• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANUSIA SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR YANG MENENTUKAN KONDISI LINGKUNGAN HIDUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANUSIA SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR YANG MENENTUKAN KONDISI LINGKUNGAN HIDUP"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MANUSIA SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR YANG

MENENTUKAN KONDISI LINGKUNGAN HIDUP

OLEH:

SYAIFUL RAMADHAN H, S.Pi, M.Si

Sebuah Perspektif Krisis Lingkungan Hidup Akibat Mentalitas Tanpa Batas, Penurunan Etika Lingkungan dan Deep Ecology Serta Kaitannya dengan

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI

TEMBILAHAN

2014

(2)

KATA PENGATAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan. Makalah ini merangkum dan membahas topik yang berkaitan dengan manusia sebagai salah satu faktor yang menentukan kondisi lingkungan hidup dalam perspektif krisis lingkungan hidup akibat mentalitas tanpa batas serta penurunan etika lingkungan dan deep ecology serta kaitannya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan tambahan informasi bagi seluruh stakeholder yang berkaitan dengan keterkaitan manusia dengan mentalitas tanpa batas dan penurunan etika lingkungan dan deep ecology sebagai penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup.

.

Pekanbaru, Januari 2014

(3)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGATAR ... i DAFTAR ISI ... ii I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Penulisan ... 5 II. PEMBAHASAN ... 6 2.1. Lingkungan Hidup ... 6

2.2. Korelasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup ... 6

2.3. Pengetahuan dan Interaksi Manusia dengan Lingkungan ... 8

2.4. Akar Permasalahan Kerusakan Lingkungan Hidup ... 10

2.5. Kaitan Penurunan Etika Lingkungan dengan Peningkatan Perilaku Merusak Lingkungan ... 11

2.6. Manusia Sebagai Salah Satu Faktor yang Menentukan Lingkungan Hidup dalam Kerangka Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. ... 13

2.7. Lima “R” Sebagai Kerangka Konsep Etika dan Deep Ecology untuk Menyelamatkan Lingkungan Hidup ... 18

III. PENUTUP ... 22

3.1. Kesimpulan ... 22

3.2. Saran ... 23 DAFTAR PUSTAKA

(4)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberadaan lingkungan hidup sebagai salah satu asset bagi manusia merupakan suatu hal yang sangat mendasar, perhatian masyarakat terhadap lingkungan hidup memberikan gambaran bahwa persoalan lingkungan hidup memerlukan perlindungan dari manusia itu sendiri maupun pemerintah. Sebagai makhluk hidup kita mempunyai tanggungjawab pribadi kepada sang pencipta untuk memelihara bumi dan isinya dari segala kerusakan dan pencemaran, manusia menjadi salah satu faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan dan pengolahan lingkungan hidup yang membentuk kesatuan fungsional, saling terkait dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat spesifik, holistik dan berdimensi ruang.

Lingkungan hidup bagi kehidupan manusia memiiliki fungsi sebagai penyedia sumber daya alam yang akan diolah dan dikonsumsi menjadi sebuah produk, memberikan kesegaran dan kesejukan disekitarnya dan sebagai tempat menampung dan mengolah limbah secara alami. Namun demikian karena majunya pembangunan nasional ketiga fungsi tersebut semakin lama semakin memburuk, sumber daya alam semakin berkurang, kesejukan semakin menurun dan kemampuannya sebagai penampung limbah banyak berkurang sehingga banyak menimbulkan pencemaran disekitar kita. Manusia sebagai salah satu faktor penentu seharusnya sadar bahwa lingkungan hidup sangat penting bagi peningkatan hidup manusia itu sendiri.

Peningkatan kualitas hidup manusia selalu berorientasi jangka panjang dengan prinsip-prinsip keberlanjutan hidup manusia sekarang dan akan datang. Lingkungan hidup juga merupakan sebuah sistem yang utuh, kolektivitas dari serangkaian subsistem yang saling berhubungan, saling bergantung dan fungsional satu sama lain sehingga membentuk suatu ekosistem yang utuh. Manusia memiliki akal, budi, daya dan pekerti, kemampuan otak secara natural manusia bisa berinteraksi dengan lingkungannya dengan memakai otak dan bisa menentukan kehendak dan merumuskan suatu tindakan dalam otaknya, untuk memilih/menentukan apa yang hendak ia perbuat mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bertentangan dengan nilai yang berlaku dalam lingkungannya. Akan tetapi pandangan martabat istimewa kepada pribadi manusia, martabat alam tidak dikurangi sedikitpun melainkan ditingkatkan.

(5)

Dengan keistimewaan yang dimilikinya, manusia menjadi satu-satunya makhluk hidup yang memiliki tanggung jawab moral, terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungannya. disamping itu manusia memiliki budaya pranata sosial dan pengetahuan serta teknologi yang makin berkembang. Kasus-kasus kerusakan dan pencemaran, seperti dilaut, hutan, sungai, udara,air, tanah dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri, manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Peran manusia terhadap lingkungan hidup memiliki dua peran yaitu peran negatif dan peran positif, peran manusia yang bersifat negatif adalah peran yang merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung atau tidak langsung timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, peranan manusia yang bersitaf positif adalah peranan yang berakibat menguntugkan lingkungan karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan. Perilaku merusak lingkungan hidup antara lain pertumbuhan populasi manusia, konsumsi yang berlebihan akan sumberdaya alam; hutan, perikanan, sungai, laut dan seterusnya, polusi udara, air, dan daratan. Sementara itu kebutuhan pembangunan gedung-gedung juga menuntut pemenuhan berbagai bahan material seperti kayu, semen dan pasir yang diperoleh dari pengerukan sumberdaya alam yang berlebih, sehingga semakin mempertajam kerusakan lingkungan alam. Selain kerusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan konsumsi yang berlebihan atas sumber daya alam, masyarakat industri juga memberikan dampak kerusakan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berakibat buruk bagi manusia.

Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri.

Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan “hati nurani” dan lebih mengedepankan mentalitas tanpa batas dengan terus mengeruk sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan kemudaratan yang akan ditimbulkannya di masa depan. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa

(6)

merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia. Kiranya tidak salah jika manusia dipandang sebagai kunci pokok dalam kelestarian maupun kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Cara pandang dan sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya menyangkut mentalitas tanpa batas dari manusia itu sendiri yang mempertanyakan eksistensinya di jaman modern ini dalam kaitannya dengan waktu, tujuan hidup, arti materi dan yang ada ”di atas” materi. Dengan demikian masalah lingkungan hidup tak lain adalah soal bagaimana mengembangkan falsafah hidup yang dapat mengatur dan mengembangkan eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam dalam kerangka etika lingkungan dan deep ecology serta kaitannya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 sebagaimana yang akan dijabarkan dalam makalah ini.

1.2. Perumusan Masalah

Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan.

Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara lingkungan dan manusia saling mempunyai kaitan yang erat. Ada kalanya manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, sehingga aktivitasnya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya.

Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi

(7)

keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyakd itentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia yang mengedepankan mentalitas tanpa batas dan kurangnya etika, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.

Etika sebenarnya sudah melekat dalam diri seseorang sejak lahir (Keraf, 2002). Tetapi akhir-akhir ini etika tidak muncul, walau kebijakan lingkungan sudah ada tetapi degradasi lingkungan juga semakin meningkat. Munculnya kerusakan ini karena etika lingkungan tidak pernah dikedepankan. Kerusakan lingkungan diperparah karena manusia menganut paham materialisme sehingga terjadi krisis ekologi. Kita baru sadar kembali setelah ada isu pemanasan global, kerusakan di darat, laut dan pencemaran udara. Bumi ini sebenarnya cukup menyediakan berbagai bahan untuk semua orang tetapi tidak cukup untuk orang-orang yang “greedy”. Krisis ekologi dipercepat karena adanya dominansi sikap anthroposentrisme, hilangnya atau menurunnya proses ritualisme pada diri manusia. Sehingga akhir-akhir ini banyak orang menyuarakan tentang etika lingkungan, pembangunan berkelanjutan, pembangunan lestari, pembangunan berwawasan lingkungan, back to nature, pertanian hemat energi, dan lain-lain. Etika lingkungan hidup berhubungan dengan perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya, tetapi bukan berarti bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta (antroposentris).

Lingkungan hidup adalah lingkungan di sekitar manusia, tempat dimana organisme dan anorganisme berkembang dan berinteraksi. Jadi lingkungan hidup adalah planet bumi ini. Untuk mempertahankan eksistensi planet bumi manusia memerlukan kekuatan/nilai lain yang disebut etosfer yaitu etika atau moral. Etika ini bukan ciptaan manusia, sebab ia melekat pada dirinya menjadi hakikatnya. Apa penyebab etika lingkungan cenderung dilupakan? Penyebabnya adalah mentalitas tanpa batas (keserakahan) yang bersifat ekonomi, ketidaktahuan (kebodohan) bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada di sekitarnya.

Menurut Keraf (2002) munculnya masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia. Lingkungan hidup bukan

(8)

semata-mata persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Keterkaitan antara manusia dengan mentalitas tanpa batas dan penurunan etika lingkungan dan deep ecology sebagai penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup inilah yang menjadi fokus masalah yang akan dijabarkan dalam makalah ini.

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjabarkan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap lingkungan sekitarnya yang merupakan titipan dan anugerah dari sang Pencipta alam. Dimana keterkaitan antara manusia dengan terjadinya krisis lingkungan hidup akibat mentalitas tanpa batas dan penurunan etika lingkungan dan deep ecology menjadi fokus penjabaran dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup.

(9)

II. PEMBAHASAN

2.1. Lingkungan Hidup

Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga pengertian lingkungan hidup hampir mencakup semua unsur ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa di bumi ini. Itulah sebab lingkungan hidup termasuk manusia dan perilakunya merupakan unsur lingkungan hidup yang sangat menentukan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan saat ini oleh sebagian kalangan dianggap tidak bernilai karena lingkungan hidup hanya sebuah benda yang diperuntukkan bagi manusia. Dengan kata lain, manusia merupakan penguasa lingkungan hidup sehingga lingkungan hidup hanya dipersepsikan sebagai objek dan bukan sebagai subjek.

2.2. Korelasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup

Manusia hidup, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan alam dan budayanya. Dalam lingkungan alamnya manusia hidup dalam sebuah ekosistem yakni, suatu unit atu satuan fungsional dari makhluk-makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam ekosistem terdapat komponen abiotik pada umumnya merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi makhluk-makhluk hidup diantaranya: tanah, udara atau gas-gas yang membentuk atmosfer, air, cahaya, suhu atau temperatur, Sedangkan komponen biotik diantaranya adalah: produsen, konsumen, pengurai.

Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada alam lingkungan hidupnya maupun komunitas biologis di tempat mereka hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak jelas di kota-kota, dibanding dengan pelosok dimana penduduknya masih sedikit dan primitif. Perubahan alam lingkungan hidup manusia akan berpengaruh baik secara positif ataupun negatif. Berpengaruh bagi manusia karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut, dan berpengaruh tidak baik karena dapat dapat mengurangi kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya.

(10)

Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki kemampuan berfikir dan penalaran yang tinggi. Disamping itu manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia dalam lingkungan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Peranan manusia yang bersifat negatif adalah peranan yang merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung atau pun tidak langsung timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, peranan manusia yang bersifat positif adalah peranan yang berakibat menguntungkan lingkungan karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan. Peranan Manusia yang bersifat negatif terhadap lingkungan antara lain sebagai berikut:

1. Eksploitasi yang melampaui batas sehingga persediaan Sumber Daya Alam makin menciut (depletion);

2. Punah atau merosotnya jumlah keanekaan jenis biota;

3. Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi ekosistem binaan yang tidak mantap karena terus menerus memerlukan subsidi energi;

4. Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu kestabilan tanah hingga menimbulkan longsor;

5. Masuknya energi bahan atau senyawa tertentu ke dalam lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah. hal ini berakibat menurunnya kualitas lingkungan hidup. Pencemaran dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan dan terhadap manusia itu sendiri; Peranan Manusia yang menguntungkan lingkungan antara lain:

1. Melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam secara tepat dan bijaksana terutama SDA yang tidak dapat diperbaharui;

2. Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian keaneka jenis flora serta untuk mencegah terjadinya erosi dan banjir; 3. Melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah agar kadar bahan

pencemar yang terbuang ke dalam lingkungan tidak melampaui nilai ambang batasnya;

4. Melakukan sistem pertanian secara tumpang sari atau multi kultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah pertanian yang miring dibuat sengkedan guna mencegah derasnya erosi serta terhanyutnya lapisan tanah yang mengandung humus;

(11)

5. Membuat peraturan, organisasi atau undang-undang untuk melindungi lingkungan dan keanekaan jenis makhluk hidup.

2.3. Pengetahuan dan Interaksi Manusia dengan Lingkungan

Berbicara tentang lingkungan maka mau tidak mau akan menyinggung aspek manusia, karena keterkaitan manusia dengan lingkungan adalah hal yang tidak dapat ditampikan. Lingkungan dan manusia melakukan hubungan timbal balik yang mana membuat interaksi antar keduanya menjadi saling tergantung, mempengaruhi dan saling bersinggungan.

Pola Interaksi manusia dengan lingkunganya tergantung pada etika lingkungan apa yang ia pakai, bagaimana kesadaran ekologisnya serta bagaimana pengetahuan yang ia miliki keterkaitannya dengan lingkungan. Pengetahuan manusia lah yang mempengaruhi etika lingkungan dan kesadraan ekologis nya. Karena pengetahuan manusia merupakan sebuah konstruk sosial, dimana dengan dan lewat pengetahuan berbagai hal bisa dipengaruhi dan mempengaruhi, termasuk dalam hal ini berkaitan dengan lingkungan.

Pengetahuan dalam analisis Sosiologi Pengetahuan menurut Karl Manheim adalah sesuatu yang berkaitan dengan kenyataan hidup sehari-hari (pengalaman atau historisitas) dan eksistensi manusia tersebut. Manusia akan menangkap sebuah realitas didepan dirinya sesuai dengan pemikiran dan pengetahuannya. Termasuk menangkap sebuah lingkungan, manusia akan melakukan penilaian sesuai dengan pengetahuannya. Sampah jika dalam pengetahuannya adalah sesuatu yang tidak berguna, sebuah maslaah dan sesuatu yang harus dijauhkan dari dirinya maka manusia tersebut akan menilai sampah yang sebagai sesuatu hal yang menjijikan dan penambah kekacauan hal ini akan membuat perlakukannya terhadap sampah tidak bersahabat. Tetapi andaikan manusia memiliki pengetahuan tentang sampah bahwa sampah itu berguna, mempunyai manfaat bagi manusia, maka akan manusia menilai bahwa sampah itu bukan sebuah masalah. Dan perlakukan manusia pun pada sampah akan lebih baik. Pengetahuan dan pemikiran mempengaruhi penilaian manusia terhadap sesuatu dan mempengaruhi perlakuan manusia terhadap sesuatu tersebut.

August Comte yang membagi tahap pemikiran manusia menjadi tiga yaitu teologis, metafisik dan positivis, dari pembagian ini memperlihatkan keterkaitan antara pengetahuan manusia dengan interaksi manusia tersebut dengan

(12)

lingkungan sekitarnya. Dalam tahap teologis manusia mempercayai suatu kejadian dengan mengaitkannya pada hal-hal yang bersifat supranatural atau gaib atau mistis, manusia meyakini bahwa segala kejadian dimuka bumi adalah akibat dari Tuhan, Dewa, serta hal-hal mistis lain. Sedangkan dalam tahap metafisik perkembangan akal budi manusia sudah mulai terlihat walau belum maksimal, kejadian di bumi dianggap sebagai sebab dari adanya hukum-hukum alam. Pemikiran manusia pada tahap teologis dan metafisik ini membawa manusia menjadi tunduk pada alam (lingkungan), manusia menganggap dirinya sebagai makhluk yang pasif dan harus tunduk pada hukum-hukum alam yang berlaku. Manusia pada tahap perkembangan ini bisa dianalogikan seperti masyarakat atau penduduk desa, yang mana kehidupan sehari-hari sangat tergantung pada alam, mata pencaharian, tempat tinggal adalah sebuah alam yang natural yang mempunyai aturan atau hukum tersendiri yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang mengedepankan keseimbangan (equirilibrium) dalam segala aspek, dalam hal ini hukum alam adalah hukum yang bertugas menjaga keseimbangan dari rantai makanan sebagai sebuah bentuk dari jaring-jaring kehidupan (the web of life).

Keteraturan yang dilakukan oleh hukum alam dan didukung dengan patuhnya manusia pada hukum tersebut membuat tidak ada masalah dalam interaksi manusia dengan lingkungan. Tahap ketiga dalam perkembangan pemikiran manusia yaitu positivis merupakan tahap tertinggi dari pemikiran manusia, dimana manusia telah menggunakan dan mempercayai akal pikirannya sendiri. Sehingga sesuatu hanya akan dianggap benar jika telah dibuktikan oleh panca indra dan telah di lakukan pengujian atau penelitian. Tahap ketiga ini bisa dianalogikan dengan karakteristik masyarakat kota. Masyarakat kota adalah masyarakat yang melakukan interaksi dengan lingkungan yang ia buat sendiri, seperti lingkungan ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Lingkungan-lingkungan buatan seperti itulah yang menjadi tempat manusia hidup dan melakukan interaksi. Lingkungan buatan tersebut menuntut manusia untuk patuh pada aturan yang dibuat sendiri, seperti aturan hukum, aturan tata kota, serta aturan-aturan lain sebagai warga negara. Aturan atau hukum buatanan tentunya berbeda secara sifat dari hukum alam. Hukum alam bersifat menjaga keseimbangan dari sebuah sistem kehidupan yaitu jaring-jaring kehidupan, tetapi hukum manusia adalah hukum yang seperti pemikiran Michael Foucoult yaitu memiliki kepentingan sehingga adanya keseimbangan diragukan.

(13)

2.4. Akar Permasalahan Kerusakan Lingkungan Hidup

Menurut Keraf (2002) tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia, kasus-kasus pencemaran dan kerusakan, seperti dilaut, hutan, atmosfer, air, tanah dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri, manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Sejalan dengan pendapat Keraf diatas, Naes dalam Chiras (1991) menyatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Yang dibutuhkan adalah sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang perorang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk beriteraksi dalam alam semesta.

Kerusakan dan pencemaran lingkungan selain karena ulah tangan manusia juga disebabkan karena faktor penegakan hukum yang lemah dan belum efektif, seperti seringkali telah terjadi pelanggaran izin atau syarat-syarat dalam izin tidak dipenuhi oleh pemegang, tetapi pejabat administrasi tidak berbuat apa-apa atau membiarkan pelanggaran itu terjadi. Hal seperti inilah yang cenderung memandang lingkungannya bukan lagi sebagai bagian yang tidak terpisahkan, bahkan lingkungannya telah dipandang sebagai obyek yang dapat dieksploitir semaksimal mungkin. Manusia semakin menutup dirinya dari hubungan keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Perilaku inilah yang kemudian menjadi sumber egoism dan individualisme, seorang dengan orang lain mulai saling apatis, tidak mau tahu persoalan-persoalan dan situasi yang dihadapi pihak lain. Seseorang dengan tetangganya masing-masing sibuk denganurusannya, bahkan banyak yang tidak saling kenal.

Dalam berbagai segi unsur persaingan mulai muncul dan semakin tajam, bahkan masyarakat semakin cenderung memerankan perilaku yang anormatif, asocial dan cara-cara lain yang tidak halal bila dianggap sudah menguntugkan dirinya. Fukuyama dalam Todaro (1995) menyatakan bahwa akar kerusakan maha dahsyat di bumi ini bersumber dari 4 (empat) akar kemerosotan. Keempatnya selain karena kemiskinan yang meningkat, juga tidak kalah dahsyatnya karena factor kekayaan yang meningkat, erosi cultural yang meluas,

(14)

termasuk kemerosotan religious, dan meningkatnya egoism atau awal kepuasan individualistis di atas kewajiban komunal.

Fromm dalam Golley (1987) menggolongkan manusia dalam dua tipe, yaitu tipe biophilia, yakni orientasi sikap hidup untuk menghidupi (bagi sesama dan lingkungannya) dan tipe sebaliknya necrophilia, yakni tipe manusia dengan perilaku mematikan sesame dan lingkungannya. Tipe demikian muncul dalam sifat manusia yang mewujudkan secara maksimal kehendaknya untuk mematikan, tipe necrophilia atau sifat nekrophilis pada zaman modern ini semakin banyak dijumpai, baik dalam bentuk samar maupun secara terang-terangan. Perilaku demikian dapat berada dalam segala pola kehidupan ; ekonomi, politik dan dalam banyak aspek kemasyarakatan lainnya.

Inilah yang pada akhirnya menentukan intensitas masalah-masalah lingkungan yang kita hadapi sekarang, sosok-sosok manusia ditandai dengan buasnya keinginan yang seringkali melewati batas-batas kewajaran, potensi-potensi demikian dapat menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian lingkungan hidup.

2.5. Kaitan Penurunan Etika Lingkungan dengan Peningkatan Perilaku Merusak Lingkungan

Kaitan penurunan etika lingkungan dengan peningkatan kerusakan lingkungan terangkum dalam suatu ikhtisar tentang contoh-contoh kritis dari hilangnya etika dan meningkatnya mentalitas tanpa batas yang merusak lingkungan hidup. Light (2003) menggolongkan perilaku yang merusak lingkungan hidup ke dalam tiga kategori: (1) pertumbuhan populasi manusia; (2) konsumsi yang berlebihan akan sumberdaya alam: hutan, perikanan, sungai, dan seterusnya, dan; (3) polusi udara, air, dan daratan. Tinjauan singkat apapun terhadap topik yang luas ini sungguh-sungguh akan sangat selektif dan merefleksikan opini dari penulis. Tujuan penulis hanya menyediakan beberapa perspektif kepada perilaku yang merusak lingkungan hidup yang sedang kita pikirkan ketika kita beralih kepada akar penyebab individual, organisasional, dan institusional dari perusakan atau pembinasaan lingkungan hidup.

a. Pertumbuhan Populasi Manusia

Populasi dunia sedang berkembang sekitar 1,5 persen setiap tahun, dan secara kasar bertambah 90 juta orang di dunia ini setiap tahunnya. Pada tahun 1990, populasi dunia telah berjumlah 5,3 milyar. Pada tahun 2025, penduduk

(15)

dunia diperkirakan akan mencapai 8,5 milyar. Pada saat itu petani akan memerlukan hasil tanaman padi 50 persen lebih banyak dibandingkan sekarang, dan itu hanya untuk memenuhi permintaan populasi saja. Tetapi, pertumbuhan ini tidak seragam di seluruh dunia. Walaupun fakta dimana sumberdaya alam tidak bisa mendukung suatu populasi besar, namun lebih dari 90 persen pertumbuhan populasi dunia itu terjadi di negara-negara berkembang, dimana pertumbuhan rata-rata 2,3 persen (Amihud, 2001). Afrika misalnya, laju pertumbuhan populasinya 3,0 persen per tahun. Sebagai hasilnya, sebagian besar dari sekitar 20 hingga 25 persen populasi dunia hidup di dalam “kemiskinan absolut” – didefinisikan dari pendapatan per kapita kurang dari 370 dollar per tahun – tinggal dalam negara-negara berkembang (Abbot, 2000). b. Konsumsi Yang Berlebihan Atas Sumberdaya Alam

Kebutuhan untuk memperluas dukungan materi bagi perkembangan populasi dunia mengakibatkan masyarakat industri menempatkan permintaan terhadap lingkungan hidup alam untuk pertumbuhan serta stabilitas mereka yang berkelanjutan. Pengembangan di seluruh dunia memaksa permintaan yang signifikan atas pemenuhan dari sumberdaya alam – dengan demikian mengancam stabilitas dari ekosistem. Untuk mendukung kebutuhan populasi masa kini, banyak sumber-sumber daya alam yang sedang dieksploitasi sehingga akan menghalangi manfaatnya bagi generasi masa depan. Sebagai contoh, populasi dari banyak spesies ikan akan jatuh di bawah ukuran yang diperlukan untuk meyakinkan kesinambungan hidup mereka. Sementara itu, dengan mengetahui bahwa populasi ikan sudah semakin berkurang, orang akan meninggalkan ketergantungan pada ikan dan mencari-cari sumber lain untuk makanan dan mata pencaharian ekonomi. Sementara itu, kebutuhan pembangunan gedung-gedung juga menuntut pemenuhan berbagai bahan material seperti kayu, semen dan pasir yang diperoleh dari pengerukan sumberdaya alam yang berlebih, sehingga semakin mempertajam kerusakan lingkungan hidup alam (Soemarwoto, 2001).

c. Polusi

Selain perusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh pertumbuan populasi penduduk dan konsumsi yang berlebihan atas sumberdaya alam, masyarakat industri juga memberikan dampak perusakan lingkungan hidup lebih lanjut, yakni

(16)

terhadap ekosistem melalui emisi dari hasil sampingan limbah dari materi yang digunakan serta dimanipulasi. Sebagian besar dari hasil polusi dunia adalah dari pemborosan sistem produksi, menghasilkan perusakan sumber-sumber daya alam yang berpengaruh pada merosotnya jaminan kesehatan manusia dan binatang, serta mahluk hidup non hewani lainnya, yang sebetulnya adalah populasi yang sedang dilayani (Frederick, 2002). Di desa di dalam banyak negara berkembang, sebagai contoh, sedikitnya 170 juta orang kekurangan akses untuk membersihkan air untuk minuman, masakan, dan cucian (Gerwith, 1979). Penduduk di kota-kota seperti Bangkok, Beijing, Mexico City, dan Sao Paulo dipaksa untuk tinggal dan hidup di udara yang tidak cocok untuk bernafas (Hay, 1977).

2.6. Manusia Sebagai Salah Satu Faktor yang Menentukan Lingkungan Hidup dalam Kerangka Undang-Undang No. 32 Tahun 2009.

Masalah lingkungan hidup tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan hidup itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dirugikan.

Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dampak yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial.

Krisis lingkungan global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis manusia dalam memahami atau memandang dirinya, alam dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem pada gilirannya hal ini menyebabkan kesalahan pada perilaku manusia yang bersumber dari kesalahan cara pandang tersebut. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang, oleh karena itu pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.

Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup tidak hanya menjadi masalah nasional, tetapi telah menjadi masalah antarnegara, regional dan global. Dunia semakin sempit, hubungan antarnegara bertambah dekat dan makin tergantung satu sama lain. Pencemaran pun semakin meluas, kadang-kadang

(17)

melintasi batas-batas Negara dalam bentuk pencemaran air sungai, emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut dan seterusnya. Kebakaran hutan diserawak akan mudah merembet ke Kalimantan Barat dan sebaliknya. Semua ini memerlukan pengaturan khusus yang bersifat supranasional.

Dalam ruang nasional, hukum lingkungan menempati titik silang sebagai bagian dari hukum klasik, yaitu hukum publik dan privat. Termasuk hukum publik adalah hukum pidana, hukum pemerintahan (administratif), hukum pajak, hukum tata Negara, bahkan hukum agraria pun berkaitan dengan hukum lingkungan. Kaitannya dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan ini telah dijabarkan ke dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, bahkan telah ditambah dengan dimensi baru, yakni ruang angkasa, disamping bumi dan air. Dengan demikian pemberian hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan lain-lain harus juga memperhatikan kepentingan lingkungan, kalau tanah itu dirusak atau dipergunakan yang mengakibatkan pencemaran atau rusaknya lingkungan hidup, hak itu dapat dicabut.

Penegakan hukum lingkungan akan menjadi titik silang penggunaan instrument hukum tersebut, terutama instrument hukum pemerintahan atau administratif, perdata dan hukum pidana. Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan melibatkan berbagai instansi pemerintah sekaligus seperti polisi, jaksa, pemerintah daerah, pemerintah pusat terutama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Laboratorium criminal, bahkan LSM (lembaga swadaya masyarakat). Kerjasama antar instansi tersebut harus serasi, terkoordinasi dan terpadu. Inilah yang membedakan dengan bidang hukum yang lain.

Andi (2005) menyatakan bahwa penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya sebagai berikut :

1. Perundang-undangan 2. Penentuan standar 3. Pemberian izin 4. Penerapan

(18)

Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai (Siahaan, 2004).

Penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara serta hukum internasional. Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu sendiri.

Dari mata rantai siklus pengaturan perencanaan kebijakan hukum lingkungan dapat dilihat bahwa kelemahan terdapat pada penegakan hukumnya. Disamping penegakan hukum yang lemah, kesadaran hukum masyarakat terhadap lingkungan dianggap masih rendah, kendala ini sangat terasa dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup maupun dalam upaya penegakan hukum. Pencemaran dan kerusakan lingkungan tidak hanya menjadi masalah lokal tetapi sudah menjadi masalah nasional bahkan internasional. Tingkat pencemaran dan kerusakan juga jauh lebih hebat karena kemajuan teknologi industri, pertambahan penduduk yang semakin hari semakin menggusur daerah pertanian dan hutan produktif untuk dijadikan permukiman. Perlombaan mengejar kemakmuran antarnegara semakin meningkat yang pada akhirnya menguras sumber-sumber daya alam hayati dan nonhayati.

Penegakan hukum melalui sanksi administratif dalam memelihara lingkungan pertama berada ditangan para pejabat administrasi, karena merekalah yang mengeluarkan izin dan dengan sendirinya mereka yang terlebih dahulu mengetahui jika tidak ada izin atau syarat-syarat dalam izin itu dilanggar. Namun tidaklah berarti sanksi administratif didahulukan penerapannya terhdap pelanggaran hukum lingkungan. Jika pejabat administrasi enggan bertindak atau pura-pura tidak tahu adanya pelanggaran, bahkan jika ia terlibat atau mempunyai

(19)

interest dalam perusahaan yang melanggar itu. Dalam hal ini instrument hukum pidanalah yang sebaiknya diterapkan sebagai ultimum remedium.

Sanksi administratif sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2009 ayat (1) "Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanki administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Ayat (2) "sanksi administratif terdiri dari : a. teguran tertulis, b. paksaan pemerintah, c. pembekuan izin lingkungan, atau d. pencabutan izin lingkungan.

Sebagai contoh kasus bentrok warga dengan aparat polisi di Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat (NTB) yang disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan warga atas penolakan dan pencabutan izin terhadap keberadaan perusahaan tambang yang menurut warga dianggap telah merusak lingkungan. Tuntutan warga atas pencabutan izin pertambangan di Bima Nusa Tenggara Barat tidak lepas dari perannya untuk menjaga lingkungan hidup didaerah tempat tinggalnya, hal ini dilakukan tidak semata-mata karena kepeduliannya terhadap lingkungan, hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang juga memerintahkan untuk berperan serta dalam melakukan pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Permintaan pencabutan izin pertambangan kepada pemerintah adalah bentuk kepedulian masyarakat NTB dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Namun sayang tuntutan warga atas pencabutan izin pertambangan tersebut tidak direspon dan berakibat konflik horizontal.

Peran masyarakat sebagaimana tersebut dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraaan, menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat, menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Menurut Supriadi (2005) penerapan instrument administratif terutama dimaksudkan untuk pemilihan keadaan atau perbaikan kerusakan atau dengan kata lain ditujukan kepada perbuatannya. Pilihan jatuh pada hukum pidana jika

(20)

suatu kerusakan tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan terhadap burung atau binatang yang dilindungi. Perbaikan atau pemulihan kerusakan tersebut tidak dapat dilakukan secara fisik. Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali perbuatan yang tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya merokok padahal merokok tidak merupakan pelanggaran berat, atau tidak melaporkan kejahatan yang ia ketahui dan sebagainya.

Siahaan (2004) menyatakan bahwa penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum administrasi mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional. Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketat dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi/mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup. Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang memiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan

(21)

pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh pemerintah.

Adapun penerapan instrument hukum pidana terutama ditujukan kepada orang atau pembuatnya. Orang itulah yang perlu diberbaiki, penerapan instrument hukum pidana diharapkan tidak menjerakan orang yang melanggar itu saja, tetapi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama jika tidak ingin dikenakan sanksi hukum pidana. Disamping itu penerapan hukum pidana juga akan memuaskan korban secara individual dan masyarakat sebagai korban kolektif. Lebih-lebih di Indonesia yang pada sekarang ini masyarakat luas ingin melihat semua perkara pidana diajukan ke pengadilan, akan tetapi rambu-rambu ini tidaklah mutlak karena suatu sanksi administratif mungkin saja dirasa oleh pelanggar sebagai suatu yang sangat berat, misalnya sanksi administratif berupa pencabutan izin tentulah jauh lebih berat daripada sanksi pidana berupa denda atau pidana bersyarat dengan syarat khusus pemulihan keadaan atau ganti kerugian. Jadi penegak hukum diisyaratkan memiliki penalaran dan pertimbangan yang tepat dalam memilih sanksi mana yang lebih sesuai untuk perbuatan yang telah dilakukan.

Salah satu penyebab parahnya kondisi lingkungan akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan saat ini adalah lemahnya penegakan hukum lingkungan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sudah saatnya penegakan hukum lingkungan yang konsisten merupakan bentuk perlindungan kepada masyarakat dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Seharusnya manusia sadar akan peran dan tanggungjawabanya terhadap lingkungan hidup dan sudah menjadi kewajiban dari setiap orang untuk menjaga lingkungan hidupnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2009 bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

2.7. Lima “R” Sebagai Kerangka Konsep Etika dan Deep Ecology untuk Menyelamatkan Lingkungan Hidup

1. Reference (acuan)

Setiap agama apapun tidak membenarkan umatnya untuk merusak alam. Setiap manusia boleh memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhannya

(22)

bukan keinginannya. Yang dimaksud reference disini adalah semua kitab suci yang dimiliki oleh setiap agama yang ada di bumi. Apabila setiap manusia mempercayai setiap kitab sucinya sebagai pedoman hidup, maka tidak ada manusia yang bertindak sewenang-wenang diluar kebutuhan yang dapat dipenuhi dengan tindakan yang secukupnya. Pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi dari kapasitas produksinya, tidak mustahil kerusakan alam akan lebih banyak daripada perbaikannya. Dalam setiap kitab suci telah diberi sinyal kurang labih intinya bahwa “...manfaatkanlah sumberdaya alam yang ada tetapi jangan melampaui batas...”. Jadi reference ini merupakan keyakinan yang diperoleh dari setiap kitab suci dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing. Setiap orang yang masih mempercayai adanya Tuhan maka mereka tidak akan berbuat sewenang-wenang tanpa aturan. Memang hukuman dari Tuhan tidak langsung terjadi sekarang tetapi diyakini nanti melalui pengadilan Tuhan. Yang terlihat sekarang adalah berupa banjir dimana-mana, tanah longsor, kebakaran hutan dan lain-lain. Banjir terjadi antara lain karena adanya penggundulan hutan yang tidak disertai penghijauan, dan juga tidak terpeliharanya ekosistem sungai sebagai tempat penampungan air hujan. Daya tampung sungai yang melebihi kapasitasnya, maka terjadilah banjir.

2. Respect (sikap hormat menghormati)

Respect dalam hal ini adalah penghargaan kepada semua mahluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Apapun yang ada di bumi adalah makluk Tuhan. Setiap makluk mempunyai kedudukan yang sama dimata Tuhan. Diantara makluk hidup yang perlu mendapat perhatian adalah tanaman, hewan dan manusia. Ketiga makluk hidup ini memerlukan tempat tinggal untuk hidup dan berkembang. Oleh karena manusia merupakan makluk hidup yang paling istimewa yaitu mempunyai akal, maka manusia mempunyai kewajiban memelihara kelestarian dan keseimbangan untuk kehidupan makluk hidup lainnya. Untuk itu kita dilarang menebang pohon dan merusak habitat fauna sewenang-wenang untuk memenuhi kehidupannya karena tanaman sangat bermanfaat selain sebagai penyerap karbon dioksida untuk proses fotosintensis yang menghasilkan pangan dan non pangan juga dapat meminimalkan kerusakan secara fisik akibat erosi oleh aliran limpas yang lewat di permukaan tanah. Tanaman dapat menahannya sehingga dapat mengurangi laju erosi. Sedangkan hewan yang berupa fauna sangat banyak sekali manfaatnya, selain menjaga rantai makanan, hewan melalui kotoran yang

(23)

dikeluarkannya dapat menjaga kelestarian dan kualitas tanah dan lahan dari menurunnya kesuburan akibat ditumbuhi oleh berbagai tanaman. Dengan demikian, manusia harus menjaga keseimbangan ketiga makluk hidup dan tidak boleh mengeksploitasinya tanpa mengimbangi melalui peningkatan produktifasnya. Manusia harus saling menghormati semua makhluk baik hidup maupun tidak hidup yang menempati bumi ini dengan memeliharanya dan menjaganya sebagai pengelola lingkungan untuk dimanfaatkan dengan memperhatikan kapasitas produksi alam dalam menjaga keseimbangannya. 3. Restrain (Pengendalian)

Yang dimaksud dengan restrain adalah kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sumberdaya alam supaya penggunaannya tidak mubazir, artinya setiap pemanfaatan sumberdaya alam harus diperhitungan nilai manfaat, jangan sampai ada salah kelola atau salah manfaat. Sebagai contoh dalam pemanfaatan sumberdaya alam di daerah Lapindo, sampai sekarang justru nilai kerugiannya lebih tinggi daripada manfaatnya. Hal ini mungkin salah perencanaan atau salah dalam pengelolaan sehingga nilai kerugian baik material maupun non material sangat banyak, kalau diuangkan bernilai trilyunan rupiah. Contoh lain dalam pembukaan areal tambang di kawasan hutan, harus benar-benar diperhitungkan masak-masak. Karena penambangan akan merusak bentang lahan dan membabat habis tanaman di atasnya. Perubahan iklim mikro akan sulit dikembalikan seperti semula, belum dampak negatif yang ditimbulkan dari pembukaan lahan untuk tambang. Air asam akan muncul dan sulit dikelola, juga tanaman penyangga kehidupan yang dapat menyerap karbon dioksida tidak ada lagi sehingga suhu permukaan tanah akan naik. Selain itu erosi akan terjadi karena tidak ada lagi tanaman yang menahannya untuk mengendaikan aliran limpas (run off). Masyarakat di sekitarnya yang umumnya masyarakat marjinal akan menerima semua dampak buruk tersebut.

4. Redistribution (pemerataan)

Resdistribution adalah kemampuan untuk menyebar luaskan kekayaaan, kegembiraan dan kebersamaan. Indonesia yang terletak dijalur katulistiwa terkenal dengan jamrutnya merupakan negara yang kaya raya akan sumberdaya alam. Tetapi sampai tahun 2011 ini pendapatan Indonesia masih sekitar 3.000 US, sedangkan Singapura pada saat ini pendapatannya telah mencapai 25.000 US/th (Kompas, 2011). Kenapa bisa terjadi ketimpangan dengan kekayaan yang

(24)

melimpah tetapi masyarakatnya masih miskin?. Dimana sumberdaya alam tersebut hilang?. Penyebabnya tidak lain karena distribusi kekayaan tidak merata, kekayaan banyak dikorupsi oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Indonesia masih tidak merata kekayaannya. Masih ada kesenjangan barat dan timur, jawa dan pulau jawa. Tugas Pemerintah adalah bagaimana mendistribusikan kekayaan tersebut untuk dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia bukan oleh orang lain. Kekayaan alam sudah banyak “dijual” ke orang lain. Sehingga negara Indonesia yang terkenal kaya raya hanya dalam impian saja sebagai surga yang manfaatnya dikemudian hari kita tidak tahu kapan. Manusia cenderung merusak karena munculnya rasa kecemburuan atau karena susah ekonomi dan penegakaan hukum tidak tegak.

5. Responsibility (pertanggungjawaban)

Responsibility adalah sikap bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam. Banyak investor yang telah memanfaatkan sumberdya alam Indonesia mulai dari perkebunan sampai penambangan. Tetapi dengan dibukanya sumberdaya alam tersebut belum dirasakan manfaatnya melalui peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar proyek tersebut. Masyarakat masih hidup seperti itu saja. Padalah apabila investor bertanggung jawab melalui program CSR (corporate social responsibility) dengan menyisihkan sekitar 3% dari keuntungan untuk program tersebut, maka kehidupan sosial eonomi masyarakat sekitar akan meningkat, selain itu melalui program tersebut kerusakan sumberdaya alam merupakan dampak negatif dari pembukaan lahan tersebut dapat diminimalisasi. Untuk itu investor jangan hanya mengeksploitasi sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi mereka saja (keuntungan sesaat) saja tetapi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta kerusakaan lingkungan harus dikelola, sehingga lingkungan dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan. Pengangkatan harkat martabat masyarakat yang hidup di sekitar sumberdaya alam tersebut dapat ikut menikmati, tidak hanya sebagai penerima dampak yang menunggu kematiannya saja.

(25)

III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Eksploitasi manusia terhadap alam mendapat legitimasi ilmiah-filosofis melalui pandangan dunia modern bahwa manusia adalah pusat dunia (antroposentrisme). Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya. Etika Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adanya perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral. Sebagaimana telah disebutkan di dalam firman Allah di dalam beberapa surat dalam Al Qur’an, bahwa sebagai khalifah di bumi, kita sudah seharusnya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar serta SDA di dalamnya karena itu merupakan titipan dan anugerah yang sangat berharga dari Allah SWT.

Selanjutnya manusia sebagai salah satu komponen lingkungan hidup yang memiliki ciri yang sangat berbeda dengan komponen-komponen lingkungan lainnya. Perbedaan yang hakiki dengan makhluk lainnya ialah manusia memiliki akal atau kecerdikan. Manusia melakukan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup selain disebabkan karena penegakan hukumnya yang lemah juga disebabkan karena pola pikir manusia yang keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta. Serta perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli pada orang lain serta kebutuhan hidup yang tinggi mendorong manusia memiliki mentalitas tanpa batas dan bersifat serakah dengan tujuan memperkaya diri sendiri.

(26)

Sanksi administratif sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2009 ayat (1) "Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanki administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Ayat (2) "sanksi administratif terdiri dari : a. teguran tertulis, b. paksaan pemerintah, c. pembekuan izin lingkungan, atau d. pencabutan izin lingkungan. Penegakan hukum melalui sanksi administratif dalam memelihara lingkungan pertama berada ditangan para pejabat administrasi, karena merekalah yang mengeluarkan izin dan dengan sendirinya mereka yang terlebih dahulu mengetahui. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administratif merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administratif dinilai tidak efektif, barulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).

Pendekatan lima “R” sebagai kerangka konsep etika dan deep ecology untuk menyelamatkan lingkungan hidup dapat dijadikan salah satu cara untuk meminimalisir penurunan kualitas lingkungan yaitu dengan mengedepankan etika lingkungan bagi setiap manusia, sehingga manusia tidak sewenang-wenang dalam mengeksploitasi lingkungan. Tanpa adanya etika maka moralitas manusia dipertanyakan. Moralitas menyangkut norma yang berlaku di masyarakat. Walaupun kebijakan lingkungan telah ada tetapi manusia tidak punya etika maka kebijakan lingkungan tersebut tidak akan banyak berarti bagi pengelolaan lingkungan hidup menjadi lebih baik.

3.2. Saran

Adapun saran penulis yaitu mulailah dari diri kita sendiri untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup serta mau berpartisipasi dalam usaha mengurangi kerusakan maupun pencemaran lingkungan hidup yang semakin tidak terkendali. Penting adanya kesadaran pada semua lapisan masyarakat terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Dengan kesadaran, diharapkan masyarakat berpartisipasi aktif dalam upaya pengendalian dampak lingkungan. Untuk aparatur penegak hukum agar lebih tegas dalam melakukan tindakan terhadap para pelaku kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, W. F., and Monsen, R. J. 2000. On The Measurement Of

Corporate Social Responsibility: Self-Reported Disclosures As A

Method Of Measuring Corporate Social Improvement.

Academy of Management Journal

, vol. 22. pp. 501.

Amihud, and Mendelson, H. 2001. Inventory Behavior And Market Power :

An Empirical Investigation.

International Journal of Industrial Organization

. vol. 7, no. 2. pp. 269-280.

Andi, H.J. 2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika. Jakarta.

Chiras and Daniel, D. 1991. Environmental Science: Action for a

Sustainable Future. California. The Benjamin/Cummings Pub.

Co. Inc.

Frederick, W., Post, J., and Davis, K. 2002.

Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics

, 7th ed. New York. McGraw-Hill.

Gerwith, A. 1979. Starvation And Human Rights. In K. E. Goodpaster and

K. M. Sayre (eds.),

Ethics And The Problems Of The 21st Century

. pp.

139–59. South Bend, IN: University of Notre Dame Press World

Bank, 1992. pp. 47.

Golley and Frank, B. 1987. Deep Ecology from the Perspective of

Ecological Science. An Interdisciplinary Journal Dedicated to

the Philosophical Aspects of Environmental Problems. p. 45.

Hay, R., and Gray, E. (1977). Social Responsibilities Of Business

Managers.” In A. Carroll (ed.).

Managing Corporate Social Responsibility

. pp. 8-16. Boston. Little Brown and Company.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. 322 hal.

Kompas. 2011. Iklim Global Dibahas Lagi. Muncul kekhawatiran soal

rekayasa, negara berkembang jangan terkecoh. (dikunjungi

tanggal 29 Desember 2013).

Light, A. And H. Rolston III. 2003. Environmental Ethics. An Anthology.

Blackwe Publishing. USA. 554p.

Otto Soemarwoto, 2001. Atur-Diri-Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Siahaan, N.H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan

(28)

Supriadi. 2005. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Todaro dan Michael, P. 1995. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.

Terjemahan edisi ketiga. Jakarta. Bumi Aksara.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Referensi

Dokumen terkait

10 Dengan demikian meskipun perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang telah dilakukan oleh bank selaku kreditur kepada debitur pemegang Hak Tanggungan

sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai resistivitas ini adalah perbedaan kepadatan lapisan pada beton dari atas ke bawah, dan adanya retakan serta kondisi

Untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan seni kerajinan ukir kayu khas Palembang pada produk-produk kerajinan awalnya dilakukan digaleri tersebut, namun karena kendala

Pentingnya kajian ini agar kita mengetahui khazanah intelektual Islam sebagai mata rantai pemikiran yang menghubungkan pemikiran masa lalu (the past) ke masa kini (the

Analisis komparasi atas perlakuan akuntansi ketiga klub terhadap pendapatan dan pemain sepakbola dilakukan untuk melihat perlakuan akuntansi secara umum

Ditinjau dari data penelitian menggunakan uji Tukey di atas diperoleh Q hitung = 3,9983 lebih besar dari pada Q tabel = 3,63 ( Q hitung = 3,9983 > Q tabel = 3,63 )

Namun di sekolah YBSM Banda Aceh sudah ada guru lulusan dari S1 bimbingan konseling yang berjumlah 1 orang, untuk tugas yang sudah mereka lakukan sejauh ini diantaranya

Dengan melakukan inversi terhadap hasil pemodelan matematika dari data fisis hasil observasi maka dapat diperoleh nilai dari variabel- variabel dan parameter