struktur yang menjajah

memberikan kesempatan terciptanya struktur ekonomi yang timpang, di mana

sumber daya alam dari daerah minoritas dikuasai oleh pihak mayoritas. Sementara

itu, kekerasan kultural terjadi disebabkan ketiadaan politics of differentiation

untuk mengakomodasi masyarakat minoritas. Konflik yang disebabkan struktur

ekonomi tidak semata-mata dapat berkembang secara langsung menjadi tindakan

kekerasan politik apabila tidak disertai konflik yang menyangkut identitas seperti

etnis, bahasa, dan agama.28

Ada juga faktor sosiologis yang menjadikan adanya suatu kejahatan

kemanusiaan seperti diskriminasi yang terjadi terhadap Muslim di Uighur yaitu

diskriminasi ras antara lain adanya kecenderungan manusia untuk berkumpul

bersama dengan manusia lain yang berciri-ciri sama dari segi fisik, budaya, agama

nilai-nilai norma dan kebiasaan, konflik budaya dalam proses sosialisasi,

27

(10)

kebencian karena sejarah kolonialisme (historical enmity), kecenderungan kelompok tertentu untuk bersifat eksklusif dan tidak membaur (social distance), social jealousy.29

Selain faktor dari kebijakan dan aksi dari suatu negara, faktor kejahatan

manusia menurut Statuta Roma mungkin juga terjadi dari suatu kebijakan suatu

organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari terjadinya perang-perang saudara dan

disintegrasi seperti kasus bekas negara Yugoslavia. Di dalam Putusan Tadic,

Majelis Pengadilannya telah memandang bahwa entitas di balik kebijakan tersebut

bisa saja suatu organisasi dengan kekuasaan de facto atas wilayah, dan membuka kemungkinan bahwa organisasi-organisasi lain mungkin memenuhi juga syarat

tersebut.30

28

Ibid hlm.87

29

Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, “HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan Sosial Edisi Keempat”. Bogor, Ghalia Indonesia. 2014. hlm.76

30Tadic Opinion and Judgement,

Trial Chamber, Paragraphs, hlm. 654-655

Dengan mencantumkan kata “kebijakan” yang memang lebih luas cakupan

dan maknanya, tampaklah kalau Statuta Roma bermaksud untuk tidak hanya

mencakup dan menjangkau perbuatan aktif bagi terjadinya kejahatan terhadap

kemanusiaan, tapi pula perbuatan-perbuatan pasif oleh pihak berwenang yang

mengetahui tentang terjadinya kejahatan-kejahatan internasional tersebut.

Perbuatan pasif demikian dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari

terjadinya tindakan-tindakan kejahatan tersebut, lebih tepatnya ia merupakan

bagian dari rangkaian, bangunan, atau sistem terjadinya tindakan-tindakan

(11)

Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di

Havana, Cuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya

kejahatan , antara lain:

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutaan huruf (kebodohan), ketiadaan/

kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan

yang tidak cocok/serasi.

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)

karena 81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya

ketimpangan-ketimpangan sosial.

c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.

d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang

beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain.

e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan

adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan

dibidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan.

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang

mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi

tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk

berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya,

keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya.

h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga

(12)

i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat

bius dan penadahan barang-barang curian.

j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh media masa) mengenai ide-ide dan

sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak)

atau sikap-sikap tidak toleransi.31

Jadi pada intinya bila suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi

dan pihak berwenang mengetahuinya, maka pihak terakhir ini harus segera

mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman yang diperlukan.

Bila tidak, maka mereka tersebut dapat dihukum berdasarkan Pasal 7 Statuta

Roma.32

C. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional

Beberapa pakar menyatakan dapat menurut konsep hak asasi manusia

yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi

hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-Undang Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep hak asasi manusia yang modern

dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis pada abad

ke-17 dan ke-18.

Apapun juga debat teoritis atau doktrin mengenai dasar-dasar revolusi

Inggris, Amerika, Prancis, yang jelas, masing-masing revolusi itu, dengan caranya

sendiri-sendiri, telah membantu perkembangan bentuk-bentuk demokrasi liberal

dimana hak-hak tertentu dianggap sebagai hal terpenting dalam melindungi

individu terhadap kecendrungan ke arah otoriterisme yang melekat pada negara.

31

// Diakses Selasa 6 Januari 2015

(13)

Yang penting mengenai hak-hak yang diproteksi itu adalah bahwa hak-hak ini

bersifat individualistis dan membebaskan (libertarian): hak-hak ini didominasi dengan kata-kata “bebas dari”, dan bukan “berhak atas”.

Dalam bahasa modern, hak-hak ini akan disebut hak sipil dan politik,

karena hak-hak ini terutama mengenai hubungan individu dengan organ-organ

negara. Begitu besar kekuatan ide-ide revolusioner ini, sehingga hanya sedikit

konstitusi tertulis modern yang tidak menyatakan akan melindungi hak-hak

individu ini.

Tetapi, bukan hanya hak sipil dan politik yang dilindungi oleh

konstitusi-konstitusi modern dan hukum internasional masa kini. Berbagai macam hak

ekonomi, sosial, budaya, dan yang lainnya, juga menjadi subjek berbagai bentuk

perlindungan. Karel Vasak telah mencoba mengelompokkan perkembangan hak

asasi manusia menurut slogan “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan” dari

Revolusi Prancis.33

“Persamaan”, atau hak-hak generasi kedua, sejajar dengan perlindungan

bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya: hak atas terciptanya oleh negara kondisi

yang akan memungkinkan setiap individu mengembangkan kemampuannya

Menurut Vasak, masing-masing kata slogan ini, sedikit banyak

mencerminkan perkembangan dan kategori-kategori atau generasi-generasi hak

yang berbeda. “Kebebasan”, atau hak-hak generasi pertama, diwakili oleh hak

sipil dan politik hak individu untuk bebas dari campur tangan negara yang

sewenang-wenang.

32

Erikson Hasiholan Gultom, “Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur”, PT Tatanusa, Jakarta. 2006 hlm. 43

33

(14)

sampai maksimal. “Hak atas”, yang menjadi ciri generasi kedua ini, mewajibkan

negara untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pelaksanaan

sepenuhnya hak-hak ini.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya kadang-kadang dianggap sebagai suatu

warisan sosialis, atau sebagai hak derivatif (turunan) yang tidak layak

menyandang nama itu. Namun, hak semacam itu dilindungi dalam konstitusi

domestik Uni Soviet, Meksiko, dan Jerman pada awal abad ke-20, dan sejak itu,

telah dicantumkan pula dalam sejumlah konstitusi domestik lain, dan secara

eksplisit diakui oleh hukum internasional.

“Persaudaraan”, hak generasi ketiga atau hak solidaritas, merupakan

kategori hak yang terbaru dan paling kontroversial. Hak ini dibela dengan gigih

oleh negara-negara berkembang yang menginginkan terciptanya suatu tatanan

ekonomi dan hukum internasional yang akan menjamin hak atas pembangunan,

hak atas bantuan untuk penanggulan bencana, hak atas perdamaian, dan hak atas

lingkungan hidup yang baik. Jelaslah, pelaksanaan hak-hak semacam itu jika itu

memang hak akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekadar

langkah konstitusional suatu negara.

Dari pemaparan sejarah, tampak bahwa pengertian hak asasi manusia telah

beralih dari semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi individu dalam

menghadapi absolutisme negara, kepada penciptaan kondisi sosial dan ekonomi

yang diperhitungkan akan memungkinkan individu mengembangkan potensinya

sampai maksimal.

Dalam kata-kata Szabo, tujuan hak asasi manusia adalah

(15)

penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara, dan pada waktu

yang bersamaan, mendorong perkembangan pribadi manusia yang

multidimensional.”

Akan tampak juga, bahwa pengertian hak asasi manusia tidaklah statis

melainkan dinamis, dan mungkin sekali akan ada banyak perdebatan mengenai

apakah kepentingan-kepentingan tertentu layak untuk digolongkan sebagai hak

dalam arti yang sebenarnya apapun artinya. Proses dialektis yang digunakan untuk

menetapkan klaim atau kepentingan yang dapat dilindungi dan yang tidak,

sangatlah menentukan apabila hak dianggap mempunyai suatu kualitas yang

secara mendasar berbeda dari peraturan hukum yang lain.

1. Perkembangan Hak Asasi Manusia Sebelum Perang Dunia II a. Individu dalam sistem internasional

Meskipun asal usul hukum hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga

konstitusionalisme revolusioner abad ke-17 dan ke-18, barulah pada akhir Perang

Dunia II, masyarakat internasional mulai menaruh minat pada promosi dan

proteksi terhadap hak-hak semacam itu lewat hukum internasionl. Pada waktu itu,

hukum internasional hanya merupakan hukum yang mengatur hubungan diantara

negara-negara.

Negara merupakan subjek sistem hukum internasional. Negara dapat

menetapkan aturan-aturan untuk kebaikan individu, namun aturan-aturan

semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu itu, dan juga

tidak dapat dipaksakan melalui mekanisme prosedur apapun. Individu sebagai

kawula negara, tunduk pada kewenangan pemerintah mereka sepenuhnya, dan

(16)

mengintervensi guna melindungi mereka seandainya mereka diperlakukan dengan

semena-mena.

Tetapi, posisi warga negara asing dalam suatu negara sedikit berbeda.

Dalam kondisi tertentu, negara orang asing itu, berdasarkan hukum internasional,

berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan.

Biasanya hal ini terjadi ketika orang tersebut mengalami perlakuan

sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, misalnya polisi, dan negara tersebut belum

mengambil tindakan perbaikan.

Negara-negara barat juga berargumentasi bahwa seharusnya ada suatu

standar perlakuan internasional yang minimal terhadap warga negara yang

berpergian keluar negeri, sehingga perlakuan suatu negara terhadap mereka dapat

di nilai dari standar tersebut. Tetapi, negara-negara berkembang menolak usul ini

dengan mengatakan bahwa warga negara asing di suatu negara tidak dapat

mengharapkan standar perlakuan yang baik ketimbang yang diberikan kepada

warga negara yang ada di negara itu sendiri.

Bagaimana pun juga, dapat dikemukakan bahwa perselisihan mengenai

mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan telah diambil alih oleh

perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional.

Tujuan utama pengakuan negara semacam itu bukanlah mendapatkan kompensasi

bagi warga negara yang dirugikan, melainkan membela hak-hak negara itu, yang

secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap

(17)

b. Intervensi kemanusiaan

Kendati posisi warga negara asing dalam hukum internasional adalah

seperti itu, proposisi umum tetap menyatakan bahwa sebelum Piagam PBB

berlaku, individu pada dasarnya tetap tunduk terhadap penguasa mereka. Suatu

pengecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut sebagai intervensi

kemanusiaan.

Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer untuk

melindungi penduduk atau sebagian penduduk dalam suatu negara lain jika

penguasa negara tersebut memperlakukan rakyatnya sedemikian rupa sehingga

“menyangkal hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat

manusia”.34

c. Penghapusan perbudakan

Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah terjadi perkembangan

kemanusiaan tertentu pada hukum internasional, diantaranya adalah penghapusan

perdagangan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18

dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik bagi

negara-negara Eropa dibanding masa sebelumnya, penghapusan perbudakan juga

merupakan suatu bentuk kepedulian kemanusiaan.

Praktek perbudakan berawal dari larangan dalam Traktat Perdamaian Paris

pada tahun 1814 antara Inggris dan Prancis, namun 50 tahun kemudian, Akta

Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan

bahwa “perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”.

34

(18)

Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan budak berlanjut

sepanjang abad 20.

Liga Bangsa-Bangsa mensahkan Konvensi untuk Melenyapkan

Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 192635 dan melarang praktek

perbudakan di daerah-daerah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di

bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I. Konvensi

1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarang

praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemenkan dengan suatu

protokol pada tahun 195336 , dan pada tahun 195637

d. Palang Merah

diberikan tambahan mengenai

definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.

Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional pada

paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional

(1863) dan usaha organisasi ini dalam mendukung dua konvensi internasional

untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang. Karya

Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati dua perang dunia dan

sesudahnya, dan badan ini telah mendukung sejumlah konvensi yang tidak

semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa

perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang.

e. Organisasi Buruh Internasional (ILO)

Upaya-upaya kemanusiaan pada awal abad ke-20 sebagian besar berkaitan

dengan penyelesaian internasional pasca Perang Dunia I. Organisasi Buruh

35

60 Leagues of Nations Treaty Series 253; United Kingdom Treaty Series 16 (1927)

36

212 United Nations Treaty Series 17; United Kingdom Treaty Series 24 (1956)

37

(19)

Internasional, yang dibentuk berdasarkan Traktat Versailles (1919),38

International Labour Organisation (ILO) yang pada tahun 1946 menjadi badan khusus PBB,

merupakan

reaksi kepedulian Sekutu mengenai keadilan sosial dan standar perlakuan terhadap

kaum buruh industri, yang terutama diilhami oleh Revolusi Bolshewik tahun

1917.

