• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, dengan tujuan untuk mewujudkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, dengan tujuan untuk mewujudkan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Kepmenkes No.1197 tahun 2004, upaya kesehatan adalah kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, dengan tujuan untuk mewujudkan derajad kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan

(rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan

(Depkes, 2004a).

Salah satu upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit yang antara lain dapat dicapai dengan penggunaan obat yang rasional dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Siregar, 2004).

Anak merupakan individu yang sangat riskan terhadap obat, sistem dalam tubuhnya yang belum sempurna dalam merespon dan memetabolisme obat dalam tubuh secara baik. Pasien anak merupakan populasi dengan risiko tinggi utamanya antara usia 1 dan 5 tahun (Olson dkk, 2004). Untuk menyesuaikan dosis untuk pasien

(2)

anak, maka dokter sering meresepkan obat racikan. Informasi dosis merupakan hal yang penting dalam pengobatan anak karena profil farmakokinetik dan farmakodinamik anak berbeda dengan orang dewasa (Purba, 2007). Obat racikan sering digunakan pada anak kemungkinan karena belum tersedianya formula obat yang sesuai dengan kondisi pasien. Formulasi untuk anak harus diberikan dengan pemilihan dosis yang akurat dengan variasi yang sesuai dengan umur dan berat badan (Nunn dan Williams, 2004).

Pulveres adalah serbuk yang diracik dari satu atau beberapa bahan aktif , dicampurkan menjadi satu dan dihaluskan, setelah itu dibagi dalam bagian-bagian yang sama rata dan dibungkus menggunakan kertas perkamen, biasanya ditujukan untuk pemakaian oral. Penggunaan pulveres lebih banyak diberikan kepada pasien anak-anak yang masih belum mampu menelan obat kapsul atau tablet secara baik, maka puyer menjadi salah satu pilihan alternatif yang dianggap lebih efisien bila di berikan kepada pasien anak. Berbagai masalah tentang penyediaan obat telah banyak dipublikasikan, terutama sediaan pulveres. Sediaan pulveres sebagai alternatif obat untuk anak telah menjadi perhatian khusus di pelayanan kesehatan. Pulveres memang memiliki beberapa keuntungan dari sediaan lainnya, antara lain ; dosis mudah disesuaikan dengan berat badan anak secara tepat, obat dapat dikombinasikan sesuai kebutuhan pasien, praktis, cara pemberian yang mudah khususnya untuk anak yang masih kecil yang belum dapat menelan tablet (Wiedyaningsih, 2013).

Kerugian obat diserahkan dalam bentuk pulveres meliputi , kemungkinan efek samping dan interaksi obat meningkat, waktu untuk menyediakan obat puyer relatif

(3)

lebih lama, berat tiap bungkus berbeda karena pulveres tidak ditimbang satu per satu untuk tiap bungkus, kemungkinan terdapat kesalahan menimbang, sulit melakukan kontrol kualitas, menurunnya stabilitas obat, dapat meningkatkan toksisitas, efekivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus, tingkat higienisitasnya cenderung lebih rendah daripada obat yang dibuat di pabrik, serta peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien (Wiedyaningsih, 2013).

Peracikan obat merupakan salah satu tugas penting tenaga ahli peracik yaitu apoteker dan asisten apoteker. Para tenaga peracik dituntut untuk dapat mengerjakan obat racikan sebaik mungkin dengan kualitas yang terjamin serta aman. Obat racikan yang dibuat dan dilakukan berdasarkan resep dari dokter. Terbatasnya bahan referensi dan proses yang rumit menjadikan peresepan dan peracikan obat pada anak cenderung dilakukan hanya berdasarkan pada pengalaman. Terlepas dari keuntungan sediaan puyer, beberapa hal sebenarnya perlu dikaji lebih dalam tentang interaksi, stabilitas, kebersihan dan keamanannya (Kurnia, 2009).

Peracikan obat ialah salah satu cara menyediakan obat yang tepat, ketepatan dalam meracik dengan prosedur dan formula yang tepat menentukan keefektifan obat yang akan di berikan kepada pasien Ketersediaan dari tenaga peracik yang kompeten, sarana, prasarana dan fasilitas dalam meracik obat menjadi sangat penting guna menghasilkan sediaan racikan yang aman dan tepat . Pemahaman tenaga peracik

(4)

dalam kebijakan-kebijakan dalam undang-undang yang mengatur tentang peracikan menjadi dasar dalam bekerja secara baik, taat dan benar (Allen, 2000).

Peracikan obat perlu mendapatkan perhatian khusus karena kualitas peracikan yang masih dipertanyakan. Peracikan obat yang tidak sesuai dapat membahayakan kesehatan, memberikan efek yang tidak diinginkan. Oleh karena itu,pengawasan praktek peracikan obat berada di bawah Badan Pengawas Obat dan Makanan (Kurnia, 2009).

Peracikan obat disupervisi oleh apoteker, sedangkan tenaga apoteker dalam suatu rumah sakit ataupun instansi kesehatan lainnya tergolong masih sangat kurang. Kekhawatiran semakin bertambah dengan kurangnya tenaga apoteker dibandingkan dengan jumlah resep racikan yang semakin banyak di rumah sakit. Adanya permasalahan tentang obat racikan, baik dalam bentuk puyer ataupun cair maka timbullah keraguan masyarakat tentang puyer dan obat racikan lainnya. Peneliti ingin melihat persepsi masyarakat tentang obat racikan ini.

Latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seperti apakah gambaran peresepan obat racikan, pengelolaan pelayanan peracikan dan seperti apakah persepsi masyarakat terhadap peracikan obat di Rumah Sakit Jatisampurna, Bekasi Jawa Barat.

B. Perumusan Masalah

1. Seperti apakah gambaran peresepan obat racikan di Rumah Sakit Jatisampurna, Bekasi Jawa Barat ?

(5)

2. Seperti apakah struktur pelayanan praktek peracikan obat di Rumah Sakit Jatisampurna, Bekasi Jawa Barat ?

3. Seperti apakah persepsi masyarakat terhadap peracikan obat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah :

1. Mengetahui gambaran peresepan obat racikan di Rumah Sakit Jatisampurna, Bekasi Jawa Barat

2. Mengetahui gambaran tentang struktur praktek pelayanan peracikan obat di Rumah Sakit Jatisampurna, Bekasi Jawa Barat

3. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap peracikan obat.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan adalah :

1. Memberikan gambaran peresepan obat racikan di Rumah Sakit Jatisampurna, Bekasi Jawa Barat

2. Memberikan gambaran tentang struktur pelayanan peracikan obat di Rumah Sakit Jatisampurna, Bekasi Jawa Barat

3. Memberikan data bagi pembuat kebijakan dan pendidik di perguruan tinggi dalam mengevaluasi, dan memutuskan tentang peraturan peracikan obat serta pelatihan yang perlu diberikan untuk tenaga kesehatan.

(6)

E. Tinjauan Pustaka 1. Peracikan obat

Peracikan obat dilakukan atas permintaan dokter kepada pasien melalui resep. Peracikan pada umumnya ditujukan kepada pasien pediatrik, karena terbatasnya sediaan obat untuk anak. Peraturan Pemerintah nomer 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa penyerahan dan pelayanan obat atas resep dokter dilakukan oleh apoteker. Peraturan ini juga menyebutkan apabila di daerah terpencil yang tidak memiliki apoteker, maka Menteri dapat menempatkan tenaga teknis kefarmasian yang terdiri dari sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan asisten apoteker yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) pada pelayanan kesehatan dasar yang untuk diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien (Depkes RI, 2009ᵇ).

Hal yang penting dalam proses peracikan obat adalah mempunyai standar minimum untuk personel, fasilitas, kebersihan, peralatan dan dokumentasi peracikan obat. Standar personel yaitu menjamin kualitas personel dan obat yang diracik. Standar fasilitas yaitu fasilitas yang digunakan dapat mendukung sediaan racikan sehingga faktor lingkungan seperti suhu, radiasi, cahaya, udara, serta kelembaban udara tidak memepengaruhi stabilitas obat (Allen, 2000). Stabilitas obat dihubungkan dengan tanggal kadaluwarsa sediaan racikan, menurut USP Chapter 795 tentang

Pharmaceutical Compounding- Nonsterile Preparations tanggal kadaluwarsa sediaan

(7)

a. Sediaan padat berupa obat jadi yang dibuat oleh industri, jika dibuat menjadi sediaan racikan mempunyai tanggal kadaluwarsa menjadi 25% dari tanggal kadaluwarsa yang telah ditetapkan oleh industri.

b. Sediaan obat yang berbentuk serbuk yang dibuat menjadi sediaan racikan mempunyai waktu kadaluwarsa selama 6 bulan sejak dibuatnya menjadi sediaan racikan.

c. Sediaan berupa cairan yang dibuat menjadi sediaan racikan mempunyai tanggal kadaluwarsa selama 14 hari sejak obat tersebut dibuat menjadi sediaan racikan.

