• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK KECAP TANPA FERMENTASI MOROMI DARI KARA BENGUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI KANDUNGAN KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK KECAP TANPA FERMENTASI MOROMI DARI KARA BENGUK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

CARBOHYDRATE, PROTEIN AND LIPID CONTENT TEST OF SAUCE WITHOUT MOROMI FERMENTATION FROM VELVET BEAN (Mucuna pruriens (L.) DC.) FERMENTATION RESULT BY Rhizopus oligosporus :

SOAKING LONG PERIOD INFLUENCE

Tjahjadi Purwoko, Suranto danTunjung Ulandari

Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas maret University, Surakarta.

ABSTACT

Velvet bean seed (Mucuna prurients (L.) DC.) can used as raw material for tempe dan soy sauce. In the process of tempe, the most important step was soaking. This procedure would determine quality of soy sauce. Soy sauce could be maked from tempe without moromi fermentation treatment. The aims of this research were to test the value of carbohydrate, protein and lipid in velvet bean sauce by R. oligosporus without moromi fermentation, after treatment by soaking seed for 36, 48, 60 hours respectively and to test consumer satisfaction grade to this velvet bean sauce based on preferable test.

The method in the velvet bean sauce process was fermentation. In the tempe process, the cleaned seed are soaked into tap water for 36, 48 and 60 hours respectively. The cooled bean are poured with inoculum of R. oligosporus (2.104 cfu/g seed) and it was continued with mould fermentation of R. oligosporus for 4 days then they were dried. In the case of treatment without moromi fermentation, the dry tempe was extracted by aquades (2 ml/g), for controle purpose it was continued moromi fermentation for 4 weeks. Velvet bean sauce was analized for carbohydrate (sugar reduction and starch) with Nelson-Somogy Method, protein with Lowry-Folin Method and lipid with Folch et al. Method. Finally, velvet bean sauce was tested preferable including the color, viscosity, taste and aroma, which compared with ABC dan Bango soybean sauce.

The results showed that the value of carbohydrate, protein and lipid velvet bean sauce by R. oligosporus without moromi fermentation decreased after soaking in the long period. The value of carbohydrate, protein and lipid velvet bean sauce without moromi fermentation has higher value than velvet bean sauce with moromi fermentation. Based on the data of preferable test, color and viscosity of velvet bean sauce with soak long periode 36 hours is the most like, but in their taste and aroma, velvet bean sauce with soak long periode 60 hours is the most like.

(2)

PENDAHULUAN

Bahan makanan yang difermentasi memegang peranan yang penting dalam makanan rakyat Indonesia sehari-hari, misalnya oncom, tempe dan kecap. Di beberapa daerah di pulau Jawa, Mucuna pruriens atau kara benguk dapat diolah menjadi tempe, tetapi setelah dihilangkan racunnya. Tempe benguk memang tidak sepopuler tempe kedelai. Namun demikian, tempe benguk cukup diminati konsumen karena kekhasan rasanya dan kekenyalan teksturnya.

Kebutuhan kedelai sebagai bahan baku tempe dan kecap di Indonesia sebagian besar masih import dan harganya relatif mahal. Saat ini dikenal berbagai macam jenis kecap berbahan baku selain kedelai, yaitu kecap ikan, kecap keong, kecap kecipir dan kecap lamtoro gung. Dengan kenyataan tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan kecap dapat dibuat dari bahan-bahan lainnya. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan kara benguk sebagai bahan baku pembuatan kecap. Hal itu karena kadar gizi kara benguk tidak kalah dengan kedelai. Tiap 100 g biji kara benguk mengandung 332 kalori, 24 g protein, 3 g lemak, 55 g karbohidrat, 130 mg kalsium, 200 mg fosfor, 2 mg besi, 70 S.I. vitamin A, 0,3 mg vitamin B dan 15 g air (Santoso, 2004).

Kecap dapat dibuat melalui tiga cara, yaitu fermentasi, hidrolisis asam dan kombinasi fermentasi dan hidrolisis asam. Dibandingkan dengan kecap yang dibuat secara hidrolisis asam, kecap yang dibuat dengan cara fermentasi, biasanya mempunyai rasa dan aroma yang baik. Proses fermentasi kecap terdiri dari dua tahap, yaitu fermentasi kapang (solid stage fermentation) dan fermentasi moromi (brine fermentation). Pada prinsipnya, pembuatan kecap secara fermentasi berkaitan dengan pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat menjadi asam amino, asam lemak, dan monosakarida oleh aktivitas enzim jamur, khamir dan bakteri (Koswara, 1997).

Kapang yang biasa berperan dalam fermentasi kecap, antara lain Aspergillus oryzae, A. soyae, Rhizopus oryzae dan R. oligosporus (Rahayu dkk., 1993). Rhizopus oryzae dan R. oligosporus merupakan kapang yang berperan utama dalam proses pembuatan tempe. R. oryzae dapat menghasilkan miselium lebih panjang dan padat dibanding R. oligosporus. Namun, dalam hal kadar

(3)

protein yang terkandung, hasil fermentasi dari R. oligosporus yang lebih tinggi (Kasmidjo, 1990). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan R. oligosporus sebagai inokulum murni pada fermentasi kapang dalam pembuatan kecap.

Dari hasil penelitian Septiani (2004) bahwa kecap dari tempe kedelai tanpa fermentasi moromi memiliki kadar protein dan lemak lebih tinggi dibandingkan kecap dengan fermentasi moromi. Selain itu kecap tanpa fermentasi moromi ini mempunyai cita rasa dan aroma yang lebih disukai dibandingkan dengan kecap dengan fermentasi moromi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan fermentasi tanpa moromi, sehingga diharapkan kadar protein kecap kara benguk tinggi.

Pada proses pembuatan tempe, perendaman merupakan tahap awal yang penting. Dengan perendaman dan kemudian membuang air rendamannya, faktor antinutritif dalam biji akan hilang karena larut dan terbuang bersama air rendaman. Selama perendaman akan terjadi pengasaman, penurunan pH biji akan memberi kesempatan jamur tempe tumbuh lebih lama. Oleh karena itu, pembuatan kecap dari tempe kara benguk dalam penelitian ini dilakukan perlakuan variasi lama perendaman. Tujuan penelitian ini adalah menguji kadar karbohidrat, protein dan lemak kecap dari kara benguk oleh R. oligosporus tanpa fermentasi moromi setelah dilakukan perlakuan lama perendaman serta menguji tingkat kesukaan konsumen terhadap kecap kara benguk tanpa fermentasi moromi.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan kecap adalah biji kara benguk putih yang diperoleh dari Pasar Nusukan Surakarta, abu dapur, akuades, biakan murni Rhizopus oligosporus yang diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Pangan dan Gizi PAU Yogyakarta, NaCl 20% dan beras. Bahan untuk uji karbohidrat digunakan enzim amilase (Enzyplex, Westmont Pharmacheuticals Bogor), glukosa, reagen Nelson A, reagen Nelson B dan reagen Arsenomolibdat. Bahan untuk uji protein digunakan BSA (Bovine Serum Albumin), reagen Lowry

(4)

A, reagen Lowry B, reagen Lowry C, reagen Lowry D dan reagen Lowry E. Bahan untuk uji lemak digunakan KCl, H2PO4, khloroform dan methanol.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan faktor tunggal yaitu variasi lama perendaman biji (P) dengan 4 perlakuan yaitu sebagai berikut:

P36 = Perendaman biji selama 36 jam dan tanpa fermentasi moromi

P48 = Perendaman biji selama 48 jam dan tanpa fermentasi moromi

P60 = Perendaman biji selama 60 jam dan tanpa fermentasi moromi

Kontrol = Perendaman biji selama 48 jam dan dengan fermentasi

moromi selama 4 minggu.

Semua perlakuan dilakukan pada suhu kamar ( 300C) dengan air rendaman bersuhu 300C dan kara benguk yang digunakan tiap perlakuan sebanyak 0,5 kg. Perbandingan air yang digunakan dalam perendaman terhadap kara benguk adalah 3,5 : 1. Masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan.

Pembuatan Bubuk Inokulum

Beras (15 g) ditambah dengan 15 ml akuades, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri. Substrat beras dalam cawan petri tersebut disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC tekanan 1 atm selama 15 menit, sehingga menjadi nasi steril. Nasi steril diinokulasi spora R. oligosporus kemudian diinkubasi selama 3-5 hari pada suhu kamar. Setelah itu nasi terfermentasi dikeringkan pada suhu 40oC selama 3 hari, kemudian diblender sehingga menjadi bubuk inokulum.

Pembuatan Kecap

Biji kara benguk (6 kg) dicuci bersih, selanjutnya direbus selama 2 jam dalam 15 liter air dan dibubuhi 150 gram abu dapur untuk mempermudah pengupasan kulit ari biji kara benguk. Setelah dikuliti, kara benguk dirajang kemudian dicuci sekali lagi. Kara benguk tanpa kulit dipisahkan ke dalam 4 kelompok perlakuan kontrol, P36, P48 dan P60, masing-masing perlakuan dengan

(5)

masing-masing ulangan dengan kara benguk sebanyak 0,5 kg. Setelah direndam, kara benguk dicuci dan direbus lagi selama 20 menit. Kara benguk ditiriskan dan diletakkan dalam loyang. Setelah ditutup dengan 2 lapis alumunium foil, kara benguk diautoklaf (121oC, 15 menit). Kara benguk steril diinokulasi dengan inokulum R. oligosporus (+ 2x104 cfu/g kara benguk) dan diinkubasi sampai bersporulasi (+ 4 hari) pada suhu kamar (± 30oC). Kara benguk terfermentasi (tempe benguk) kemudian dikeringkan pada suhu 40oC selama 3 hari. Pada perlakuan dengan fermentasi moromi, tempe benguk direndam dalam larutan NaCl 20% selama 4 minggu. Setelah fermentasi moromi selama 4 minggu, dilakukan penyaringan dan residu dibuang. Pada perlakuan tanpa fermentasi moromi, tempe benguk ditumbuk dan diekstrak dengan akuades (2ml/g) pada suhu 50oC selama 24 jam. Setelah 24 jam, dilakukan penyaringan sehingga diperoleh filtrat.

Filtrat selanjutnya direbus kemudian bumbu kecap yang telah dibungkus kain kasa dicelupkan ke dalam cairan yang mendidih dan digoyang-goyangkan. Cairan diaduk terus-menerus selama 2-3 jam sampai volume menjadi setengah dari volume semula. Ketika masih panas, kecap manis ini disaring dengan dua lapis kain saring dan didinginkan (Warintek, 2003)

Uji Karbohidrat

Kandungan karbohidrat dalam kecap berbumbu dianalisis dengan menentukan kadar gula reduksi dan kadar pati. Kadar gula reduksi dan pati dianalisis menggunakan metode Nelson-Somogy yaitu secara spektrofotometri (Sudarmadji dkk., 1984). Larutan sampel diukur absorbansi cahaya tampak pada panjang gelombang 540 mm, kemudian dibuat kurva standar glukosa dengan konsentrasi 0,0; 0,3; 0,6; 0,9; 1,2; 1,5 mg/ml akuades. Kadar gula reduksi ditentukan berdasarkan absorbansi larutan sampel dan kurva standar larutan glukosa.

Uji Protein

Kadar protein kecap berbumbu dianalisis menggunakan metode Lowry-Folin secara spekrofotometri (Sudarmadji dkk., 1984). Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 590 nm, kemudian dibuat kurva standar

(6)

BSA dengan konsentrasi 0,0; 0,3; 0,6; 0,9; 1,2 dan 1,5 mg/ml akuades. Kadar protein terlarut ditentukan berdasarkan absorbansi larutan sampel dan kurva standar larutan BSA.

Uji Lemak

Kadar lemak dianalisis dengan metode Folch et al. (Sudarmadji dkk., 1984). Sampel kecap sebanyak 1 ml dicampurkan ke dalam 20 ml larutan khloroform-metanol 1:1 v/v, kemudian diletakkan pada shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 2 jam. Setelah 2 jam, sampel ditambah dengan 20 ml KCl 1M dan 20 ml H2PO4 0,2 M. Larutan dimasukkan ke dalam corong pisah, digojog

hingga terbentuk dua lapisan, lapisan bawah yang mengandung lemak diambil dan diletakkan pada cawan petri kosong yang telah diketahui beratnya, kemudian disimpan pada oven suhu 40oC selama 24 jam. Setelah 24 jam cawan petri dikeluarkan dari oven ditimbang (berat total). Berat lemak merupakan selisih dari berat total dikurangi dengan berat cawan petri kosong.

Uji Kesukaan

Uji kesukaan meliputi warna, kekentalan, rasa dan aroma, dilakukan pada kecap dengan perlakuan kontrol, P36, P48, dan P60 yang dibandingkan dengan dua

kecap kedelai komersialABC dan Bango. Uji kesukaan dilakukan pada 32 orang panelis dengan pemberian nilai skor 1 5 yaitu skor 5 (sangat suka), skor 4 (suka), skor 3 (agak suka), skor 2 (agak tidak suka) dan skor 1 (sangat tidak suka) (Kartika dkk., 1988).

Analisis Data

Data yang diperoleh dari analisis karbohidrat, lemak dan protein kecap dari setiap perlakuan dianalisis dengan Anava untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap semua variabel pengamatan. Jika terdapat beda nyata kemudian dilanjutkan dengan Duncan pada taraf signifikansi 5%. Data hasil uji kesukaan dianalisis dengan statistik nonparametik yaitu dengan Friedman Test pada taraf signifikansi 5%. Jika terdapat beda nyata dilanjutkan dengan WSRT.

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karbohidrat

Pati merupakan simpanan karbohidrat pada tumbuh-tumbuhan yang tersusun dari dua macam molekul polisakarida yaitu amilosa dan amilopektin. Gula reduksi terutama dalam bentuk glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati oleh enzim amilase yang terdapat pada kapang Rhizopus (Almatsier, 2002). Dalam penelitian ini, kandungan karbohidrat yang diukur adalah karbohidrat dalam bentuk gula reduksi dan pati. Data analisis kadar karbohidrat (gula reduksi dan pati) kecap kara benguk dengan fermentasi moromi dan tanpa fermentasi moromi oleh R. oligosporus berdasarkan pengaruh lama perendaman biji dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian kadar gula reduksi, pati dan karbohidrat (dalam hitungan % berat kering) dari kecap kara benguk dengan fermentasi moromi dan tanpa fermentasi moromi oleh R. oligosporus berdasarkan pengaruh lama perendaman biji

Perlakuan Kadar Kadar Kadar

gula reduksi (%) pati (%) karbohidrat (%)

Kontrol 7,707 c 10,653 c 18,359 b P36 7,527 c 14,428 a 21,955 a P48 8,135 b 13,385 b 21,520 a P60 8,727 a 10,773 c 19,500 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf supercript yang berbeda menunjukkan beda nyata pada

uji Duncan taraf 5%.

Kontrol = Perendaman biji selama 48 jam dan dengan fermentasi moromi

selama 4 minggu.

P36 = Perendaman biji selama 36 jam dan tanpa fermentasi moromi

P48 = Perendaman biji selama 48 jam dan tanpa fermentasi moromi

P60 = Perendaman biji selama 60 jam dan tanpa fermentasi moromi

Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar gula reduksi tertinggi adalah pada perlakuan P60 yaitu 8,727% dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain

kemudian diikuti P48 sebesar 8,135%, kontrol sebesar 7,707% dan P36 sebesar

7,527%. Kadar pati tertinggi adalah kecap pada perlakuan P36 yaitu 14,428% dan

berbeda nyata dengan perlakuan yang lain, kemudian diikuti P48 sebesar 13,385%,

kontrol sebesar 10,653% dan P60 sebesar 10,773%.

Semakin lama perendaman biji maka kadar gula reduksinya semakin meningkat sedangkan kadar pati semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa

(8)

telah terjadi hidrolisis pati. Hidrolisis pati terjadi selama fermentasi kapang yang dilakukan oleh enzim amilase yang dihasilkan R. oligosporus. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), ada beberapa tingkatan dalam reaksi hidrolisis pati. Molekul-molekul pati mula-mula dipecah menjadi unit-unit rantaian glukosa yang lebih pendek, yang disebut dekstrin. Dekstrin ini dipecah menjadi maltosa (dua unit glukosa) dan akhirnya maltosa dipecah menjadi glukosa.

Kadar karbohidrat (gula reduksi dan pati) tertinggi pada perlakuan P36

yaitu 21,955% kemudian diikuti kecap pada perlakuan P48 sebesar 21,520%, P60

sebesar 19,500% dan kontrol sebesar 18,359%. Namun perbedaan kadar karbohidrat tersebut tidak begitu signifikan. Berdasarkan Tabel 1 juga dapat diketahui bahwa semakin lama perendaman biji maka kadar karbohidrat semakin menurun. Hal ini juga sama terjadi pada kadar pati yang menurun seiring dengan lama perendaman biji. Semakin menurunnya kadar karbohidrat maupun pati dengan semakin lamanya perendaman biji karena dengan semakin lama perendaman biji maka kadar air biji semakin tinggi sehingga menyebabkan biji semakin lunak. Semakin lunaknya biji maka semakin banyak pati yang dirombak oleh enzim amilase. Itulah sebabnya kadar gula reduksi semakin tinggi dengan semakin lamanya perendaman dan kadar pati menjadi menurun.

Kecap kara benguk fermentasi moromi (kontrol) dan pada perlakuan P48,

sama-sama lama perendamannya 48 jam tetapi kadar pati di antara kedua kecap tersebut secara statistik berbeda nyata yaitu kadar kecap pada kontrol yang lebih rendah (Tabel 1). Dengan kadar pati yang paling rendah seharusnya kadar gula reduksinya juga yang paling tinggi, tetapi hasilnya tidak demikian. Hal ini karena selama fermentasi moromi, gula reduksi yang telah terbentuk dari hidrolisis pati tersebut digunakan oleh bakteri asam laktat untuk memperoleh energi (Egounlety, 2003).

Protein

Data analisis kadar protein kecap kara benguk dengan fermentasi moromi dan tanpa fermentasi moromi oleh R. oligosporus berdasarkan pengaruh lama perendaman biji dapat dilihat pada Tabel 2.

(9)

Tabel 2. Hasil pengujian kadar protein terlarut kecap (dalam hitungan % berat kering) dari kara benguk dengan fermentasi moromi dan tanpa fermentasi moromi oleh

R. oligosporus berdasarkan pengaruh lama perendaman biji

Perlakuan Kadar protein (%)

Kontrol 3,352 c

P36 5,017 a

P48 4,486 b

P60 3,541 c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf supercript yang berbeda menunjukkan beda nyata pada

uji Duncan taraf 5%.

Tabel 2 menunjukkan kadar protein terlarut pada kontrol berbeda nyata dengan perlakuan P36 dan P48, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan P60.

Kadar protein terlarut pada kontrol adalah yang paling rendah yaitu 3,352% jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini berarti fermentasi moromi mampu menurunkan kadar protein. Hal ini terjadi karena kemungkinan sebagian nutrisi dari hasil fermentasi kapang yang merupakan asam-asam amino hasil hidrolisis protein oleh enzim protease R. oligosporus telah digunakan oleh bakteri asam laktat selama 4 minggu fermentasi moromi sebagai sumber nitrogen. Adapun faktor lain diduga karena senyawa-senyawa hasil fermentasi ini sebagian telah diuraikan lagi menjadi gas amonia yang bisa menguap (Dwijoseputro, 1985). Hal ini dapat dibuktikan bahwa hasil fermentasi moromi pada minggu ke-3 berbau menyengat.

Semakin lama perendaman, kadar protein terlarut semakin menurun. Semakin menurunnya kadar protein dengan semakin lamanya perendaman disebabkan lepasnya ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dalam air (Anglemier dan Montgomery, 1976 dalam Suhaidi, 2003).

Lemak

Lemak pada biji sebagian besar adalah berupa trigliserida. Biji kara benguk mengandung lebih banyak asam lemak tidak jenuh yaitu asam linoleat (48%) (Siddhuraju et al., 2000). Selain itu dalam biji kara benguk juga terkandung asam palmitat (Josephine dan Janardhanan, 1992).

(10)

Data analisis kadar karbohidrat (gula reduksi dan pati) kecap kara benguk dengan fermentasi moromi dan tanpa fermentasi moromi oleh R. oligosporus berdasarkan pengaruh lama perendaman biji dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengujian kadar lemak kecap (dalam hitungan % berat kering) dari kara benguk dengan fermentasi moromi dan tanpa fermentasi moromi oleh R.

oligosporus berdasarkan pengaruh lama perendaman biji

Perlakuan Rata-rata kadar lemak (%)

Kontrol 1,135 b

P36 1,693 a

P48 1,197 b

P60 1,193 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf supercript yang berbeda menunjukkan beda nyata pada

uji Duncan taraf 5%.

Kadar lemak pada kontrol yaitu 1,135% lebih rendah dibandingkan dari semua perlakuan. Walaupun analisis statistik menunjukkan bahwa kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan P48 dan P60.

Gambar 3 menunjukkan semakin lama perendaman maka kadar lemak semakin menurun. Hal ini karena selama proses perendaman terjadi proses oksidasi terurai menjadi CO2 dan H2O (Ridwansyah, 2002). Perlakuan P48

dengan kontrol, sama-sama lama perendamannya 48 jam tetapi kadar lemak pada kontrol lebih rendah, tetapi perbedaan tersebut secara statistik tidak berbeda nyata. Penurunan lemak ini kemungkinan disebabkan sebagian hasil perombakan trigliserida oleh enzim lipase R. oligosporus yang berupa asam lemak digunakan bakteri asam laktat selama fermentasi moromi sebagai sumber energi untuk aktivitas metabolisme.

Uji Kesukaan Kecap

Uji Kesukaan kecap dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan atau penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan yaitu kecap kara benguk dibandingkan dengan kecap komersial ABC dan Bango. Penilaian meliputi warna, kekentalan, rasa dan aroma. Hasil analisis WSRT pada taraf 5% dari uji kesukaan terhadap kecap kara benguk dan kecap kedelai komersial dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

(11)

Tabel 4. Hasil uji kesukaan warna, kekentalan, rasa dan aroma kecap kara benguk dengan fermentasi moromi dan tanpa fermentasi moromi oleh R. oligosporus

Kecap Warna Kekentalan Rasa Aroma

Kecap ABC 4,88 a 4,81 a 5,50 a 4,47 a Kedelai Bango 4,00 b 3,92 b 4,61 b 4,34 a Kontrol 3,89 b 3,52 b 2,67 d 3,86 ab Kecap P36 3,45 b 3,39 b 2,27 d 2,50 c Kara Benguk P48 1,89 c 2,30 c 2,53 d 2,22 c P60 2,89 bc 3,06 bc 3,42 c 3,31 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf supercript yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% uji WSRT.

Angka semakin tinggi menunjukkan produk semakin disukai.

Warna coklat kecap merupakan warna yang dihasilkan oleh reaksi antara gula reduksi dan gugus-gugus asam amino dari protein selama fermentasi moromi (Astawan dan Astawan, 1991). Warna coklat juga dipengaruhi oleh warna gula aren yang digunakan. Penambahan gula aren menyebabkan warna coklat dan kekentalannya naik yang merupakan sifat spesifik kecap tradisional. Tabel 4 menunjukkan warna dan kekentalan kecap kara benguk dengan fermentasi moromi ataupun tanpa fermentasi masih kalah dengan kecap kedelai komersial ABC. Namun ada juga kecap kara benguk yang tidak berbeda nyata dengan kecap kedelai Bango yaitu pada kontrol dan pada perlakuan P60. Hal ini berarti

secara fisik atau yang dapat dilihat dengan indera penglihatan, kara benguk dapat berpotensi dibuat menjadi kecap.

Warna dan kekentalan di antara kecap kara benguk sendiri, dari Tabel 4 menunjukkan bahwa kontrol memiliki skor yang paling tinggi. Hal ini berarti kecap kara benguk pada kontrol lebih disukai konsumen walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan P36 dan P60. Warna dan kekentalan kecap

pada perlakuan P48 paling tidak disukai.

Rasa merupakan faktor yang cukup penting dari suatu produk makanan. Berdasar analisis statistik nonparametrik rasa, rasa kecap kara benguk baik dengan dan tanpa fermentasi moromi berbeda nyata dengan kecap kecap ABC dan Bango. Hal ini berarti rasa kecap kara benguk mempunyai tingkat yang belum setara dengan kecap ABC dan Bango.

Rasa terbentuk saat proses fermentasi moromi yaitu tahap fermentasi dalam larutan garam 20% (Koswara, 1997). Penambahan garam dalam proses

(12)

fermentasi moromi berfungsi untuk mengekstrak senyawa nitrogen terlarut yang ada dalam koji ke dalam larutan garam agar kecap yang dihasilkan mempunyai rasa dan aroma yang baik (Astawan dan Astawan, 1991).

Tabel 4 menunjukkan bahwa rasa kecap pada perlakuan P60 lebih disukai

dibandingkan kontrol maupun dengan kecap pada perlakuan P36 dan P48. Hal ini

menunjukkan bahwa rasa kecap kemungkinan lebih dipengaruhi oleh kadar gula reduksi, karena dari hasil penelitian ini kadar gula reduksi kecap pada perlakuan P60 yang paling tinggi. Hal ini yang menyebabkan kecap ini lebih manis jika

dibanding dengan kecap kara benguk pada perlakuan P36 dan P48, yang masih ada

rasa pahitnya. Oleh karena itu, skor kecap pada perlakuan P36 paling rendah, hal

ini karena rasa pahit lebih terasa. Rasa pahit yang muncul tersebut kemungkinan juga berasal dari faktor antinutritif yang masih terkandung dalam kecap. Dengan semakin lama perendaman biji maka faktor antinutritif yang terkandung dalam biji menjadi sedikit (Pangastuti dan Triwibowo, 1996). Hal tersebut yang mungkin menyebabkan kecap pada perlakuan P60 lebih disukai dibanding kecap kara

benguk pada kontrol, P36 dan P48.

Aroma kecap dipengaruhi oleh senyawa alkohol dan senyawa aromatik yang dihasilkan oleh khamir selama fermentasi moromi (Kasmidjo, 1990). Selain itu penambahan garam dalam proses fermentasi moromi menyebabkan kecap yang dihasilkan mempunyai rasa dan aroma yang baik (Astawan dan Astawan, 1991). Hal ini terbukti berdasar analisis statistik nonparametrik aroma, aroma kecap kara benguk dengan fermentasi moromi tidak berbeda nyata dengan kecap komersial ABC dan Bango. Walaupun tidak berbeda nyata dengan kecap ABC dan Bango tetapi skor untuk kontrol tetap berada di bawah kecap komersial tersebut (Tabel 4). Hal ini karena lama fermentasi moromi kecap kara benguk hanya berlangsung 4 minggu atau lebih singkat dibanding kecap komersial. Semakin lama proses fermentasi moromi, aroma yang dihasilkan akan lebih baik.

Aroma kecap kara benguk pada perlakuan P60 tidak berbeda nyata dengan

kecap kara benguk pada kontrol tetapi berbeda nyata dengan kecap ABC dan Bango. Walaupun demikian aroma kecap kara benguk kontrol lebih disukai dibandingkan aroma kecap kara benguk pada perlakuan P60 (Tabel 4). Di antara

(13)

kecap kara benguk tanpa fermentasi moromi, kecap dengan lama perendaman 60 jam yang paling disukai dibandingkan yang lainnya.

Potensi Kecap Kara Benguk

Salah satu penyebab kurang menonjolnya nama kara benguk, menurut Santoso (2004) karena kabar miring yang menyebut kara benguk sebagai tanaman beracun. Kabar miring tersebut harus diperangi, karena tidak sebanding dengan tingginya kadar gizi kara benguk.

Tabel 5. Kadar karbohidrat, protein dan lemak kecap kara benguk dan kecap kedelai

Kecap kara benguk (%) Kecap

Kedelai (%) Kontrol P36 P48 P60 Kadar karbohidrat 18,359 21,955 21,520 19,500 9,000 Kadar protein 3,352 5,017 4,486 3,541 5,700 Kadar lemak 1.135 1,693 1,197 1,193 1,300

Berdasarkan Tabel 5 tersebut kadar karbohidrat pada kecap kedelai menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1996) sebesar 9 g/100g atau 9%. Jika dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 18,359%, maka kadar karbohidrat kecap kara benguk pada kontrol lebih besar. Namun jika keduanya dibandingkan dengan kecap kara benguk tanpa fermentasi moromi, maka kecap kara benguk tanpa fermentasi moromi baik dari perlakuan P36, P48, dan P60, semuanya lebih

tinggi dibanding kontrol maupun kecap kedelai. Kadar karbohidrat kecap kara benguk lebih tinggi daripada kecap kedelai karena kadar karbohidrat dari biji kara benguk sendiri awalnya memang lebih tinggi yaitu 55 g/100g dibandingkan dengan biji kedelai yaitu hanya 34 g/100g (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1996).

Kadar protein kecap kedelai menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1996) sebesar 5,7 g/100g atau 5,7%. Jika dibandingkan dengan kecap kara benguk yang dihasilkan dari penelitian ini, kadar protein terlarut baik kontrol maupun perlakuan semuanya masih lebih rendah yaitu 3,352 - 5,017% dibanding kecap kedelai. Kadar protein terlarut kecap kara benguk lebih rendah daripada

(14)

kecap kedelai karena kadar protein dari biji kara benguk sendiri awalnya memang lebih rendah yaitu 24 g/100g dibandingkan dengan biji kedelai yaitu 42 g/100g (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1996).

Menurut SII kadar protein kecap bermutu baik atau dikatakan mutu kecap nomor satu minimal sebesar 6 %. Jika dilihat mutu dari kecap kara benguk yang dihasilkan dalam penelitian ini, maka kecap kara benguk dari semua perlakuan secara statistik (lampiran 4d) termasuk ke dalam mutu kecap nomor dua yaitu kecap yang mengandung kadar protein berkisar 4 - 6%.

Apabila ditinjau dari kadar protein kecap pada perlakuan P36 memiliki

kadar protein yang paling tinggi dari semua perlakuan. Namun apabila ditinjau dari rasa, kecap pada perlakuan P36 paling tidak disukai para panelis dibanding

dengan semua perlakuan. Sedangkan kecap pada perlakuan P60, yang memiliki

kadar protein yang paling rendah dari semua perlakuan dan juga yang termasuk mutu kecap nomor tiga ini malah paling disukai para panelis.

Kadar lemak kecap kedelai menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1996) sebesar 1,3 g/100g atau 1,3%. Jika dibandingkan dengan kecap kara benguk yang dihasilkan dalam penelitian ini, dari semua perlakuan maupun kontrol menunjukkan bahwa kadar lemaknya lebih rendah dibanding kecap kedelai, yang dapat dilihat pada tabel 7. Kadar lemak kecap kara benguk lebih rendah daripada kecap kedelai karena kadar lemak dari biji kara benguk sendiri awalnya memang lebih rendah yaitu 3 g/100g dibandingkan dengan biji kedelai yaitu 22,4 g/100g (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1996). Dengan rendahnya kadar lemak kecap kara benguk ini merupakan nilai positif, karena biasanya konsumen lebih memilih makanan yang memiliki kadar lemak yang rendah.

Apabila ditinjau dari aspek ekonomi, kecap kara benguk lebih ekonomis karena harga biji kara benguk lebih murah daripada biji kedelai. Apalagi dalam proses pembuatannya, kecap dapat dibuat dengan tanpa fermentasi moromi dan juga dapat menghasilkan rasa, aroma, warna dan kekentalan yang tidak kalah dengan kecap yang dibuat dengan fermentasi moromi pada umumnya, maka hal ini akan lebih menguntungkan karena proses pembuatannya akan lebih singkat dan biaya produksi yang lebih murah.

(15)

KESIMPULAN

Kadar karbohidrat, protein dan lemak kecap dari kara benguk (M. pruriens (L.) DC.) oleh R. oligosporus tanpa fermentasi moromi mengalami penurunan setelah dilakukan perlakuan lama perendaman, Kadar karbohidrat tertinggi pada kecap dengan lama perendaman 36 jam yaitu 18,041%, kemudian kecap dengan lama perendaman 48 jam sebesar 17,452% dan kecap dengan lama perendaman 60 jam sebesar 15,891%. Kadar protein tertinggi pada kecap dengan lama perendaman 36 jam sebesar 4,101%, kemudian kecap dengan lama perendaman 48 jam sebesar 3,528% dan kecap dengan lama perendaman 60 jam sebesar 2,672%. Kadar lemak tertinggi pada kecap dengan lama perendaman 36 jam 1,790%, kemudian kecap dengan lama perendaman 48 jam sebesar 1,017% dan kecap dengan lama perendaman 60 jam sebesar 0,881%.

Dari rasa dan aroma, kecap kara benguk dengan lama perendaman 60 jam tanpa fermentasi moromi yang paling disukai sedang dari warna dan kekentalan, kecap kara benguk dengan lama perendaman 36 jam tanpa fermentasi moromi yang paling disukai.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Astawan. M. dan Astawan, M.W. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi I. Akademika Pressindo, Jakarta.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bharata, Jakarta.

Dwidjoseputro, D. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan, Malang.

Egounlety, M. 2003. Prosessing of Velvet bean (Mucuna pruriens var. utilis by Fermentation. Tropical and Subtropical Agroecosystems. 1 : 173 – 181. Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu

Pangan Nutrisi dan Mirobiologi (diterjemahkan oleh Murdijati G., S. Naruki dan Sarjono). UGM Press, Yogyakarta.

(16)

Josephine, R. M. and K. Janardhanan 1992. Studies on Chemical Composition and Antinutritional Factors in Three Germplasm Seed Materials of The Tribal Pulse, Mucuna pruriens (L.) DC. Food Chemistry. 43 : 13-18.

Kartika, B., Hastuti, P. dan Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajahmada, Yogyakarta.

Kasmidjo, R. B. 1990. Tempe : Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajahmada, Yogyakarta.

Koswara, S. 1997. Mengenal Makanan Tradisional : Hasil Olahan Kedelai. Buletin Teknologi dan Industri Pangan VIII : 75 – 76.

Rahayu, E. S., R. Indrati, T. Utami, E. Harmayani, dan M. N. Cahyanto. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajahmada, Yogyakarta.

Ridwansyah. 2002. Pengaruh Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Lama

Perendaman Terhadap Mutu Ikan Kembung yang Pindang. www.library.usu.ac.id [ 30 Desember 2007].

Santoso, H. B. 2004. Kecap Benguk Juga Nomor Satu. http // www. Intisari – online. com [ 23 Juni 2007 ].

Septiani, Y. 2004. Studi Kadar Karbohidrat, Lemak dan Protein pada Kecap dari Tempe. Skripsi. Program Pendidikan S1 Program Studi Biologi Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi. 1984. Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi II. Penerbit Alumni, Bandung.

Suhaidi, I. 2003. Pengaruh Lama Perendaman dan Jenis Zat Penggumpal Terhadap Mutu Tahu. www.library.usu.ac.id [ 30 Desember 2007].

Warintek. 2003. Kecap. http://warintek. progressio.or.id./ttg/pangan/kecap.htm [ 23 Juni 2007 ].

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik agroekologi perkebunan karet di Lampung termasuk ke dalam kelas sesuai (S2), dengan faktor pembatas untuk Lampung Tengah dan Tulang Bawang adalah bulan

kelas X dari beberapa jurusan. 2) Data Sekunder, adalah data yang langsung diperoleh atau dikumpulkan oleh. peneliti dari sember-sumber yang telah ada, diantaranya

LEDs, log file, syslog, port mirroring, cable diagnostics (TX), address conflict and network fault detection, SFP diagnostics (temperature, optical input and output

Pada sisi lain pengaruh IPR terhadap ROA adalah positif, karena apabila IPR meningkat berarti telah terjadi peningkatan surat-surat berharga yang dimiliki dengan presentase

Dalam hal kriteria variabel bukaan bangunan rumah tinggal , seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah

Total daya transmisi langsung lebih besar bila dibandingkan transmisi kooperatif, dan total daya minimum untuk sumber 1 didapatkan pada kooperatif, dan total daya minimum untuk sumber

Segala puji penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun tugas akhir yang berjudul “ Repository

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think Pair Square) dengan permainan balok domino dapat meningkatkan sikap