• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang memuat nilai luhur bangsa diringkas Soekarno ke dalam nilai gotong-royong. Fakta bahwa masyarakat Indonesia di berbagai tempat menjunjung tinggi nilai kebersamaan membuat Soekarno merangkum Pancasila menjadi nilai gotong-royong itu sendiri. Pancasila dan nilai gotong-gotong-royong yang diusulkan Soekarno seharusnya menjadi jiwa dan nilai dasar dari masyarakat Indonesia, karena Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan menentukan orientasi dan pegangan hidup sebagai bangsa. Soekarno mengatakan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila berasal dari bumi Indonesia sendiri.

Analisis teks menunjukkan bahwa Soekarno berpidato dengan memakai logika yang runtut. Analisis konteks menunjukkan bahwa Soekarno berpidato di depan Sidang BPUPKI dalam suasana perdebatan di tengah keinginan untuk merdeka. Konteks perdebatan antara Islam dan Nasionalis menjadi bingkai dari pidato Soekarno. Analisis simbolis menunjukkan bahwa Soekarno memakai beberapa simbolisasi untuk menyampaikan gagasannya mengenai Pancasila dan Ekasila. Gotong-royong merupakan simbol kekhasan masyarakat Indonesia yang mengedepankan kebersamaan. Keberagaman diakui dan kesatuan sebagai bangsa

(2)

dijunjung tinggi di dalam alam kebersamaan. Nilai-nilai filosofis yang berkembang sejak dulu kala kemudian disistematisasi oleh Soekarno, dan kemudian diringkasnya menjadi gotong-royong. Penggalian tersebut membawa penelitian ini ke dalam tiga kesimpulan berikut:

Pertama, makna gotong-royong menurut Soekarno dengan demikian adalah bekerja bersama-sama, saling bantu, dan bahu-membahu untuk mencapai hasil yang didambakan. Gotong-royong mencakup kerjasama, musyawarah untuk mufakat, dan rasa saling menghargai. Negara Indonesia hendak didirikan di atas dasar nilai khas Indonesia. Soekarno tidak mengimpor paham asing dan mengendaki agar Indonesia didirikan buat semua warga serta dimiliki oleh semua warga Indonesia ketika mengetengahkan nilai royong. Negara gotong-royong dengan demikian ialah negara yang dipondasikan atas semangat kerjasama dan saling bantu khas Indonesia. Gotong-royong bagi Soekarno menjadi saripati dan ringkasan Pancasila itu sendiri.

Gotong-royong sebagai sebuah nilai, tentu layak untuk dikaji secara aksiologis. Krisis gotong-royong dewasa ini membuat Aksiologi Max Scheler mendapatkan ruang pula untuk mengkajinya. Nilai menurut Scheler bersifat objektif dan absolut, demikian pula dengan nilai royong. Nilai gotong-royong dengan demikian juga berasal dari dunia nilai dan tidak bergantung kepada subjek (manusia Indonesia) yang bahkan sudah kehilangan idealisme terhadap nilai gotong-royong itu sendiri.

(3)

Kedua, alur pikir Scheler dalam hal ini mengatakan bahwa penemuan nilai gotong-royong bukan hasil reaksi psikis atau psikofisik Soekarno, dan bukan pula hasil perasaan subjektif Soekarno. Nilai kegotong-royongan ada bahkan tanpa Soekarno berpidato tentangnya, dan melekat pada manusia Indonesia sebagai pengembannya. Argumentasi Scheler ini membawa kepada pemahaman bahwa Pancasila tidak diciptakan oleh Soekarno dan para pendiri negara. Soekarno, dalam bahasa Scheler, hanya menemukan nilai-nilai Pancasila dan gotong-royong yang telah dihayati sekian lama di bumi Indonesia. Soekarno hanya menggali dan mensistematisasinya.

Gotong-royong dalam hierarki Scheler sebenarnya termasuk ke dalam nilai vital, karena hubungannya yang erat bagi kehidupan manusia, tetapi Soekarno menempatkan gotong-royong dalam posisi yang sekaligus vital dan kudus karena menghubungkannya sekaligus dengan Tuhan sebagai Sang Sumber Nilai. Gotong-royong sebagai sebuah nilai memang bersifat tetap dan objektif adanya, tetapi praktek gotong-royong yang diejawantahkan dalam ethos bersama ternyata harus selalu diperjuangkan. Ethos yang buruk dari bangsa ini memang tidak akan menghapus nilai-nilai Pancasila dan gotong-royong, akan tetapi tentu membuat nilai-nilai luhur tersebut tidak teraktualisasi. Soekarno memang tidak mengatakan secara eksplisit bahwa natura dari bangsa Indonesia adalah gotong-royong, akan tetapi jika Soekarno mengatakan bahwa intisari dari Pancasila adalah gotong-royong itu sendiri, maka jelaslah bahwa natura manusia Indonesia adalah hidup

(4)

bersama manusia lain. Gotong-royong dengan demikian menjadi natura objektif dari manusia Indonesia.

Tendensi dewasa ini memudarkan nilai gotong-royong (terutama di kota-kota besar), akan tetapi dalam kacamata Scheler yang terjadi sebenarnya nilai kegotong-royongan tetap agung, karena keagungannya tidak digantungkan kepada situasi, tempat, orang, dan zaman tertentu. Nilai gotong-royong hadir ketika segenap warga bangsa bekerja bersama mewujudkan keadilan, bersatu, menghargai kemanusiaan manusia lain, bermusyawarah demi mencapai mufakat, dan menyadari relasinya dengan Tuhan dan sesama. Pancasila dan nilai gotong-royong menjadi bernilai jika itu semua tidak berhenti sebatas rumusan dan pidato Soekarno, melainkan diemban oleh segenap manusia Indonesia dalam pratek hidupnya yang baik. Pancasila ternyata adalah bagian dari keseluruhan nilai yang paling penting bagi kehidupan berbangsa. Hal inilah yang menjelaskan mengapa Soekarno memeras Pancasila ke dalam Trisila, dan selanjutnya ke dalam Ekasila.

Berbagai temuan yang dikutip dalam bab-bab sebelumnya menujukkan bahwa ada kemerosotan dalam hal penghayatan nilai gotong-royong, terutama di kota-kota besar. Semangat bahu-membahu sebagai bangsa dirasakan mulai menghilang. Nilai kebersamaan mulai luntur dan berganti dengan penghormatan secara berlebihan kepada individu dan kepentingan primordial. Krisis kegotong-royongan menemukan bentuknya yang lebih besar dalam aneka konflik. Kerusuhan Ambon, Poso, Sambas, konfilk Aceh, Papua, Tolikara, Aceh Singkil, dan pelbagai aksi anarkis menjadi tantangan bersama bagi terwujudnya nilai

(5)

gotong-royong dan sekaligus membahayakan konsep nasionalisme Indonesia. Nilai gotong-royong Soekarno yang menjadi rangkuman dari filosofi Bangsa Indonesia seakan-akan menemui ujian dan tantangan ketika diterapkan dalam kehidupan bersama dewasa ini.

Ketiga, kajian aksiologis terhadap nilai gotong-royong bagi nasionalisme Indonesia menyumbang beberapa temuan baru, yakni: nilai gotong-royong menjadi pondasi bagaimana Indonesia menghayati sesuatu yang dianggap bernilai, dan merealisasikannya dalam aneka dimensi kehidupan, juga dalam memandang nasionalisme yang khas Indonesia. Gotong-royong ternyata layak menjadi dasar nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia dibangun atas dasar kebersamaan dan bukan bersifat chauvinistis. Hal ini membuat gotong-royong memiliki dimensi kemanusiaan yang justru bisa menjadi pengikat solidaritas dan kebersamaan antarbangsa. Gotong-royong sebagai bangsa harus pula diperluas menjadi gotong-royong antarbangsa.

Gotong-royong seharusnya menjadi nilai yang diminati bangsa Indonesia. Krisis nilai membuat bangsa ini harus meminati nilai gotong-royong lewat pendidikan kegotong-royongan. Semua ini akan bermuara pada kebanggaan sebagai bangsa yang memiliki gotong-royong sebagai keutamaannya.

(6)

B. Saran

Tema ini menjadi masukan baru bagi elaborasi Pancasila. Dimensi kebaruan muncul ketika perspektif Max Scheler digunakan untuk mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Filsafat Pancasila memang harus terus digali dan didalami, supaya sistematisasi nilai-nilai yang ada di dalamnya makin terkuak. Harus diakui penggalian tema ini belumlah lengkap, maka saran-saran berikut ini bisa menjadi acuan bagi pengembangan ilmu ke depan:.

Pertama, tema ini akan menjadi makin lengkap jika segi aksiologis yang lain juga menjadi perpektif pelengkap bagi nilai gotong-royong. Pendekatan lain dari sudut kefilsafatan (misalnya dari sudut subjektivisme aksiologis) sangat diperlukan supaya di kemudian hari kajian mengenai kegotong-royongan dan mengenai Pancasila itu sendiri semakin lengkap.

Kedua, nilai gotong-royong ternyata harus senantiasa ditanamkan kepada segenap warga untuk mencegah semakin parahnya krisis gotong-royong, maka di titik ini amat disarankan pentingnya pendidikan gotong-royong. Pendidikan gotong-royong tidak bisa lepas dari pembentukan kebiasaan yang baik melalui aneka latihan, pembiasaan, dan pengalaman. Pendidikan gotong-royong dengan demikian adalah soal obyektivasi nilai dalam tindakan konkret. Pendidikan memang mencakup di dalammnya pemberian pengetahuan mengenai nilai tersebut, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pengetahuan itu dilaksanakan dan menjadi obyektif. Pendidikan nilai gotong-royong menjadi semakin efektif bila diuji dengan pengalaman konkret segenap manusia Indonesia

(7)

yang hidup berdampingan dengan aneka perbedaan (suku, agama, budaya, ras, pendapat, dan seterusnya), akrab dengan bencana yang kerap secara spontan memunculkan semangat untuk bahu-membahu, dan biasa diuji dengan peristiwa politik (baik itu Pilkada, Pilpres, dan bahkan Pilkades) yang kadang-kadang menjadi biang pertentangan masyarakat.

Ketiga, Pelajaran Pancasila dalam hal ini harus lebih banyak menggugah hati daripada sekedar memberikan informasi. Pendidikan Pancasila dan gotong-royong harus pula menumbuhkan keterbukaan hati bagi makin mekarnya rasa nasionalisme. Soekarno meyakini bahwa nasionalisme menjadi pengikat suatu bangsa, dan hal ini hanya mungkin dibangun dalam bingkai kegotong-royongan. Nasionalisme Indonesia bukan pengagungan semangat bernegara yang memberangus keragaman, melainkan menghargainya dan menjadikannya sebagai dasar.

Keempat, perlunya kesadaran bersama untuk menjadikan gotong-royong sebagai keutamaan bangsa. Manusia Indonesia berkembang dan bertumbuh supaya menjadi manusia yang makin utama, makin baik, dan makin sempurna. Gotong-royong oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai sebuah nilai yang baik. Artinya, mengusahakan kegotong-royongan sebenarnya merupakan usaha merealisasikan kebaikan itu sendiri. Sebagaimana kebaikan adalah keutamaan, maka gotong-royong layak dijadikan sebagai keutamaan bangsa.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk

Penempuhan badge sangga merupakan uji materi dari masa orientasi tamu ambalan. Atau juga ada yang mengatakan UTS nya pramuka, dikemas dalam bentuk penjelajahan.

Finalisasi Pancasila dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didasarkan pada pengalaman historis ideologis bangsa Indonesia untuk menjaga integrasi

mengintai. Disinilah Soekarno melihat kelebihan Pancasila itu. Karena itulah, maka kita bangsa Indonesia merasa bangga mempunyai Pancasila dan menganjurkan Pancasila itu

Dari kondisi sosial Israel inilah, Amos kemudian dengan tegas menyampaikan peringatan sekaligus bentuk kritikan yang pedas atas kehidupan umat Israel tentang ibadah terhadap Allah

PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 6.. Sehingga demi semangat persatuan dan menghargai keyakinan seluruh penduduk Indonesia maka para pendiri bangsa

Rany: “Ok… Sekarang kesimpulannya adalah Pancasila sebagai dasar filsafat negara, secara obyektif diangkat dari pandangan hidup dan filsafat hidup bangsa

Pola pengertian agama yang dikemukakakan Schuon sering ditarik dalam diskursus pluralitas, spiritual dan teologi, namun belum banyak yang melakukan pengkajian secara