(Allen, 2000) Standar kebersihan yaitu menjaga kebersihan personel dan umum dari proses persiapan obat hingga penyerahan obat kepada pasien. Standar peralatan yaitu peralatan yang digunakan sebaiknya berbentuk sederhana, tidak mengalami interaksi dengan bahan obat yang akan diracik. Standar dokumentasi yaitu sediaan racikan sebaiknya mempunyai dokumentasi yang khusus dan terpisah dari dokumentasi sediaan non racikan (Allen, 2000).

Langkah-langkah yang dapat dijadikan pedoman tenaga peracik untuk mengurangi kesalahan dalam melakukan peracik sediaan obat, antara lain (Allen, 2000) :

a. Skrining resep yang akan diracik sehingga sesuai dengan syarat-syarat keamanan dan tujuan pemakaian.

(8)

b. Kerjakan perhitungan dengan teliti untuk memperoleh jumlah bahan-bahan yang diperlukan.

c. Identifikasi alat-alat yang diperlukan.

d. Gunakan pakaian yang tepat dan cuci tangan.

e. Bersihkan daerah yang digunakan untuk meracik dan alat yang diperlukan.

f. Hanya satu resep yang harus diracik pada satu waktu dalam suatu peracikan yang ditentukan.

g. Kumpulkan semua bahan-bahan untuk meracik resep.

h. Racik sediaan dengan mengikuti catatan formulasi pada resep yang diperoleh.

i. Setelah selesai proses peracikan obat, peracik harus menilai variasi berat, kecukupan pencampuran, kejernihan, bau, warna, konsistensi, dan pH setepatnya.

j. Beri label wadah resep dengan memasukkan item berikut : 1) Nama lengkap pasien

2) Aturan pemakaian obat

3) Tanggal kadaluwarasa obat racikan 4) Inisial dari tenaga peracik

5) Instruksi penyimpanan obat yang diracik 6) Runcian nama/ jenis obat yang diracik 7) Dosis masing-masing obat yang diracik

(9)

k. Tandatangani dan beri tanggal resep yang menegaskan bahwa semua prosedur telah dikerjakan untuk menjamin keseragaman, identitas, kekuatan, kuantitas, dan kemurnian resep.

l. Bersihkan semua peralatan dan simpan dengan tepat.

2. Peraturan Peracikan Obat

Compounding Pharmacy Service di United States of America yang membahas

tentang “Law and Regulations Related to Compounding” menyebutkan peraturan peracikan obat dapat mengikuti peraturan yang berlaku secara Internasional dan sesuai dengan kondisi negara itu sendiri. Selain peraturan yang telah ditetapkan oleh

Food and Drug Administration (FDA) secara Internasional, setiap negara bagian di

Amerika memiliki peraturan tersendiri yang berhubungan dengan peracikan. Peraturan yang dimiliki sendiri menyebabkan banyak dokter, apoteker atau tenaga kefarmasian tidak peduli pada peraturan yang telah ditetapkan oleh FDA tentang pedoman peracikan obat (Caruthers dkk, 2006).

Pedoman peracikan oleh FDA tercantum dalam Guideline to Pharmacy

Compounding. Pedoman tersebut dibuat pada tahun 2005 oleh apoteker yang

berpengalaman di bidang peracikan obat di Amerika. Apoteker beranggapan bahwa peracikan merupakan bagian penting praktek farmasi, sehingga diperlukan suatu pedoman untuk menghasilkan sediaan yang aman dan tepat. Pedoman digunakan oleh apoteker atau tenaga kefarmasian untuk persiapan dan pembuatan sediaan obat

(10)

racikan. Apoteker atau tenaga kefarmasian diharapkan dapat memenuhi peraturan sebagai berikut (Caruthers, 2006) :

a. Mempunyai pengetahuan dan ahli dalam bidang peracikan obat. b. Mempunyai izin untuk melakukan peracikan obat.

c. Memelihara peralatan yang digunakan dalam peracikan obat. d. Menggunakan prosedur dalam peracikan obat.

e. Tepat dan benar dalam penulisan etiket.

f. Menggunakan pengemas yang tepat untuk sediaan obat racikan.

g. Penyimpanan sediaan obat racikan di tempat yang aman dan kebersihan. h. Melakukan dokumentasi untuk menjamin sediaan obat racikan.

Pedoman peracikan obat pada Guideline to Pharmacy Compounding meliputi beberapa kriteria yaitu personel, peralatan, kebersihan, pelabelan, pembungkusan, penyimpanan, dokumentasi. Personel yang dimaksud adalah apoteker atau tenaga kefarmasian yang melakukan peracikan obat. Pengetahuan dan keterampilan apoteker atau tenaga kefarmasian sangat berperan untuk menghasilkan sediaan obat racikan yang aman. Peralatan, kebersihan, pelabelan, pembungkusan, penyimpanan dan dokumentasi yang baik harus diperhatikan untuk memperoleh sediaan racikan yang sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik. Masing-masing kriteria yang tercantum dalam pedoman peracikan dijelaskan sebagai berikut (Anonim, 2006a):

(11)

a. Personel

1) Apoteker atau tenaga kefarmasian yang bertugas dalam peracikan obat harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipertanggung jawabkan.

2) Apoteker atau tenaga kefarmasian harus bekerja secara profesional dan peduli terhadap peraturan pembuatan obat yang baik.

3) Apoteker sebaiknya mempunyai pengetahuan tentang sediaan obat dan proses peracikan. Obat diperoleh dari industri yang telah mempunyai izin penjualan dan peredaran terhadap obat tersebut. Jika tidak terdapat sediaan dari pabrik yang sesuai permintaan resep, apoteker dapat menggunakan pengetahuan kefarmasian yang dimiliki untuk membuat sediaan sesuai dengan resep.

4) Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker dalam praktek peracikan obat adalah membantu pasien yang memerlukan sediaan racikan, memberikan konseling yang tepat tentang cara penggunaan sediaan racikan, mengetahui inkompatibilitas yang dapat terjadi pada sediaan racikan, menentukan peralatan yang digunakan untuk meracik obat, menyiapkan sediaan racikan yang aman, serta membuat dokumentasi khusus sediaan racikan.

(12)

b. Peralatan

Peralatan yang digunakan untuk peracikan sebaiknya :

1) Peralatan yang digunakan dapat disesuaikan dengan sediaan obat yang diracik dan terhindar dari kontaminasi.

2) Peralatan dapat digunakan dengan mudah dan terhindar dari kontaminasi.

3) Peralatan dijaga agar tetap bersih dan kering selama penggunaan dan penyimpanan.

c. Kebersihan

1) Apoteker sebaiknya mempunyai program secara kontinyu untuk membersihkan peralatan yang digunakan dan peralatan yang mendukung praktek peracikan obat.

2) Prosedur untuk kebersihan sebaiknya ditulis secara detail untuk meminimalkan kontaminasi, termasuk di dalamnya prosedur perlengkapan personel saat melakukan peracikan obat meliputi penggunaan masker, sarung tangan, baju dan sepatu khusus.

d. Pelabelan

Pelabelan atau etiket meliputi nama pasien, aturan pakai, tanggal kadaluwarsa, instruksi penyimpanan, nama obat yang diracik, dan dosis masing-masing obat.

(13)

e. Pembungkusan

Hal yang harus dperhatikan dalam pembungkusan adalah stabilitas obat setelah diserahkan ke tangan pasien dan pembungkusan sediaan racikan tidak terlihat sama dengan sediaan obat jadi.

f. Penyimpanan

Instruksi penyimpanan obat diberitahukan saat pasien menerima obat, berikan informasi secara lisan dan tertulis. Sediaan obat racikan oral sebaiknya disimpan dalam udara yang sejuk dan terhindar dari sinar matahari.

g. Dokumentasi

Dokumentasi resep racikan adalah resep standar obat racikan yang dibuat berupa tulisan yang dijadikan pedoman oleh tenaga peracik. Dokumentasi resep racikan berfungsi untuk menstandarkan hasil sediaan obat racikan, sehingga terjamin keamanan dan kualitasnya.

3. Penggunaan Obat

a. Penggunaan obat yang rasional

Penggunaan obat dikatakan rasional adalah apabila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan, untuk periode yang cukup, dan harga yang paling murah untuk masyarakat. Penggunaan tersebut anatara lain tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat dosis, tepat obat, tepat interval pemberian dan lama pemberian ( BPOM RI, 2008).

(14)

Agar tercapainya pengobatan yang efektif, aman dan ekonomis maka pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi sebagai berikut :

1) Indikasi tepat.

2) Penilaian kondisi pasien tepat.

3) Pemilihan obat tepat, yakni obat yang efektif, aman, ekonomis dan sesuai dengan kondisi pasien.

4) Dosis dan cara pemberian obat secara tetap. 5) Informasi untuk pasien secara tepat.

6) Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat

(BPOM RI, 2008) b. Penggunaan Obat yang Tidak Rasional

Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat. Penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika :

1) Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru

2) Pemilihan obat tidak tepat, artinya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai dan paling ekonomis.

3) Cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian dan lama pemberian.

(15)

4) Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaan yang tidak memungkinkan penggunaan sesuatu obat atau mengharuskan penyesuaian dosis.

5) Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien atau keluarga.

6) Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan, tidak dipikirkan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak langsung.

4. Pediatrik

Pediatric berasal dari bahasa Yunani yakni Paedes = anak dan iztric =

pengobatan. Penggunaan obat pada anak merupakan sesuatu yang bersifat khusus karena berkaitan langsung dengan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh juga masih belum sempurna seperti enzim yang bertugas dalam metabolisme serta proses eskresi obat (Aslam, 2003).

The British Pediatric Association (BPA) membagi waktu perkembangan

biologis masa anak-anak untuk menentukan dosis obat sebagai berikut (Aslam, 2003):

a. Neonatus : Awal kelahiran sampai usia 1 bulan (dengan subseksi tersendiri untuk bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu dalam kandungan)

(16)

c. Anak : 2 sampai 12 tahun (dengan subseksi : anak dibawah 6 tahun memerlukan bentuk sediaan yang sesuai)

d. Remaja : 12 sampai 18 tahun

Anak-anak terutama neonatus mempunyai respon yang berbeda terhadap pemberian obat dibanding orang dewasa. Perhatian perlu dilakukan pada masa neonatus (umur 0-30 hari) karena dosis harus selalu dihitung dengan cermat (BPOM RI, 2008).

Identifikasi pelaporan dari reaksi obat yang tidak diinginkan sangat penting mengingat :

a. Kerja obat dan profil farmakokinetika obat pada anak mungkin berbeda pada orang dewasa.

b. Obat tidak secara ekstensif diujikan pada anak sebelum diijinkan untuk beredar.

c. Formula yang sesuia mungkin tidak tersedia untuk dosis yang tepat yang diperbolehkan untuk anak.

d. Sifat dan jenis penyakit dan efek samping yang tidak diinginkan mungkin berbeda antara anak dan orang dewasa.

(BPOM RI, 2008)

Keberhasilan terapi dengan obat sangatlah bergantung pada rancangan aturan dosis. Aturan dosis yang tepat dirancang untuk mencapai konsentrasi optimum obat

(17)

pada reseptor, sehingga menghasilkan respon terapetik yang optimal dengan efek merugikan yang minimal (Shargel, 2005)

Perhitungan dosis untuk anak dapat dihitung berdasarkan usia dan berat badan.

Perhitungan dosis berdasarkan usia (Syamsuni, 2006) :

a. Rumus Young : x dosis dewasa (n dalam tahun untuk aak usia < 8

tahun)

b. Rumus Diling : x dosis dewasa (n dalam tahun untuk anak usia 8

tahun)

c. Rumus Fried : x dosis dewasa (n dalam bulan)

Perhitungan dosis berdasarkan berat badan (Syamsuni, 2006) :

a. Rumus Clark : x dosis dewasa

b. Rumus Thremich-Fire : x dosis dewasa

5. Rumah Sakit

a. Pengertian Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi

(18)

masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2009ª).

Sejalan dengan amanah pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 serta ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Fungsi lain dari rumah sakit adalah sebagai pusat pelayanan rujukan medik spesialistik dan sub spesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitas pasien). Maka sesuai dengan fungsi utamanya tersebut perlu pengaturan sedemikian rupa sehingga rumah sakit mampu memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dengan berdaya guna dan berhasil guna (Ilyas, 2000).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, bahwa Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap rawat jalan, dan gawat darurat, yang terbagi atas dua, yaitu :

(19)

1) Rumah Sakit Umum

Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.

2) Rumah Sakit Khusus

Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit.

Klasifikasi Rumah Sakit Umum berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan terbagi atas (Depkes RI, 2010) :

1) Rumah Sakit Kelas A

Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayan Medis Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayan Medik Subspesialis Dasar.

2) Rumah Sakit Kelas B

Rumah Sakit Kelas B adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medikm 8 (delapan) Pelayanan

(20)

Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar.

3) Rumah Sakit Kelas C

Rumah Sakit Kelas C adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.

4) Rumah Sakit Kelas D

Rumah Sakit Kelas D adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar.

Rumah sakit dulu dianggap hanya sebagai suatu lembaga yang giat memperluas layanannya kepada penderita di mana pun lokasinya (Siregar, 2004). Pengertian rumah sakit saat ini adalah suatu lembaga komunitas yang merupakan instrumen masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, rumah sakit dapat dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi yang menggabungkan semua profesi kesehatan, fasilitas diagnostik, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik kedalam suatu sistem terkordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Ilyas, 2000).

Diluar tiga dasar pokok kebutuhan manusia (pangan, sandang, naungan), rumah sakit telah menjadi sebuah instrumen yang perlu untuk mengadakan unsur dasar keempat, yaitu kelangsungan hidup dan kesehatan. Rumah sakit berlaku sebagai suatu instrumen utama yang profesi kesehatan dapat memberikan pelayanan

(21)

kesehatan . Peningkatan dari kerumitan pelayanan kesehatan, diagnosis, pencegahan dan terapi, maka diperlukan personel terlatih, fasilitas dan alat yang digabung menjadi apa yang dikenal sebagai rumah sakit, untuk memberikan pelayanan bermutu yang diharapkan, diminta, dan diperoleh masyarakat. Pelayanan kesehatan sudah ditetapkan menjadi hak bagi semua (Siregar, 2004).

b. Gambaran Umum Rumah Sakit

Rumah Sakit Jati Sampurna diresmikan pada tanggal 22 Desember 2005 dan terletak di Jalan Studio ANTV Rt 003/007 Jati Sampurna Kota Bekasi yang memiliki luas bangunan 2200 m2 dan luas tanah 3300 m2 .

Pada Bulan Juni 2010, RSIA Jati Sampurna berubah statusnya dari RSIA menjadi rumah sakit umum (RSU) tipe D dengan penetapan dalam surat keputusan walikota bekasi: Kep.455.1/570/Yankes/VI/201 tanggal 1 Juni 2010.

1) Visi, Misi dan Tujuan Rumah Sakit Jati Sampurna. a) Visi

Visi Rumah Sakit Jati Sampurna adalah “Menjadikan Rumah Sakit pilihan di Kota Bekasi dan sekitarnya dengan biaya terjangkau masyarakat, melalui pelayanan unggulan bagi kesehatan ibu dan anak secara professional dan terintegrasi oleh SDM yang mempunyai komitmen”.

(22)

b) Misi

Misi Rumah Sakit Jati Sampurna adalah “Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative yang terintegrasi, akurat, profesional dengan biaya yang terjangkau masyarakat melalui kemitraan strategis”.

c) Tujuan

Rumah Sakit Jati Sampurna memiliki tujuan “Untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat dengan memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna, bermutu, terjangkau dan akuntabel kepada seluruh lapisan masyarakat.

6. Pelayanan Rawat Jalan

a. Definisi

Pelayanan rawat jalan (ambulatory) adalah satu bentuk dari pelayanan kedokteran. Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap (hospitalization). Pelayanan rawat jalan tidak hanya yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan yang telah lazim dikenal rumah sakit atau klinik, tetapi juga yang diselenggarakan di rumah pasien

(23)

b. Pelayanan Rawat Jalan di Klinik Rumah sakit

Bentuk pertama pelayanan rawat jalan adalah yang diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan rumah sakit (hospital based ambulatory care). Jenis pelayanan rawat jalan di rumah sakit secara umum dapat dibedakan atas 4 macam yaitu (Siregar, 2004) :

1) Pelayanan gawat darurat (emergency services) yakni untuk menangani pasien yang butuh pertolongan segera dan mendadak.

2) Pelayanan rawat jalan paripurna (comprehensive hospital outpatient

services) yakni yang memberikan kesehatan paripurna sesuai dengan

kebutuhan pasien

3) Pelayanan rujukan (referral services) yakni hanya melayani pasien-pasien rujukan oleh sarana kesehatan lain. Biasanya untuk diagnosis atau terapi, sedangkan perawatan selanjutnya tetap ditangani oleh sarana kesehatan yang merujuk.

4) Pelayanan bedah jalan (ambulatory surgery services) yakni memberikan pelayanan bedah yang dipulangkan pada hariyang sama.

7. Pelayanan Farmasi Rumah Sakit

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk

(24)

pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Depkes RI, 2004ª).

Unit farmasi rumah sakit adalah suatu unit di rumah sakit yang dipimpin oleh seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa apoteker. Setiap apoteker yang bertugas pada unit farmasi rumah sakit harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SK Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Nomor 058/SK/PP.IAI/IV/2011 tentang Standar Kompetensi Apoteker Indonesia. Apoteker sebagai pelaku utama pelayanan kefarmasian yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya (Depkes RI, 2004ª).

Pengelolaan perbekalan farmasi dalam pelayanan kefarmasian merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan (Depkes RI, 2004a).

8. Persepsi

Persepsi adalah suatu proses keteraturan dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2005). Persepsi merupakan proses cara seseorang menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti (Kotler, 2000)

(25)

Persepsi dapat dibedakan menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan secara sempit mengartikan persepsi sebagai pengelihatan, yaitu cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan pandangan secara luas mengartikan sebagai cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Sebaguian besar individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selau sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tetapi lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut (Rosyadi, 2001).

Secara umum persepsi dapat didefinisikan sebagai interpretasi terhadap berbagai objek-objek eksternal. Persepsi adalah pengetahuan tentang sesuatu yang dapat diungkap oleh indra. Berdasarkan hal itu maka dapat disimpulkan bahwa persepsi mensyaratkan (Mulyana, 2008) :

a. Sesuatu tindakan persepsi mensyaratkan kehadiran objek eksternal agar ditangkap oleh indra

b. Adanya informasi untuk diinterpretasikan. Informasi yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui indra yang dimiliki.

c. Menyangkut sifaf repersentatif dari pengindraan.

Meskipun suatu persepsi didasarkan pada pengamatan langsung, hal tersebut bukanlah sesuatu yang sebenarnya dalam artian individu dapat menagkap atau menguasai objek tersebut. Konsekuensinya adalah pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi bukanlah tentang suatu objek, melainkan apa yang dapat tertangkap mengenai objek.

Referensi

Dokumen terkait

1) Semua data tentang cocok tanam meliputi prosedur, pengingat, dan juga hama yang terdapat pada aplikasi android panutaniwangi tersimpan di database server,

a) Seberkas cahaya dari setiap titik benda yang melewati lubang besar menghasilkan bayangan berupa lingkaran (sesuai bentuk lubang). Titik di sebelahnya

a) Jalur pedestrian dengan lebar 1,8 m termasuk jalur untuk penyandang cacat. b) Jalur sepeda yang terpisah dari badan jalan dengan lebar 2,2 m untuk dua arah. c) Pada

Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa

Ketika Sang Buddha diberitahukan bahwa banyak orang tidak percaya Sarakani telah mencapai Sotapanna, Sang Buddha mengatakan:”… mengapa, Mahanama, jika saja pohon-pohon Sala yang

Konsultan pajak adalah orang yang membantu Wajib Pajak dalam menyelenggarakan hak dan kewajiban dalam bidang perpajakan melalui upaya pemberian jasa konsultasi,

Komunikasi yang dilakukan pada waktu yang tepat akan membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, bila pasien sedang menangis kesakitan, bukan waktunya untuk tenaga

PPATK sendiri dengan pendekatan berbasis risiko telah mengutamakan penanganan perkara TPPU yang berdasarkan 3 jenis tindak pidana utama yang menghasilkan..