39

f. Liga Bangsa-Bangsa

dapat dianggap sebagai pendahulu sistem proteksi terhadap

hak ekonomi, sosial, dan budaya ILO telah mendukung lebih dari 150 konvensi,

yang diantaranya menyangkut kondisi kerja, remunerasi, kerja paksa dan buruh

kanak-kanak, pemberian libur dan jaminan sosial, diskriminasi dan hak-hak

serikat buruh. Aktivitas ILO berlanjut sampai sekarang, dan organisasi ini

termasuk dalam kelompok lembaga hak asasi yang penting, meskipun karyanya

jarang menarik perhatian yang selayaknya.

Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional yang didirikan

setelah Perang Dunia I sebagai sistem yang akan menjamin perdamaian dan

keamanan, dan memperlancar kerjasama internasional, tidak membuat ketetapan

mengenai perlindungan hak asasi manusia. Namun, dokumen pendirian Liga

Bangsa-Bangsa yang disebut Kovenan mewajibkan negara-negara anggota untuk

berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan tertentu seperti, menetapkan

kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan memperdagangkan wanita

dan anak-anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil

terhadap penduduk pribumi dan daerah jajahan.

38

United Kingdom Treaty Series 4 (1919); 13 American Journal of International Law suppl. 151; 16 American Journal of International Law suppl.207

39United Kingdom Treaty Series

(20)

Terciptanya sistem mandat di bawah Liga Bangsa-Bangsa ini mungkin

merupakan salah satu prestasi kemanusiaan yang besar dari organisasi

internasional ini. Di bawah sistem ini, “suatu kepercayaan yang suci dari

peradaban” diserahkan kepada negara-negara pengawas untuk mengantarkan

daerah-daerah mandat itu sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri. Bahasa

paternalistik dari Kovenan tersebut boleh jadi kurang disukai sekarang, namun

yang jelas, negara pengawas diharuskan menjamin tiadanya diskriminasi rasial

dan agama di daerah-daerah yang berada di bawah perwaliannya.

Ternyata, beberapa daerah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum

Perang Dunia II dan dua wilayah yaitu Palestina dan Namibia menciptakan

masalah internasional yang cukup lama. Daerah-daerah mandat yang belum

mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II selanjutnya dialihkan kepada

sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB.

g. Traktat mengenai kaum minoritas

Berbagai traktat yang disepakati setelah Perang Dunia I banyak memuat

ketentuan yang melindungi kaum minoritas. Sementara penyelesaian perdamaian

pasca perang berupaya menghormati prinsip penentuan nasib sendiri yang

didasarkan pada konsep kohesi nasional, menjadi jelas bahwa pembentukan

kembali Polandia dan penciptaan negara-negara pengganti Kekaisaran

Austria-Hongaria yang lama, melahirkan tapal-tapal batas negara yang pasti akan

menciptakan perpecahan di kalangan kelompok penduduk tertentu, dan memaksa

mereka hidup sebagai kaum minoritas etnis, bahasa atau agama di negara-negara

(21)

Oleh karena itu, sejumlah traktat untuk menjamin proteksi terhadap hak

sipil dan politik dan kaum minoritas dibuat antara Sekutu dan negara-negara ini.

Sementara traktat-traktat khusus yang melindungi kaum minoritas dibuat dengan

Polandia, Cekoslowakia, Rumania dan Yunani, ketentuan-ketentuan mengenai

proteksi bagi kaum minoritas dimasukkan dalam traktat-traktat perdamaian

dengan Austria, Hongaria dan Turki.

Disamping traktat-traktat ini, beberapa negara tertentu yakni, Finlandia,

Albania, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Irak membuat deklarasi yang melindungi

kaum minoritas di dalam negeri mereka, sebagai syarat untuk menjadi anggota

Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan

yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian

internasional.

Sebuah prosedur yang memungkinkan kelompok minoritas yang merasa

dilanggar haknya untuk mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga

Bangsa-Bangsa ini ditetapkan. Kemudian, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada

suatu Komite ad hoc mengenai Kaum Minorits yang akan mendamaikan dan mencoba menyelesaikan masalah itu secara bersahabat di antara para pihak itu.

Jika penyelesaian tidak kunjung tercapai, Dewan yang lengkap boleh

menyelesaikan masalah itu sendiri, atau meneruskannya ke Mahkamah

Internasional yang bersifat permanen untuk diputuskan.

Traktat-traktat yang memproteksi kaum minoritas ini jelas menyangkut

masalah hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu. Tujuan utama traktat-traktat

itu adalah memastikan perlakuan yang sama bagi minoritas etnis, agama dan

(22)

anggota kelompok-kelompok itu melestarikan dan mengembangkan identitas

mereka sendiri yang khas di dalam kerangka negara kebangsaan itu.

Tampak juga dari negara-negara yang menandatangani traktat-traktat itu,

bahwa adanya minoritas di dalam suatu negara mereka terbukti merupakan tanah

subur untuk persengketaan sepanjang abad ke-20. Sementara nilai traktat hak asasi

manusia dalam pengeritian individu dan kebebasan yang klasik, traktat-traktat itu

sangat penting karena di dalam konteks Liga Bangsa-Bangsa mereka menjadi

dasar bagi hak kelompok, yang terdiri dari individu-individu, untuk

menyampaikan petisi menurut hukum internasional. Terlihat adanya tunas dari

hak individu, berdasarkan hukum internasional, untuk mengajukan petisi terhadap

suatu lembaga pengawasan dan proteksi internasional.

2. Perkembangan Hak Asasi Manusia Setelah Perang Dunia II a. Perserikatan Bangsa-Bangsa

Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum kemanusiaan dan

perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya selama abad ke-19 dan

paruh pertama abad ke-20, barulah seusai malapetaka Perang Dunia II, hukum hak

asasi internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas. Kekejaman

Nazi terhadap penduduknya sendiri di Jerman dan terhadap rakyat di wilayah

yang ditaklukkannya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usai pun,

Sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup

komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.

Mereka menganggap komitmen ini sebagai prasyarat yang perlu untuk

menciptakan orde internasional yang adil dan mantap di bawah naungan

(23)

negara yang bisa berkilah bahwa cara mereka memperlakukan warga negaranya

sendiri semata-mata merupakan urusan dalam negeri mereka; sebaliknya

perlakuan terhadap individu-individu itu bilamana perlindungan nasional terhadap

hak itu tidak memadai, menjadi kepedulian masyarakat internasional.

Ironinya adalah, sementara Uni Soviet mengutuk pembantaian

besar-besaran yang dilakukan Nazi, Stalin sendiri sejak sebelum perang, telah secara

sistematis melanggar hak-hak rakyatnya sendiri dengan membuang sekitar lima

juta lawan politiknya dan memaksakan kolektivisasi terhadap sejumlah besar

petani. Dalam hal ini, Uni Soviet secara sah dapat juga berkilah bahwa masalah

itu sepenuhnya berada di dalam yurisdiksi domestiknya.

Meskipun demikian, Piagam Pengadilan Militer Internasional di

Nuremberg40

b. Piagam PBB dan Deklarasi Universal

yang dibuat Sekutu (termasuk Uni Soviet) untuk mengadili penjahat

perang Nazi berdasarkan hukum internasional yang ada pada awal Perang Dunia

II, menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan menurut

hukum internasional. Kendati pertimbangan pengadilan ini dalam pernyataan itu

boleh jadi mengandung kelemahan, namun pertimbangan menegaskan prinsip

dasar yang menyatakan bahwa cara suatu negara memperlakukan warga

negaranya sendiri kini telah menjadi kepedulian internasional yang sah.

Meskipun pasal 2 ayat 7 Piagam PBB menegaskan kembali asas

non-intervensi oleh PBB dalam masalah-masalah yang pada hakekatnya termasuk

dalam yurisdiksi domestik negara anggota dengan demikian, seakan-akan

menghalangi intervensi internasional dalam bidang hak asasi manusia pasal ini

40

5 United Nations Treaty Series 251; United Kingdom Treaty Series 4 (1945); (1945) 39

(24)

memuat juga beberapa acuan khusus kepada hak asasi. Mukadimah Piagam

menegaskan kembali keyakinan “rakyat-rakyat PBB” pada “hak-hak manusia

yang asasi, pada martabat dan harga diri manusia” dan pada “hak-hak yang sama

bagi pria dan wanita”.

Bahasa yang dipakai untuk penegasan ini menarik, karena ia lebih dulu

mengakui adanya hak asasi manusia sebelum hak itu dimasukkan dan ditegakkan

dalam Piagam, yang pada waktu itu minimal dalam pengertian hukum positif akan

tampak sebagai klaim yang meragukan. Piagam ini di Pasal 1, juga menyebutkan

salah satu tujuannya yakni “meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi

manusia dan kebebasan yang fundamental bagi semua orang”.

