• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis 2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi dapat juga diartikan sebagai kenaikan Gross Domestic Product (GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan suatu negara dalam menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa kepada masyarakat dalam jumlah yang banyak sehingga memungkinkan untuk kenaikan standar hidup yang mana berdampak pula bagi penurunan tingkat pengangguran dalam jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjelaskan atau mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian. Dalam perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi secara fisik yang terjadi di suatu negara, seperti pertambahan jumlah dan produksi barang industri, pertambahan jumlah infrastruktur, sarana pendidikan, penambahan produksi

(2)

kegiatan-Menurut Todaro (2003) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas ditentukan oleh kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional, dan ideologis terhadap tuntutan keadaan yang ada. Pressman (2000) juga menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan perpaduan efek dari produktivitas yang tinggi dan populasi yang besar. Dari kedua faktor ini pertumbuhan produktivitas jelas lebih penting, karena seperti yang ditunjukkan oleh Adam Smith, pertumbuhan produktivitas inilah yang menghasilkan peningkatan dalam standar kehidupan. Kuznets sangat menekankan pada perubahan dan inovasi teknologi sebagai cara meningkatkan pertumbuhan produktivitas terkait dengan redistribusi tenaga kerja dari sektor yang kurang produktif (yaitu pertanian) ke sektor yang lebih produktif (yaitu industri manufaktur).

Todaro (2003) menyampaikan ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap negara. Ketiga faktor tersebut adalah :

1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah

angkatan kerja.

3. Kemajuan teknologi, berupa cara baru atau perbaikan cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan.

(3)

Menurut teori Klasik, akumulasi modal serta jumlah tenaga kerja memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Ada tiga unsur pokok dalam produksi suatu negara, yaitu :

1. Sumber daya yang tersedia, yaitu tanah. 2. Sumber daya insani, yaitu jumlah penduduk. 3. Stok barang modal yang ada.

Menurut Schumpeter dalam Pressman (2000) bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi secara terus-menerus tetapimengalami keadaan di mana adakalanya berkembang dan pada ketika lain mengalami kemunduran. Konjungtur tersebut disebabkan oleh kegiatan para pengusaha (entrepreneur) melakukan inovasi atau pembaharuan dalam kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Untuk mewujudkan inovasi yang seperti ini investasi akan dilakukan, dan pertambahan investasi ini akan meningkatkan kegiatan ekonomi. Proses multiplier yang ditimbulkannya akan menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam kegiatan ekonomi dan perekonomian mengalami pertumbuhan yang lebih pesat

Dalam teori basis ekonomi (economic base theory) disebutkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut, kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Sadono, 2001).

(4)

2.1.2. Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata pertama berarti sendiri dan kata kedua berarti pemerintah. Otonomi bermakna memerintah sendiri, dalam wacana administrasi publik daerah sering disebut sebagai local self government. Menurut Khusaini (2006) daerah otonom praktis berbeda dengan daerah saja yang merupakan penerapan dari kebijakan yang dalam wacana administrasi publk disebut sebagai local state government yang berarti pemerintah di daerah merupakan kepanjangan dari pemerintah pusat (dalam Handayani, 2009). Otonomi daerah menurut UU No.32 Tahun 2004, diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Handayani, 2009). Sebagai

(5)

upaya untuk mencapai tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Menurut Handayani (2009) menyebutkan terdapat 4 (empat) unsur otonomi daerah, yaitu :

a. Memiliki perangkat pemerintah sendiri yang ditandai dengan adanya Kepala Daerah, DPRD, dan Pegawai Daerah;

b. Memiliki urusan rumah tangga sendiri yang ditandai dengan adanya dinasdinasdaerah;

c. Memiliki sumber keuangan sendiri yang ditandai dengan adanya pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan pendapatan dinas-dinas daerah;

d. Memiliki wewenang untuk melaksanakan inisiatif sendiri (diluar dari instruksi dari pemerintahan pusat atau atasan) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Otonomi daerah membawa dua implikasi khusus bagi pemerintah daerah yaitu pertama adalah semakin meningkatnya biaya ekonomi (high cost economy) dan yang kedua adalah efisiensi dan efektifitas. Oleh karena itu daesentralisasi membutuhkan dana yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan didaerah (Emelia, dalam Handayani 2009).

Apabila suatu daerah tidak memiliki sumber-sumber pembiayaan yang memadai maka dari hal ini akan mengakibatkan daerah bergantung terus terhadap pembiayaan pemerintah pusat. Ketergantungan terhadap pembiayaan pemerintah

(6)

pusat merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan asas otonomi daerah. Oleh karena itu perlu suatu upaya oleh pemerintah daerah dalam memutus ketergantungan tersebut dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah.

Menurut Syamsi (dalam Emelia, 2006) terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran agar suatu daerah dikatakan mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri:

a. Kemampuan struktur organisasinya

Struktur organisasi pemerintah daerah yang mampu menampung seluruh aktivitas dan tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. b. Kemampuan aparatur Pemerintah Daerah

Aparatur pemerintah daerah mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan yang diinginkan daerah dibutuhkan keahlian, moral, disiplin dan kejujuran dari aparatur daerah.

c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar bersedia terlibat dalam kegiatan pembangunan nasional. Karena peran serta masyarakat sangat penting dalam menunjang kesuksesan pembangunan daerah.

(7)

Suatu daerah dikatakan mampu mengurus rumah tangganya sendiri apabila pemerintah daerah tersebut mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Sesuai dengan urgensi penelitian ini, maka suatu daerah dituntut kemampuannya dalam menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah sehingga tidak bergantung pada pemerintah pusat.

2.1.3. Kinerja Keuangan Daerah

Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya jelek. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Menurut Halim (2001) analisis kinerja keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia.

Dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan ada beberapa ukuran kinerja, yaitu rasio kemandirian, rasio efektifitas, rasio efisiensi, rasio pertumbuhan, dan rasio keserasian. Pada penelitian ini yang digunakan adalah rasio

(8)

kemandirian, rasio efektifitas, dan rasio efisiensi, sedangkan rasio pertumbuhan dan keserasian tidak digunakan. Untuk itu, penjelasan terkait hanya pada rasio kemandirian, rasio efektifitas, dan rasio efisiensi.

Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang sering disebut sebagai otonomi fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini juga menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal.

Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini rasio kemandirian diukur dengan:

Rasio Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah/ Bantuan Pusat dan Pinjaman atau

Rasio Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah/ Total Pendapatan

Pengertian efektifitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan

(9)

potensi riil daerah. Semakin besar realisasi penerimaan PAD dibanding target penerimaan PAD, maka dapat dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya. Rasio efektifitas diukur dengan:

Rasio Efektifitas = Realisasi Penerimaan PAD / Target Penerimaan PAD

Nilai efektifitas diperoleh dari perbandingan sebagaimana tersebut diatas, diukur dengan kriteria penilaian kinerja keuangan (Budiarto, 2007). Apabila persentase kinerja keuangan di atas 100% dapat dikatakan sangat efektif, 90% - 100 % adalah efektif, 80% - 90% adalah cukup efektif, 60% - 80% adalah kurang efektif dan kurang dari 60% adalah tidak efektif.

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini dengan mengasumsikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan. Pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan. Rasio efisiensi diukur dengan:

(10)

Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi pengeluaran dan realisasi penerimaan dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan (Budiarto, 2007). Apabila kinerja keuangan diatas 100% ke atas dapat dikatakan tidak efisien, 90% - 100% adalah kurang efisien, 80% - 90% adalah cukup efisien, 60% - 80% adalah efisien dan dibawah dari 60% adalah sangat efisien.

Faktor penentu efisiensi dan efektifitas sebagai berikut (Budiarto, 2007): a. Faktor sumber daya, baik sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta dana keuangan; b. Faktor struktur organisasi, yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan, baik itu struktural maupun fungsional; c. faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan; d. faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaannya, baik pimpinan maupun masyarakat; e. Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud.

2.1.4. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke tingkat pemerintah daerah. Menurut Khusaini (2006) bahwa desentralisasi fiskal adalah implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah yaitu menyangkut kebutuhan dana yang cukup besar, sehingga perlu diatur

(11)

dan diupayakan perimbangan keuangan secara vertikal antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya.

Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Menurut Kusaini (2006) desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat.

Desentralisasi dapat pula diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan adanya pergeseran beberapa tanggung jawab terhadap pendapatan (revenue) dan/atau pembelanjaan (expenditure) ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah (Handayani 2009). Faktor yang sangat penting dalam menentukan desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan alokasi atas pengeluarannya

(12)

sendiri. Faktor lain juga penting adalah kemampuan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD).

Salah satu komponen utama desentralisasi adalah desentralisasi fiskal (Handayani, 2009). Artinya adalah memaknai desentralisasi tidak dapat dipisahkan dari isu kapasitas keuangan daerah, dimana kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur dari kemampuan menggali dan mengelola keuangannya.

Menurut Usui dan Alisjahbana (dalam Handayani, 2009), kunci utama dari desentralisasi fiskal adalah pembuatan menjadi lebih dekat dengan masyarakat sehingga distribusi pelayanan publik menjadi lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Selanjutnya oleh disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, harus terdapat 2 (dua) prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:

a. Fungsi mengikuti kapasitas (function should follow capacities)

Hal ini berarti pemerintah lokal harus mempunyai kapasitas sumber daya manusia yang cukup untuk memenuhi fungsi pemerintahan yang telah didelegasikan kepadanya.

b. Pendapatan mengikuti fungsi (revenues should follow function)

Hal ini berarti bahwa di dalam pemerintahan lokal harus tersedia keseimbangan antara tanggungjawab pengeluaran dan instrument pendapatan. Asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Undang- Undang No.33 tahun 2004 dibagi menjadi tiga, yaitu : desentralisasi,

(13)

dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan (Bah1, 2000). Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

Bahl (2000) mengemukakan dalam aturan yang keduabelas, bahwa desentralisasi harus memacu adanya persaingan diantara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must be a champion forfrscal decentralization). Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang semakin besar meningkatkan kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat dalam pemerintahan dan pemberian otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal terkandung tiga misi utama, yaitu (Barzelay,1991) :

(14)

1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah 2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.

3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas urgensi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern, yang lebih menekankan upaya memajukan kesejahteraan umum (welfare state).

2. Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara sebagai organisasi, kekuasaan yang didalamnya terdapat lingkungan kekuasaan baik pada tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari hal itu, perlu pemencaran kekuasaan (dispersed of power).

3. Dari perspektif manajemen pemerintahan negara modern, adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah, yaitu berupa keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum.

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor

(15)

publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Ash Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat.

Menurut Bahl dan Wallace (2001) desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing power). Secara teori adanya kemampuan pajak, maka pemerintah daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah ini secara teori dapat berdampak positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dampak positif pajak (local tax rate) dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa tax revenue akan digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur dan membiayai berbagai pengeluaran publik. Sebaliknya, dampak negatif pajak bagi pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan karena pajak menimbulkan "deadweight loss of tax". Ketika pajak dikenakan pada barang, maka pajak akan mengurangi surplus konsumen dan produsen.

Menurut Oates (1993) desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Oates juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi

(16)

ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya.

2.1.5. Fiscal Stress

Dongori (2006) menyatakan bahwa dampak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan dikeluarkannya undang-undang No. 34 tahun 2000 yang membatasi pungutan pajak daerah dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah.

Ketersediaan sumber-sumber daya potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan daerah dalam era otonomi ini. Keuangan daerah, terutama pada sisi penerimaan bisa menjadi tidak stabil dalam memasuki era otonomi ini. Sobel dan Holcombe dalam Andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan memasuki era otonomi bisa mengalami hal yang sama, tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada.

(17)

Shamsub dan Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1. Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan fiscal stress. Penyebab utama terjadinya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi.

2. Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran industri sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. Yu dan Korman (1987) dalam (Shamsub dan Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran industri menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress.

3. Menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (Shamsub dan Akoto, 2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscal stress.

Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dalam era ini, PAD idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Namun upaya pemerintah daerah ini mengalami hambatan karena diberlakukannya UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah.

(18)

Keberadaan UU ini seringkali dinilai justru menjadi disinsentif bagi daerah, dikarenakan membatasi daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajak-pajak daerah. Pada saat fiscal strees tinggi, pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004). Oleh karena itu, tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi fiscal stress. Upaya Pajak (Tax Effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.

Bappenas (2003) mengungkap tentang peta kemampuan daerah (propinsi, maupun kabupaten dan kota) dalam era otonomi menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pemerintah daerah berupaya mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah sebagai bagian utama dalam penyusunan APBD sebagai upaya meminimalkan ketergantungan penerimaan dari pemerintah pusat. Dalam kondisi fiscal stress, pemerintah daerah akan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah sebagai upaya meningkatkan pembiayaan daerah.

(19)

Halim (2001) menunjukkan bahwa fiscal stress dapat mempengaruhi APBD suatu daerah. Hal tersebut dibuktikan dari adanya pergeseran (kenaikan/penurunan) dari komponen penerimaan dan pengeluaran APBD. Terkait dengan hal itu, penelitian Halim (2001) memberikan fakta empirik bahwa kondisi fiscal stress yang terjadi di tahun 1997 ternyata secara umum tidak menurunkan peran PAD terhadap total anggaran penerimaan/pendapatan daerah. Komponen dari sektor penerimaan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang terpengaruh secara signifikan dengan kondisi fiscal stress adalah proporsi retribusi daerah, sedangkan proporsi pajak daerah relatif tidak terpengaruh, bahkan proporsinya sedikit naik dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Purnaninthesa (2006) membuktikan bahwa fiscal stress berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya guna mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Penelitian lain yang dilakukan Dongori (2006) menunjukkan fakta empirik bahwa fiscal stress mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat ketergantungan daerah. Semakin tinggi tingkat fiscal stress maka ada terdapat upaya daerah untuk meningkatkan kemandiriannya, yaitu dengan cara mengoptimalkan potensi asli daerahnya, yang salah satunya tercermin pada pendapatan asli daerah.

(20)

2.2. Review Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi untuk memperkuat pijakan dalam studi ini, adalah: Bohte dan Meier (2000) melakukan komparasi pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan yang tersentralisasi dengan pemerintahan terdesentralisasi. Martinez dan Robert (2001) menemukan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi belum tentu mempunyai dampak secara langsung. Desentralisasi akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran atau pembelanjaan publik. Mahi (2001) menemukan bahwa (1) dana alokasi umum lebih menjanjikan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan yang lainnya walaupun desain kebijakan dana alokasi umum tidak mendukung pemerataan ekonomi antar daerah. (2) Bagi hasil pajak dan bukan pajak menurunkan pertumbuhan ekonomi. (3) Kebutuhan bagi hasil sumbex daya alam berpotensi mengurangitingkatpertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesenjangan antar daerah.

Brodjonegoro dan Dartanto (2003) bahwa, setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positifterhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

(21)

Sasana (2006) menemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat dari koefisien jalur yang bertanda positif sebesar 0,268 dengan nilai C.R sebesar 3,662 dan diperoleh probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari taraf signifikansi (a) yang ditentukan sebesar 0,05. Dengan demikian desentralisasi fiskal berpengaruh secara langsung pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,268, yang berarti bahwa setiap ada kenaikan desentralisasi fiskal satu satuan maka akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,286 persen. Hasil estimasi ini memberikan dukungan atas hipotesis satu pada penelitian ini, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Hamzah (2006) menemukan bahwa Kesenjanganan kinerja keuangan berupa rasio kemandirian1 dan rasio kemandirian2 cukup besar, bahkan rasio efektifitas dan efisiensi dapat dikatakan besar sekali. Hasil pengujian secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian1, rasio kemandirian2, dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Wibowo (2008) menemukan bahwa (1) desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan daerah selama periode 1999-2004. (2) Era baru desentralisasi fiskal yang diluncurkan sejak tahun 2001 ternyata memberikan dampak yang relatif lebih baik terhadap pembangunan

(22)

daerah dibandingkan dengan rejim desentralisasi fiskal sebelumnya; (3) Sekurang-kurangnya terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena otonomi fiskal yang kurang favourable sebelum periode reformasi fiskal, yakni (i) kurangnya kompetensi para aparatur dan politisi daerah dalam menetapkan instrumen pendapatan daerah, dan (ii) monitoring pemerintah pusat atas penerapan Perda tentang pajak dan retribusi daerah yang kurang efektif.

Agustina (2010) menemukan bahwa perkembangan kinerja keuangan daerah dari kabupaten/kota di Indonesia sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah belum mampu meningkatkan kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Penyebaran kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah semakin konvergen rata-rata di bawah 10%. Ini menunjukkan, derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota semakin mengumpul persebarannya, namun nilainya masih rendah rata-rata di bawah 10%. Hal ini disebabkan kenaikan PAD tidak sebanding dengan kenaikan total penerimaan daerah, sehingga tingkat kemandirian daerah masih rendah, yang artinya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin besar. Selaras dengan hasil penelitian Adi (2006) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah setelah pelaksanaan otonomi daerah. Jika dilihat dari sisi pengeluaran, kinerja keuangan kabupaten/kota pada umumnya mengalokasikan belanja daerahnya masih lebih besar untuk kebutuhan belanja rutin (rata-rata di atas 60%) daripada belanja

(23)

pembangunan (rata-rata di bawah 40%), artinya sebagian besar anggaran masih digunakan untuk belanja rutin. Kabupaten/kota pada umumnya belum mampu membiayai semua kebutuhan belanja daerahnya hanya bersumber dari penerimaan PAD, bahkan hanya beberapa daerah saja yang cukup mampu membiayai kebutuhan belanja daerahnya dari PAD dan BHPBP. Kebutuhan belanja daerah untuk kabupaten/kota secara umum masih banyak bersumber dari penerimaan transfer pusat. Hal ini menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi, sehingga dapat dikatakan salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia belum tercapai dengan optimal. Hal ini disebabkan karena daerah belum mampu menggali dan memanfaatkan potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia di derahnya dengan optimal, sehingga ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi. Transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan memberikan pengaruh positif terhadap tax effort daerah. Dana perimbangan dalam bentuk DAU mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan tax effort daerah dibandingkan dengan komponen dana perimbangan lainnya, DBH maupun DAK. Transfer pemerintah pusat efektif diberikan sebagai stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah untuk menggali berbagai potensi lokal yang dimiliki untuk peningkatan PAD melalui peningkatan tax effort daerah. Transfer pemerintah pusat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Hasil penelitian ini mendukung temuan Stine (1994), yang menunjukkan bahwa penurunan transfer akan mengakibatkan penurunan penerimaan

(24)

daerah sendiri selain menurunkan pengeluaran daerah. Hal ini disebabkan turunnya penerimaan pajak karena publik merespon negatif terhadap peningkatan harga-harga pelayanan publik. Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah, termasuk pembangunan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Elastistas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD, DBH, DAU dan DAK bernilai positif. Hal tersebut juga menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap transfer pusat masih tinggi, terutama dalam bentuk DAU untuk membiayai pembangunan ekonomi daerah.

(25)

Matriks review penelitian terdahulu di atas, ditunjukkan pada Tabel 2.1. berikut ini.

Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu No. Nama

Peneliti Judul Peneliti

Variabel Yang

Digunaka Kesimpulan

1 Bohte dan Meier (2000)

The Marble Cake : Introducing Federalism to The Government Growth Equation Pertumbuhan Ekonomi (X1) dan Desentralisasi Fiskal (Y)

Pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. 2 Martinez dan Robert (2001) Fiscal Decentralization and Economic Growth Fiscal Decentralization (X) and Economic Growth (Y)

Hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi belum tentu

mempunyai dampak secara langsung. Desentralisasi akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran atau pembelanjaan publik. 3 Mahi (2001) Prospek Desentralisasi di Indonesia Ditinjau dari Segi Pemerataan Antar daerah dan Peningkatan Efisiensi

Dana Alokasi Umum (X1);

Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan

Pajak (X2), Kebutuhan Bagi Hasil Sumber Daya Alam (X3) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y)

(1) dana alokasi umum lebih menjanjikan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan yang lainnya walaupun desain kebijakan dana alokasi umum tidak mendukung pemerataan ekonomi antar daerah. (2) Bagi hasil pajak dan bukan pajak menurunkan pertumbuhan ekonomi. (3) Kebutuhan bagi hasil sumbex daya alam berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesenjangan antar daerah. 4 Brodjonegor o dan Dartanto (2003) Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Daerah : Analisa Model Makro Ekonometrik Simultan Desentralisasi Fiskal (X), Kesenjangan Fiskal (Y1) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y2)

Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era

desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan

mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

5 Sasana (2006) Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Desentralisasi Fiskal (X) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y)

Desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di

(26)

6 Hamzah (2006) Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Tengah Rasio Kemandirian1 (X1); Rasio Kemandirian2 (X2), Rasio efektivitas (X3); rasio efisiensi (X4) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y).

Kesenjanganan kinerja keuangan berupa rasio kemandirian1 dan rasio kemandirian2 cukup besar, bahkan rasio efektifitas dan efisiensi dapat dikatakan besar sekali. Hasil pengujian secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian1, rasio kemandirian2, dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 7 Wibowo (2008) Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Desentralisasi Fiskal (X) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y)

(1) desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan daerah selama periode 1999-2004. (2) Era baru desentralisasi fiskal yang diluncurkan sejak tahun 2001 ternyata memberikan dampak yang relatif lebih baik terhadap pembangunan daerah dibandingkan dengan rejim desentralisasi fiskal sebelumnya; (3) Sekurang-kurangnya terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena otonomi fiskal yang kurang favourable sebelum periode reformasi fiskal, yakni (i) kurangnya kompetensi para aparatur dan politisi daerah dalam menetapkan instrumen pendapatan daerah, dan (ii) monitoring pemerintah pusat atas penerapan Perda tentang pajak dan retribusi daerah yang kurang efektif.

8 Agustina (2010) Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia 2001-2008 Desentralisasi Fiskal (X1), Tax Effort (X2) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y)

Ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi, sehingga dapat dikatakan salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia belum tercapai dengan optimal. Transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan memberikan pengaruh positif terhadap tax effort daerah. Dana perimbangan dalam bentuk DAU mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan tax effort daerah dibandingkan dengan komponen dana perimbangan lainnya, DBH maupun DAK. Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah, termasuk pembangunan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Gambar

Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu  No.  Nama

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Tujuan dari penulisan ini adalah mengkaji tentang keterkaitan antara matematika dan budaya khususnya rumah adat Palembang yaitu rumah Limas dimana

Sewaktu lahan di bumi terus-menerus diperindah de- ngan gedung-gedung kudus yang diabdikan bagi Tuhan, adalah doa saya semoga kita akan melakukan bagian kita dalam membawa surga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif antara keefektifan sistem pengendalian internal terhadap kecurangan ( fraud ) di sektor pemerintahan,

Inti dari Backpropagation adalah untuk mencari error suatu node. Dari hasil forward phase akan dihasilkan suatu output , dari output tersebut, pastilah tidak sesuai

dari pihak luar. 4) kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial

Barang konsumsi ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu: barang kebutuhan pokok (primer), barang kebutuhan pelengkap (sekunder), dan barang kebutuhan

Apabila Anda tidak mampu menggali informasi ini dari sistem penjualan dan katering Anda, Anda dapat menyerahkan informasi ini dalam file Excel dengan dilengkapi informasi wajib