• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN PANGAN. Development Opportunity of Food Forest Estates

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELUANG PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN PANGAN. Development Opportunity of Food Forest Estates"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN PANGAN

Development Opportunity of Food Forest Estates

Triyono Puspitojati dan Rachman Effendi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No.5, PO Box 272, Bogor 16118

E-mail: tp_jati@yahoo.co.id ABSTRACT

Indonesia still partially depends on import of food, while around 10.8 millions people living around forest are poor and suffering from food insecurity. As the executive of food security policy, Ministry of Forestry is expected to support food security. Hence, a concept of food forest estate was formulated. The objective of the study was to analyze the opportunity to develop food forest estates: fruits, fatty oils, starch, and agroforestry. A category of products (subsistence, semi-commercial or commercial) was used as a parameter of the development opportunity. The results were as follows: First, opportunity to develop the fruit forest estate and the agroforestry forest estate were high. Some of fruit plants and crops were profitable to be developed for commercial purposes. Second, opportunity to develop fatty oil forest estate and starchy forest estate are moderate. Some fatty oil plants and starchy plants were profitable to be developed for semi-commercial purposes. Hence, food forest estates were recommended to be developed to increase food security and social welfare.

Key words: development opportunity, forest estate, food security ABSTRAK

Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan, sementara 10,8 juta masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah miskin atau kekurangan pangan. Sebagai pelaksana kebijakan ketahanan pangan, Kementerian Kehutanan diharapkan berkontribusi dalam mendukung ketahanan pangan. Oleh karena itu, konsep hutan tanaman pangan dirumuskan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji peluang pengembangan hutan tanaman pangan: buah-buahan, minyak lemak, pati-patian, dan agroforestri. Kategori produk (subsisten, semikomersial, atau komersial) digunakan sebagai parameter untuk mengukur peluang pengembangan. Hasilnya adalah sebagai berikut: pertama, peluang pengembangan hutan tanaman buah-buahan dan hutan tanaman agroforestri adalah tinggi. Sebagian tanaman buah-buahan dan tanaman agroforestri menguntungkan diusahakan untuk tujuan komersial. Kedua, peluang pengembangan hutan tanaman minyak lemak dan hutan tanaman pati-patian adalah sedang. Sebagian tanaman minyak dan tanaman pati-patian menguntungkan diusahakan untuk tujuan semikomersial. Oleh karena itu, pengembangan hutan tanaman pangan direkomendasikan dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci: peluang pengembangan, pangan, hutan tanaman, ketahanan pangan

PENDAHULUAN

Pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia diamanatkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan. Undang-Undang tersebut mewajibkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pemerintah RI, 2012).

Saat ini, Indonesia masih menggantungkan sebagian kebutuhan pangan pada impor. Pada tahun 2008–2012, impor komoditas: tanaman pangan (padi, jagung, gandum, kedelai, dll), hortikultura (buah-buahan dan sayuran), dan peternakan (susu, telur, daging, ternak bakalan) rata-rata 13,43 ton per tahun senilai US$ 8,13 miliar per tahun. Rataan defisit perdagangan pangan adalah 12,11 ton per tahun senilai US$ 6,72 miliar per tahun karena ekpor pangan tersebut hanya 1,32 ton per tahun senilai 1,41 miliar per tahun. Pada tahun 2012, defisit perdagangan pangan tersebut mencapai 16,49 juta ton senilai US$ 9,31 miliar, atau lebih tinggi daripada rataan defisit tahun 2008–2012

(2)

(Kementerian Pertanian, 2013). Kebergantungan pangan pada impor perlu diatasi. Hal ini menjadi tanggung jawab berbagai pihak, termasuk Kementerian Kehutanan (Pemerintah RI, 2002).

Sebagai pelaksana kebijakan ketahanan pangan, Kementerian Kehutanan diharapkan berkontribusi dalam penyediaan pangan (Pemerintah RI, 2002). Sebagai anggota Dewan Ketahanan Pangan, Menteri Kehutanan diharapkan ikut merumuskan kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan (Presiden RI, 2006). Hal ini penting mengingat 48,8 juta penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar hutan, yang mana 10,8 juta di antaranya adalah miskin, atau dalam kondisi kekurangan pangan (Kementerian Kehutanan, 2009).

Terkait dengan hal tersebut, kebijakan kehutanan dikaji, yang ternyata mendukung kebijakan ketahanan pangan. Hutan dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pangan (Kementerian Kehutanan, 2009). Lebih jauh, berdasar pada kebijakan kehutanan, disusun konsep hutan tanaman pangan, yang dapat digunakan sebagai landasan pengembangan hutan tanaman pangan (Puspitojati, 2013).

Dalam Permenhut P.35/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), HHBK pangan dipilah dalam 3 kelompok: buah-buahan, minyak lemak dan pati-patian (Kementerian Kehutanan, 2007a). Berdasarkan hal tersebut, pengembangan pangan di hutan dapat dilakukan dengan membangun hutan tanaman buah-buahan, hutan tanaman minyak lemak, dan hutan tanaman pati-patian. Lebih lanjut, beragam jenis tanaman pertanian (tidak termasuk sebagai tanaman HHBK) telah lama dibudidayakan di hutan. Hutan tanaman ini dikenal sebagai hutan tanaman agroforestri (Puspitojati, 2011a).