Aktivitas PBB untuk membantu perkembangan hak asasi manusia juga

diperkuat dengan Pasal 55, dan menurut Pasal 56, negara-negara anggota berikrar

untuk mengambil tindakan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dalam

kerjasama dengan PBB untuk mencapai tujuan ini dan tujuan-tujuan yang lain

yang disebutkan dalam Pasal 55.

Beberapa ketentuan lain, mengenai berbagai kompetensi kelembagaan di

dalam Piagam ini juga mengacu hak asasi manusia sebagai sebuah kategori

umum. Oleh karena itu, meskipun Piagam PBB tampak mengakui adanya lebih

dulu fenomena yang dikenal sebagai hak asasi manusia itu, Piagam ini tidak

memuat daftar hak-hak semacam itu, dan juga tidak mengacu pada sesuatu

sumber yang menyebutkan secara tepat hak-hak itu.

(25)

c. Kovenan-kovenan internasional

Sejak awal Majelis Umum PBB telah menyatakan bahwa Deklarasi

Universal tidak dimaksudkan untuk menciptakan kewajiban yang mengikat

negara-negara anggota secara hukum, dan sejalan dengan itu ia lalu memberi

mandat kepada CHR untuk menyempurnakan perumusan naskah sebuah traktat

yang secara internasional mengikat, yang tidak hanya mengubah hak-hak yang

disebutkan dalam Deklarasi itu menjadi hukum positif, tetapi juga akan

menetapkan lembaga dan mekanisme bagi pengawasan dan pelaksanaannya.

Hal yang sangat disayangkan adalah tugas ini terbukti lebih sukar dari

yang dibayangkan semula, karena timbul perselisihan pendapat diantara

anggota-anggota Komisi mengenai hubungan antara hak sipil dan politik di satu pihak

dengan hak sosial dan ekonomi di lain pihak, dan juga mengenai sarana yang tepat

untuk pelaksanaan-pengawasan, dan proteksinya.

Pada akhirnya diputuskan bahwa sebagai pengganti satu traktat atau

kovenan tunggal yang sedang disusun untuk melindungi kedua kategori hak, akan

disiapkan dua kovenan yang masing-masing berdiri sendiri yaitu, ICCPR

(International Covenant on Civil and Political Rights – Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik)41 dan ICESCR (International Covenant on Economic and Social Rights – Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi dan Sosial)42

41

999 United Nations Treaty Series 171; United Kingdom Treaty Series 6 (1977); (1967) 6 International Legal Materials 368

42

993 United Nations Treaty Series 3; United Kingdom Treaty Series 6 (1997); (1967) 6

Inernational Legal Materials 360

siap untuk ditandatangani pada tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh

(26)

Perbedaan yang mencolok antara kedua kovenan itu adalah, sementara

Pasal 2 ICCPR menetapkan bahwa hak-hak yang dilindungi itu akan dihormati

dan segera dijamin, Pasal ICESCR hanya menetapkan bahwa negara harus

“mengakui” hak-hak yang dimasukkan dalam Kovenan dan harus

mengimplementasikan hak-hak itu secara progresif sesuai dengan

program-program khusus.

Perbedaan lain yang juga sangat penting: ICCPR menetapkan bahwa

Komite Hak Asasi Manusia (HRC) akan mengawasi implementasi Kovenan dan

menetapkan, melalui suatu protokol fakultatif, suatu mekanisme yang

memungkinkan individu-individu mengajukan petisi ke HRC, sedangkan ICESCR

hanya menyerahkan fungsi pengawasan itu kepada sebuah badan politik PBB,

yaitu ECOSOC.

d. Konvensi khusus PBB

Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya memantapkan sistem

“universal” untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, PBB juga

menjalankan program-program untuk menyusun instrumen yang secara hukum

mengikat guna menangani aspek-aspek hak asasi manusia yang khusus. Diantara

instrumen-instrumen ini adalah traktat-traktat mengenai pencegahan dan

penghukuman terhadap apartheid, larangan terhadap praktek penyiksaan,

kerjasama internasional mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan

pengungsi dan orang-orang tak bernegara, dan yang terbaru suatu konvensi khusus

mengenai hak anak-anak.

Terdapat pula beberapa langkah dan inisiatif kelembagaan yang diambil

(27)

telah menetapkan prosedur berdasarkan Resolusi 1235 dan 1503 yang

memungkinkan dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia

secara kasar dan terus-menerus oleh negara-negara tertentu.

e. PBB dan dekolonisasi

Yang terpenting diantara seluruh perkembangan perhatian PBB terhadap

hak asasi manusia, adalah tindakan PBB dalam masalah dekolonisasi. Sejumlah

daerah mandat yang diciptakan oleh Liga Bangsa- Bangsa setelah Perang Dunia I

belum memiliki pemerintahan sendiri ketika Perang Dunia II pecah. Karenanya,

Piagam PBB lalu mengatur pengalihan daerah-daerah mandat itu kepada suatu

sistem perwalian yang akan mengatur dan menyiapkan kemerdekaan

daerah-daerah itu.

Salah satu tujuan pokok sistem perwalian ini, dinyatakan dalam Pasal 76

(1) (c) Piagam, adalah mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan

kebebasan asasi bagi semua orang. Sistem ini diawasi oleh PBB melalui Dewan

Perwalian. Yang menjadi subjek pengawasan PBB menurut Bab XI Piagam bukan

hanya daerah-daerah mandat pada masa sebelumnya. Negara-negara dengan

koloni atau wilayah yang tak berpemerintahan sendiri (non selfgoverning territory

– NSGT) diwajibkan untuk memperhatikan sebaik-baiknya kesejahteraan rakyat

dalam wilayah itu membantu kemajuannya.

Negara pengurus diwajibkan melaporkan kepada Sekretaris Jendral PBB

mengenai kemajuan yang dicapai koloni mereka. Sementara Bab XI tidak memuat

kewajiban negara-negara pengurus untuk memberikan kemerdekaan kepada

koloni mereka, namun perkembangan selanjutnya dalam dasawarsa 1960 sangat

(28)

Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), yang menjelaskan kewajiban negara

pengurus untuk melapor, disahkan bersama-sama dengan Resolusi 1514 (XV)

(Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri dan Rakyat Jajahan).

Resolusi ini menyerukan dekolonisasi segera semua daerah tak berpemerintahan

sendiri lewat pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri oleh penduduk

wilayah semacam itu.

Terdapat pula seperti kurangnya persiapan dibidang ekonomi dan

pendidikan, tidak boleh menghambat proses itu. Meskipun Piagam PBB mengacu

ke asas penentuan nasib sendiri, piagam itu pasti tidak mengacu ke suatu hak

untuk menentukan nasib sendiri. Namun, kini pada umumnya diakui bahwa hak

semacam itu terdapat dalam hukum internasional, dan bahwa pandangan tersebut

diperkuat oleh Resolusi 2625 Majelis Umum (Deklarasi tentang Prinsip-prinsip

antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB) yang dianggap sebagai suatu

pernyataan mengenai hukum kebiasaan internasional yang sesuai dengan situasi

dan oleh Pasal 1 dari kedua kovenan internasional yang menetapkan bahwa

“semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.”

Dasar pemikiran untuk memasukkan hak ini yang jelas merupakan hak

kolektif, adalah bahwa penduduk yang berada di bawah dominasi asing melalui

lembaga kolonialisme adalah tidak bebas, sehingga setiap gagasan mengenai

pemenuhan hak-hak individu atau hak-hak yang lain dalam konteks tersebut tidak

akan ada maknanya.

Apakah hak menentukan nasib sendiri itu meluas melampaui hak atas

dekolonisasi, atau meluas ke hak minoritas untuk memisahkan diri, masih

(29)

tampaknya akan mendukung hal ini apabila minoritas tersebut diperlakukan secara

diskriminatif oleh pemerintah negara itu.

Tentu saja, dekolonisasi besar-besaran oleh negara-negara bekas penjajah

berdampak kuat pada struktur masyarakat dunia. Negara-negara baru, terutama di

bagian negara-negara berkembang, telah mengubah konteks perdebatan politik

dan hukum internasional dengan tuntutan mereka yang gigih agar sistem

internasional ditata kembali sesuai dengan kebutuhan mereka.

f. Proses Helsinki

Suatu perkembangan internasional yang patut disebut, yang terjadi selama

periode detente (peredaan ketegangan) antara Blok Barat dan Blok Timur pada awal dasawarsa 1970, adalah Konferensi mengenai Keamanan dan Kerjasama di

Eropa, yang juga dikenal sebagai Proses Helsinki (nama ibukota Finlandia, tempat

berlangsungnya konferensi pada tahun 1973).

Meskipun fungsi utama Proses Helsinki adalah membangun kerangka

untuk mengembangkan perdamaian dan keamanan di Eropa, konferensi ini juga

menghasilkan pemikiran-pemikiran formal mengenai isu hak asasi manusia.

Sementara Uni Soviet berkepentingan agar tapal-tapal batasnya di sebelah barat

diakui, pihak Barat berusaha memperoleh komitmen tentang hak asasi manusia

dari Blok Timur sebagai gantinya.

Akta Akhir Konferensi ini43 yang jelas dinyatakan sebagai tidak mengikat,

menyatakan tekad pemerintah peserta untuk menghormati dan mempraktekkan

penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental,

termasuk kebebasan berpikir, kebebasan berhati nurani, kebebasan beragama atau

(30)

Mereka juga memutuskan dengan tegas bahwa mereka akan menghormati

hak-hak rakyat dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Meskipun Akta

Akhir jelas bukan merupakan instrumen yang mengikat secara hukum, akta ini

jelas membantu praktek negara dalam bidang hak asasi manusia karena ia

menegaskan norma-norma hak asasi yang telah diakui. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa Akta itu telah menyumbang kepada hukum kebiasaan

internasional dibidang hak asasi manusia. Hal yang cukup penting dalam Proses

Helsinki ini adalah fakta bahwa Akta Akhir Konferensi ini menetapkan, bahwa

penilaian terhadap komitmen-komitmen yang diberikan akan dilakukan melalui

serangkaian konferensi penilaian. Dengan ini terciptalah struktur lembaga yang

memungkinkan penilaian terhadap niat yang dinyatakan oleh pihak-pihak peserta

itu, termasuk perwujudan rasa hormat terhadap hak asasi manusia.

Proses Helsinki dilanjutkan di Madrid, dan setelah itu di Paris pada tahun

1990. Pada pertemuan ini “Piagam Paris untuk Eropa Baru” di sahkan. Dalam

piagam ini 34 negara peserta menyatakan bahwa:44

Selanjutnya ada komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan yang

demokratis dan pluralisme politik, serta sebuah daftar mengenai hak sipil dan

“Hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental merupakan hak semua manusia yang diperoleh sejak lahir, tidak dapat dicabut dan dijamin oleh undang-undang. Proteksi dan promosi hak-hak ini merupakan tanggung jawab pertama Pemerintah. Penghormatan terhadap hak ini merupakan jaminan yang esensial dalam menghadapi negara yang terlalu kuat”.

43

(1975) 14 International Legal Materials 1292

44

(31)

politik yang individual, yang menjadi hak setiap orang tanpa terkecuali. Meskipun

Piagam Paris secara hukum juga tidak mengikat, namun piagam ini juga menandai

fakta-fakta bahwa bekas negara-negara blok Komunis itu telah memperlihatkan

komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip liberal-demokratis yang luhur.

Dengan perkembangan/pergeseran konstalasi politik internasional sebagai

mana tergambar didepan, nasib umat manusia sangat memprihatinkan. Kondisi

tersebut merupakan tantangan bersama untuk diperjuangkan. Terbukti upaya

“memanusiakan” manusia belum secepat berakhirnya peta politik bipolarisasi.

Langkah-langkah internasional berhasil dengan memuaskan, masih banyak terjadi

kekejaman terhadap umat manusia.

Usaha penegakan hak asasi manusia terbukti lebih sulit dibandingkan

dengan meruntuhkan system bipolarisasi. Masih banyak pelanggaran HAM

dibanyak Negara demokrasi, terutama di Negara yang baru keluar dari sistem

sentralistis ke sistem demokrasi. Karenanya perjuangan HAM tidak pernah

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian tindakan yang telah dilakukan secara umum dapat disimpulkan bahwa menggunakan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas 1 Sekolah

Tahap yang keempat yaitu tahap Implementasi (Implementation) yang hasilnya meliputi: 1) Uji coba LKS, yang dilaksanakan di SMA Negeri 1 Samigaluh. Selama proses uji

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, merupakan salah satu cara yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam merumuskan metoda guna memperbaiki sistem pengendalian intern agar

Namun, ketika pengujian dikaitkan dengan tingkat pengungkapan dari transaksi derivatif dan perusahaan pengguna derivatif dikelompokkan menjadi pengguna derivatif yang

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Samboja struktur jenis vegetasi dan komposisi jenis terdiri dari 342

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions.. Start

Ringan dan mudah untuk ditangani, belt conveyor Siegling Transilon dan belt modular Siegling Prolink mengganti belt karet berat konvensional dalam semua jenis belt pekerja dan

pertama , memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua , kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan