PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA PEMBERIAN KETOROLAK DENGAN FENTANIL DALAM MENANGANI NYERI PASCABEDAH
DENGAN PARAMETER NILAI VISUAL ANALOGUE SCALE
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
HENINGTYAS SUCI UTOMO G0008219
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penanganan nyeri yang efektif saat ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari praktik bedah modern. Penanganan nyeri tidak hanya meminimalkan penderitaan pasien tetapi juga dapat mengurangi morbiditas dan memfasilitasi penyembuhan yang cepat (Rawar, 2005).
Nyeri merupakan reaksi fisiologis dan mempunyai sifat protektif untuk menghindari stimulus yang berbahaya bagi tubuh (Wirjoatmodjo, 2000). Namun, nyeri bisa menyebabkan keadaan yang membahayakan bagi pasien dan mempunyai efek samping pada endokrin dan sistem imun (Ip et al, 2009).
Nyeri pasca bedah merupakan kejadian pascabedah yang paling sering dilaporkan (Ip et al, 2009). Nyeri pascabedah adalah keadaan yang merugikan bagi pasien. Selain dirasakan secara fisik dan emosional, nyeri berhubungan dengan efek psikologis termasuk peningkatan respon stres perioperatif. Nyeri menyebabkan pasien imobilisasi sehingga menjadi rentan terhadap trombosis vena dalam, atelektasis pulmo, atrofi otot dan retensi urin (Chaturvedi dan Chaturvedi, 2007).
Nyeri pasca bedah terjadi karena kerusakan jaringan, jaringan yang rusak akan mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator inflamasi akan mensensitisasi dan mengaktivasi nosiseptor. Selanjutnya impuls diteruskan
ke serabut aferen nyeri (serabut aferen A-delta dan C) kemudian ditransmisikan ke medula spinalis dan korteks somatosensori (Sherwood, 2001).
Penanganan yang efektif terhadap nyeri pascabedah mencakup perawatan yang baik, terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Kontrol nyeri pascabedah dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, kembalinya fungsi organ tubuh normal lebih cepat dan mengurangi morbiditas (Rawar, 2005).
Data di RSUD Dr. Moewardi menunjukkan penggunaan analgesik untuk nyeri pasca bedah yang paling banyak digunakan adalah ketorolak yaitu sekitar 70% dan setelah itu fentanil dengan penggunaan sekitar 20%. Obat analgesi yang telah terbukti dalam mengurangi nyeri pascabedah diantaranya adalah ketorolak yang termasuk dalam obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Penghambatan dilakukan pada cyclooxygenase dan bersifat reversibel. Penggunaan ketorolak sebagai analgesi sering diberikan secara intravena (Katzung, 2005).
Jenis obat lain yang sering digunakan dalam menangani nyeri adalah opioid. Fentanil merupakan salah satu contoh opioid. Fentanil bekerja pada sistem saraf pusat dengan berikatan pada reseptor opioid µ sehingga mengaktivasi sistem antinosiseptif. Fentanil merupakan obat analgesi yang 75-125 kali lebih poten dibandingkan morfin. Pemberian fentanil bisa melalui intravena, transdermal maupun transmukosal (Chaturvedi dan Chaturvedi, 2007).
Obat maupun kombinasi obat analgesi saat ini sudah banyak. Penggunaannya tergantung jenis operasi, keadaan pasien dan efek samping. Pemilihan obat analgesi yang tepat dapat memberikan penanganan nyeri yang efektif (McCaffery dan Pasero, 1999).
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbandingan efektivitas antara pemberian ketorolak dengan fentanil dalam menangani nyeri pascabedah dengan parameter nilai
visual analogue scale? C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara pemberian ketorolak dengan fentanil dalam menangani nyeri pascabedah dengan parameter nilai visual analogue scale.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah di bidang anestesiologi, khususnya untuk menangani nyeri pascabedah. Selain itu dapat memberi informasi mengenai obat yang lebih baik dalam menangani nyeri pascabedah antara ketorolak dengan fentanil. Diharapkan hasil penelitian ini selanjutnya dapat berguna sebagai acuan penelitian berikutnya.
2. Manfaat Aplikatif: Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dokter spesialis anestesi untuk memilih obat dalam menangani nyeri pascabedah.
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Nyeri
Definisi standar nyeri berdasarkan International Association for
Study of Pain (IASP) adalah pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial yang menandakan adanya kerusakan. Nyeri selalu bersifat subjektif (IASP,1979).
Nyeri adalah sensasi bagian tubuh, tetapi nyeri juga dirasakan tidak menyenangkan, karena itu maka nyeri juga termasuk pengalaman emosional (Sherwood, 2001).
Menurut Sherwood (2001) reseptor nyeri ada 3 macam, yaitu:
a. Reseptor mekanik, menerima signal dari adanya kerusakan mekanik.
b. Reseptor thermal, menerima signal dari suhu yang ekstrem, terlalu dingin atau terlalu panas.
c. Reseptor polimodal, menerima signal dari semua jenis stimulus yang merugikan, termasuk iritasi dari bahan kimia dan kerusakan jaringan.
Reseptor nyeri tidak beradaptasi karena penting untuk pertahanan tubuh (Sherwood, 2001).
Semua nosireseptor dapat disensitisasi karena terdapat prostaglandin, yang merupakan derivat asam lemak yang dipecah dari lipid bilayer membran plasma. Prostaglandin bersifat lokal saat dilepaskan dan beraksi di ujung nosireseptor perifer bekerja menurunkan ambang batas untuk aktivasi (Sherwood, 2001).
Serabut nyeri ada yang cepat (serat A-delta) dan lambat (serat C). Penyampaian impuls menuju sistem syaraf pusat ada dua macam. Transmisi sinyal dari nosireseptor mekanik dan thermal akan melalui serat A-delta dengan kecepatan 30m/s yang merupakan jaras nyeri cepat. Sedangkan sinyal dari nosireseptor polimodal akan ditransmisikan melalui serat C yang tidak bermielin dengan kecepatan 12m/s yang merupakan jaras nyeri lambat. Nyeri jaras cepat yang berasal dari nosireseptor mekanik dan thermal bersifat pendek, tajam, menusuk, dan mudah dilokalisasi. Kemudian diikuti dengan nyeri jaras lambat dimana nyeri bersifat tumpul, sulit dilokalisasi, bertahan lebih lama dan rasa sakit tidak enak. Nyeri jaras lambat ini diaktivasi oleh bradikinin yang membuat nyeri bertahan lama walaupun sudah tidak ada stimulus (Sherwood, 2001).
Menurut onset dan stimulus penyebab, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Pada umumnya lokasi dan penyebab nyeri akut jelas, dan berhubungan dengan kerusakan jaringan. Jika jaringan membaik, nyeri hilang. Nyeri pembedahan merupakan nyeri akut,
sedangkan nyeri kronik adalah nyeri yang menetap walaupun jaringan yang rusak telah sembuh (Wirjoatmodjo, 2000).
Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan adanya bahaya. Proses nosiseptik menggambarkan proses normal terjadinya nyeri dan respon terhadap stimulus noksius yang membahayakan atau berpotensi membahayakan jaringan normal (McCaffery dan Pasero, 1999).
Nyeri kronik dapat terjadi karena perubahan pada nosiseptik, luka atau penyakit dan dapat disebabkan kerusakan saat ini atau masa lalu pada sistem saraf pusat maupun perifer (Calvino dan Grilo, 2006).
Penggolongan nyeri berdasarkan mekanismenya yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif timbul karena rangsangan pada nosiseptor karena adanya kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi (Wirjoatmodjo, 2000).
Nyeri nosiseptif dibedakan menurut letaknya menjadi:
a. Nyeri somatik superfisial: nyeri yang muncul karena stimulasi reseptor di kulit.
b. Nyeri somatik dalam: nyeri yang muncul karena stimulasi reseptor pada otot, tulang, sendi, dan fascia.
c. Nyeri visceral: nyeri yang muncul karena stimulasi reseptor pada organ dalam (Tortora, 2009)
Nyeri juga dapat menjalar, misalnya pada nyeri organ dalam, nyeri dapat menjalar ke lapisan kulit di atasnya dan bisa sampai ke kulit permukaan (Tortora, 2009).
Nyeri neuropati adalah nyeri yang disebabkan adanya lesi primer atau disfungsi pada sistem saraf. Beberapa tipe nyeri neuropati dihasilkan saat sistem saraf perifer rusak, sehingga impuls nyeri ditransmisikan malalui serat nyeri berulang-ulang dan meningkatkan sensitivitas terhadap stimuli. Karakteristik nyeri neuropati sangat berbeda dari nyeri nosiseptif, yaitu rasa terbakar, tumpul, geli, dan seperti tersengat listrik (Farquhar-Smith, 2007).
Ada beberapa teori yang menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gate control yang paling relevan. Teori ini mengutarakan bahwa serabut saraf dengan diameter kecil (nosiseptif) dan besar membawa informasi dari tempat yang terluka ke dua tujuan di cornu posterior dari medula spinalis, yaitu sel-sel inhibitor dan sel-sel transmisi. Signal yang datang baik dari serabut saraf diameter kecil maupun besar merangsang sel-sel transmisi, dan kemudian output dari sel-sel transmisi melampaui batas, lalu terjadilah nyeri. Tugas sel-sel inhibitor adalah untuk menghambat aktivitas sel-sel transmisi. Sel-sel transmisi merupakan gerbang dari nyeri, dan sel-sel inhibitor dapat menutup gerbang nyeri. Saat serabut kecil (nyeri) dan besar (sentuhan) diaktivasi oleh situasi yang berbahaya (yang menimbulkan nyeri), hal tersebut merangsang sel-sel transmisi spinal, dan juga sel-sel inhibitor.
Serabut kecil menghalangi sel-sel inhibitor (gerbang tetap terbuka) sementara serabut besar merangsang sel-sel inhibitor (menjaga gerbang agar tetap menutup). Jadi semakin besar aktivitas serabut besar relatif terhadap serabut kecil yang menuju ke medan reseptif sel-sel inhibitor, nyeri semakin berkurang. Signal tidak hanya berjalan dari tempat luka ke sel-sel inhibitor dan transmisi naik ke medula spinalis menuju ke otak. Signal dapat berjalan langsung dari tempat luka naik melalui medula spinalis ke otak (tanpa melalui sel-sel inhibitor dan transmisi). Tergantung pada bagian otak mana yang dituju signal tersebut, mungkin memicu signal kembali ke medula spinalis untuk modulasi aktivitas sel-sel inhibitor (Tamsuri, 2007).
2. Nyeri Pascabedah
Nyeri pasca bedah merupakan suatu respon yang kompleks terhadap trauma selama pembedahan yang menstimulasi hipersensitivitas dari sistem saraf pusat. Hasilnya nyeri di area tidak dipengaruhi langsung dari prosedur pembedahan. Nyeri dapat dirasakan setelah prosedur pembedahan apapun, baik bedah minor maupun mayor (Ke, 2001).
Saat terjadi kerusakan jaringan, hal tersebut menyebabkan dilepaskannya serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P. Bahan-bahan tersebut akan menstimulus reseptor nyeri sehingga mengakibatkan respon nyeri (Guyton dan Hall, 2007).
Dari adanya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga dapat dirasakan sebagai nyeri, terdapat empat rangkaian peristiwa elektrofisiologik (Hurford et al., 2002), yaitu:
a. Transduksi:
Mulai ketika ujung saraf bebas (nosiseptor) dari serat C dan serat A-delta dari neuron aferen primer merespon stimulus noksius. Nosiseptor yang terkena stimulus noksius ketika terjadi kerusakan jaringan dan inflamasi dapat terjadi ketika terjadi trauma, pembedahan, radang, dan iskemi (McCaffery dan Pasero, 1999).
Ada tiga kategori dari stimulus noksius (McCaffery dan Pasero, 1999):
1) Mekanik: tekanan, bengkak, abses, insisi, pertumbuhan tumor.
2) Termal: luka bakar, melepuh.
3) Kimia: rangsangan neurotransmiter, substansi beracun, iskemi, infeksi.
Stimulasi bisa disebabkan dari dalam, seperti tekanan yang diberikan oleh tumor, atau dari luar seperti terbakar. Stimulasi noksius ini juga menyebabkan pelepasan mediator-mediator kimia dari sel-sel yang rusak, yaitu prostaglandin, bradikinin, serotonin, substansi P, kalium, histamin (McCaffery dan Pasero, 1999).
Mediator-mediator kimia ini mengaktivasi dan atau menyebabkan sensitisasi nosiseptor stimulus noksius. Impuls nyeri dihasilkan dengan pergantian ion natrium dan kalium (depolarisasi dan repolarisasi) yang terjadi pada membran sel. Hal ini akan menyebabkan potensial aksi dan menghasilkan impuls nyeri (McCaffery dan Pasero, 1999).
b. Transmisi
Proses transmisi ada tiga tahap. Impuls nyeri ditransmisikan dari (McCaffery dan Pasero, 1999):
1) tempat transduksi sepanjang serat nosiseptor ke bagian cornu posterior medula spinalis
2) dari medula spinalis ke batang otak
3) melalui hubungan antara talamus, korteks dan bagian otak yang lebih tinggi
Serat C dan serat A-delta berakhir di bagian cornu posterior medula spinalis. Terdapat celah sinaptik antara ujung terminal dari serat C dan serat A-delta dengan nociceptive dorsal horn neurons (NDHN). Impuls nyeri ditransmisikan melewati celah sinaptik ke NDHN dengan melepaskan neurotransmiter yang akan mengikat ke reseptor spesifik NDHN. Neurotransmiter-neurotransmiter tersebut adalah adenosin trifosfat, glutamat, kalsitonin, bradikinin, nitrous oksida, substansi P (McCaffery dan Pasero, 1999).
Impuls nyeri kemudian ditransmisikan dari medula spinalis ke batang otak dan talamus melalui jalur nosiseptif ascenden utama. Otak tidak punya pusat nyeri yang berlainan, jadi saat impuls tiba di talamus langsung diarahkan ke berbagai tempat di otak dan akan diproses (McCaffery dan Pasero, 1999). c. Modulasi
Modulasi nyeri melibatkan perubahan atau inhibisi transmisi impuls nyeri di medula spinalis. Jalur yang kompleks dan multipel dapat menyebabkan baik peningkatan transmisi impuls nyeri (eksitasi) maupun penurunan dalam transmisi (inhibisi) (McCaffery dan Pasero, 1999).
Inhibisi descenden melibatkan pelepasan neurotransmiter inhibitor yang menghambat total maupun sebagian transmisi dari impuls nyeri, dan dari sana menghasilkan efek analgesia. Neurotransmiter inhibitor yang termasuk dalam modulasi nyeri adalah opioid endogen (ensefalin dan endorfin), serotonin (5-HT), norepinefrin/noradrenalin, gamma-aminobutyric acid (GABA), neurotensin, asetilkolin, dan oksitosin (McCaffery dan Pasero, 1999).
Modulasi nyeri endogen menjelaskan banyaknya variasi dalam persepsi nyeri yang berbeda-beda pada tiap individu, karena masing-masing individu memproduksi neurotransmiter inhibitor dalam jumlah yang berbeda. Opioid endogen terdapat
di seluruh sistem saraf pusat dan mencegah pelepasan beberapa neurotransmiter yang merangsang (eksitator) seperti substansi P, sehingga menghambat impuls nyeri (McCaffery dan Pasero, 1999).
d. Persepsi
Persepsi adalah hasil akhir dari aktivitas neuronal dari transmisi nyeri dan dan dimana nyeri menjadi pengalaman multidimensi yang disadari. Pengalaman multidimensi nyeri mempunyai komponen afektif-motivasional, sensori-diskriminatif, emosional, dan perilaku. Ketika stimulus nyeri ditransmisikan ke batang otak dan talamus, multipel area di korteks diaktivasi dan menimbulkan respon. Area-area tersebut adalah:
1) Sistem retikuler: sistem ini bertanggung jawab untuk respon otonom dan motorik terhada padanya nyeri dan berfungsi untuk memberi peringatan pada individu untuk merespon atau melakukan sesuatu, misalnya menarik tangan saat terkena benda yang panas.
2) Korteks somatosensori: ini terlibat dengan persepsi dan interpretasi dari sensasi. Bagian ini mengidentifikasi intensitas, jenis dan lokasi dari sensasi nyeri dan berkaitan dengan sensasi pengalaman masa lalu, memori dan aktivitas kognitif. Bagian ini juga mengidentifikasi sifat dari
stimulus sebelum stimulus memicu respon, seperti lokasi, intensitas dan rasanya.
3) Sistem limbik: sistem ini bertanggung jawab atas respon emosi dan tingkah laku terhadap nyeri (McCaffery dan Pasero, 1999).
3. Ketorolak
Ketorolak adalah obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) yang mempunyai efek analgesik poten dengan efek antiinflamasi sedang (Wilmana dan Gunawan, 2007).
a. Farmakodinamik
Ketorolak bekerja pada sistem enzim siklo-oksigenase untuk menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolak dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat (Smith, 2000).
Pemberian ketorolak secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien. Ketorolak menghambat agregasi platelet secara reversible dan akan pulih setelah 24 hingga 48 jam pemberian. Suatu studi mengenai penggunaan morphin 10 mg, pethidine 100 mg dan ketorolak 30 mg untuk menangani nyeri pascabedah tidak didapatkan perbedaan efikasi yang nyata (Smith, 2000).
b. Farmakokinetik
Ketorolak diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% ketorolak terikat pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik ketorolak pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolak dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses (Gillis & Brogden, 1997).
c. Indikasi
Ketorolak diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Ketorolak secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Batas lama pemakaian
ketorolak parenteral 5 hari dan ketorolak oral 14 hari (Omoigui, 1997).
d. Kontraindikasi
1) Pasien menderita ulkus peptikum aktif 2) Penyakit cerebrovaskuler
3) Gangguan koagulasi 4) Terapi dengan OAINS lain
5) Gangguan ginjal sedang sampai berat
6) Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi (Omoigui, 1997) e. Efek Samping
1) Saluran cerna: diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
2) Susunan saraf pusat: sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.
3) Kulit: hematom, gatal
4) Vaskuler: meningkatkan risiko perdarahan dan trombositopenia.
5) Ginjal: kerusakan fungsi ginjal (pemakaian jangka panjang)
4. Fentanil
Fentanil adalah analgesik opioid sintetik yang poten yang bekerja sebagai agonis reseptor µ. Fentanil sering digunakan dalam anestetik karena onset cepat sehingga dapat mencapai puncak analgesia dalam waktu 5 menit. Fentanil bekerja dengan durasi pendek, efeknya cepat berakhir dan kurang mempengaruhi kardiovaskuler (Dewoto, 2007).
a. Farmakodinamik
Efek analgetik fentanil serupa dengan morfin. Setelah 15 menit pemberian fentanil, efek analgetik muncul dan mencapai puncak dalam 2 jam. Fentanil dan derivatnya sering digunakan secara intravena. Efektivitas fentanil 100 kali lebih poten daripada morfin. Penggunaan fentanil 100 µg setara dengan 10 mg morfin (Dewoto, 2007).
b. Farmakokinetik
Fentanil mempunyai kelarutan dalam lemak yang tinggi dan dapat dengan mudah masuk ke sisten saraf pusat. Metabolisme fentanil terjadi di hati, sedangkan sisa metabolisme dikeluarkan melalui urin (Dewoto, 2007)
c. Indikasi menurut Dewoto (2007): 1) Anestesi dan analgesia 2) Nyeri hebat luka bakar 3) Nyeri kanker
d. Kontraindikasi menurut Dewoto (2007): 1) Gangguan pernafasan
2) Hipotensi yang tidak terkoreksi 3) Gangguan ginjal
4) Terapi dengan opioid lain 5) Alergi zat narkotik
e. Efek samping menurut Dewoto (2007): 1) Mual, muntah
2) Gatal
3) Kekakuan otot 4) Depresi respirasi
5) Menurunkan frekuensi jantung dan tekanan darah 5. Status Fisik ASA
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan perlu dinilai status fisiknya. Status fisik ini diusulkan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA). Status fisik ASA dikategorikan dalam 5 kelas, yaitu:
a. ASA I : pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokimia, psikiatri, dan proses patologis yang dialami tidak menyebabkan gangguan sistemik.
b. ASA II : pasien dengan gangguan sistemik ringan. c. ASA III : pasien dengan gangguan sistemik berat.
d. ASA IV : pasien dengan gangguan sistemik berat yang belum tentu dapat dikoreksi dengan pembedahan.
e. ASA V : pasien yang hanya memiliki kemungkinan kecil untuk hidup (Wirjoatmodjo, 2000).
6. Visual Analogue Scale
Visual Analogue Sccale (VAS) adalah salah satu parameter untuk mengkategorikan berat ringannya nyeri. Nyeri bersifat subjektif, sehingga penilaian dengan VAS merupakan ukuran untuk menilai efek analgesik yang diberikan. Penilaian nyeri secara verbal dan numerik dicocokan dengan ekspresi wajah pada saat yang sama (Wirjoatmodjo, 2000).
Gambar 1.1 Visual Analogue Scale (VAS) VAS 0 = tidak nyeri
VAS 1-3 = nyeri ringan, pasien secara objektif bisa berkomunikasi dengan baik
VAS 4-6 = nyeri sedang, secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikan, dapat mengikuti perintah dengan baik
commit to user
VAS 7-10 = nyeri berat, secara objektif pasien tidak dapat mengikuti perintah, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
(Wirjoatmodjo, 2000) B. Kerangka Pemikiran Keterangan: Jalur nyeri Penghambatan nyeri Pembedahan Jaringan rusak
Stimulus membran sel
Asam arakidonat Cyclooxygenase-2 Mediator inflamasi: Leukotrien Tromboxan-A2 Prostasiklin Prostaglandin Sensitisasi nosiseptor
Serat aferen nyeri
Neurotransmiter Reseptor cornu posterior medula spinalis Korteks somatosensori Fentanil Aktivasi reseptor µ Ketorolac
C. Hipotesis
Fentanil lebih efektif dalam menangani nyeri dibandingkan dengan ketorolak pada pasien pascabedah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umun Daerah Dr. Moewardi Surakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah penderita yang akan menjalani operasi dengan anestesi umum di RSUD Dr. Moewardi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi:
a. Pasien laki-laki atau perempuan. b. Usia 18-45 tahun.
c. Status fisik penderita ASA I-II. d. Lama operasi kurang dari 2 jam.
e. Operasi laparotomi bawah: kasus obgyn
f. Setuju menjadi sampel penelitian dengan menandatangani informed
2. Kriteria eksklusi:
a. Pasien mendapat analgesi 24 jam terakhir sebelum operasi. b. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal
c. Pasien dengan gangguan koagulasi
d. Pasien dengan komplikasi mual muntah yang sangat berat D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel sebagai probandus berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dipilih dengan cara nonprobability sampling yakni, purposive sampling. Pasien yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian. Kelompok I adalah pasien yang diberi ketorolak, sedangkan kelompok II adalah pasien dengan pemberian fentanil sebagai anti nyeri. E. Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi (Sastroasmoro, 1995), yaitu:
n1=n2 = (Zα 2PQ +zβ P1Q1+P2Q2 )2 (P1-P2)2
= (1,96 2(0,45×0,55) + 0,842 (0,7×0,3)+(0,2×0,8) )2 0,52
Keterangan
n1=n2 = besar sampel
Zα = nilai statistik Z pada kurva normal standar pada tingkat kemaknaan α (α = 5%) adalah 1,96
Zβ = tetapan power 0,842
P1 = proporsi obat A (ketorolak) 0,7 P2 = proporsi obat B (fentanil) 0,2 Q1 =1- P1
Q2 =1- P2 P =1/2 (P1+P2)
Q = 1-P
Jadi sampel minimal yang dibutuhkan dari tiap kelompok adalah 15 subjek.
F. Rancangan Penelitian Populasi Kriteria inklusi - eksklusi Sampel penelitian Random Kelompok ketorolac Kelompok fentanil Operasi Operasi Analisis VAS Analisis VAS Data penelitian Data penelitian Uji statistik Hasil penelitian
G. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas
a. Ketorolak b. Fentanil 2. Variabel Terikat
Derajat nyeri yang diukur menggunakan Visual Analog Scale/VAS
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas:
a. Ketorolak
1) Definisi: obat analgesik golongan OAINS yang memperlihatkan aktivitas analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Ketorolak menghambat sintesis prostaglandin dan merupakan suatu analgesik yang bekerja perifer (Omoigui, 1997).
2) Cara ukur: diberikan secara intravena 30 mg. 3) Skala : nominal
b. Fentanil
1) Definisi: obat analgesik golongan opioid yang poten bekerja sebagai agonis reseptor µ. Sebagai analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibanding morfin. Fentanil mempunyai onset cepat dan lama kerja singkat yang mencerminkan kelarutan lipid yang besar (Omoigui, 1997).
2) Cara ukur: diberikan secara intravena 1µg/kgBB. 3) Skala: nominal
2. Variabel terikat: Derajat nyeri pascabedah
a. Definisi : Derajat respon nyeri terhadap trauma pembedahan karena adanya kerusakan jaringan (Ke, 2001).
b. Cara ukur : menggunakan Visual Analogue Scale. Pengukuran skala ini dilakukan oleh dokter. Dilihat derajat nyeri dan diukur dengan skala 0-10. Angka 0-10 berurutan menyatakan tidak ada nyeri hingga nyeri berat.
populasi
Kriteria inklusi - eksklusi
Sampel penelitian
random
Kelompok ketorolac Kelompok fentanil
Diukur berat badan, tekanan darah, nadi
Premedikasi anestesi
Operasi
Pemberian ketorolac setelah pulih sadar
Pemberian fentanil setelah pulih sadar
Pengukuran derajat nyeri dengan VAS pada menit ke 30, 60, dan 90 Pengukuran dilakukan 2 orang
Setelah mendapat persetujuan etik penelitian, penelitian dapat dilakukan. Penelitian dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
Pasien ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Operasi yang dipilih adalah yang menggunakan anestesi umum. Pasien dijelaskan mengenai adanya penelitian ini. Apabila pasien setuju dan menandatangi informed consent, penelitian dapat dilakukan terhadap pasien tersebut.
Setiap pasien mendapat perlakuan yang sama. Sebelum operasi dilakukan pengukuran terhadap berat badan, tekanan darah, dan nadi. Setelah itu pasien diberi premedikasi anestesi.
Pada kelompok I, pasien diberi ketorolak 0,6 mg/kgBB intravena segera setelah pasien pulih sadar. Kemudian melakukan penilaian VAS pada menit 30, 60, dan 90.
Pada kelompok II, pasien diberi fentanil 1 µg/kgBB intravena segera setelah pasien pulih sadar. Kemudian melakukan penilaian VAS pada menit 30, 60, dan 90.
J. Teknik Analisis Data Statistik
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji chi square. Data diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for windows(Dahlan, 2008).
Persyaratan uji chi square, yaitu:
1. Bila subjek total >40, tanpa melihat nilai expected, yaitu nilai yang dihitung bila hipotesis 0 benar.
2. Bila jumlah subjek antara 20 dan 40, dan semua nilai expected > 5. Apabila : (1) jumlah subjek total n <20, atau (2) jumlah subjek antara 20 – 40 dengan nilai expected < 5, maka dipakai uji mutlak Fisher (Sastroasmoro, 1995).
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Sampel
Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus – Oktober 2011 dengan sampel sebanyak 34 yang dibagi menjadi dua kelompok. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Masing-masing kelompok terdiri dari 17 sampel. Kelompok I diberi ketorolak intravena 30 mg pascabedah dan Kelompok II diberi fentanil intravena 1µg/kgBB pascabedah.
Kelompok I (ketorolak) dan Kelompok II (fentanil) dibandingkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang bermakna. Perbandingan antara kedua kelompok tersebut meliputi umur, berat badan, tekanan sistolik, tekanan diastolik, dan denyut nadi sebelum pembedahan.
Tabel 1 Data Karakteristik Sampel Sebelum Pembedahan
Variabel p Umur Berat badan Tekanan sistolik Tekanan diastolik Denyut nadi 0,072 0,279 0,181 0,109 0,379
Data pada Tabel 1 mengenai umur, berat badan, tekanan sistolik, tekanan diastolik dan denyut nadi diperoleh dengan uji Shapiro Wilk. Dapat dilihat pada Tabel 1 semua variabel yang diuji dengan uji Shapiro Wilk menunjukkan berbeda tidak bermakna (p > 0,05).
B. Analisis Data
Data kejadian nyeri dan skala nyeri pada Kelompok I dan Kelompok II kemudian diolah dengan uji chi square.
0 2 4 6 8 10 12 14
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat
Ketorolac Fentanil
commit to user 0 2 4 6 8 10 12
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat
Ketorolac Fentanil
Gambar 2 Kejadian Nyeri Menit ke 60
0 2 4 6 8 10 12 14
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat
Ketorolac Fentanil
Tabel 2 Data Kejadian Nyeri yang Dinilai dengan VAS
Dari data Tabel 2 dapat dilihat pada menit ke 30 dan 60, dengan tingkat kepercayaan 95% atau (1-α)% menunjukkan p value < 0,05. Hasil tersebut menyatakan bahwa pada menit ke 30 dan 60 antara Kelompok I dan Kelompok II terdapat perbedaan yang bermakna terhadap waktu nyeri dan skala nyeri.
Pada menit ke 90, data statistik menunjukkan p value > 0,05. Hasil tersebut menyatakan bahwa pada menit ke 90 antara Kelompok I dan Kelompok II berbeda tidak bermakna terhadap waktu nyeri dan skala nyeri.
Dari data Tabel 2 didapatkan persentase kejadian nyeri antara ketorolak dan fentanil pada menit ke 30 dan 60 yang hasilnya terdapat perbedaan bermakna.
Tabel 3 Persentase Perbedaan Kejadian Nyeri yang Signifikan
Menit ke 30 Menit ke 60 Menit ke 30 Menit ke 60
Tidak Nyeri 76,47% 58,82% Nyeri Ringan 64,71% 64,71% 23,53% 41,18% Nyeri Sedang 35,29% 35,29% Ketorolak Fentanil Skala Nyeri Waktu Skala Nyeri p Kelompok I (Ketorolak) Kelompok II (Fentanil) 0 1 2 3 0 1 2 3 Menit ke 30 0 6 11 0 13 4 0 0 0,000 Menit ke 60 0 6 11 0 10 7 0 0 0,000 Menit ke 90 0 12 5 0 0 8 9 0 0,296
BAB V PEMBAHASAN
A. Karakteristik Sampel
Pada kedua kelompok penelitian, sebelum perlakuan dilakukan pengukuran umur, berat badan, tekanan sistolik, tekanan diastolik dan denyut nadi (Tabel 1). Pengukuran dilakukan karena keempat variabel tersebut mempengaruhi hasil penelitian. Kriteria inklusi umur ditetapkan 18-45 tahun karena pada usia tersebut secara fisiologis tubuh sudah dianggap dewasa dan rata-rata ambang batas nyeri sama. Berat badan berpengaruh pada penelitian ini juga, hal ini berkaitan dengan kelarutan obat. Tekanan sistolik, tekanan diastolik dan denyut nadi berhubungan dengan hemodinamik.
Hasil uji statistik data karakteristik sampel pada Tabel 1 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara dua kelompok penelitian. Hasil uji statistik dengan uji independent t-test menunjukkan semua p value > 0,05. Dari hasil tersebut menyatakan bahwa data yang digunakan untuk penelitian ini homogen dan variabel-variabel tersebut tidak mempengaruhi hasil penelitian.
Pada penelitian ini tidak diuji beda jenis kelamin karena semua sampel adalah wanita. Salah satu kriteria inklusi adalah sampel merupakan pasien bedah abdomen bawah. Pada penelitian ini semua sampel merupakan pasien kandungan, sehingga data jenis kelamin homogen.
B. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang operasi setelah mencatat data umur, berat badan, tekanan sistolik, tekanan diastolik, dan denyut nadi. Pembedahan diawali dengan premedikasi anestesi yang dianggap sama untuk semua kelompok penelitian. Kriteria inklusi untuk lama pembedahan yaitu kurang dari 2 jam. Setelah selesai pembedahan dan pasien pulih sadar obat analgesi diberikan lalu dipantau waktu kerja obatnya serta nilai VAS.
Hasil data dan analisis statistik nilai terhadap kejadian nyeri dan nilai VAS antara Kelompok I dan II pada menit ke 30 menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p value <0,05). Kelompok I yang diberi ketorolak lebih banyak yang menderita nyeri (64,71% nyeri ringan dan 35,29% nyeri sedang) pada menit ke 30. Sedangkan kelompok II yang diberi fentanil hanya sedikit yang menderita nyeri (23,53%) dan hanya nyeri ringan.
Pada menit ke 60, data dan analisis statistik juga menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p value <0,05) antara Kelompok I dan II. Data pada Kelompok I yang diberi ketorolak tidak berbeda dengan pada saat menit ke 30. Kelompok II yang diberi fentanil yang mengalami nyeri ringan menjadi 41,18%.
Data menit ke 90 setelah diuji statistik ternyata berbeda tidak bermakna (p value >0,05). Pada menit ke 90 ini baik Kelompok I maupun II semua mengalami nyeri.
Dari hasil data dan uji statistik pada menit ke 30 dan 60 menunjukkan bahwa fentanil lebih baik dibandingkan ketorolak dalam menangani nyeri pascabedah. Sedangkan pada menit ke 90 hasilnya berbeda tidak bermakna.
Fentanil mempunyai onset cepat dan durasi singkat. Onset fentanil kurang dari satu menit dan dapat mencapai efek puncak pada menit ke 15 setelah pemberian intravena. Hal ini menjelaskan hasil data yang diperoleh pada menit ke 30, kelompok fentanil hanya 23,53% yang mengalami nyeri dan hanya nyeri ringan. Durasi fentanil singkat yaitu 30-60 menit, sehingga pada menit ke 60 yang mengalami nyeri ringan menjadi 41,18%. Pada menit ke 90 Kelompok II yang diberi fentanil akhirnya merasa nyeri semua (Omoigui, 1997).
Ketorolak mempunyai onset cepat juga, kurang dari 1 menit dengan pemberian intravena. Ketorolak mencapai efek puncak dalam waktu 1-3 jam dan mempunyai lama aksi 3-7 jam. Namun, dari hasil penelitian data yang diperoleh menunjukkan baik pada menit ke 30, 60, dan 90 Kelompok I yang diberi ketorolak semua mengalami nyeri (Omoigui, 1997).
Ketorolak bekerja menghambat enzim siklooksigenase yang digunakan untuk biosintesis mediator nyeri, yaitu prostaglandin. Pada penelitian ini saat dilakukan pembedahan terjadi kerusakan jaringan, saat pasien sadar mediator nyeri sudah dilepaskan, sehingga ketorolak tidak dapat menangani nyeri dengan optimal. Ketorolak yang diberikan akan menghambat sintesis prostaglandin selanjutnya dan mengurangi nyeri pada jam-jam berikutnya (Wilmana dan Gunawan, 2007).
Menurut teori, fentanil bekerja menghambat nyeri pada aktivasi reseptor µ medula spinalis, sehingga menghambat transmisi nyeri dari cornu posterior medula spinalis ke korteks somatosensori untuk dipersepsikan sebagai nyeri. Pada penelitian ini, fentanil lebih baik dalam menangani nyeri pascabedah pada pasien yang pulih sadar. Dimana saat pasien sadar telah dikeluarkan mediator-mediator nyeri. Skala nyeri kelompok fentanil pada menit ke 30 dan 60 lebih rendah dari ketorolak. Hal ini sesuai dengan teori bahwa, berbeda dengan ketorolak, walaupun mediator-mediator nyeri telah dikeluarkan, tetapi transmisi nyeri tetap tidak sampai ke korteks somatosensori untuk dipersepsikan (Dewoto, 2007).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Bhoomika et al (2009) yang menunjukkan bahwa fentanil merupakan obat analgesi yang efektif untuk menangani nyeri pascabedah dengan pemberian intravena.
C. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan, antara lain:
1. Peneliti kurang berpengalaman dalam mengambil data menggunakan Visual Analogue Scale/VAS. Perlu latihan dalam menilai VAS, misalnya penilaian dilakukan bersama dokter spesialis anestesi atau residen anestesi. Pengambilan data dilakukan oleh 2 orang agar tidak terjadi bias.
2. Data yang diambil merupakan data subjektif, karena ambang nyeri setiap orang berbeda sehingga dapat dilakukan dengan menggunakan parameter lain, seperti kadar katekolamin.
3. Perhitungan dosis obat analgesi dengan berat badan yang kurang tepat. Perlu dilakukan perhitungan yang teliti antara dosis dengan berat badan agar dosis yang diberikan sesuai dengan dosis terapi.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Fentanil 0,9 µg/kgBB intravena lebih efektif menangani nyeri pascabedah yang diberikan pada pasien pulih sadar dibandingkan dengan ketorolak 0,6mg/kgBB intravena.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengamatan yang lebih lama, jumlah sampel yang lebih banyak dan teliti.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan parameter yang berbeda dalam mengukur nyeri.
3. Pasien kelompok ketorolak dalam penelitian ini pemberian ketorolak tetap diteruskan untuk mencegah kejadian nyeri berikutnya. Kelompok fentanil pemberian fentanil diteruskan dengan infus.
4. Obat analgesik golongan OAINS seperti ketorolak lebih baik diberikan saat sebelum dilakukan pembedahan.
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
Bhoomika T., Jaqueline D., Shalini S., Manju B. 2009. Comparison of fentanyl and butorphanol for postoperative pain relief with intravenous patient controlled analgesia. Acute Pain. Vol 11. pp. 93-99
Calvino B., Grilo R. M. 2006. Central pain control. Joint Bone Spine. Vol 73. pp. 10-16
Chaturvedi S., Chaturvedi A. 2007. Postoperative Pain and Its Management.
Indian J crit Care Med. Vol 11. pp. 204-211
Dewoto H. R. 2007. Analgesik opioid dan antagonis. Dalam: Gunawan S. G. (eds). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI, pp: 210-229 Dahlan M.S. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan; Deskriptif,
Bivariat, dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Edisi 3. Salemba Medika. Jakarta. pp: 60-69.
Farquhar-Smith P. 2007. Anatomy, physiology and pharmacology of pain.
Anesteshia and Intensive Care Medicine. Vol 9. pp. 1, 3-7
Gillis J. C., Bogden R. N. 1997. Ketorolak: a reppraisal of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties and therapeuti use in pain management. Drug. Vol 53. pp. 139-188
Guyton and Hall, 2007. “Sensasi Somatik: II. Sensasi Nyeri, Nyeri Kepala dan Sensasi Suhu”. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC. pp. 761-776
Huford W. E., Bailin M. T., Davidson J. K., Haspel K. L., Rosow C., Vassalo S. A. 2002. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusetts
General Hospital. 6th ed. Lippincott Williams and Wilkins Publishers. pp. 601-614
IASP. 1979. Subcomitte on taxonomy of pain teams : A list with definition and notes on usage. Pain. pp. 6249-6252
Ip H. Y. V, Abrishami A., Peng P. W. H., Wong J., Chung F. 2009. Predictors of Postoperative pain and Analgesic Consumption : A Qualitative Systematic Review. Journals. Vol 111. pp. 657-677
Ke R. W. 2001. A preemptive strike against surgical pain. Contemporary OB/GYN. Vol 4. pp. 65
McCaffery M., Pasero C. 1999. Pain: A Clinical manual. St Louis, MO: Mosby Millen S., Sheikh C. 2003. Anesthesia and surgical pain relief. Hospital Pharmacist. Vol 10. pp. 442-450
Omigui Sota. 1997. Obat-obat Anestesia. Edisi 2. Jakarta : EGC. pp. 133-186 Rawal N., De Andrés J., Fisher H. B. J., Ivani G., Mogensen T., Narchi P.,
Singelyn F. J., Stienstra R., Wulf H. 2005. Postoperative Pain
Management-Good Clinical Practice
http://www.esraeurope.org/PostoperativePainManagement.pdf (26
Februari 2011)
Sastroasmoro, S. Dan Ismael, S. 1995. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. Hlm. 182-183
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. pp. 149-159
Smith L. A., Carol D., Edwards J. E., Moore R. A., McQuarry J. H. 2000. Single dose ketorolak and pethidine in acute postoperative pain :systemic review with metaanalysis. British Journal of Anesthesia. Vol 84. pp. 48-58
Tamsuri A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC. pp. 1-63 Taufiqqurohman M. A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu
Kesehatan. Surakarta: CSGF
Tortora G. J., Derrickson B. H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology Sensory, Motor and Integrative System. 12th ed. Asia: Willey. pp. 626-629
Wilvana P. F., Gunawan S. G. 2007. Analgesik-antipiretik analgesik antiinflamasi nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Gunawan S. G. (eds). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI. pp. 230-246 Wirjoatmodjo K. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Direktorat jenderal pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. pp. 114-129
commit to user
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penanganan nyeri yang efektif saat ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari praktik bedah modern. Penanganan nyeri tidak hanya meminimalkan penderitaan pasien tetapi juga dapat mengurangi morbiditas dan memfasilitasi penyembuhan yang cepat (Rawar, 2005).
Nyeri merupakan reaksi fisiologis dan mempunyai sifat protektif untuk menghindari stimulus yang berbahaya bagi tubuh (Wirjoatmodjo, 2000). Namun, nyeri bisa menyebabkan keadaan yang membahayakan bagi pasien dan mempunyai efek samping pada endokrin dan sistem imun (Ip et al, 2009).
Nyeri pasca bedah merupakan kejadian pascabedah yang paling sering dilaporkan (Ip et al, 2009). Nyeri pascabedah adalah keadaan yang merugikan bagi pasien. Selain dirasakan secara fisik dan emosional, nyeri berhubungan dengan efek psikologis termasuk peningkatan respon stres perioperatif. Nyeri menyebabkan pasien imobilisasi sehingga menjadi rentan terhadap trombosis vena dalam, atelektasis pulmo, atrofi otot dan retensi urin (Chaturvedi dan Chaturvedi, 2007).
Nyeri pasca bedah terjadi karena kerusakan jaringan, jaringan yang rusak akan mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator inflamasi akan mensensitisasi dan mengaktivasi nosiseptor. Selanjutnya impuls diteruskan
commit to user 4 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nyeri
Definisi standar nyeri berdasarkan International Association for Study of Pain (IASP) adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial yang menandakan adanya kerusakan. Nyeri selalu bersifat subjektif (IASP,1979).
Nyeri adalah sensasi bagian tubuh, tetapi nyeri juga dirasakan tidak menyenangkan, karena itu maka nyeri juga termasuk pengalaman emosional (Sherwood, 2001).
Menurut Sherwood (2001) reseptor nyeri ada 3 macam, yaitu:
a. Reseptor mekanik, menerima signal dari adanya kerusakan mekanik.
b. Reseptor thermal, menerima signal dari suhu yang ekstrem, terlalu dingin atau terlalu panas.
c. Reseptor polimodal, menerima signal dari semua jenis stimulus yang merugikan, termasuk iritasi dari bahan kimia dan kerusakan jaringan.
Reseptor nyeri tidak beradaptasi karena penting untuk pertahanan tubuh (Sherwood, 2001).
commit to user
21 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi. C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah penderita yang akan menjalani operasi dengan anestesi umum di RSUD Dr. Moewardi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi:
a. Pasien laki-laki atau perempuan. b. Usia 18-45 tahun.
c. Status fisik penderita ASA I-II. d. Lama operasi kurang dari 2 jam.
e. Operasi laparotomi bawah: kasus obgyn
f. Setuju menjadi sampel penelitian dengan menandatangani informed consent.
commit to user
30 BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Sampel
Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus – Oktober 2011 dengan sampel sebanyak 34 yang dibagi menjadi dua kelompok. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Masing-masing kelompok terdiri dari 17 sampel. Kelompok I diberi ketorolak intravena 30 mg pascabedah dan Kelompok II diberi fentanil intravena 1µg/kgBB pascabedah.
Kelompok I (ketorolak) dan Kelompok II (fentanil) dibandingkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang bermakna. Perbedaan antara kedua kelompok tersebut meliputi umur, berat badan, tekanan sistolik, tekanan diastolik, dan denyut nadi sebelum pembedahan.
Tabel 1 Data Karakteristik Sampel Sebelum Pembedahan
Variabel p Umur Berat badan Tekanan sistolik Tekanan diastolik Denyut nadi 0,072 0,279 0,181 0,109 0,379
commit to user
34 BAB V PEMBAHASAN
A. Karakteristik Sampel
Pada kedua kelompok penelitian, sebelum perlakuan dilakukan pengukuran umur, berat badan, tekanan sistolik, tekanan diastolik dan denyut nadi (Tabel 1). Pengukuran dilakukan karena keempat variabel tersebut mempengaruhi hasil penelitian. Kriteria inklusi umur ditetapkan 18-45 tahun karena pada usia tersebut secara fisiologis tubuh sudah dianggap dewasa dan rata-rata ambang batas nyeri sama. Berat badan berpengaruh pada penelitian ini juga, hal ini berkaitan dengan kelarutan obat. Tekanan sistolik, tekanan diastolik dan denyut nadi berhubungan dengan hemodinamik.
Hasil uji statistik data karakteristik sampel pada Tabel 1 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara dua kelompok penelitian. Hasil uji statistik dengan uji Shapiro Wilk menunjukkan semua p value > 0,05. Dari hasil tersebut menyatakan bahwa data yang digunakan untuk penelitian ini homogen dan variabel-variabel tersebut tidak mempengaruhi hasil penelitian.
Pada penelitian ini tidak diuji beda jenis kelamin karena semua sampel adalah wanita. Salah satu kriteria inklusi adalah sampel merupakan pasien bedah abdomen bawah. Pada penelitian ini semua sampel merupakan pasien kandungan, sehingga data jenis kelamin homogen.
commit to user
39 BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Fentanil 0,9 µg/kgBB intravena lebih efektif menangani nyeri pascabedah yang diberikan pada pasien pulih sadar dibandingkan dengan ketorolak 0,6mg/kgBB intravena.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengamatan yang lebih lama, jumlah sampel yang lebih banyak dan teliti dalam menilai dengan parameter visual analogue scale.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan parameter yang berbeda dalam mengukur nyeri, misalnya dengan parameter kadar katekolamin.
3. Pasien kelompok ketorolak dalam penelitian ini pemberian ketorolak tetap diteruskan untuk mencegah kejadian nyeri berikutnya. Kelompok fentanil pemberian fentanil diteruskan dengan infus.
4. Obat analgesik golongan OAINS seperti ketorolak lebih baik diberikan saat sebelum dilakukan pembedahan.