• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT

WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN

PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS

Oleh: AJI NUGROHO

F24103039

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT

WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN

PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: AJI NUGROHO

F24103039

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT

WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN

PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: AJI NUGROHO

F24103039

Dilahirkan pada tanggal 30 Januari 1985 di Pati, Jawa Tengah

Tanggal lulus : 30 Agustus 2007 Menyetujui,

Bogor, September 2007

Ir. Elvira Syamsir, MSi. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

(4)

Aji Nugroho. F24103039. Kajian Metode Penentuan Umur Simpan Produk Flat Wafer Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Model Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Ir. Elvira Syamsir, MSi. dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. 2007.

RINGKASAN

Wafer merupakan salah satu jenis biskuit yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Banyak tipe wafer yang berada di pasaran tapi dalam penelitian ini digunakan flat wafer tanpa lapisan coating. Menurut survei konsumen, rasa dan tekstur wafer merupakan mutu utama produk wafer. Mutu produk wafer tersebut akan mengalami reaksi penurunan selama penyimpanan. Sebanyak 82.5% dari 40 orang konsumen menyatakan bahwa penurunan mutu wafer yang mudah teridentifikasi secara organoleptik adalah tekstur wafer yang mulai lembek (kerenyahan wafer menurun) yang disebabkan penyerapan uap air oleh wafer sehingga kadar air wafer meningkat. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan umur simpan wafer dengan model kurva sorpsi isotermis dan modek kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model dalam pendekatan kadar air kritis yang sesuai dan efisien untuk menentukan umur simpan wafer.

Kandungan gizi wafer ditentukan dengan menggunakan analisis proksimat. Kandungan gizi wafer A dan wafer B tidak berbeda nyata dengan uji statistik pada taraf 5%. Kadar air wafer A dan wafer B dalam basis basah adalah 1.63% dan 1.21%, kadar abu wafer A dan wafer B adalah 1.24% dan 1.04%, kadar protein wafer A dan wafer B adalah 5.80% dan 6.70%, kadar lemak wafer A dan wafer B adalah 20.15% dan 19.75%, dan kadar karbohidrat wafer A dan wafer B adalah 71.18% dan 71.30%. Kandungan gizi wafer A dan wafer B sudah sesuai dengan syarat mutu SNI 01-2973-1992 tentang syarat mutu biskuit kecuali kadar proteinnya. Perbedaan kerenyahan/tekstur awal wafer A (343.40 gf) dan wafer B (503.04 gf) disebabkan perbedaan porositas wafer dimana wafer A lebih porus daripada wafer B. Semakin porus maka wafer akan lebih banyak dan cepat menyerap uap air sehingga proses penurunan tekstur wafer lebih cepat. Tekstur kritis wafer berdasarkan uji organoleptik (hedonik,rating) terjadi pada saat kerenyahan wafer A (249.94, 252.13 gf) dan wafer B (331.05, 333.34 gf).

Langkah pertama dalam menentukan umur simpan wafer berdasarkan kedua model yang digunakan adalah menentukan kadar air awal dan kadar air kritis wafer serta variabel pendukung umur simpan wafer (permeabilitas kemasan (k/x), luas kemasan (A), dan berat solid per kemasan (Ws). Kadar air awal wafer A dan wafer B adalah 0.0166 dan 0.0123 g H2O/g solid. Kadar air kritis wafer A dan wafer B ditentukan berdasarkan uji hedonik adalah 0.0466 dan 0.0412 g H2O/g solid sedangkan berdasarkan uji rating adalah 0.0457 dan 0.0409 g H2O/g solid. Kadar air kritis berdasarkan dua uji organoleptik yang digunakan relatif sama namun akan tetap mempengaruhi umur simpan wafer yang akan dihasilkan.

Luas kemasan yang diuji adalah sebesar 0.0117 m2 untuk wafer A dan 0.0161 m2 untuk wafer B. Berat solid per kemasan wafer A dan wafer B adalah wafer A dan B adalah 18.37 gram dan 31.35 gram. Selain menggunakan kemasan asli juga digunakan kemasan plastik PP tebal dengan luas 0.0150 m2 dan berat

(5)

70%, 75%, 80%, dan 90%. Variabel lain yang harus ditentukan untuk menentukan umur simpan wafer dengan model kurva sorpsi isotermis adalah kadar air kesetimbangan wafer, kurva sorpsi isotermis wafer, model sorpsi yang tepat, dan nilai slope kurva sorpsi isotermis. Kadar air kesetimbangan (dalam g H2O/100g solid) pada kelembaban relatif kesetimbangan 38.3%, 47.4%, 54.4%, 75.3%, 82.3%, dan 94.7% adalah berturut-turut (wafer A, wafer B): (2.75 dan 2.77), (3.80 dan 3.48), (4.69 dan 4.48), (11.68 dan 11.48), (21.83 dan 23.13). Setelah itu dibuat kurva sorpsi isotermis wafer A dan wafer B yang menghubungkan kadar air kesetimbangan (diubah dalam g H2O/g solid) dengan aktivitas airnya. Berdasarkan perhitungan Mean Relative Determination (MRD), model matematis menggambarkan kurva sorpsi isotermis dangan tepat adalah model Hasley. Nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis (b) ditentukan pada daerah linear yaitu diantara daerah kadar air awal dan kadar air kritis. Terdapat tiga nilai slope (b) yang diperoleh (b1, b2, b3) untuk wafer A dan wafer B. Perbedaan nilai slope akan mempengaruhi umur simpan yang akan dihasilkan.

Variabel lain yang harus ditentukan untuk menentukan umur simpan wafer dengan model kadar air kritis termodifikasi adalah nilai perbedaan tekanan ( P). Nilai P ini sangat dipengaruhi oleh aspek produk (aw) dan kondisi penyimpana (RH). Nilai aw yang digunaka adalah nilai aw yang telah dikoreksi dengan persamaan model Hasley yaitu 0.253 untuk wafer A dan 0.196 untuk wafer B. Koreksi ini dilakukan karena alat awmeter kurang sensitif untuk produk pangan kering. Nilai P pada kelembaban relatif 70%, 75%, 80%, dan 90% adalah berturut-turut (wafer A, wafer B): (14.225 dan 16.039 mmHg), (15.817 dan 17.630 mmHg), (17.408 dan 19.222 mmHg), dan (20.590 dan 22.404 mmHg).

Umur simpan wafer akan semakin menurun dengan peningkatan kelembaban relatif (RH) ruang penyimpanan. Perbedaan umur simpan wafer A dan wafer B dipengaruhi oleh faktor di luar produk yaitu permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat solid per kemasan. Perbedan porositas wafer tidak mempengaruhi umur simpan wafer. Berdasarkan penelitian, umur simpan wafer yang dihasilkan antara dua model yang digunakan cenderung sama pada kisaran RH 70-80%. Pada RH 90%, umur simpan wafer berdasarkan model kurva sorpsi isotermis berbeda jauh dengan umur simpan dengan model kadar air kritis termodifikasi. Hal ini disebabkan model kurva sorpsi yang digunakan adalah model Hasley yang sangat cocok untuk produk pangan dengan range RH 10-81%. Selain itu, umur simpan wafer berdasarkan uji hedonik relatif sama dengan umur simpan wafer berdasarkan uji rating. Oleh karena itu, model kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk menentukan umur simpan wafer pada range RH 70-80% dengan metode penentuan kadar air kritis berdasarkan uji rating.

(6)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Pati, 30 Januari 1985 dan merupakan anak pertama dari pasangan Sudjiman dan Muryaningsih. Pendidikan formal ditempuh penulis di SDN 01 Kauman Juwana, SLTPN 1 Juwana, SMUN 1 Pati, dan berhasil masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Petanian.

Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan intra dan ekstra kampus. Penulis adalah anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK) (2003-2007), anggota Komisi Pelayanan Anak (KPA) PMK IPB (2003-2007), staf Divisi Profesi di Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan IPB (HIMITEPA) (2005), anggota dari tim basket Departemen dan Fakultas (2003-2007), dan staf Departemen Musik Gereja Bethel Indonesia Ciomas Bogor (2004-2007).

Beberapa prestasi yang telah diraih penulis adalah juara III Olimpiade FATETA (2003), peraih beasiswa PPA IPB (2004-2006), peraih best winner dalam kompetisi menulis Write n Win yang diselenggarakan oleh FILA (2007), juara II Olimpiade FATETA (2007), dan peraih proyek penelitian yang dibiayai oleh Laboratorium Jasa Analisis (LJA) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB (2007).

Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Metode Penentuan Umur Simpan Produk Flat Wafer Berdasarkan Metode Akselerasi Dengan Pendekatan Model Kadar Air Kritis” di bawah bimbingan Ir. Elvira Syamsir, MSi. dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Penelitian yang dilakukan didanai oleh Laboratorium Jasa Analisis (LJA) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena penyelesaian skripsi terjadi bukan atas kekuatan penulis sendiri, melainkan juga atas anugerah kekuatan-Nya. Terima kasih untuk setiap kegagalan dan keberhasilan yang terus menempa keuletan penulis. Selain itu, banyak pihak yang juga telah membantu penulis selama perjalanan hidup dan pelaksanaan tugas akhir. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen pembimbing akademik, atas

bimbingan, dorongan, dan saran-saran yang telah memberi semangat kepada penulis selama belajar di IPB.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi, atas saran-saran dan pengetahuan yang mendorong penulis menyelesaikan tugas akhir. 3. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi atas kesediaannya sebagai dosen penguji dan

masukan-masukan yang membangun selama sidang.

4. Bapak Daniel Komesakh dan keluarga, atas dukungan, bimbingan, penghibuaran kepada penulis selama tinggal di Bogor.

5. Keluargaku; Ibu, Koko, Rina, dan Eyang putri, atas perhatian, dukungan, semangat, penghiburan, saran, dan doa sehingga penulis menjadi kuat dalam segala hal.

6. Sahabat kecilku; Lian, Manna, Westri, Ciwit, Andrik, Nanda, Eye, Anus dan Timur, atas persahabatan dan kenangan pelayanan di gereja dan di sekolah. 7. Anas, Rika, Tya, Agnes, Titin, Fena, Greth, Andreas, Agus, Eko, Lele, dan

Bebe, atas persahabatan yang terjalin. Thanks for all

8. Kakak rohaniku; K’Linda, K’Pretty, K’Lena, K’Mel, K’Martin, dan K’Hana, atas dukungan doanya dan bimbingannya. I Miss You all.

9. Perwira 45; Pa De, Uwing, Valent, Lisa, Ci Ine, Yoana, Hendy, dll, atas kekeluargaan dan kebersamaan selama penulis tinggal di Bogor.

10. Temen-temen TPG 40; Tilo, Ola, Nana, Dey, dll, atas kenangan selama kuliah dan dukungan kepada penulis selama penelitian.

11. Kak Ana, atas pinjaman bahan-bahan kimianya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian.

(8)

ii

12. Temen seperjuangan; Mona dan Mardi, atas kesempatan bekerjasama dan diskusi dalam menyelesaikan penelitian ini.

13. Pengerja GBI Ciomas; Maria, Lia, Glory, David, Pa’Fredy, dll, atas kerjasama pelayanan musik.

14. Staf dan Teknisi Laboratorium ITP dan LJA; Mba Darsi, Bu Rub, Pa Sobirin, Mba Yuli, Mba Yane, dan Pa Wahid, atas bantuan dan saran-sarannya selama penulis melakukan penelitian.

15. Setiap individu dan institusi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kesediaannya membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dengan berbagai cara.

Bogor, September 2007

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 3

C. MANFAAT... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. WAFER ... 4

B. PENURUNAN MUTU WAFER ... 6

C. AKTIVITAS AIR... 8

D. KADAR AIR KESETIMBANGAN ... 10

E. KURVA SORPSI ISOTERMIS... 11

F. MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS ... 12

G. KEMASAN... 15

H. UMUR SIMPAN... 16

III. METODOLOGI... 19

A. BAHAN DAN ALAT ... 19

1. BAHAN ... 19

2. ALAT ... 20

B. TAHAPAN PENELITIAN... 20

1. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 20

a. Penentuan Atribut Utama dan Kerusakan Wafer ... 20

b. Penentuan Karakteristik Awal Wafer... 20

2. PENELITIAN UTAMA ... 21

(10)

iv

Halaman

b. Pendekatan Kadar Air Kritis Termodifikasi ... 22

C. METODE ANALISIS ... 22

1. PENENTUAN KARAKTERISTIK AWAL WAFER... 22

a. Penentuan Kadar Air... 22

b. Penentuan Kadar Abu... 23

c. Penentuan Kadar Protein... 23

d. Penentuan Kadar Lemak... 24

e. Penentuan Kadar Karbohidrat ... 24

f. Pengukuran Aktivitas Air (aw)... 25

g. Penentuan Tekstur (Kerenyahan) Dengan Texture Analyzer... 25

2. PENENTUAN KADAR AIR KRITIS WAFER... 26

3. ANALISIS KOMPERATIF ANTARA PENGUKURAN TEKSTUR (OBYEKTIF) DENGAN SENSORIK ... 27

a. Penentuan Tekstur Kritis Wafer Dengan Uji Hedonik ... 27

b. Penentuan Tekstur Kritis Wafer Dengan Uji Rating... 27

4. PENENTUAN VARIABEL PENDUKUNG UMUR SIMPAN ... 27

a. Penentuan Permeabilitas Kemasan... 27

b. Penentuan Berat Kering per Kemasan dan Luas Kemasan... 29

5. PENENTUAN UMUR SIMPAN WAFER DENGAN MODEL KURVA SORPSI ISOTERMIS... 29

a. Penentuan Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis. 29 b. Penentuan Model Sorpsi Isotermis... 30

c. Uji Ketepatan Model... 30

d. Penentuan Nilai Slope Kurva Sorpsi Isotermis ... 31

e. Perhitungan Umur Simpan Wafer (Labuza, 1968)... 31

6. PENENTUAN UMUR SIMPAN WAFER DENGAN MODEL KADAR AIR KRITIS TERMODIFIKASI ... 32

a. Penentuan Perbedaan Tekanan Di Luar dan Di Dalam Kemasan... 32

b. Perhitungan Umur Simpan Wafer... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

(11)

Halaman

1. ATRIBUT DAN KERUSAKAN WAFER... 34

2. KARAKTERISTIK WAFER A DAN WAFER B... 36

B. KADAR AIR KRITIS WAFER... 40

1. UJI HEDONIK... 41

2. UJI RATING... 42

C. ANALISIS KOMEPERATIF TEKSTUR SECARA OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF ... 44

1. PERUBAHAN TEKSTUR WAFER SELAMA PENYIMPANAN... 44

2. PERBANDINGAN TEKSTUR SECARA OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF... 45

D. VARIABEL PENDUKUNG UMUR SIMPAN WAER ... 49

E. PENDEKATAN MODEL KURVA SORPSI ISOTERMIS ... 50

1. KURVA SORPSI ISOTERMIS... 51

2. MODEL SORPSI ISOTERMIS... 54

3. NILAI SLOPE (b) KURVA SORPSI ISOTERMIS ... 58

F. PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS TERMODIFIKASI.... 60

G. ANALISIS UMUR SIMPAN WAFER... 62

1. PERBANDINGAN MODEL PENDEKATAN UMUR SIMPAN... 62

2. PERBANDINGAN UMUR SIMPAN WAFER MENGGUNAKAN PERBEDAAN NILAI MC... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. KESIMPULAN... 68

B. SARAN... 69

DAFTAR PUSTAKA... 71

(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Standar mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992... 4

Tabel 2. Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit ... 25

Tabel 3. RH larutan garam jenuh yang digunakan pada suhu 30oC ... 30

Tabel 4. Karakteristik wafer A dan wafer B ... 37

Tabel 5. Hasil analisis proksimat A dan wafer B ... 37

Tabel 6. Titik kritis wafer berdasarkan uji organoleptik... 47

Tabel 7. Titik kritis wafer berdasarkan kadar air kritis wafer... 48

Tabel 8. Kadar air kesetimbangan (Me) wafer A dan wafer B dan waktu pencapaiannya dibeberapa RH penyimpanan ... 52

Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis wafer A... 55

Tabel 10. Persamaan kurva sorpsi isotermis wafer B... 55

Tabel 11. Hasil perhitungan nilai MRD model sorpsi isotermis*... 56

Tabel 12. Nilai aktivitas air (aw) kritis berdasarkan model Hasley ... 58

Tabel 13. Nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis wafer... 58

Tabel 14. Nilai P wafer A dan wafer B menggunakan awmeter... 61

Tabel 15. Nilai P wafer A dan wafer B berdasarkan model Hasley... 61

Tabel 16. Umur simpan wafer A berdasarkan model kurva sorpsi isotermis dan model kadar air kritis termodifikasi berdasarkan uji hedonik ... 63

Tabel 17. Umur simpan wafer B berdasarkan model kurva sorpsi isotermis dan model kadar air kritis termodifikasi berdasarkan uji hedonik ... 63

Tabel 18. Kadar air kritis wafer berdasarkan uji organoleptik... 66

Tabel 19. Umur simpan wafer A berdasarkan model kurva sorpsi isotermis dan model kadar air kritis termodifikasi berdasarkan uji rating... 66

Tabel 20. Umur simpan wafer B berdasarkan model kurva sorpsi isotermis dan model kadar air kritis termodifikasi berdasarkan uji rating... 66

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Jenis-jenis wafer (A1) flat wafer (coated), (A2) flat wafer (uncoated),

(B1) stick wafer (uncoated), (B2) stick wafer (coated)... 6

Gambar 2. Kurva pertambahan kadar air produk biskuit terkemas... 8

Gambar 3. Kurva aktivitas air produk pangan ... 9

Gambar 4. Grafik kenaikan kadar air menuju ke kadar air kesetimbangan selama penyimpanan pada berbagai kondisi RH ... 10

Gambar 5. Kurva sorpsi isotermis secara umum (deMan, 1979)... 12

Gambar 6. Wafer A dan wafer B... 19

Gambar 7. Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer26 Gambar 8. (a) Permatran Mocon W*3/31 (b) prinsip kerja penentuan WVTR.... 28

Gambar 9. Atribut wafer berdasarkan survei konsumen ... 34

Gambar 10. Parameter kritis wafer... 36

Gambar 11. Grafik hubungan lama penyimpanan wafer dengan skor kesukaan .. 41

Gambar 12. Contoh penentuan kadar air kritis wafer A berdasarkan uji hedonik 42 Gambar 13. Grafik hubungan lama penyimpanan wafer dengan skor rating kerenyahan wafer... 43

Gambar 14. Contoh penentuan kadar air kritis wafer A berdasarkan uji rating... 43

Gambar 15. Penurunan kerenyahan wafer selama penyimpanan (relatif terhadap nilai kerenyahan awal wafer) ... 45

Gambar 16. Kurva hubungan antara skor organoleptik dengan kerenyahan wafer A dan wafer B (a) Uji Hedonik (b) Uji Rating... 46

Gambar 17. Kurva hubungan antara skor organoleptik dengan % kerenyahan wafer A dan wafer B (a) Uji Hedonik (b) Uji Rating... 46

Gambar 18. Kurva hubungan antara nilai kerenyahan (gf) dengan kadar air wafer selama penyimpanan... 47

Gambar 19. Kemasan wafer A dan wafer B... 50

Gambar 20. Pertumbuhan kapang pada RH 94.7% ... 53

(14)

viii

Halaman Gambar 22. Perbandingan kurva sorpsi isotermis wafer A hasil percobaan dengan model Hasley... 57 Gambar 23. Perbandingan kurva sorpsi isotermis wafer B hasil percobaan dengan model Hasley... 57 Gambar 24. Slope yang terbentuk untuk wafer A ... 59 Gambar 25. Slope yang terbentuk untuk wafer B... 59

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Form kuisioner penentuan atribut utama dan parameter kritis wafer76

Lampiran 2. Contoh form organoleptik ... 77

Lampiran 3. Rekapitulasi penentuan atribut utama wafer ... 78

Lampiran 4. Rekapitulasi penentuan faktor kritis wafer... 80

Lampiran 5. Penentuan kadar air awal wafer dan uji paired-sampels T Test... 81

Lampiran 6. Penentuan kadar abu wafer dan uji paired-sampels T Test... 82

Lampiran 7. Penentuan kadar protein dan uji paired-sampels T Test... 83

Lampiran 8. Penentuan kadar lemak dan uji paired-sampels T Test... 84

Lampiran 9. Penentuan kadar karbohidrat (by difference) dan uji paired-sampels T Test... 85

Lampiran 10. Hasil uji hedonik kerenyahan wafer... 86

Lampiran 11. Hasil uji hedonik kerenyahan wafer... 88

Lampiran 12. Penentuan kadar air kritis dengan uji hedonik... 90

Lampiran 13. Penentuan kadar air kritis dengan uji rating... 91

Lampiran 14. Penentuan nilai k/x kemasan ... 92

Lampiran 15. Modifikasi model-model sorpsi isotermis dari persamaan non linear menjadi persamaan linear... 93

Lampiran 16. Penentuan kadar air kesetimbangan (Me) berdasarkan model sorpsi isotermis... 94

Lampiran 17. Penentuan MRD model-model sorpsi isotermas ... 95

Lampiran 18. Tabel uap air (Labuza, 1982)... 102

Lampiran 19. Penentuan nilai P wafer A dan wafer B ... 102

Lampiran 20. Umur simpan wafer dengan uji hedonik ... 104

Lampiran 21.Umur simpan wafer dengan uji rating... 111

(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanggal kadaluarsa sangat penting untuk dicantumkan dalam kemasan produk pangan. Tanggal kadaluarsa adalah tanggal atau waktu dimana produk pangan masih memberikan daya guna seperti yang diharapkan jika produk tersebut disimpan pada kondisi penyimpanan yang sesuai. Pencantuman informasi tanggal kadaluarsa merupakan jaminan produsen pangan kepada konsumen bahwa produk memiliki mutu yang baik saja yang dipasarkan dan produk tersebut aman dikonsumsi sebelum tercapai waktu kadaluarsa yang telah ditetapkan produsen (Hariyadi, 2006).

Pada umumnya tanggal kadaluarsa sudah dicantumkan pada kemasan wafer maupun produk pangan lain di pasaran. Pencantuman informasi tentang tanggal kadaluarsa bahan pangan merupakan suatu kewajiban bagi produsen dan telah diatur oleh undang-undang. Undang-undang Pangan tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyatakan setiap industri pangan wajib mencantumkan waktu atau tanggal kadaluarsa pada setiap kemasan produk. Tujuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada kemasan adalah untuk menghindari terjadinya pengkonsumsian produk yang sudah tidak layak dikonsumsi lagi.

Tanggal kadaluarsa produk pangan berkaitan dengan penentuan umur simpan produk pangan tersebut. Umur simpan suatu produk pangan merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Metode penentuan umur simpan terdiri dari metode konvensional dan metode akselerasi. Penentuan umur simpan dengan metode konvensional dilakukan dengan cara menyimpan produk pangan pada kondisi penyimpanan sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu produk. Dalam pelaksanaannya metode ini memerlukan waktu yang lama karena kinetika reaksi yang berjalan lambat. Globalisasi perdagangan pangan dan ketatnya persaingan pasar pangan menyebabkan penentuan umur simpan produk yang dipercepat sangat dibutuhkan.

(17)

Metode akselerasi digunakan untuk mempercepat penurunan mutu produk dengan menyimpan produk pada kondisi ekstrim (suhu dan kelembaban yang tinggi) sehingga penentuan umur simpan menjadi lebih singkat. Model yang terdapat dalam metode akselerasi adalah model arhenius dan model kadar air kritis. Model arhenius cocok untuk produk pangan yang sensitif terhadap suhu sedangkan model kadar air kritis cocok untuk produk pangan yang sensitif terhadap perubahan kadar air dalam produk tersebut (Kusnandar, 2006). Metode dan model pendekatan yang tepat, spesifik, dan efisien dalam penentuan umur simpan suatu produk sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi kinerja industri serta mengurangi biaya dan waktu analisis mutu.

Wafer merupakan salah satu jenis biskuit yang populer di pasaran dan digemari oleh masyarakat. Banyak jenis produk yang ada di pasaran, namun umumnya terdiri dari flat wafer dan stick wafer. Penelitian ini menggunakan wafer jenis flat. Flat wafer adalah jenis creamed sandwich wafer yang terdiri dari 4 wafer dan 3 lapis krim di antara sheet wafer. Ciri khas dari wafer adalah memiliki tekstur yang renyah. Wafer tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena mempunyai kadar air dan aw yang rendah. Namun, kadar air dan aw yang rendah menyebabkan wafer sangat sensitif terhadap penyerapan uap air dari lingkungan. Penyerapan uap air oleh wafer menyebabkan kadar air wafer naik yang diikuti dengan penurunan kerenyahan wafer (Oktania, 2004).

Peningkatan kadar air wafer disebabkan oleh penyerapan uap air dari lingkungan. Penentuan umur simpan wafer cocok menggunakan model kadar air kritis karena wafer sensitif terhadap perubahan kadar airnya. Dengan mengetahui pola penyerapan airnya dan menetapkan kadar air kritisnya maka umur simpan produk dapat diketahui. Pendekatan dalam model kadar air kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendeketan kadar air kritis termodifikasi. Pendekatan kadar air kritis termodifikasi lebih sederhana daripada pendekatan kurva sorpsi isotermis.

Kurva sorpsi isotermis digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air dari produk pangan dengan cara menentukan kadar air kesetimbangan produk pangan tersebut. Penentuan kadar air kesetimbangan tersebut

(18)

3

membutuhkan waktu yang relatif lama. Pendekatan kadar air kritis termodifikasi mengganti nilai kadar air kesetimbangan dari kurva sorpsi isotermis dengan menentukan perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan. Penentuan perbedaan tekanan tersebut membutuhkan waktu yang relatif singkat dengan perhitungan matematik. Perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan menggambarkan pola penyerapan uap air oleh wafer (Kusnandar, 2006). Pendekatan kadar air kritis termodifikasi jarang digunakan oleh industri untuk menentukan umur simpan wafer karena relatif baru dan belum diketahui tingkat efektivitasnya. Oleh karena itu diperlukan studi mengenai penentuan umur simpan wafer dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dan pendekatan kurva sorpsi isotermis serta dibandingkan tingkat ketepatannya.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan produk flat wafer dengan menggunakan model kurva sorpsi isotermis dan model kadar air kritis termodifikasi. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menentukan model penentuan umur simpan yang tepat untuk produk flat wafer, melihat pengaruh karakteristik produk flat wafer terhadap umur simpan produk, dan melihat korelasi pengukuran tekstur secara obyektif dan subyektif terhadap kadar air kritis wafer.

C. MANFAAT

Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan model penentuan umur simpan dan metode penentuan kadar air kritis yang tepat dan efisien untuk produk-produk flat wafer.

(19)

A. WAFER

Biskuit merupakan produk pangan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan lain yang diijinkan (SNI 1992). Menurut SNI 01-2973-1992 mengenai Mutu dan Cara Uji Biskuit, wafer termasuk dalam kelompok biskuit bersama dengan biskuit keras, crakers dan cookies. Syarat mutu wafer mengacu pada standar mutu biskuit sesuai dengan SNI 01-2973-1992 seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992

Kriteria Uji Syarat

Energi (kkal/100 gram) Minimum 400

Air (%) Maksimum 5

Protein (%) Minimum 9

Lemak (%) Minimum 9,5

Karbohidrat (%) Minimum 70

Abu (%) Maksimum 1.5

Serat Kasar (%) Maksimum 0.5

Logam Berbahaya Negatif

Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik

Warna Normal

(BSN, 1992)

Wafer adalah biskuit yang terbuat dari adonan cair dan tipis dengan ketebalan lebih kecil dari 1-4 mm (Macrae et al., 1993, Dogan, 2006). Ciri khas wafer adalah memiliki pori-pori kasar, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga (Manley, 2000). Wafer dibuat dari adonan yang dipanggang di antara dua plat baja. Ukuran dari plat yang digunakan akan menentukan ukuran wafer yang diinginkan. Ukuran tersebut sangat bervariasi yaitu 370x240 mm, 470x290 mm, 470x350 mm, dan

(20)

5

700x350 mm (Manley, 2001). Menurut Dogan (2006), wafer yang ada di pasaran biasanya dalam bentuk lembaran datar yang besar yang dilapisi krim sebelum pemotongan dan mungkin juga dilapisi lagi dengan cokelat. Bahan adonan wafer terdiri dari gula, tepung terigu, air, garam, lemak, dan bahan lainnya. Faktor terpenting yang mempengaruhi tekstur wafer adalah tepung terigu. Menurut Kusumaningrum (2002), fungsi tepung terigu adalah membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik, atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikannya secara merata, mengikat gas selama proses fermentasi, dan membentuk struktur wafer selama pemanggangan.

Secara umum, wafer yang ada di pasaran ada dua jenis yaitu flat wafer dan stick wafer (Oktania, 2004). Flat wafer adalah jenis creamed sandwich wafer yang terdiri dari 4 sheet wafer dan 3 lapis krim di antara sheet wafer. Wafer dibentuk dari adonan yang dipanggang di antara plat metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan berbentuk sheet atau lembaran yang datar dan besar. Adonan wafer sheet yang dipanggang sedikit atau sama sekali tidak mengandung gula, sehingga wafer biasanya tidak berasa (plain). Setelah proses pemanggangan dan pendinginan, sheet wafer dilapisi dengan krim sehingga membentuk sandwich wafer. Wafer yang dihasilkan ini masih dalam ukuran besar dan utuh disebut dengan book wafer. Book wafer didinginkan pada ruang book cooler lalu dipotong sesuai ukuran yang diinginkan. Modifikasi bentuk wafer flat adalah menambahkan lapisan cokelat pada lapisan luar wafer (coated wafer).

Stick wafer mempunyai bentuk bulat panjang. Bentuk tersebut dicetak setelah proses pemanggangan dengan cara melilitkan lembaran wafer pada sebuah nozzle. Besar kecilnya ukuran wafer yang dihasilkan tergantung dari ukuran nozzle yang digunakan. Setalah pencetakan, wafer diisi dengan krim yang dialirkan melalui nozzle bagian dalam. Krim melingkar penuh pada bagian dalam dinding wafer. Setelah proses filling, wafer kemudian dipotong sesuai ukurannya dengan sebuah cutter. Proses selanjutnya adalah pendinginan dan pengemasan. Jenis-jenis wafer yang ada di pasaran dapat dilihat pada Gambar 1.

(21)

Gambar 1. Jenis-jenis wafer (A1) flat wafer (coated), (A2) flat wafer (uncoated), (B1) stick wafer (uncoated), (B2) stick wafer (coated)

B. PENURUNAN MUTU WAFER

Mutu utama produk biskuit seperti wafer adalah kerenyahannya (Manley, 2000). Wafer memiliki kadar air dan aw yang rendah sehingga teksturnya menjadi renyah. Menurut Macrae et al. (1993), wafer mempunyai kadar air sebesar 1.5-2.5%. Menurut Oktania (2004), faktor yang menyebabkan wafer memiliki kadar air dan aw yang rendah adalah proses pemanggangan adonan wafer dengan suhu tinggi. Gas yang terbentuk pada saat fermentasi dan air yang terkandung dalam adonan wafer akan dilepaskan selama proses pemanggangan. Pelepasan gas dan uap air ini akan menyebabkan pembentukan struktur wafer yang berongga-rongga dan penurunan kadar air dan aw. Adonan wafer dipanggang pada suhu tinggi karena mengandung sedikit atau tidak sama sekali gula. Semakin sedikit kandungan gula dan lemak dalam komposisi wafer, proses pemanggangan dapat dilakukan pada suhu 177-204oC (Kusumaningrum, 2002).

Menurut Hariyadi (2006), produk pangan akan mengalami perubahan mutu selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi produk pangan. Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi (Arpah, 2001). Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan

A B

1 2

(22)

7

produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, dan akibat perubahan suhu. Reaksi deteriorasi dapat disebabkan oleh interaksi dengan berbagai faktor, baik faktor lingkungan eksternal atau faktor lingkungan internal. Data tentang interaksi-interaksi yang mungkin terjadi tersebut sebaiknya diketahui dengan baik sehingga dapat dilakukan perhitungan-perhitungan mengenai umur simpan, kebutuhan pelabelan, serta yang lebih penting adalah usaha-usaha minimalisasi kerusakan dan memaksimumkan masa simpan. Menurut Arpah (2001), tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan.

Faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu produk pangan kering seperti biskuit adalah perubahan kadar air produk tersebut (Oktania, 2004). Seperti terlihat pada Gambar 2, kadar air biskuit akan meningkat selama penyimpanan. Robertson (1992) mengelompokkan produk pangan ke dalam dua kelompok dalam hubungannya dengan perubahan kadar air selama penyimpanan, yaitu produk pangan yang menyerap uap air dan produk pangan yang mengalami kehilangan kandungan air. Wafer termasuk dalam produk pangan yang mudah rusak apabila menyerap uap air yang berlebihan dari lingkungan karena perbedaan tekanan antara wafer dengan lingkungan. Kerusakan ini cukup kompleks karena dapat melibatkan atau memicu berbagai jenis reaksi deteriorasi lain yang sensitif terhadap perubahan aw. Namun menurut Arpah (2001), pada produk jenis biskuit, kerusakannya lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur.

Kerenyahan merupakan kriteria mutu penting dari berbagai produk sereal atau snack. Kerenyahan dipengaruhi oleh sejumlah air terikat pada matriks karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf (Piazza dan Masi, 1997). Menurut Adawiyah (2002), struktur amorf atau partially amorf dalam bahan pangan terbentuk karena berbagai proses, salah satunya adalah proses pemanggangan. Kerenyahan produk pangan berkadar air rendah dipengaruhi oleh kandungan air dan akan hilang karena adanya plastisasi struktur fisik oleh suhu atau air. Produk sereal memiliki tekstur yang renyah dalam keadaan gelas, tetapi plastisasi akibat peningkatan kadar air atau suhu menyebabkan terjadinya perubahan material

(23)

menjadi keadaan karet (rubbery) sehingga produk menjadi lembek (sogginess). Uap air akan menyebabkan plastisasi dan pelunakan terhadap pati atau protein yang mengakibatkan penurunan mutu wafer yaitu kerenyahannya menurun (Navarrete et al., 2004).

Gambar 2. Kurva pertambahan kadar air produk biskuit terkemas (Robertson, 1993)

C. AKTIVITAS AIR

Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan pangan tersebut. Kandungan air dalam bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap reaksi biologis atau kimiawi. Hubungan kandungan air dalam bahan pangan dengan daya tahan bahan tersebut dinyatakan sebagai aktivitas air (aw). Istilah aktivitas air (aw) digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam bahan pangan yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Aktivitas air merupakan faktor kunci dalam pertumbuhan mikroba, produksi racun, reaksi enzimatis, dan sebagainya (Mercado dan Canovas, 1996). Klasifikasi produk pangan berdasarkan nilai aktivitas airnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Labuza (2002) menyatakan aktivitas air suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan tekanan

(24)

9

uap air murni (Po) pada kondisi yang sama, atau dengan jalan membagi ERH lingkungan dengan nilai 100 dan secara matematis ditulis sebagai berikut : ...(1)

dimana :

aw = aktivitas air

P = tekanan parsial uap air bahan

Po = tekanan parsial uap air murni pada suhu yang sama ERH = kelembaban relatif seimbang

Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan setimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam produk pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aw sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak.

Gambar 3. Kurva aktivitas air produk pangan (Mujumdar dan Devahasti, 2000)

Aktivitas air merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan dari produk pangan kering selama penyimpanan. Aktivitas air mempengaruhi sifat tekstur dari produk pangan kering yang dapat mengalami penurunan mutu teksturnya dengan semakin meningkatnya kadar air dan aw (Arpah,

100 ERH P P a o w = =

(25)

2001). Selain itu, aktivitas air dapat mempengaruhi sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis, dan perubahan enzimatis terutama pada produk pangan yang tidak diolah (Winarno dan Jennie, 1983).

D. KADAR AIR KESETIMBANGAN

Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan yang berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu dalam periode waktu tertentu (Brooker et al., 1982). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan adalah kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk (Gambar 4).

Kadar air kesetimbangan pada produk pangan digunakan untuk menentukan dan menggambarkan kurva sorpsi isotermis produk tersebut. Menurut Pavinee (1979), kurva tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi tentang perpindahan air selama proses adsorpsi atau desorpsi.

Gambar 4. Grafik kenaikan kadar air menuju ke kadar air kesetimbangan selama penyimpanan pada berbagai kondisi RH

(26)

11

Menurut Duckworth (1975), ada dua cara untuk menentukan kadar air kesetimbangan yaitu dengan metode statis dan metode dinamis. Metode statis dilakukan dengan cara meletakkan bahan pangan pada tempat dengan RH dan suhu yang terkontrol. Dalam metode dinamis, kadar air kesetimbangan produk pangan ditentukan dengan meletakkan bahan pangan pada kondisi udara yang bergerak. Metode dinamis sering digunakan untuk pengeringan, dimana pergerakan udara digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan (Brooker et al., 1982).

E. KURVA SORPSI ISOTERMIS

Kurva yang menggambarkan hubungan antara aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif seimbang ruang penyimpanan (ERH) dengan kandungan air per gram suatu bahan pangan disebut sebagai kurva sorpsi isotermis (Winarno, 1994). Kurva ini menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan pangan sebagai keadaan kelembaban relatif tempat penyimpanan, artinya menggambarkan aktivitas menyerap air (adsorpsi) dan melepaskan air yang dikandung (desorpsi) pada bahan pangan. Menurut Barbarosa et al. (1996), sorpsi isotermis banyak dipakai dalam penelitian pada bahan pangan seperti umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan.

Kurva sorpsi isotermis dapat dibagi menjadi beberapa bagian tergantung dari keadaan air dalam bahan pangan tersebut. Daerah A menyatakan adsorpsi bersifat satu lapis molekul air (monolayer), daerah B menyatakan terjadinya penambahan lapisan-lapisan di atas satu lapis molekul air (multilayer), dan pada daerah C mulai terjadi kondensasi air pada pori-pori bahan (kondensasi kapiler) (Syarief dan Halid, 1993; Winarno, 1994). Secara umum, kurva sorpsi isotermis dapat dilihat pada Gambar 5.

Menurut deMan (1979), pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Keadaan tidak berhimpit antara kurva adsorpsi dan desorpsi disebut sebagai fenomena histeresis. Fenomena ini diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari proses adsorpsi dan desorpsi. Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam tergantung pada beberapa faktor seperti sifat

(27)

alami bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi atau adsorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi atau adsorpsi (Fennema, 1996). Secara singkat oleh Winarno (1994) dikatakan bentuk kurva ini khas untuk setiap bahan pangan. Bila perubahan air mempengaruhi mutu produk pangan, maka dengan mengetahui pola penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya, umur simpan dapat ditentukan.

Gambar 5. Kurva sorpsi isotermis secara umum (deMan, 1979)

F. MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS

Model matematika awal mengenai sorpsi isotermis telah banyak dikembangkan oleh para ahli baik secara teoritis, semi teoritis, maupun empiris (Chirife dan Iglesias, 1978; Van den Berg dan Bruin, 1981). Namun, model-model matematika tersebut tidak dapat mencakupi keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis salah satu dari ketiga daerah sorpsi isotermis.

Menurut Barbarosa et al. (1996), teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal (monolayer) yang merupakan dasar bagi perkembangan

(28)

teori-13

(

w

)(

w w

)

w m a K C a K a K a K C X Me . . . 1 . 1 . . . + − − =

teori selanjutnya dikemukakan oleh Langmuir (1918); Brauner, Emmet, dan Teller (BET) (1938); dan Smith (1947). Namun, model-model ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapis molekul air dan kisaran aw yang terbatas (Chirife dan Iglesias, 1978).

Salah satu model yang diakui secara internasional adalah model GAB (Guggenheim, Anderson, dan de Boer). Model ini bisa menggambarkan sorpsi isotermis bahan pangan pada kisaran aw yang lebih luas dari model BET, yaitu 0.05 < aw < 0.9 dan (Spiess dan Wolf, 1987). Menurut Labuza (2002), persamaan GAB merupakan persamaan yang tepat untuk menggambarkan sorpsi isotermis pada sebagian besar produk pangan. Model sorpsi isotermis GAB dinyatakan sebagai berikut:

...(2) dimana:

Me = kadar air (% basis kering) aw = aktivitas air

Xm = kadar air monolayer (%) K = konstanta

C = konstanta energi

Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini menurut Chirife dan Iglesias (1978) merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan pada kebanyakan bahan pangan kering.

.………(3) dimana :

Me = kadar air kesetimbangan K dan n = konstanta

(

n

)

w KMe a = − − exp 1

(29)

Sedangkan, Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan model yang berlaku untuk kebanyakan produk pangan pada selang aw 0.0 sampai 0.85. Model persamaan Caurie seperti di bawah ini,

...(4) Hasley mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer (Chirife dan Iglesias, 1978). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif antara 10 – 81%. Model persamaan Hasley seperti di bawah ini,

...(5) Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada RH 0% sampai dengan 85% dan sesuai bagi kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid (Chirife dan Iglesias, 1978). Model persamaan Oswin tersebut adalah seperti di bawah ini,

………(6) Lebih lanjut, Chen Clayton juga telah membuat model matematika yang berlaku untuk bahan pangan pada semua nilai aktivitas air. Persamaan tersebut adalah seperti di bawah ini,

...(7)

dimana :

aw = aktivitas air

Me = kadar air kesetimbangan P(1) dan P(2) = konstanta w a P P Me ln (1) (2) ln = − − = (2) ) ( ) 1 ( exp P w Me P a ) 2 ( ) 1 ( ) 1 ( P w w a a P Me − = − = ) ) 2 ( exp( ) 1 ( exp Me P P aw

(30)

15

G. KEMASAN

Kemasan disebut juga bungkus atau wadah memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran, serta gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran). Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk pangan seperti dapat terjadi perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan pengemas dan terjadi perubahan aroma (flavor), warna, dan tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen (Syarief, 1990).

Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap lingkungan. Menurut Syarief (1990), produk pangan kering akan berada dalam keadaan setimbang dengan lingkungan dengan cara menyerap uap air dari lingkungan. Untuk mengurangi masuknya uap air ke dalam produk kering terutama yang mempunyai sifat hidrofilik maka diperlukan barrier antara produk dengan lingkungan yaitu kemasan yang memiliki daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah untuk menghambat penurunan mutu produk seperti menjadi tidak renyah (Buckle et al., 1987). Permeabilitas merupakan transfer molekul melalui kemasan baik dari produk ke lingkungan maupun sebaliknya. Menurut Robertson (1993), permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu.

Kemasan plastik banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan metal dan gelas, dan memerlukan energi yang kecil dalam pembuatan, konversi, dan pendistribusiannya (Hernandez dan Giazin, 1998). Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau alufo. Kombinasi antara berbagai kemasan plastik berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil, dan selulosa) disebut sebagai

(31)

kemasan laminasi (Robertson, 1993). Kemasan laminasi yang digunakan di industri-industri pangan saat ini tidak hanya dikombinasi antara berbagai macam plastik saja, melainkan kombinasi antara berbagai plastik dengan aluminium yang disebut metallized plastic. Kemasan ini memiliki ketahanan terhadap uap air dan gas yang lebih baik dari plastik tunggal, tidak meneruskan cahaya, dan menghambat masuknya oksigen. Penggunaan kemasan ini sangat sesuai untuk mengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang (Brown, 1992).

H. UMUR SIMPAN

Menurut Institute of Food Technology seperti yang dikutip oleh Arpah (2001), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Menurut Arpah (2001), umur simpan adalah waktu hingga produk mengalami suatu tingkat deteriorasi. Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Reaksi deteriorasi merupakan suatu reaksi kimia, oleh karena itu mekanisme deteriorasi dapat dianalisa secara matematika. Dengan analisa tersebut, waktu produk pangan mulai rusak dapat diketahui sehingga umur simpan produk pangan dapat ditentukan.

Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang didistribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006). Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) atau metode konvensional dan Accelerated Storage Studies (ASS) atau metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselarasi diterapkan pada produk pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara

(32)

sendiri-17

sendiri maupun gabungannya (Floros, 1993). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

Salah satu metode akselerasi yang diterapkan pada produk pangan kering adalah pendekatan kadar air kritis. Pada metode ini kondisi lingkungan penyimpanan memiliki kelembaban relatif (relative humidity) yang ekstrim. Produk pangan kering yang disimpan akan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan uap air. Persamaan matematika adalah alat bantu yang digunakan pada metode ini. Pada dasarnya persamaan-persamaan ini adalah deskripsi kuantitatif dari sistem yang terdiri dari produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah, 2001). Menurut Arpah (2001), model Labuza (1982) dapat mengintegrasikan unsur permeabilitas kemasan, berat kering produk, luas bahan pengemas, perbedaan tekanan uap air atau aw dan kurva sorpsi isotermis dengan baik. Model Labuza ini disebut model pendekatan kurva sorpsi isotermis.

……….(8) dimana :

t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari) me = kadar air kesetimbangan produk (g H20/g solid)

mi = kadar air awal produk (g H20/g solid) mc = kadar air kritis produk (g H20/g solid)

k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)

Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) Po = tekanan uap jenuh (mmHg)

b = kemiringan kurva sorpsi isotermis

Model Labuza cocok digunakan untuk menentukan umur simpan produk pangan yang memiliki kurva sorpsi isotermis yang baik yaitu membentuk sigmoid, misalnya produk makanan kering. Sedangkan produk pangan yang

− − = b Po Ws A x k Mc Me Mi Me t ln

(33)

tidak memiliki kurva sorpsi isotermis yang baik tidak dapat ditentukan umur simpannya dengan model Labuza sehingga dilakukan modifikasi pada model Labuza yang disebut model pendekatan kadar air kritis termodifikasi.

Produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang mengandung sukrosa tinggi (misalnya permen), maka akan sulit tercapai kondisi kadar air kesetimbangannya dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linier, karena pada RH tertentu kadar airnya akan terus meningkat (tidak mencapai kondisi kesetimbangan) (Kusnandar, 2006). Model kadar air kritis termodifikasi ini mengganti variabel kurva sorpsi isotermis (nilai b) dan kadar air kesetimbangan (nilai Me) yang tidak dimiliki oleh produk pangan yang memiliki kelarutan tinggi dengan mengukur perbedaan takanan di dalam dan di luar kemasan ( P) untuk mengetahui pola penyerapan uap air dari lingkungan ke dalam produk pangan.

………...(9)

dimana :

∆P = (P out – P in) selisih antara tekanan udara di luar dan di dalam produk

mc = kadar air kritis produk (g H2O/g solid) mi = kadar air awal produk (g H2O/g solid)

k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)

Ws = berat kering produk dalam kemasan (g)

(

)

P A x k Ws Mi Mc t ∆ − = ) (

(34)

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT 1. BAHAN

Bahan utama yang digunakan adalah 2 jenis flat wafer. Perbedaan antara dua wafer tersebut adalah tingkat porositas (pori-pori) wafer. Untuk selanjutnya wafer yang memiliki pori-pori besar disebut wafer A dan wafer yang memiliki pori-pori kecil disebut wafer B, seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Wafer A dan wafer B

Bahan pendukung analisis dibagi menjadi bahan-bahan untuk analisis kimia, organoleptik, penentuan permeabilitas kemasan, dan penentuan umur simpan wafer. Bahan untuk analisis kimia terdiri dari HgO, K2SO4, H2SO4, NaOH, Na2S2O3, H3BO3, HCl, indikator metil merah dan metil biru, heksan, aquades, dan alkohol 96%. Bahan untuk analisis organoleptik adalah wafer A dan B yang telah mengalami penyimpanan selama 8 jam dalam suhu 30°C dengan RH lingkungan 90%. Bahan untuk penentuan permeabilitas kemasan terdiri dari kemasan wafer A dan B, gas N2, dan aquabides. Bahan untuk penentuan umur simpan adalah wafer A dan B, garam yang terdiri dari MgCl2, K2CO3, Mg(NO3)2, NaCl, KCl, K2SO4, lilin mainan (malam), dan aquades.

(35)

2. ALAT

Alat-alat yang digunakan adalah neraca analitik, oven, tanur, cawan aluminium, cawan porselin, desikator, toples yang dimodifikasi, texture analyzer, hygrometer, awmeter, Permatran Mocon W*3/31, pencapit logam, pinset, dan peralatan gelas untuk keperluan analisis.

B. TAHAPAN PENELITIAN

1. PENELITIAN PENDAHULUAN

a. Penentuan Atribut Utama dan Kerusakan Wafer

Penentuan atribut utama wafer dilakukan melalui survei terhadap 40 konsumen (usia bervariasi). Responden diminta untuk mengurutkan lima buah atribut wafer yang telah ditentukan dari yang paling penting (skor 1) sampai yang paling tidak penting (skor 5) dengan menggunakan uji rangking. Kelima atribut tersebut adalah warna, aroma, rasa, kerenyahan (tekstur), dan penampakan (visual wafer). Atribut yang memiliki nilai yang paling kecil merupakan atribut paling utama wafer. Selain itu, juga dilakukan survei konsumen terhadap faktor yang mudah diidentifikasi oleh konsumen apabila wafer telah rusak dan tidak layak dikonsumsi. Contoh kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Penentuan Karakteristik Awal Wafer

Penentuan karakteristik wafer dilakukan dengan menggunakan analisis kimia yaitu proksimat (AOAC, 1984) dan analisis fisik. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui karakter awal wafer sebelum dilakukan pengujian terhadap wafer tersebut. Analisis kimia tersebut meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by difference) wafer. Analisis fisik yang dilakukan berupa analisis tekstur yaitu kerenyahan wafer menggunakan Texture Analyzer.

(36)

21

2. PENELITIAN UTAMA

Penelitian utama yang dilakukan adalah penentuan umur simpan wafer menggunakan metode akselerasi dengan membandingkan dua pendekatan model kadar air kritis yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Tujuan membandingkan dua model tersebut adalah untuk mengetahui model pendekatan kadar air kritis yang memiliki hasil penentuan umur simpan yang sesuai dan tepat untuk wafer.

a. Pendekatan Kurva Sorpsi Isotermis

Prinsip utama dari pendekatan ini adalah menentukan kadar air kesetimbangan (Me) wafer yang disimpan pada berbagai nilai RH. Hubungan data kadar air kesetimbangan wafer dengan RH tempat penyimpanan wafer akan dihasilkan kurva sorpsi isotermis wafer. Kurva ini akan digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air wafer dari lingkungan. Dengan mengetahui pola penyerapan uap air, umur simpan wafer dapat ditentukan. Tahapan analisisnya adalah sebagai berikut;

1. Penentuan kadar air awal (Mi) wafer (AOAC, 1984) 2. Penentuan kadar air kritis (Mc) wafer

3. Penentuan kadar air kesetimbangan (Me) wafer 4. Penentuan kurva sorpsi isotermis wafer

5. Penentuan variabel pendukung umur simpan wafer 6. Penentuan umur simpan wafer

Variabel pendukung umur simpan digunakan untuk melengkapi persamaan penentuan umur simpan (Persamaan 8). Variabel tersebut adalah permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat solid per kemasan wafer.

(37)

b. Pendekatan Kadar Air Kritis Termodifikasi

Prinsip utama dari pendekatan ini adalah menentukan perbedaan tekanan (∆P) di dalam kemasan dan di luar kemasan. Tekanan di dalam kemasan berhubungan dengan aktivitas air (aw) sedangkan tekanan di luar kemasan berhubungan dengan RH lingkungan. Nilai (∆P) ini digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air wafer sehingga umur simpan wafer dapat ditentukan. Tahapan analisisnya adalah sebagai berikut;

1. Penentuan kadar air awal (Mi) wafer (AOAC, 1984) 2. Penentuan aktivitas air (aw) wafer

3. Penentuan kadar air kritis (Mc) wafer 4. Penentuan perbedaan tekanan (∆P)

5. Penentuan variabel pendukung umur simpan wafer 6. Penentuan umur simpan wafer

Variabel pendukung umur simpan digunakan untuk melengkapi persamaan penentuan umur simpan (Persamaan 9). Variabel tersebut adalah permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat solid per kemasan wafer.

C. METODE ANALISIS

1. PENENTUAN KARAKTERISTIK AWAL WAFER

a. Penentuan Kadar Air (AOAC, 1984)

Penentuan kadar air wafer menggunakan oven dengan suhu 105°C. Metode penentuannya adalah cawan aluminium kosong dimasukkan oven selama 30 menit kemudian dimasukkan desikator sampai dingin dan ditimbang bobotnya. Wafer ditimbang sebanyak ± 5 g dalam cawan yang telah ketahui bobotnya. Cawan dimasukkan ke dalam oven selama 6 jam. Setelah 6 jam, cawan dimasukkan ke desikator sampai dingin dan ditimbang. Cawan tersebut dimasukkan kembali ke dalam oven selama 30 menit, didinginkan di dalam

(38)

23

desikator, dan ditimbang. Tahapan ini dilakukan secara berulang sampai tercapai bobot wafer yang konstan yaitu jika selisih bobotnya < 3 mg dari penimbangan bobot setelah 6 jam. Perhitungan kadar air dalam penelitian ini menggunakan basis basah dan basis kering. Perhitungan kadar air wafer sebagai berikut;

b. Penentuan Kadar Abu (AOAC, 1984)

Penentuan kadar abu wafer dilakukan menggunakan tanur. Cawan porselen dimasukkan dahulu ke dalam tanur selama 30 menit, dimasukkan dalam desikator sampai cawan porselen tersebut dingin, dan ditimbang bobot kosong cawan porselen tersebut. Sebanyak 3-5 gram wafer dimasukkan ke dalam cawan porselen, dibakar terlebih dahulu dalam alat penangas sampai tidak berasap, dan cawan dimasukkan dalam tanur bersuhu 600°C selama 6 jam sampai sampel berwarna putih. Cawan yang berisi abu wafer dimasukkan dalam desikator sampai dingin dan ditimbang. Perhitungan kada abu berdasarkan basis basah, yaitu ;

c. Penentuan Kadar Protein (AOAC, 1984)

Penentuan kadar protein wafer menggunakan metode mikro Kjeldhal. Ditimbang 0.2 g wafer (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N). Wafer dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 2.0±0.1 ml H2SO4. Wafer dididihkan sampai cairan menjadi jernih (sekitar 1 jam). % 100 ker ) (% x awal sampel bobot ing sampel bobot awal sampel bobot BB air Kadar = − ing sampel bobot ing sampel bobot awal sampel bobot solid g O H g air Kadar ker ker ) / ( 2 = − % 100 x awal sampel bobot abu bobot abu Kadar =

(39)

Larutan jernih ini kemudian dipindahkan ke alat destilasi. Labu Kjeldhal dicuci dengan air (1-2 ml). Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Digunakan asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil dan metil biru. Destilasi dihentikan saat terjadi perubahan warna asam borat dari biru violet menjadi hijau. Destilasi ini menghabiskan waktu sekitar 20 menit. Cairan hasil destilasi (dalam erlenmeyer) kemudian dititrasi oleh HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi biru keunguan/abu-abu.

Kadar protein diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut;

d. Penentuan Kadar Lemak (AOAC, 1984)

Penentuan kadar lemak wafer menggunakan metode Soxhlet. Ditimbang ± 5 gram wafer kemudian dibungkus dengan kertas saring. Wafer dimasukkan ke dalam labu Soxhlet. Dituang pelarut heksana secukupnya. Dirangkai reflux dan dioperasikan selama 6 jam.

Setelah diperoleh labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut, labu dipanaskan dengan oven 105°C sampai semua pelarut menguap. Dimasukkan dalam desikator dan setelah itu ditimbang berat labu berisi lemak. Kadar lemak diperoleh dengan perhitungan;

e. Penentuan Kadar Karbohidrat (AOAC, 1984)

Kadar karbohidrat wafer dihitung secara by difference yaitu dengan mengurangi 100% kandungan gizi wafer dengan kadar air,

(

)

contoh blanko contoh mg x HClx xN HCl ml HCl ml N 14.007 100 % = − N konversix Faktor otein Kadar Pr = % % 100 (%) x sampel bobot lemak bobot lemak Kadar =

(40)

25

kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Nilainya dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut;

f. Pengukuran Aktivitas Air (aw)

Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari wafer pada awal penyimpanan dilakukan dengan menggunakan awmeter yang telah dikalibarasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75%. Wafer dimasukkan ke dalam chamber pada awmeter dan ditutup rapat. Pembacaan dilakukan saat angka penunjuk pada awmeter tidak berubah. Hal ini ditunjukkan dengan indikator pada awmeter yaitu tertulis complete test. Selain menggunakan awmeter, nilai aktivitas air ditentukan dengan menggunakan persamaan model kurva sorpsi isotermis yang tepat. g. Penentuan Tekstur (Kerenyahan) Dengan Texture Analyzer

Alat yang digunakan adalah Texture Analyzer dengan menggunakan probe silinder yang sesuai untuk produk biskuit. Spesifikasi probe dan setting untuk analisis kekerasan produk biskuit dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit

Product BISCUITS

Type Plain dough biscuits

Objective Hardness measurement of Biscuit by probing TA-XT2 Mode Option Pre-Test speed Test speed Post-Test speed Distance Trigger type

Data Acquistion Rate

Measure Force in Compression Return to start 2.0 mm/s 0.5 mm/s 10.0 mm/s 4 mm Auto-5 g 200 pps

Probe 2 mm cylinder probe (P/2)

) Pr . % . % . % . ) ((% % 100 (%) otein K Lemak K Abu K Air K BB t karbohidra Kadar + + + − =

(41)

Wafer ditekan dengan probe sehingga menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur wafer. Nilai kerenyahan (gramforce) dilihat dari peak pertama yang signifikan pada kurva (Rosenthal, 1999). Semakin renyah suatu produk maka nilai kerenyahan yang dimiliki akan semakin tinggi. Profil perbedaan kerenyahan dengan kekerasan pada sampel secara umum dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer

2. PENENTUAN KADAR AIR KRITIS WAFER

Wafer disimpan tanpa kemasan pada suhu kamar (300C) selama 8 jam penyimpanan. Wafer dianalisis secara organoleptik, fisik, dan kimia pada 0, 1, 2, 4, 6, dan 8 jam penyimpanan. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik dan uji rating kepada 30 panelis tidak terlatih. Skor hedonik untuk menilai wafer yaitu 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka) sedangkan skor rating yang diberikan yaitu 1 (sangat tidak renyah) sampai 7 (sangat renyah). Uji organoleptik difokuskan kepada kesukaan panelis terhadap kerenyahan (tekstur). Uji fisik yang dilakukan adalah uji tekstur yaitu kerenyahan wafer dengan Texture Analyzer. Uji kimia dilakukan untuk menentukan kadar air wafer selama penyimpanan. Hasil uji organoleptik dibandingkan dengan hasil uji kimia (kadar air wafer) dan uji fisik (tekstur wafer). Sehingga didapatkan kurva hubungan antara kadar air wafer selama penyimpanan dengan skor

(42)

27

hedonik dan skor rating. Wafer yang dinyatakan telah ditolak oleh panelis secara organoleptik (skor 3) ditetapkan telah mencapai kadar air kritisnya. 3. ANALISIS KOMPERATIF ANTARA PENGUKURAN TEKSTUR

(OBYEKTIF) DENGAN SENSORIK

a. Penentuan Tekstur Kritis Wafer Dengan Uji Hedonik

Data uji hedonik tekstur wafer yang diperoleh dari analisis organoleptik pada penentuan kadar air kritis wafer dihubungkan dengan data uji fisik tekstur wafer selama penyimpanan. Uji fisik tekstur wafer ditentukan secara obyektif dengan menggunakan Texture Analyzer. Tekstur kritis wafer ditentukan pada saat kerenyahan wafer tidak dapat diterima oleh konsumen. Kondisi tersebut ditetapkan pada saat skor hedonik panelis sama dengan 3 yaitu pada taraf agak tidak suka.

b. Penentuan Tekstur Kritis Wafer Dengan Uji Rating

Data uji rating tekstur wafer yang diperoleh dari analisis organoleptik pada penentuan kadar air kritis wafer dihubungkan dengan data uji fisik tekstur wafer selama penyimpanan. Uji fisik tekstur wafer ditentukan secara obyektif dengan menggunakan Texture Analyzer. Tekstur kritis wafer ditentukan pada saat kerenyahan wafer tidak dapat diterima oleh konsumen. Kondisi tersebut ditetapkan pada saat skor rating panelis sama dengan 3 yaitu pada taraf agak tidak renyah.

4. PENENTUAN VARIABEL PENDUKUNG UMUR SIMPAN

a. Penentuan Permeabilitas Kemasan

Penentuan permeabilitas kemasan dilakukan dengan menggunakan alat Permatran Mocon W*3/31. Alat dan prinsip dasar penentuan permeabilitas kemasan dengan Permatran Mocon W*3/31 dapat dilihat pada Gambar 8.

(43)

(a) (b)

Gambar 8. (a) Permatran Mocon W*3/31 (b) prinsip kerja penentuan WVTR

Kemasan wafer dipotong sesuai cetakan dan diukur ketebalannya. Kemasan dikondisikan selama 24 jam dalam ruang uji, kemudian kemasan tersebut ditempatkan pada cell di dalam alat uji. Gas nitrogen kering dialirkan melalui inside chamber (RH 0%) sedangkan pada outside chamber dialirkan gas nitrogen basah (RH 100%). Kemasan dalam cell merupakan batas pemisah antara gas nitrogen basah dan gas nitrogen kering. Perbedaan tekanan antara outside chamber dengan inside chamber menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan yang lebih rendah yaitu menuju ke inside chamber. Uap air yang berdifusi melalui kemasan akan dibawa oleh gas nitrogen kering. Gas tersebut akan mengalir melalui sensor yang akan mendeteksi uap air yang dibawa oleh gas nitrogen kering tersebut. Laju uap air yang melalui kemasan dapat dihitung berdasarkan uap air yang terdeteksi oleh sensor. Akhir dari pengukuran uap air yang melalui kemasan bila laju uap air yang melalui kemasan sudah stabil. Berdasarkan pengukuran menggunakan alat ini akan didapatkan nilai WVTR (g/m2/hari/RH). Perhitungan k/x adalah sebagai berikut;

(

)

(

)

(

P P RH desikator

)

WVTR x k 1 2 / − =

Gambar

Tabel 1. Standar mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992
Gambar  1.  Jenis-jenis  wafer    (A1)  flat  wafer  (coated),  (A2)  flat  wafer  (uncoated),  (B1)  stick  wafer  (uncoated),  (B2)  stick  wafer  (coated)
Gambar 2. Kurva pertambahan kadar air produk biskuit terkemas   (Robertson, 1993)
Gambar  4.  Grafik  kenaikan  kadar  air  menuju  ke  kadar  air  kesetimbangan  selama penyimpanan pada berbagai kondisi RH
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar lemak, asam lemak bebas, bilangan peroksida, nilai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar lemak, asam lemak bebas, bilangan peroksida, nilai

Kajian Metode penentuan umur simpan produk flat wafer dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan model kadar air kritis.. Skripsi Fakultas

Berdasarkan pendekatan kadar air kritis, maka diketahui bahwa umur simpan produk biskuit yang dikemas dengan menggu- nakan metallized plastic dan disimpan pada

linear yang diperoleh dari kurva nilai kadar air dengan skor hedonik Gambar 2 digunakan untuk penentuan Kadar air kritis diperoleh dengan 2 ke dalam

Jenis kemasan dan lama penyimpanan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P&lt;0,01) terhadap kadar air, kadar lemak, asam lemak bebas, bilangan peroksida, nilai

Jenis kemasan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P&lt;0,01) terhadap kadar air, asam lemak bebas, nilai organoleptik aroma, dan nilai organoleptik