• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 SAKRALITAS, RESISTENSI DAN PEMBANGUNAN. itu, penulis akan menguraikan teori-teori tersebut sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 SAKRALITAS, RESISTENSI DAN PEMBANGUNAN. itu, penulis akan menguraikan teori-teori tersebut sebagai berikut:"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB 2

SAKRALITAS, RESISTENSI DAN PEMBANGUNAN

Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai permasalahan yang akan diteliti, yakni resistensi masyarakat Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga atas nama pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Permasalahan tersebut memiliki beberapa konsep yang akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan teori sakralitas, resistensi dan pembangunan. Karena itu, penulis akan menguraikan teori-teori tersebut sebagai berikut:

2.1 Sakralitas dan Totem

Ketika seseorang mendengar suatu kata atau melihat benda serta hal-hal yang sifatnya “sakral” maka terlintas di dalam pikirannya ialah tidak sembarangan, sangat dihormati serta memiliki aturan-aturan. Definisi utama dari dunia sakral ialah terpisah dari kehidupan dan pemanfaatan sehari-hari, yang ditempatkan dalam sebuah pantangan.1 Menurut Supriyono, yang sakral adalah poros utama yang mencakup seluruh dinamika masyarakat. Dalam masyarakat selalu ada nilai yang disakralkan atau disucikan. Sakral dapat berupa simbol utama, nilai-nilai, dan kepercayaan (beliefs) yang menjadi inti sebuah masyarakat.2 Inilah yang dimaksud oleh Durkheim bahwa setiap agama selalu ditandai dengan dikotomi antara yang sakral dan yang profan. Pemilahan seperti ini yang melandasi pemikiran religius antara lain keimanan, mitos, agama, dogma dan

1

William Ramp, Durkheim dan Masa Sesudahnya: Agama, Kebudayaan dan Politik –

sebuah bunga rampai – ed. Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) 93

2 Johannes Supriyono, Paradigma Kultural Masyarakat Durkheimian, ed. Mudji Sutrisno

(2)

18

legenda merupakan representasi yang mengekspresikan hakikat hal-hal yang sakral, kualitas dan kekuatan-kekuatan yang dilekatkan pada yang sakral.3

Dalam pemikiran Durkheim, agama adalah kohesi sosial yang kuat antara pengalaman kolektif (collective conscious) yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral dan kudus (sacred realm). Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda sakral, yang terlarang dan menyatu dalam suatu komunitas. Religi dimaksudkan sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan keyakinan dan ritus yang sakral, artinya yang terpisah dan pantang. Peter Berger menyebutkan bahwa agama adalah suatu usaha manusia untuk membentuk suatu kosmos sakral. Dengan kata lain, agama adalah kosmisasi dalam suatu cara yang sakral. Dengan kata “sakral” dimaksudkan sebagai suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan dari manusia tetapi berkaitan dengannya, yang diyakini berada dalam objek-objek.4 Dalam penelitiannya, Durkheim menggambarkan sakral dan profan melalui apa yang disebut totem.

Menurut Durkheim, totem adalah simbol klan itu sendiri, terkait dengan kekuatan yang ada di baliknya, maka totem sekaligus merupakan simbol kohesi dan identitas sosial. Totem menyatukan setiap anggota klan dalam suatu ikatan khusus yang bukan didasari oleh adanya hubungan darah (geneologis). Durkheim menyatakan bahwa bentuk-bentuk agama yang paling awal adalah totemisme.5 Kepercayaan totemisme adalah yang paling penting dalam masyarakat primitif,

3 Bryan S. Turner, Relasi Agama dan Teori: Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: IRCiSoD,

2012) 93

4 Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, trj. Hartono, (Jakarta:

LP3ES, 1991) 32

5 George Ritzer dan Barry Smart, Handbook Teori Sosial, (Bandung: Nusa Media, 2015)

(3)

19

karena seluruh aspek kehidupan mereka dipengaruhi oleh totem-totem tersebut.6 Dalam penelitian Durkheim di suku-suku primitif Australia, ikatan tersebut ditandai dengan marga. Nama yang dipakai adalah nama dari benda-benda tertentu yang dianggap memiliki hubungan khusus. Spesies yang dipakai sebagai nama marga secara kolektif menjadi totem marga tersebut. Setiap anggota yang menyandang nama ini, merupakan bagian dari suku dengan hak yang sama pula, dan bagaimana pun luasnya wilayah sebuah suku, mereka memiliki hubungan kekeluargaan yang sama satu dengan lainnya. Totem marga menjadi totem bagi setiap anggotanya.7 Masyarakat juga percaya bahwa mereka memiliki hubungan dengan totem itu.8

Bagi Durkheim, totem dianggap sakral oleh suku yang memilikinya. Totem

yang dimaksud yakni binatang, tumbuhan, juga berbentuk objek atau benda tertentu.9 Totem-totem tersebut menggambarkan konsep yang sakral dan profan. Definisi utama dari dunia sakral menyatakan bahwa yang sakral itu terpisah dari kehidupan dan pemanfaatan sehari-hari, yang ditempatkan dalam sebuah pantangan. Sebaliknya, yang profan, dapat disentuh, digunakan atau dikonsumsi sehari-hari.10 Para penganut kepercayaan totem, sebenarnya tidaklah memuja

totem tersebut. Mereka menyembah satu kekuatan yang impersonal di baliknya. Dalam kepercayaan totem, terdapat Tuhan yang mereka sembah dan mengejawantah ke berbagai benda yang ada di alam raya.11 Artinya, totem

6

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, trj. Ridwan Muzir dan M. Syukri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018) 177

7 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, trj. Muzir R. Inyiak dan

Syukri. M, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), 155

8

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, trj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1986) 197

9 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 9 10 Ramp, Durkheim dan Masa Sesudahnya, 93

11

(4)

20

dipersonifikasikan dan direpresentasikan secara imajinatif menjadi binatang atau tumbuh-tumbuhan yang terlihat dan dijadikan totem. Durkheim menemukan lambang atau simbol-simbol binatang totem tersebut sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut bukan hanya dianggap sebagai bagian “yang sakral”, akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang sakral.12 Inilah yang disebut Durkheim sebagai “prinsip-prinsip totem”, yang menjadi titik pusat seluruh kepercayaan dan ritual klan. Dari totem-totem

tersebut, Durkheim menggambarkan konsep yang sakral dan profan. Durkheim mendefinisikan agama dari sudut pandang ”yang sakral” (Sacred). Ini berarti agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang sakral. Definisi sakral adalah yang disisihkan, yang diletakkan terpisah dari hal-hal yang Profan.13 Sakral atau suci (sacred) menurut Mangunjaya, sacred sering diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia sebagai yang „suci‟ atau sakral. Sacred berasal dari bahasa Latin, sacrum dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai holy. Artinya, tempat atau objek yang memiliki makna dan memiliki konsep yang dipercaya oleh pengikutnya sehingga sangat dihormati.14 Hakikat yang sakral menurut Mircea Eliade, adalah wilayah supranatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan, teramat penting, tempat di mana segala keteraturan dan kesempurnaan berada.15 Tidak

12 Kamiruddin, “Fungsi Sosiologis Agama: Studi Profan dan Sakral Menurut Emile

Durkheim”, Jurnal Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama Vol. 3 No. 2 2011, Riau, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 166

13 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 434

14 Soedjito, Herwasono Y. Purwanto & Sukara Enda, Situs Keramat Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009) 31

15 Pals, Seven Theories of Religion, 234. Fokus perhatian utama mengenai agama menurut

Eliade adalah yang supernatural, sifatnya mudah dimengerti dan sangat sederhana. Agama terpusat pada dan dari yang sakral, bukan hanya sekedar menggambarkan agama seperti yang dilihat dari kacamata sosial. Pandangannya mengenai agama lebih dekat kepada Tylor dan Frazer yang telah

(5)

21

hanya batu, pohon, tetapi bagi mereka yang memiliki pengalaman religius, seluruh alam dapat mengungkapkan dirinya sebagai sakralitas kosmik.16

Pemahaman yang sakral dilingkupi dengan seperangkat aturan bahwa tidak semua orang boleh menyentuh totem, aturan tersebut tak boleh dilanggar serta ada nilai-nilai yang harus dipertahankan, yakni dengan ritual atau ritus. Menurut Durkheim, ide kesucian terbentuk dalam masyarakat ketika para anggotanya berkumpul bersama-sama dalam kesempatan khusus yang disebut ritus. Ritus membentuk dan memperkuat kesadaran tentang keberadaan kekuatan suci, kekuatan yang lebih superior di luar diri mereka dan mendominasi. Ritus merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan cara manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral.17 Bagi Durkheim ritual atau pemujaan ini disebut sebagai pemujaan negatif. Ritus ini berbentuk larangan-larangan atau tabu (taboo), yakni sesuatu yang terlarang dari penggunaan biasa dalam kehidupan sehari-hari.18 Ritual ini memisahkan yang sakral dan profan dan juga menghalangi terjadinya percampuran dan kontak yang tak diizinkan antara yang sakral dan profan. Hal-hal yang sakral cenderung dianggap memiliki martabat dan kekuatan yang lebih superior ketimbang hal-hal yang profan.19 Bagi Durkheim, larangan-larangan ini didasarkan pada prinsip bahwa yang profan tidak dapat bersentuhan dengan yang sakral karena dengan adanya hubungan yang sakral, masyarakat tidak akan keluar dari aturan yang ditetapkan dalam ritual

lebih dahulu mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supernatural. Inilah yang membedakannya dengan teori Durkheim mengenai yang sakral.

16 Mircea Eliade, The Sacred and The Profane, (New York: HBJ Book, 1959) 8-11 17 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 72

18 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 434 19

(6)

22

tersebut.20 Larangan tersebut memuat ide tentang yang sakral. Karena itu, dapat dipahami bahwa ritus ini bertujuan agar masyarakat menjaga totemnya tetap sakral.

Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral, di mana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaannya. Orang-orang yang melanggar aturan tersebut berarti telah menjerumuskan dirinya pada hal yang berbahaya. Pelanggaran itu sendiri diyakini secara langsung mendatangkan kematian.21 Pemahaman yang sakral (suci, kudus atau holy) adalah produksi dari manusia atau masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa yang sakral merupakan ikatan primordial masyarakat yang mempersatukan”.22

Karena itu, bagi Durkheim agama bersifat sosial. Keyakinan dan ritual keagamaan dalam masyarakat jauh lebih penting. Inilah yang membedakan antara agama dan magis. Magis merupakan upaya individual yang tidak menyatukan pada suatu kelompok yang sama, sedangkan agama tidak dapat dipisahkan dari komunitas.23 Magis berkaitan dengan urusan-urusan yang bersifat pribadi dan hampir tidak ada hubungannya dengan yang sakral. Agama dan magis sama-sama memiliki ritus, mitos dan ajarannya, juga menjelaskan cara kerja alam agar dapat dikuasai demi kepentingan manusia, tapi yang satu bersifat sosial dan yang satu bersifat personal. Artinya, bagi Durkheim, fungsi yang sakral adalah faktor utama yang berperan dalam kehidupan sosial atau masyarakat secara keseluruhan.24 Akan

20

Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 438

21 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 192 22 Johannes Supriyono, Paradigma Kultural, 101

23 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 76-77 24

(7)

23

tetapi, pemahaman „yang sakral‟ ini semakin bergeser dan menjadi tidak suci atau sakral lagi bila arus modernisasi semakin mendesak tradisi atau keyakinan itu.25

Selanjutnya, Durkheim menjelaskan bahwa totem bukan hanya sekedar sebuah nama. Tetapi juga merupakan tanda, lambang dan simbol dari masyarakat itu sendiri.26 Totem merupakan identitas dan setiap orang harus mengenakannya. Secara etimologis, totem berasal dari kata dodaim, yang berarti kampung atau tempat tinggal kelompok keluarga. Masyarakat sangat terikat dengan totem dan

totem mempersatukan mereka.27 Totem merupakan sesuatu yang konkrit,

gambaran nyata dari sebuah klan. Totem bagaikan bendera atau logo, merupakan lambang, sama ketika seseorang mengatakan bahwa „Paman Sam‟ adalah simbol nyata dari Amerika Serikat. Jadi, totem merupakan tanda pengenal dalam sebuah kelompok atau klan.28 Nama atau lambang yang dikenakkan pada klan tidak hanya sekedar sebuah kata, melainkan bagian dari being dan ia adalah bagian yang sangat esensial. “Seorang manusia menganggap sesuatu yang menjadi

totemnya sama dengan dirinya sendiri”.29

Prinsip-prinsip totem yang meyakini sosok Tuhan di dalam masyarakat, bisa jadi merupakan sesuatu yang lain dari klan itu sendiri, yang direpresentasikan menjadi binatang atau tumbuhan yang dijadikan totem secara imajinatif. Artinya,

totem adalah simbol klan dan sekaligus sebagai Tuhan, karena pada dasarnya adalah hal yang sama. Jadi, penyembahan yang dilakukan oleh klan ini sebenarnya adalah bagaimana masyarakat primitif tersebut mengekspresikan dan memperkuat kepercayaan mereka kepada klan. Suatu hal yang penting ialah

25

Soedjito, Purwanto & Sukara, Situs Keramat, 31

26 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 170 27 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 172 28 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 170 29

(8)

24

individu menghilangkan dirinya secara pribadi dan melebur dalam kerumunan kelompok dan diwadahi di dalam ritual dan upacara keagamaan. Mereka meninggalkan hal-hal mereka miliki dan menggabungkan identitas pribadi mereka ke dalam diri klan yang lebih besar. Masyarakat yang menghormatinya dan memiliki tanggung jawab moral harus melaksanakan upacara-upacara pemujaan. Ritual menghubungkan dan mempersatukan setiap anggota dan memberikan perasaan totalitas yang menggelora. Perasaan yang dimiliki mampu mendefinisikan dan menetapkan haluan diri mereka di dalam kosmos dan memberi mereka makna yang kreatif.30 Melalui upacara atau ritual itu, masyarakat merasa semakin mempunyai ikatan satu sama lain, memiliki kesetiaan dan loyalitas yang tinggi bahkan memberikan kesadaran tentang arti penting klan serta mengukuhkan perasaan menjadi bagian dari klan.31

2.1.1 Situs Suci (Sacred Site) dan Ikatan Sosial (Social Bond)

Perspektif Lynn Ross-Bryant mengenai yang sakral dari sebuah situs dalam penelitiannya berjudul Sacred Sites: Nature and Nation – National Parks of United State32 yang berusaha mengeksplorasikan bahwa setiap negara memiliki identitasnya sendiri dan setiap negara memiliki simbol yang ditandai dengan adanya situs. Ross-Bryant melakukan penelitian di situs Taman Nasional Amerika

(National Park of America) dan mengeksplorasikan bagaimana sebuah situs ternyata memiliki arti penting dalam masyarakat serta menjadi bagian dari identitas dan budaya orang Amerika. Ketika berbicara mengenai situs, yang terlintas dalam pemikiran ialah „pariwisata‟ dan sebagai kebutuhan ekonomi suatu

30 Ramp, Durkheim dan Masa Sesudahnya, 95 31 Pals, Seven Theories of Religion, 179

32 Lynn Ross-Bryant, “Sacred Sites: Nature and Nation In the U.S. National Parks”. Religion and American Culture: A Journal of Interpretation, Vol. 15 No. 1 2005, Winter, 31-62.

(9)

25

daerah. Tapi bagi Ross-Bryant, pentingnya situs harus melampaui pemikiran tersebut. Taman Nasional telah memainkan peran sentral bagi wacana pemersatu Amerika.33 Setiap orang seperti kembali ke masa lalu dan merasakan nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya yakni nilai-nilai yang telah membuat bangsa ini hebat. Taman ini merupakan ikon nasional yang membuat kehidupan nasional warga menjadi lebih baik serta menjadi identitas nasional orang Amerika.34

Every people has a right to its cultural past. The diversity of peoples and cultures is the wealth of a country.35

Situs memiliki kaitan dengan peristiwa sejarah penting dalam kehidupan masyarakat, budayanya dan cara hidupnya.36 Masyarakat mampu melihat sejarah dan perjuangan dari para pendahulu atau leluhur. Misalnya Patung Liberty merupakan simbol kemerdekaan, kebebasan serta lambang persahabatan orang Amerika Serikat. Lalu Monumen Presiden Abraham Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi, yang mengakhiri perbudakan di Amerika serta kalimat “I

have a dream” yang dituliskan di atas tanah oleh Martin Luther King Junior yang merupakan seruan kesetaraan ras dan berakhirnya diskriminasi. Selain itu monumen-monumen situs yang lain juga mengingatkan kembali perjuangan para pendahulu untuk masyarakat Amerika yang lebih baik dan bersinar. Itu berarti, bagi Ross-Bryant, situs memberi nilai-nilai historis bagi masyarakat untuk melihat bagaimana sampai daerah itu terbentuk dan bagaimana para pendahulu memperjuangkan tanah itu, sehingga masyarakat dapat melihat sejatinya daerah tersebut. Karena itu, situs menjadi situs suci (sacred site) bagi masyarakat yang

33

Ross-Bryant, “Sacred Sites..”, 31

34 Ross-Bryant, “Sacred Sites..”, 32

35 Ulyana A. Vinokurova and Lillia P. Dambaeva, “Sacred Sites of the Sakha People”, Anthropology and Archeology of Eurasia, Vol. 47, No. 3, Winter 2008–9, 38

36

(10)

26

dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kebudayaan.37 Menurut Garg, situs suci ialah sebuah monumen agama, kuil, tempat suci dan juga memiliki relevansi historis. Karena itu, Taman Nasional adalah ruang suci (sacred space) bagi orang Amerika dan menjadi ikatan sosial (social bond) yang dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kebudayaan. Cita-cita bersama ini didapat dari ziarah di Taman Nasional sehingga masyarakat terasa menjadi bagian dari komunitas Amerika bahkan dari “apa yang dianggap sebagai sesuatu yang suci menjadi satu

kekuatan bagi bangsa”.38 Vinokurova dan Dambaeva menyebutnya sensation of country, di mana masyarakat memiliki pengetahuan lokalnya dan memiliki memori-memori mengenai tempat itu sehingga ada rasa hormat di dalamnya.39

Selain itu, masyarakat dapat merasakan bagaimana terbentuknya alam semesta dan melihat “orang Amerika pertama”. Masyarakat akan melihat bahwa taman dan pemandangan (landscape) yang memiliki kemampuan untuk menginsipirasi, menstabilkan, menyembuhkan, memberikan pemulihan dan juga ada kedamaian. Menurut Vinokurova dan Dambaeva, hal ini membuktikan bahwa situs merupakan ruang spiritual (spiritual space).40 Alam menjadi sumber keagungan dan sumber perwujudan sehingga dapat membentuk pola dasar dari Amerika itu sendiri.

Dalam tulisan Ross-Bryant, kata „ziarah‟ memiliki arti yang sangat penting bagi orang Amerika. Ketika manusia berada di luar taman itu, ia hanya menjadi manusia yang berinteraksi dengan sesama dan masyarakat. Namun, ketika seseorang mengenakan „ziarah‟ mengunjungi Taman Nasional ini akan

37

Ross-Bryant, “Sacred Sites..”, 32

38 Bahan Kuliah Magister Sosiologi Agama (MSA) 2018 oleh Izak Y. M. Lattu di

Universitas Kristen Satya Wacana, 5 September 2018, “Ritual, Simbol dan Integrasi Sosial.”

39 Vinokurova and Dambaeva, “Sacred Sites of the Sakha People”, 39 40

(11)

27

membantunya untuk memahami adanya daya tarik yang kuat dari taman tersebut. Menurut Alex Jebadu, ziarah merupakan petualangan rohani yang sangat populer dan bagi para peziarah perjalanan mereka menjadi bagian dari devosi. Melalui ziarah, para peziarah akan mengadakan permohonan khusus kepada yang suci atau bersyukur atau bersyukur atas rahmat yang diterima dari yang kudus.41 Garg juga mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan ziarah ketika mengunjungi situs tersebut melakukan ritual.42 Studi yang dilakukan oleh Natijama menuliskan bahwa ziarah menjadi bagian dari ritus masyarakat. Najitama mengutip penelitian yang dilakukan oleh Chambert menjelaskan bahwa ziarah merupakan ritus yang universal.43 Ross-Bryant mengutip Alan Morinis dalam tulisannya yang mengatakan:

A pilgrimage sites as a sacred space to which people travel that embodies the intensified version of the collective ideals of the culture.44

Seperti halnya ketika seseorang „berziarah‟ di kubur maka ia secara spontan akan menangis di kubur tersebut karena mengingat kembali kisah dan kenangan yang pernah dibuatnya bersama orang yang telah mendahuluinya. Dalam konteks Indonesia khususnya para peziarah, baik di Yogyakarta maupun masyarakat Jawa, berharap mendapatkan berkah untuk mengatasi berbagai masalah hidup yang mereka hadapi. Sebagian peziarah datang untuk memperoleh pengalaman spiritual

(spiritual experience) dalam rangka mendekatkan diri kepada Yang Ilahi

41 Alex Jebadu, Bukan Berhala!: Penghormatan Kepada Leluhur, (Maumere: Ledalero,

2009) 177

42

Arti Garg, “Typology of Sacred Groves and Their Discrimination From Sacred Sites”,

Current Science, Vol. 104, No. 5, 10 March 2013, 597

43 Fikria Natijama, “ZiarahSuci dan Ziarah Resmi”, Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11. No.1 Januari-Juni 2013, 19-30

44

(12)

28

(transcenden).45 Karena itu, masyarakat lokal yang menganggap situs sebagai situs religius, mereka dapat melakukan ritual-ritual sesuai dengan adat istiadat mereka untuk menghormati dewa langit, roh alam, dan roh lainnya.

Folk customs associated with sacred sites are intended to strengthen the respect and devotion of peoples to the cultural, cultural or natural and historical or cultural heritage of their ancestors.46

Selain itu, situs Taman Nasional Amerika, mampu membuat orang-orang

flashback47 dengan apa yang terjadi di masa lampau. Mereka melihat bahwa alam merupakan “Amerika sejati”, sehingga tercipta untuk menghormati bangsa. Terciptanya cita-cita akan membentuk respect bagi tanah dan bangsa serta terdorong untuk menjadi warga negara yang baik. Bagi Ross-Bryant, tanah juga merupakan bagian yang terintegrasi dengan situs suci tersebut. Dalam penelitiannya di Taman Nasional Amerika, tanah memberikan konsep penemuan pulau „Amerika‟ dan „orang-orang Amerika‟. Ross-Bryant mengutip Myrta Jehlen yang menjelaskan bahwa tanah memiliki faktor yang penting dan melaluinya masyarakat melihat the real World atau menunjukkan keadaan bumi yang sesungguhnya.48 Bagi Ross-Bryant, taman yang adalah situs tersebut tidak boleh disentuh oleh pembangunan karena selain berdampak buruk bagi simbol dan identitas Amerika, pembangunan akan menghancurkan alam. Situs bukan hanya berkontribusi bagi kemajuan ekonomi dan pariwisata, tapi juga menjadi salah satu simbol dan budaya daerah atau negara serta simbol pemersatu (unifying symbol).49

45 Natijama, “Ziarah Suci dan Ziarah Resmi”, 20

46 Vinokurova and Dambaeva, “Sacred Sites of the Sakha People”, 44 47

Dalam sebuah artikel science, Joseph Grinnel menuliskan bahwa Taman Nasional memberikan “contoh bumi sebelum kedatangan orang kulit putih”. Awalnya keseimbangan harmonis terjadi, murni dan sempurna.

48 Ross-Bryant, “Sacred Sites..”, 35 49

(13)

29

Dalam penelitian Ross-Bryant, inti dari kekuatan simbolis Taman Nasional adalah hubungan antara situs yang sebenarnya dan gagasan tentang Amerika murni yang tak berubah dan pemahaman tentang yang sakral itu menyatu dengan realitas. Dari taman nasional ini, setiap orang memproklamasikan perwujudan dan nilai-nilai dari situs tersebut, sehingga situs mengikat dalam sebuah ikatan sosial (social

bond) dan moral bersama yang mencakup semua perasaan (emotional

significance) dan rasa memiliki (sense of belonging).50 Karena itu, situs suci menjadi alat perekat di hati setiap anggota masyarakat.

2.2 Perlawanan (resistance) dan Gerakan Sosial (social movement)

Resistensi dipahami sebagai sebuah respon terhadap suatu perubahan dan hasil kenyataan di mana individu atau kelompok menghadapi berbagai tekanan yang sangat membatasi ruang geraknya. Secara harfiah, resistensi adalah perlawanan atau menentang dengan tindakan menolak atau melawan, baik itu bersifat formal atau non-formal jika tidak menyetujui apa yang sudah berjalan. Sulistyaningsih menuliskan definisi resistensi, sebagai berikut:51

a) Resistance is the action of opposing something that you disapprove or disagree with; he encountered a general feeling of resistance from many citizens;

b) Resistance is a secret group organized to overthrow a government or occupation force;

c) Resistance is a group action in position to those power.

Perlawanan juga dipahami sebagai suatu tindakan sosial, perilaku sosial atau gerakan sosial yang memiliki berbagai bentuk serta ragam yang dilakukan

50 Stella Ting-Toomey, Communication Across Culture, (New York: The Guilford

Publications, 1999) 30

51 Sulistyaningsih, Perlawanan Petani Hutan: Studi Atas Resistensi Berbasis Pengetahuan Lokal, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013) 20

(14)

30

masyarakat atas ketidakadilan yang mereka alami.52 Neil Smelser berpendapat bahwa perilaku kolektif dalam bentuk gerakan sosial merupakan efek samping dari transformasi sosial yang berjalan begitu cepat. Masyarakat merasa ada kontradiktif dengan realita yang mereka dihadapi sehingga perlawanan dilakukan. Sukmana mengutip penjelasan dari Holander dan Einwohner yang menyatakan bahwa secara umum ada dua elemen inti dalam perlawanan: (1) tindakan (action)

dan (2) oposisi (opposition). Tindakan dipahami dalam konteks yang lebih luas, yakni mengacu tingkah laku aktif (active behavior), apakah itu verbal, kognitif, maupun fisik. Sementara oposisi mengacu pula pada istilah-istilah lain seperti membalas (counter), bertentangan (contradict), perubahan sosial (social change),

penolakan (reject), tantangan (challenge), subsersif (subsersive), dan kerusakan dan/atau gangguan (damage and/or disrupt).53

David Popenoe melihat perilaku kolektif seringkali muncul sebagai sebuah respon atau stimulus terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur. Popenoe tidak memasukan aktivitas ibadah dalam kategori perilaku kolektif. Baginya, perilaku kolektif seperti sekelompok mahasiswa yang melakukan protes merupakan bentuk nyata dari perilaku kolektif karena aksi-aksi protes mahasiswa masuk dalam kategori spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil.54 Klandermans mengutip Tarrow yang menjelaskan bahwa suatu aksi kolektif ini dilakukan karena masing-masing memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, lawan

52 San Afri Awang, Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan, (Yogyakarta: Debut Press, 2006) 273

53 Oman Sukmana, Konsep dan Teori Gerakan Sosial, (Malang: Intrans Publishing, 2016)

31

54 Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka

(15)

31

dan penguasa. Selain memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, gerakan yang dilakukan atas dasar identitas kolektif yang sama.55 Dari pendapat Tarrow ini, maka dapat dielaborasi bahwa: (1) suatu gerakan adalah tindakan penentangan atau perlawanan terhadap elite; otoritas, dan terhadap aturan kelompok dan budaya lainnya; (2) suatu gerakan dilakukan atas nama klaim yang sama atau pihak lawan, pihak berwenang, dan elite; (3) suatu gerakan didasari oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif; dan (4) untuk meneruskan arah tujuan tindakan kolektif, maka bentuk pertarungan diubah ke dalam suatu gerakan sosial. Sukmana mengutip Singh yang menjelaskan bagaimana gerakan-gerakan sosial mengekspresikan usaha-usaha kolektif masyarakat untuk menuntut kesetaraan dan keadilan sosial, dan mencerminkan perjuangan-perjuangan masyarakat untuk membela identitas-identitas dan warisan-warisan kultural mereka.56

Tujuan resistensi adalah memperkecil atau menolak klaim-klaim yang diajukan kelas-kelas dominan.57 Resistensi oleh Scott merupakan hasil analisa dari perilaku petani di Asia Tenggara dalam menghadapi dominasi para petani kaya dan elit yang berkuasa. Moral ekonomi yang terbentuk pada masyarakat petani yakni hubungan patron-klien. Patron memiliki kekuasaan (power) sedangkan klien berarti bawahan. Patron sebagai komunitas yang mempunyai kekuasaan diharapkan dapat melindungi klien-kliennya jika sewaktu-waktu mengalami perubahan pasar yang mengancam sosial ekonomi petani subsisten. Akan tetapi harapan kaum tani menjadi sia-sia, karena sikap eksploitatif petani kaya yang

55 Bert Klandermans, Protes dalam Kajian Psikologi Sosial, trj. Helly P. Soetjipto,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) xiii (Pendahuluan)

56 Sukmana, Konsep dan Teori Gerakan Sosial, 29

57 Attamimi, “Resistensi Warga Pinggir Rel Surabaya..”.,

http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts07a321b90cfull.pdf., diakses tanggal 10 Mei 2019, pukul 11:06 WIB.

(16)

32

mengambil keuntungan dari perubahan pasar yang dikuasai oleh kapitalistik pascakolonial. Negara sebagai tempat perlindungan turut berkonspirasi dengan petani kaya dengan menaikkan pajak makin tinggi sehingga moral ekonomi petani semakin goyah. Penindasan dan ketidakadilan yang dialami petani menyebabkan mereka melakukan perlawanan (resistance) karena hubungan patron-klien tidak lagi sebagai hubungan yang saling melindungi melainkan mengambil keuntungan.58 Selain itu, perlawanan petani muncul karena ada norma-norma yang diyakini dan selalu diperjuangkan. Tujuan perjuangan adalah mempertahankan tata nilai yang selama ini mereka yakini.

Penyebab resistensi seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Henry A. Landsberger mengemukakan gerakan protes merupakan reaksi kolektif melawan kedudukan rendah yang rentan terhadap ketidakadilan baik yang berhubungan dengan status sosial, ekonomi, maupun politik.59 Latar belakang bangkitnya perlawanan tidak lepas dari keresahan masyarakat terhadap otoritarian makro yang merampas hak masyarakat (mikro).

Bagi Scott, resistensi dalam sosiologi adalah suatu perlawanan yang dilakukan secara terang-terangan (public transcript) dan diam-diam (hidden transcript) atas kebijakan maupun aktivitas yang dilakukan dalam suatu pihak masyarakat sebagai bentuk perlawanan yang ditindas. Kedua kategori tersebut dibedakan atas artikulasi perlawanan; bentuk, karakteristik, wilayah sosial dan budaya. Sulistyaningsih menyebutnya latent (terselubung atau

58 James Scott, Perlawanan Kaum Tani, Edisi pertama, trj. Budi Kusworo, Hira Jhamtani,

Mochtar Pabotingi, dan Gunawan Wiradi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993) 14

59 Henry A. Lansberger, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV.

(17)

33

sembunyi) dan manifest (terbuka atau terang-terangan).60 Karena itu, perlawanan (resistensi) bisa dilakukan oleh siapa saja dalam bentuk yang bermacam-macam, baik secara simbolik, tertutup maupun menghindar.

2.2.1 Perlawanan Terbuka (Public Transcript)

I shall use the term public transcript as a shorthand way of describing the open interaction between subordinates and those who dominate.61

Bagi Scott, publik di sini mengacu pada tindakan yang secara terbuka diakui kepada pihak lain dalam hubungan kekuasaan yakni tindakan yang mencakup

non-speech seperti suatu gerakan dan ekspresi. Perlawanan terbuka merupakan bentuk perlawanan yang dapat diamati, konkret dan secara langsung terdapat komunikasi antara dua pihak berselisih (kelas atas atau penguasa dengan kelas bawah atau kaum lemah).62 Scott mencirikan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan yakni berupa demostrasi atau protes sosial (social protest), revolusi, perang sipil, tindakan kolektif, konfrontasi yang diartikan sebagai perlawanan.63 Menurut Scott, perlawanan terbuka sebagai perlawanan yang bersifat: Pertama, organik, sistematik, dan kooperatif; Kedua, berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri. Ketiga, revolusioner; Keempat, mencakup gagasan atau maksud meniadakan basis dominasi. Dengan demikian, aksi demonstrasi atau protes yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan dan lain-lain merupakan

60 Sulistyaningsih, Perlawanan Petani Hutan, 153

61 James Scott, Dominant and The Art of Resistance, (London: Yale University Press,

1990) 2

62

Siti Nur Rahayu, “Narasi Perlawanan terhadap Rezim Orde Baru dalam Novel Para Bajingan yang menyenangkan karya Puthut EA: Perspektif Moral Ekonomi James C. Scott”, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 01 No. 1, 2014, 3

63 James Scott, Weapons of the Weak: Everyday of Peasent Resistance, (USA: Yale

(18)

34

konsekuensi logis dari perlawanan terbuka terhadap pihak superordinat.64 Sukmana juga mengutip Holander dan Einwohner yang menjelaskan mengenai perlawanan terbuka (overt resistance) mengacu pada tingkah laku yang terlihat dan mudah dikenali baik oleh target dan pengamat sebagai perlawanan. Kategori ini meliputi tindakan-tindakan kolektif termasuk seperti gerakan sosial, revolusi, maupun tindakan individu untuk melakukan penolakan.65

2.2.2 Perlawanan Tertutup (Hidden Transcript)

I shall use the term hidden transcript to characterize discourse that takes place "offstage," beyond direct observation by powerholders. The hidden transcript is thus derivative in the sense that it consists of those offstage speeches, gestures, and practices that confirm, contradict, or inflect what appears in the public transcript.66

Dalam melakukan perlawanan atau resistensi, sebenarnya tidak harus selalu dalam bentuk aksi bersama apalagi protes terbuka. Penelitian Scott di Asia Tenggara, menunjukkan gerakan perlawanan petani yang bersifat pasif dan dilakukan secara diam-diam, tersembunyi dan tidak ter-organisasi. Dalam bahasanya Prasetyo, perlawanan tertutup disebut “pertempuran kecil-kecil” yang juga memberikan efek dan dampak. Scott menamainya dengan “senjata orang-orang kalah”. Mereka tidak menanam aksi besar, tidak melakukan perlawanan terbuka dan memperluas jaringan, melainkan memilih untuk menolak secara diam-diam.67 Misalnya, perlawanan dari kasta rendahan India yang menjadi budak serta terikat kontrak selama hidup dari tuan tanah mereka. Dalam menjalankan tugas secara semborono, tidak sempurna, pura-pura sakit, berlagak tidak tahu,

64

Sidney Tarrow, Power in Movement, Social Movement, Collective Action and Politics,

(New York: Cambridge University Press, 1994) 37

65 Sukmana, Konsep dan Teori Gerakan Sosial, 31-32 66 Scott, Dominant and The Art of Resistance, 4 67

(19)

35

tidak sanggup melakukan sesuatu sehingga mengganggu ketenangan tuan mereka.68 Bagi Scott, kelompok-kelompok subordinat ini kemudian menciptakan percakapan-percakapan (discourse) yang merepresentasikan kritik terhadap kekuasaan, yang diungkapkan secara sembunyi-sembunyi di belakang kelompok penguasa.69 Sukmana juga mengutip penjelasan Holander dan Einwohner mengenai perlawanan tertutup (covert resistance) yang mengacu pada tindakan yang disengaja akan tetapi tidak diketahui oleh target, meskipun mereka diakui sebagai perlawanan oleh orang lain. Sebagai contoh dari bentuk perlawanan tertutup adalah gosip (gossip), omelan (bitching) dan subversi halus di tempat kerja.70

Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa masyarakat mampu melakukan perlawanan dengan cara dan konteks sosial terhadap kekuasaan atau kelas-kelas dominan. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk resistensi yaitu:

a) Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis) yaitu gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa. Sukmana mengutip penjelasan Scott yang menggambarkan suatu bentuk perlawanan ideologis dari kelompok subordinat, seperti cerita rakyat (folktales), nyanyian (songs), lelucon (jokes), dan teater

(theater), di mana mereka menggunakannya secara anonim dan

samar-samar71;

b) Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demonstrasi);

68 Prasetyo, Kaum Miskin Bersatulah!, 149

69 Sukmana, Konsep dan Teori Gerakan Sosial, 243 70 Sukmana, Konsep dan Teori Gerakan Sosial, 32 71

(20)

36

c) Resistensi terbuka, merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi, sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi adalah cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.72

2.3 Anomali Pembangunan dan Piramida Kurban Masyarakat

Pendekatan teori pembangunan oleh Peter L. Berger dalam bukunya The Pyramids of Sacrifice, menjelaskan bahwa pembangunan dewasa ini ternyata menimbulkan persoalan antara pembuat kebijakan (pemerintah) dan juga masyarakat lokal.73 Pembangunan sebagai usaha untuk merubah masyarakat dapat melahirkan fenomena yang berlawanan. Di sisi lain, pembangunan menjadi kebanggaan bangsa karena melahirkan pertumbuhan ekonomi, sedangkan di pihak lain pertumbuhan ekonomi yang tinggi melahirkan kesenjangan ekonomi, sosial, budaya dan politik semakin meluas.74 Menurut Suyanto, para petinggi (pemerintah) terlalu larut dalam indikator-indikator makro pembangunan yang acapkali kurang memperhatikan realitas di tingkat mikro.75 Padahal secara sosiologis, prioritas utama dalam pembangunan tidak hanya terbatas pada golongan elit, tetapi juga secara menyeluruh dan merata sampai pada lapisan terbawah.

Berger memandang ideologi pembangunan, baik itu kapitalis maupun sosialis tidak serta merta membawa kesejahteraan (calculus of meanings), melainkan

72

Scott, Perlawanan Kaum Tani, 54-55

73 Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial, trj. A.

Rohman Tolleng, (Jakarta: LP3ES, 1982) 8

74 I. Nengah Punia, “Pembangunan Ekonomi Indonesia Berbasiskan Lingkungan dan

Budaya”, Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitik, Vol. 8 No.1, April 2017, 4

75 Bagong Suyanto, Pembangunan dan Kemiskinan: Dosa Perencana Pembangunan, -

kumpulan artikel, ed. Nadia Egalita, Rahma Sugihartati, dan Bagong Suyanto, Efek Samping Pembangunan: Masalah Sosial dan Perubahan Masyarakat Informasi, (Yogyakarta: Calpulis, 2016) 1

(21)

37

penderitaan manusia (calculus of pains). Pembangunan yang selama ini dilakukan tidaklah manusiawi dan tidak transformatif sehingga perlu dipertanyakan: apa sebenarnya tujuan pokok dari segala usaha pembangunan itu?76 Suyanto mengutip Mahbub ul Haq mengatakan bahwa “salah satu dosa perencana pembangunan yang paling tidak bisa dimaafkan adalah ketika perencana pembangunan terlalu terpukau oleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mengabaikan tujuan utama pembangunan yakni kesejahteraan dan keadilan masyarakat”. Pembangunan dengan kondisi ketidakberesan (penderitaan, kemiskinan, penggusuran, diskriminasi, upah tak adil, penindasan). Padahal pembangunan seharusnya meningkatkan taraf hidup masyarakat ke tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih tenteram, serta lebih menjamin kelangsungan hidup di hari ke depan.77 Proses modernisasi ternyata tidak membawa hasil yang diidam-idamkan, melainkan membawa masalah baru.

Menurut Berger, apa yang dicanangkan sebagai modernisasi, yang kemudian ditiru oleh kebanyakan Dunia Ketiga dengan bahasa “pembangunan”, tak jarang merupakan ideologi dan mitos yang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan manusiawi.78 Ideologi dan mitos bagaikan „tukang ramal‟ yang menjanjikan masa depan cerah tapi dengan banyak korban manusia.79 Karena itu, mitos inilah harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. Usaha demitologisasi terhadap mitos-mitos

76 Berger, Piramida Kurban Manusia, viii (preface). Johannes Müller memberikan

analisisnya mengenai pemikiran Peter L. Berger dengan judul Pembebasan Manusia dari Penderitaan pada pengantar buku ini.

77 Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Pembangunan, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2016) 2

78 Agus Purwadi, “Problem Nilai dan Moralitas dalam Modernisasi Pembangunan

Ekonomi”, Jurnal Bestari: Edisi Jurnal Ilmiah, Agustus-Desember 1996, Universitas Muhammadiyah Malang, 94

79 Berger, Piramida Kurban Manusia, xi (preface). Istilah „mitos‟ dipakai oleh Berger

dalam arti kritik ideologi ataupun dalam arti sehari-hari. Dalam antropologi kebudayaan, istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda sekali dan jauh lebih positif.

(22)

38

sangat diperlukan dan akan memberikan kemungkinan baru terhadap cara pandang serta pembuatan kebijaksanaan politik. Berger menjelaskan adanya akibat-akibat politik pembangunan dan persaingan antara dua kutub ideologis dan politis yang besar, yaitu kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di pihak lain. Pembangunan oleh keduanya dikatakan mempunyai keunggulan dan keberhasilan tapi harus dibayar terlalu mahal yaitu manusia mengalami kelaparan ketika ada dalam kapitalisme dan manusia mengalami teror dalam sosialisme.80 Artinya, sebuah jalan menuju modernisasi harus meminta korban-korban manusia untuk menyangga “pembangunan”.81

Jika ada pembangunan yang seperti itu maka itu tidak dapat dibenarkan.82 Karena itu, tujuan segala usaha pembangunan seharusnya membebaskan manusia dari penderitaan atau yang disebut Berger, pembangunan mempertimbangkan biaya-biaya manusia (human costs). Pembangunan bertujuan untuk mengatasi atau paling kurang membatasi penderitaan manusiawi dalam segala bentuk dan dimensinya.83 Tetapi juga Berger melihat human costs yang non-fisik yakni mengenai “perhitungan makna” dengan salah satu tesis dari Berger yaitu “Manusia berhak hidup di dalam sebuah dunia yang mengandung makna”. Sebab manusia membutuhkan suatu kerangka orientasi dan mengarahkan seluruh hidup dan karyanya. Hal tersebut ditemukan dalam kebudayaan manusiawi yakni tradisi dan agama.

Berger mengupas secara kritis masalah yang sangat pokok, yaitu benturan antara modernisasi dan tradisi yang membayangi proses pembangunan hampir di

80

Suyanto, Pembangunan dan Kemiskinan: Dosa Perencana Pembangunan, 21-27

81 M. Harun Alrasyid, “Globalisasi dan Kurban Manusia”, Jurnal Madani Edisi I Mei 2008, 21-27

82 Berger, Piramida Kurban Manusia, xiv (preface) 83

(23)

39

seluruh Dunia Ketiga. Kebutuhan akan makna selalu berakar di dalam hakikat manusia. Manusia adalah makhluk yang memproyeksi makna ke dalam alam semesta, memberi nama pada benda serta membubuhkan nilai pada benda-benda itu. Makna merupakan gejala sentral dalam kehidupan masyarakat.84 Müller dalam analisisnya menuliskan bahwa manusia membutuhkan kerangka orientasi (makna) yang mengartikan dan mengarahkan seluruh hidup dan kerjanya. Kerangka orientasi tersebut pada umumnya ditemukan dalam kebudayaan manusia, yaitu hasil usaha kolektif suatu masyarakat sepanjang sejarahnya untuk memaknai kenyataan yang dihadapi dan dialaminya, baik dengan menafsirkan dan mengolahnya. Dalam hubungan ini, agama memainkan peranan yang sangat penting.85 Karena itu, „perhitungan makna‟ juga menjadi bagian dari biaya-biaya manusia (human costs) sebagai kategori yang non-fisik. Dalam melaksanakan proyek pembangunan harus melihat aspek-aspek tersebut.

Bagi Berger, modernisasi disamakan dengan pembangunan atau bahkan disempitkan pada segi ekonomi untuk mengejar kata “kemajuan”. Kemajuan yang pesat tersebut perlu disadari telah menyilaukan mata manusia, sehingga secara bersamaan manusia meradang kesakitan. Ranimpi dalam tulisannya mengutip perkataan Anthony Giddens yang menyebutkan bahwa modernisasi telah menampilkan fenomena bermata ganda, yaitu satu sisi memberi kententeraman, sisi lain memberi kegelisahan.86 Sutopo dalam studinya mengenai pembangunan oleh Berger, menjelaskan pembangunan memakai model masyarakat Barat sehingga semua yang bersifat tradisional harus dimoderenkan, pembangunan

84

Berger, Piramida Kurban Manusia, 168

85 Berger, Piramida Kurban Manusia, xvii (preface)

86 Yulius Yusak Ranimpi, “Sumbangan Prinsip-Prinsip Etik Global dalam Krisis

Kemanusiaan Masyarakat Modern”, Jurnal Kajian Sosial Interdispliner Bina Darma, Volume XXIV No.17, Mei 2006, 8

(24)

40

adalah modernisasi dan modernisasi adalah westernisasi, sektor-sektor modern haruslah diutamakan. Dengan kata lain, segala sesuatu yang tradisional dianggap sebagai penghambat kemajuan pembangunan.87 Menurut Berger, „penyakit‟ ini telah tersebar ke seluruh dunia dan banyak orang non-Barat yang tertular. Namun secara historis, modernisasi dan westernisasi merupakan dua proses yang berjalan seiring.88 Ketika Barat memiliki pandangan Kristen, maka yang lainnya adalah kaum kafir, tidak beradab, dan juga istilah „terkebelakang‟. Akibat yang paling buruk adalah proses “menyusutnya kebudayaan” (cultural loss) yang semakin banyak kehilangan makna dan pegangan hidup negara-negara Dunia Ketiga, secara khusus di Indonesia. Tradisi lama dibuang, diganti dan ditiru dengan kebudayaan Barat.89 Berger mengutip ucapan seorang laki-laki di Kongo, bekas jajahan Belgia:

“…..Kini terlarang bagi kami untuk berbicara dengan leluhur kami… sehingga kami tidak bisa lagi mengenal kemauan mereka atau meminta bantuan mereka. Tiada lagi alasan bagi kami untuk hidup, karena kami, telah dipaksa menjauhi adat kebiasaan leluhur kami. Kami mengikuti cara hidup orang lain, dan bukan cara hidup nenek moyang kami”.90

Inilah yang kebanyakan terjadi di daerah-daerah Timur. Paradigma antara Barat dan Timur tentunya memiliki konteks dan perbedaan. Di daerah Barat tidak mempercayai mitologi atau mitos-mitos, sedangkan hal-hal itu dikembangkan dalam budaya ketimuran bahkan menjadi basis dan kekuatan mereka.91 Perubahan sosial dan laju pembangunan yang tak terkira sebagai wujud modernisasi di

87 Oki Rahadianto Sutopo, “Biaya-Biaya Manusia dalam Era Neoliberal,” Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 Mei 2012, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 31

88

Berger, Piramida Kurban Manusia, 174

89 Berger, Piramida Kurban Manusia, xviii (preface) 90 Berger, Piramida Kurban Manusia, 177

91 Bahan Kuliah Magister Sosiologi Agama (MSA) 2018 oleh Izak Y. M. Lattu di

(25)

41

negara-negara Dunia Ketiga yakni bangunan-bangunan komersial baru, megah dan modern tapi di balik itu menghancurkan apa yang diyakini oleh masyarakat lokal sehingga bagi Suyanto, hal itu menjadi pertanda buruk.92 Reaksi terhadap modernisasi kerapkali menimbulkan penolakan langsung dan keras serta upaya perlawanan dari masyarakat karena mengakibatkan pecahnya tata makna. Dunia yang bermakna menyediakan bagi penghuninya suatu perlindungan terhadap anomi, sebuah tempat yang aman, sedangkan modernisasi merupakan ancaman akan suatu keadaan tanpa-rumah (homelessness). Dalam analisisnya, Berger menuliskan ancaman ini telah dirasakan oleh banyak orang dengan pengalaman serupa, secara khusus yang dialami oleh orang Afrika: “kehilangan kesempatan untuk hidup menurut cara hidup nenek moyang kami”. Karena itu, bagi Berger, sejak permulaan, modernisasi dan reaksi kontra-modernisasi berjalan bergandengan.93

Proses pembangunan juga sering tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam pengambilan keputusan sehingga pembangunan tidak mudah diterima oleh seluruh masyarakat.94 Para pembuat kebijakan juga memiliki kepentingan masing-masing. Berger mengingatkan bahwa yang terpenting bukanlah model pembangunan yang paling tepat, melainkan bagaimana pembangunan dapat menghilangkan penderitaan.95 Fakta membuktikan bahwa yang terjadi bukan kemakmuran bagi semua orang melainkan bagi negara-negara maju, kemakmuran bagi segelintir orang yang mempunyai modal besar serta

92 Bagong Suyanto, Efek Samping Pembangunan, 119 93 Berger, Piramida Kurban Manusia, 178

94 Berger, Piramida Kurban Manusia, 9 95

(26)

42

kemakmuran bagi perusahaan-perusahaan.96 Paradigmanya, pembangunan dimengerti sebagai proses negara miskin menjadi kaya atau negara kaya semakin kaya.97

2.4 Kesimpulan

Pendekatan teori-teori antara lain sakralitas, perlawanan (resistensi) dan teori pembangunan membantu menjelaskan bagaimana perlawanan masyarakat akibat dinamika pembangunan yang menggerus sesuatu yang diyakini oleh masyarakat sebagai yang sakral dan sangat dihormati. Masyarakat memahami dan meyakini sesuatu yang sakral dapat memberikan pengaruh yang sangat penting. Bagi Durkheim, yang sakral merupakan ikatan primordial masyarakat yang mempersatukan. Totem diyakini sebagai simbol dan identitas masyarakat, sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Perlawanan oleh Scott mengungkapkan ekspresi dari masyarakat akibat merasa ada penindasan, penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat (subordinat) dari elit modal dan negara (superordinat). Negara dan pemerintah seharusnya melindungi keberadaan masyarakat ketika membuat kebijakan, khususnya persoalan pembangunan. Masyarakat tentunya akan memberikan perlawanan kepada pemerintah jika suatu kebijakan dari pemerintah tidak memberikan kesejahteraan serta tidak menunjukkan sikap keberpihakan. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan menguatnya modernitas senantiasa menjadi jargon politik pemerintah. Implikasi dari hal itu paling bisa dilihat adanya model kebijakan top down, sentralistik, tidak berbasiskan pada kepentingan rakyat melainkan berbasiskan pada kepentingan pemerintah dan representasi negara.

96 Sutopo, “Biaya-Biaya Manusia dalam Era Neoliberal,” 38 97

(27)

43

Masyarakat sepenuhnya tidak menolak pembangunan apalagi demi kepentingan banyak orang, tetapi sesungguhnya meminta agar ada rasa penghargaan dengan apa yang diyakini oleh masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait