• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Keuangan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Keuangan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Teoritis

2.1.1. Keuangan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011, “Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”. Yang dimaksud dengan hak disini adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah, seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sesuai peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut dapat menaikkan kekayaan daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan pada daerah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut dapat menurunkan kekayaan daerah. (Halim 2007 : 25).

Keuangan daerah dikelola melalui manajemen keuangan daerah. Menurut Halim (2007:27), “manajemen keuangan daerah adalah pengorganisasian dan pengelolaan sumber-sumber daya atau kekayaan

(2)

pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang dikehendaki daerah tersebut.” Sedangkan Menurut Renyowijoyo (2008 : 211), Manajemen Keuangan Daerah adalah alat untuk mengurus dan mengatur rumah tangga pemerintahan daerah. Alat untuk melaksanakan manajemen keuangan daerah disebut dengan tata usaha daerah.

Menurut Mamesah dalam Halim (2007:27), “tata usaha keuangan daerah dibagi menjadi dua golongan yaitu tata usaha umum dan tata usaha keuangan. Tata usaha umum menyangkut kegiatan surat-menyurat, mengagenda, mengekspedisi, menyimpan surat-surat penting atau mengarsipkan, dan kegiatan dokumentasi lainnya. Sedangkan tata usaha keuangan pada intinya adalah “tata buku yang merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis di bidang keuangan berdasarkan prinsip standarisasi, dan prosedur tertentu sehingga dapat memberikan informasi aktual di bidang keuangan.”

Menurut Halim (2007 : 25), Ruang lingkup keuangan daerah terdiri atas keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah APBD dan barang-barang inventaris milik daerah, sedangkan keuangan daerah yang dipisahkan adalah BUMD.”

Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, Ruang lingkup keuangan daerah meliputi :

a. hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;

b. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;

(3)

c. penerimaan daerah; d. pengeluaran daerah;

e. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan

f. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.

2.1.2 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Menurut Erlina (2012 : 33), “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004, “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah”. Definisi ini disesuaikan lagi dengan Permendagri No. 21 Tahun 2011, “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah”. Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah, termasuk Qanun yang berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua.

(4)

2.1.3 Struktur APBD

APBD pada dasarnya memuat rencana keuangan daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan untuk penyelenggaraan pelayanan umum selama satu periode anggaran. Tahun Anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Sesuai dengan pendekatan kinerja yang diterapkan pemerintah saat ini, maka setiap alokasi APBD harus disesuaikan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai. Sehingga kinerja pemerintah daerah dapat diukur melalui evaluasi terhadap laporan APBD.

Adapun unsur-unsur APBD menurut Halim (2007:20) adalah : 1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; 2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal

untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran yang akan dilaksanakan;

3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka;

4. Periode anggaran, biasanya satu tahun.

Di era (pasca) reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan yang cukup mendasar. Bentuk APBD yang pertama didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurus, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dab Belanja Daerah. Sejalan dengan perubahan yang terjadi, bentuk APBD sekarang ini didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor

(5)

13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan semakin informatif. Untuk itu, dalam bentuk yang baru, APBD terdiri atas tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada pada APBD di era prareformasi. Adanya Pos Pembiayaan merupakan upaya agar APBD semakin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. Hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak pemda, sedangkan pinjaman belum tentu menjadi hak pemda.

Adapun bentuk dan struktur APBD berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 22 ayat (1) yaitu pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Struktur APBD dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan urusan pemerintahan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan klasifikasi APBD yang disebutkan tersebut menurut urusan pemerintahan dan organisasi sebagaimana dimaksud dapat disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Erlina (2012 : 33), Struktur APBD terdiri atas : 1. Anggaran Pendapatan, terdiri atas :

• Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain.

(6)

• Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus.

• Pendapatan lain-lain yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. 2. Anggaran Belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan

tugas pemerintahan di daerah.

3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/ atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Menurut Halim (2012 : 39) Dalam APBD yang baru, pendapatan, belanja, dan pembiayaan tersebut dikelompokkan kembali menjadi berikut ini:

1. Pendapatan, dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pendapatan asli daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Pendapatan lain-lain yang sah.

2. Belanja, dibagi menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:

a. Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan pemerintah daerah. Belanja tidak langsung diklasifikasikan menjadi belanja pegawai yang berisi gaji dan tunjangan pejabat dan PNS daerah, belanja subsidi, belanja bunga, belanja hibah, belanja bagi hasil, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.

(7)

b. Belanja langsung, yaitu belanja yang terkait langsung dengan program kegiatan pemerintah daerah. Belanja langsung dikelompokkan menjadi belanja pegawai yang berisi honorarium, dan penghasilan yang terkait langsung dengan pelaksanaan belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

3. Pembiayaan yang dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan, yaitu sumber penerimaan dan pengeluaran daerah. maan Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah merupakan sisa lebih anggaran tahun sebelumnya, penerimaan tunjangan dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sedangkan sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun yang sedang berlangsung.

Adapun Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu:

1. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan.

2. Fungsi Perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

(8)

3. Fungsi Pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah.

4. Fungsi Alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah.

5. Fungsi distribusi memiliki makna kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.

6. Fungsi stabilitasi memiliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dapat dicerminkan dari peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, keadilan, pemerataan, keadaan yang semakin maju, serta terdapat keserasian antara pusat dan daerah serta antar daerah. Hal yang dapat mewujudkan keadaan tersebut salah satunya apabila kegiatan APBD dilakukan dengan baik. Dikarenakan pada saat ini pemerintah menggunakan penganggaran berbasis pendekatan kinerja, maka reformasi anggaran tidak hanya pada aspek perubahan struktur APBD, namun juga diikuti dengan perubahan proses penyusunan anggaran.

Penganggaran berbasis kinerja mencerminkan beberapa hal. Pertama, maksud dan tujuan permintaan dana. Kedua, biaya dari

(9)

program-program yang diusulkan dalam mencapai tujuan ini. Ketiga, data kuantitatif yang dapat mengukur pencapaian serta pekerjaan yang dilaksanakan untuk tiap-tiap program. Penganggaran dengan pendekatan kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktivitas. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan input yang sama, atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem anggaran tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan penggunaan biaya tersebut harus efisien dan efektif.

Berbeda dengan penganggaran dengan pendekatan tradisional, penganggaran dengan pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada "apa yang ingin dicapai". Kalau fokus ke "output", berarti pemikiran tentang "tujuan" kegiatan harus sudah tercakup di setiap langkah ketika menyusun anggaran. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Jadi, tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja

(10)

dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Sistem penganggaran seperti ini disebut juga dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK).

Dalam APBD terdapat surplus ataupun defisit. Selisih antara anggaran pendapatan daerah dengan anggaran belanja daerah mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit APBD. Menurut Darise (2009) mengatakan bahwa:

- Surplus Anggaran, terjadi apabila Anggaran Pendapatan Daerah diperkirakan lebih besar dari Anggaran Belanja Daerah. Dalam hal APBD diperkirakan surplus digunakan / dimanfaatkan untuk pembayaran pokok utang, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah pusat/ daerah, transfer ke dana cadangan dan sisa lebih tahun anggaran berjalan. Pemanfaatan surplus disebut pengeluaran pembiayaan.

- Defisit Anggaran, terjadi apabila Anggaran Pendapatan Daerah diperkirakan lebih kecil dari Anggaran Belanja Daerah. Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang diantaranya bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran lalu, penggunaan dana cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang. Langkah-langkah untuk menutupi defisit disebut penerimaan pembiayaan.

2.1.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

2.1.4.1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Kadjatmiko (2002), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh Daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Pendapatan adalah semua penerimaan

(11)

rekening Kas Umum Negara / Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Sedangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Komisi, rabat, potongan, atau pendapatan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung sebagai akibat dari penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk pendapatan bunga, jasa giro atau pendapatan lain sebagai akibat peyimpanan dana anggaran pada bank serta pendapatan dari hasil pemanfaatan barang daerah atas keegiatan lainnya merupakan pendapatan daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dari sumber-sumber yang berasal dari wilayahnya.

Halim (2007: 96) mengatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.

(12)

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 1 menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal.

Secara teoritik, PAD merupakan suatu sumbangan nyata yang diberikan oleh masyarakat setempat guna mendukung status otonom yang diberikan kepada daerahnya. Tanda dukungan dalam bentuk besarnya perolehan PAD penting artinya bagi suatu pemerintah daerah agar memiliki keleluasaan yang lebih dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari maupun pembangunan yang ada di wilayahnya. Seorang pakar dari World Bank berpendapat bahwa batas 20 % perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang dari angka 20 % tersebut, maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri.

PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi.

2.1.4.2.1. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Halim (2007: 96) kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan:

(13)

1. Pajak Daerah.

Sesuai UU Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan pajak untuk kabupaten/kota terdiri dari:

- pajak hotel, - pajak restoran, - pajak hiburan, - pajak reklame,

- pajak penerangan jalan,

- pajak pengambilan bahan galian golongan C, - pajak parkir.

2. Retribusi Daerah.

Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi. Terkait dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan sebagai berikut :

- retribusi pelayanan kesehatan

- retribusi pelayanan persampahan/kebersihan - retribusi penggantian biaya cetak KTP

- retribusi penggantian biaya cetak akte catatan sipil - retribusi pelayanan pemakaman

- retribusi pelayanan pengabuan mayat

- retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum - retribusi pelayanan pasar

- retribusi pengujian kendaraan bermotor

- retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran - retribusi penggantian biaya cetak peta

- retribusi pengujian kapal perikanan - retribusi pemakaian kekayaan daerah

- retribusi jasa usaha pasar grosir atau pertokoan - retribusi jasa usaha tempat pelelangan

- retribusi jasa usaha terminal

- retribusi jasa usaha tempat khusus parkir

- retribusi jasa usaha tempat penginapan/pesanggrahan/villa - retribusi jasa usaha penyedotan kakus

- retribusi jasa usaha rumah potong hewan - retribusi jasa usaha pelayanan pelabuhan kapal - retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olahraga - retribusi jasa usaha penyebrangan di atas air - retribusi jasa usaha pengolahan limbah cair

- retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah - retribusi izin mendirikan bangunan

- retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol - retribusi izin gangguan

(14)

3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan.

Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:

- Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.

- Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMD.

- Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta swasta atau kelompok usaha masyarakat.

4. Lain-lain PAD yang sah.

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain yang disebut di atas. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:

- hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, - jasa giro,

- pendapatan bunga,

- penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah,

- penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah, - penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap

mata uang asing,

- pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, - pendapatan denda pajak,

- pendapatan denda retribusi, - pendapatan eksekusi atas jaminan, - pendapatan dari pengembalian, - fasilitas sosial dan umum,

- pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, - pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

Sedangkan menurut Erlina (2012 : 150), Lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri dari :

1. Hibah; Pendapatan hibah yang masuk dalam kategori ini adalah dalam bentuk kas dan setara kas. Kelompok pendapatan hibah berasal dari pemerintah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat.

2. Dana Darurat; Kelompok dana darurat berasal dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam.

(15)

3. Dana Bagi Hasi Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya; Kelompok dana bagi hasil dari provinsi pemerintah daerah lainnya terdiri dari dana bagi hasil pajak dari provinsi, dana bagi hasil pajak dari kabupaten, dan dana bagi hasil pajak dari kota.

4. Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.

5. Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainnya. Kelompok bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya terdiri dari bantuan keuangan dari provinsi, bantuan keuangan dari keuangan dari kabupaten, dan bantuan keuangan dari kota.

2.1.5. Dana Perimbangan

Menurut Kadjatmiko (2002) dalam prosiding workshop Internasional, Dana Perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah dalam bentuk transfer dana dari Pemerintah Pusat. Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2005, “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.”

Pendapatan transfer yang disebut sebagai dana perimbangan menurut Halim (2007) merupakan pendapatan daerah yang diperoleh dari otoritas pemerintah di atasnya. Noerdiawan, dkk. (2007 : 181) juga mengatakan bahwa pendapatan transfer merupakan pendapatan yang bersumber dari transfer pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Sebelum munculnya (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, kelompok pendapatan ini terbatas

(16)

hanya pada dana perimbangan. Setelah peraturan ini muncul, terdapat transfer dana lain di luar dana perimbangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kelompok pendapatan berupa pendapatan transfer ini digolongkan menjadi dua jenis pendapatan (untuk provinsi) dan menjadi tiga jenis pendapatan (untuk kabupaten/kota) yaitu:

1. transfer pemerintah pusat-dana perimbangan, meliputi: a. Dana Bagi Hasil Pajak

b. Dana Bagi Hasil bukan Pajak (Sumber Daya Alam) c. Dana Alokasi Umum

d. Dana Alokasi Khusus

2) transfer pemerintah pusat-lainnya, meliputi: a. Dana otonomi khusus

b. Dana Penyesuaian

3) transfer pemerintah provinsi, meliputi: a. Pendapatan bagi hasil pajak b. Pendapatan bagi hasil lainnya.

Implementasi kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah melalui Dana Perimbangan ditujukan untuk mengurangi ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya dari PAD dan dengan melihat kenyataannya bahwa kebutuhan Daerah dan kemampuan keuangan Daerah dalam membiayai kebutuhan tersebut sangat bervariasi, sehingga Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah atau dengan kata lain dana perimbangan bertujuan untuk menciptakan

(17)

keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pemerintah Daerah.

Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus merupakan sumber pendanaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.

2.1.5.1. Dana Alokasi Umum

Menurut Erlina (2012 : 29), Dana Alokasi Umum adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (Provinsi/ Kabupaten/ Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2005, “Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Alokasi Umum tersebut dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

(18)

mendanai kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Jumlah Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden. Setiap provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan besaran yang tidak sama, dan ini diatur secara mendetail dalam Peraturan Pemerintah. Besaran DAU dihitung menggunakan rumus/formulasi statistik yang kompleks, antara lain dengan variable jumlah penduduk dan luas wilayah yang ada di setiap masing-masing wilayah/ daerah.

Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan dalam APBN, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.

2. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.

3. Jika penentuan proporsi tersebut belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%.

DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, sedangkan alokasi dasar dihitung

(19)

berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Formula penghitungan DAU adalah :

dimana,

Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum (antara lain kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan). Setiap kebutuhan pendanaan tersebut diukur secara berturut-turut menggunakan variable jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, PDRB, dan IPM, sedangkan kapasitas fiskal daerah dihitung berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil.

DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten/kota. Bobot kabupaten/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota.

Kebutuhan fiskal daerah dihitung berdasarkan perkalian antara total belanja daerah rata-rata dengan penjumlahan dari perkalian masing-masing bobot variable dengan indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Pembangunan manusia,

DAU = Celah Fiskal + Alokasi

(20)

dan Indeks Produk Domestik Regional Bruto per kapita, sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah dan DBH.

Daerah yang memiliki nilai celah fiskal lebih besar dari 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan 0 (nol) menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negative tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan nilai celah fiskal. Dan, daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif tetapi nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU.

2.1.5.2. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Menurut Erlina (2012 : 30), Dana Alokasi Khusus adalah alokasi dari anggaran pendapatan dan belanja negera kepada Provinsi/ Kabupaten/Kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintah daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Kadjatmiko (2002 : 85) mengatakan bahwa Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus.

Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Kegiatan khusus yang akan didanai dari

(21)

DAK diusulkan oleh Menteri Teknis dan baru ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Mentri Dalam Negeri, Mentri Keuangan, dan Mentri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai dengan Renja Pemerintah. Ketetapan tentang kegiatan khusus tersebut disampaikan kepada Mentri Keuangan.

Setelah menerima usulan kegiatan khusus, Menteri Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK, yang dilakukan melalui dua tahapan, yaitu:

1. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK. Daerah tersebut harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah, yang ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

Kriteria umum adalah perumusan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah.

2.1.6. Dana Bagi Hasil

Menurut Erlina (2012 : 29), Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan pada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah. Dana Bagi hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam.

(22)

2.1.6.1. Dana Bagi Hasil Pajak

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan bahwa DBH yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH yang bersumber dari Pajak terdiri atas :

a. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)

b. BPHTB (Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) c. PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah dan 90% untuk daerah. DBH PBB untuk daerah sebesar 90% dibagi dengan rincian 16,2 % untuk provinsi yang bersangkutan, 64,8 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan, dan 9% untuk biaya pemungutan. Sedangkan bagian pemerintah yang 10% dialokasikan untuk seluruh kabupaten dan kota, dengan rincian 6,5 % dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota, dan 3,5 % dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/ kota yang realisasi penerimaan PBB sector Pedesaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.

Penerimaan Negara dari Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dibagi dengan imbangan 20 % untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, dan 64 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. Sedangkan bagian pemerintah yang 20%

(23)

dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.

Penerimaan Negara dari PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20 % dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan dan 12% untuk kabupaten/kota dalan provinsi yang bersangkutan.

Penyaluran DBH PBB dan BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB dan BPHTB tahun anggaran berjalan dengan 3 (tiga) tahap yaitu bulan April, Agustus, dan November. Sedangkan Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan Pasal 21 tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan secara triwulan yaitu:

1. Penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara.

2. Penyaluran triwulan keempat didasarkan pada selisih antara Pembagian Definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga.

Jika terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga yang didasarkan atas pembagian sementara lebih besar daripada pembagian definitif maka kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.

(24)

Penetapan alokasi DBH Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan. DBH pajak itu sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah.

2.1.6.2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)

Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

Penyaluran Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan sumber daya alam tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan secara triwulan. Penyaluran ini dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

Penetapan alokasi sumber daya alam yang berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, Mentri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan mentri teknis terkait paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari Mentri Teknis. Mentri Teknis bertugas menetapkan daerah penghasil dan dasar perhitungan DBH Sumber Daya Alam paling lama 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Mentri Dalam Negeri.

(25)

a. Sumber Daya Alam Kehutanan

Sumber Daya Alam Kehutanan berasal dari Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). Pembagian Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang berasal dari hutan ditetapkan sebagai berikut:

a. DBH Kehutanan yang berasal dari IIUPH dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah. Dimana, 80% untuk daerah dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil.

b. DBH Kehutanan yang berasal dari PSDH dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah. Dimana, 80% untuk daerah dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan dan 32% untuk kabupaten/kota penghasil, serta 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

c. DBH Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kabupaten/kota penghasil untuk mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

b. Sumber Daya Alam Pertambangan Umum

Sumber Daya Alam Pertambangan Umum berasal dari Iuran Tetap (Land-rent) dan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi

(26)

(Royalty). Pembagian Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang

berasal dari pertambangan umum ditetapkan sebagai berikut:

a. DBH yang berasal dari Iuran Tetap (Land-rent) dibagi dengan imbangan 20 % untuk pemerintah dan 80 % untuk daerah. Dimana, 80 % untuk daerah dibagi dengan rincian 16 % untuk provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil.

b. DBH yang berasal dari Iuran dan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty) dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah. Dimana, 80% untuk daerah dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan dan 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

c. Sumber Daya Alam Perikanan

Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan. Pembagian Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Perikanan ini ditetapkan dengan imbangan untuk pemerintah 20% dan untuk daerah 80% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota.

(27)

d. Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)

Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan dan gas alam dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi (Migas), DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi dibagi dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah dan 15,5% untuk daerah. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15% dibagi dengan rincian 3% untuk provinsi yang bersangkutan, 6% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian 0,1% untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% untuk kabupaten/kota penghasil, serta 0,2% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Sementara itu, DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Gas Bumi dibagi dengan imbangan 69,5 % untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah. DBH Pertambangan Gas bumi sebesar 30% dibagi

(28)

dengan rincian 6% untuk provinsi yang bersangkutan, 12% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 12% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH Pertambangan Gas bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian 0,1% untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% untuk kabupaten/kota penghasil, serta 0,2% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi sebear 80% dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi ke daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari penetapan dalam APBN tahun berjalan. Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam APBN Perubahan melebihi 130 % (seratus tiga puluh persen), selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi sebagai dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan dengan menggunakan formula DAU. Ketentuan mengenai tata cara penghitungan selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. DBH yang berasal dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi wajib dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.

(29)

e. Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi

Dana Pertambangan Panas Bumi berasal dari setoran bagian pemerintah dan Iuran Tetap dan Iuran Produksi. Pembagian Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi ini ditetapkan dengan imbangan untuk pemerintah 20% dan untuk daerah 80%. Dimana, 80% untuk daerah dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan dan 32% untuk kabupaten/kota penghasil, serta 32% dibagi dengan porsi yang sama besar kepada seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

2.1.7. Belanja

Belanja adalah semua pengeluaran kas umum Negara/kas daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah pusat/daerah. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Pemendagri Nomor 59 tahun 2007 dan adanya perubahan kedua dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan kedua, belanja dikelompokkan menjadi: 1. Belanja Langsung.

Belanja langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

(30)

2. Belanja Tidak langsung

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial.

2.1.7.1 Pengertian dan Klasifikasi Belanja Modal

Menurut Ulum (2005 : 205), “Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan investasi permanen, aset tetap, dan aset lainnya yang berwujud yang digunakan dalam menunjang kegiatan pemerintah pusat/daerah dan melayani masyarakat”. Klasifikasi belanja modal untuk pemerintah pusat/daerah antara lain meliputi belanja perolehan investasi permanen dan belanja pembelian aset tetap.

Erlina (2012:169) mengemukakan bahwa belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Sehingga dengan kata lain, Belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya

(31)

mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Menurut Syaiful (2006) Belanja modal dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama yaitu:

a. Belanja Modal Tanah

Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertipikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.

b. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. c. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

d. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan / pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

e. Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

(32)

Tabel 2.1

Jenis Belanja Modal dan Komponen-komponennya

No Jenis Belanja Modal Komponen Biaya yang dimungkinkan di dalam Belanja Modal

1. Belanja Modal Tanah a. Belanja Modal Pembebasan Tanah

b. Belanja Modal Pembayaran Honor Tim Tanah

c. Belanja Modal Pembuatan Sertifikat Tanah d. Belanja Modal Pengurugan dan Pematangan

Tanah

e. Belanja Modal Biaya Pengukuran Tanah f. Belanja Modal Perjalanan Pengadaan Tanah 2. Belanja Modal

Gedung dan Bangunan

a. Belanja Modal Bahan Baku Gedung dan Bangunan

b. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Gedung dan bangunan

c. Belanja Modal Sewa Peralatan Gedung dan Bangunan

d. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Gedung dan Bangunan

e. Belanja Modal Perizinan Gedung dan Bangunan

f. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama

g. Gedung dan Bangunan

h. Belanja Modal Honor Perjalanan Gedung dan Bangunan

3. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

a. Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin

b. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis

c. Peralatan dan Mesin

d. Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan Mesin

e. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Peralatan dan Mesin

f. Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin

g. Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin

h. Belanja Modal Perjalanan Peralatan dan Mesin

(33)

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan jaringan

a. Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan

b. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Tekhnis Jalan dan Jembatan c. Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan

Jembatan

d. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan

e. Belanja Modal Perizinan Jalan dan Jembatan f. Belanja Modal Pengosongan dan

Pembongkaran Bangunan Lama Jalan dan Jembatan

g. Belanja Modal Perjalanan Jalan dan Jembatan

h. Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan

i. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Irigasi dan Jaringan j. Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan

Jaringan

k. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Irigasi dan Jaringan

l. Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan m. Belanja Modal Pengosongan dan

Pembongkaran Bangunan Lama Irigasi dan Jaringan

n. Belanja Modal Perjalanan Irigasi dan Jaringan

5. Belanja Modal Fisik Lainnya

a. Belanja Modal Bahan Baku Fisik Lainnya b. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan

Pengelola Teknis Fisik Lainnya

c. Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik Lainnya d. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan

Fisik Lainnya

e. Belanja Modal Perizinan Fisik Lainnya f. Belanja Modal Jasa Konsultan Fisik Lainnya Sumber : Syaiful (2006)

(34)

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tabel 2.2

Tinjauan Penelitian Terdahulu No Nama dan

Tahun

Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian 1. Irma Syafitri (2009) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Dependen: 1. Pertumbuhan Ekonomi 2. Pendapatan Asli Daerah 3. Dana Alokasi Umum Independen: Belanja Modal Secara parsial Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal sedangkan pertumbuhan ekonomi dan Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap belanja modal. Secara simultan pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum, berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal. 2. Eva Septriani Sianipar (2011) Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Pada Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara. Dependen: 1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan Independen: Belanja Modal Secara parsial

PAD, DAU, DAK mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap belanja modal. Sedangkan DBH Pajak dan DBH SDA tidak

(35)

berpengaruh secara signifikan terhadap anggaran belanja modal. Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Bagi

Hasil SDA mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap anggaran belanja modal. Sumber: Peneliti (2013)

Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 2.3.2. Kerangka Konseptual Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan berbagai konsep teori dan kajian penelitian yang mendahuluinya. Setiap Pemerintahan daerah memiliki anggaran keuangan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing. Anggaran tersebut pada dasarnya memuat rencana keuangan daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan untuk penyelenggaraan pelayanan umum termasuk dalam hal pengalokasian sumber daya. Keterbatasan sumber daya merupakan pangkal masalah

(36)

utama dalam pengalokasian belanja daerah. Hal ini dapat diatasi dengan menciptakan manajemen pelayanan publik yang terencana dengan baik.

Belanja modal dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk pengadaan aset daerah sebagai inventaris, dalam rangka membiayai pelaksanaan otonomi daerah pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu menggali, mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dari sumber-sumber yang berasal dari wilayahnya. Karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh besar untuk meningkatkan besarnya belanja modal suatu daerah. Semakin besar PAD yang diperoleh maka akan semakin besar pula peluang untuk melakukan belanja modal.

Walau demikian, pendapatan daerah berupa transfer dana dari pemerintah pusat tidak kalah pentingnya untuk pengalokasian belanja modal suatu daerah. Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya, pemerintah pusat tidak dapat lepas tangan begitu saja terhadap kebijakan otonominya. Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan transfer dana berupa dana perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil berupa Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil

(37)

Sumber Daya Alam. Dengan demikian semakin banyak jumlah pendapatan yang diperoleh daerah baik itu dari pendapatan asli daerah maupun berasal dari dana perimbangan akan mampu mempengaruhi pembiayaan ataupun kebutuhan masyarakatnya.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas dapat digambarkan kerangka konseptual sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Dana Alokasi Umum (DAU) (X2)

Dana Alokasi Khusus (DAK) (X3)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) (X1)

Dana Bagi Hasil (DBH)

(X4)

Dana Bagi Hasil Pajak Dana Bagi Hasil SDA

Belanja Modal (Y)

(38)

2.4 Hipotesis Penelitian

Menurut Rochaety, dkk. (2009:31), “Hipotesis penelitian merupakan anggapan peneliti terhadap suatu masalah yang sedang dikaji”. Peneliti mengganggap hipotesis ini merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris dengan menggunakan data-data hasil penelitian.

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka peneliti membuat rumusan hipotesis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil berupa Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal pada Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

Desain instruksional bimbingan minat baca berbasis hypnosis adalah pengembangan dari materi bimbingan minat baca yang sebelumnya sudah dibuat oleh Perpustakaan Nasional Indonesia

Disadari bahwa antara transportasi dan tata guna lahan memiliki keterkaitan yang tinggi, termasuk keterkaitan 2 (dua) aspek tersebut di Kabupaten OKU Selat an. Transportasi

o Guru menunjuk seorang siswa yang mengetahui tentang Memahami khutbah, tabligh dan dakwah untuk memberikan opininya kepada teman-temannya di bawah bimbingan guru.. o Setelah

Migration status and socioeconomic variables seem to have no systematic effect, while fishing effort (labor, boat, and gear), the degree of specialization, and

Ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim ( schedule f) 0 4 Jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin

Penelitian-penelitian tindak tutur lokusi dan perlokusi yang sudah dilakukan, sebagian besar menggunakan objek berupa tuturan lisan, sehingga penulis berinisiatif meneliti

Besi juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Besi telah ditemukan sejak zaman dahulu dan tidak diketahui siapa penemu sebenarnya dari unsur ini. Besi dan

Penulisan ilmiah ini merupakan pembuatan aplikasi mini market tampilan window yang berhubungan serta berinteraksi dengan database dengan menggunakan fasilitas yang ada pada Visual