• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HOMELESS. Istilah homuresu berasal dari bahasa Inggris, yaitu homeless, yang artinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HOMELESS. Istilah homuresu berasal dari bahasa Inggris, yaitu homeless, yang artinya"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HOMELESS

2.1 Definisi Homeless

Istilah homuresu berasal dari bahasa Inggris, yaitu homeless, yang artinya tidak memiliki rumah, atau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kita lebih mengenal dengan istilah tunawisma.

Pada masa sebelum perang dan sesaat setelah perang, istilah homuresu belum dipakai oleh masyarakat Jepang. Saat itu istilah yang sering digunakan untuk menyebut kaum homeless adalah furosha (浮 浪 者). Furosha sendiri berarti gelandangan atau tunawisma, tetapi sebenarnya secara tidak langsung memiliki makna „kehilangan keluarga dan relasi sosial‟.

Pada masa sebelum perang definisi homeless di kemukakan oleh Yokoyama dan diterjemahkan oleh Gill (2001: 15) sebagai berikut:

To poor people who cannot afford a house, a single tatami mat in a flop house is a short of home.

(2)

Artinya adalah, bahwa homeless di Jepang adalah orang-orang yang tidak mampu memiliki rumah sehingga menggelar satu tikar tatami sebagai gantinya.

Sementara itu, pada zaman Tokugawa istilah yang digunakan untuk menyebut homeless adalah yadonashi (宿無し), dan mushuku (無宿) yang secara harfiah kedua istilah tersebut memiliki arti „tidak memiliki rumah tempat tinggal‟.

Namun, saat ini masyarakat Jepang lebih sering menggunakan istilah serapan homuresu untuk menyebut homeless.

Istilah homeresu mulai dipublikasikan ke dalam media-media Jepang pada awal tahun 1990-an oleh dua perusahaan media terbesar di Jepang, yaitu Yomiuri dan Asahi Groups. Istilah homuresu telah menjadi suatu isu sosial yang sedang hangat diperbincangkan karena Jepang sedang mengalami stagnasi ekonomi. Pada tahun 1960 sampai awal tahun 1990, keberadaan para homeless di Jepang tidak tampak ke permukaan dan cenderung diabaikan eksistensinya. Akan tetapi, setelah tahun 1990 keberadaan homeless telah tampak nyata terlihat dalam masyarakat Jepang. Oleh sebab itu, untuk memberikan konotasi yang berbeda, media-media di Jepang mulai menggunakan istilah homuresu (Sitorus, 2008: 26). Selain menggunakan istilah homuresu, ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh masyarakat Jepang untuk menyebut kaum homeless, yaitu rojouseikatsusha (路上生活者) dan nojukusha (野宿 者). Rojouseikatsusha (路上生活者) adalah sebutan yang biasanya dipakai oleh

(3)

orang-orang Tokyo, sedangkan nojukusha (野宿者) adalah sebutan yang dipakai oleh orang-orang Osaka (Sitorus, 2008: 27).

Untuk lebih mengetahui pengertian homeless itu sendiri, berikut beberapa definisi homeless menurut ahli.

Menurut Kagita dalam Stephanie (2010: 20) yang dimaksud dengan homeless yaitu, orang-orang yang hidup dalam kondisi darurat yang tidur dengan menggelar tikar di taman, jalanan, stasiun, bantaran sungai, atau di tempat umum yang terbuka.

Selain itu, menurut sarjana kesejahteraan bernama Iwata Masami dalam Sitorus (2008, 28), mendefinisikan homeless sebagai berikut:

Homelessness as a condition of extreme poverty characterized by lack of “conventional, regular housing”.

Artinya, suatu kondisi kemiskinan ekstrim yang dicirikan dengan ketidaklaziman tempat tinggal dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Dan menurut sekelompok penganjur perumahan untuk para homuresu dalam Hasegawa (2006: 147) mendefinisikan homeless sebagai berikut:

“those are without stable housing and living in places which cannot be called housing” (Nihon Jutaku Kaigi 1987)

Artinya, suatu kondisi orang-orang yang tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tinggal di tempat yang tidak layak disebut rumah. (Konferensi Kediaman Penduduk Jepang tahun 1987)

(4)

Pada tahun 2002, pemerintah Jepang melalui Departemen Kesejahteraan, Kesehatan, dan Buruh, menetapkan definisi Homeless sebagai berikut dalam Sitorus (2008: 28):

としこうえん ,都市公園 、 かせん ,河川 、 どうろ ,道路 、 えきしゃ ,駅舎 、 そ の た ,他 の しせつ ,施設 を ゆえ ,故 な く ききょ ,起居 の ばしょ ,場所 と し 、 ひじょうせいかつ ,非常生活 を いとな ,営んでいる もの ,者「ホームレスの じりつ ,自立の しえん ,支援などに かん ,関す る とくべつそちほう ,特別措置法」

Artinya, orang-orang yang hidup dalam kondisi darurat atau memprihatinkan yang tinggal di taman-taman kota, bantaran sungai, jalanan, sekitar stasiun dan tempat-tempat umum lainnya. (Aturan tindakan khusus menyangkut bantuan untuk membuat para homeless bisa hidup mandiri)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang disebut homeless jika mereka tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan juga layak disebut rumah.

Definisi homeless berbeda-beda di tiap-tiap negara, masing- masing tergantung pada bahasa bahkan kebudayaannya. Tetapi, definisi-definisi tersebut sesungguhnya memiliki konsep yang sama. Perlu adanya variasi konsep homeless karena untuk mengenal proses-proses yang menghubungkan kondisi homeless secara historis dan pengaruh serta kaitannya terhadap yang lain, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi.

(5)

2.2 Latar Belakang Terjadinya Homeless

Masalah homeless bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Seiring dengan sejarah kemiskinan, fenomena homeless sebenarnya telah ada sejak awal peradaban manusia termasuk di Barat. Saat itu, orang-orang yang tidak memiliki rumah, hidup sebagai budak kaum kelas atas. Jadi, bisa dikatakan bahwa fenomena homeless telah lebih dahulu terjadi di Barat sebelum terjadi di Jepang. Orang-orang miskin yang tinggal dan tidur di jalanan sesungguhnya saudah ada sebelum perang dunia kedua. Hanya saja jumlah mereka sedikit, sehingga tidak tampak ke permukaan. 2.2.1 Setelah Perang Dunia II

Pada masa setelah perang dunia kedua, kaum homeless pada umumya berasal dari korban-korban perang dunia kedua. Meletusnya perang Korea di tahun 1950 membantu perekonomian Jepang. Pada masa pertumbuhan ekonomi yang pesat itu (1951-1970), jumlah kaum homeless semakin berkurang. Pada saat itu pekerjaan di Jepang meningkat dan membantu meredakan jumlah kaum homeless. Hal ini menyebabkan kaum homeless pada masa pertumbuhan ekonomi pesat tidak tampak ke permukaan (Hasegawa, 2006: 23-24). Namun, hal ini tidak bertahan lama sampai dengan pertengahan tahun 1960-an. Pertumbuhan homeless pertama kali meningkat pada tahun 1960-an setelah perang dunia kedua (Hasegawa, 2006: 23). Selama akhir dari perkembangan ekonomi yang terjadi dari pertengahan tahun 1960-an, buruh

(6)

harian yang merupakan pekerja tidak tetap menjadi kelompok yang rentan terkena masalah homeless. Tapi di akhir tahun 1960-an masalah homeless mulai tidak terlihat. 2.2.2 Homeless dari Kaum Buruh Yoseba

Pada tahun 1970-an, meskipun para kaum homeless tetap ada, kebanyakan keberadaan mereka tidak terlihat dalam masyarakat Jepang karena keberadaan mereka merupakan fenomena sementara dan singkat serta terbatas hanya pada kaum buruh harian yoseba. Yoseba (寄せ場) adalah sebutan untuk tempat jasa bantuan untuk menunggu lowongan pekerjaan dan losmen peristirahatan bagi para buruh harian (Iwata, 2007: 99). Kata yoseba pertama kali muncul pada tahun 1790 selama perang dunia kedua berlangsung dan dipakai untuk menyebut kemah para buruh kasar yang dibawa dari Korea, dan kemahnya dikelola oleh paara yakuza (Gill, 2001: 21-22). Sejak awal tahun 1970-an, yoseba telah menjadi tempat tinggal para buruh harian (Hasegawa, 2006:33). Para kaum yoseba mayoritas adalah buruh harian laki-laki dan pada umumnya bekerja di bidang konstruksi dan manufaktur, sehingga kesejahteraan kaum yoseba sangat tergantung pada perkembangan dan kesempatan kerja dalam industri ini. Selain itu, buruh harian di yoseba juga mayoritas orang tua yang rata-rata berusia 55 tahun. Kondisi ini telah menyebabkan jumlah homeless di kalangan kaum yoseba meningkat pada tahun 1990-an. Pada masa Jepang mengalami resesi ekonomi, banyak dari mereka tidak pernah lagi mendapat pekerjaan konstruksi, hingga akhirnya mereka menjadi homeless. Resesi ekonomi ini dipicu oleh krisis minyak ( oil shock) pertama tahun 1973, oil shock yang kedua terjadi tahun 1979, oil shock yang ketiga terjadi tahun 1990-1991. Pertumbuhan ekonomi Jepang merosot tajam

(7)

setelah krisis minyak. Sebelumnya 10% per tahun, sesudah krisis pertama menjadi 5% dan sesudah krisis kedua menjadi 3% (Ishinomori dalam Sitorus, 2008:33). Setelah krisis minyak tersebut, mereka cenderung menjadi homeless musiman, yaitu saat tidak ada pekerjaan mereka akhirnya menjadi homeless. Pekerjaan kaum yoseba berubah-ubah tergantung pada jadwal pemerintah memberikan proyek. Jadi, masalah homeless berubah-ubah tergantung pada kondisi. Inilah yang dimaksud dengan homeless musiman.

2.2.3 Homeless dari Pekerja Reguler dan Non Reguler

Pada tahun 1980-an, kaum homeless tidak tampak ke permukaaan karena yang mengalami homeless terbatas hanya di kalangan kaum buruh harian di yoseba yang tidak mendapatkan pekerjaan (homeless musiman). Tapi, memasuki tahun1990-an, para homeless sudah mulai terlihat karena jumlah buruh harian yang mengalami homeless semakin bertambah. Kemudian, pada akhir tahun 1990-an, jumlah homeless semakin meningkat dengan semakin banyaknya komunitas homeless yang berasal dari kalangan pekerja regular dan non regular dalam perusahaan Jepang.

Munculnya homeless di kalangan pekerja regular dan non regular dipengaruhi oleh struktur dalam perusahaan Jepang, yaitu sistem tenaga kerja. Besarnya beban perusahaan akibat krisis ekonomi setelah pecahnya bubble economy, memaksa perusahaan untuk melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi jumlah pegawai. Hal ini telah membawa perubahan sistem kerja dalam perusahaan Jepang, yaitu mulai hilangnya sistem kepegawaian seumur hidup (sh ) dan sistem gaji

(8)

berdasarkan senioritas (nenkojoretsu) (Sitorus, 2008: 51). Akibatnya, perusahaan tidak dapat lagi memberikan jaminan bagi para pegawai supaya mereka dapat tetap bekerja dalam perusahaan dan tidak dapat lagi menikmati gaji yang lebih tinggi.

Dalam menghadapi krisis ekonomi, perusahaan menerapkan biaya produksi rendah dengan lebih banyak mempekerjakan pekerja non regular (hiseishain • 非正社 員) karena pekerja ini digaji dengan gaji yang relatif murah, jarang mendapatkan promosi, bantuan (jaminan kerja, jaminan kesehatan, jaminan masa) dapat diabaikan, tidak diperlukan kontribusi asuransi sosial kepada pemerintah, dan mudah diberhentikan. Hal inilah yang membuat pekerja non regular rentan mengalami homeless. Para pekerja regular (seishain • 正社員) juga tidak luput dari masalah homeless. Para pekerja regular yang telah menjadi korban restrukturisasi sehingga kehilangan pekerjaan, sangat susah mendapatkan kembali pekerjaan karena lowongan pekerjaan yang semakin sedikit. Pada akhirnya, para pekerja regular tersebut banyak yang menjadi buruh lepas atau buruh harian. Dan saat ini jumlah homeless di kota-kota besar seluruh Jepang mengalami peningkatan.

2.3 Penyebab Terjadinya Homeless

Muncul dan meningkatnya jumlah para homeless di Jepang cukup menarik perhatian, karena Jepang yang dikenal sebagai negara maju mengalami masalah sosial seperti homeless yang biasanya identik dengan faktor ekonomi dan kemiskinan. Hal ini tentu disebabkan oleh beberapa faktor tertentu.

(9)

terjadinya homeless di Jepang: 1. Faktor Ekonomi

Ekonomi merupakan salah satu faktor terbesar yang memicu munculnya para homeless di Jepang. Akibat dari krisis ekonomi yang melanda Jepang, banyak perusahaan yang bangkrut dan tidak dapat lagi memberikan jaminan bagi para pegawai supaya mereka dapat tetap bekerja dalam perusahaan dan memutuskan untuk restrukturisasi dan rasionalisasi jumlah pegawai. Maka dari itu banyak pegawai-pegawai perusahaan yang di PHK dan pada akhirnya menjadi pengangguran. Akibatnya mereka tidak dapat membayar uang sewa apartemen dan harus segera keluar, karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang layak untuk tidur, mereka tidur di tempat-tempat umum seperti taman, stasiun, dan jalanan. Hal tersebut sesuai dengan konsep

homeless menurut Kagita dalam Stephanie (2010: 24), yaitu yang dikatakan sebagai

homeless adalah orang-orang yang hidup dalam kondisi darurat yang tidur dengan menggelar alas tidur di taman, jalanan, stasiun, bantaran sungai, atau di tempat umum yang terbuka. Lapangan pekerjaan yang sedikit, berkurangnya kesempatan kerja bagi para pekerja non- skill, dan kurangnya pendapatan juga menjadi penyebab munculnya para homeless di Jepang.

Pada tahun 2003 tepatnya pada bulan Januari dan Februari, Departemen Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang melakukan survey kepada para homeless di Jepang mengenai alasan mereka menjadi homeless. Data tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini yang bersumber dari data survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Tenaga Kerja dan

(10)

Kesejahteraan Jepang pada tahun 2007 dalam MHLW.

Grafik 1 Alasan Menjadi Homeless Tahun 2007

sumber: http://www.mhlw.go.jp/houdou/2007/04/dl/n0406-5f.pdf

Berdasarkan data statistik di atas alasan seseorang menjadi homeless adalah karena lapangan pekerjaan menurun sebanyak 31,40%, alasan karena perusahaan bangkrut atau pengangguran sebanyak 26.60 %, alasan karena sakit atau luka atau sudah terlalu tua sehingga tidak bisa bekerja sebanyak 21%, dan alasan karena pendapatan berkurang sebanyak 16.40%. Seperti data dari grafik di atas, bahwa memang faktor ekonomi sangat mempengaruhi kemunculan para homeless.

2. Faktor Terjerat Bunga Hutang atau Rentenir

Masih berkesinambungan dengan masalah ekonomi, salah satu faktor penyebab lainnya adalah adanya hutang atau terjebak oleh rentenir yang

(11)

dalam istilah Jepang dikenal dengan istilah yami kinyuu. Menjalani kehidupan di negara maju seperti Jepang yang mepunyai tingkat persaingan yang tinggi, pastilah berat terlebih lagi jika hidup di kota-kota besar. Karena itu, cukup banyak masyarakat yang meminjam uang kepada rentenir hingga akhirnya terjerat hutang demi memenuhi kebutuhannya dan meninggalkan kediaman untuk melarikan diri (2014: http://ja.wikipedia.org/wiki

ホームレス).

3. Faktor Kondisi Kesehatan atau Fisik

Selain dari faktor ekonomi, faktor kondisi kesehatan atau fisik juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya masalah homeless di Jepang. Kondisi fisik atau tubuh yang lemah, sakit atau menderita luka juga menyebabkan seseorang menjadi homeless karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, kebanyakan orang-orang yang menjadi homeless adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut, ketika seseorang memasuki masa pensiunnya dan tidak dapat bekerja kembali menyebabkan dirinya tidak mempunyai penghasilan untuk membayar uang sewa rumah dan secara terpaksa menjadi homeless.

4. Faktor Bencana Alam

Faktor bencana alam yang terjadi juga menjadi pemicu munculnya homeless di Jepang. Gempa bumi yang lalu diikuti tsunami yang melanda Jepang 11 Maret 2011 lalu berdampak pada hilangnya jiwa dan harta benda milik

(12)

penduduk yang terkena dampak bencana. Selain itu krisis energi listrik akan dialami warga Jepang karana rusaknya PLTN Fukushima yang menyebabkan reaktor nuklir mengalami kebocoran dan saat ini bahaya radiasi telah menyebar di sekitar areal PLTN Fukushima. Penduduk yang rumahnya rusak serta mereka yang masih tinggal di penampungan, membuat mereka kehilangan mata pencarian untuk sementara waktu. Kehilangan pekerjaan sementara waktu dapat membuat seseorang menjadi homeless (2011: arumsekartaji.wordpress.com).

5. Faktor Sosial

Selain faktor ekonomi seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat pula faktor sosial yang menyebabkan seseoraang menjadi homeless, seperti perceraian. Dengan adanya kasus perceraian, hal itu membuat seseorang tidak mempunyai tempat tinggal. Atau karena melarikan diri dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga, mantan pasangan yang menguntit dan mencari untuk kembali bersama-sama, itu adalah situasi yang tidak aman sehingga lebih memilih menjadi homeless (2014: http://ja.wikipedia.org/wiki

ホーム

レス).

6. Faktor Mental atau Permasalahan Individu

Faktor mental dan permasalahan individu juga merupakan salah satu penyebab munculnya homeless di Jepang. Misalnya adalah terjerat judi,

(13)

maniak bermain pachinko, ketergantungan pada alkohol atau karena orangnya memang malas bekerja (2012: mbantoelpoenya.wordpress.com). Karena hal tersebut, membuat mereka tidak memiliki uang dan akhirnya menjadi homeless.

2.4 Jumlah Homeless

Jumlah homeless di Jepang meningkat drastis dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesejahteraan, Kesehatan, dan Buruh Jepang, pada tahun 2003 terdapat 25.296 orang homeless di Jepang (Sitorus, 2008: 34). Jumlah tersebut merupakan jumlah terbanyak dari penelitian yang pernah dilakukan.

Tabel 1 Jumlah Homeless di Jepang

Tahun 1999 Tahun 2001 Tahun 2003

Seluruh Jepang 20.451 24.090 25.296

Tokyo 5.800 5.600 5.927

(14)

Nagoya 1.019 1.318 1.788 Yokohama 794 602 470 Kawasaki 901 901 829 Kyoto 300 492 624 Kobe 335 341 323 Fukuoka 269 341 607 Kita Kyushu 166 197 421 Hiroshima 115 207 156 Sapporo 43 68 83 Sendai 111 131 203 Chiba 113 123 126

(15)

Tabel 2 全国のホームレス数 ( Jumlah Homeless di Seluruh Negeri)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Tabel di atas menjelaskan hasil survei jumlah homeless dari tahun 19 – 23 heisei (2007-2011). Jumlah homeless di seluruh negeri berjumlah 10.890 jiwa, diantaranya 10.209 orang laki-laki, 315 orang wanita dan 366 orang tidak dikenal, hal ini dikarenakan memakai pakaian hangat jadi tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya, maka hal ini lah yang di sebut tidak diketahui. Dari data tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah homeless mengalami penurunan.

(16)

Tabel 3 Jumlah Homeless di Jepang

2003 2007 2009 2010 2011 2012

25,296 18,564 15,759 13,124 10,890 9,576 Sumber: http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

Grafik 2 全国のホームレスの分布状況 (Situasi Penyebaran Homeless di Seluruh Negeri) Tahun 2011

(17)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Grafik di atas menjelaskan bahwa jumlah homeless di seluruh negeri pada tahun 2011 sebanyak 10.890 orang (451 distrik dan desa). Di ibukota Tokyo yaitu 23 distrik sebanyak 2.396 orang atau 22%. Di kota yang ditunjuk pemerintah yaitu 19 kota sebanyak 5.298 orang atau 48,7%. Dan pada kota inti yaitu 40 kota, jumlah homeless sebanyak 764 orang atau 7,0%. Selain itu di 369 distrik dan desa terdapat 2.432 orang atau 22,3%.

Tabel 4 都道府県別のホームレス数 ( Jumlah Homeless berdasarkan kota atau desa)

(18)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Tentang keadaan masing-masing perfektur kota atau desa, setelah homeless diseluruh perfektur kota diidentifikasi, jika dibandingkan dengan penelitian tahun lalu, 40 dari 47 perfektur kota berkurang 2.266 jiwa, enam perfektur meningkat 32 jiwa, satu perfektur tetap sama dengan tahun sebelumnya. Lalu, jumlah pengurangan terbanyak ada di Osaka sebanyak 838 jiwa, ibukota Tokyo 453 jiwa, dan Fukuoka sebanyak 172 jiwa. Lalu, jumlah homeless terbanyak adalah ibukota Tokyo 2.672 jiwa, Osaka 2.500 jiwa, Fukunagawa 1.685 jiwa. Disisi lain, yang paling sedikit jumlah homelessnya adalah perfektur Shimane dengan satu jiwa.

(19)

Tabel 5 Jumlah Homeless di Daerah yang ditunjuk Pemerintah dan 23 Distrik di Ibukota Tokyo

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Keadaan dari kota yang ditunjuk pemerintah dan dari 23 distrik di ibukota Tokyo, ada 7.694 orang, menduduki kira-kira tujuh bagian dari jumlah homeless di seluruh negeri. Jika dibandingkan dengan penelitian tahun lalu, berkurang sebanyak 1.504 jiwa atau 16,4%. Tentang penurunan di masing-masing distrik, jumlah penurunan yang paling banyak adalah Osaka dengan penurunan 689 jiwa, 23 distrik di ibukota Tokyo dengan penurunan 390 jiwa, dan Fukuoka dengan penurunan 123 jiwa.

(20)

Tabel 6 中核市別のホームレス数 (Jumlah Homeless di DaerahInti)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Tentang situasi di daerah inti, berjumlah 764 jiwa menduduki 7% dari jumlah homeless di seluruh negeri. Jika dibandingkan dengan penelitian tahun lali, berkurang sebanyak 182 jiwa atau 19,2%. Mengenai pengurangan jumlah homeless di masing-masing daerah, urutan pengurangan terbanyak adalah di Osaka Timur berkurang sebanyak 30 jiwa, Kumamoto berkurang 25 jiwa, Nishimiya berkurang 23 jiwa.

(21)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Tentang kondisi tempat-tempat homeless, masing-masing fasilitas jumlahnya berkurang. Persentase masing-masing fasilitas tidak terlihat perubahan yang besar sejak tahun lalu.

Grafik 3場所別のホームレス数 ( Jumlah Homeless di Berbagai Tempat Umum)

(22)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Grafik 4 Persentase Jumlah Homeless di Berbagai Tempat Umum

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Berikut ini adalah data jumlah homeless di Jepang pada tahun 2012. Tabel 8 Jumlah Homeless Berdasarkan Jenis Kelamin

(23)

Pria Wanita Tidak Diketahui

8.933 304 339

Sumber: http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah homeless pria lebih banyak dari pada homeless wanita.

Tabel 9 Jumlah Homeless di Tempat-Tempat Umum

Taman Kota

Sekitar

Sungai Jalan Stasiun Tempat Lain

2,587 2,851 1,677 461 2,000

Sumber:http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

Tabel 10 Jumlah Homeless di Beberapa Kota Besar

Tokyo Osaka Nagoya Yokohama Lainnya

2,134 2,179 347 609 4,307

Sumber: http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah homeless di Jepang mengalami penurunan dari tahun 2003 dengan jumlah homeless terbanyak yaitu 25.296 jiwa menjadi 9.576 jiwa pada tahun 2012. Penurunan jumlah homeless tersebut tidak lepas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mengurangi jumlah homeless.

Gambar

Grafik 1 Alasan Menjadi Homeless Tahun 2007
Tabel 1 Jumlah Homeless di Jepang
Tabel 2 全国のホームレス数 ( Jumlah Homeless di Seluruh Negeri)
Grafik 2 全国のホームレスの分布状況 (Situasi Penyebaran Homeless di  Seluruh Negeri) Tahun 2011
+6

Referensi

Dokumen terkait

Minat merupakan keinginan siswa untuk mempelajari sesuatu yang didasari dari rasa tertarik terhadap suatu hal, minat yang terwujud dari diri sendiri sangat mempengaruhi

Varietas Gilirang memberikan jumlah gabah per malai yang paling banyak yaitu sebesar 197,53 biji dan berbeda nyata dibanding dengan varietas lainnya, sedangkan yang paling

Sekretaris Badan Pengendalian Dampak Lingkungan mempunyai tugas pokok membantu Kepala Badan dalam melaksanakan penyusunan program dan laporan evaluasi, pembinaan

HARI RABU TANGGAL 27 OKTOBER 2016 BUPATI BANGKA BERTEMU KELOMPOK PRO DI KEDIAMAN WARGA DESA DALIL, BUPATI BANGKA BERDISKUSI DAN MENJAWAB SEMUA POIN ALASAN PENOLAKAN DAN

(sumber: Jurnal Persepsi Masyarakat terhadap Upacara rambu Solo’ berdasarkan stratifikasi sosial studi kasus kel. Makale Tana Toraja, 2012 ) berdasarkan jurnal tersebut

Sehubungan dengan evaluasi dokumen prakualifikasi pekerjaan Pembangunan Cold Storage Kabupaten Nunukan Tahun Anggaran 2013, dengan ini mengundang Direktur/Wakil Direktur atau yang

@Apabila dilihat dari hasil penelitian, perbandingan sifat isolator dari udara, kaldu sapi dan kambing adalah kaldu sapi merupakan isolator yang lebih baik jika