• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Termasuk dalam kompensasi tidak langsung adalah berbagai macam bentuk tunjangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Termasuk dalam kompensasi tidak langsung adalah berbagai macam bentuk tunjangan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Bernardin dan Russel (1993) upah merupakan salah satu bentuk kompensasi langsung, disamping sistem gaji dan pembayaran berdasarkan kinerja. Termasuk dalam kompensasi tidak langsung adalah berbagai macam bentuk tunjangan pekerja seperti asuransi kesehatan dan keamanan, upah pada hari libur, pelayanan pendidikan, kesehatan, olahraga, perumahan, perawatan anak, dan sebagainya.

Menurut Permenakertrans Nomor 1 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1, “Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap”. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan.

Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan terutama dalam hal pengupahan merupakan kebijakan publik yang penting, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pada dasarnya, kebijakan upah minimum termasuk protective regulatory policy. Kebijakan tipe ini dicirikan dengan adanya usaha untuk melindungi pihak yang lemah dari tekanan pihak yang kuat, seperti kompetisi yang tidak adil, dan perlakuan pengusaha yang sewenang-wenang terhadap para buruh. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah ketimpangan dan ketidakadilan.

(2)

Kebijakan upah minimum di Indonesia merupakan kebijakan yang cukup sensitif. Setiap tahunnya, besaran upah minimum di masing-masing daerah selalu menjadi sorotan baik dari pihak pekerja maupun pengusaha. Jumlah pekerja di Indonesia pada tahun 2014 adalah sebesar 118,2 juta orang, dengan jumlah pekerja di sektor formal sebesar 47,5 juta orang (BPS, 2015).

Di Indonesia, kebijakan pengupahan didasarkan pada konstitusi yakni Undang-Undang Dasar Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap–tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Prinsipnya besar upah haruslah; pertama, mampu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, kedua, mencerminkan pemberian imbalan atas hasil kerja seseorang dan ketiga, memuat pemberian insentif yang mendorong peningkatan produktivitas kerja dan pendapatan daerah/nasional (Desmiwati, 2010).

Peraturan pelaksana terkait upah minimum diatur dalam Kepmenakertrans Nomor 226/MEN/2000 tentang Perubahan Beberapa Pasal dalam Permenaketrans Nomor 1 Tahun 1999. Penetapan upah minimum dilakukan di tingkat propinsi atau di tingkat kabupaten/kota, dimana Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan besaran upah minimum propinsi (UMP) atau upah minimum Kabupaten/Kota (UMK), berdasarkan usulan dari Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah (sekarang Dewan Pengupahan Provinsi atau Kab/Kota) dengan mempertimbangkan: (i) kebutuhan hidup pekerja, (ii) indeks harga konsumen, (iii) pertumbuhan ekonomi, (iv) kondisi pasar kerja dan sebagainya.

Teori upah menjelaskan bahwa upah ditentukan oleh pertemuan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Dari sisi permintaan (pengusaha), faktor-faktor

(3)

yang mempengaruhi tingkat upah antara lain karakteristik sektor usaha, tingkat teknologi, organisasi produksi, dan kondisi perusahaan. Sementara dari sisi penawaran (pekerja), faktor yang menentukan tingkat upah berkaitan dengan jumlah dan karakteristik tenaga kerja (Sugiarti, 2002 dalam Hafid, 2014).

Dalam menentukan tingkat upah minimum terdapat 4 (empat) pihak yang saling terkait yaitu: (i) pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja, (ii) Dewan Pengupahan Nasional yang merupakan lembaga independen terdiri dari pakar, praktisi dan lain sebagainya yang bertugas memberikan masukan kepada pemerintah, (iii) Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) sebagai penyalur aspirasi pekerja dan (iv) wakil pengusaha melalui APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Mereka bertugas mengevaluasi tingkat upah minimum yang berlaku pada saat tertentu dan memutuskan apakah tingkat upah tersebut sudah saatnya untuk dinaikkan atau belum.

