• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB PEMBATALAN HAK ASUH TERHADAP ANAK-ANAK YANG MASIH DIBAWAH UMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB PEMBATALAN HAK ASUH TERHADAP ANAK-ANAK YANG MASIH DIBAWAH UMUR"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB PEMBATALAN HAK ASUH TERHADAP ANAK-ANAK YANG MASIH DIBAWAH UMUR

A. Pengertian Dan Syarat-Syarat Hak Asuh Anak

Pada kenyatannya seorang anak memerlukan orang lain dalam kehidupannya sampai batas umur tertentu untuk membantunya dalam bertumbuh kembang baik dalam perkembangan fisik maupun pembentukan akhlaknya. Hal ini diperlukan karena si anak bisa saja tumbuh dengan tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan.

Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian bagi elemen masyarakat sebagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam sebuah keluarga dan bagaimana ia diperlakukan, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakan dalam mengayomi anak.27

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak dapat diartikan sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada hakekatnya adalah seseorang yang berada pada suatu masa tertentu dan mempuyai potensi untuk menjadi dewasa.28Oleh karena itu anak masih banyak memerlukan bimbingan dari orang tua/keluarga baik dalam pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain anak dapat juga dikatakan makhluk sosial sama seperti orang dewasa.

27 Aris Bintana, Hak dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga Setelah Terjadinya

Perceraian,http://www.pdf-search-engine.com/html, diakses Mei 2012

(2)

Pengertian anak dalam ilmu hukum terutama dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit namun pengertiannya selalu dikaitkan dengan kedewasaan. Sedangkan dalam hal kedewasaan tidak memiliki keseragaman dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diatur dalam Pasal 330 yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.29

Sedangkan dewasa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak ialah “anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.30Dengan kata lain batas kedewasaan anak berbeda-beda menurut peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Di dalam hukum Islam usia dewasa ditandai dengan suatu peristiwa biologis. Untuk kaum pria, ditandai dengan sebuah mimpi, yang lazim disebut dengan mimpi basah. Untuk kaum wanita ditandai dengan peristiwa menstruasi. Pada umumnya peristiwa ini dapat dirasakan atau dialami oleh pria pada usia 15 sampai dengan 20 tahun, sedangkan untuk wanita terjadi pada usia 11 sampai dengan 19 tahun.31Dalam Pasal 98 ayat (1), BAB XIV KHI tentang pemeliharaan anak disebutkan bahwa, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Artinya dewasa ketika anak tersebut sudah

29Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

30Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak, Koperasi Praja Mukti I, Jakarta, 2007.

31Burhanuddin Rahmadi, Pengertian Dewasa Dan Aqil Baliqh Menurut Hukum Islam, Lentera Nurani, Bandung, 2010, hal.18.

(3)

berusia 21 tahun atau suadah kawin, tidak cacat atau gila dan dapat bertanggung jawab atas dirinya.

Untuk lebih jelasnya pengertian anak dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Anak Kandung.

Anak kandung atau dapat juga dikatakan anak sah yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah menurut hukum. Dalam hukum perdata dinyatakan anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.32 Pada dasarnya pengertian anak kandung atau anak sah sama menurut hukum Islam maupun hukum perdata bahwa anak kandung ialah anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah. Dengan kata lain bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempuyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan yang melekat padanya serta berhak untuk memakai nama dibelakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya.33

2. Anak Angkat.

Hukum Islam telah lama mengenal adanya istilah anak angkat (tabbani) ataupun adopsi, yang di era modern ini banyak terjadi di lingkungan sekitar kita. Pengangkatan anak atau adopsi adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke

32Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kesindo Utama, Surabaya, 2006.

33 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2006, hal 78.

(4)

dalam keluarganya sendiri sehingga demikian antara orang yang mengambil anak timbul suatu hubungan hukum.34

Sedangkan pengertian anak angkat dalam Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam (KHI) ialah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua kandung kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang layak dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang luasnya rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Namun anak angkat tersebut tidak memiliki nasab (hubungan darah) dengan orang tua angkatnya, yang berarti pula bahwa anak angkat tersebut tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang tua angkatnya, karena dasar untuk mewarisi menurut hukum Islam adalah adanya hubungan darah (nasab).

Kedudukan anak angkat dalam hukum adat memiliki beberapa kedudukan yang berbeda-beda karena sesuai dengan adat masing-masing. Namun pada dasarnya dalam hukum adat, kedudukan anak angkat tidak memutuskan hubungan hukum anak dengan keluarga aslinya.

3. Anak Tiri

Selain anak sah dan anak angkat ada juga anak tiri. Anak tiri terjadi dalam keadaan apabila salah satu pihak atau keduanya membawa anak kandung masing-masing kedalam suatu perkawinan. Apabila pihak ibu membawa anak yang masih dibawah umur maka segala biaya hidup si anak masih menjadi tanggung jawab ayah kandungnya sesuai dengan putusan pengadilan sampai batas umur yang ditentukan.

(5)

4. Anak Luar Nikah

Anak luar nikah dalam pengertian Hukum Islam maupun Hukum Perdata ialah anak yang hanya mempunyai hubungan nasab ataupun hubungan perdata dengan keluarga ibunya seperti yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempuyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Dalam Hukum Islam yang dikategorikan sebagai anak luar nikah ialah anak yang lahir karena perbuatan zina (diluar nikah) dari seorang perempuan dan seorang laki-laki. Dalam Hukum Adat tidak terlalu diatur mengenai anak luar nikah. Namun pada dasarnya pengertian anak luar nikah menurut hukum adat adalah anak yang lahir di luar perkawinan sesuai adat masing-masing.

5. Anak Piara/Anak Asuh.

Anak asuh ini biasanya anak yang kelangsungan hidupnya maupun kebutuhan hidupnya ditanggung ataupun dibantu oleh orangtua asuh. Anak asuh ini juga dapat tinggal bersama orangtua asuhnya ataupun bisa juga tetap tinggal dengan orangtua kandungnya. Jika ia tinggal dengan orangtua asuhnya maka ia tidak memiliki hubungan hukum dengan orangtua asuhnya. Sehingga dalam hal pewarisan anak asuh tidak mendapat warisan kecuali orangtua asuh memberikan hibah ataupun wasiat.

Hak pengasuhan anak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah, yangartinya adalah hak dan kewajiban orangtua untuk memelihara dan mendidik anak

(6)

mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak. 35 Pemeliharaan dan pengasuhan anak berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya yaitu pengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh yang disebut mahdhun. Keduanya harus memiliki dan memenuhi syarat wajib agar pengasuhannya menjadi sah.36

Adapun syarat untuk anak-anak yang akan diasuh (mahdhun) adalah:

1. Masih berada dalam usia anak-anak dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya.

2. Tidak dalam keadaan akal yang sempurna dan oleh karena itu tidak dapat mengurus hidupnya sendiri meskipun ia sudah dewasa.37

Anak juga tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang dapat diperlakukan tidak pantas karena anak juga memiliki nilai kemanusiaan yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apapun. Adapun tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak menunjukkan bahwa anak tersebut sedang dalam proses menuju kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya yang akan mencapai kematangan hidup seiring dengan bertambahnya usia.

Pendidikan yang dimaksud di atas ialah pengajaran yang diberikan orangtua kepada anaknya yang membuat anak tersebut memiliki kemampuan dan kecakapan

35Ahmad Rafiq,Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1998, hal. 117.

36 Salman Hadawi Ahmad, Hadhonah dan Hadniah Dalam Hukum Islam, Pelita Ilmu, Surabaya, 2007, hal.20.

37Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan

(7)

yang sesuai dengan karakteristik anak dan dapat mengembangkan bakat-bakat yang dimilikinya di tengah-tengah masyarakat dengan tanggungjawab moral dan agama. Pendidikan juga berkaitan dengan cara dan fungsi dari pemeliharaaan dan perbaikan taraf kehidupan dan menciptakan tanggung jawab didalam masyarakat. Ada beberapa nilai pendidikan yang harus diajarkan orangtua kepada anaknya, yaitu:

1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT 2. Tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain

3. Berbuat baik kepada orangtua sebagai bukti kesyukuran anak 4. Memperlakukan orangtua dengan sebaik-baiknya

5. Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT

6. Mentaati perintah Allah SWT 7. Tidak sombong dan angkuh

8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata.38

Hak asuh juga mencakup tanggung jawab, bagaimana cara mengasuh, memberi pelayanan yang semestinya didapat oleh si anak dan juga mencukupi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.39Berdiri sendiri dalam hal ini dimaksudkan bahwa anak tersebut telah mampu melaksanakan kewajibannya dan mengetahui tanggung jawab di dalam hidupnya karena anak tidaklah sama dengan orang dewasa yang mempuyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih

38Ibid, hal. 240

(8)

mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.40

Dari uraian di atas maka jelaslah anak masih harus memerlukan bimbingan dan pengawasan sampai ia dewasa. Anak yang dikategorikan dewasa ialah anak yang telah mencapai usia delapan belas tahun dan belum pernah menikah. Akan tetapi anak tersebut dapat juga dikatakan dewasa jika ia belum mencapai usia delapan belas tahun tetapi sudah menikah.

Beberapa ulama berpendapat bahwa sesungguhnya hak merawat, mendidik anak adalah suatu kewajiban, akan tetapi terdapat juga perbedaan persepsi yang mengatakan bahwa pengasuhan anak lebih diutamakan kepada ibunya dan menjadi hak si ibu pula untuk menggugurkan haknya. Hal tersebut jarang terjadi karena pada umumnya ibu sangat menginginkan anaknya berada dalam pengasuhannya terutama jika terjadi perceraian. Hak pengasuhan ibu akan berakhir dengan sendirinya apabila si ibu mengalami gangguan mental yang mengakibatkan ia tidak dapat mengasuh anaknya ataupun si ibu meninggal dunia.41

B. PengertianHadhanahdan Syarat MenjadiHadhinah(Pengasuh)

Pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orangtuanya (suami istri). Untuk masalah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab ayahnya (suami), sedangkan hak memelihara terletak di tangan istri seperti halnya firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

40Sumardi Suryabrata,Pengembangan Alat Ukur Psikologis,Yogyakarta, 2000, hal. 3. 41Ali M. Daud,Asas-Asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal.37.

(9)

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusunan. Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani kecuali menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita sengsara karena anak-anaknya dan seorang ayah karena anak-anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian….42

Ayat di atas menganjurkan kedua orangtua untuk memperhatikan anak-anaknya. Jika istri bertugas menyusui, merawat dan mendidik anak-anaknya, maka kewajiban suami, selain menjadi kepala keluarga / imam dalam rumah tangganya, juga berkewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Dalam hal pemeliharaan anak (hadhanah), nabi menunjuk ibulah yang paling berhak memelihara anak sesuai dengan sabdanya :

“Dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa seorang perempuan bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya dan susuku yang menjadi minumannya, dan pengkuanku yang memeluknya, sedang ayahnya telah menceraikan aku dan ia mau mengambilnya dariku”, lalu Rasullah SAW bersabda kepadanya. “Engkau yang lebih banyak berhak dengan anak itu, selama engkau belum menikah”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi, Hakim dan dia mensahihkannya).43

Kandungan dari hadist di atas adalah apabila terjadi perceraian antara suami istri dan meninggalkan anak, selama ibunya belum menikah lagi, maka ibu diutamakan untuk mengasuhnya, sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidik anak-anaknya.

42Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahanya,Toha Putra, Semarang, 1995, hal. 57 43Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Bairut, Dar Al Kutub Al Ilmiah, Juz 2, 1993, hal. 246

(10)

Bagi seorang hadhinah (pengasuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakanhadhinah-nya.

Untuk lebih jelas syarat-syarathadhinahdi atas adalah sebagai berikut : 1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal atau gila, keduanya tidak sah

dan tidak boleh menangani hadhinah. Karena mereka tidak boleh mengurusi dirinya sendiri, sebab orang yang kurang akal dan gila tentulah ia tidak dapat mengurusi dirinya dan orang lain (dalam hal ini anak).

2. Dewasa (baligh), bagi anak kecil tidak ada hak untuk menjadi hadhinah (pengasuh), karena ia sendiri masih membutuhkan wali, sadangkan hadhinah seperti wali dalam perkawinan maupun harta benda. Adapun untuk mengetahui orang yang sudah sampai umur dewasa itu dapat diketahui dengan salah satu tanda sebagai berikut :

a. Telah berumur 15 tahun b. Bermimpi bersetubuh

c. Mulai keluar haid bagi perempuan

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disebut dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

(11)

Perlindungan Anak tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa yang disebut dengan dewasa adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapanbelas) tahun ke atas.

3. Mampu mendidik, tidak boleh menjadi pengasuh bagi orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingannya (anak), tidak berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumah tangga sehingga merugikan anak kecil yang diasuh atau bukan orang yang ditinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat dari kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kepentingan anak secara sempurna dan menciptakan suasana tidak baik bahkan bisa-bisa sifat yang semacam itu tertanam dalam sifat anak.44 4. Amanah dan berbudi, maksudnya adalah dapat dipercaya pemeliharaan dan

pendidikannya terhadap anak yang dipelihara. Oleh sebab itu bagi hadhinah (pengasuh) yang khianat tidak boleh diberi beban untuk memelihara anak. Sesuai dengan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad SAW) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat (anak) yang dipercayai kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Q.S al-Anfal 27)

(12)

Amanah ialah menahan diri dari melakukan sesuatu yang tidak halal dan tidak terpuji. Dengan demikian jika seorang tidak memiliki jiwa amanah maka ia tidak memiliki hak untuk memelihara atau mengasuh anak.45

5. Menurut Hukum Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang non muslim, sebab hadhinah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah SWT tidak memperbolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir sebagaimana firman Allah yaitu :

“…Janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orag-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia telah berlepas diri dari Allah dalam hal apapun, kecuali jika kalian berpura-pura (dengan lisan, bukan dengan niat dan hati) kepada mereka. (QS Ali’Imran ayat 28).

Apabila hadhanahdiberikan kepada orang kafir ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan agamanya. Hal ini merupakan bahaya yang paling besar bagi anak tersebut. Diriwayatkan dalam sebuah hadist : “Keterangan dari Abu Hurairah Radliyallah Anha Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga lisannya pandai berbicara, ibu ayahnya yang akan membentuk dan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi” (H.R. Abu Ya’la Tabrani dan Baihaqi)46

“Dari rafi’ bin Sinan R.A bahwasanya ia masuk Islam akan tetapi istrinya enggan masuk Islam, maka Rasulullah SAW mendudukkan ibu di satu pojok dan ayah di satu pokok dan anak didudukkan diantara keduanya, lalu anak itu condong kepada ibu, maka Nabi bersabda wahai Tuhan berilah Hidayah

45Huzaimah Tahidu Yangga,Fiqih Anak,Al-Mawardi Prima,Cet. I Jakarta, 2004

46Akhmad Al-Hasmi, Mukhtar Al-Hadist Annabawi, Beirut : Darul Alamiyah, tanpa tahun, hal. 119

(13)

kepadanya, lalu anak itu condong kepada ayahnya, lalu ayah mengambil anak itu”.47

Berdasarkan nash-nash di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa seorang hadhinah yang kafir tidak boleh memelihara anak Muslim, karena masalah agama di sini sangat penting.

6. Keadaan wanita tersebut tidak bersuami

“Dari Abdullah bin Amr, bahwa seorang perempuan bertanya : Ya Rasullah, sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi pelindungnya dan air susuku yang menjadi minumannya. Tetapi tiba-tiba ayahnya merasa berhak untuk mengambilnya dariku. Maka Nabi bersabda : engkau lebih berhak terhadapnya, selama engkau belum kawin dengan orang lain”48

Hadist ini berkenaan dengan si ibu tersebut apabila menikah dengan laki-laki lain. Tetapi kalau kawin dengan laki-laki lain yang masih dekat kerabatnya dengan si anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, maka hadhanahnya tidak hilang, sebab paman itu masih berhak atas masalahhadhanah. Dan juga karena hubungannya dengan kekerabatannnya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya, maka akan terjalinnya hubungan yang sempurna di dalam menjaga si anak kecil itu, antara ibu dengan suami yang baru.

7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Kekhawatiran ketika budak diperbolehkan mengasuh anak kecil, maka yang

47Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam, Al Ikhlas, Surabaya, hal. 825

48Muhammad Rifai, dkk, Terjemahan Bulughul Maram, Wicaksana, Semarang, 1994, hal. 690

(14)

terjadi adalah terlantarnya anak asuh karena bagaimanapun sang budak harus bekerja dan mengabdi pada tuannya. Ketidakoptimalan pengasuhan terhadap anak, akan mengakibatkan tidak sempurnanya pemeliharaan atau asuhan sebagaimana mestinya

Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud denganhadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa dan mampu berdiri sendiri. Dari pengertian hadhanahtersebut telah dapat dipahami bahwa masa atau batas umur hadhanah adalah bermula dari saat ia lahir, yaitu saat di mana atas diri seorang anak mulai memerlukan pemeliharaan, perawatan maupun pendidikan, kemudian berakhir bila si anak tersebut telah dewasa dan dapat berdiri sendiri serta mampu mengurus sendiri kebutuhan jasmani maupun rohaninya.

Ketentuan yang jelas mengenai batas berakhirnya masa hadhanah tidak ada, hanya saja ukuran yang dipakai adalahtamyizdan kemampuan untuk berdiri sendiri. Jika anak telah dapat membedakan mana sebaiknya yang perlu dilaksanakan dan mana yang perlu ditinggalkan, tidak membutuhkan pelayanan perempuan dan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, maka masa hadhanah adalah sudah habis atau selesai.

Menurut Ulama’ Syafi’iyyah:

“Masa pemeliharaan anak (hadhanah) tidak ditentukan, akan tetapi anak kecil tetap pada ibunya sampai tamyiz dan mampu memilih salah satu dari kedua orangtuanya. Maka ketika ia sampai pada usia dapat memilih, ia disuruh memilih antara ibu atau ayahnya, apabila anak laki-laki memilih ibu, maka ia tinggal bersama ibunya di malam hari dan pada ayahnya di siang hari. Yang demikian itu agar terjamin pendidikannya. Apabila anak perempuan memilih

(15)

ibunya maka baginya tinggal bersama ibunya di malam hari maupun siang hari. Apabila anak kecil itu memilih tinggal bersama ayah ibunya, maka diundi di antara mereka. Dan apabil ia diam, tidak memilih salah satu dari mereka maka ia berada pada ibunya”.49

Menurut Ulama’ Hanafiyyah :

“Masahadhanah itu tujuh tahun bagi anak laki-laki dan sembilan tahun bagi anak perempuan

Menurut Ulama’ Malikiyyah:

“Masahadhanahitu mulai anak lahir sampaibalighdan bagi anak perempuan sampai ia kawin”.

Menurut Ulama’ Hanabillah :

“Masahadhanah itu tujuh tahun bagi anak laki-laki dan anak perempuan dan sesudahnya anak itu di suruh memilih di antara kedua orang tuanya. Maka ia bersama orang yang ia pilih dari merdeka.50

Dari pendapat beberapa ulama’ di atas dapat dikatakan bahwa masahadhanah itu mulai sejak lahir dan berakhir apabila anak sudah dewasa dan mampu berdiri sendiri serta mampu mengurusi sendiri kebutuhan pokoknya. Jadi dalam hal ini adanya perbedaan pendapat hanyalah mengenai batasan dewasa (mampu berdiri sendiri) dan batasan usia tamyiz. Mereka berbeda pendapat mengenai hal ini karena memang tingkat kedewasaan dan kemampuan berdiri sendiri serta usia tamyiz semestinya tidak bisa ditentukan secara pasti dengan menggunakan standar usia,

49Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Akhwal Al-Syahsiyyah, Dar Al-Ilmi Al-Malayiyyah, Bairut, tanpa tahun, hal. 95

(16)

mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhinya, seperti pendidikan, kebiasaan, lingkungan dan sebagainya.

Pendapat tersebut adalah bahwa dalam hal terjadinya perceraian, maka hadhanahterbagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Sebelum tamyiz, dimana bagi seorang anak ibunyalah yang berhak untuk menangani masalah hadhanah selama ibunya belum menikah dengan orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Dari Abdullah bin Umar RA, sesungguhnya seorang perempuan berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya anak ini di dalam perutku ia bertempat, dari putingku ia minum, dan ia selalu ku rawat dan berkumpul denganku. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikanku dan ia menghendaki akan mengambil anak itu dariku, maka Rasul berkata kepada perempuan itu : engkau lebih berhak selagi engkau belum menikah lagi (H.R Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan oleh hakim). 2. Setelah anak tersebut tamyiz sampai ia dewasa, atau mampu berdiri sendiri.

Dalam usia tamyiz itulah bagi diri si anak mempunyai hak kebebasan untuk memilih antara ikut ayah atau ibunya, karena dalam usia tersebut, anak sudah mempunyai kecenderungan untuk memilih siapa yang ia lebih senangi. Hal tersebut berdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW : “Dari ABi Hurairah R.A sesungguhnya seorang perempuan berkata : “Ya, Rasulullah sesungguhnya suamiku menghendaki bepergian bersama anakku. Dan benar-benar ia memberi kemanfaatan bagiku mengambil air dari

(17)

sumurnya Abi’ Inabah, maka datang suaminya. Nabi bersabda : hai anak…ini ayahmu dan ini ibumu, maka peganglah dengan tangan mana yang kau maui, maka pergilah ibu dengan anak tersebut” (H.R Ahmad dan Imam empat disahihkan oleh Tirmidzi)51

Dari kedua hadist tersebut dapat dikatakan bahwa masa hadhanah (pemeliharaan anak) yang belum mumayyiz menjadi kewajiban bagi ibu. Apabila anak tadisudah mumayyiz, maka diberi kebebasan untuk memilih diantara keduanya (ayah/ibu), siapa baginya yang merasa dapat memelihara, memberi keamanan, dan mengayomi baginya (anak).

Dalam penelitian ini kedua orangtua dari anak tersebut telah meninggal dunia, dan permasalahannya adalah bahwa keluarga pihak perempuan (nenek) dan keluarga pihak laki-laki (paman) saling berebut terhadap anak-anak yang telah menjadi yatim piatu tersebut. Dalam hal ayah dan ibu dari anak-anak tersebut telah meninggal dunia maka ada ketentuan yang harus diikuti siapa yang paling berhak untuk menjadi hadhinah terhadap anak-anak yang telah ditinggal oleh karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Hadhinah dan hadhanah terhadap anak-anak yang telah ditinggal oleh kedua orangtuanya karena telah meninggal dunia menjadi hak dari keluarga kedua orangtua tersebut. Yang memiliki hak secara berurutan sesuai dengan kedudukan keluarga dari anak-anak tersebut untuk memperoleh hak asuhnya.

Pengasuhan disamping hak dari anak asuh juga merupakan hak dari pengasuh. Anak asuh berhak mendapatkan pengasuhan dari pengasuhnya karena ia memerlukan

(18)

pemeliharaan, bimbingan, petunjuk, pelajaran dan sebagainya yang sangat diperlukan untuk menghadapi kehidupan terutama sebagai seorang muslim pada masa yang akan datang. Demikian pula halnya pengasuh ia berhak atas pengasuhan anak asuhnya karena ia termasuk orang yang menginginkan kebahagiaan dan kemaslahatan anaknya pada masa yang akan datang. Sebagian ahli figh berpendapat bahwa pengasuhan anak yang paling baik adalah apabila dilaksanakan oleh kedua orangtuanya yang masih terikat tali perkawinan.52

Tugas mengasuh lebih diutamakan pada ibunya sampai anak itumumayyiz.53 Setelah anak mumayyiz maka anak tersebut diserahkan kepada pihak yang lebih mampu, baik dari segi ekonomi maupun dari segi pendidikan diantara keduanya. Jikalau keduanya mempunyai kemampuan yang sama maka anak itu diberi hak untuk memilih yang mana diantara kedua, ayah dan ibunya yang ia sukai untuk tinggal bersama. Atas dasar inilah, maka para ahli fiqh di atas memperlihatkan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari pada kerabat ayah dalam menangani masalah hadhanah. Berikut ini pendapat beberapa ahli fiqh mengenai urutan orang-orang yang berhak dalam hadhanah, dengan ketentuan apabila orang yang menempati urutan terdahulu terdapat suatu halangan yang mencegahnya dari hak hadhanah, maka hak tersebut berpindah kepada orang yang menempati urutan berikutnya. Dalam hal ini halangan yang dimaksud adalah bahwa hak asuh (hadhanah) dari anak-anak tersebut tidak

52Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Cet I, Jakarta : 1974, hal. 31

53Muhammad Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam, PT Hidakarya Agam, Jakarta, 1957, hal. 146

(19)

dapat lagi dilaksanakan oleh kedua orangtuanya karena telah meninggal dunia. Oleh karena itu apabila kedua orang tua dari anak tersebut telah meninggal dunia maka hadhanah dari anak-anak tersebut secara berurutan dapat dialihkan / beralih kepada orang yang menempati urutan berikutnya yang berhak atas hak asuh anak tersebut. Adapun urutan dari hak asuh dan pengasuh atas anak-anak yang telah ditinggalkan oleh kedua ayah ibunya karena meninggal dunia adalah sebagai berikut :

Menurut Ulama’ Syafi’iyyah :

“Ibu, kemudian ibunya ibu, apabila tidak ada, dengan syarat ada hubungan waris, kemudian ayah, kemudian ibunya ayah, kemudian ibunya ibu, apabila tidak ada dengan syarat ada hubungan waris kemudian kerabat dekat dari arah perempuan, kemudian kerabat dekat dari arah laki-laki”.

Menurut Ulama’ Hanafiyyah :

“Pindahnya hak hadhanah dari ibu kepada ibunya, kemudian ibunya ayah, kemudian saudara perempuan sekandung, kemudian saudara perempuan seibu, kemudian saudara perempuan seayah, kemudian anak perempuan saudara perempuan sekandung, kemudian anak perempuan saudara perempuan seibu demikian itu hingga sampai kepada bibi (darai ibu) dan bibi (dari ayah).

Menurut Ulama’ Malikiyyah :

“Pindahnya (hak hadhanah)dari ibu kepada ibunya, jika tidak ada kemudian bibi dari ibu sekandung kemudian bibi dari ibu yang seibu, kemudian bibinya ibu (dari arah ibu), kemudian bibinya ibu (dari ayah), kemudian ibu ibunya ayah, kemudian ibunya ayahnya ayah dan seterusnya.54

Uraian diatas adalah pendapat beberapa ulama mengenai urut-urutan orang yang berhak dalamhadhanah (mengasuh anak). Sayyid Syabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah menambahkan mengenai anak yang tidak mempunyai kerabat satupun, yaitu : “Maka apabila sudah tidak ada satupun kerabatnya, maka hakim bertanggung jawab untuk menetapkan siapakah orang yang patut menangani hadhanah ini”.

(20)

C. Penyebab PembatalanHadhanah(Hak Asuh Anak)

Sebagaimana yang telah diterangkan dalam uraian di atas bahwa hadhanah (hak asuh anak) yang paling berhak diberikan kepada kedua orangtua yaitu ibu dan ayah kandungnya. Apabila ibu kandung berhalangan karena sesuatu hal (dicabut hak asuhnya) oleh pengadilan maka hak asuh anak tersebut jatuh kepada ayah kandungnya. Apabila ayah kandungnya berhalangan karena dicabut hak asuhnya oleh pengadilan maka hak asuh atas anak secara berurutan menurut Ulama’ Syafi’iyyah diberikan kepada :55

1. Nenek (Ibu dari ibu kandung anak tersebut) 2. Nenek (Ibu dari ayah kandung anak tersebut)

3. Paman (abang atau adik kandung dari ibu kandung anak tersebut) 4. Paman (abang atau adik kandung dari ayah kandung anak tersebut)

Dari uraian tersebut di atas maka apabila ayah atau ibu kandung dari anak tersebut berhalangan tetap (dicabut hak asuhnya) oleh pengadilan atau telah meninggal dunia maka yang paling berhak pertama sekali untuk memperoleh hak asuh atas anak tersebut adalah nenek (ibu dari ibu kandung anak tersebut). Apabila nenek (ibu dari ibu kandung anak tersebut) tidak ada, telah dicabut hak asuhnya oleh pengadilan atau meninggal dunia maka hak asuh atas anak-anak tersebut beralih kepada nenek (ibu dari ayah kandung anak tersebut). Apabila nenek (ibu dari ayah kandung anak tersebut) tidak ada, dicabut hak asuhnya oleh pengadilan atau telah

55Umar Syahdana, Hak Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam Ditinjau Dari Hukum

(21)

meninggal dunia maka hak asuh atas anak tersebut beralih kepada paman (abang atau adik kandung dari ibu kandung anak tersebut). Apabila paman (abang atau adik kandung dari ibu kandung anak tersebut) tidak ada, dicabut hak asuhnya oleh pengadilan atau telah meninggal dunia maka hak asuh atas anak tersebut beralih kepada paman (abang atau adik kandung dari ayah kandung anak tersebut). Dalam hal hak asuh atas anak tersebut telah dialihkan tidak berdasarkan urutan hak asuh atas anak sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pihak yang merasa lebih berhak dapat mengajukan permohonan kepada pihak yang telah memperoleh hak asuh atas anak-anak tersebut untuk mengembalikan anak-anak-anak-anak tersebut kepada pihaknya yang berdasarkan ketentuan lebih berhak dalam mengurus / mengasuh anak-anak yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya tersebut.

Permohonan untuk meminta kembali anak-anak tersebut dari pihak keluarga yang lain untuk dikembalikan kepada pihak keluarga yang lebih berhak atas anak-anak tersebut dapat dilakukan terlebih dahulu dengan cara musyawarah mufakat secara kekeluargaan. Musyawarah mufakat secara kekeluargaan ini lebih mengedepankan ikatan persaudaraan (silaturahmi) antara kedua keluarga suami istri yang telah meninggal dunia tersebut. Sehingga kemungkinan besar dapat ditempuh solusi yang lebih baik tanpa harus menempuh jalur tuntutan ke pengadilan (litigasi).

Dalam kasus yang terdapat dalam penelitian ini anak-anak tersebut telah berada di dalam pengasuhan dari keluarga ayah kandung anak tersebut yaitu paman (adik dari ayah kandung anak tersebut). Paman tersebut memperoleh hak asuh atas

(22)

anak-anak itu melalui keputusan Mahkamah Syariah Meulaboh Nomor 25/Pdt.P/2005/M.Sy-Mbo, yang menyatakan bahwa ketiga anak-anak tersebut berada dibawah pengasuhan Tuan BG yang merupakan paman (adik dari ayah kandung anak tersebut) sampai dengan batas umur yang dianggap dewasa dan bertanggung jawab atas segala biaya pendidikan dan semua kehidupan pokok si anak dan juga mengatur harta bendanya. Keputusan Mahkamah Syariah Meulaboh di atas telah bertentangan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Ulama’ Syafi’iyyah, dimana keluarga yang paling berhak untuk memperoleh hak asuh atas anak-anak tersebut, selain dari ayah dan ibu kadungnya adalah nenek (ibu kandung dari ibu anak-anak tersebut). Sedangkan keputusan Mahkamah Syariah Meulaboh telah menetapkan bahwa paman (abang kandung dari ayah anak tersebut) yang memperoleh hak asuh dari anak-anak tersebut. Selain bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Ulama’ Syafi’iyyah keputusan Mahkamah Syariah Meulaboh tersebut juga bertentangan dengan prinsip hadhanah. Hadhanah pada prinsipnya adalah merupakan hak pengasuhan atas anak-anak dari orangtua yang telah meninggal dunia, baik mumayyiz (di atas 12 tahun) maupun yang belum mumayyiz (masih belum berumur 12 tahun), yang seharusnya pengasuh tersebut berada dekat dengan anak-anak yang diasuhnya, memberikan perhatian dan pendidikan yang cukup kepada mereka dan berada satu tempat tinggal bersama mereka.

Paman (abang kandung dari ayah anak-anak tersebut) tidak berada satu tempat tinggal dengan anak-anak yang diasuhnya, karena pengasuh berada di

(23)

Meulaboh sedangkan anak-anak yang diasuhnya berada di kota Medan. Jarak yang begitu jauh antara Meulaboh dengan Medan menjadi penghalang untuk dilaksanakannya prinsip hadhanah (hak asuh atas anak) yang baik dan benar berdasarkan ketentuan / syariat yang terdapat dalam Islam. Paman (pengasuh anak tersebut) dengan jarak tempat tinggal yang begitu jauh tidak mungkin dapat melakukan bimbingan, didikan, perhatian yang sempurna terhadap anak-anak yang diasuhnya karena tempat tinggal pengasuh berjarak cukup jauh dengan tempat tinggal anak-anak yang diasuhnya. Sedangkan dalam prinsip hadhanah yang paling diutamakan adalah bagaimana memberikan perhatian, pendidikan dan kasih sayang yang seutuhnya dari pengasuh kepada anak-anak yang diasuhnya. Oleh karena itu ketetapan Mahkamah Syarih Meulaboh tersebut dipandang sebagai penyimpangan dari asashadhanahsesuai dengan ketentuan dan syariat Islam.

Dengan terjadinya penyimpangan atas prinsip hadhanah berdasarkan syariat Islam maka terbuka kemungkinan untuk dilakukannya pengalihan hak asuh atas anak tersebut kepada pihak yang lebih berhak atas anak-anak tersebut. Nenek (ibu kandung dari ibu anak-anak tersebut) sebagai keluarga yang paling berhak atas anak-anak tersebut berdasarkan ketentuan yang digariskan oleh Ulama’ Syafi’iyyah mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Medan dalam upaya mengalihkan hak asuh atas anak tersebut dari paman (abang dari ayah anak-anak tersebut) kepada nenek (ibu kandung dari ibu anak-anak tersebut) dengan alasan bahwa paman (pengasuh) bertempat tinggal tidak sama dengan tempat tinggal anak-anak yang diasuhnya tersebut

(24)

sehingga kemungkinan besar prinsiphadhanahtidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar oleh paman tersebut.

Penyebab pembatalanhadhanah (hak asuh atas anak dari ayah dan ibu yang telah meninggal dunia) adalah sebagai berikut :

1. Hadhanah(hak asuh atas anak) tersebut tidak diberikan kepada keluarga yang paling berhak berdasarkan urutan yang telah ditetapkan oleh ketentuan dan syariat yang terdapat dalam Islam tetapi diberikan kepada pihak keluarga yang urutan haknya berada dibawah urutan keluarga yang lebih berhak.

2. Pengasuh yang diberikan hak asuh anak-anak tersebut tidak mempunyai waktu dan tidak cakap untuk melaksanakanhadhanah dengan baik dan benar meskipun pengasuh tersebut memiliki hak untuk mengasuh anak-anak dari orangtua yang telah meninggal dunia tersebut.

3. Anak-anak yang berada dibawah pengasuhan dari pengasuh(hadhinah) yang telah ditunjuk merasa tidak nyaman dalam pengasuhan dari pengasuh tersebut, meskipun pengasuh (hadhinah) memiliki hak dalam mengasuh anak-anak tersebut.

4. Anak-anak yang mumayyiz (sudah berumur 12 tahun ke atas) memiliki hak untuk memilih sendiri pengasuhnya (hadhinah) meskipun kepadanya telah ditunjuk pengasuh yang lebih berhak atas hak asuh terhadap dirinya. Pengalihan pengasuh yang dipilih oleh mumayyiz (anak-anak yang sudah

(25)

berumur 12 tahun ke atas) tersebut merupakan hak yang harus dipatuhi sesuai ketentuan dan syariat yang terdapat dalam Islam.

5. Penetapan pengasuh (hadhinah) yang telah ditunjuk untuk mengasuh anak-anak dari ayah dan ibu yang telah meninggal dunia tersebut dapat saja dibatalkan penetapannya oleh pengadilan apabila dipandang pengasuh tersebut tidak cakap / tidak layak karena sifat dan karakternya sehingga mengakibatkan anak-anak yang berada dalam asuhannya tidak merasa nyaman dan tentram.

Referensi

Dokumen terkait

(a) Anak belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya kecuali bila ibunya telah meninggal maka kedudukannya diganti oleh: (1) Wanita- wanita garis lurus keatas

(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat. (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j

43 Muhammadiyah Amin, “Kedudukan Anak di Luar Nikah (Sebuah Analisis Perbandingan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam, dan KHI)”, dalam: Pendalaman Hukum Perorangan dan

Jurnal yang ditulis oleh Endah Mayangsari yang berjudul “Hubungan Keperdataan Anak Luar Nikah Akibat Perceraian Li’an Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang- Undang

Hanya apabila sebagai akibat itu, orang tua yang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian, ia tidak akan berhak atas hasil harta kekayaan anak-anaknya (Pasal 311

Istilah kuasa/hak asuh anak merujuk kepada arti yang berarti kekuasaan seseorang (ayah/ibu/nenek, dan lain-lain) atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan

Sedangkan Children in the street atau children from families of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya dijalanan yang berasal dari keluarga

Jauhari, Iman, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami , Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003. ____________, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press,