• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup manusia bukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup manusia bukan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup manusia bukan saja berfungsi sebagai tempat berdiam, mendirikan rumah, tempat berusaha atau tempat dimana jasad mereka dikubur, tetapi juga merupakan sumber kekuasaan dan jaminan hidup bagi suatu bangsa. Seperti diketahui Indonesia merupakan Negara agraris dimana tanah sangat menentukan bagi kelangsungan hidup rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 3 berbunyi:

“Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh Wilayah Republik indonesia menurut UUPA yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah melalui penyerahan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya.1

Indonesia telah mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah yang uniform

yang berlaku secara nasional, hal ini sebagai konsekwensi berlakunya PP No. 10 Tahun 1961, yang kemudian di sempurnakan kembali dengan PP No. 24 Tahun 1997, Lembaran Negara Tahun 1997 No. 59, Tanggal 8 Juli 1997 dan baru berlaku aktif 8 Oktober 1997 (Pasal 66), yang merupakan perintah dari Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1960.

(2)

Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) :

(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Proses pendaftaran tanah, dilakukan melalui tiga tahap kegiatan, yaitu kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, pengumpulan dan pengolahan data yuridis dan penerbitan dokumen tanda bukti hak. Dalam kegiatan pengumpulan dan pengolahan data yuridis, yaitu dengan meneliti alat-alat bukti kepemilikan tanah. Untuk hak-hak lama yang diperoleh dari konversi hak-hak yang ada pada waktu berlakunya UUPA dan/atau hak tersebut belum didaftarkan menurut PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftarkan haknya.

Hasil dari proses pendaftaran tanah, kepada pemegang hak atas tanah yang didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut sertipikat. Sertipikat menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah berupa satu lembar

(3)

dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan dari suatu bidang tanah yang didaftar.

Terselenggaranya pendaftaran tanah memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah dapat dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditur dapat dengan mudah untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan. Bagi pemerintah dapat membantu dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahannya.

Pada awalnya pelaksanaan pendaftaran tanah diadakan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam perjalanan waktu keberadaan PP ini dianggap belum maksimal karena ada beberapa kendala diantaranya keterbatasan dana dan tenaga sehingga penguasaan tanah-tanah sebagian besar tidak didukung oleh alat pembuktian yang memadai. Selain itu PP ini belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dengan waktu yang singkat dan hasil yang memuaskan. Karena tidak ada batas waktu dalam mendaftarkan tanah yang diperoleh setelah peralihan hak, selain itu yang mendaftar tidak harus Pejabat Pembuat Akta Tanah tetapi bisa juga pemilik baru dari hak atas tanah sehingga seringkali tanahnya tidak didaftarkan. Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini dikeluarkanlah peraturan mengenai pendaftaran tanah yang baru untuk lebih menyempurnakan peraturan pendaftaran tanah sebelumnya, yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

(4)

Kepastian hukum data kepemilikan tanah akan dicapai apabila telah dilakukan Pendaftaran Tanah, karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Baik kepastian mengenai subjeknya (yaitu apa haknya, siapa pemiliknya, ada/tidak beban diatasnya) dan kepastian mengenai objeknya yaitu letaknya, batas-batasnya dan luasnya, serta ada/tidak bangunan/tanaman diatasnya.2

PP Nomor 24 Tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan sistem yang digunakan dalam Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sehingga banyak terdapat tambahan, hal ini terlihat dari jumlah pasal yang lebih banyak dan isi PP tersebut yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan tanah. Salah satunya terdapat dalam Pasal 32 yang mengatur bahwa :

(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

(2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Ayat (1) pasal ini mengandung makna bahwa sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar. Sedangkan ayat (2) pasal ini lebih menegaskan lagi jaminan kepastian dan

(5)

perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat tanah, dimana mengandung beberapa syarat, diantaranya :

a. sertipikat tanah diperoleh dengan itikad baik;

b. pemegang hak atas tanah harus menguasai secara fisik tanahnya selama jangka waktu tertentu yaitu sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat tanah tersebut; c. sejak lima tahun diterimanya sertipikat hak atas tanah bila tidak adanya keberatan

dari pihak ketiga maka keberadaan sertipikat tanah tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi;

Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut sebenarnya bukan merupakan suatu ketentuan baru, karena konsep dari pasal ini merupakan konsep yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa tanah pada hukum adat sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997. Konsep yang digunakan dalam pasal ini adalah “rechtsverwerking” yang sudah diterapakan sebelum PP Nomor 24 Tahun 1997 berlaku bahkan jauh sebelum UUPA ada.

Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja terdapat permasalahan dalam hal kepemilikan sebidang tanah, misalnya saja terhadap sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan telah dilengkapi dengan sertipikat. Terhadap tanah itu masih ada pihak luar yang menuntut hak atas tanah tersebut. Permasalahan ini sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Masalah hak atas tanah di Indonesia bukanlah masalah sederhana untuk diselesaikan, karena masalah hak atas tanah dapat dikategorikan sebagai

(6)

permasalahan yang rumit dan komplek. Hal ini disebabkan sumber daya tanah tidak mungkin lagi bertambah sementara manusia yang membutuhkan tanah semakin bertambah, masalah tanah berkaitan erat dengan sosial budaya, aspek ekonomi, aspek hukum, aspek politik bahkan aspek pertanahan dan keamanan Negara.3

Indonesia, sebagian besar penghidupan masyarakatnya masih mengandalkan ekonomi mereka di sektor pertanahan. Banyak sekali usaha yang berkaitan dengan pertanahan. Kondisi tata kota yang berubah-ubah di Indonesia menyebabkan banyaknya masalah pertanahan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia.

Sehubungan dengan itu maka pencatatan yang sistimatis dari tanah dan hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting, baik bagi administrasi Negara maupun bagi perencanaan dan pengembangan penggunaan tanah itu sendiri, serta bagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, sehingga konflik di bidang pertanahan dapat diminimalkan. Pencatatan yang sistimatis ini kemudian dikenal dengan lembaga Pendaftaran Tanah.

Awalnya pendaftaran tanah bukan sebagai hal yang penting asasnya dilakukan, sebab yang diprioritaskan adalah fungsi haknya yakni bagaimana supaya dapat memberikan manfaat bagi seluruh anggota keluarga kawasan yang hidup di atas tanah tersebut. Hanya saja, karena perkembangan kehidupan manusia yang satu sama lain tidak mempunyai nasib yang sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah

3Djamester A. Simarmata,Hukum Pertanahan dan Prinsip Ekonomi,Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, 1997, hal. 54.

(7)

barang tentu tanah milik bersama akan menjadi sasaran yang dikeluarkan bahagiannya dari kepemilikan bersama tersebut.

Erman Rajagukguk dalam penelitian disertasinya menemukan bahwa ada beberapa desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah mencoba mempertahankan sifat pemilikan bersama atas tanah untuk mencegah penjualannya kepada orang luar desa dan untuk mencegah kenaikan harga dengan cara membatasi penjualan hanya boleh dilakukan antar sesama penduduk dari desa yang sama, namun dalam kenyataannya usaha ini tidak efektif, sering pihak penjual memberikan surat kuasa yang tidak dapat menghindar dari hukum.4

Akhirnya milik bersama yang sifatnya publiekrechelijke-pun, semakin terindividualisasikan menjadi hak milik privat. Di tengah-tengah terindividualisasinya hak-hak yang pada awalnya hak bersama, lembaga pendaftaran tanah kepemilikan hak atas tanah tersebut. Sebaliknya dengan pendaftaran tanah ini dapat mengamankan hak-hak atas tanah perseorangan atau milik sekelompok masyarakat dan badan hukum. Sehingga pemiliknya dapat terlindungi secara yuridis dan teknis untuk digunakan dialihkan dan atau diikatkan sebagai jaminan hutang oleh pemiliknya.5

Sampai dengan saat ini Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang seharusnya dapat menjadi jalan keluar bagi permasalahan di atas masih mendapatkan banyak pro dan kontra. Mengingat keberadaan pasal ini tidak sesuai dengan sistem publikasi negatif yang dianut oleh pendaftaran tanah di Indonesia, dimana sertipikat bukanlah merupakan alat bukti yang mutlak melainkan sertipikat merupakan alat

4Erman Rajagukguk,Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup, Cet. 1, Jakarta, Chandra Pratama, 1995, hal. 87.

5

M. Yamin Lubis, Problematika Mewujudkan Kepastian Hukum Atas Tanah dalam Pendaftaran Tanah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal.4.

(8)

bukti yang kuat. Berdasarkan uraian di atas bahwa tertarik untuk meneliti dan membahas sejauh mana implementasi dan keberadaan dari Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini terhadap permasalahan-permasalahan pendaftaran tanah dan pendapat berbagai pihak dengan adanya penerapan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini dalam menyelesaikan permasalahan pendaftaran tanah.

Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah berupa sertipikat hak atas tanah, mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya, dan fungsinya itu tidak dapat digantikan dengan benda lain. sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu.

Sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan pihak bank/kreditor untuk memberikan pinjaman kepada pemiliknya. Bagi pemerintah, adanya sertipikat hak atas tanah juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak langsung.

Adanya sertipikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data tentang tanah yang bersangkutan secara lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan apabila sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah ditemukan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kegiatan pembangunan misalnya pengembangan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan pajak bumi dan bangunan.6

(9)

Menurut A.P. Parlindungan pembuktian hak-hak atas tanah di Indonesia sangatlah komplek sekali karena tidak ada tradisi ataupun peraturan yang menyebutkan keharusan pendaftaran tanah tersebut.7 Oleh karenanya menurut Sudargo Gautama kepada pemegang hak-hak atas tanah yang bersangkutan harus diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah, dengan demikian akan memberikan kepastian hukum, jika tidak diadakan kewajiban ini maka pendaftaran tanah itu sendiri tidak akan memberikan arti sama sekali, yang hanya mengakibatkan kerugian yang tidak kecil jika dilihat dari sudut tenaga, alat-alat dan ongkos-ongkos yang dikeluarkan.8

Menurut Pitlo dalam ajaran umum Hukum Perdata tentang pendaftaran, maka saat dilakukannya pendaftaran tanah maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan benda (dalam hal ini tanah) diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itu pulalah pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dengan maksud ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.9

Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah ditegaskan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah memperoleh data tentang sebidang tanah jika diperlukan.

7

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung, Mandar maju, 1993, hal.127

8Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung, Alumni, 1990, hal.49 9

Lihat Pitlo, (Het System Van Het Nederlands Privaatrecht, 1968, hal. 136) dalam Abdurrahman ,

(10)

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Bahwa yang menjadi objek pendaftaran tanah, sebagaimana ditentukan Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah:

1) a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

b. Tanah hak pengelolaan. c. Tanah wakaf.

d. Hak milik atas satuan rumah susun. e. Hak tanggungan.

f. Tanah Negara

2). Dalam hal tanah Negara, sebagai objek pendaftaran adalah tanah sebagaimana dimaskud pada Pasal 9 ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara melakukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.10

Semua hak-hak atas tanah yang tercantum pada ayat (1) tersebut diatas, dengan membuktikan tanah tersebut di Kantor Pertanahan, akan diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya yang merupakan salinan dari buku tanah. Sedangkan tanah Negara tidak diterbitkan sertipikat. Sertipikat yang diterbitkan tersebut diserahkan kepada yang berhak sebagai alat bukti haknya.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah, kepada para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu dinyatakan selama belum dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar.11

Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanh. Hal ini lebih

10

Chadidjah Dalimunthe,Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,USU Medan, 2005, hal. 173

(11)

diperkuat lagi dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 Tahun 1997. Ketentuan Pasal 32 tersebut adalah dalam rangka memberikam jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif.

Sesuai dengan sistem negatif yang telah dianut dalam Pendaftaran Tanah di Indonesia, maka berarti sertipikat tanah yang diterbitkan bukanlah merupakan alat bukti yang tidak bisa diganggu gugat, justru berarti bahwa sertipikat itu bisa dicabut dan dibatalkan. Oleh karena itu tidak benar bila ada anggapan bahwa dengan memegang sertipikat tanah berarti pemegang sertipikat tersebut adalah mutlak pemilik tanah dan ia pasti akan menang suatu perkara karena sertipikat tanah adalah alat bukti satu-satunya yang tidak tergoyahkan.

Menurut Penjelasan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA.12 Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaiknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan

(12)

gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain suatu badan hukum yang mendapatkan persetujuannya.

Dalam realitas kehidupan ditengah-tengah masyarakat terdapat fakta bahwa masih bayak persoalan/ sengketa tanah yang berawal dari belum terciptanya kepastian hukum bidang tanah seperti masih adanya sengketa/perkara dibidang pertanahan sebagai akibat baik karena belum terdaftarnya hak atas tanah maupun setelah terdaftarnya hak atas tanah, dalam arti setelah tanah itu bersertpikat.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terhadap pemilik sertipikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan?

2. Bagaimana fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah?

3. Bagaimana pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan Sertipikat jika kemudian bermasalah di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitiaan

1. Untuk mengetahui eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terhadap pemilik sertipikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan.

(13)

2. Untuk mengetahui fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan Sertipikat jika kemudian bermasalah di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum agraria, dalam hal pendaftaran tanah khususnya mengenai kepastian hukum sertipikat hak atas tanah.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah wawasan penulis mengenai perkembangan terbaru hukum pertanahan nasional terutama mengenai kepastian hukum sertipikat hak atas tanah.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Indonesia, Badan Pertanahan Nasional dan lebih khusus lagi bagi pemerintah Kota Medan, Kantor Pertanahan Kota Medan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan pendaftaran tanah untuk menghasilkan sertipikat hak atas tanah. c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat pemegang sertipikat

hak atas tanah sebagai tanda bukti yang kuat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

(14)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari perpustakaan pada saat dilaksanakan penelitian, ternyata belum ada dilakukan penelitian tentang

PANDANGAN KRITIS EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH ATAS SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH (STUDI KASUS DI KOTA MEDAN), kalaupun ada lokasinya berbeda maka keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Penelitian tentang pendaftaran tanah ini pernah juga dilakukan oleh beberapa peneliti, tetapi disamping lokasi, objek dan cakupan penelitiannya berbeda:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Anggasan Siboro, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sumatera Utara, dengan judul Kebijakan Pemberian Hak Pengelolaan Atas Tanah Dalam Perspektif Otonomi Daerah (Studi Pemko Medan), penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai bagaimana pemberian Hak Pengelolaan atas tanah di lingkungan Pemko Medan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Efrina Nofiyanti Kadayu, Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah yang Berasal dari Tanah Negara di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, Penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari tanah Negara di Kecamatan Labuhan Kabupaten Deli Serdang.

(15)

3. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Santi Octavia, Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Dikaitkan dengan Penggunaan Blanko Akta Pertanahan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai Blanko akta pertanahan yang digunakan oleh PPAT memenuhi syarat otensitas dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.15 Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

Kepastian hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya suatu sistem pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dimaksud adalah suatu proses tata usaha dan tata cara untuk mencapai kepastian hukum yang sah tentang hak atas tanah16 yang

13J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203

14

Ibid,hal. 6

15M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 16A. P. Parlindungan,Op. Cit.,hal. 115

(16)

merupakan kegiatan tata usaha Negara di bidang pertanahan sebagai bagian dari tertib administrasi tata usaha Negara. Pendaftaran tanah untuk saat ini dipusatkan pada bagian Pendaftaran Tanah bekerjasama dengan Bagian Pengukuran, serta Bagian Pemberian Hak yang dikelola oleh instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN)17

Pasal 19 ayat (1) UUPA di atas dapat dikategorikan sebagai payung hukum dari kegiatan Pendaftaran Tanah.18Dengan kata lain, Pasal 19 UUPA itu merupakan norma hukum yang masih bersifat garis besar, sehingga memerlukan peraturan yang lebih rendah sebagai aturan yang lebih konkrit dari pada ketentuan yang lebih tinggi yaitu UUPA itu sendiri.19 Peraturan tersebut antara lain PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kenyataannya beberapa yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah tersebut yang terhimpun dalam suatu sistem hukum pertanahan banyak terjadi ketumpang tindihan antara peraturan tersebut satu sama lain baik sinkronisasinya secara vertikal maupun horinzontal sehingga menimbulkan keragu-raguan akan kepastian hukum tersebut, padahal dalam suatu undang-undang ataupun peraturan, kepastian hukum meliputi dual hal yakni pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar Undang-undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan

17Pasal 14 Perpres RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, disebut

sebagai Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.

18

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi,Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 12.

(17)

prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodrgel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.20

Menurut Muhammad Yamin “memperbaiki kepastian hukum, memang bukan satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak terjadi sengketa”21artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolak ukurnya, dengan demikian perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan yang dapat memberikan suatu kepastian hukum.

Pada sistem hukum di Indonesia berlaku sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kolompok, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana norma yang lebih rendah berlaku, misalnya Keputusan Menteri Agraria bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yakni Keputusan Presiden bidang pertanahan yang mengacu kepada norma yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, kemudian norma yang lebih tinggi berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, demikian seterusnya sampai pada suatu norma

20

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2006, hal. 118

21Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal. 41-42

(18)

yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (groundnorm) di Indonesia adalah Pancasila.22

Menurut Boedi Harsono mendefinisikan Pendaftaran Tanah yakni suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur berupa pengumpulan ketarangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.23

Pendaftaran tanah bukan sekedar administrasi tanah, tetapi pendaftaran adalah memberikan hak atas tanah, artinya dengan terdaftarnya tanah seseorang, jika sekalipun Negara membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum, Negara tidak dapat lagi dengan serta merta mencabut hak atas tanah seseorang.24 Jadi pendaftaran tanah mempunyai arti yang penting berkenaan dengan hak keperdataan seseorang, bukan hanya sekedar suatu perbuatan administrasi belaka.25

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah melalui penyempurnaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah serta menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap dengan memperhatikan kepentingan rakyat, bangsa dan Negara.

22Lihat Hierarki Norma Hukum dari Hans Kelsen dalam buku Maria Farida Indrati Soeprapto,

Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya,Cet. 11, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 25

23

Boedi Harsono, Hukum Agrari Indonesia (Hukum Tanah Nasional), Jilid I Djambatan, Revisi 2003, hal. 72

24M. Yamin Lubis,Op. Cit.,hal. 5 25Abdurrahman,Op.Cit,hal. 90

(19)

2. Konsepsi

Dalam kerangka Konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.26 Guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini, yang dimaksud dengan : 1. Kepastian hukum adalah kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang

tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut dan kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-undang terebut.

2. Hak Atas Tanah yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya.

3. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengolahan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

4. Sertipikat Hak Atas Tanah adalah sebagai alat pembuktian yang kuat sepanjang data fisik dan data yuridis di dalamnya sesuai data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah.

26Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(20)

5. Pendaftaran Tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 ayat (1) adalah : “ Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” 6. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum di daftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan.

7. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. 8. Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga pemerintahan non departeman yang

menangani urusan pertanahan di Indonesia.

9. Data Fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan adanya bangunan atau bagian diatasnya.

(21)

10. Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

11. Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya.

12. Adjudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

13. Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian yang mutlak dan mengikat, apa yang disebut dalam akta tersebut merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya dapat dibuktikan.

14. Sengketa Atas Tanah merupakan selisih atau pertengkaran yang disebabkan oleh perebutan atas kepemilikan sebidang tanah,27 yang memerlukan tindakan untuk perdamaian terhadap perselisihan tersebut.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan

Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum adalah kaedah, norma atau Das Sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti

(22)

fakta atau Das Sein. 28 Penelitian ini bersifat Diskritif Analisis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepastian hukum sertipikat hak atas tanah kaitannya dengan ketentuan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

“yuridis normatif”. Metode yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan.29 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan.30 Metode pendekatan yuridis normatif yang digunakan adalah metodein concretoyaitu apakah hukumnya sesuai untuk diterapkanin concretoguna menyelesaikan suatu perkara tertentu.31 Metode pendekatan di atas digunakan dalam mengadakan penelahaan berbagai hal yang berhubungan dengan penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dikaji dan diteliti berdasarkan peraturan-peraturan, literatur kepustakaan, teori-teori hukum, putusan-putusan Pengadilan.

28Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Ed. 2 Cet 2, Yogjakarta, Liberty, 2001, hal. 29

29 Ronny Hanityo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal 11

30Ibid. 31Ibid.

(23)

2. Sumber Data

Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan bahan hukum dari zaman penjajahan hingga kini masih berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku, makalah, dan hasil penelitian di bidang hukum.32

Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa : 1. UUD 1945

2. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti KUH Perdata.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Penjelasannya.

5. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.

6. Putusan-putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan.

32

(24)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain : Tulisan atau pendapat para pakar hukum terutama di bidang hukum pertanahan.

c. Bahan hukum tertier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain :

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia 2. Ensiklopedia Indonesia

3. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan masalah pertanahan 4. Kamus hukum

5. Surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

3. Analisa Data

Untuk mengelola data yang diperoleh dari studi dan wawancara, maka dalam hasil penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika hukum dengan cara deduktif. Dari data yang dianalisis tadi diharapkan dapat memperoleh permasalahan yang ditetapkan.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan untuk analisa daerah potensi banjir ini adalah peta kemiringan lereng dan peta kontur dari citra TanDEM-X tahun 2011, Peta jenis tanah Kabupaten

[r]

1. Konsep dasar atau penjelasan dari program Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Data penerapan Desa Siaga Aktif yang telah dilaksanakan di Indragiri Hilir sampai tahun

Untuk membuat matriks biaya, jarak yang dihitung adalah penjumlahan dari jarak rumah setiap sopir dengan TPS yang pertama dikunjungi pada rute optimal dan jarak TPA

Rasa nyeri pada proses persalinan pada dasarnya berbeda dengan rasa nyeri yang dialami individu pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada : a) nyeri

Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi virus, deteksi antigen virus dengan ELISA, gejala-gejala klinis penyakit, morbiditas dan mortalitas penyakit yang tinggi serta

Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa permainan sepakbola merupakan permainan yang menuntut agar kita menguasai kondisi fisik yang baik, serta

Perjanjian New START berhasil menjadi rangkaian perjanjian yang resmi dan diratifikasi oleh Amerika Serikat dan Rusia serta diikuti dengan langkah-langkah domestik