Dewasa ini paling tidak ada 5 (lima) faktor utama yang diperhitungkan pemerintah dalam menetapkan tingkat upah minimum, yaitu: (i) Kebutuhan Hidup Layak (KHL), (ii) Indeks Harga Konsumen (IHK) atau tingkat inflasi, (iii) Perluasan kesempatan kerja, (iv) Upah pada umumnya yang berlaku secara regional, dan (v) Tingkat perkembangan perekonomian daerah setempat.

Pasca dilaksanakannya otonomi daerah pada tahun 1999, penetapan upah minimum ditetapkan oleh gubernur atas rekomendasi dari bupati/walikota. Akibatnya, penetapan upah minimum di satu daerah berbeda dengan daerah lain, yang amat dipengaruhi beragam konteks sosial, ekonomi, politik, dan pertarungan ideologi di daerah. Di daerah yang gerakan buruhnya relatif cukup kuat, upah minimumnya cenderung lebih tinggi. Sebaliknya, di daerah yang gerakan buruhnya lemah, upah

(4)

minimumnya pun cenderung lebih rendah. Upah minimum sering kali juga dipengaruhi politik lokal (Tjandra, 2013).

Hukum dan regulasi pada dasarnya adalah manifestasi dari pertarungan dan kompromi berbagai kelompok dalam sebuah masyarakat plural. Kebijakan upah minimum pun demikian adanya (Levin-Waldman, 2001). Lingkungan kebijakan mempengaruhi pembuatan kebijakan publik, sehingga suatu kebijakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dimana kebijakan itu dibuat. Demikian pula pembuatan kebijakan upah minimum tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya (Anderson, 1997). Kebijakan penetapan upah minimum yang merupakan kewenangan dari masing-masing kepala daerah akan memberikan “power” bagi pemerintah daerah setempat untuk menggunakan upah minimum sebagai alat untuk kepentingan politik.

Sebagai contoh, pada tahun 2012, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta terpilih, Joko Widodo, di tahun pertama pemerintahannya menetapkan UMP DKI Jakarta untuk tahun 2013 sebesar 2,2 juta rupiah, atau naik sekitar 44 persen. Kenaikan tersebut terbilang sangat besar dibandingkan upah minimum tahun sebelumnya yang hanya tumbuh sekitar 18 persen. Kebijakan tersebut sempat mendapat protes dari pihak pengusaha karena dinilai akan memberatkan para pengusaha di DKI Jakarta.

Fenomena kenaikan upah minimum DKI Jakarta tersebut menyiratkan bahwa kebijakan upah minimum sangat rentan terhadap kepentingan politik para kepala daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung yang berlaku sejak tahun 2005 memperkuat dugaan kemungkinan adanya kepentingan politik lokal dalam penentuan upah minimum untuk tujuan pencitraan atau menarik simpati publik khususnya buruh. Dikutip dari artikel Kompas tanggal 1 Mei 2013, dengan judul

(5)

“Politisasi Upah Buruh”, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan ratusan peserta Musyawarah Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia menyindir Gubernur DKI Joko Widodo soal upah minimum DKI Jakarta yang naik sebesar 44 persen. Presiden SBY meminta agar persoalan upah buruh tidak dikaitkan dengan kepentingan politik untuk menjadi populis di mata masyarakat.

Pada dasarnya yang merisaukan dalam fenomena yang terjadi bukanlah kenaikan upah minimum itu sendiri, tetapi lebih kepada kenaikan upah yang tidak bisa diprediksi serta variabilitasnya yang cukup tinggi. Kondisi ini akan memberikan ketidakpastian bagi pengusaha untuk membuat perencanaan jangka panjang. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Oktober 2015 pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi jilid IV1. Paket kebijakan ini berfokus pada kesejahteraan pekerja dan pengembangan sektor Usaha Mikro Menengah (UMKM).

Beberapa fenomena kenaikan upah minimum di berbagai daerah tersebut memunculkan hipotesis bahwa siklus politik dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan upah minimum daerah, dimana upah minimum cenderung tumbuh lebih tinggi di tahun-tahun politik dibanding tahun-tahun lainnya. Hipotesis juga mengarah pada pola

1 Beberapa poin dalam paket kebijakan ekonomi IV sebagaimana disampaikan oleh Menko Perekonomian

Darmin Nasution, Menteri Ketenagakerjaan Hanif dhakiri, dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (www.voaindonesia.com):

1. Upah buruh dipastikan naik setiap tahun

2. Negara hadir untuk membantu buruh mengurangi beban biaya hidupnya dengan jaring pengaman yang diantaranya berbentuk penerbitan Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat

3. Formulasi upah minimum: upah minimum tahun ini ditambah tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tidak berlaku di delapan provinsi yang upah minimumnya saat ini masih ada di bawah nilai KHL.

4. Evaluasi KHL akan dilakukan setiap lima tahun sekali

5. Adanya kewajiban bagi perusahaan untuk menetapkan struktur dan skala upah (masa kerja, kompetensi, pendidikan, prestasi dan kinerja)

6. Terdapat 30 perusahaan yang berpotensi untuk memperoleh kredit modal kerja untuk UMKM produsen barang ekspor,hasil pemetaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

(6)

kepemimpinan suatu daerah, yaitu adanya perbedaan pola pertumbuhan upah minimum ketika pemerintah daerah adalah petahana (incumbent) atau pendatang baru.

Menurut Persson (1997), Acemoglu dan Robinson (2000 dan 2002), Mulligan dan Tsui (2006), Fiva dan Natvlik (2012), dalam Nairobi (2015), kompetisi politik dapat diartikan sebagai ujian terhadap akuntabilitas incumbent (petahana). Jika petahana bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas atau memberikan manfaat kepada pemilihnya, maka dia akan dipilih kembali. Namun sebaliknya jika dia kurang atau tidak bertanggung jawab maka dia akan disingkirkan dari kekuasaannya. Konsep ini sering disebut sebagai proses political turnover, atau evaluasi pemilih terhadap pemimpin politik.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka Penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Siklus Politik dan Kebijakan Upah Minimum di Indonesia: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa Tahun 2006-2013”. Penelitian ini mencoba untuk menguji secara empirik hubungan antara siklus politik (pilkada kabupaten/kota) dengan tingkat upah minimum di 67 kabupaten/kota dan 21 daerah industri di Jawa dari tahun 2006 sampai 2013.

1.2 Rumusan Masalah

Kebijakan mengenai upah minimum, dewasa ini menjadi hal yang krusial dan sensitif. Upah minimum selalu menjadi perdebatan yang alot di berbagai daerah terutama di daerah dengan jumlah pabrik dan pekerja yang banyak. Suatu kebijakan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga faktor non-ekonomi, seperti sosial, budaya, dan juga politik. Kebijakan upah minimum dapat dikatakan

(7)

sebagai kebiijakan yang strategis, karena kebijakan tersebut memberikan dampak tidak hanya bagi pekerja, namun juga dapat berdampak pada pengusaha industri yang kaitannya terhadap biaya produksi dan pertumbuhan industri padat karya, pertumbuhan ekonomi, dan penyerapan tenaga kerja. Peraturan menyebutkan bahwa upah minimum diputuskan oleh pemerintah provinsi (UMP) dan kabupaten/kota (UMK). Hal ini menyebabkan kebijakan upah minimum sangat rentan terhadap politisasi khususnya pada tahun-tahun menjelang pilkada.

Fenomena yang terjadi di beberapa daerah seperti DKI Jakarta menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan upah minimum meningkat secara signifikan pada tahun-tahun politik. Hal ini memunculkan dugaan bahwa siklus politik dapat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan upah minimum di Indonesia.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas serta melihat beberapa fakta yang terjadi di lapangan mengenai penetapan upah minimum, maka pertanyaan penelitian ini secara umum adalah :

Apakah siklus politik di daerah secara umum mempengaruhi tingkat upah minimum? Secara lebih spesifik pertanyaan penelitian di atas adalah sebagai berikut:

1. Apakah tingkat upah minimum di kabupaten/kota yang dipimpin pemerintah petahana (incumbent) meningkat pada: (i) satu tahun sebelum pilkada (t-1), (ii) tahun dilaksanakannya pilkada (t0), (iii) satu tahun setelah pilkada (t+1), dibanding tahun lainnya?

(8)

2. Apakah tingkat upah minimum di daerah industri yang dipimpin pemerintah petahana (incumbent) meningkat pada: (i) satu tahun sebelum pilkada (t-1), (ii) tahun dilaksanakannya pilkada (t0), (iii) satu tahun setelah pilkada (t+1), dibanding tahun lainnya?

3. Apakah tingkat pertumbuhan upah minimum di kabupaten/kota yang dipimpin pemerintah pendatang baru meningkat pada satu tahun setelah pilkada (t+1) dibanding tahun lainnya?

4. Apakah tingkat pertumbuhan upah minimum di daerah industri yang dipimpin pemerintah pendatang baru meningkat pada satu tahun setelah pilkada (t+1) dibanding tahun lainnya?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi pengaruh siklus politik (pilkada kabupaten/kota) terhadap tingkat upah minimum di daerah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan tingkat upah minimum sebagai variabel dependen, dan dummy tahun politik dan dummy petahana sebagai variabel independen utama, serta jumlah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, upah riil, IHK dan PDRB perkapita sebagai variabel penjelas lainnya.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(9)

1. Penelitian ini dapat menambah literatur political economy mengenai siklus politik dan kebijakan upah minimum di Indonesia mengingat masih terbatasnya penelitian mengenai topik ini.

2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya guna mengembangkan penelitian-penelitian lainnya dengan topik yang relevan.

1.6 Sistematika Penulisan

Bab I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum dari penelitian yang akan dilakukan. Dalam bab ini tercantum latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas definisi dan peraturan perundangan mengenai upah minimum, teori pasar tenaga kerja, teori upah minimum, Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), kompetisi politik, political business cycle, serta studi empiris mengenai upah minimum dan siklus politik.

Bab III. METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas tentang metodologi yang digunakan, yakni menyangkut teknik pengumpulan data dan metode analisis data.

Bab IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi hasil analisis estimasi pada variabel independen yang meliputi tingkat upah minimum, terhadap variabel dependen yakni dummy tahun politik, dummy petahana, jumlah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, upah riil, dan PDRB.

(10)

Bab V. PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Pada peubah akumulasi C organik dan N, bibit kayu kuku yang diinokulasi FMA-KG dan FMA-UHO memiliki akumulasi hara terbanyak, dengan peningkatan masing-masing 282% dan 269%

Kelompok komoditas yang memberikan andil/sumbangan inflasi pada Desember 2014, yaitu: kelompok bahan makanan sebesar 1,1567 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok,

Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa belum terlaksananya kegiatan penghapusan dalam pengelolaan aset tetap (Barang Milik Daerah) pada Dinas Sosial dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa seluruh isi skripsi dengan judul “Profil Kemampuan Literasi Sains Siswa Dengan Menggunakan Soal PISA Pada Konten Bumi dan Antariksa DI SMP Negeri

2.5.6 Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0-28 hari (KN Lengkap) Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga kali dengan

8088 memiliki pembagian memori yang sama dengan 8086: prosesor bisa mencapai 64 KB dari memori secara langsung, dan untuk mencapai lebih dari 64 KB, salah satu dari

Adapun permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar hubungan antara Tayangan Mario Teguh Golden Ways di Metro TV Terhadap Konsep Diri Mahasiswa

Berdasarkan hasil tes unjuk kerja yang telah dilaksanakan di kelas XII SMAN 2 Ciamis kemampuan menulis cerpen setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think