Tinjauan Buku
Sebuah Varian dari P.R.A.
1 Dari segi perkembangan, metode ini seringkali ditanggapi sebagai metode perbaikan dari R.R.A. (Rapid Rural Appraisal atau Rapid Rural Assessment) (cf. Soehendera 1994).
2 Menurut The World Bank Group (2000:1), the purpose of P.R.A. is to enable development practitioners, government officials, and local people to work together to plan context appropriate programs.
P.R.A.–Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan
Pengabdian kepada Masyarakat,
Modul Latihan
Oleh: Kusnaka Adimihardja dan Harry Hikmat Bandung: Humaniora Utama Press
2001, vii + 117 halaman
Ditinjau oleh: Djaka Soehendera
(Universitas Pancasila)
Buku ini terdiri dari enam bagian, yakni Pendekatan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat, Mitra Kerja Sama, Pemetaan Masalah, Potensi dan Sumber-Sumber Sosial, Perencanaan Partisipatif, serta Monitoring Evaluasi. Selebihnya berupa lima lampiran yang membahas—secara praktis maupun agak teoretis—tentang P.R.A. Selain itu, hampir dalam setiap bagiannya disertakan ‘latihan’ dan ‘diskusi’. Buku ini memang ditujukan untuk modul latihan (lapangan). Lampiran yang ada di antaranya berisi contoh-contoh penerapan P.R.A. di beberapa tempat sehingga dapat melengkapi latihan dan diskusi tersebut.
Sebagai metode yang relatif baru (mulai awal 1980-an), P.R.A. menjadi cepat populer dan dibicarakan berbagai pihak, serta diterapkan oleh pelbagai lembaga dan kelompok masyarakat.1
Bahkan kecenderungan belakangan ini, P.R.A. bukan hanya diterapkan pada negara-negara sedang berkembang, melainkan juga di negara-negara Utara (Chambers 1999:132). Metode ini tidak saja digunakan oleh kalangan ornop dan masyarakat, tetapi juga oleh pihak pemerintah.2
Penerapannya pun semakin meluas, dari daerah pedesaan bergeser ke daerah urban. Menurut Mikkelsen (1999:74), P.R.A. tidak harus diterapkan di pedesaan; juga tidak perlu harus berupa penilaian, sekalipun huruf A menunjuk pada kata assessment (atau appraisal) yang artinya penilaian atau kegiatan serta tidak harus selalu berlangsung cepat (rapid).
Buku ini tidak menjabarkan pengertian P.R.A. sebagai Participatory Rural Appraisal atau
Participatory Rapid Appraisal ataupun Participatory Rapid (atau Rural) Assessment, melainkan
sebagai Participatory Research Appraisal. Ada Penekanan pada kata ‘penelitian’ di sana. Sementara munculnya P.R.A. antara lain dilatarbelakangi oleh kritik para aktivis pengembangan dan pemberdayaan masyarakat terhadap penelitian ‘klasik’ yang lebih banyak memposisikan masyarakat sekedar sebagai obyek penelitian. Penelitian dalam P.R.A. tidak hanya entitas yang berdiri sendiri, melainkan ditanggapi sebagai bagian yang integral dalam proses keseluruhannya. Cakupan P.R.A. bukan hanya terdiri dari riset, melainkan juga perencanaan (partisipatif), moni-toring, dan evaluasi. Bahkan, pada beberapa tulisan hasil aktivis ornop dimasukkan pula bagian penting lainnya, yakni O dan M (operation and maintenance) dari proyek yang juga partisipatif. Dalam P.R.A. memang terdapat kegiatan penelitian, yakni dengan cara: (a) mengumpulkan data dan informasi, (b) menganalisis informasi, (c) mengumpulkan dan menganalisis data, misalnya dengan menggunakan diagram, dan (d) komunikasi (Mikkelsen 1999:78). Bila demikian, pentinglah menelusuri pemaparan dan analisis buku ini berkenaan dengan penggunaan kata ‘research’ tersebut.
Pada halaman 15–16 dipaparkan berbagai jenis nama yang terkait dengan teknik pemberdayaan yang dikatakan memiliki misi sama, yakni: Participatory Rural Appraisal,
Par-ticipatory Research and Development, ParPar-ticipatory Rapid Appraisal, ParPar-ticipatory Assess-ment and Planning, Participatory Technology DevelopAssess-ment, Participatory Learning Meth-ods, Participatory Action Research,3 dan Participatory Learning and Action.4 Sayangnya,
kedua penulis belum sempat memaparkan perbedaan dan persamaan dari masing-masing pengertian. Kita juga tidak dapat menemui batasan (rinci) dari P.R.A. yang mereka paparkan. Bahkan, uraian mengenai penekanan ataupun nuansa (nuance) metode yang satu ini— dibandingkan dengan metode sejenisnya—juga tidak terpaparkan. Pembaca dapat beranggapan bahwa pengertian P.R.A. dalam buku ini sama dengan pengertian P.R.A. yang lazim digunakan oleh beberapa penulis (lihat Driya Media 1996; Chambers 1996), hanya saja kata ‘rural/rapid’ digantikan oleh ‘research’. Padahal, kata ‘research’ dapat berkonotasi lain.
Mengapa kata ‘research’ patut disikapi dengan seksama? Alasannya karena riset ‘klasik’ yang selama ini diterapkan terlalu bertekanan pada ‘obyektivitas’ dan perbedaan antara peneliti dan obyeknya. Pendekatan atas situasi sosial semacam ini telah mengutamakan pengembangan model riset yang berusaha mempertahankan pemisahan antara peneliti dan orang-orang yang berada dalam sistem yang dipelajari. P.R.A. justru menolak hal tersebut (Walter dan Tandon 1993:5–8). Menurut Effendi (1996:9), dalam penelitian survey (‘klasik’) masyarakat cenderung dijadikan obyek saja dan kurang terlibat dalam merumuskan masalah dan penyusunan kebijakan. Kelak, dalam penerapan kebijakan hasil penelitian tersebut masyarakat hanya bertindak sebagai orang yang menerima, bukan sebagai pelaku dan pelaksana.
3 Menurut IISD (2000:1), PAR is more activist approach, working to empower the local community, or its representatives, to manipulate the higher level power structures.
4 Selain itu, Bank Dunia juga mengembangkan P.P.A.–Participatory Poverty Assessment– disebutkannya: ’…Un-like household surveys, which collect statistical data on the extent of poverty through standardized methods and rules, PPAs focus on processes and explanations of poverty as defined by individuals and communities within an evolving, flexible, and open framework’ (Robb 1999: 4).
Pendekatan P.R.A., setidaknya untuk sebagian, memang lebih mengarah kepada penelitian antropologis, dibanding dengan penelitian survei.5 Meskipun demikian, P.R.A. tidak berhenti
sampai di situ. Ada beberapa unsur dalam metode antropologi yang juga ditanggapi secara kritis oleh P.R.A. Sekedar contoh, proses ‘going native’ (menjadi bagian dari ‘obyek’ yang diteliti pada penelitian sosial klasik) adalah hal terlarang dalam penelitian antropologi. Going native bahkan tak jarang dianggap sebagai kegagalan peneliti secara ilmiah. Padahal, langkah ‘going
native’ justru menjadi prasyarat penting dalam pelaksanaan P.R.A. Sikap empati pada masyarakat,
misalnya, adalah hal penting dalam P.R.A. Selain itu, sejak awal dalam P.R.A. digariskan adanya partisipasi masyarakat secara ‘berdiri sama tinggi, duduk sama rendah’ dengan pihak luar (peneliti misalnya). Mereka bukan sekedar sebagai obyek penelitian dengan adanya jarak yang terus-menerus dipelihara antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti. P.R.A. seringkali dianggap sebagai langkah (dan proses) pembalikan pemahaman, karena pihak luar belajar dari masyarakat desa secara langsung. Pihak luar (termasuk peneliti), lebih bersikap dan berperan sebagai fasilitator (Chambers 1999:2–5). Dalam penelitian sosial klasik, termasuk penelitian kualitatif, peneliti tetap disosokkan sebagai pemeran utama dalam proses penelitian. Sementara itu, penelitian etnografi juga cukup lama menjadi hal yang dikritisi dalam P.R.A. Waktu menjadi semakin berharga karena dalam P.R.A. bukan proses penelitian—yang berlama-lama—yang dipentingkan. Salah satu prinsip P.R.A. adalah ‘belajar secara cepat dan progresif’ (Mikkelsen 1999:76).
Oleh karena P.R.A. lebih sebagai proses yang berkelanjutan dan terus-menerus dikembangkan, maka pendekatan ini juga banyak menyerap—secara kritis—gagasan dan pendekatan dari
ap-plied anthropology (antropologi terapan). Gagasan itu antara lain: (a) belajar di lapangan
merupakan suatu seni yang luwes, dan bukan ilmu pengetahuan yang kaku; (b) pentingnya nilai dan hidup menetap di desa; (c) adanya pengamatan pelaku yang tidak tergesa-gesa dan dilaksanakannya percakapan yang berkelanjutan; (d) pentingnya sikap, tingkah laku dan hubungan (sosial); (e) perbedaan antara cara pandang etik dan emik; serta (f) kesahihan pengetahuan lokal.
Bila diperhatikan, kesamaan penjabaran dari P.R.A. dengan metode penelitian antropologi rupanya ‘hanya’ pada kata participatory (lihat Driya Media 1996; Chambers 1996; 1999). Dalam filosofi metode P.R.A., kata partisipasi menjadi hal terdepan dalam proses multi pendekatan yang diterapkannya. Partisipasi juga berarti upaya prosesual untuk pemberdayaan masyarakat secara mandiri.6 P.R.A., menurut Chambers (dikutip dari Mikkelsen 1999:75), memungkinkan
orang-orang desa mengungkapkan dan menganalisis situasi mereka sendiri, lalu secara optimal merencanakan dan melaksanakan tekad itu di desanya sendiri.
Metode yang mulanya diterapkan untuk masyarakat pedesaan (rural society) ini kemudian dikembangkan pula ke kelompok-kelompok masyarakat lainnya, termasuk masyarakat di perkotaan (urban area). Satu hal yang harus diingat, mereka harus termasuk kesatuan sosial yang terkategori sebagai grass-root (‘akar rumput’). Dalam kaitan ini, Duangsa (1996:5) menegaskan bahwa P.R.A. adalah suatu proses partisipatori, proses pemberdayaan untuk semua pihak yang terlibat,
6 Sehubungan dengan itu, The World Bank Group (2000:1) menyatakan bahwa P.R.A is a label given to a growing family of participatory approaches and methods that emphasize local knowledge and enable local people to make their own appraisal, analysis, and plans.
khususnya bagi yang dirugikan—oleh proses pembangunan—seperti penduduk/masyarakat. Bagaimanaupun juga buku kecil7 ini berguna untuk memperkaya metode P.R.A., metode
yang disebut oleh Chambers (1999:1–2) lebih bersifat open sources, terbuka untuk siapa pun, terutama aktivis pemberdayaan masyarakat.8 Faktanya memang tidak ada pihak mana pun yang
menyatakan bahwa merekalah penemu unsur-unsur tertentu dalam P.R.A. atau malah penggagas metode yang penting ini.
Walaupun P.R.A. ditanggapi sebagai metode alternatif, bukan berarti tanpa kelemahan. Beberapa catatan yang terkumpul mengenai kelemahan P.R.A. adalah: P.R.A. dapat didiskriditkan karena penyalahgunaan, adopsi yang terlalu cepat, dan masuknya label tanpa substansi. Kata
rapid juga seringkali diidentikkan dengan ketergesa-gesaan. Hal lain adalah, adanya kesan
formalisme, yaitu dorongan yang kuat untuk membakukan dan menyusun buku petunjuk dan manual atas nama kualitas. Para pelaksana pun terkadang terjebak pada kebiasaan dan rutinitas. Akhirnya, para pioneer (pendahulu) dan ‘penemu’ dapat saja merasakan kebanggaan yang berlebihan.
Salah seorang penggagas awal P.R.A., yakni Chambers (1999: 6) bahkan telah memberikan catatan kritis pada metode yang satu ini. Dituliskannya antara lain bahwa ada perubahan dari kata appraisal (penilaian) menjadi proses, dari rural ke urban, dari penerapan lapangan menjadi penerapan dalam organisasi-organisasi, dari NGO (ornop) ke departemen-departemen pemerintah dan universitas, dari ‘selatan’ ke ‘utara’, dari action ke arah upaya mempengaruhi kebijakan, dari praktik ke teori (sesuatu yang sering dianggap sebagai ‘titik lemah’ P.R.A. pada sebagian kalangan akademisi).
Oleh karena itu, dalam langkah berikutnya para pemerhati dan atau pengguna metode ini nampaknya perlu menuliskan langkah-langkah, cakupan, dan latar belakang metodologinya secara lebih scientific sambil menelusuri perbandingannya dengan metode-metode riset ilmiah yang lain. Proses ini bukan saja berguna untuk memperkaya wacana (ilmiah) riset keilmuan, melainkan juga berfaedah untuk memperkuat landasan filosofis serta—kelak berimbas pada—langkah-langkah teknis P.R.A.
8 Untuk pelengkap contoh, di Thailand misalnya P.R.A diterapkan untuk menelusuri ‘Impact of the Economic Crisis’ (1998), dan di Zambia, P.R.A. digunakan untuk menelusuri ‘Causes and Impact of Early Initiation of Sex Among Girls’ (1996) (lihat Robb 1999:10).
7 Mengapa disebut buku kecil, karena walaupun jumlah halamannya 117, ternyata tulisan kedua penulis selesai hingga halaman 48 saja. Dari halaman 49–117 isinya merupakan lampiran yang berupa makalah, tulisan pendek, maupun langkah panduan P.R.A. dari berbagai lembaga. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa halaman 49–117 tidak berguna. Sebaliknya, halaman-halaman tersebut kebanyakan memaparkan langkah-langkah praktis pelaksanaan P.R.A. maupun evaluasi hasil P.R.A. di beberapa masyarakat dan proyek pembangunan. Bahkan, beberapa tulisan menyertakan catatan kritis tentang P.R.A.
Kepustakaan
Chambers, R.
1996 P.R.A.—Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta:
Kanisius, Oxfam dan Yayasan Mitra Tani.
1999 ‘Relaxed and Participatory Appraisal: Notes on Practical Approaches and Methods’, Notes for Participant dalam P.R.A. Familiarization Workshop. Brighton: Institute of Development Studies. University of Sussex. Hlm. 1–23.
Driya Media
1996 Berbuat Bersama Berperan Serta. Acuan Penerapan Participatory Rural Appraisal. Bandung:
Driya Media untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Duangsa, D.
1996 ‘Part II: Principles for a Proposed Participatory Rural Appraisal Model and Implications for Practice’, Report on the Participatory Rural Appraisal Workshop a NGO Commune. A Luoi, Hue, Vietnam. Hlm. 1–24.
Effendi, T.N.
1996 ‘Kata Pengantar’, dalam R. Chambers, P.R.A.—Participatory Rural Appraisal, Memahami
Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius, Oxfam, dan Yayasan Mitra Tani. Hlm. 9–11.
IISD,
2000 ‘Participatory Action Research (PAR), A Guide for Field Projects on Adaptive Strategies’, from IISDnet (http://iisd1.iisd.ca/cast/CASLGuide/PAR.htm). December 2000. Hlm. 1–2. Mikkelsen, B.
1999 Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan, Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Robb, C.
1999 Can the Poor Influence Policy? Participatory Poverty Assessments in the Developing World. Direction in Development . Washington D.C.: The World Bank.
Soehendera, D.
1994 ‘Pengantar Metode Partisipatory Rural Appraisal’, Kursus Perencanaan Proyek-Proyek Pertanian dan Agro-Industri di LPEM-FEUI. Jakarta. Hlm. 1–25.
The World Bank Group.
2000 ‘Participatory Rural Appraisal, Collaborative Decision Making: Community–Based Method’, dalam The World Bank Participation Sourcebook . Jakarta. Hlm. 1–4. Walter, F. dan R.Tandon
1993 Riset Partisipatoris, Riset Pembebasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan