• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian sosiopragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian sosiopragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA TESIS. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister. Oleh: GUSTI DINDA DAMARSASI NIM: 151232005. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM MAGISTER FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2017 i.

(2) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. ii.

(3) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. iii.

(4) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. HALAMAN PERSEMBAHAN. Seiring dengan ucapan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan kelancaran dalam setiap langkah saya, tesis ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya Bapak Gunawan Slamet Raharjo, Bc.HK, dan Ibu Soeryanti . Mereka adalah orang teristimewa di dunia ini yang telah mencurahkan segala cinta demi kebahagian dan kesuksesan saya. Danu Mukti dan Gusti Nanda Wahyusari, yang selalu mengingatkan saya ketika saya malas, memotivasi saya ketika putus asa, dan selalu menghibur serta terkadang menyebalkan. Bernadus Tube dan Yuni Lundiarti, yang selalu memberikan motivasi, kritik, saran dan selalu menanyakan perkembangan tesis saya. iv.

(5) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. MOTTO. Jer Basuki Mawa Bea (pepatah Jawa) bahwa memang sebuah kesuksesan yang kita capai adalah sebuah cerminan dari pengorbanan kita. Kawula Mung Saderma, Mobah-mosik Kersaning Hyang Sukmo (pepatah Jawa) berusaha memang tugas seorang manusia, selebihnya Tuhanlah yang menentukan. Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan tapi dengan ketekuan dan kegigihan ~ (Samuel Jhonson). v.

(6) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, dengan mengikuti ketentuan sebagaimana layaknya karya ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam tesis ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Yogyakarta, 11 September 2017 Penulis. Gusti Dinda Damarsasi. vi.

(7) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS. Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama. : Gusti Dinda Damarsasi. Nomor Mahasiswa. : 151232005. Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:. KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 11 September 2017 Yang menyatakan. ( Gusti Dinda Damarsasi ). vii.

(8) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. ABSTRAK. Damarsasi, Gusti Dinda. 2017. Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan,Universitas Sanata Dharma.. Penelitian ini membahas mengenai kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta, 2. Mendeskripsikan pergeseran wujud dan makna pragmatik yang terdapat pada pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta, 3. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif kualitatif dengan berpijak pada teori komunikasi fatis dan sosiopragmatik. Sumber data lokasional penelitian ini adalah abdi dalem punakawan yang berada di Keraton Yogyakarta. Sumber data substantif penelitian ini adalah tuturan-tuturan para abdi dalem. Data penelitian ini adalah berupa tuturan-tuturan yang mengandung kefatisan berbahasa dan cuplikan wawancara abdi dalem. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik simak, diikuti dengan teknik dasar berupa teknik sadap. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode padan. Selanjutnya, teknik analisis data yang digunakan adalah dasar pilah unsur penentu kemudian diikuti teknik lanjut hubung banding. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan benar tidaknya tuturan yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi polar. Di dalam tuturan fatis tersebut juga terdapat maksud penutur atau makna pragmatik yang berhubungan dengan pemenuhan hubungan sosial yaitu, mempertahankan komunikasi, mencairkan suasana, bertegur sapa,mengawali pembicaraan dan mengakhiri pembicaraan. Di dalam tuturan komunikasi fatis tersebut terdapat wujud pergeseran honorifik dan eufemisme. Pergeseran honorifik sapaan dan eufemisme ini digunakan penutur untuk lebih memperhalus tuturan dengan maksud menghormati dan menujukkan kesopanan. Terjadinya pergeseran honorifik dan eufemisme disebabkan oleh beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor internal berupa kebijakan kraton untuk bergabung dengan pemerintahan dan tidak adanya budaya magang serta penguasaan bahasa penutur dan mitra tutur yang tidak sederajat. Selanjutnya,faktor eksternal yaitu perkembangan pola pikir, perkembangan IPTEK dan perkembangan budaya Kata kunci: komunikasi fatis, sosiopragmatik, pergeseran bahasa, abdi dalem. viii.

(9) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. ABSTRACT. Damarsasi, Gusti Dinda. 2017. Sociopragmatic Study of Pathic Language of The Royal Servants in Yogyakarta Palace. Thesis. Yogyakarta: The Graduate School of The Indonesian Language and Literature Education Study Programme, Faculty of Teacher Traning and Education, Sanata Dharma University. This study discusses the language of the speakers in Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. The purposes of this research are (1) to describe the form and meaning of pragmatic phatic communication of the servant’s language in the Yogyakarta Palace, (2) to describe the shifting form and pragmatic phatic communication meaning which is occured in the use of the servant’s languange in the Yogyakarta Palace , (3) to describe the factors that cause the occurrence a shift in the form of the phatic communication of the servant’s language in Yogyakarta Palace . This research was categorized as qualitative descriptive research based on communication theory of phatic communication and sociopragmatic. Locational data source of this research was Yogyakarta Palace by observing punakawan servents. The sources of substantive data of this research were the speeches of the servant. The data of this research was in the form of speeches that contained language of phatic communication. Technique of collecting the data used was listening technique, followed by basic technique in the form of tapping technique. Data analysis method used was matching method. Furthermore, the data analysis technique used was the basic of the decisive element and then followed by the advanced technique of appeal. Based on the results of the research, the researcher can conclude that the form of language phatic communication of the servants can be grouped into two based on whether or not true speech communication pure phatic communication and polar communication. In the phatic utterance there is also the intention of speakers or pragmatic meanings related to the fulfillment of social relations that is: maintain communication, melting the atmosphere, greeting, starting the conversation and end the conversation. In the phatic communication, there are honorific and euphemisms shifts. This honorific shift of greetings and euphemisms was used by speakers to further refine speech with the intention of honoring and showing decency. The occurrence of honorificable shifts and euphemisms is caused by several external and internal factors. Internal factors in the form of a Palace policy to join the government and the absence of an internship culture as well as the mastery of speech languages and speech partners are not equal. While, the external factors are the development of mindset, development of science and technology and culture development. Key Words: phatic communication, sociopragmatic, language shift, servant. ix.

(10) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. KATA PENGANTAR. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkah serta hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta “. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Program Magister, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa tesis ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Rohandi, Ph,D., Dekan FKIP USD yang telah mendukung proses intelektual penulis dalam berbagai kegiatan di FKIP USD. 2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Program Magister yang telah mendampingi secara akademis selama menempuh pendidikan di MPBSI, USD. Sekaligus dosen pembimbing I yang dengan sabar membimbing, memotivasi dan memberi masukan berharga sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 3. Prof. Dr. Pranowo. M.Pd., selaku dosen pembimbing II yang dengan teliti telah membimbing dan berdiskusi sehingga tesis ini dapat selesai. 4. Para Dosen P r o g r a m S t u d i PBSI, Program Magister yang telah m e n d i d i k , memberikan pengalaman dan waktu untuk membimbing penulis selama studi sehingga penulis dapat mempunyai bekal untuk terjun ke dunia pendidikan sebagai pendidik.. 5. R. Marsidiq selaku pegawai sekretariat P r o g r a m S t u d i PBSI, Program Magister yang dengan sabar membantu kelancaran perkuliahan.. x.

(11) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. 6. GKR. Condrokirono, yang telah memberikan izin sehingga penulis dapat melakukan penelitian di Keraton Yogyakarta. 7. Orang-orang yang selalu mendukung penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis, Bapak Gunawan Slamet Raharjo, Bc.HK., Ibu Soeryanti, Danu Mukti, S.Pd., dan Gusti Nanda Wahyusari. 8. Keluarga Besar SMP Santo Aloysius Turi, yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat. Terima kasih Bruder Kosmas, Bu Agnes Natalia, Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, Bu Maya, Bu Ambar dan teman-teman guru lainnya. 9. Bernadus Tube, Brigita Yuni, Natalia Sulistyanti Harsanti, Ibu Angel Gena, Dina Eka, Sofylia, Deni Pradita, Didit Setiawan, dan juga teman-teman. seperjuangan. MPBSI. yang. selalu. memberikan. dukungan, saran dan canda tawa selama berdinamika di MPBSI. 10. Yuni Lundiarti, Ade Supiyanto, S. Seno Kurniawan sahabat yang selalu menanyakan tesis dan memberi semangat kepada penulis. 11. Marta Susanti, Melyda Agustin adik sekaligus sahabat yang tak bosan mendengarkan keluh kesah dan selalu memberikan semangat pada penulis. 12. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran sangat dibutuhkan oleh penulis. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Yogyakarta, 11 September 2017 Penulis,. Gusti Dinda Damarsasi. xi.

(12) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………..................... ii. HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii. HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………... iv. MOTTO ......................................................................................................... v. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... vi. LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................................... vii. ABSTRAK ..................................................................................................... viii. ABSTRACT .................................................................................................... ix. KATA PENGANTAR .................................................................................. x. DAFTAR ISI ................................................................................................. xii. BAB I: PENDAHULUAN ……………………………………………….... 1. 1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1. 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 7. 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8. 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 8. 1.5 Batasan Istilah ........................................................................................... 9. BAB II: LANDASAN TEORI …………………………………………….. 11. 2.1 Teori Sosiopragmatik ............................................................................... 11. 2.2 Kefatisan sebagai Fenomena Sosiopragmatik .......................................... 15. 2.3 Teori Makna dan Maksud ......................................................................... 25. 2.4 Teori Konteks ........................................................................................... 27. 2.5 Tingkat Tutur dalam Berbahasa Jawa ....................................................... 36. 2.5.1 Unggah-ungguh dalam Etika Jawa................................................... 38. xii.

(13) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. 2.6 Pergeseran Bahasa ................................................................................... 45. 2.7 Kerangka Berpikir .................................................................................... 52. BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ……………………………….. 54. 3.1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 54. 3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian ................................................ 54. 3.3 Metode dan Teknik Penyediaan Data ..................................................... 55. 3.4 Metode dan Teknik Analisis Data........................................................... 57. 3.5 Triangulasi Data ....................................................................................... 59. BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN …………….... 61. 4.1 Hasil Analisis Data .................................................................................. 61. 4.1.1 Deskripsi Data ................................................................................. 61. 4.1.2 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis .......................... 65. 4.1.3 Pergeseran dalam Komunikasi Fatis …………………………….. 84. 4.1.4 Faktor Penyebab Pergeseran ……………………………………... 93. 4.2 Pembahasan …………………………………………………………….. 97. 4.2.1 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis ............................. 97. 4.2.2 Pergeseran dalam Komunikasi Fatis …………………………….. 103 4.2.3 Faktor Penyebab Pergeseran ……………………………………... 106. BAB V: PENUTUP ………………………………………………………... 112. 5.1 Simpulan ……………………………………………………………. 112. 5.2 Saran……………………………………………………………….... 114. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 115 LAMPIRAN .................................................................................................. xiii. 119.

(14) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keraton Yogyakarta merupakan status yang menjadikan Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa (DI). Awalnya, Negara-negara penjajah memberikan status Kesultanan Yogyakarta sebagai “Kerajaan Vassal atau Negara Bagian atau Dependent State”. Bahkan, para penjajah Belanda menyebutnya sebagai Zelfbestuurende Lanschappen, sedangkan penjajah Jepang menyebutnya dengan istilah Koti atau Kooti (Kurniawati, 2013). Tentu, status tersebut membawa konsekuensi sistem politik dan hukum yang otonom. Artinya bahwa Kesultanan Yogyakarta memiliki kewenangan sendiri dalam mengatur dan mengurus wilayah di bawah penerintahan penjajah tertentu. Keistimewaan Yogyakarta mengacu pada UU Nomor 22 Tahun 1948 bahwa presiden mengangkat kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat, yaitu kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang budaya Jawa secara umum, dan Yogyakarta secara khusus. . Selain itu, Keraton Yogyakarta juga dipandang sebagai pusat kerajaan, pusat kebudayaan, sekaligus tempat tinggal raja yang dikukuhkan sebagai figur atau tokoh penerima pulung, ndaru, cahya nurbuat, atau wahyu Ilahi, untuk menyampaikan kebajikan Allah kepada umat manusia di muka bumi. Hal senada dinyatakan oleh Magnis-Suseno (2001: 103) bahwa kepercayaan Jawa menganggap seorang raja sebagai subjek yang mendapat pulung, memiliki 1.

(15) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. kekuatan ilahi dan diibaratkan sebagai raja-dewa yang bertahta atas alam semesta. Bahkan Subanar (Wardani, 2012) menegaskan kedudukan Sultan sebagai Sang Sinuwun (Sinuhun) adalah lembaga, tempat segenap aparat dan kawula mengharapkan anugerah. Sultan juga berperan sebagai institusi, yakni tempat orang berguru sebagai Sang Arif Bijaksana, tempat memperoleh pendidikan, pembinaan, dan pengemblengan watak berbudi bawa leksana (mengutamakan kebaikan), ambeg adil para marta (berlaku adil kepada siapapun), serta tempat melakukan penghayatan hidup yang berorientasi pada etika Jawa dengan menjunjung rasa hormat, harmoni, sabar, legawa (terbuka menerima kenyataan sebagaimana yang terjadi), dan memayu hayuning buwana (melestarikan keindahan dunia). Hal-hal. tersebut. berpengaruh. terhadap. kebijakan-kebijakan. yang. diterapkan dalam Kesultanan. Banyak kebijakan Keraton yang membawa perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, perubahan Yogyakarta yang semula di bawah pengawasan penguasa kolonial Belanda dan fasisme Jepang kemudian di bawah kekuasaan republik menjadi sistem pemerintahan demokrasi. Bahkan, pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwana IX, Yogyakarta berubah menjadi Daerah Istimewa dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Wardani, 2012). Perubahan lain yang lebih tampak pada fungsi Kesultanan Yogyakarta. Awalnya, fungsi keraton bersifat tertutup, kini berubah menjadi lebih terbuka kepada masyarakat umum, khususnya keterbukaan Kesultanan Yogyakarta bagi dunia pendidikan dan pariwisata..

(16) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3. Fenomena-fenomena perubahan tersebut menunjukkan bahwa Kesultanan Yogyakarta. telah. mengalami. transformasi. paradigma. yang. senantiasa. berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan manusia, seperti kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Tentu, di tengah perubahan, kedua wilayah ini tetap memperlihatkan pentingnya warisan tradisi dan budaya yang dipandang sebagai kearifan lokal dan aset budaya bangsa yang harus dipertahankan dan ditransformasikan kepada generasi-generasi penerus, karena keduanya memberi kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat, baik masyarakat berbudaya Jawa maupun masyarakat umum. Masyarakat berbudaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa juga sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Hal itu merupakan nilai-nilai budaya yang menjadi dasar utama bagi masyarakat Jawa dalam membangun hidup, khususnya dalam berbahasa dan membangun komunikasi dengan sesama dan orang lain. Misalnya, sikap ewuh pakewuh (Ewuh berarti repot dan pekewuh berarti tidak enak perasaan) menjadi budaya yang hidup dalam masyarakat Jawa karena menjadi dasar untuk melakukan ewuh pakewuh, yakni etika (Purwadi: 2008). Sikap rasa tidak enak pada orang akan berpengaruh terhadap cara berkomunikasi antarmasyarakatnya. Budaya ewuh pekewuh pun menjadi dasar yang menunjukkan bahwa masyarakat berlatar belakang budaya Jawa memiliki pola komunikasi yang khas, yakni pola spiral atau tidak langsung pada pokok pembicaraan saat membangun komunikasi dengan orang lain. Sikap budaya ini sebagai media dalam menjalin.

(17) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4. sebuah hubungan sosial. Pola komunikasi ini bertujuan untuk menjaga perasaan mitra tuturnya, sekaligus mempertahankan hubungan baik antarpenutur dengan mitra tutur. Konsep ini dalam bidang pragmatik disebut komunikasi fatis. Komunikasi fatis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan oleh penutur untuk menanyakan hal yang sebenarnya sudah diketahuinya. dengan. maksud. untuk. mempertahankan. hubungan. baik. anatarpenutur. Bentuk komunikasi ini sering terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat berlatar belakang budaya Jawa. Misalnya, dalam tuturan di bawah ini. Orang 1 (O1). Orang 2 (O2). Orang 1 (O1). Konteks (K). : Kiyambakan, Romo? (Sendirian - Bapak? (Sendirian, Bapak?) : Enggeh,ajeng teng pundhi? (Iya-akan-pergi-mana?) (Iya, akan ke mana?) : Niki jalan-jalan. (ini-jalan-jalan) (ini jalan-jalan) : O1 berjenis kelamin perempuan yang usianya jauh lebih muda dibanding O2. O1 berjalan melewati O2 yang sedang duduk sendiri.. Tuturan yang dikatakan oleh O1 (selanjutnyaakan ditulis penutur) dalam pertuturan di atas merupakan bentuk komunikasi yang digunakan bukan untuk menyampaikan atau menanyakan sebuah informasi, namun digunakan untuk menjaga hubungan intrapersonal. Penutur yang merasa lebih muda dibanding dengan O2 (selanjutnya akan ditulis mitra tutur), ketika betemu orang yang sudah dikenal mempunyai kewajiban untuk menyapa mitra tutur terlebih dahulu, karena keduanya berlatar belakang budaya Jawa. Kemudian, penutur memulai pembicara dengan mengatakan tuturan tersebut. Tuturan Kiyambakan, Romo? dikatakan.

(18) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5. bukan untuk menanyakan sebuah informasi, karena penutur jelas sudah mengetahui bahwa mitra tutur sendiri dan tidak ada yang menemani. Tuturan tersebut dikatakan untuk membangun atau mempertahankan sebuah hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Penutur berharap dengan tuturan tersebut akan membangun interaksi selanjutnya yang lebih baik. Hal ini berarti bahasa bukan lagi berfungsi untuk menanyakan atau memberikan informasi, tetapi bahasa berfungsi fatis (Leech: 1981). Artinya bahwa bahasa digunakan dalam komunikasi untuk membina dan memelihara hubungan antarpenuturnya. Walaupun memiliki tugas ringan, fungsi fatis merupakan fungsi bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial karena fungsi fatis berkaitan dengan hubungan interpersonal penuturnya. Namun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa seiring berkembangnya zaman, kehidupan masyarakat berlatar belakang budaya Jawa mulai dipengaruhi dengan kehidupan global. Tentu, muncul pertanyaan bahwa apakah masyarakat masih memertahankan budaya sebagai dasar dalam berkomunikasi, ataukah saat ini telah mengalami pergeseran. Hal ini merupakan pertanyaan kegelisahan, karena menurut Nafi’ah (2013) bahwa pemahaman masyarakat mengenai budaya di era globalisasi semakin berkurang. Hal ini jelas terlihat dengan lunturnya bahasa krama. Bahasa Krama merupakan salah satu budaya berupa tata cara atau unggah ungguh dalam berkomunikasi. Padahal, dalam budaya komunikasi sosial masyarakat Jawa terdapat fungsi bahasa untuk menjalin hubungan sosial penuturnya (fungsi fatis)..

(19) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6. Sisi lain, masyarakat berlatar belakang budaya Jawa mengenal adanya budaya unggah-ungguh. Hal ini sangat tampak dan senantiasa dihidupi oleh para tokoh dan masyarakat Jawa zaman dahulu. Namun, zaman sekarang budaya tersebut menjadi perbincangan publik, khususnya dunia pendidikan, keluarga, dan lingkungan sosial. Para guru, orangtua, tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para tokoh kesultanan merasa tidak dihormati oleh para generasi muda Jawa maupun generasi muda yang datang dari luar Jawa. Para generasi muda kurang menjalankan norma dan nilai-nilai budaya, khususnya budaya unggah ungguh dalam membangun komunikasi (Sahlan, https://www.academia.edu/15562280). Fenomena tersebut tentu dialami juga oleh para abdi dalem Kesultanan Yogyakarta. Para abdi dalem merupakan contoh masyarakat berlatar belakang budaya Jawa yang masih dekat dengan budaya-budaya Jawa yang mereka percayai sehingga mereka masih memperhatikan aspek-aspek budaya Jawa dalam berperilaku dan berbicara. Abdi dalem adalah orang-orang yang membantu atau bekerja dan tinggal di Keraton Yogyakarta. Artinya, peran sosial para abdi dalem di Kesultanan Yogyakarta menarik untuk dikaji lebih jauh, khususnya perubahan komunikasi sosial yang mungkin berdampak pada pergeseran makna komunikasi fatis yang dibangun sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Tentu, kurun waktu pengabdian para abdi dalem juga akan menjadi perhatian untuk menjawab persoalan mengenai pergeseran makna komunikasi fatis. Dengan demikian, topik mengenai komunikasi fatis berlatar belakang budaya Jawa yang terjadi di Keraton Kesultanan Yogyakarta menjadi fokus kajian peneliti untuk mencari bentuk komunikasi fatis masyarakat Jawa dan pergeseran.

(20) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7. maknanya. Konsep pergeseran dipaparkan oleh Sulistyowati (2015: 221) sebagai perubahan yang ditentukan oleh adanya perbedaan struktural antara dua sistem bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan dan tindakan opsional (optional actions). Pergeseran yang terjadi dalam komunikasi fatis dimaknai sebagai perubahan maksud pragmatis berdasarkan konteks. Hal ini yang menjadi tujuan penelitian ini. Tentu, fenomena pergeseran makna komunikasi fatis para abdi dalem di Keraton Kesultanan Yogyakarta juga dapat dikaji dengan pendekatan sosiopragmatik. Konsep sosiopragmatik dikemukakan Rahardi (2009: 21) sebagai ilmu yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Penggunaan bahasa oleh para abdi dalem sebagai bentuk komunikasi fatis sangat ditentukan oleh konteks, baik konteks situasi maupun konteks budaya Jawa. Penelitian ini akan dilakukan pada tahun 2017 dengan mengamati tuturan para abdi dalem dalam berkomunikasi di Keraton Kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian bejudul, “ Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta”.. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah utama penelitian ini dapat dirumuskan, yakni “Bagaimana kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta?” Masalah utama tersebut dijabarkan dalam sub rumusan masalah, antara lain:.

(21) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8. 1. Bagaimana wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta? 2. Pergeseran wujud dan makna pragmatik apa sajakah yang terdapat pada pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta? 3. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakartaq?. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disebutkan di atas maka tujuan penelitian ini,antara lain: 1. Mendeskripsikan wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. 2. Mendeskripsikan pergeseran wujud dan makna pragmatik yang terdapat pada pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. 3. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta.. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta dalam perspektif sosiopragmatik ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu:.

(22) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9. 1. Manfaat teoretis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap pengembangan ilmu sosiopragmatik yang berkaitan dengan komunikasi fatis berlatarbelakang budaya Jawa. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan. sumbangan. pengetahuan. terhadap. masyarakat. Jawa. mengenai keberadaan komunikasi fatis pada saat ini.. 2. Manfaat praktis Penelitian ini dapat menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Jawa dan memberikan masukan khususnya pihak Keraton Yogyakarta terkait dengan komunikasi para abdi dalem. Selain itu, peneliti ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya para abdi dalem dalam penggunaan kefatisan yang tepat dalam berkomunikasi agar hubungan sosial antarabdi dalem akan tetap berjalan dengan baik.. 1.5 Batasan Istilah 1. Kefatisan adalah ucapan-ucapan yang digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenutur 2. Abdi dalem adalah orang yang mau bekerja, tinggal, dan mengabdikan dirinya. kepada keraton dengan segala. aturan. yang ada. tanpa. menghiraukan besarnya upah (gaji, imbalan). 3. Pergeseran bahasa adalah peralihan sebuah bahasa menjadi lebih luas yang disebabkan oleh penutur bahasa itu sendiri..

(23) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10. 4. Sosiopragmatik adalah sebuah displin ilmu yang mengaji maksud dibalik tuturan seseorang di dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu..

(24) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI. BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Teori Sosiopragmatik Apabila dilihat dari awal munculnya, ada kesamaan antara sosiolinguitik dan pragmatik karena keduanya muncul dengan langkah pendobrakan terhadap kekuatan kelompok kegiatan yang menelah bahasa yang bercokol kuat pada tahun 1950-1960-an, yakni aliran transformasional-generatif. Akan tetapi, terdapat sedikit perbedaan mengenai titik yang dikaji, menurut penganut sosiolinguitik bahasa pada hakikatnya adalah heterogen, sehingga pencanang sosiolinguitik melakukan tindakan meng-homogen-kan bahasa karena keanekaragaman bahasa itu ada dari latar belakang sosial penuturnya yang berbeda-beda. Sementara itu, aliran pragmatik melakukan tindakan dengan melucuti kalimat yang pada hakikatnya berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam komunikasi. Oleh karena itu, upaya menyusun teori bahasa janganlah hanya mendasarkan pada bentuk kalimat tetapi juga konteks yang melingkupinya, penggunaannya pada komunikasi, dan interaksi antara pembicara dan lawan bicara (Purwo, 1990:16). Sosiopragmatik merupakan salah satu dari dua sisi pragmatik, selain pragmalinguistik (Leech, 1983: 10-11). Kedua disiplin pragmatik tersebut (pragmalinguistik dan sosiopragmatik) menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam berkomunikasi dapat dikaji secara internal (aspek pragmalinguistik) maupun eksternal (aspek sosiopragmatik). Kajian secara 11.

(25) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12. internal dilakukan terbatas terhaduap strtuktur interen bahasa yang akan menghasilkan perian-perian bahasa, tanpa ada keterkaitan dengan masalah lain di luar aspek kebahasaan. Tentu, hal tersebut dilakukan dengan menggunakan teoriteori dan prosedur-prosedur yang berlaku di dalam bidang linguistik. Sementara itu, kajian eksternal akan membuahkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang bergayut dengan penggunaan bahasa dalam segala kegiatan manusia dalam masyarakat. Karena itu, kajian ini tidak hanya menggunakan teori dan prosedur linguistik, tetapi juga dikaitkan dengan teori dan prosedur dari disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Misalnya kajian sosiopragmatik melibatkan disiplin ilmu sosiolinguistik dengan pragmatik. Konsep. sosiopragmatik. diawali. dengan. pemahaman. mengenai. sosiolinguistik sebagai disiplin yang menghubungkan bahasa dengan masyarakat dan pragmatik sebagai disiplin yang mempelajari arti ujaran atau bahasa secara kontekstual (Yule, 1996: 3). Artinya bagaimana seseorang menggunakan bahasa dalam. berkomunikasi. dengan. masyarakat. sosial. berdasarkan. konteks. keberadaannya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian kefatisan para abdi dalem dimana penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penggunaan kefatisan berbahasa para abdi dalem yang dikaitkan dengan lingkungan masyarakat tuturnya. Konsep tersebut juga telah dipaparkan oleh Nurjamily (2015) bahwa sebuah penelitian sosiopragmatik mengaji penggunaan bahasa di dalam sebuah masyarakat budaya di dalam situasi sosial tertentu. Sosiopragmatik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi setempat dan kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus mengenai penggunaan bahasa. Selain itu, sosiopragmatik merupakan suatu studi.

(26) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13. yang mengkaji tentang ujaran yang disesuaikan dengan situasi dalam suatu lingkungan tertentu. Sementara itu Dike (2014) mengatakan bahwa secara konkrit kajian sosiopragmatik merupakan kajian entitas kebahasaan yang menggabungkan ancangan penulisan sosiolinguistik dan ancangan penulisan pragmatik dalam wadah dan lingkup kebudayaan tertentu. Lebih dari itu, Dike mempertegas bahwa sosiopragmatik tidak terlepas dari aspek konteks. Hal ini berlatarbelakang bahwa fokus kajian sosiopragmatik lebih pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri. Hal ini berarti sosiopragmatik adalah cabang pragmatik umum yang kajiannya menekankan pada aspek nonlinguistik, terbatas pada penggunaan bahasa pada kondisi sosial tertentu, yang terikat oleh percakapan lokal, dan berdasarkan konteks. Selain itu, Rini (2013) mengatakan bahwa objek sebuah kajian sosiopragmatik ialah maksud dari sebuah tuturan yang memerhatikan aspek-aspek masyarakat bahasa. Konsep tersebut ditegaskan Rahardi (2009: 21) bahwa sosiopragmatik adalah ilmu yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud adalah konteks sosial dan konteks sosietal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sementara itu, konteks sosietal adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu. Sisi lain, kajian sosiopragmatik didasarkan pada prinsip kerjasama (PKS) dan prinsip sopan santun (PSS), khususnya dalam kebudayaan dan masyarakat.

(27) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14. bahasa yang berbeda, dalam situasi sosial yang berbeda, dan dalam kelas sosial yang berbeda. Hal ini berlatar belakang pada realitas adanya kesalahpahaman dalam berkomunikasi antarmanusia berlatar sosial dan budaya berbeda yang memungkinkan terjadinya pergeseran wujud dan maksud sebuah tuturan. Masyarakat sosial yang berbeda tentu berpeluang memiliki perbedaan interpretasi atau pemahaman terhadap makna suatu tuturan. Misalnya, para abdi dalem memandang prilaku tertentu tidak sopan, sedangkan masyarakat Jawa lainnya, khususnya. generasi. muda. menganggap. sopan.. Karena. itu,. deskripsi. sosiopragmatik harus dikaitkan dengan kondisi-kondisi sosial tertentu. Dengan demikian, peneliti memakai pendekatan sosiopragmatik sebagai pisau. analisis. untuk. mengkaji. aspek-aspek. non-kebahasaan,. khususnya. penggunaan bahasa dalam percakapan lokal oleh para abdi dalem di lingkungan Keraton Yogyakarta. Teori sosiopragmatik yang telah dipaparkan Yule (1996) dan Rahardi (2009) peneliti gunakan untuk membantu menganalisis aspek nonkebahasaa. Konteks penelitian ini menunjukkan bahwa kajian sosiopragmatik diperlukan untuk menghasilkan deskripsi penggunaan bahasa oleh para abdi dalem dalam komunikasi berdasarkan konteks sosial dan budaya Jawa. Dengan kata lain, peneliti ingin mendeskripsikan tuturan fatis abdi dalem dalam berkomunikasi dengan mengaitkan situasi kehidupan sosial penuturnya. Secara khusus, penelitian ini akan berfokus pada wujud dan makna pragmatik tuturan komunikasi fatis untuk mengkaji bentuk pergeseran wujud dan maksud komunikasi fatis para abdi dalem dengan perspektif sosiopragmatik..

(28) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15. 2.2 Kefatisan sebagai Fenomena Sosiopragmatik Sosiopragmatik merupakan disiplin ilmu yang mengkaji bahasa atau makna ujaran sebagai objek penelitian dan sosial masyarakat sebagai konteks objek penelitiannya. Aspek sosial masyarakat di sini sesungguhnya tidak terlepas dari aspek budaya masyarakatnya sehingga kerapkali dirangkaikan menjadi aspek sosial budaya masyarakatnya. Bahasa mempunyai bentuk pragmatik yang berbeda-beda bila dilihat dari fungsinya. Di masyarakat, fungsi bahasa sering dikaitkan salah satunya dengan hubungan sosial oleh penggunanya yang peristiwa itu sering disebut sebagai komunikasi fatis atau kefatisan berbahasa. Halliday (Sudaryanto,1990:17) menjelaskan bahwa fungsi khas bahasa yang tercermin pada struktur bahasa ada tiga, yaitu (1) fungsi “ideasional” dimana bahasa berperan sebagai pengungkapan ‘isi’ pengungkapan pengalaman penutur tentang dunia nyata, termasuk dunia dalam dari kesadarannya sendiri, (2) fungsi “interpersonal” berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri, (3) fungsi “tekstual” berkaitan dengan tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata rantai kebahasaan dan mata rantai unsure situasi (features of the situation) yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya. Dalam hal ini, kefatisan berbahasa berkaitan erat dengan fungsi interpersonal karena bahasa digunakan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial termasuk perananperanan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Fungsi interpersonal.

(29) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16. dapat dilihat pada struktur yang melibatkan modalitas dan system yang dibangunnya. Membangun hubungan sosial berarti termasuk juga memelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak. Chaer. (2009:16). menjelaskan. bahwa. ungkapan-ungkapan. yang. digunakan dalam fatik biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan keadaan keluarga. Ungkapanungkapan yang digunakan tidak dapat diartikan atau diterjemahkan secara harfiah karena ungkapan tersebut digunakan untuk tujuan untuk memelihara komunikasi dan tidak untuk menyampaikan informasi yang berdampak pada hubungan sosial penutur dan mitra tutur. Seperti contoh Apa kabar? Bagaimana kabar keluarga di rumah? Mau kemana nih? dan sebagainya. Komunikasi fatis diperkenalkan oleh Malinowski setelah ia menyumbang gagasan mengenai ‘konteks situasi’ yang penting bagi teori bahasanya dalam buku milik Ogden’s dan Richards, dengan konsep ‘persekutuan pahtic’ dalam linguistik. Malinowski (Senft, 2009) mengatakan bahwa bahasa "free, aimless social intercourse". yang maksudnya adalah bahwa bahasa bebas digunakan. dalam hubungan sosial antarmasyarakat yang tidak memiliki tujuan khusus. Misalnya,. seseorang menanyakan kesehatan, mengomentari cuaca, atau. memberikan sapaan. Hal ini ditegaskan Malinowski bahwa [...] to a natural man another man's silence is not a reassuring factor, but on the contrary, something alarming and dangerous [...]. Terjadinya keheningan atau diam di dalam pembicaraan bukan merupakan hal baik bila dikaitkan dengan hubungan sosial antarpenuturnya, tetapi sebaliknya mengkhawatirkan..

(30) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17. Artinya, penutur harus mengubah suasana hening atau diam yang terjadi saat. berkomunikasi untuk menyelamatkan hubungan keduanya.. Contoh. menanyakan kesehatan, memberikan sapaan atau mengomentari cuaca merupakan sesuatu yang bisa dikatakan bila terjadi keheningan yang dapat disebut ‘persekutuan phatic’. Persekutuan phatic bukan kumpulan kata yang digunakan untuk menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakan persekutan phatic sedang memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi dan itulah tujuan utama mereka. Lebih lanjut, Malinowski menjelaskan bahwa komunikasi fatis bisa bukan hanya untuk basa-basi atau small talk dalam proses komunikasi tetapi menjadi pembentuk hubungan antar individu (Seft, 2009). Malinowski (1923) menganggap Phatic Communion sebagai languag e as ‘an instrument of r eflecti on’ and languag e as ‘a mode of action (Zegarac & Clark, 1999). Artinya, bahasa digunakan sebagai alat untuk merefleksikan sebuah keadaan dan juga digunakan sebagai cara untuk mengungkapakan suasana yang berhubungan dengan perasaan pembicara tentang apa yang diucapkan atau terjadi. Bahkan, dalam literatur terbarunya Malinowski mengatakan bahwa: 1.. Dalam Phatic Communion bahasa digunakan sebagai mode tindakan atau sebagai cara untuk melakukan tindakan bukan untuk transmisi (pengiriman) pikiran. Jadi komunikasi fatis tidak bersifat informatif, kalimat atau pernyataan yang dituturakan. oleh. penutur. bukan. semata-mata. untuk. menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada mitra tuturnya..

(31) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18. 2.. Berbagai macam jenis komunikasi fatis seperti salam, gossip dan sejenisnya memiliki persamaan yang tipis; di mana situasi terjadinya kefatisan tersebut dan munculnya wujud kefatisan dihasilkan secara linguistik.. 3.. Dalam komunikasi fatis makna kata yang keluar dari penutur hampir tidak relevan dengan topik pembicaraan utama tetapi ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi sosial.. 4.. Fungsi sosial tersebut digunakan untuk mengatasi ketegangan atau hal tidak menyenangkan yang disebabkan oleh diam, kesenyapan yang terjadi dalam berinteraksi atau digunakan untuk. menghargai. lingkungan. dan. interpersonal. antar. penuturnya. Sementara itu, Jakosbson seorang ahli bahasa dan antropologi merujuk istilah persekutan phatic dengan phatic communication. Istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada ucapan-ucapan yang dikatakan memiliki eksklusif sosial, fungsi ikatan seperti membangun dan hal yang memuat suasana yang ramah dan harmonis dalam hubungan interpersonal, terutama selama pembukaan dan penutupan tahap sosial. Hal ini menyatakan bahwa persekutuan phatic ditandai dengan tidak menyampaikan arti, tidak mengimpor informasi. Salam, komentar pada cuaca, lewat pertanyaan tentang kesehatan seseorang, dan topik pembicaraan kecil lainnya. Jakobson (1960) mencirikan fungsi fatis sebagai penggunaan bahasa untuk berfokus pada saluran komunikasi. Namun hal itu bukan berfokus pada informasi yang disampaikan melalui kode bahasa tetapi menunjukkan bahwa.

(32) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19. pertukaran fatis yang berkepanjangan tepat terjadi ketika proses komunikasi terancam (misalnya, oleh ketidakamanan dari lawan bicaranya). Mereka pun menyadari bahwa kegiatan tersebut meruakan bagian dari 'chit-chat' dan percakapan informatif. Selanjutnya, Laver (1974) juga mengambil pandangan Malinowski dan menjelaskan secara terperinci hubungan antara status sosial yang relatif dari lawan bicaranya dan pilihan ekspresi wajah yang sesuai dalam pertukaran fatik. Dia menyarankan agar fungsi sosial komunikasi fatik yang mendasar adalah `rinciannya mengani pengaturan hubungan interpersonal pada keseimbangan psikologis dari interaksi. Arimi (1998:171) mengatakan bahwa komunikasi fatis dapat dibagi menjadi dua yaitu murni dan polar. Komunikasi fatis murni yaitu ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Jadi apa yang dikatakan oleh penuturnya selaras dengan kenyataan atau memang benar-benar terjadi. Sedangkan komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya, tidak sesuai dengan kenyataan. Penutur mengatakan atau memilih ungkapan itu untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antar penuturnya. Penelitian mengenai kefatisan mulai banyak dilakukan baik di dalam budaya, dunia pendidikan, dunia kerja, dan lain sebagainya. Budaya Jawa memiliki beberapa istilah kefatisan, seperti abang-abang lambe atau basa-basi. Maria Budi Asih (2015) melakukan penelitian mengenai basa-basi berbahasa.

(33) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20. antarabdi dalem di Keraton Yogyakarta. Penelitian ini menjelaskan wujud tuturan basa-basi. yang. diklasifikasikan. berdasarkan. maksud. tuturannya.. Asih. mengklasifikasikan tuturan menjadi menjadi sembilan berdasarkan maksud basabasi, yaitu sapaan, menerima, menolak, minta izin, memohon atau mengundang, simpati, permisi, perendahan hati dan teguran.. Wujud basa-basi yang. diklasifikasikan berdasarkan maksud tuturannya tersebut juga dapat ditemukan penanda linguistik dan nonlinguistik dalam setiap tuturannya. Berdasarkan sembilan klasifikasi tersebut, data tuturan basa-basi dengan maksud sapaan memperoleh jumlah yang lebih banyak dibanding yang lain seperti menerima, menolak, memohon dan lain sebagainya. Basa-basi sapaan tersebut berjumlah sembilan belas tuturan yang memiliki variasi yang berbeda-beda. Selanjutnya, penelitian Rukman Pala (2015) dalam artikel jurnal mengenai bentuk komunikasi fatis dalam bahasa Bugis Soppeng. Pala menemukan sebanyak 12 bentuk fatis yang terdapatdalam bahasa Bugis Soppeng. Bentuk fatis tersebut, yaitu bentuk fatis yang berbentuk kata, frasa dan kalimat. Fatis yang berbentuk kata terbagi lagi atas dua, yaitu kata tunggal dan kata tunggal utuh. Fatis yang berbentuk frasa adalah frasa Assalamu alaikum/waalaikumsalam dan frasa salam akkik. Fatis kalimat berupa kalimat ajakan dan kalimat pertanyaan. Secara umum, bentuk fatis bahasa Bugis Soppeng menempati posisi inisial, medial, dan final suatu tuturan, sedangkan maksud makna fatis adalah mempertegas maksud, pertanyaan, ajakan, dan menunjukkan penghormatan. Penelitian ini menggunakan teori komunikasi fatis milik Malinowski, dan konsep beberapa ahli mengenai komunikasi fatis berlandaskan konsep fatis Malinowski, Leech, dan Kridalaksana..

(34) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21. Teori Malinowski mengenai adanya suatu situasi pembicaraan yang tidak memiliki tujuan tertentu, tetapi pertukaran kata yang terjadi sudah merupakan tujuan. Malinowski menambahkan bahwa dalam hal beramah-tamah secara tulus (pure sociabilities) dan percakapan ringan (gossip), seseorang menggunakan bahasa seperti halnya kaum primitif dan bahasa yang digunakan menjadi ‘komunikasi fatis’, yang berfungsi memantapkan ikatan personal antara orangorang yang terlibat karena kebutuhan akan kebersamaan, dan tidak bertujuan mengomunikasikan ide. Konsep kefatisan menurut Leech yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah phatic communication sebagai bagian dari prinsip kesopanan dalam bahasa. Leech memaparkan bahwa pengguna bahasa yang terampil pasti pernah menghadapi kesulitan saat mengakhiri percakapan. Hal ini menyadarkan seseorang tentang hubungan yang erat antara sopan santun dengan perilaku berbicara. Kategori fatis menurut Leech (1993: 224) merupakan maksim metalinguistik. Pertanyaan-pernyataan yang tidak informatif dalam komunikasi, tetapi sangat penting dilakukan. Teori fatis menurut Kridalaksana (2008:114) dalam penelitian ini sebagai kategori fatis. Ia mengungkapkan bahwa kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, memertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi antara pembicara dan kawan bicara. Lebih lanjut, ia memasukkan kategori fatis ini menjadi salah satu dari kelas kata bahasa Indonesia. Selain itu Kridalaksana juga menuliskan bahwa komunikasi fatis adalah pertuturan ungkapan beku, seperti, Halo, apa kabar? yang tidak mempunyai makna, dalam arti untuk menyampaikan.

(35) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22. informasi, melainkan digunakan untuk mengadakan kontak sosial antara pembicara atau kawan bicara untuk menghindari kesenyapan yang menimbulkan rasa kikuk. Maksudnya, komunikasi fatis adalah salah satu bentuk komunikasi yang dipakai untuk menjaga hubungan sosial. Adanya ungkapan yang tidak sesuai dengan makna kata yang membentuknya biasanya ditujukan untuk mengawali percakapan. Jika ditinjau dari aspek pragmatik, komunikasi ini sangat besar manfaatnya. Topik dalam penelitian milik Pala berkaitan dengan topik yang sedang peneliti teliti, yaitu mengenai komunikasi fatis yang berhubungan dengan budaya daerah. Namun, penelitian Pala mengkaji berdasarkan perspektif pragmatik sedangkan. penelitian. ini. mengaji. komunikasi. fatis. dalam. perspektif. sosiopragmatik. Tentu, hasil analisis yang diperoleh akan lebih mendalam. Jadi penelitian ini memperluas kajian mengenai komunikasi fatis. Selanjutnya, penelitian mengenai penggunaan komunikasi fatis di tempat kerja dilakukan oleh Sari Ramadanty (2014).. Hasil penelitiannya bahwa. Penggunaan komunilasi fatis sering terjadi di tempat kerja, karena dianggap sebagai pembuka hubungan yang lebih akrab. Komunikasi fatis sangat berperan dalam pembentukan hubungan dan menciptakan hubungan yang erat antarsesama rekan kerja. Konteks budaya seseorang sangat berperan dalam penggunaan komunikasi fatis, seseorang dengan konteks budaya tinggi cenderung lebih sering menggunakan komunikasi fatis dalam hubungan komuniksi interpersonalnya. Namun, bagi mereka yang berada pada konteks budaya rendah menempatkan komunikasi fatis untuk berhubungan dengan para rekan kerja dalam kepentingan.

(36) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23. pekerjaan. Penelitian ini menegaskan bahwa komunikasi fatis sangat penting dalam membangun hubungan di tempat kerja. Selain itu, konteks komunikasi fatis juga berkaitan dengan pengelolaan bahasa verbal dan nonverbal. Teori yang digunakan Ramadanty adalah komunikasi antarpribadi, termasuk ciri-ciri dan karakteristik, komunikasi fatis dan budaya high contex dan low contex. Teori antarpribadi ini dipaparkan Wiryanto (2006), Mulyana (2010), Devito (2012) dan disimpulkan oleh Ramadanty adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau lebih yang berlangsung secara langsung atau atap muka dan memungkinkan peserta menangkap reaksi orang lain dan mendapatkan umpan balik pada waktu itu juga, baik secara verbal atau nonverbal. Ciri-ciri komunikasi antarpribadi, yakni pertama, arus pesan dua arah. Artinya, komunikasi antarpribadi menempatkan sumber pesan dan penerima dalam posisi yang sejajar, sehingga memicu terjadinya pola penyebaran pesan mengikuti arus dua arah. Kedua, Suasana non-formal, yaitu komunikasi antarpribadi biasanya berlangsung dalam suasana non-formal. Ketiga, Umpan balik. Artinya, komunikasi antarpribadi biasanya mempertemukan para pelau komunikasi secara bertatap muka. Karena itu, umpan balik dapat diketahui dengan segera, baik secara verbal maupun nonverbal. Keempat, peserta komunikasi berada dalam jarak dekat. Komunikasi antarpribadi menuntut pesertanya berada dalam jarak dekat, baik fisik maupun psikologis. Kelima, peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan secara verbal maupun non-verbal. Untuk meningkatkan keefektifan.

(37) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24. komunikasi antarpribadi, kekuatan pesan verbal maupun nonverbal, untuk berupaya saling meyakinkan, dengan mengoptimalkan penggunaan pesan verbal. maupun. nonverbal. secara. bersamaan,. saling mengisi,. saling. memperkuat sesuai dengan tujuan komunikasi. Teori mengenai komunikasi fatis dalam penelitian Ramadanty memiliki persamaan dengan teori fatis Pala. Konsep teori fatis dalam kedua penelitian ini menggunakan teori Malinowski, hanya ada beberpa tambahan mengenai konsep komunikasi fatis, yaitu komunikasi fatis adalah komunikasi yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan komunikasi fatis kita dengan orang lain sangat terkait dengan bagaimana budaya kita berperan membentuknya. Lebih lanjut, Malinowski menjelaskan bahwa komunikasi fatis bisa jadi bukan hanya bentuk basa-basi atau small talk dalam proses komuniasi tersebut, tetapi bisa menjadi pembentuk hubungan antar individu. Meskipun penelitian tersebut dilakukan tidak dalam budaya tertentu, tetapi paparan teori mengenai komunikasi anatarbudaya telah dijelaskan. Ramandanty menduga bahwa faktor penggunaan komunikasi fatis salah satunya adalah latar belakang budaya penuturnya. Teori komunikasi anatarbudaya yang dipaparkan dalam penelitian ini, yaitu interaksi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Hall (Andriani, 2012) menyatakan bahwa budaya dapat diklasifikasikan berdasarkan gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Budaya konteks tinggi diinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan..

(38) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25. 2.3 Teori Makna dan Maksud Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang berkaitan dengan makna. Makna (sense) adalah arti atau maksud yang tersimpul dalam suatu kata karena berhubungan dengan makna kata yang lain dalam sebuah tuturan (Subroto, 2011: 23). Ilmu yang mempelajari mengenai makna kata disebut semantik. Semantik mempelajari makna yang ada dalam ujaran. Perlu dijelaskan bahwa terjemahan meaning adalah ‘arti’ sedangkan sense adalah ‘makna’. Matthews (Nuryadi, 2017) mendefinisikan arti sebagai hubungan antara bentuk bahasa dengan sesuatu di luar bahasa, sedangkan makna didefinisikan sebagai hubungan di antarkata itu sendiri di dalam bahasa. Sementara Subroto (2011) mengatakan bahwa arti (meaning) bersifat umum, sedangkan makna (sense) memiliki kekhasan sifat, karena ditentukan berdasarkan relasinya dengan satuan lingual lain dalam sebuah tuturan. Sementara itu, Pateda (1985) mengatakan bahwa makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan yakni pendekatan analitik atau referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik ingin mencari esensi makna dengan cara menguraikan atas segmen-segemn utama. Pendekatan operasional ingin mempelajari leksem dalam penggunaannya. Selain itu, dalam pendekatan operasional lebih menekankan bagaimana leksem dioperasikan dalm tindak sehari-hari (Pateda,1985: 48). Makna sebuah ujaran dikatakan berbeda dengan maksud ujaran. Makna merupakan gejala yang berada di dalam ujaran sedangkan maksud berada di luar ujuran (Chaer, 2009). Artinya maksud ujuran dapat dilihat dari segi penuturnya. Apabila makna ujaran dapat dipelajari dalam ilmu semantik, maksud dapat.

(39) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26. dipelajari dalam ilmu pragmatik. Sehingga maksud dapat dikatakan juga sebagai makna pragmatik dalam setiap ujaran. Berdasarkan konsep penelitian ini, maksud ujaranlah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Penelitian kefatisan berbahasa tidak lepas dari maksud atau makna pragmatik dalam tuturanya. Dengan demikian, makna pragamtik yang dimaksudkan dalam penelitian ini ialah maksud yang ada dalam diri penutur yang berhubungan dengan hubungan sosial antarpenutur. Setiap penutur mengeluarkan tuturan pasti mempunyai maksud yang ingin disampaikan. Maksud tersebut adalah milik si penutur, bukan tuturan. Tuturan adalah media bagi penutur untuk menyampaikan maksud tersebut. Berkaitan dengan maksud tersebut, sangat perlu dipahami bagaimana maksud dan makna dapat dibedakan, karena kedua hal tersebut adalah berbeda jika telah bersinggungan dengan konteks situasi. Rahardi (2003:16−17) dalam bukunya telah berbicara perihal maksud dan makna ini. Rahardi mengawali dengan memaparkan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah maksud penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka dapat pula dikatakan bahwa pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Istilah maksud dalam ilmu pragmatik dapat juga dikatakan sebagai makna pragmatik. Jadi, sesungguhnya perbedaan yang sangat mendasar antar keduanya.

(40) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27. adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal, sedangkan sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal. Rahardi memaparkan pula bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent), sedangkan makna yang dikaji di dalam semantik berciri bebas konteks (context independent). Makna yang dikaji di dalam semantik bersifat diadik (diadic meaning), sedangkan dalam pragmatik makna itu bersifat triadik (triadic meaning). Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud penutur, semantik mempelajarinya untuk memahami makna sebuah satuan linguan an sich, yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan konteks situasi masyarakat dan kebudayaan tertentu yang menjadi wadahya. Selanjutnya, Wijana dan Muhammad (2008:10–11) membedakan ketiga hal, yaitu makna, maksud, dan informasi dengan mengatakan dengan tegas bahwa makna berbeda dengan maksud dan informasi karena maksud dan informasi bersifat di luar bahasa. Maksud ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari pembicara, sedangkan informasi adalah elemen luar bahasa yang bersumber dari isi tuturan. Maksud bersifat subjektif, sedangkan informasi bersifat objektif.. 2.4 Teori Konteks Sebuah wujud tuturan komunikasi fatis selalu berkaitan dengan maksud penutur. Maksud penutur tersebut tentu berhubungan dengan hubungan sosial antarpenutur. Namun, wujud dan maksud dari sebuah tuturan fatis tidak dapat diidentifikasi. apabila. kita. tidak. memperhatikan. konteks. tuturan. yang.

(41) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28. melingkupinya. Di dalam penelitian ini, selain teori komunikasi fatis, peneliti menggunakan teori sosiopragmatik untuk membantu mengidentifikasi maksud penutur dalam setiap tuturan. Oleh sebab itu, konteks sangat penting dalam penelitian ini, tidak hanya konteks situasi saja tetapi juga konteks sosial yang di dalamnya terdapat budaya masyarakat tuturnya. Konteks dalam kajian sosiopragmatik merupakan aspek yang sangat penting untuk memahami maksud penutur dalam peristiwa tuturan. Proses komunikasi dalam lingkungan sosial menuntut pemakai bahasa atau penutur tidak hanya menguasai aspek gramatikal, tetapi juga kesesuaian pemaiakan bahasa dengan kontes situasi dan budaya, serta faktor-faktor lain di luar aspek kebahasaan, aspek di luar kebahasaan tersebut juga ikut membedakan bahasa sebagai ujaran. Konsep. konteks. secara. pragmatik. (juga. sosiopragmatik). adalah. pengetahuan mengenai ruang, mengenai identitas partisipan, dan pengetahuan waktu pelaksanaan penuturan (Levinson,1983: 5). Pandangan Levinson tersebut setidaknya mencakup pada konteks linguistik dan konteks fisik, yaitu konteks yang mengarah pada konteks pertuturan. Hal senada dikemukakan oleh Firth bahwa kajian bahasa sulit dilakukan tanpa ada pertimbangan konteks situasi yang meliputi partisipan, tindakan partisipan (baik verbal maupun nonverbal), ciri-ciri situasi lain yang bergayut dengan hal yang sedang berlangsung, dan akibat-akibat dari tindak tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk perubahan yang muncul akibat tindakan partisipan (Wijana, 1995: 47)..

(42) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29. Sementara itu, Jacob I. Mey (1983: 42-43) membedakan konteks situasi dalam kajian pragmatik menjadi dua jenis, yaitu social context ‘konteks sosial’ dan societal context ‘konteks sosietal’. Social context adalah konteks kebahasaan yang hadir sebagai dampak dari peristiwa komunikasi dan interaksi antaranggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya tertentu. Societal context adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan sosial relatif masyarakat tutur di dalam situasi sosial tertentu. Karena itu, konteks sosial didasarkan atas solidarity ‘solidaritas’; sedangkan konteks sosietal pada power ‘kekuasaan’. Mey mengungkapkan bahwa konteks sebagai sebuah konsep yang dinamis, bukan statis. Secara umum, konteks tersebut dipahami sebagai lingkungan yang tidak tetap (senantiasa berubah) yang memungkinkan peserta pertuturan berinteraksi, dan dapat membantu mereka untuk memahami ungkapan-ungkapan kebahasaan yang mereka gunakan dalam peristiwa berkomunikasi. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Leech (1993: 20) yang memberi pengertian bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang samasama dimiliki oleh penutur dan petutur, serta yang membantu petutur di dalam menafsirkan makna tuturan. Penelitian ini memfokuskan pada konteks situasi dan didukung oleh konteks sosial budaya masyarakat (abdi dalem). Konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar dan situasi, saluran, dan kode. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap dan perilaku bahasa milik bersama suatu kelompok masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi.

(43) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30. antaranggota masyarakat, wujud sikap dan pola prilaku lain secara bersama-sama berterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu. Teori konteks Mey dan Leech digunakan peneliti untuk menganalisis data yang diperoleh sehingga peneliti dapat merumuskan mengenai kefatisan berbahasa para abdi dalem. Namun tidak hanya itu, konteks budaya juga membantu peneliti dalam menganalisis data yang diperoleh. Konteks budaya dibatasi sebagai kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan (Martin 1986 dalam Saragih 2003:198). Teks merupakan kegiatan atau aktivitas sosial dengan pengertian bahwa teks wujud sebagai interaksi yang melibatkan dua sisi pelibat. Konteks budaya juga menetapkan tahap (stages) yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan karena pemakai bahasa tidak mungkin mencapai suatu tujuan dengan hanya sekali ucap. Dengan kata lain, konteks budaya menetapkan langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan sosial. Konteks budaya merupakan. suatu. pendekatan. yang. menggambarkan. cara-cara. manusia. menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan sesuai dengan budaya yang melingkupinya (Rosmawaty, 2011). Sementara itu, hubungan pragmatik dengan konteks juga dikemukakan oleh Leech (1983: 19-22) bahwa pragmatik adalah kajian tentang makna dalam kaitannya dengan situasi-situasi ujar (speech situation). Artinya, seseorang yang berusaha menganalisis makna pragmatik harus memperhitungkan konsep-konsep situasi ujar yang meliputi lima aspek, yakni:.

(44) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31. 1) Aspek Penyapa dan Pesapa Penyapa (yang menyapa) sebagai penutur dan pesapa (yang disapa) sebagai mitra tutur dalam sebuah peristiwa komunikasi. Pemahaman terhadap siapa penutur dan siapa mitra tutur akan menentukan jalannya komunikasi. pemahaman faktor penutur dan mitra tutur dalam komunikasi para abdi dalem, perlu dicermati faktor-faktor yang berada dalam diri penutur, yakni keyakinan, kondisi fisik, perilaku jabatan, usia, tingkat keakraban, dan kedudukan dalam kesultanan dan kadipaten Yogyakarta. 2) Aspek Konteks Aspek konteks adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, serta hal-hal yang penting (yang membantu) mitra tutur untuk menafsirkan makna tuturan. 3) Aspek Tujuan Tuturan Bentuk sebuah tuturan yang diujarkan oleh seorang penutur tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang ingin disampaikan. Penyampaian suatu maksud yang sama, dapat dinyatakan dengan tuturan yang beragam; atau berbagai maksud disampaikan dengan tuturan yang sama. Artinya, setiap tuturan memiliki tujuan tertentu. 4) Aspek Tindakan Ilokusi Tindak ilokusi adalah bagian tuturan sebagai tindakan (tindak tutur). Artinya, tuturan memengaruhi mitra tutur melakukan sesuatu sehingga tindak tutur (speech act) adalah kekuatan ujar penutur. Pernyataan ini.

(45) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32. mengisyaratkan peringatan para abdi dalem dalam berkomunikasi agar tetap memertahankan kebudayaan Jawa dalam kehidupan zaman sekarang. 5) Aspek Tuturan Aspek tuturan merupakan produk tindak verbal dengan memanfaatkan teknik bertutur. Misalnya, intonasi kalimat yang diucapkan penutur dengan intonasi naik atau keras bisa dipahami oleh mitra tutur bahwa ia marah, menegur, menyangsikan, atau mendesak. Lebih lanjut, Pranowo (2015) mengatakan bahwa konteks dalam pragmatik dapat diindentifikasi melalui enam aspek, yaitu: 1. Dasar Pemahaman yang Sama Artinya, dalam memahami maksud sebuah tuturan, penutur dan mitra tutur harus mempunyai pengetahuan yang sama (common ground) mengenai pokok pembicaraan. Hal ini membantu mitra tutur untuk dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh penutur. Konteks di dalam pragmatik berkaitan dengan unsur ekstralingual yang ada dalam penuturnya. Misalnya, percakapan suami-istri mengenai pemahaman soal waktu yang sama. Ketika suami menanyakan “Sudah jam berapa ya, Bu? Istri menjawab “Kereta api belum lewat, tu Pak!” Suami tidak protes atas jawaban sang istri. Hal ini membuktikan bahwa mereka memiliki pemahaman sama mengenai waktu. Padahal, jawaban sang istri sebenarnya tidak padu jika dilihat secara sintaksis..

(46) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33. 2. Latar Belakang Budaya Latar belakang penuturnya juga dapat membantu untuk mengetahui maksud sebuah tuturan. Latar belakang budaya dapat diketahui melalui intensitas berkomunikasi bersemuka antarpenutur. Misalnya, seorang dosen mengatakan tuturan “Tidak ada spidol ya?”. Tuturan tersebut dapat menimbulkan dua jawaban. Jawaban pertama mahasiswa akan menjawab bahwa memang spidol tersebut sejak tadi tidak ada; jawaban kedua mahasiswa akan menjawab bahwa dosen tersebut diminta untuk menunggu karena akan diambilakan spidol di sekretariat. Dua jawaban tersebut memang tidak salah, tetapi jawaban kedua membuat dosen lebih berkenan. Jika setiap dosen berbicara seperti itu tentu mahasiswa dengan latar belakang berbeda tidak akan menangkap maksud yang diinginkan oleh dosen. Setiap masyarakat memiliki latar belakang budaya yang berbedabeda, maka tidak perlu didebatkan tetapi dicari cara yang tepat untuk memahaminya. Latar belakang budaya dapat menjadi salah satu dasar dapat atau tidaknya komunikasi berjalan dengan lancer. Latar belakang pengetahuan budaya ini dapat dimiliki oleh seseorang melalui motivasi integratif dan motivasi secara instrumental. Latar belakang pengetahuan budaya yang dimiliki melalui motivasi integratif dapat terjadi apabila seseorang itu menguasai budaya karena merka ingin menjadi bagian dari budaya masyarakat yang dikuasainya. Latar belakang pengetahuan budaya yang dimiliki melalui motivasi secara instrumental terjadi pada seseorang yang.

(47) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34. ingin menguasai budaya baru dengan tujuan mempelajari budaya baru tetapi mereka tetap bertahan pada budaya aslinya. 3. Asumsi Penutur terhadap Mitra Tutur Seorang penutur dapat berkomunikasi secara lancer dengan mitra tutur jika asumsi penutur terhadap mitra tutur selalu benar, demikkian sebaliknya. Awal membangun asumsi dalam berkomunikasi, penutur dapat melakukan berbagai cara untuk menjajagi mitra tutur agar dapat menemukan persepsi yang sama. 4. Knowledge of the World Dasar pemahaman yang sama dapat dibangun oleh penutur dan mitra tutur melalui pengetahuan tentang dunia (knowledge of the world) dan latar belakang pengetahuan budaya (culture knowledge background) untuk saling memahami topik yang dituturkan. Pengetahuan tentang dunia dapat dimiliki secara eksplisit maupun imlisit. Eksplicit knowledge of the world dimiliki penutur dan mitra tutur karena mereka mempelajari secara khusus tentang pengetahuan tersebut karena mereka belajar secara formal. Sebaliknya, implicit knowledge of the world dimiliki penutur dan mitra tutur karena mereka sering bersinggungan dengan bidang-bidang tertentu. Ketika penutur berkomunikasi dengan mitra tutur memiliki knowledge of the world yang sama, berarti keduanya memiliki dasar pemahaman yang sama mengenai topik sehingga mereka mampu berkomunikasi dengan lancar..

(48) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35. 5. Kesantunan Pemakaian bahasa dikatakan secara santun apabila penutur mampu menjaga harkat dan martabat dirinya di hadapan mitra tutur sehingga tuturannya tidak menyinggung perasaan mitra tutur. Santun tidaknya suatu tuturan di samping ditentukan oleh unsur intralingual seperti kata-kata beraura santun, yaitu tolong, terimakasih, maaf dll, juga ditentukan unsur ekstralingual, yaitu empan papan, adu rasa, angon rasa, dll. 6. Bahasa Non-verbal Salah satu situasi di luar tuturan tetapi ikut memperjelas maksud penutur adalah bahasa non-verbal. Bahasa non-verbal (sebagai unsur ekstralingual) juga penting dalam berkomunikasi. Bahasa nonverbal dapat berupa gestur, yaitu gerakan tubuh atau bagian tubuh yang dapat berfungsi penting dalam berkomunikasi. Gesture dapat berupa kinesik, kontak mata (kerlingan, mata) dan kinestetik. Dengan demikian, pengertian konteks dapat dipaparkan, yaitu (1) Konteks yang mengarah pada konteks pertuturan, seperti konteks linguistik (referensi tekstual) dan konteks fisik (referensi kontekstual); (2) Konteks bersifat dinamis, bukan statis yang harus dipahami sebagai lingkungan yang tidak menetap (selalu berubah-ubah) dalam arti yang luas, dan diketahui bersama oleh partisipan (baik pengetahuan umum maupun interpersonal) yang memungkinkan partisipan berinteraksi serta membantu partisipan dalam rangka saling memahami ungkapanungkapan kebahasaan yang digunakan dalam berkomunikasi; (3) Konteks.

(49) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36. digunakan untuk memahami maksud tuturan, bukan makna kalimat yang berorientasi pada pengguna; dan (4) Konteks sebagai implikasi pragmatik.. 2.5 Tingkat Tutur dalam Berbahasa Jawa Tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang didasarkan pada anggapan penutur terhadap rekan bicaranya. Di dalam bahasa Jawa tingkat tutur dapat juga disebut unggah-ungguh. Unggah-ungguh merupakan gabungan dua kata, yakni unggah atau munggah yang berarti naik, mendaki, memanjat (Prawiroatmodjo, 1989: 296) dan ungguh yang berarti berada, bertempat, pantas, cocok sesuai dengan sifatnya (Zoetmulder, 1995: 1334). Artinya bahwa kecendrungan masyarakat yang memiliki latar belakang budaya Jawa menghormati orang lain berdasarkan tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi. Selain itu, mereka juga menghormati orang lain dengan selalu memperhatikan keadaan, selalu berhati-hati (waspada) dalam membawa diri, agar sikap dan tingkah lakunya sesuai, pantas, serta tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik dalam masyarakat (Handayani, 2009). Dengan demikian unggah-ungguh berarti sopan santun, basa basi atau tata karma (Mangunsuwito, 2002: 570). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa selalu memerhatikan aturan sopan santun dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun, aman, dan damai. Soepomo (1997) mengatakan bahwa masyarakat Jawa khususnya yang berbahasa Jawa memiliki gejala-gejala khusus dalam sistem unda-usuk. Maksudnya, dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat tutur yang khas dan jelas.

(50) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37. digunakan untuk membawakan arti kesopanan yang bertingkat-tingkat. Pertama, tingkat tutur halus yang berfungsi membawakan rasa kesopanan yang tinggu atau disebut tingkat tutur krama (sopan sekali). Kedua, tingkat tutur menengah yang berfungsi membawakan arti kesopanan yang sedang atau biasanya disebut madya (setengah-setengah). Ketiga, tingkat tutur biasa yang berfungsi membawakan rasa kesopanan rendah atau biasa disebut ngoko (kesopanan rendah). Sisi lain, Frans Magnis Suseno (1985: 60) mengidentikkan unggahungguh dengan prinsip hormat. Artinya, masyarakat Jawa selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya dalam hal berbicara dan membawa diri. Umumnya, masyarakat Jawa menggunakan bahasa keluarga dan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, serta krama inggil sebagai pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi dalam menyapa atau membangun komunikasi orang lain. Tingkatan bahasa krama tersebut dijadikan sebagai sarana ampuh dalam mencegah timbulnya konflik, sehingga tatanan ngoko-krama memiliki fungsi mengatur semua bentuk komunikasi, khususnya interaksi langsung dengan keluarga inti maupun di tengah lingkungan sosial. Tatanan krama ini mengenai gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk pembicaraan. Dengan demikian, unggah-ungguh dalam pandangan Suseno merupakan bentuk manifestasi dari bentuk prinsip rukun dan prinsip hormat (Handayani, 2009). Maryono Dwiraharjo (2001: 67) pun mendefinisikan unggah-ungguh sebagai tingkah laku berbahasa menurut adat sopan santun masyarakat yang.

(51) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38. menyatakan rasa menghargai atau menghormati orang lain. Dengan demikian, unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa dengan membawa diri dalam kehidupan sosial. Mereka selalu memerhatikan tuturan atau bahasa yang digunakan dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang lain dengan memperhatikan derajat atau usia demi terwujudnya kehidupan lebih baik dan selaras. Makna unggah-ungguh yang dikonotasikan dalam berbagai bentuk tersebut berupa tatanan yang mengandung makna yang sama dan mempunya tujuan yang sama pula. Beberapa unsur dalam definisi tersebut, merupakan bentuk adanya sikap dalam masyarakat. Sikap yang ditunjukkan biasanya hanya basa-basi. Misalnya, penutur menawarkan mitra tutur untuk singgah, tetapi bukan tawaran yang serius. Hal ini ditunjukan masyarakat Jawa hanya untuk memupuk rasa kerukunan dan keakraban. Selain itu, beberapa literatur menyebutkan kepada siapa saja orang harus melaksanakan unggah-ungguh (berperilaku dan berbicara) halus, biasa, dan kasar. Karena itu, keseluruhan hal tersebut terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu berunggah-ungguh kepada orang yang memiliki kedudukan, orang yang lebih tua, orang asing, orang yang setara, dan orang yang lebih muda atau bawahan (Handayani, 2009).. 2.5.1 Unggah-ungguh dalam Etika Jawa Secara umum, etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan sikap, sekaligus menyoroti kewajban manusia. Mohammad Hatta (Handayani, 2009) menegaskan bahwa etika tidak mempersoalkan apa atau siapa.

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan sikap politik,. yakni yang berkaitan dengan kesiapan bereaksi terhadap objek

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada pengujian aktivitas ekstrak etanol buah lerak (Sapindus rarak) menunjukkan terdapat daya hambat atau memiliki aktivitas antibakteri

ini adalah anak muda Sidoarjo telah berlomba dalam aksi peduli lingkungan dan melaksanakan kegiatan bersih-bersih lingkungan ( trashmob ) dengan tujuan dari Program

Kondisi ini disebakan karena perusahaan mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen, pengetahuan tersebut diperoleh dari layanan pengaduan yang diberikan kepada konsumen,

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan pembelajaran bermakna

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel struktur aset memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur modal, sedangkan profitabilitas, ukuran

Metode pelaksanaan Kegiatan Program Kemitraan Masyarakat di Dusun Mangelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto ini lebih ditujukan kepada pemecahan

Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megapolis, dikategorikan sebagai daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis sisanya