• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan peredaran gelap narkotika telah meluas di dunia dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan peredaran gelap narkotika telah meluas di dunia dan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan peredaran gelap narkotika telah meluas di dunia dan termasuk juga berdampak di tanah air. Indonesia tidak hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkotika namun juga sebagai tempat produksi narkotika bahkan memiliki pangsa pasar yang cukup menjanjikan. Di sisi lain dengan tingginya permintaan atas narkotika maka semakin meningkat pula pasokan narkotika yang beredar di Indonesia. Hal itu didukung karena Indonesia merupakan wilayah yang strategis di antara benua Asia dan Australia yang secara tidak langsung telah meningkatkan perkembangan tindak pidana narkotika. Selain itu karena Indonesia terdiri dari pulau-pulau maka pintu masuk jaringan pun kadangkala melalui jalur-jalur tikus. Meskipun tidak terpungkiri juga yang masuk melalui pelabuhan resmi dengan berbagai modus kemasan untuk mengelabui petugas bea cukai, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan petugas lainnya.1

Perkembangan penggunaan narkotika yang semakin meningkat tidak untuk tujuan kepentingan pengobatan atau kepentingan ilmu

1Republika,“Indonesia

Menjadi Target Pasar Narkoba Paling

Menggiurkan”,http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek- /16/04/14/o5lzir335-indonesia-menjadi-target-pasar-narkoba-paling-menggiurkan diakses 26 September 2016

(2)

pengetahuan namun bertujuan memperoleh keuntungan yang sangat besar.2 Kasus narkotika mengalami perubahan, tidak hanya melibatkan orang dewasa namun juga melibatkan anak-anak yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa hingga ibu rumah tangga. Hal ini merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa karena dampak narkotika mengakibatkan kerusakan kesehatan baik jasmani maupun mental penggunanya serta meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.3 Ada berbagai faktor pendukung penyalahgunaan narkotika baik faktor dalam diri pelaku contohnya seperti rasa ingin tahu, membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan yang berbahaya, frustasi, mempermudah penyaluran perbuatan seksual, dan faktor di luar diri pelaku seperti pengaruh gaya hidup, pergaulan sosial.4

Akibat dari perdagangan dan peredaran gelap narkotika yang terus meluas ialah modus operandi yang beraneka macam . Menurut Aslie sebagaimana dikutip dalam Romli Atmasasmita, modus operandi tindak pidana narkotika dengan cara menjerat sebanyak-banyaknya pemakai baru sebagai korban dan dilakukan secara terus menerus telah menjerumuskan pemakainya ke dalam kehidupan yang bersifat kontra produktif seperti:

2

Romli Atmasasmita, 1997, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung hlm 1

3Badan Narkotika Nasional , “Dampak Langsung dan Tidak langsung Penyalahgunaan Narkoba”

, http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/20/957/dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkoba diakses 18 Desember 2016

4

Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju, Bandung, hlm 6

(3)

malas belajar atau tidak bekerja, akhlak semakin runtuh, bersifat asosial dan melakukan kejahatan untuk memenuhi ketagihannya atas narkotika.5

Penyalahgunaan narkotika telah menjerat segala elemen anak bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena komoditi narkotika yang terdapat banyak jenis dan memiliki variasi harga mulai dari harga paling mahal hingga ada yang paling murah, maka dari itu pemerintah telah menyatakan Indonesia darurat narkotika sejak tahun 2014 dengan perkiraan pengguna mencapai lebih dari 4 juta orang.6

Penyalahgunaan narkotika ialah tindakan menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika dapat dilakukan oleh pecandu, penyalah guna serta korban penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis.7 Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. 8Sedangkan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. 9

5

Ibid, hlm 5

6

Istman ,Tempo,”Budi Waseso: Indonesia Masih Darurat Narkoba”

https://m.tempo.co/read/news/2016/06/26/078783153/budi-waseso-indonesia-masih-darurat-narkoba diakses 17 Desember 2016

7

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoika.

8

Pasal 1 angka 15 Undang –Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

9

Pasal 1 angka 3 Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Keplaa Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Tentang penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

(4)

Niat melawan penyalahgunaan narkotika tersebut diupayakan oleh pemerintah dengan cara meningkatkan sosialisasi dan kampanye anti narkotika, meningkatkan kualitas penegakan hukum, serta untuk seseorang yang telah terlanjur menjadi pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, dan Penyalah Guna narkotika pemerintah telah mengalokasikan anggaran rehabilitasi. Penyalah Guna narkotika di Indonesia pada tahun 2015 terdapat 4.098.029 Penyalah Guna, hal ini ada peningkatan daripada tahun 2014 yang terdapat 4.022.228 Penyalah Guna. 10 AKP Rony Are Setia, Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Sleman mengatakan bahwa terdapat peningkatan yakni pada tahun 2014, Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Sleman mengungkap 50 kasus penyalahgunaan narkotika dengan 70 orang tersangka, tahun 2015 mengalami peningkatan pengungkapan kasus narkotika, yakni 54 kasus dengan 83 tersangka, lalu 2016 hingga bulan Agustus tahun 2016, ada 41 kasus penyalahgunaan narkotika dengan 63 tersangka yang terungkap.11

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menganut double track system yakni selain adanya sanksi berupa pidana namun ada pula sanksi berupa tindakan dalam hal ini ialah rehabilitasi. Hal yang menarik ialah walaupun ada sanksi berupa tindakan (rehabilitasi) namun masih terdapat hakim yang cenderung memberikan sanksi berupa

10

Laporan kinerja BNN tahun 2015 hasil penelitian dengan Puslitkes-UI tahun 2015,

http://www.bnn.go.id/_multimedia/.../laporan_kinerja_bnn_2015-20160311155058.pdf, diakses 17 Desember 2016

11Jihad Akbar, Tribun Jogja, “Kasus Penyalahgunaan Narkoba di Sleman Didominasi Tersangka

Usia Produktif”, http://jogja.tribunnews.com/2016/08/19/kasus-penyalahgunaan-narkoba-di-sleman-didominasi-tersangka-usia-produktif diakses 27 September 2016

(5)

pidana kepada pecandu maupun Penyalah Guna narkotika, karena terdapat 23.779 warga binaan di lembaga pemasyarakatan Indonesia yang merupakan Penyalah Guna narkotika sedang menjalani pidana penjara12. Hal ini salah satu faktor yang menyebabkan lembaga pemasyarakatan di Indonesia over capacity. Lembaga pemasyarakatan menjadi tempat yang paling aman untuk penyalahgunaan narkotika bahkan ada pula narkotika yang diproduksi di dalam lembaga pemasyarakatan.13

Dalam hal ini dibutuhkan suatu solusi khususnya dalam pola pikir/orientasi penegak hukum untuk menyembuhkan para pelaku penyalahgunaan narkotika tidak hanya menyembuhkan keseimbangan sosial yang tergangggu akibat tindak pidana yang dilakukan namun juga menyembuhkan secara pribadi para pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut dari efek candu narkotika. Pemerintah melakukan upaya guna menanggulangi hal tersebut dengan cara mempersiapkan para aparat penegak hukum beserta instansi terkait untuk melaksanakan kewenangannya secara profesional dengan didukung peningkatan sarana dan prasarana.

Peran aparat penegak hukum dalam hal ini penting untuk menanggulangi perdagangan dan peredaran gelap narkotika yakni memutus mata rantai transaksi jual beli narkotika baik dengan memproses

12BNN, “Dekriminalisasi Penyalahguna Narkotika dalam Konstruksi Hukum Positif di

Indonesia”, http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia, diakses 18 September 2016

13

Dani Krisnawati & Niken Subekti B.U, 2014, “Pelaksanaan RehabilitasiBagi Pecandu Narkotika Pasca Berlakunya Peraturan Bersama 7 (tujuh) Lembaga Negara Republik Indonesia”, Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm 227

(6)

hukum pengedar, pecandu, termasuk pula penyalah guna narkotika. Upaya pemerintah tersebut telah ada payung hukum yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni diharapkan aparat penegak hukum dapat melaksanakan sebagaimana tujuan dari pembentukan undang-undang tersebut ialah mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika serta melindungi generasi bangsa dari efek negatif narkotika.

Kewajiban rehabilitasi sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut hingga pada tahun 2014 belumlah secara signifikan dipakai oleh hakim dalam putusannya. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur mengungkapkan, hakim dihadapkan pada situasi dilema dalam menjatuhi putusan perkara narkotika. Belum adanya sosialisasi tempat rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika yang tersedia di seluruh Indonesia, juga menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan di sisi lain terdapat hakim yang belum percaya pada lembaga rehabilitasi yang telah ada dapat memperbaiki terpidana. Jika dilakukan putusan rehabilitasi, hakim akan terkena pemeriksaan baik dari Bawas (Badan Pengawas) maupun Komisi Yudisial nantinya, belum seluruh daerah di Indonesia ada tempat rehabilitasi, seperti di Kupang, Nusa Tenggara Timur misalnya, sehingga hakim merasa belum yakin terhadap sistem rehabilitasi sebagai penghukuman lain.14

14Suara Pembaharuan “Putusan Rehabilitasi Pengguna Narkoba Jadi Dilema Hakim”

http://sp.beritasatu.com/home/putusan-rehabilitasi-pengguna-narkoba-jadi-dilema-hakim/40195, diakses 20 September 2016

(7)

Hal ini perlu dikritisi bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial sebagai bentuk revisi atas Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 tahun 2009. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ini mengatur bahwa rehabilitasi dapat dikenakan kepada Pecandu Narkotika apabila tertangkap tangan dengan barang bukti pemakaian maksimal 5 gram dan diatur hal-hal khusus lainnya. Terkait Penyalah Guna narkotika, ketika hakim akan memutus rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hakim dapat mempertimbangkan Penyalah Guna tersebut untuk tidak dijatuhi pidana penjara namun dikenakan rehabilitasi.

Hal lain yang membuat hakim cenderung tidak memberikan putusan rehabilitasi ialah adanya ketidakpercayaan hakim kepada polisi bahwa pelaku tersebut akan dibawa ke tempat rehabilitasi. Hakim beranggapan bahwa para pelaku tidak langsung dibawa ke lembaga rehabilitasi melainkan dititipkan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan bersama penjahat-penjahat lain berbulan-bulan hingga bertahun-tahun sehingga para hakim cenderung memberikan putusan pemidanaan.15

15

Ridwan Mansyur (Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung RI), Tempo,“Mengapa Hakim Jarang Beri Vonis Rehabilitasi Kasus

Narkoba”, https://m.tempo.co/read/news/2013/08/05/063502369/mengapa-hakim-jarang-beri-vonis-rehabilitasi-kasus-narkoba.html , diakses 26 September 2016

(8)

Pemerintah telah menyatakan bahwa Indonesia darurat narkotika pada tahun 2014 sehingga dibutuhkan penguatan dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika di seluruh instansi terkait. Sebagai bentuk persatuan antar lembaga penegak hukum melawan penyalahgunaan narkotika telah dikeluarkan suatu Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor: 01/PB/MA/III/2014; Nomor: 03 Tahun 2014; Nomor: 11/Tahun 2014; Nomor: 03 Tahun 2014; Nomor:

PER-005/A/JA/03/2014; Nomor: 1 Tahun 2014; Nomor:

PERBER/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi selanjutnya disingkat Peraturan Bersama.

Peraturan bersama ini tidak hanya mengatur mengenai penanganan pecandu narkotika (orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis) dan korban penyalahguna narkotika (seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika), namun juga termasuk Penyalah Guna (orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum).

(9)

Peraturan Bersama ini dapat dikatakan sebagai peraturan pelengkap atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, karena dalam peraturan bersama ini merupakan wujud sinergi antar lembaga dalam satu pemikiran yang sama mengenai penanganan pecandu, penyalah guna dan korban penyalahgunaan narkotika yang dalam UU Narkotika masih mengandung kelemahan dalam penerapan pasal mengenai rehabilitasi. Hal ini guna menyamakan orientasi para penegak hukum bersama instansi terkait dalam penanganan pecandu, penyalah guna dan korban penyalahgunaan narkotika.

Dalam Peraturan Bersama ini disepakati dibentuk Tim Asesmen Terpadu diusulkan oleh masing-masing pimpinan instansi terkait di tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten /Kota dan ditetapkan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Propinsi, Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota. Tim Asesmen Terpadu terdiri dari Tim Dokter dan Tim Hukum. Tim Dokter yang meliputi dokter dan psikolog serta Tim Hukum yang meliputi dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Tim Hukum bertugas dalam melakukan analisis dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan penyalahgunaan narkotika berkoordinasi dengan penyidik yang menangani perkara. Surat hasil asesmen tersebut menjadi bahan pertimbangan penempatan tersangka /terdakwa di lembaga rehabilitasi medis/ lembaga rehabilitasi sosial.

(10)

Kepala BNN pada tahun 2014 Anang Iskandar menjelaskan bahwa asesmen terpadu akan dilakukan di 16 lokasi yang sudah dinilai siap dari segi infrastruktur. Keenam belas kota yang menjadi pilot project, yakni Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Bogor, Tangerang Selatan, Semarang, Surabaya, Makassar, Maros, Samarinda, Balikpapan, Padang, Sleman, Pontianak, Banjar Baru, Mataram, dan Kepulauan Riau. Kota-kota itu dipilih menjadi pilot project karena memiliki infrastruktur seperti Pusat Rehabilitasi.16

Terkait hal itu BNN berusaha mengoptimalkan peran Tim Asesmen Terpadu (TAT). Menurut Kepala BNNP Jawa Barat Iskandar Ibrahim, Tim ini sebagai asesor dalam memberikan rekomendasi bagi hakim mengenai tingkat ketergantungan pada narkotika dan keterlibatan tersangka pada tindak pidana narkotika. Tim ini menjadi ujung tombak dalam menentukan apakah pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut termasuk dalam kualifikasi pecandu, penyalah guna atau korban penyalahgunaan narkotika, sehingga perlu mendapatkan perawatan rehabilitasi agar pulih dari efek negatif narkotika.17

Penentuan kualifikasi peran seseorang dalam perkara penyalahgunaan narkotika menjadi penting guna mempermudah tugas jaksa penuntut umum dalam penentuan pasal yang didakwakan dan

16Tribun news, “ BNN: Peraturan Bersama Narkotik Tergantung Orientasi penegak Hukum”,

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/08/07/bnn-peraturan-bersama-narkotik-tergantung-orientasi-penegak-hukum,diakses 26 September 2016

17Dian Rosadi, “BNN optimalkan Tim Asesmen Terpadu untuk pulihkan pecandu narkoba”,

https://www.merdeka.com/peristiwa/bnn-optimalkan-tim-asesmen-terpadu-untuk-pulihkan-pecandu-narkoba.html diakses 26 September 2016

(11)

mempermudah tugas hakim dalam memutus perkara nanti. Hakim dapat dengan yakin dan cukup mempertimbangkan peran pelaku tersebut dalam tindak pidana narkotika. Hal ini supaya menjadi jelas dan tepat penanganan perkara narkotika baik penanganan proses peradilan maupun proses penanganan pelaku pasca putusan hakim.

Adanya kebijakan pemerintah untuk merehabilitasi para tersangka/terdakwa penyalahgunaan narkotika tentunya tidak akan menghentikan proses hukum atas tindak pidana narkotika yang telah dilakukan. Oleh karena itu perlu ditelusuri pelaksanaan asesmen tersebut sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam menempatkan tersangka/terdakwa di lembaga rehabilitasi. Dengan adanya asesmen terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika akan menjadi bahan pertimbangan bagi jaksa penuntut umum untuk menuntut berupa rehabilitasi atau menuntut sanksi pidana sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Apabila dengan tuntutan jaksa tersebut, ketika hakim juga mempertimbangkan asesmen yang telah dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu dalam memberikan putusan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, terdapat kemungkinan hakim memiliki pendapat tersendiri atau mempertimbangkan tuntutan penuntut umum. Perlu adanya penelitian terkait pelaksanaan asesmen yang dilakukan Tim Asesmen Terpadu dalam proses peradilan tindak pidana narkotika, mengingat Tim Asesmen Terpadu ini memiliki kewenangan dalam menentukan peran seseorang

(12)

dalam perkara penyalahgunaan narkotika yang ditangkap maupun yang tertangkap tangan dan menjalani proses hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, Peneliti mengajukan dua rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan asesmen dalam perkara penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu?

2. Bagaimanakah pengaruh asesmen terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim dalam perkara penyalahgunaan narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Tujuan Subjektif

Untuk memperoleh data-data yang akurat sebagai bahan dasar penyusunan dan penulisan hukum sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Peneliti dalam memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

2. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui pelaksanaan asesmen dalam perkara penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu.

(13)

b. Untuk mengkaji pengaruh asesmen terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim dalam perkara penyalahgunaan narkotika.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana dan hukum acara pidana khususnya dalam menangani perkara tindak pidana narkotika.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Badan Narkotika Nasional (BNN), hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta bahan evaluasi dalam pelaksanaan asesmen dalam perkara penyalahgunaan narkotika.

b. Bagi Jaksa Penuntut Umum dan Hakim, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan dalam hal proses peradilan pidana termasuk juga dalam penyusunan tuntutan maupun putusan dalam perkara tindak pidana narkotika. c. Bagi Peneliti dapat memahami lebih lanjut mengenai tindak

pidana narkotika beserta upaya penegak hukum dalam penanggulangannya serta pelaksanaan asesmen dalam perkara penyalahgunaan narkotika .

(14)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran Peneliti di Perpusatakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, terdapat beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti, diantaranya:

1. Penulisan Hukum berjudul “ Upaya Penanggulangan Peredaran Gelap Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika Yogyakarta” yang ditulis oleh Arif Budi Nugroho pada tahun 2011.18 Penelitian tersebut mengangkat permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika Yogyakarta dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika dalam Lapas? b. Hambatan - hambatan apa yang dialami pihak Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika Yogyakarta dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika dalam Lapas?

Adapun kesimpulan penelitian tersebut bahwa upaya penanggulangan peredaran gelap narkotika di dalam Lapas hanya menggunakan jalur non penal, yaitu menitikberatkan pada pencegahan atau upaya preventif lain seperti pemasangan CCTV

18

Arif Budi Nugroho,2011, “Upaya Penanggulangan Peredaran Gelap Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika Yogyakarta” ,Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

(15)

dalam Lapas, pemeriksaan atau penggeledahan makanan dan minuman yang dikirim dari luar Lapas.

Penelitian yang dilakukan oleh Arif Budi Nugroho berbeda dengan penelitian yang Peneliti teliti. Penelitian yang Peneliti lakukan menekankan pada pelaksanaan asesmen itu sendiri yang dilakukan oleh BNN dan mengkaji kelanjutanya ketika perkara tersebut sampai pada jaksa dan hakim sehingga tidak meneliti Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun pada penulisan hukum ini sedikit membahas mengenai peredaran gelap narkotika namun hal tersebut bukanlah fokus utama Peneliti dalam penelitian ini, bahwa Peneliti lebih memfokuskan pada penyalahgunaan narkotika itu sendiri.

2. Penulisan Hukum berjudul “ Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Penyalahguna Narkotika di Kota Yogyakarta” 19

yang ditulis oleh Setyo Istiawan pada tahun 2013. Penelitian tersebut mengangkat permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah upaya penegakan hukum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 terhadap penyalahguna narkotika di kota Yogyakarta?

19Setyo Istiawan, 2013, “Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika Terhadap Penyalahguna Narkotika di Kota Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Fakutas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

(16)

b. Apa saja kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 terhadap penyalahguna narkotika di Kota Yogyakarta?

Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa penegakan hukum dari pihak kepolisian adalah dalam hal penyelidikan dan penyidikan saja yang dibantu oleh penyelidik dan penyidik dari BNN, penegakan hukum dari pihak kejaksaan adalah dalam hal penyidikan dan penuntutan, sedangkan penegakan hukum dari pihak kehakiman ialah mengacu pada vonis rehabilitasi. Kendala dari pihak kepolisian ialah kurangnya angggota yang cakap, anggaran yang minim, kendala dari pihak kejaksaan ialah sulitnya memanggil saksi serta belum jelasnya pengaturan pemusnahan barang bukti narkotika, kendala dari pihak kehakiman ialah kurangnya koordinasi mengenai rehabilitasi antar instansi penegak hukum.

Penelitian yang dilakukan oleh Setyo Istiawan berbeda dengan penelitian yang Peneliti lakukan karena dalam penelitian ini walaupun terdapat kesamaan dalam pembahasan mengenai penyalahguna narkotika dan penegak hukum namun Peneliti meneliti dalam sudut pandang yang berbeda. Bahwa Peneliti dalam penelitian ini akan membahas pelaksanaan asesmen terhadap penyalahguna narkotika yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu serta mengkajinya terhadap tuntutan dan putusan hakim.

(17)

3. Penulisan Hukum berjudul “Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kalangan Mahasiswa di Kabupaten Sleman” yang ditulis oleh Cita Ayupraba pada tahun 2015.20

Penelitian tersebut mengangkat permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh Penyidik, Penuntut

Umum, Hakim dan Satuan Tugas di BNN Kabupaten Sleman dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika di kalangan mahasiswa?

b. Apa saja faktor penghambat dan pendukung yang dihadapi Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Satuan Tugas di BNN Kabupaten Sleman dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika di kalangan mahasiswa?

Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa upaya penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan cara penal yakni dari proses penyidikan sampai adanya putusan hakim dan non penal yakni dengan melakukan operasi di tempat rawan peredaran narkotika dan pembentukan satgas anti narkoba. Kendala yang dihadapi berasal dari dalam maupun luar, namun upaya penanggulangan dapat diatasi dengan adanya Peraturan Bersama 7 Lembaga Negara tentang penanganan pecandu

20Cita Ayupraba, 2015, “Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kalangan

Mahasiswa di Kabupaten Sleman”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

(18)

narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke lembaga rehabilitasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Cita Ayupraba berbeda dengan penelitian Peneliti yakni dalam penelitian tersebut tidak ada analisis maupun kajian mengenai pelaksanaan asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu serta pengaruhnya terhadap pertimbangan penuntut umum dalam memberikan tuntutan serta pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan atau rehabilitasi , dalam penelitian tersebut lebih mengkaji mengenai upaya dari penegak hukum itu sendiri dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika serta hambatannya dalam pelaksanaan tugasnya.

Melihat judul serta permasalahan yang diangkat oleh ketiga Peneliti tersebut dalam penelitiannya jelas menunjukan perbedaan dengan rumusan masalah yang dipilih Peneliti dalam penelitian ini sehingga penelitian yang Peneliti lakukan menghasilkan data yang berbeda dengan yang dibuat oleh ketiga Peneliti diatas.

(19)

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab tersebut diuraikan kembali dalam beberapa sub bab. Sistematika penulisan hukum ini yakni:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian , serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini Peneliti membagi menjadi 4 sub bab yakni tinjauan umum mengenai pidana dan pemidanaan, tinjauan umum mengenai narkotika, tinjauan umum mengenai penuntutan perkara pidana dan tinjauan umum mengenai putusan perkara pidana..

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan mengenai jenis penelitian, bahan penelitian, cara dan alat pengumpulan data, lokasi dan subyek penelitian, serta analisis data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini terbagi atas tiga sub bab yakni penyajian data hasil penelitian yang dilakukan mengenai pelaksanaan asesmen dalam perkara penyalahgunaan narkotika dan analisa tuntutan dan putusan hakim dalam perkara penyalahgunaan narkotika yang didalamnya terdapat prosedur asesmen, kemudian terdapat kasus putusan pengadilan perkara

(20)

penyalahgunaan narkotika yang didalamnya terdapat prosedur asesmen yang Peneliti analisis.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan penelitian yang telah Peneliti lakukan.

Referensi

Dokumen terkait

/home adalah directory yang digunakan untuk menyimpan semua directory user /lib adalah directory yang berisi file-file library yang diperlukan oleh program pada root direktori

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai tingkat kinerja karyawan di PT.Inti (Persero) Bandung pada divisi Operasional Celco Produksi dan

PEMBUATAN FILM PENDEK TENTANG PERNIKAHAN USIA MUDA DENGAN TEKNIK CONTINUITY EDITING SEBAGAI UPAYA.. PENYADARAN

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

respondents who were able to make monthly payment in. terms of the amount of their monthly income and

Perbedaan pengaturan hak kesehatan buruh yang diselenggarakan oleh Jamsostek dan BPJS Kesehatan adalah dari segi asas dan prinsip penyelenggaraan; sifat kepesertaan; subjek