Saat ini kontribusi kehutanan dalam mendukung ketahanan pangan tidak nyata karena budi daya tanaman pangan di hutan diusahakan bukan untuk tujuan komersial, dan pangan yang diperoleh dari hutan tidak dicatat sebagai hasil hutan (Kementerian Kehutanan, 2009; Puspitojati, 2011b, 2013). Jika budi daya tanaman pangan dapat diusahakan untuk tujuan komersial dan pangan yang diperoleh dari hutan dicatat sebagai hasil hutan maka budi daya tanaman pangan di hutan akan berkembang dan kontribusi kehutanan dalam mendukung ketahanan pangan akan nyata. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peluang pengembangan hutan tanaman buah-buahan, hutan tanaman minyak lemak, hutan tanaman pati-patian, dan hutan tanaman agroforestri.

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Budi daya tanaman pangan di hutan terkendala oleh pembagian yang tegas antara tanaman hutan/HHBK dan tanaman pertanian/hasil pertanian. Tanaman hutan, selain kayu, adalah tanaman yang tumbuh alami dan HHBK adalah hasil pemungutan, sedangkan tanaman pertanian adalah tanaman budi daya dan hasil pertanian adalah hasil pemanenan tanaman budi daya (Nair, 1993; Vantomme, 2007). Hal ini menempatkan budi daya hutan sebagai bagian hulu dari budi daya pertanian dan menutup kesempatan membudidayakan tanaman pangan di hutan untuk tujuan komersial (Puspitojati, 2011b).

Tanaman pangan seharusnya dapat dibudidayakan di hutan, baik untuk tujuan subsisten, semi-komersial maupun untuk tujuan semi-komersial, dan pangan yang diperoleh dari hutan seharusnya dicatat sebagai hasil hutan karena: (1) pembagian yang tegas antara hasil hutan dan hasil pertanian tidak berdasar pada pertimbangan ilmiah (Foresta dan Michon, 2000), (2) hutan dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pangan (Kementerian Kehutanan, 2009), (3) realitas hutan sebagai penghasil pangan telah berlangsung sejak awal peradaban dan terus berlanjut hingga saat ini (Puspitojati et al., 2014a), (4) budi daya tanaman pangan di hutan tidak merubah fungsi hutan sebagai penghasil jasa lingkungan (Puspitojati, 2011b), dan (5) tersedia konsep hutan tanaman pangan (Puspitojati et al., 2014a).

Secara formal, konsep hutan tanaman pangan belum menjadi kebijakan kehutanan. Dalam makalah ini, konsep hutan tanaman pangan diasumsikan merupakan kebijakan kehutanan, yang dapat diimplementasikan di lapangan. Konsep tersebut menjelaskan bahwa: (1) hutan tanaman pangan adalah hutan yang ditumbuhi pepohonan penghasil pangan dengan penutupan tajuk lebih dari

(3)

40%, atau hutan yang ditumbuhi pepohonan dengan penutupan tajuk lebih dari 40% dan tanaman pangan; (2) tinggi pohon pada saat dewasa lebih dari 5 m, (3) luas lahan lebih dari 0,25 ha; (4) hutan tanaman pangan dapat diusahakan untuk tujuan subsisten, semikomersial atau komersial; (5) semua produk hutan tanaman pangan dikategorikan sebagai hasil hutan, atau disebut sebagai pangan dari hutan; dan (6) hutan tanaman pangan terdiri dari hutan tanaman buah-buahan, hutan tanaman minyak lemak, hutan tanaman pati-patian dan hutan tanaman agroforestri (Puspitojati et al., 2014a).

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka pada tahun 2013 dan 2014. Data yang dikumpulkan adalah (a) informasi terkait dengan tanaman pangan yang menjadi kewenangan kehutanan untuk mengembangkannya dan tanaman pangan yang sejak lama telah dibudidayakan di hutan, (b) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kehutanan terkait dengan pangan, (c) konsep hutan tanaman pangan, dan (d) data lain terkait.

Analisis Data

Peluang pengembangan hutan tanaman pangan dianalisis dengan menggunakan parameter kategori produk (subsisten, semikomersial, komersial), sebagai berikut (Nair, 1993; Vantomme, 2007):  Produk subsisten adalah produk yang umumnya dikumpulkan dari hutan, lahan bertumbuhan tanaman berkayu lainnya (other wooded lands), dan pohon asli (belum dimuliakan) yang tumbuh di luar hutan (trees outside forests), menggunakan peralatan sederhana. Produk subsisten dikonsumsi sendiri oleh pemungut atau dijual di pasar lokal tanpa atau dengan pengolahan sederhana.

 Produk semikomersial adalah produk yang dijual pada pasar yang sedang berkembang. Sebagian besar produk diperoleh dari pohon yang tumbuh alami dan sebagian kecil dari kegiatan budi daya, menggunakan peralatan sederhana. Telah ada investasi untuk mendukung kegiatan produksi (pengumpulan, budi daya), pengolahan, dan pemasaran.

 Produk komersial adalah produk yang dijual pada pasar yang telah berkembang. Sebagian besar produk diperoleh dari kegiatan budi daya dan sebagian kecil diperoleh dari kegiatan pemungutan. Investasi dalam jumlah besar telah dilakukan untuk mendukung kegiatan budi daya, pengolahan dan pemasaran.

Analisis dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, menganalisis peluang pengembangan setiap jenis tanaman pangan. Tanaman pangan dinilai memiliki peluang pengembangan tinggi jika produknya termasuk dalam kategori komersial; memiliki peluang pengembangan sedang jika produknya termasuk dalam kategori semikomersial; dan termasuk dalam kategori rendah jika termasuk dalam kategori subsisten. Dalam beberapa kasus, parameter lain juga digunakan untuk menentukan peluang pengembangan tanaman pangan.

Tahap kedua, menganalisis peluang pengembangan setiap kelompok hutan tanaman pangan sebagai berikut: (a) satu kelompok hutan tanaman pangan dinilai memiliki peluang pengembangan tinggi jika beberapa jenis tanaman pangan dalam kelompok tersebut dapat diusahakan untuk tujuan komersial, (b) satu kelompok hutan tanaman pangan mempunyai peluang pengembangan sedang jika beberapa jenis tanaman pangan dapat diusahakan untuk tujuan semikomersial, dan (c) satu kelompok hutan tanaman pangan mempunyai peluang pengembangan yang rendah jika tidak ada jenis tanaman pangan yang dapat diusahakan untuk tujuan semikomersial atau komersial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebagian areal hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman HHBK dialokasikan untuk tanaman HHBK pangan dan HHBK nonpangan (Kementerian Kehutanan, 1995, 2007b, 2008a, 2008b; Puspitojati, 2013). Hutan tanaman

(4)

buah-buahan, hutan tanaman minyak lemak, hutan tanaman pati-patian dan hutan tanaman agroforestri dapat dikembangkan di areal hutan tanaman tersebut.

Hutan Tanaman Buah-Buahan

Buah-buahan adalah pangan yang mengandung vitamin, mineral, dan bahan lain yang bermanfaat bagi kesehatan. Sebagai contoh, buah rambutan bermanfaat untuk mengatasi gangguan diare dan obat penyakit jantung, sedangkan buah sawo mempunyai khasiat sebagai obat batuk dan melancarkan saluran pencernaan (Sunarjono, 2008). Indonesia memiliki beragam jenis buah-buahan, 36 jenis di antaranya menjadi kewenangan kehutanan untuk mengembangkannya (Kementerian Kehutanan, 2007a).

Hasil analisis peluang pengembangan hutan tanaman buah-buahan adalah sebagai mana disajikan Tabel 1. Pertama, lima belas jenis tanaman buah-buahan mempunyai peluang yang rendah untuk dikembangkan melalui hutan tanaman monokultur karena produk mereka dalam kategori subsisten. Lebih jelasnya, buah-buahan tersebut umumnya dipungut dari alam (hutan alam, lahan bertumbuhan tanaman berkayu lainnya dan pohon asli yang tumbuh di luar hutan) dan umumnya dikonsumsi sendiri oleh pemungut (Heyne, 1987).

Tabel 1. Peluang pengembangan 36 jenis tanaman buah-buahan melalui hutan tanaman, 2014

Jenis tanaman Produk Sumber

produk

Tingkat

investasi ** Perkembangan pasar

Kategori produk

Peluang pengembangan

1. Aren Buah Alam Terbatas Sedang berkembang Semikom. Rendah

2. Asam Jawa Buah Alam Moderate Sedang berkembang Semikom. Sedang

3. Kepel Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

4. Cempedak Buah Alam Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

5. Duku Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

6. Durian Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

7. Juwet Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

8. Gandaria Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

9. Jengkol Buah Alam Terbatas Lokal Semikom. Sedang

10.Kecapi Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

11.Kesturi Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

12.Kemiri Buah Budi daya Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

13.Kesemek Buah Budi daya Sedang Lokal Semikom. Rendah

14.Kasturi Buah Alam Terbatas Lokal Subsiten Rendah

15.Kluwek Buah Alam Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

16.Kluwih Buah Alam Terbatas Lokal Semikom. Rendah

17.Kupa Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

18.Lengkeng Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

19.Makadamia Buah Alam Terbatas Sedang berkembang Semikom. Sedang

20.Mangga Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

21.Manggis Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

22.Matoa Buah Alam Sedang Lokal Semikom. Sedang

23. Melinjo Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

24.Mengkudu Buah Budi daya Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

25.Menteng Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

26.Nangka Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

27.Pala Buah Budi daya Tinggi Sedang berkembang Semikom. Sedang

28.Pala hutan Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

29.Petai Buah Alam Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

30.Rambutan Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

31.Saga pohon Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

32.Sawo Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

33.Sawo duren Buah Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

34.Sirsak Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

35.Srikaya Buah Budi daya Tinggi Telah berkembang Komersial Tinggi

36.Sukun Buah Budi daya Sedang Lokal Semikom. Sedang

Sumber: Heyne (1987), Dirjen Perkebunan (2006a; 2006b), Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2006), Pitojo dan Hesti (2007), Puspitojati et al. (2013), Setianingsih (1995), Soedarya (2009), Sunanto (1993), Sunaryono (2009),

(5)

Sebenarnya, dua dari lima belas jenis buah-buahan tersebut, yaitu kolang kaling dan kesemek adalah produk semikomersial. Akan tetapi, kolang kaling adalah produk ikutan (produk utama adalah nira, bahan baku gula aren) sehingga pengembangan tanaman aren dengan fokus produksi kolang kaling adalah tidak menguntungkan (Sunanto, 1993). Peluang pengembangan pohon kesemek juga rendah karena permintaan buah kesemek rendah dan terus menurun. Beberapa dasawarsa yang lalu, pohon kesemek dibudidayakan di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur untuk tujuan komersial. Selain dipasarkan di dalam negeri, buah kesemek juga diekspor ke Singapura. Saat ini, pohon kesemek tidak lagi dibudidayakan dan buah kesemek sulit diperoleh di pasar (Pitojo dan Hesti, 2007).

Kedua, sepuluh jenis tanaman buah-buahan mempunyai peluang sedang untuk dikembangkan melalui hutan tanaman monokultur karena produk mereka dalam kategori semikomersial. Lebih jelasnya, sebagian besar buah-buahan tersebut dipungut dari alam (hutan alam, lahan bertumbuhan tanaman berkayu lain, pohon asli yang tumbuh di luar hutan) dan sebagian kecil dipanen dari tanaman budi daya. Sebagian buah-buahan tersebut dikonsumsi sendiri oleh pemungut dan sebagian lainnya dijual di pasar setempat. Lebih lanjut, telah ada investasi untuk mendukung kegiatan produksi (pemungutan, budi daya), pengolahan dan pemasaran (Sunarjono, 2008; Dirjen Perkebunan, 2006a; 2006b; Heyne, 1987; Puspitojati et al., 2013).

Sebenarnya, pohon asam, cempedak, jengkol, kemiri, kluwak, matoa, mengkudu, pala, petai, dan sukun, sampai tingkat tertentu telah dibudidayakan untuk tujuan semikomersial. Lebih lanjut, pohon makadamia telah dibudidayakan di berbagai negara, seperti Hawai, Australia, Selandia Baru dan Amerika Selatan untuk tujuan komersial. Di Indonesia, sejumlah pohon makadamia telah dibudidayakan untuk tujuan subsisten, sedangkan di Bondowoso (perkebunan kopi), makadamia ditanam sebagai penaung kopi. Karena menghasilkan biji yang bernilai ekonomi tinggi, pohon makadamia dipelihara dan hasilnya dijual untuk meningkatkan keuntungan perusahaan.

Ketiga, sebelas jenis tanaman buah-buahan mempunyai peluang yang tinggi untuk dikembangkan melalui hutan tanaman monokultur karena produknya dalam kategori komersial. Lebih jelasnya, tanaman buah-buahan tersebut telah dibudidayakan di daerah-daerah sentra produksi dan produknya (buah-buahan) dijual di pasar yang telah berkembang (pasar swalayan, ekspor). Sentra produksi manggis, sebagai contoh adalah Jawa Barat (Tasikmalaya, Ciamis, Purwakarta dan Subang), Jawa Tengah (Kebumen), DIY (Kulonprogo), Jawa Timur (Malang), Bali (Bangli, Tabanan), NTB (Lombok) dan Maluku Tengah. Sebagian buah manggis dijual di dalam negeri dan sebagian lainnya diekspor ke Hongkong, Korea, Jepang dan Taiwan (Sunarjono, 2008; Soedarya, 2009; Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2006).

Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa peluang pengembangan hutan tanaman buah-buahan adalah tinggi. Tanaman buah-buahan menguntungkan diusahakan dalam skala kecil sampai luas.

Hutan Tanaman Minyak Lemak

Minyak lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam air, berasal dari hewan dan tanaman yang mengandung senyawa ester asam lemak dan gliserol atau trigliserida. Contoh minyak lemak hewan adalah lemak sapi, lemak susu, dan minyak ikan, sedangkan contoh minyak lemak nabati adalah minyak kemiri, minyak buah merah, dan minyak wijen (Herlina dan Ginting, 2002; Puspitojati et al.,

2013).

Minyak lemak mempunyai banyak manfaat, antara lain: (a) menambah rasa gurih dan aroma pada makanan, (b) sumber energi yang efektif (9 kalori/ml), (c) sumber gizi esensial: asam oleat, asam linoleat, omega 3, EPA, dan DHA, (d) sumber vitamin A, B, D, E, dan K, (e) sebagai minyak goreng, (f) memberi rasa empuk dan halus pada roti, (g) memberi tekstur lembut pada es krim, dan (h) sebagai bahan baku industri: obat-obatan, sabun, cat, vernis, kosmetik, pelumas, dan biodiesel (Herlina dan Ginting, 2002).

Kementerian Kehutanan mempunyai kewenangan mengembangkan 13 jenis tanaman minyak lemak penghasil bahan makanan (Tabel 2). Hasil analisis menunjukkan bahwa, pertama, peluang

(6)

delapan jenis tanaman minyak lemak untuk dikembangkan melalui hutan tanaman monokultur adalah rendah karena buahnya termasuk dalam kategori subsisten (Heyne, 1987; Puspitojati et al, 2013).

Lebih jelasnya, buah ketiau, seminai, dan suntai dikumpulkan hanya dari hutan alam. Lebih jauh, buah kelor, kenari, ketapang dan saga pohon dikumpulkan dari alam (hutan alam dan lahan bertumbuhan tanaman berkayu lain) dan pohon yang dibudidayakan untuk tujuan nonkomersial, seperti dibudidayakan sebagai tanaman pelindung, tanaman rehabilitasi lahan dan tanaman pagar. Akhirnya, wijen adalah tanaman semusim yang telah dimuliakan dan dibudidayakan di lahan pertanian untuk tujuan komersial. Sebagai tanaman semusim yang suka cahaya, wijen tidak mungkin dikembangkan melalui hutan tanaman monokultur.

Tabel 2. Peluang pengembangan tiga belas tanaman pangan minyak lemak, 2014

Jenis tanaman Produk Sumber

produk

Tingkat

investasi Perkembangan pasar

Kategori produk

Peluang pengembangan

1. Buah merah Buah, m.

lemak

Alam Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

2. Kelor Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Lokal Semikom. Rendah

3. Kemiri Buah, m.

lemak

Budi daya Srdang Lokal Semikom. Sedang

4. Kenari Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

5. Ketapang Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

6. Ketiau Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

7. Wijen Buah, m.

lemak

Budi daya Sedang Sedang berkembang Komersial. Rendah

8. Makadamia Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Lokal Semikom. Sedang

9. Kluwek Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Sedang berkembang Semikom, Sedang

10.Pohon saga Buah, m.

lemak

Alam Sedang Lokal Subsisten Rendah

11.Seminai Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

12. Suntai Buah, m.

lemak

Alam Terbatas Lokal Subsisten Rendah

13. Tengkawang Buah, m.

lemak

Alam Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2006b), Heyne (1987), Puspitojati et al. (2013)

Kedua, lima jenis tanaman minyak lemak penghasil pangan mempunyai peluang sedang untuk dikembangkan melalui hutan tanaman. Secara umum, sebagian besar produknya (buah-buahan) diperoleh dari alam dan sebagian kecil diperoleh dari kegiatan pemanenan (Heyne, 1987; Puspitojati

et al., 2013; Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006b). Lebih jelasnya, kluwek diperoleh dari kegiatan pemanenan tanaman yang dibudi dayakan bukan untuk tujuan komersial. Buah kluwek untuk bumbu masak dijual di pasar lokal dan pasar swalayan. Sementara itu, minyaknya yang mengandung asam sianida tinggi digunakan untuk industri nonmakanan.

Pohon makadamia telah dibudidayakan di Hawai, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan untuk tujuan komersial. Buah/bijinya dan minyak lemaknya bernilai ekonomi tinggi, mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi dan beragam jenis vitamin yang bermanfaat bagi kesehatan. Di Indonesia, budi daya tanaman makadamia baru pada tahap awal dan produksi biji makadamia masih terbatas. Kegiatan riset sedang berlangsung untuk mendapatkan varietas unggul.

Buah merah tumbuh alami di Papua. Buahnya merupakan makanan sehari-hari masyarakat Papua. Buah merah menjadi populer karena buah merah mengandung antioksida dan zat lain yang berguna bagi kesehatan. Buah merah dipercaya bahwa buah merah dan minyaknya mampu menyembuhkan kanker, HIV, diabetes, dan lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, tanaman buah merah mulai dibudidayakan di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera.

(7)

Pohon kemiri tumbuh alami di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku, NTT, dan Papua, dan juga dibudidayakan di daerah tersebut secara tidak intensif. Biji kemiri digunakan terutama untuk bumbu masak, sedangkan minyaknya digunakan untuk beragam industri nonmakanan, seperti bioenergi, pengawet kayu, cat, sabun, dan kosmetik. Dalam beberapa tahun terakhir muncul ide untuk membudidayakan pohon kemiri untuk bioenergi.

Akhirnya, tengkawang adalah kelompok pohon penghasil buah bernilai ekonomi tinggi yang tumbuh alami di Kalimantan dan sebagian daerah di Sumatera. Buah tengkawang umumnya diperoleh dari hutan alam. Sebagian buah tengkawang dikonsumsi sendiri oleh pemungut, sebagian dijual di pasar setempat, dan sebagian lainnya diekspor. Secara tradisional, minyak tengkawang digunakan untuk memasak, bumbu masakan, dan obat. Di industri, minyak tengkawang digunakan sebagai bahan substitusi lemak cokelat dan sebagai bahan baku obat-obatan, mentega, dan kosmetik. Pohon tengkawang telah dibudi dayakan oleh masyarakat pedesaan, menggunakan teknologi sederhana.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa peluang pengembangan hutan tanaman minyak lemak adalah sedang. Tanaman minyak lemak menguntungkan diusahakan dalam skala kecil.

Hutan Tanaman Pati-Patian

Ada sembilan jenis tanaman pati-patian yang menjadi kewenangan kehutanan untuk mengembangkannya (Kementerian Kehutanan, 2007a). Hasil analisis peluang pengembangan hutan tanaman pati-patian adalah sebagai berikut (Tabel 3). Pertama, peluang enam jenis tanaman pati-patian dikembangkan melalui hutan tanaman adalah rendah karena produknya dalam kategori subsisten. Secara garis besar, pati-patian dari tanaman tersebut diperoleh dari alam (hutan, lahan bertumbuhan tanaman berkayu lain, pohon di luar hutan) dan dikonsumsi sendiri oleh pemungut atau dijual di pasar lokal tanpa atau dengan pengolahan sederhana (Heyne, 1987).

Tabel 3. Peluang pengembangan 9 jenis tanaman pati-patian, 2014

Jenis tanaman Produk Sumber

produk

Tingkat

investasi Perkembangan Pasar

Kategori Produk

Peluang pengem-bangan

1. Aren Gula, tepung Alam Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

2. Bambu Rebung Alam Rendah Lokal Semikom. Rendah

3. Gadung Umbi, tepung Alam Rendah Lokal Subsisten Rendah

4. Porang Umbi, tepung Budi daya Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

5. Jamur Jamur Alam Rendah Lokal Subsisten Rendah

6. Nipah Tepung Alam Rendah Lokal Subsisten Rendah

7. Sagu Tepung Alam Sedang Sedang berkembang Semikom. Sedang

8. Suweg Umbi, tepung Alam Rendah Lokal Subsisten Rendah

9. Trubus Gula Alam Rendah Lokal Subsisten Rendah

Sumber: BPPT (2011), Heyne (1987), Iskan (2013), Nurbijanti (2009), Richana (2012), Sunanto (1993).

Lebih jelasnya, rebung sebenarnya adalah produk ikutan (produk utama adalah bambu) sehingga pengembangan hutan tanaman bambu dengan fokus untuk produksi rebung diperkirakan tidak menguntungkan. Jamur adalah hasil hutan ikutan, dan sebagai tanaman semusim, jamur tidak sesuai dikembangkan sebagai produk utama hutan tanaman. Lebih lanjut, gadung, nipah, dan suweg adalah produk subsisten. Mereka umumnya dikumpulkan dari alam pada saat musim paceklik. Sementara itu, terubus pernah menjadi produk komersial jauh di masa lalu. Sejak ditemukan tanaman (tebu) yang mengandung gula dalam kadar yang tinggi, terubus diabaikan.

Kedua, tiga jenis tanaman pati-patian mempunyai peluang sedang dikembangkan melalui hutan tanaman karena produknya termasuk dalam kategori semikomersial. Secara umum, sebagian besar produk masih dikumpulkan dari alam dan sebagian kecil diperoleh dari pemanenan tanaman budi daya, menggunakan input terbatas, yang produknya dikonsumsi sendiri atau dijual di pasar lokal. Lebih jauh, telah ada investasi untuk mendukung kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran.

(8)

Lebih jelasnya, aren adalah tanaman serba guna yang tumbuh alami di berbagai daerah. Semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan dan produk utamanya adalah nira, bahan baku gula aren. Kendala utama pengembangan aren untuk produksi nira adalah terbatasnya kayu bakar untuk memasak nira menjadi gula (Sunanto, 1993). Akan tetapi, di Sulawesi Utara, telah ada industri gula aren yang memasak nira menggunakan energi panas bumi (Nurbijanti, 2009).

Porang adalah tanaman toleran naungan yang tumbuh liar di pinggir sungai, pinggir hutan, dan tempat teduh lainnya. Baru-baru ini, hutan tanaman porang skala luas direncanakan dikembangkan di bawah tegakan hutan di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk tujuan komersial (Iskan, 2013). Tanaman porang menghasilkan umbi yang mengandung sejenis karbohidrat yang disebut manan. Tepung porang (mengandung manan) adalah bahan baku industri makanan dan nonmakanan. Di Jepang, tepung porang banyak digunakan sebagai salah satu bahan baku tahu (konyaku), mie (sharitaki) dan produk nonmakanan (Richana, 2012).

Sagu adalah tanaman yang tumbuh alami di Papua, Maluku, Mentawai, Kalimantan dan Riau, dan tepung sagu merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat di daerah tersebut. Tepung sagu dapat diolah untuk beragam produk makanan, seperti: papeda, mi, kerupuk dan produk nonmakanan (Anonim, 2000). Baru-baru ini, komersialisasi tepung sagu tampaknya meningkat. Hutan tanaman sagu seluas 20.000 ha sedang dikembangkan di Riau (BPPT, 2011).

Hutan tanaman agroforestri (tumpangsari)

Tanaman pangan telah dibudi dayakan di hutan sejak pertengahan abad 19. Tanaman pertanian semusim, seperti: padi, kacang dan jagung ditanam pada saat permudaan hutan. Dalam perkembangannya, tanaman pangan yang dibudi dayakan di hutan semakin beragam, tidak terbatas hanya pada tanaman semusim, namun juga pepohonan yang menghasilkan pangan, dan tanaman selain pohon yang tahan naungan. Tanaman pangan yang berupa pohon dibudidayakan secara monokultur, campuran, dan agroforestri, sedangkan tanaman pangan selain pohon hanya dapat dibudi dayakan melalui hutan tanaman agroforestri (Simon, 2006; Perum Perhutani KPH Bandung Selatan, 2011; Dwiprabowo et al., 2011; Rachmawati, 2008; Anonim, 2009; Puspitojatiet al., 2014).

Hutan tanaman agroforestri umumnya tersusun dari tanaman komersial yang berupa pohon dan tanaman selain pohon. Padi, jagung, kedelai, dan singkong dibudidayakan selama dua tahun pada saat permudaan hutan, sedangkan tanaman umbi-umbian dan tanaman perdu yang tahan naungan dibudidayakan di bawah tegakan hutan sepanjang daur pengusahaan hutan.

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin luas areal hutan yang dimanfaatkan untuk budi daya tanaman pangan. Uraian ringkas berikut membahas hutan tanaman agroforestri kedelai dan kopi, yang berperan nyata dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan produksi pangan.

1. Kedelai

Pada tahun 1992, Indonesia berhasil swasembada kedelai dengan produksi 1,87 juta ton dari lahan seluas 1,67 juta ha. Namun, pada tahun 2012 produksi kedelai merosot menjadi 779.000 ton dan lahan kedelai menyusut menjadi 566.000 ha. Saat ini, Indonesia sangat bergantung pada kedelai impor (Ozal, 2012).

Meskipun demikian, Pemerintah mencanangkan swasembada kedelai pada tahun 2014. Target produksi adalah 2,7 juta ton per tahun dan lahan baru yang dibutuhkan untuk mencapai target swasembada adalah 2 juta ha. Upaya konkret untuk mencapai swasembada antara lain dilakukan dengan membudidayakan tanaman kedelai di hutan. Lahan Perhutani yang diidentifikasi potensial untuk tanaman kedelai (dan tanaman pangan lain) adalah seluas 169.000 ha dan varietas kedelai yang dinilai sesuai untuk dibudi dayakan di hutan adalah Grobogan, Argomulyo, Kaba, dan Wilis. Lebih lanjut, Kementerian Pertanian berencana meluncurkan varietas kedelai tahan naungan pada tahun 2013 (Badan Litbang Pertanian, 2012).

Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ngawi, Puslitbang Tanaman Pangan (bersama petani hutan) menanam kedelai di bawah tegakan jati umur 3–4 tahun. Tinggi jati 4–7 m, jarak tanam 3 x 3

(9)

m, dan tingkat naungan 34–73%. Kisaran hasil kedelai yang diperoleh adalah 1,22–1,87 ton per ha. Dalam kesempatan panen kedelai tersebut, Menteri Pertanian menyerahkan 3 ton benih kedelai unggul kepada ketua kelompok petani hutan dari Ngawi, Blitar, dan Bojonegoro untuk dibudidayakan di hutan (Badan Litbang Pertanian, 2012). Pengembangan kedelai di hutan perlu didukung karena meningkatkan kesejahteraan petani dan berkontribusi dalam mewujudkan swasembada kedelai.

2. Kopi

Tanaman kopi mulai dibudidayakan di bawah tegakan hutan di Jawa Barat pada awal tahun 2000-an, dalam rangka mengatasi perambahan hutan. Petani yang merambah hutan bersedia mengembalikan hutan yang dirambah sepanjang mereka diizinkan melakukan kegiatan di hutan. Tanaman kopi dipilih karena tumbuh dengan baik di bawah tegakan hutan dan kopi adalah produk komersial. Tanaman kopi mulai menghasilkan sejak umur 3 tahun dan hasilnya dibagi: 80% untuk petani, 5% untuk desa, dan 15% untuk perusahaan. Hutan agroforestri kopi telah berhasil mengatasi perambahan hutan dan gangguan hutan lainnya, serta meningkatkan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, budi daya kopi di hutan terus dikembangkan. Pada tahun 2011, luas hutan agroforestri kopi di Jawa barat adalah sekitar 10.000 ha dan dapat diharapkan terus bertambah luas di masa mendatang (Puspitojati dan Idin, 2012; Perum Perhutani Unit III, 2011).

Uraian di atas menunjukkan bahwa hutan tanaman agroforestri mempunyai peluang yang tinggi untuk dikembangkan dalam skala kecil sampai luas.

Implikasi Kebijakan

Pengembangan hutan tanaman pangan seperti yang dibahas di atas menunjukkan bahwa: (a) hutan adalah sumber daya serba guna yang menghasilkan beragam produk, termasuk pangan dan (b) hutan adalah sumber daya serba guna yang menghasilkan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan. Manfaat ekonomi dan lingkungan yang tinggi dapat diupayakan dengan mengusahakan tanaman kayu-kayuan, sedangkan manfaat sosial dan ekonomi yang tinggi dapat diperoleh dengan mengusahakan tanaman pangan (Tabel 4).

Dalam hubungannya dengan pembangunan kehutanan, pengembangan pangan di hutan sebaiknya diarahkan pada tanaman pangan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dan mendukung keberhasilan pengelolaan hutan. Dalam hubungannya dengan ketahanan pangan, pengembangan pangan di hutan sebaiknya diarahkan pada tersedianya pangan untuk masyarakat luas. Mengingat hutan memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan pangan, maka perlu diluncurkan kebijakan yang menyelaraskan pengembangan pangan di hutan dan pengembangan pangan di lahan pertanian.

Tabel 4. Manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan hutan tanaman pangan dan hutan tanaman kayu

Hutan tanaman Manfaat

Sosial Ekonomi Lingkungan

A. Pangan

1. Monokultur Tinggi Tinggi Sedang-tinggi

2. Agroforestri

a. Sederhana Sedang-tinggi Sedang-tinggi Sedang-tinggi

b.Komplek Sedang-tinggi Sedang-tinggi Tinggi

B. Kayu

1. Pulp Terbatas Tinggi Tinggi

2. Pertukangan Terbatas Tinggi Tinggi

(10)

KESIMPULAN DAN SARAN

Beragam jenis tanaman pangan potensial dikembangkan di hutan melalui hutan tanaman buah-buahan, hutan tanaman minyak lemak, hutan tanaman pati-patian, dan hutan tanaman agroforestri. Peluang pengembangan hutan tanaman buah-buahan dan hutan tanaman agroforestri adalah tinggi karena beberapa jenis tanaman buah-buahan dan tanaman agroforestri menguntungkan diusahakan untuk tujuan komersial. Lebih lanjut, peluang pengembangan hutan tanaman minyak lemak dan hutan tanaman pati-patian adalah sedang karena beberapa jenis tanaman minyak dan tanaman pati-patian menguntungkan diusahakan untuk tujuan semikomersial.

Pengembangan hutan tanaman pangan perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan keberhasilan pengelolaan hutan dan mewujudkan ketahanan pangan. Saat ini, pengembangan pangan di hutan terkendala oleh pembagian yang kaku antara hasil hutan dan hasil pertanian, yang menempatkan pangan hanya sebagai hasil pertanian. Oleh karena itu, perlu diluncurkan kebijakan untuk mengatasi kendala tersebut dan sekaligus menyelaraskan pengembangan pangan di hutan dan pengembangan pangan di lahan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2012. Pengembangan Kedelai di Kawasan Hutan Jati: Upaya Konkrit Mendukung Swasembada Kedelai 2014. http://www.litbang.go.id. (15 Mei 2012).

BPPT. 2011. Seratus Ribu Bibit Sagu Exvitro BPPT Ditanam di Riau. http://www.bppt.go.id. (12 April 2012). Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006a. Pedoman Budi Daya Kemiri (Aleurites moluccana Wild). Departemen

Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006b. Pedoman Budi Daya Makademia (Macademia integrifolia) Departemen Pertanian. Jakarta.

Dwiprabowo, H., R. Effendi, I. Hakim, dan I. Bangsawan. 2011. Kontribusi kawasan hutan dalam menunjang ketahanan pangan: studi kasus Provinsi Jawa Barat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan (1): 47-61. Ediningtyas, D. 2007. Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dalam Melakukan Usaha Agroforestri: Studi

Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa barat dan Banten. Thesis (Tidak diterbitkan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Buku I, II dan III). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Iskan, D. 2013. Dahlan Minta perhutani cari lahan 1.200 ha. https://kickdahlan.wordpress.com. (8 Februari 2013). Kementerian Pertanian. 2013. Statistik Makro Pertanian. Buku Saku Vol. 4 No.2 Tahun 2012.

http://www.deptan.go.id. (10 Januari 2013).

Kementerian Kehutanan. 1995. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.70/Menhut-II/1995 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri.

Kementerian Kehutanan. 2007a. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

Kementerian Kehutanan. 2007b. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat.

Kementerian Kehutanan. 2008a. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Kementerian Kehutanan. 2008b. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA) atau Dalam Hutan Tanaman (IUPHHBK-HT).

Kementerian Kehutanan. 2009. Pangan dari hutan: kontribusi sektor kehutanan dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia, 12 Oktober 2009. http://www.dephut.go.id. (10 Januari 2013).

Nair, C.S.T. 1993. Status of Research on Non Wood Forest Products: The Asia Pacific Situation. Forestry Paper Apendix 4.4.3. FAO, Rome.

(11)

Nurbijanti, S. 2009. Aren Indonesia. http://www.kompas.com. (31 Januari 2012).

Ozal, D. 2012. Mentan Optimis Swasembada Kedelai 2014 Tercapai. bisniskeuangan.kompas.com. (31 Januari 2013).

Pemerintah RI. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah RI. 2012. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan.

Pemerintah RI. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

Pemerintar RI. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Perum Perhutani Unit III. 2011. Rekap Tanaman Kopi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten Tahun 2011 (Tidak diterbitkan).

Pitojo, S. dan H.N. Puspita. 2007. Kesemek. Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta.

Presiden RI. 2006. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan.

Purwono dan Heni. 2011. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penerbit Penebar Swadaya. Depok. Puspitojati, T. 2011a. Agroforestry forest estate: whole rotation of social forestry. makalah poster disampaikan

pada Seminar INAFOR Tanggal 5–7 Desember 2011 di Bogor.

Puspitojati, T. 2011b. Persoalan definisi hutan dan hasil hutan dalam hubungannya dengan pengembangan HHBK melalui hutan tanaman. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan (3):210-227.

Puspitojati, T. 2013. Kajian kebijakan pengembangan pangan di areal hutan tanaman untuk mendukung swasembada pangan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 10(2):134-148.

Puspitojati, T., E. Rachman, dan K. Ginoga. 2014a. Hutan Tanaman Pangan: Realitas, Konsep dan Pengembangan. Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta.

Puspitojati, T., Y. Mile, E. Fauziah, dan D. Darusman. 2014b. Hutan Rakyat: Sumbangsih Masyarakat Pedesaan untuk Hutan Tanaman. Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta.

Puspitojati, T. dan I. Saefudin. 2012. Kajian pengelolaan hutan lindung bersama dengan masyarakat. Makalah disampaikan dalam Seminar Agoforestri III di Yogyakarta Tanggal 29–30 Mei 2012.

Puspitojati, T., M. Siarudin, dan A. Widiyanto. 2013. Mengenal Hasil Hutan Bukan Kayu: 18 Jenis Tanaman Penghasil Minyak Lemak. Buku (Belum diterbitkan).

Rachmawati, E. 2008. Kemitraan Antara Perum Perhutani Dengan Petani Vanili dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani: Studi Kasus Pengelolaan Hutan Bersama Dengan Masyarakat di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Tesis (Tidak diterbitkan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Richana, N. 2012. Araceae & Dioscorea: Manfaat Umbi-Umbian Indonesia. Penerbit Nuansa. Bandung. Setianingsih, E. 1995. Petai dan Jengkol. Penerbit PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Simon, H. 2006. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problema dan Strategi Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Soedarya, A.P. 2009. Agribisnis Durian. CV Pustaka Grafika. Bandung.

Sunanto, H. 1993. Aren: Budi daya dan Multigunanya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sunarjono, H.H. 2008. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Vantomme, P. 2007. FAO’s Global Programme on the Development of Non Wood Forest Products (NWFP), with Particular Emphasis on NWFP from the Mediterranean. resource.ciheam.org/om/pdf. (10 Oktober 2010).

Gambar

Tabel 1.  Peluang pengembangan 36 jenis tanaman buah-buahan melalui hutan tanaman, 2014
Tabel 2. Peluang pengembangan tiga belas tanaman pangan minyak lemak, 2014
Tabel 3. Peluang pengembangan 9 jenis tanaman pati-patian, 2014
Tabel 4.  Manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan hutan tanaman pangan dan hutan tanaman kayu

Referensi

Dokumen terkait

Banyumas 7 ENENG SAIDAH NURHAYATI SMK (SMEA) TAMAN SISWA SUMPIUH Kab. Banyumas 8 ENI CAHYANI SMK Ma'arif NU 2 Ajibarang

Jowo Sarang Rembang mayoritas beragama Islam. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

memaknai per&uampaan manusia dengan Allah dalam kehidupan memaknai per&uampaan manusia dengan Allah dalam kehidupan sehari ' hari secara nyata.. sehari ' hari secara

Pelaksanaan musrenbang yang melibatkan berbagai pihak sebagai aktor dalam setiap tahapan proses pembangunan masih belum banyak dilakukan penelitian terutama

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Penetapan KHDTK Riam Kiwa Analisis Konflik Hubungan antar stakeholde r Kepenting- an Perbedaan Data Sistem Nilai Karakteristik Konflik Analisis Institusi KHDTK

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS) sedangkan pengolahan data menggunakan software e-views 4. Hasil penelitian ini

Diagnosis utama pleuritis tuberkulosis berdasarkan adanya kuman tuberkulosis dalam cairan efusi (biakan) atau dengan biopsi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian