commit to user
116 BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka penulis memberi simpulan sebagai berikut:
1. Ratio decidendi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam mengadili tindak pidana penyelundupan narkotika oleh terpidana Fredi Budiman dalam Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR dapat dilihat pada konsideran “Menimbang” pada “Pokok Perkara” yang merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada yaitu dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan
ratio dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta material dan putusan
yang didasarkan pada fakta itu. Ditemukan 3 (tiga) ratio decidendi dalam
Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR tersebut, yaitu:
a. Ratio decidendi dalam pertimbangan tentang dakwaan Primair bahwa Terpidana Fredi Budiman melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memuat 3 (tiga) unsur. Berdasarkan pemaparan 3 (unsur)
didapatkan ratio decidendi dalam unsur kedua dan ketiga yang
merupakan penjabaran dari pasal dalam dakwaan Primair Jaksa Penuntut Umum, yaitu:
1) Unsur kedua, diperoleh 3 (tiga) unsur perbuatan dari Pasal 114 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang terbukti yaitu “membeli, menjual dan menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya 5 gram atau lebih”.
2) Unsur ketiga, penekanan pada “unsur permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana”, sebagaimana Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu tindak tanpa hak dan melawan hukum membeli, menjual dan menjadi perantara
commit to user
dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya 5 gram atau lebih.
Unsur kedua dan ketiga dalam dakwaan Primair Jaksa Penuntut Umum tersebut sepenuhnya dapat dibuktikan oleh Majelis Hakim yang disesuaikan dengan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan.
b. Ratio decidendi dalam pertimbangan tentang penjatuhan pidana
tambahan berupa 7 (tujuh) pencabutan hak-hak tertentu kepada terpidana Fredi Budiman yang merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP dengan menambahkan pencabutan hak-hak tetentu berupa “pencabutan hak-hak Terdakwa untuk mempergunakan alat komunikasi segera setelah putusan ini diucapkan (serta merta)” adalah tidak tepat, hal tersebut didasarkan atas:
1) Telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa (sekarang
terpidana) Fredi Budiman terhadap Pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yaitu “Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dilarang membawa pesawat televisi dan radio atau media elektronik yang lain ke dalam Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) untuk kepentingan pribadi”, yang merupakan salah satu dari
akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan dari penjatuhan pidana penjara dalam perkara lain yang sedang dijalani oleh terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara Cipinang.
2) Barang bukti dalam tindak pidana penyelundupan narkotika oleh
terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman seharusnya tidak hanya dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk
commit to user
dipergunakan dalam perkara lain namun harus dirampas untuk negara, hal tersebut berdasarkan pada Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Perampasan untuk negara tersebut berlaku juga terhadap alat komunikasi yang berupa 7 (tujuh) unit handphone merupakan barang bukti atau
corpora delicti atau instrument delicti yaitu alat yang dipergunakan Fredi Budiman untuk melakukan tindak pidana penyelundupan narkotika, hal tersebut mengisyaratkan bahwa alat komunikasi yang berupa 7 (tujuh) unit handphone bukanlah hak yang harus dicabut
seperti halnya ratio decidendi yaitu, “Pencabutan hak-hak Terdakwa
untuk mempergunakan alat komunikasi segera setelah putusan ini diucapkan (serta merta)”.
3) Majelis hakim seharusnya perlu memunculkan ratio decidendi pada
konsideran menimbang dalam putusan yang memuat bahwa telah adanya pembiaran kepemilikan dan penggunaan alat komunikasi oleh terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yang juga berstatus sebagai Narapidana oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan
di Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Ratio
decidendi tersebut diperlukan guna memberantasan tindak pidana peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika atau prekursor narkotika di dalam Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan. c. Ratio decidendi dalam pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan
dan yang meringankan yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. Dari ke 5 (lima) hal-hal yang memberatkan, terdapat pertimbangan hal yang memberatkan terpidana Fredi Budiman yakni “Bahwa Terdakwa merupakan bagian dari jaringan Narkotika internasional yang berada di Indonesia”. Terhadap hal yang memberatkan hukuman tersebut dapat dikaji bahwa telah terjadi tindak pidana
transnasional terorganisasi (transnational organized crime) yang
commit to user
2. Pelandasan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika
1961 dan Konvensi Wina 1988 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam kasus Fredi Budiman (Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR) yang merupakan tindak pidana transnasional yang terorganisasi belum optimal. Hal tersebut didasarkan pada aturan hukum yaitu Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan implementing
legislation dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988, yang digunakan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam mengadili Fredi Budiman dengan Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR, yaitu:
a. Pelandasan prinsip yang diatur dalam Konvensi Wina 1988 oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam kasus Fredi Budiman (Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR), yang merupakan tindak pidana transnasional yang terorganisasi berupa penerapan secara teknis perluasan yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap ancaman dan bahaya
kejahatan narkotika. Prinsip teritorial yang objektif (objective territorial
principle) dijabarkan dalam 2 (dua) ketentuan dalam Konvensi Wina 1988 yaitu:
1) Pasal 4 ayat 1 huruf (b) (iii) penjabaran tindak pidana yang bersifat
transnasional, yaitu memperluas yurisdiksi kriminal negara terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan di China oleh Wang Chang Shui (Warga Negara Hongkong) (DPO), yang melalui 3 (tiga tahap) yakni peencanaan, persiapan, dan permulaan tindak pidana. Selanjutnya tindak pidana narkotika tersebut diselesaikan di dalam teritorial Indonesia, atau mengakibatkan kerugian-kerugian sosial dan ekonomis yang sangat besar di dalam teritorial Indonesia. Penyelesaian di dalam teritorial Indonesia dilakukan oleh Fredi Budiman besama dengan 8 (delapan) orang lainnya, dan hal tesebut sesuai dengan Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR dengan terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yang menjatuhkan Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
commit to user
2009 tentang Narkotika dengan dapat dibuktikan tiga unsur dari pasal tersebut yaitu “membeli, menjual, dan menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya 5 gram atau lebih”.
2) Pasal 3 ayat 1 huruf (c) (iv) penjabaran tindak pidana yang
terorganisasi dari tindak pidana narkotika, yaitu menententukan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana sekalipun dilakukan di luar batas teritorial suatu negara, termasuk di dalamnya permufakatan jahat. Sementara tindak pidana penyelundupan narkotika yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam Kasus Fredi Budiman dalam Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR, yang telah memutuskan bahwa terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman telah melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terhadap pengenaan pelanggaran ketentuan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
memuat rumusan tentang permufakatan jahat. Pengertian
permufakatan jahat ditegaskan dalam Pasal 1 huruf 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketentuan terkait permufakatan jahat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara yang eksplisit menetapkan rumusan yang luas tentang permufakatan jahat dan ditujukan ditujukan terhadap dua orang atau lebih atau perbuatan yang didukung oleh suatu organisasi kejahatan, belum dapat menjawab masalah perluasan yurisdiksi terhadap tindak pidana transnasional yang dilakukan di luar batas teritorial sehingga hal tersebut merupakan kendala terhadap tindak pidana transnasional yang terorganisasi.
b. Penerapan 2 (dua) ketentuan yang memuat prinsip teritorial yang objektif
tersebut berlaku terhadap ketentuan tindak pidana narkotika dalam Konvensi Tunggal Narkotija 1961 yang memuat prinsip konstitusional (constitutional principle) dalam penerapan ketentuan pidananya. Prinsip
commit to user
konsititusional tersebut telah diterapkan dalam Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR dengan terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yang menjatuhkan Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan dapat dibuktikan 3 (tiga) unsur dari pasal tersebut yaitu “membeli, menjual, dan menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya 5 gram atau lebih” merupakan hasil dari pelembagaan hukum pidana yang disebut oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
B. Saran
1. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara hendaknya
jangan cepat-cepat menilai hanya dari salah sisi, dalam artian hakim seharusnya menilai dari sisi hal-hal yang mendasari terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pertimbangan yang merupakan roh dari seluruh materi isi
suatu putusan didasarkan pada ratio decidendi yang tepat.
2. Hakim di Indonesia hanya mengunakan implementing legislation dari
perjanjian internasional di pengadilan, namun bukan berarti semua persoalan hukum mampu dijawab oleh aturan hukum yang terdapat dalam
undang-undang hasil implementing legislation dari perjanjian internasional tersebut,
akan tetapi ada persoalan hukum yang harus ditemukan jawabannya melalui prinsip hukum yang terdapat dalam perjanjian internasional, sehingga untuk menjawab persoalan hukum tersebut perjanjian internasional dapat digunakan oleh hakim sebagai alat bantu untuk melakukan interprestasi hukum terhadap pasal-pasal dalam undang-undang yang tidak ataupun belum linier dengan perjanjian internasional tersebut, maka diharapkan hakim-hakim di Indonesia mau menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai alat bantu mengnterprestasikan hukum dalam menjawab persoalan hukum terutama untuk kasus-kasus tindak pidana transnasional.
commit to user
3. Pembiaran pelanggaran yang terjadi didalam Rumah Tahanan atau Lembaga
Pemasyarakatan narkotika pada khususnya berupa kepemilikian dan penggunaan alat komunikasi untuk pribadi maupun untuk melakukan tindak pidana oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan perlu adanya tindakan tegas dalam rangka memberantasan tindak pidana peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika atau prekursor narkotika di dalam Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan.