• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelusuran pustaka yang dikaji untuk melihat, bahwa peneloitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelusuran pustaka yang dikaji untuk melihat, bahwa peneloitian"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Hasil penelusuran pustaka yang dikaji untuk melihat, bahwa peneloitian dnegan judul “Morfologi Bahasa Rote Dialek Dengka: Kajian Morfologi Generatif” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Temuan pustaka yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti terdahulu dapat dijadikan sebagai rujukan serta data pembanding dalam penelitian ini.

Sukanadi (2003) dalam tesisnya yang berjudul “Kata Majemuk Bahasa Sumbawa Berdasarkan Perspektif Teori X-bar”, menganalisis tiga aspek KMBS yakni 1) ciri-ciri kata majemuk, 2) tipe kata majemuk, dan 3) kaidah proyeksi inti kata majemuk. Hasil analisis KMBS memperlihatkan (1) perbedaan ciri KMBS dengan frase dan idioms bahasa Sumbawa juga memperlihatkan ciri-ciri semantis dan morfologis, (2) tipe KMBS memperlihatkan kata majemuk dasar, kata-kata pembentukan kata majemuk dasar, memiliki kategori, seperti nomina, adjektiva, verba, numeral, adverb, dan kata prakategorial. Reduplikasi terdapat dua jenis, yaitu reduplikasi sebagian dan reduplikasi penuh, (3) sebagian besar KMBS yang diuji melalui parameter semantis dan morfologis bersifat endosentris. KMBS memiliki inti dan intinya berada pada posisi kiri konstituen. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan KMBS eksosentris dalam jumlah yang relatif terbatas.

Penelitian Sukanadi hampir memiliki kesamaan dengan salah satu rumusan masalah dalam penelitian yang akan dilakuan dalam BRDD yaitu proses pemajemukan. Perbedaan antara penelitian ini dan hasil penelitian Sukanadi,

(2)

terletak pada pendekatan teori yang digunakan dan bahasa yang yang dijadikan sebagai objek penelitian. Walaupun terdapat perbedaan pendekatan teori dan sumber data kebahasaan, penelitian Sukanadi masih dalam satu bidang ilmu yang sama, yaitu morfologi. Hal ini sangat membantu peneliti karena temuan Sukanadi dalam KMBS dapat dijadikan sebagai data pembanding dalam menganalisis proses pemajemukan BRDD.

Sukri (2008) meneliti “Sistem Morfologi Bahasa Sasak Dialek Kuto-Kute: Kajian Transformasi Generatif”. Hasil pembahasan proses morfologis BSDK, diklasifikasikan atas 12 kaidah yakni 1) kaidah prefiks nasal /ŋ-/, 2) kaidah penambahan nasal /ŋ-/, 3) kaidah penembahan nasal /n-/, 4) 5) kaidah penambahan semi vokal /y,w-/, kaidah penambahan vokal /ә/, 6) kaidah pelesapan bunyi obstruen, 7) kaidah pelesapan konsonan /h-/, 8) kaidah pelesapan konsonan /s-/, 9) kaidah pelesapan vokal /ә/, 10) kaidah Geminasi konsonan obstruen, 11) kaidah pengunduran vokal, dan 12) kaidah berurutan.

Pada proses morfologis dalam BSDK terdapat afiks-afiks yang dapat mengubah kategori sintaksis suatu kata. Afiks-afiks pembentuk verba meliputi: prefiks {meŋ-}, {ŋ-}, sufiks {-aŋ}, {-iŋ}, {in-}, dan konfiks {[ŋ-]-[-an]}; afiks pembentukan nomina: prefiks {peŋ-}, infiks {-əl-}, {ər-}, {əm-}, sufiks {-an}, konfiks {ke-(an)}, konfiks {pəŋ-(an)}; afiks pembentuk adjektiva: sufiks {-an}, konfiks {peŋ-(-an)}; afiks pemarkah transitif {ŋ-}; afiks pemarkah intransitif {ŋ}, afiks pemarkah kausatif {-aŋ}; dan afiks pemarkah aplikatif {-in}.

Dalam disertasinya Sukri telah membahas sistem morfologi BSDK dan mengklasifikasikan proses morfologis BSDK dengan fokus analisis pada sistem

(3)

morfologi, dengan pendekatan teori transformasi generatif. Pembahasan yang dilakukan mencakup semua jenis afiks dalam BSDK dan pembahasan ini sangat bermanfaat untuk dijadikan rujukan dalam menganalisis proses afiksasi BRDD. Penelitian Sukri masih sebidang ilmu dengan penelitian ini, yaitu sama-sama membahas morfologi dengan pendekatan teori yang sama dari teori payung yaitu generatif sehingga dapat memberikan kontribusi bagi penelitian ini, baik itu dari segi teori maupun data. Adapun hal yang membedakan penelitian Sukri dengan penelitian ini adalah objek bahasa yang dijadikan sebagai target analisis.

Muskananfola (2010) meneliti “Morfofonemik Bahasa Rote Dialek Termanu”. Hasil analisis dalam penelitian tersebut berfokus pada satu bentuk proses pembentukan kata, yaitu afiks. Afiks dalam bahasa Rote dialek Termanu (BRDT) berupa prefiks, sufiks, dan konfiks. Berdasarkan data BRDT ditemukan delapan belas afiks yang terdiri atas sebelas prefiks (da-, lo-, ka-, ma-, mana-, maka-, pa-, ta-, tu-, sa-, dan su-), tiga sufiks (-k, -n, dan -s), dan empat konfiks (ma- + -k, mana- + -k, ma- + -n, dan maka- + -n). Sementara proses morfofonemik BRDT berupa proses pemunculan fonem, dan pengekalan fonem, sedangkan proses peluluhan fonem, perubahan fonem, pergeseran fonem, pelesapan fonem, penyisipan fonem secara historis, pemunculan fonem berdasarkan pola bahasa asing dan variasi fonem bahasa sumber tidak ditemukan. Proses pengekalan fonem prefiks, yakni {da-, ka-, lo-, pa-, ta-, tu-, sa-, dan su-} dan proses pemunculan fonem {w dan y}.

Penelitian Muskananfola memiliki persamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama berobjekkan bahasa Rote dengan pendekatan teori yang sama, teori

(4)

morfologi generatif. Adapun hal-hal yang berbeda dalam penelitian tersebut, yaitu dialek yang dibatasi pada morfofonemik. Analisis Muskananfola dalam BRDT membahas satu jenis proses pembentukan kata, yaitu afiksasi. Sementara dalam penelitian ini, dibahas tiga jenis pembentukan kata yang mencakup afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan.

Penelitian Muskananfola dalam BRDT sangat bermanfaat bagi peneliti untuk dijadikan sebagai data pembanding dalam menganalisis proses afiksasi BRDD.

Indriyani (2010) meneliti “Proses Morfofonemik Bahasa Musi”. Proses pembentukan kata yang dianalisis dalam penelitian tersebut adalah bentuk-bentuk afiks, yaitu prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Hasil analisis memperlihatkan terdapat tiga belas afiks dalam bahasa Musi (BM) yang terdiri atas enam prefiks (ba, ta, di, ka, pa, dan sa), tiga infiks (al, am, dan –ar), tiga sufiks (am, -i, dan -ke); dan satu simulfiks N- dengan variasi alomorf (ŋ, m, n, ɲ, ŋə, dan ma). Proses morfofonemik BM hanya berupa proses peluluhan fonem, perubahan fonem, dan pengekalan fonem, proses lain, seperti pemunculan fonem, perubahan dan pergeseran fonem, pelepasan fonem, penyisipan fonem secara historis, pemunculan fonem berdasarkan pola bahasa Asing, dan variasi fonem bahasa tidak ditemukan. Proses perubahan fonem terjadi pada simulfiks N- dengan alomorf {ŋ, m, n, ɲ, ŋə, dan ma-} dan prefiks {ba-, ta-, di-, ka-, pa-, sa-}, sedangkan proses pengekalan fonem terjadi pada simulfiks N- dengan alomorfnya {θ, ba-, ta-, di-, sa-} dan pada sufiks {-an, -i, -ke }.

(5)

Penelitian Indriyani tidak membahas proses pembentukan kata dalam tataran reduplikasi dan pemajemukan. Hal ini yang membedakan dengan penelitian dalam BRDD. Namun hasil penelitian morfofonemik BM yang dihasilkan oleh Indriyani memberikan kontribusi dalam menganalisis proses morfologis BRDD, khususnya pada bagian proses afiksasi.

Grimes, dkk. (1997) meneliti penyebaran dialek, variasi-variasi ucapan di antara masing-masing dialek serta memetakan dialek bahasa Rote. Mereka membagi dialek bahasa Rote ke dalam tujuh dialek besar, yaitu (1) Rote barat mencakup Oenale dan Dela, (2) Rote timur mencakup Landu, Ringgou dan Oepao, (3) Bilba, Diu dan Lelenuk, (4) Rote tengah mencakup Termanu, Talae, Keka, Bokai dan Korbafo, (5) Ba’a dan Lole, (6) Dengka dan Lelain dan (7) Tii. Grimes, dkk menetapkan bentuk fonologis bahasa Rote dalam tujuh tekanan yang mencakup /nd- d- r- l/ dan /k- ʡ- zero/. Hasil penelitian Grimes, dkk dalam memetakan variasi dialek bahasa Rote, masih memiliki sedikit kelemahan karena tidak menyebutkan dengan jelas pendekatan teori yang digunakan, begitu juga dalam klasifikasi bentuk fonologis tidak disebutkan secara rinci apakah bentuk-bentuk penekanan yang berada di depan, tengah atau akhir kata, frekuensi pemunculannya mewakili setiap variasi dialek bahasa Rote yang dipetakan?. Terlepas dari kelemahan tersebut, hasil penelitin itu dapat memberikan kontribusi bagi peneliti sebagai data pembanding untuk melihat bentuk-bentuk fonologis dalam menganalisis proses pembentukan kata yang ada dalam BRDD.

Fanggidae, dkk. (1998) meneliti ‘Morfologi Bahasa Rote’. Berdasarka hasil analisis yang dilakukan dalam proses pembentukan kata dalam penelitian

(6)

mereka ditemukan tiga jenis proses, yakni afiksasi, reduplikasi, dan pemejemukan. Bentuk-bentuk afiks yang ditemukan dalam penelitian itu adalah prefiks, (mana-, ka-, ma-, dan maka- dengan alomorfnya mana- dan maŋga-) sufiks, (-k, -n dan –n/ -n/ -m) dan konfiks (m + -k, k + -k, mak/maŋ a-/maŋga- + -k, maak-/maŋa-/maŋga + -n, dan ka- + -n). Bentuk-bentuk reduplikasi terdapat dua jenis yaitu, reduplikasi penuh dan reduplikasi setengah, sedangkan pemajemukan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu bentuk koordinatif dan subordinatif.

Hasil penelitian Fanggidea, dkk memiliki kelemahan dari sampel dialek yang digunakan, yaitu dialek Rote Tengah dengan asumsi bahwa dialek Rote Tengah sebagai dialek standar bahasa Rote. Hal ini kurang beralasan karena tidak disertai dengan data pendukung atau tidak merujuk pada peneliti-peneliti terdahulu serta dilihat dari sudut pandang sejarah bahasa Rote. Karena sampelnya terbatas maka data lingual yang diangkat sebagai contoh dalam hasil penelitian itu tidak mewakili semua dialek yang ada dalam bahasa Rote.

Persamaan antara penelitian Fanggidae, dkk (1998) dengan penelitian ini, yaitu sama-sama meneliti bahasa Rote dengan bidang kajian yang sama, yaitu morfologi. Sementara ha-hal yang membedakan adalah variasi dialek yang berbeda dan pendekatan teori yang digunakan, yakni Fanggidae, dkk (1998) menggunakan teori morfologi struktural, sementara penelitian peneliti ini menggunakan teori morfologi generatif.

Kontribusi dari penelitian tersebut adalah sebagai data pembanding untuk melihat bentuk-bentuk morfologis yang ada dalam dialek Rote Tengah, untuk

(7)

menganalisis ketiga proses morfologis BRDD, yakni afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan.

2.2 Konsep

Pembahasan pada bagian ini, dijabarkan beberapa konsep dasar yang berhubungan erat dengan judul penelitian, dan juga untuk memberi batasan terhadap terminologi yang ada dalam judul. Terminologi yang dibahas dalam konsep berhubungan erat dengan proses morfologis dan teori morfologi generatif. 2.2.1 Proses Morfologis

Proses morfologis terbentuk melalui penggabungan morfem dengan kata, morfem dengan morfem atau kata dengan kata untuk membentuk kata baru dari kata-kata atau morfem yang telah ada. Proses morfologis dapat ditemukan dalam tataran afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Proses afiksasi ada empat jenis, yaitu prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, dan konfiksasi. Proses reduplikasi dengan cara mengulang bentuk kata dasar tunggal atau kata kompleks dalam suatu bahasa untuk menurunkan bentuk reduplikasi penuh dan reduplikasi setengah. Selanjutnya pemajemukan dilakukan dengan cara menggabungkan dua atau lebih bentuk akar, dasar, dan pangkal sesuai dengan kaidah-kaidah dalam bahasa yang bersangkutan untuk menurunkan bentuk-bentuk kata majemuk, yang dapat diklasifikasikan dalam bentuk endosentris dan eksosentris.

Menurut Muslich (2007:32), proses morfologis adalah peristiwa penggabungan morfem satu dengan morfem yang lain menjadi kata, dan penggabungan atau perpaduan morfem-morfem itu mengalami perubahan arti. Dari pandangan Muslich di atas, dapat diambil satu simpulan, bahwa proses

(8)

morfologis adalah peristiwa penggabungan morfem-morfem, baik itu dalam bentuk morfem terikat atau morfem bebas, dan akan menghasilkan sebuah bentuk baru yang bermakna dan berkategori sintaksis.

2.2.2 Afiksasi

Afiksasi adalah proses morfologis dengan cara membubuhkan afiks, yakni prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks, yang ditambahkan pada akar, dasar, dan pangkal untuk membentuk kata-kata baru. Menurut Mulyono (2013:77) afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan cara membubuhkan afiks terhadap bentuk dasar, baik yang berupa pokok kata, kata asal, maupun bentuk-bentuk kata yang lainnya. Selanjutnya Muslich (2007:38) berpendapat bahwa afiksasi adalah peristiwa pembentukan kata dengan jalan membubuhkan afiks pada bentuk dasar.

Kedua pendapat di atas menunjukkan bahwa afiksasi merupakan proses morfologis melalui pembubuhan afiks pada bentuk dasar, akar dan pangkal. Setiap bentuk afiks berstatus sebagai morfem terikat (bound morfem) yang akan memiliki arti jika ditambakan pada dasar, akar, dan pangkal, yang menyebabkan perubahan kategori dan makna gramatikal pada bentuk yang dikenainya.

2.2.2.1 Afiks

Afiks, yakni prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks, adalah bentuk- bentuk linguistik terikat yang tidak memiliki makna leksikal dan tidak dapat berdiri sendiri. Afiks akan bermakna apabila ditambahkan pada bentuk akar, dasar, dan pangkal, untuk menurunkan bentuk kata-kata kompleks. Menurut Katamba (1993:44) afiks adalah sebuah morfem yang hanya muncul ketika ditambahkan pada morfem-morfem lain, yang berstatus akar kata, kata dasar atau kata pangkal.

(9)

Selanjutnya, Mulyono (2013:77) berpendapat bahwa, afiks merupakan bentukan linguistik yang terikat baik secara morfologis maupun semantis. Sebuah afiks akan eksplisit maknanya setelah melekat pada morfem lain yang berupa pokok kata, kata dasar atau bentuk yang lainnya.

2.2.2.2 Jenis-Jenis Afiks

Dalam bagian ini dijabarkan jenis-jenis afiks dengan definisinya masing-masing. Kridalaksana (2008:3) membagi afiks dalam tiga jenis, yakni (1) afiks derivatif, yaitu afiks yang dipergunakan untuk membentuk derivasi, misalnya dalam bahasa Inggris afiks –ly dalam quickly, (2) afiks inflektif, yaitu afiks yang ditambahkan pada akar atau dasar untuk menentukan atau membatasi makna gramatikalnya, misalnya afiks (sufiks) –s, pada kata boys dalam bahasa Inggris, (3) afiks negatif yaitu, afiks yang menyatakan ingkar atau ketiadaan, misalnya dalam bahasa Inggris –less dalam kata helpless.

Definisi dan fungsi dari ketiga jenis afiks di atas, dapat disimpulkan bahwa afiks derivatif apabila ditambahkan pada morfem dasar akan mengubah kategori dan makna dari bentuk yang mengalami proses derivatif. Afiks inflektif merupakan kebalikan dari afiks derivatif. Sementara afiks negatif berfungsi untuk menyatakan ingkar atau ketidakadaan pada morfem dasar yang dikenainya.

Selanjutnya, Katamba (1993:44) membagi afiks dalam tiga jenis atau tipe, yakni 1) prefiks ialah sebuah afiks yang ditambahkan sebelum akar kata, kata dasar atau kata pangkal, seperti re-, un-, dan in- dalam bahasa Inggris, 2) sufiks ialah sebuah afiks yang ditambahkan sesudah akar kata (atau kata dasar atau kata

(10)

pangkal) seperti –ly, -er, -ist, -s, -ing, dan –ed dalam bahasa Inggris, 3) infiks ialah sebuah afiks yang disisipkan ke dalam sebuah akar kata.

Pembagian afiks oleh Katamba dengan penjelasan dan contohnya masing-masing di atas, menunjukkan bahwa, prefiks, sufiks dan infiks akan bermakna apabila dilekatkan atau ditambakan pada akar kata, kata dasar atau kata pangkal. Mulyono (2013:77) membagi afiks bahasa Indonesia ke dalam empat golongan, yaitu (1) prefiks (awalan) afiks yang melekat pada awalan kata dasar, (2) infiks (sisipan) afiks yang melekat di dalam kata dasar, (3) sufiks (akhiran) afiks yang melekat pada akhir kata dasar, (4) konfiks (afiks terbagi) afiks yang melekat pada awal dan akhir kata dasar.

2.2.3 Reduplikasi

Reduplikasi merupakan bagian dari proses morfologis yang dilakukan dengan cara pengulangan pada kata-kata dasar atau berimbuhan, baik yang berbentuk pengulangan penuh maupun pengulangan sebagian. Untuk melihat jenis reduplikasi berdasarkan bentuk, fungsi, dan artinya, sesuai dengan hierarki bahasa yang bersangkutan. Pada bagian ini dikutip beberapa definisi reduplikasi dari para linguis.

Menurut Muslich (2007:48), proses pengulangan atau reduplikasi merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik yang berkombinasi dengan afiks maupun tidak. Simatupang (1983:16) berpendapat bahwa, reduplikasi adalah proses morfemis yang mengubah bentuk kata yang dikenainya. Selanjutnya, menurut Kridalaksana (2008:208), reduplikasi adalah

(11)

proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal; misalnya rumah-rumah, dan bolak-balik. Lieber (2009:80), dan Booij (2007:35), kedua ahli bahasa ini memiliki pandangan yang sama, bahwa reduplikasi adalah sebuah proses morfologis berupa terjadinya pengulangan keseluruhan atau sebagian pada bentuk dasar.

Berdasarkan pandangan para linguis tentang reduplikasi di atas, dapat dibuat satu simpulan bahwa, reduplikasi merupakan bagian dari proses morfologis untuk membentuk kata-kata dengan cara mengulangi seluruh bentuk dasar atau bentuk berimbuhan, yang berfungsi sebagai reduplikasi penuh atau mengulangi sebagian dari bentuk dasar, yang berfungsi sebagai reduplikasi sebagian atau parsial dan akan menghasilkan kata dengan makna yang baru dan mengubah atau tidak mengubah makna kata yang dikenai proses reduplikasi.

Setelah definisi reduplikasi yang telah dipaparkan di atas, selanjutnya dikutip beberapa pendapat ahli tentang jenis-jenis reduplikasi dengan definisinya masing-masing. Muslich (2007:52-55) membagi jenis reduplikasi ke dalam empat bagian, yakni 1) pengulangan seluruh, yaitu pengulangan bentuk dasar secara keseluruhan, tanpa berkombinasi dengan pembubuhan afiks dan tanpa perubahan fonem, seperti bentuk dasar “batu”, hasil pengulangannya menjadi “batu-batu”, 2) pengulangan sebagian, yaitu pengulangan bentuk dasar secara sebagian, tanpa perubahan fonem, seperti bentuk dasar “berlari”, hasil pengulangannya menjadi “berlari-lari”, 3) pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan afiks ialah pengulangan bentuk dasar disertai dengan penambahan afiks secara bersama-sama atau serentak dan bersama-sama pula mendukung satu arti, seperti bentuk dasar

(12)

“rumah” dengan pengulangan dan pembubuhan afiks menjadi “rumah-rumahan”, 4) pengulangan dengan perubahan fonem, yaitu pengulangan bentuk dasar dengan disertai perubahan fonem. Dalam bahasa Indonesia ada dua macam pengulangan dengan perubahan fonem, yaitu pengulangan dengan perubahan fonem vokal seperti bolak-balik dan serba-serbi, pengulangan dengan perubahan fonem konsonan seperti lauk-pauk, beras-petas dan ramah-tamah.

Menurut Simatupang (1983:16-18 dan 45) membagi jenis-jenis reduplikasi dalam dua kelompok besar, yaitu (1) reduplikasi morfemis, dan (2) reduplikasi semantis. Reduplikasi morfemis selanjutnya dapat diperinci menjadi reduplikasi penuh dan reduplikasi parsial. (a) reduplikasi penuh yaitu yang mengulang seluruh (bentuk) dasar kata, contoh: anak-anak, (b) reduplikasi parsial yaitu yang mengulang sebagian (bentuk) dasar kata untuk menghasilkan bentuk baru, contoh reduplikasi parsial dengan afiks, dedaunan. Reduplikasi semantis adalah pengulangan arti melalui penggabungan dua bentuk yang mengandung arti yang bersinonim, contoh: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, semak-belukar.

Dari jenis-jenis reduplikasi menurut pandangan yang disampaikan oleh beberapa linguis di atas dapat ditambahkan bahwa dalam dalam setiap jenis proses reduplikasi akan menghasilkan jenis baik reduplikasi yang mengubah makna kata maupun yang tidak mengubah makna kata.

2.2.4 Pemajemukan

Pemajemukan merupakan bagian dari proses morfologis selain afiksasi, dan reduplikasi, yang telah dijelaskan sebelumnya di atas. Pemajemukan adalah proses bergabungnya dua atau lebih kata dasar, atau kata kompleks dan

(13)

menurunkan kata majemuk, yang diklasifikasikan atas kata majemuk endosentrik dan eksosentrik. Kata majemuk endosentrik, yaitu kata majemuk dengan makna yang dihasilkan masih terlihat dari salah satu konstituen asalnya atau kedua konstituen pembentuknya, sedangkan kata majemuk eksosentrik adalah kata majemuk yang maknanya tidak berasal dari salah satupun konstituen asalnya atau unsur pembentuknya.

Menurut Muslich (2007:57) pemajemukan adalah proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (atau pradasar) menjadi satu kata yang namanya ‘kata majemuk’ atau ‘kompaun’. Menurut Yule (1987:53) pemajemukan adalah bergabungnya dua kata yang dapat berdiri sendiri untuk membentuk sebuah bentuk kata tunggal. Samsuri (1991:199) berpendapat bahwa pemajemukan adalah konstruksi yang terdiri atas dua morfem atau dua kata atau lebih: konstruksi ini bisa berupa akar+akar, pokok+pokok, atau akar+pokok (pokok+akar) yang mempunyai satu pengertian. Selanjutnya, Booij (2005:75) berpendapat bahwa pemajemukan digunakan untuk membentuk leksem-leksem baru. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa pemajemukan terbentuk dari dua kombinasi kata, yang satu memodifikasi makna dari yang lainnya sebagai inti kata.

Berdasarkan pandangan-pandangan tentang pemajemukan yang telah disampaikan oleh linguis di atas, dapat disimpulkan bahwa, pemajemukan adalah proses morfologis dengan cara menggabungkan yang bisa terdiri atas dua atau lebih kata dan saling memodifikasi. Hasil penyatuan dari proses tersebut akan menghasilkan satu bentuk konstruksi baru yang disebut kata majemuk.

(14)

Setelah definisi pemajemukan dan ciri-ciri bentuk majemuk dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa pemajemukan adalah proses morfologis yang menurunkan kata majemuk. Menurut Lieber (2009:43), Muslich (2010:57) kata majemuk adalah kata yang terbentuk dari dua atau lebih bentuk dasar. Katamba (1993:291) kata majemuk adalah kata yang terbentuk oleh dua atau lebih kata dasar dan akan menghasilkan kata-kata independen. Selanjutnya, menurut Kridalaksana (2008:111) kata majemuk adalah gabungan leksem dengan leksem yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan.

Definisi pemajemukan dan fungsinya yang telah diuraikan di atas, selanjutnya dibahas ciri-ciri kata majemuk. Menurut Muslich (2008:59-61) menguraikan ciri-ciri bentuk majemuk dapat dilihat dari dua segi, yaitu (1) sifat konstruksinya, dan (2) sifat unsurnya.

1) Dilihat dari sifat konstruksinya

Bentuk majemuk tergolong konstruksi pekat. Karena kepekatannya itu, antara unsur-unsurnya tidak dapat disisipi bentuk atau unsur, yang lain baik dengan “yang“ (sebagaimana konstruksi atributif pada frase), “dan” (sebagaimana konstruksi koordinatif pada frase), maupun dengan “nya” atau “milik” (sebagaimana konstruksi posesif pada frase).

Di samping itu, kepekatan terlihat dari adanya perlakuan terhadap unsur-unsurnya yang dianggap sebagi suatu kesatuan bentuk. Buktinya apabila mendapatkan atau bergabung dengan afiks, ia diperlakukan sebagai satu bentuk

(15)

dasar yang unsur-unsurnya tidak dapat dipisahkan. Misalnya afiks { meŋ-kan} bergabung dengan bentuk dasar “hancur lebur” menjadi “menghancurleburkan”. Bentuk-bentuk majemuk tertentu mudah sekali dikenal, sebab artinya memang benar-benar berbeda atau sama sekali tak berhubungan dengan arti dari setiap unsur pembentuknya. Sudaryanto (1983:208) mengatakan arti konstruksi majemuk itu “tidak wajar” dan “menyeleweng” sebagai contoh kata kambing hitam yang sama sekali tidak berhubungan makna dengan kambing dan hitam, begitu juga meja hijau, gulung tikar, polisi tidur, dan raja singa, yang artinya masing-masing benar-benar tidak berurusan dengan meja dan hijau, gulung dan tikar, polisi dan tidur, serta raja dan singa.

Sifat konstruksi lainnya adalah konstruksi bentuk majemuk tetap yaitu konstruksi majemuk yang tidak dapat dipertukarkan, misalnya konstruksi berupa KB+KK kamar tidur dan meja tulis, maka konstruksi itu tidak dapat dipertukarkan atau diubah menjadi KK+KB sehingga menjadi tidur kamar dan tulis meja.

2) Dilihat dari segi sifat unsurnya

Dilihat dari segi unsurnya, bentuk majemuk dalam bahasa Rote memiliki kesamaan dengan bahasa Indonesia, yaitu lebih banyak yang berunsur bentuk-bentuk yang belum pernah mengalami proses morfologis. Misalnya kamar kerja, terima kasih, jual beli, mata kaki, dan bola lampu. Dikatakan lebih banyak, sebab memang ada, tetapi lebih sedikit bentuk majemuk yang unsurnya sudah mengalami proses morfologis (khususnya afiksasi) misalnya membabi buta, bertekuk lutut, memeras keringat, melepas lelah, tertangkap basah, menepuk

(16)

dada, dan terima kalah. Semuanya adalah kata majemuk hal ini terbukti dari pekatnya susunannya, tetapnya urutan konstruksinya dan barunya arti yang ditimbulkannya.

Masih menurut Muslich (2008:62) membagi kata majemuk bahasa Indonesia dapat dibagi atas tiga jenis yaitu:

1) bentuk majemuk yang unsur pertama diterangkan (D) oleh unsur kedua (M) 2) bentuk majemuk yang usur pertama menerangkan (M) unsur kedua (D) 3) bentuk majemuk yang unsur-unsurnya tidak saling menerangkan, tetapi

hanya merupakan rangkaian yang sejajar (kopulatif)

Bentuk majemuk jenis (1) dapat dibedakan lagi atas dua macam, yaitu (a) karmadharaya, dan (b) tatpurusa. Bentuk majemuk dikatakan karmadharaya, apabila unsur yang kedua (sebagai M) berkelas kata sifat, dikatakan tatpurusa apabilah unsur yang kedua (sebagai M) berkelas kata selain kata sifat. Bentuk majemuk jenis (2) pada umumnya berasal dari unsur serapan, terutama dari bahasa Sansekerta. Bentuk majemuk jenis (3) biasanya disebut dwandwa, apabila dilihat dari hubungan makna antarunsurnya ada yang setara, berlawanan, dan ada yang bersinonim.

2.3 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori morfologi generatif yang dipelopori oleh Aronoff dalam tulisannya ‘Word-Based Morphology’ (1979). Teori ini berpendapat bahwa, kata adalah satuan terkecil untuk menurunkan kata dan bukan yang lebih kecil dari kata. Lebih lanjut dikatakan bahwa, kata yang dimaksud adalah kata yang ada, dan terdaftar dalam kamus, dan

(17)

telah berkategori sintaksis (Verba, Nomina, Adjektiva, Adverbia dan Numeral) dan bukan kata-kata potensial.

Scalise (1984:43) menggambarkan diagram morfologi generatif menurut Aronoff ‘Word-Based Morphology atau Lexeme Based’ (1979) sebagai berikut:

Diagram 1 Teori Morfologi Generatif Aronoff 1979

Aronoff berpendapat bahwa, komponen leksikal terdiri atas dua komponen utama, yaitu: Kamus dan KPK. Kamus berfungsi sebagai tempat untuk menampung semua kata yang sudah berkategori sintaksis, yaitu verba, nomina, adjektiva, adverbia dan numeral, yang digunakan untuk menurunkan kata-kata baru. Sementara, KPK berfungsi untuk memroses kata-kata baru yang berhubungan dengan afiks. Kata-kata yang telah dibentuk akan didistribusikan penggunaannya. Dalam teori “Word-Based Morphology” (1979), KPK hanya berakses dengan Kamus.

Di bawa ini, dapat dilihat cara kerja teori morfologi generatif Aronoff “Word-Based Morphology” 1979 dengan contoh data lingual. Sebagai contoh proses pembentukan kata dengan menggunakan model teori morfologi generatif menurut Aronoff, sebagai sample data proses pembentukan kata digunakan proses morfologis afiksasi sebagai berikut:

Komponen Leksikal

↨ ↕

Luaran Kamus KPK

(18)

Diagram 2 Penerapan Teori Morfologi Generatif Aronoff 1979 Keterangan

1) Leksem dasar [datang] terdaftar dalam Kamus adalah leksem dasar yang telah berkategori sintaksis dengan kelas kata verba dan memenuhi syarat untuk digunakan membentuk kata-kata baru melalui proses afiksasi.

2) Kata kompleks [pendatang]N berasal dari leksem [datang]V dibentuk di KPK, dan mengubah kelas kata dan makna kata yang dikenainya, yaitu V→N dan selanjutnya dapat didistribusikan penggunaannya. 3) Kaidah pembentukan kata [pendatang], dianalisis sebagai berikut:

[[Leksem dasa] + [pref-] → [kata kompleks]]. Diaplikasikan dalam data Ld[datang]V + Pref[peŋ-]N → [pendatang]]N. Fungsi prefiks [peŋ-] adalah mengubah verba menjadi nomina atau deverba. Kata [pendatang] diturunkan dari verba intransitif [datang] sebagai leksem dasar. Prefiks [peŋ-] digolongkan dalam afiks derivasional. Makna gramatikal dari prefiks [peŋ-], yaitu ‘menjelaskan sesuatu’. Makna leksikal kata kompleks [pendatang], yaitu menjelaskan satu kelompok orang atau satu pribadi yang mendiami satu tempat dan bukan sebagai

pribumi atau penduduk asli yang lahir dan besar di suatu tempat. Komponen Leksikal

↕ ↕

↓ Pendatang Datang

(19)

Peŋ-Dalam menganalisis proses morfologis BRDD yang mencakup tataran afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan, diacu pada teori morfologi generatif yang dipelopori oleh Aronoff, “Word-Based Morphology” (1979), sebagai landasan teori utama. Hal ini disebabkan oleh bidang yang diteliti difokuskan pada proses pembentukan kata. Dengan memperhatikan model dan cara kerja teori yang ditawarkan oleh Aronoff, sebagai teori yang berfokus pada kata untuk menurunkan kata, maka teori ini dipercaya dapat dijadikan sebagai alat pembedahan data penelitian.

Namun setiap bahasa memiliki kaidah yang berbeda-beda dalam proses morfologisnya, sebagai contoh bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Bali dan lebih khususnya BRDD yang dijadikan sebagai objek penelitian. Karena itu, teori ini tidak dapat diterapkan secara utuh untuk melakukan analisis proses pembentukan kata dalam BRDD.

Setelah membaca pendapat dari penganut teori morfologi generatif (Aronoff 1979, Scalise 1984, Dardjowidjojo 1988, dan Beratha 2014 bahan ajar) yang telah memaparkan, usulan dan pandangan mereka tentang teori ini dan mengingat bahwa setiap bahasa memiliki kaidah yang berbeda-beda, maka peneliti memandang perlu untuk membentuk satu teori yang disebut teori modifikasi dengan tetap mengacu pada teori utama untuk disesuaikan dengan kaidah proses morfologis dalam BRDD. Untuk memudahkan pengkaidahan penerapan proses morfologis dalam BRDD dengan data yang mencakup afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan, dibuatlah satu model teori modifikasi dari teori utama dengan bentuk diagramnya sebagai berikut.

(20)

Diagram 3 Teori Modifikasi

Model teori modifikasi di atas menunjukkan komponen leksikal terdiri atas tiga komponen utama untuk memproses kata-kata baru, yaitu Kamus, Proses Pembentukan Kata (PPK) dan Hasil Pembentukan Kata (HPK). Selain ketiga komponen utama terdapat dua komponen di luar komponen leksikal, yaitu Kaidah Fonologi (KF) dan Komponen Sintaksis (KS). Selanjutnya, dijabarkan cara kerja teori modifikasi sebagai berikut.

Kamus sebagai sentral berisikan semua leksem dasar dalam BRDD yang telah berkategori sintaksis, yaitu nomina, verba, adjektiva, adverbia dan numeral. Semua leksem yang ada dalam kamus akan digunakan untuk menurunkan kata baru melalui proses morfologis.

PPK berakses dengan Kamus untuk menerima setiap leksem yang telah berkategori sintaksis untuk diproses melalui proses morfologis, yakni afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan untuk menurunkan kata kompleks, kata ulang dan kata majemuk untuk selanjutnya diturunkan ke HPK.

Komponen Leksikal Kamus PPK HPK KF KS

(21)

HPK berfungsi sebagai tempat untuk menampung semua kata hasil bentukan di PPK dan melakukan pengecekan kembali, apakah kata kompleks, kata ulang dan kata majemuk yang telah dibentuk di PPK terbentuk dari leksem dasar yang berkategori sintaksis dalam BRDD. HPK juga bertugas untuk mendeteksi setiap kata hasil bentukan PPK apakah ditemukan kasus-kasus fonologis berupa pelesapan fonem, pengulangan suku kata, penambahan fonem dan penyesuaian bunyi. Jika ditemukan kasus fonologis, maka sebelum diturunkan ke KS, kata tersebut diturunkan ke KF untuk ditagani. Apabila tidak ditemukan kasus fonologis dalam kata yang telah dibentuk di PPK, maka kata tersebut langsung diturunkan ke KS untuk didistribusikan penggunaannya karena telah sesuai dengan kaidah pembentukan kata dan telah berkategori sintaksis.

KF berfungsi sebagai wadah untuk menangani setiap kata kompleks, kata ulang dan kata majemuk yang diturunkan dari HPK karena di dalamnya terdapat kasus-kasus fonologis. Dengan demikian luaran dari kata-kata yang dihasilkan dapat diterima sebagai kata yang ada dalam penggunaanya sehari-hari dalam BRDD. KF juga berakses dengan PPK untuk menangani kata hasil bentukan dari PPK.

KS sebagai komponen terakhir yang menampung semua bentuk kata kompleks, kata ulang dan kata majemuk yang telah melewati proses di PPK, HPK, dan KF (untuk yang ada kasus fonologis) serta menunjukkan bahwa semua langkah-langkah proses morfologis sudah sesuai dengan kaidah pembentukan kata dalam BRDD dan telah berkategori sintaksis dan siap didistribusikan

(22)

penggunaannya. KS juga berakses dengan Kamus untuk mendata semua kata baru yang telah berkategori sintaksis.

Di bawah ini dapat dilihat penggunaan teori modifikasi yang diaplikasikan pengkaidahan analisisnya dalam contoh data langual dalam BRDD.

KKKS

Diagram 4 Penerapan Teori Modifikasi dalam Data KF KS Komponen Leksikal Kamus PPK HPK

[sapu]V, [tati]V, [maladaɁ]Adj, [hedi]Adj, [suŋguɁ]V, [ume]N, [nuduɁ]N, [fuluɁ]N

Reduplikasi penuh: sapu-sapu, maladaɁ-maladaɁ Reduplikasi sebagian: sasapu, tatati

Reduplikasi penuh kata kompleks: tatati-tatati, sasapu-sasapu Afiksasi: hedis

Pengulangan: susuŋguɁt, sasaput Pemajemukan: ume hedis, nuduɁ fuluɁ

sapu-sapu, tati-tati, maladaɁ-maladaɁ, sasapu, tatati, tatati- tatati, sasapu-sasapu, hedis, susuŋguɁt, sasaput, ume hedis, nuduɁ fuluɁ,

sa-sapu, ta-tati, hedi-s, su-suŋguɁ-t, sa-sapu-t, nuduɁ fuluɁ

[sapu-sapu]V, [tati-tati]V, [maladaɁ-maladaɁ]Adj,

[sasapu]V, [tatati]V, [tatati-tatati]V, [sasapu-sasapu]V, [hedis]N. [susuŋgut]N, [sasaput]N, [ume hedis]N,

(23)

Keterangan

1) Leksem [sapu]V, [tati]V, dan [maladaɁ]Adj dibentuk di PPK melalui proses reduplikasi dan menurunkan kata ulang penuh, yaitu [sapu-sapu]V, [tati-tati]V, dan [maladaɁ-maladaɁ]Adj, selanjutnya diturunkan ke HPK dan langsung diturunkan ke KS untuk didistribusikan penggunaannya tanpa diproses lagi di KF karena tidak ditemukan kasus fonologis.

2) Leksem [sapu]V dan [tati]V dibentuk di PPK melalui proses reduplikasi dan menurunkan kata ulang sebagian, yaitu [sa-sapu]V dan [ta-tati]V, diturunkan ke HPK dan ditemukan kasus fonologis berupa pengulangan bunyi suku kata, yaitu bunyi suku kata pertama dari leksem dasar [sapu] dan [tati], yaitu [sa] dan [ta]. Kata [sasapu] dan [tatati] diturunkan ke KF untuk ditangani sebelum diturunkan ke KS.

3) Kata kompleks [tatati]V dan [sasapu]V yang telah melalui proses reduplikasi sebagian dapat digunakan untuk menurunkan kata ulang penuh kata kompleks dengan cara mengulangi leksem dasar secara penuh. Kata kompleks [tatati]V + [red] → [tatati-tatati]V.

4) Leksem [sapu]V membentuk kata [sasaput]N dengan cara mengulangi suku kata pertama dari leksem dasar, yaitu [sa-] dan mendapat sufiks [-t] dibentuk di PPK dan diturunkan ke HPK. Dalam kata kompleks [sasaput] ditemukan kasus fonologi berupa pengulangan bunyi suku kata pertama, yaitu [sa-] pada leksem dasar [sapu] dan penyesuaian bunyi yang diikuti dengan sufiks [-t]. Karean itu, kata kompleks [sasaput] lebih dahulu ditagani di KF, sebelum diturunkan ke KS.

(24)

5) Leksem [hedi]Adj membentuk kata [hedis]Ndibentuk di PPK sebagai kata berafiks diturunkan ke HPK dan ditemukan kasus fonologis, berupa penyesuaian bunyi. Kata kompleks [hedis] langsung ditagani di KF untuk diproses dan selanjutnya diturunkan ke KS.

6) Leksem [suŋguɁ]V di bentuk di PPK dan membentuk kata kompleks [susuŋgut]N, selanjutnya diturunkan ke HPK dan ditemukan kasus fonologis berupa pelesapan fonem glotal [Ɂ] dan penyesuaian bunyi dan diikuti dengan sufiks [-t]. Karena itu, kata kompleks [susuŋgut] langsung ditagani di KF untuk diproses dan dikirim ke KS sebagai kata yang telah berkategori sintaksis.

7) Leksem [ume]N dan kata kompleks [hedis]N digunakan melalui proses pemajemukan untuk membentuk kata majemuk [ume hedis]N. Kata majemuk [ume hedis] dibentuk di PPK dan turunkan ke HPK dan tidak ditemukan kasus fonologis sehingga langsung diturunkan ke KS tanpa diproses lagi di KF.

8) Leksem dasar [nuduɁ]N dan leksem dasar [fuluɁ]N menurunkan kata majemuk [nudu fuluɁ]N diproses di PPK dan diturunkan ke HPK dan ditemukan kasus fonologis berupa pelesapan fonem glotal [Ɂ]. Kata majemuk [nuduɁ fuluɁ] terlebih dahulu diproses di KF sehingga menjadi [nudu fuluɁ] bukan [*nuduɁ fuluɁ], selanjutnya dikirim ke KS untuk didistribusikan pengunaannya dalam kalimat.

(25)

2.4 Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini untuk menjaring data yang berhubungan dengan proses morfologis mulai dari penentuan bahasa dan dialek yang menjadi obyek penelitian sampai pada tahap pelaporan hasil.

Diagram 5 Model Penelitian

Penyajian Formal Penyajian Informal

(26)

Diagram model penelitian di atas, dengan langkah-langkahnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa dan dialek yang dijadikan objek penelitian adalah BRDD. Hal-hal yang diteliti dalam BRDD adalah proses morfologis yang mencakup afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Proses pengumpulan data dilakukan dari dua sumber, yaitu sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis diperoleh dari terjemahan Kitab Injil Markus, cerita Paskah, dan cerita ilustrasi tentang seorang penabur, sementara sumber lisan diperoleh melalui wawancara dengan narasumber. Kedua sumber ini merupakan korpus data penelitian dan selanjutnya dilakukan elisitasi untuk memperoleh data penelitian sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Dari kedua sumber data ini, yang menjadi data utama adalah data tulisan karena peneltian ini berfokus pada proses pembentukan kata, sedangkan data lisan sebagai data sekunder atau data pendukung untuk menjaring data tambahan yang tidak ditemukan dalam data tulisan, demi penyempurnaan hasil temuan data dalam penelitian ini.

Metode simak diterapkan dengan teknik-tekniknya, yaitu teknik sadap (TS), teknik simak libat cakap (TSLC), teknik simak bebas libat cakap (TSBLC), dan teknik catat (TC). Metode cakap diterapkan dengan teknik-tekniknya, yaitu teknik pancing (TP), teknik cakap semuka (TCS), teknik cakap tansemuka (TCT), dan teknik catat (TC). Untuk medukung kedua metode dan tekniknya masing-masing dilakukan wawancara dengan narasumber dan dipadukan dengan rekam untuk melakukan klarifikasi dan klasifikasi data.

(27)

Setelah semua data penelitian terkumpul, selanjutnya dihubungkan dengan pendekatan teori yang digunakan dan dilakukan analisis data penelitian untuk menjawab rumusan masalah.

Setelah analisis data selesai, maka dilakukan penyajian hasil analisis data melalui dua cara, yaitu penyajian formal dan informal. Langkah terakhir dalam model penelitian ini adalah pelaporan hasil penelitian dalam bentuk disertasi.

Gambar

Diagram 1 Teori Morfologi Generatif Aronoff  1979
Diagram 2 Penerapan Teori Morfologi Generatif Aronoff  1979   Keterangan
Diagram 3 Teori Modifikasi
Diagram 4 Penerapan Teori Modifikasi dalam Data

Referensi

Dokumen terkait

restoran dapat dilihat dari lima faktor yaitu makanan dan minuman, pelayanan.. ( service ), kebersihan dan higienitas, harga,

Dengan demikian istilah cempaka gadang merupakan sebuah konsep yang memberikan makna bahwa teks Cempaka Gadang berisi cerita tentang upacara pangruatan (melaksanakan

Menurut Poerwadarminto (2002:45) Pengembangan adalah suatu proses atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna, dan berguna.. Jadi pengembangan dalam

Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini, teori dialektologi generatif digunakan untuk mendeskripsikan variasi fonologis, penelusuran bentuk asal dan bentuk turunan, dan

1) Metode penerjemahan kata demi kata (Word-for-word translation). Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata. Dalam menerapkan

Pendapat lain dikemukakan oleh Keraf (2004: 24) yang menurunkan tiga kesimpulan utama mengenai diksi, antara lain sebagai berikut: a). Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian

Penelitian bahasa Melayu Loloan mencakup pemakaian bahasa secara umum yang dilakukan oleh masyarakat guyub Loloan dari penutur tua kepada penutur muda, sedangkan

Dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengembangan kawasan pariwisata di Kuta Mandalika, maka diharapkan masyarakat lokal akan mendapatkan dampak positif dari