• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur bagaimana tata cara atau prosedur penanganan jika terjadi pelanggaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mengatur bagaimana tata cara atau prosedur penanganan jika terjadi pelanggaran"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.1 Oleh karena itu perlu adanya penegakan untuk memberikan efek jera pada setiap masyarakat.

Dalam hukum pidana, jika terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana materiel, maka untuk dapat menerapkan sanksi yang ada didalamnya membutuhkan peranan dari hukum pidana formil yaitu hukum acara pidana. Hukum acara pidana mengatur bagaimana tata cara atau prosedur penanganan jika terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana materiel.

Tahap awal ketika penanganan perkara pidana adalah tindakan penyelidikan yang diatur dalam Pasal 102 sampai dengan Pasal 105 KUHAP, yang menurut M. Haryanto, sumber penyelidikan tersebut adalah :

a. Penyelidik mengetahui suatu peristiwa yang patut diduga sebagai suatu peristiwa pidana.

b. Adanya Laporan/Pengaduan c. Tertangkap tangan.2

1 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung,2001, hal.

1.

(2)

2

Apabila di dalam suatu penyelidikan ditemukan tindak pidana dan dapat dilakukan penyidikan, maka penyelidik menyerahkan penyidikan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan bukti, yang dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.

Ketika penyidik melakukan tindakan penyidikan, yang menurut KUHAP untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dalam rangka mencapai tujuan KUHAP untuk menemukan kebenaran materiel, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan upaya paksa, yaitu berupa penyitaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan. Terkait dengan penyitaan, menurut Andi Hamzah, diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyita atau pengembalian milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Proses penegakan hukum mengesahkan adanya suatu tindakan berupa penyitaan.3

Menurut Darwan Prints penyitaan adalah “suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang. Baik barang-barang yang merupakan milik tertersangka/terdakwa ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian.4

Pasal 1 butir (16) KUHAP berisi rumusan ketentuan: “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah pengusaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak

3Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Kriminal melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1986, hal: 122.

(3)

3

berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”

Tindakan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.5 Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bila mana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapatkan persetujuannya.6 Pada penyitaan terdapat bentuk-bentuk penyitaan yaitu:

a. Penyitaan Biasa

b. Penyitaan dalam Keadaan Perlu dan Mendesak c. Penyitaan dalam keadaan Tertangkap Tangan d. Penyitaan tidak Langsung

e. Penyitaan Surat atau Tulisan lain.7

Dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik dapat langsung menyita sesuatu benda dan alat: yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda dan alat yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.8 Menurut pasal 39 KUHAP, barang atau benda yang dapat disita adalah sebagai berikut:

1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

5Pasal 38 ayat 1 KUHAP.

6Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, 2002, hal: 145.

7M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Jakarta: Penerbit Sinar

Grafika, hal:. 266-273.

8 https://interpretasihukumalbasiussembiring.wordpress.com/2016/09/04/upaya-hukum-terhadap-penyitaan/, tanggal 28/02/2019 Jam 12.16.

(4)

4

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa atau sebagian diduga di peroleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau pidana karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi kekuatan ayat (1).

Terhadap barang-barang yang disita tersebut, nantinya oleh Hakim statusnya akan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkaranya. Artinya, di dalam Majelis Hakim mengadili suatu perkara tidak hanya akan memutuskan apakah terdakwa benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum, tetapi juga harus memutuskan status barang yang disita atau sering disebut dengan barang bukti. Putusan itu dapat berupa pengembalian. Hal itu diatur dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP, yaitu pengembalian benda sitaan berdasarkan putusan pengadilan didasarkan pada mereka yang disebut dalam putusan, kecuali dalam putusan Hakim benda itu:

(5)

5

b. Dirampas untuk dimusnakan,

c. Disita untuk bukti dalam perkara lain.

Selain mengenai benda sitaan yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, pada prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita atau kepada mereka “yang paling berhak”.9 Menurut M.

Haryanto, ada dua prinsip yang mengatur:

a. Apabila benda sitaan masih diperlukan maka tetap disita; b. Apabila benda sitaan sudah tidak diperlukan;

1) Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; 2) Perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau bukan tindak

pidana/;

3) Perkara dikesampingkan demi kepentingan umum;

4) Perkara ditutup demi hukum, karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia atau karena daluwarsa. Benda sitaan dapat dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau mereka yang paling berhak.10

Terkait dengan barang bukti yang disita berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara perikanan, penulis tertarik dengan keputusan Pengadilan. Dalam perkara Nomor: 89/Pid.B/2012/PN/SKD dan Nomor: 2563 K/Pid.Sus/2015. Dalam perkara tersebut yang menjadi terdakwa adalah Hayat Bin M. Ali HR, dan barang bukti yang disita, yaitu:

- Jaring trawl/pukat harimau yang telah dimodifikasi bentuknya

- Uang hasil lelang ikan sebesar Rp. 2.508.000,- (dua juta lima ratus delapan ribu rupiah)

- 1 unit kapal KM Cahaya 01 Merk Fuso 6 GT

Tuntutan pidana dari Penuntut Umum terdakwa Hayat Bin M. Ali HR bersalah melakukan tindak pidana perikanan “Selaku Pemilik Kapal

9 M. Yahya Harahap, Ibid, hal: 393.

10M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama: Universitas Kristen Satya Wacana, 2013,

(6)

6

menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan atau alat tangkap yang tidak direkomendasikan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 84 ayat (3) UU RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana dirubah dengan UU RI No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Terdakwa Hayat Bin M. Ali HR dituntut pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara11. Pada tuntutan ini, terkait dengan barang bukti penuntut umum juga memohon kepada majelis hakim memutuskan sebagai berikut:

Barang yang dirampas untuk negara

- 1 (satu) unit Kapal KM Cahaya 01 Merk Fuso,

- Uang hasil lelang ikan sebesar Rp 2.508.000,- (dua juta lima ratus delapan ribu rupiah).

Barang yang dirampas untuk dimusnahkan

- 1(satu) unit alat tangkap tidak ramah lingkungan atau alat tangkap yang tidak direkomendasikan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan berupa jaring trawl/ pukat harimau yang telah dimodifikasi bentuknya.

Sedangkan dalam Amar Putusan Majelis Makim Nomor: 89/Pid.B/2012/PN/SKD menyatakan terdakwa Hayat Bin M. Ali HR terbukti bersalah melakukan dengan sengaja usaha penangkapan ikan menggunakan alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan. Dari Putusan Majelis Hakim juga menyatakan terkait barang bukti ada yang dirampas untuk negara/ dimusnahkan dan ada yang dikembalikan kepada terdakwa yaitu:

(7)

7

- Barang yang dirampas untuk dimusnakan: Jaring trawl/pukat harimau yang telah dimodifikasi bentuknya.

- Barang yang dirampas untuk negara: uang hasil lelang ikan sebesar Rp 2.508.000, - (dua juta lima ratus delapan ribu rupiah).

- Barang yang dikembalikan: 1 unit kapal KM Cahaya 01 Merk Fuso 6 GT.12 Menurut Pasal 76a Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang berbunyi:

“Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.”

Memperhatikan putusan majelis hakim pada perkara No: 89/Pid.B/2012/PN/SKD yang menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana di bidang perikanan, yaitu melakukan usaha perikanan tanpa izin diwilayah perairan Indonesia. Akan tetapi terhadap barang bukti yang digunakan terdakwa untuk melakukan tindak pidana di bidang perikanan, yaitu sebuah kapal dikembalikan kepada terdakwa. Dari putusan tersebut, membuat terdakwa tidak mendapatkan efek jera (detterent effect) dari kesalahan yang diperbuat agar tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Bila dibandingkan dengan putusan lain yaitu berdasarkan Putusan Nomor: 2563 K/Pid.Sus/2015 dengan terdakwa CHEN XIANGQI selaku fishing master dan terdakwa FADLAN LATUKAU selaku Nahkoda KM. Sino 26. Dengan menggunakan kapal milik Perusahaan PT. Sino Indonesia Sunlinda Fishing, para terdakwa menjalankan kapal tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

12 Putusan perkara Nomor: 89/Pid.B/2012.PN.SKD dengan terdakwa Hayat Bin M. Ali HR, hal.

(8)

8

Dalam dakwaan lainnya menyatakan ternyata hasil tangkapan ikan yang ditampung di dalam KM. Sino 26 sebanyak ± 6000 pang jenis ikan campuran yang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap Pukat Ikan namun alat tangkap Pukat Ikan (Fish Net) ukuran mesh size kantong 70 mili meter tidak sesuai SIPI sedangkan berdasarkan dokumen SIPI Kapal KM. Sino 26 sebagai kapal penangkap ikan jenis alat tangkap Pukat Ikan rata-rata 50 mili meter sampai dengan 65 mili meter dan terdapat alat pemberat besi pada Ground Rope (taliris bawah) yang seharusnya menggunakan bahan sintek PE (Poly Ethylene) dan terdapat rangkap kantong jaring. Dalam putusan oleh Mahkamah Agung menyatakan mengenai barang bukti:

- 1 (satu) unit Kapal KM. Sino 26

- Perlengkapan Kapal KM. Sino 26, berupa alat tangkap jaring dan pemberat besi;

- Dokumen-dokumen Kapal KM. Sino 26; Dirampas untuk Dimusnahkan;

- Uang hasil lelang barang sitaan berupa ± 130 ton ikan campuran sebesar Rp 764.400.000,00 (tujuh ratus enam puluh empat juta empat ratus ribu rupiah);

Dirampas untuk Negara;

(9)

9

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi inti permasalahan adalah:

Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim terkait dengan memutuskan barang bukti kapal dibidang perikanan dalam Putusan Perkara: 89/Pid.B/2012/PN.SKD dan Putusan Perkara: 2563 K/Pid.Sus/2015 ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini untuk mengetahui yang menjadi pertimbangan hakim dalam putusan terkait dengan barang sitaan dalam perkara tindak pidana perikanan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan ilmu hukum pada umumnya, dan perkembangan bidang hukum acara pidana khususnya terhadap putusan terkait dengan barang sitaan dalam perkara tindak pidana perikanan.

2. Manfaat Praktis

Memberi gambaran kepeda masyarakat mengenai terkait dengan barang sitaan dalam perkara tindak pidana perikanan.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

(10)

10

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum Normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi13 penelitian hukum normatif terkait pertimbangan hakim dalam memutuskan barang bukti.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian hukum ini menggunakan untuk jenis-jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani14. Menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang - Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagaimana dirubah dengan UU Nomor 45 tahun 2009 tentang perikan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu yang sedang dihadapi, dan telah menjadi putusan yang

13Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006, hal:

35.

(11)

11

mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus yang digunakan yaitu perkara di bidang perikan Putusan Nomor: 89/Pid.B/2012/PN.SKD.

c. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.

3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian dikenal ada 2 macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka data yang dugunakan adalah data sekunder yang berupa sumber hukum. Sumber hukum tersebut dapat berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-undang.15 Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah peraturan perundang-perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer adalah:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

15https://ngobrolinhukum.wordpress.com/data-sekunderdalam-penelitian-hukum-normatif/

(12)

12

2) Undang - Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagaimana dirubah dengan Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP; dan

4) Putusan Nomor: 89/Pid.B/2012/PN.SKD. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder maka peneliti akan terbantu untuk memahami/menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa: Buku Hukum Acara pidana, Jurnal Hukum, dan Website, yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tersier adalah adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum tersier yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4. Unit Amatan dan Unit Analisis a. Unit Amatan

(13)

13

2) Ketentuan yang mengatur tentang barang bukti dalam Undang - Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagaimana dirubah dengan Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

4) Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara No: 89/Pid.B/2012/PN/SKD

b. Unit Analisis

Pertimbangan hakim terkait pengembalian barang bukti dalam tindak pidana di bidang perikanan dalam putusan perkara nomor: 89/Pid.B/2012/PN.SKD.

Referensi

Dokumen terkait

Gastritis disebabkan oleh infeksi kuman hellocobactery pylory ibfeksi mulkosa lambung menunjukan adanya respon inflamsi akut dan jika tidak diabaikan menjadi kronik. Gastritis

NFC tidak rentan terhadap suatu serangan, sehingga NFC menjadi metode yang ideal untuk mengamankan perangkat (mengirim dan menerima data atau informasi dengan

Adapun pemberlakuan MEA dalam hal ketenagakerjaan akan menjadi pedang bermata dua bagi negara-negara anggotanya, dengan artian negara yang memiliki tenaga kerja potensial

rencana tindak lanjut, kesimpulan Laporan analisis situasi keamanan pangan 45 jam Muda Madya 5 Melakukan komunikasi resiko keamanan pangan  Menetapkan sasaran komunikasi risiko.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan persepsi akademisi yaitu strata-1 dan dosen dengan strata-2 dan profesi akuntansi tentang Akuntansi forensik tidak sama

Pengembangan Modul budaya berbasis kearifan lokal Banten ini dikatakan terselesaikan apabila telah melalui enam tahap pengembangan dengan menggunakan model pengembangan

Implikasi penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi lembaga wakaf yang ada di Indonesia untuk mengembangkan pengelolaan dana wakaf produktif untuk

73 Penelitian ini berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,