METODE SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Azwarfajri
Prodi Hukum Islam
PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: azwa12@gmail.com
ABSTRACT
Sufistic interpretations is one form of interpretation that uses certain methods that became known as the shades of interpretation and exegesis isyari al-nazhari. Sufistic interpretations is a method of interpretation that emphasizes aspects of ethics (moral), devotion (al-al-ta'abbudi mysticism) which can be used as the basis for the clear and motivating aspects spiritual ascetic attitude (asceticism), teaches how to live a full life orientation of hereafter (supernatural spiritual) of more than earthly life (materialistic hedonistic). The method used is the cue or takwil through the inner experience of course, the interpretation can not be separated from madlul verses of the Koran. The pattern of anti-sense interpretation is reasonable because he keeps them in order to know the inner.
Kata Kunci: Sufistik, Penafsiran, al-Qur’an Pendahuluan
Tradisi penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh para ulamamutaqaddimin
bukan saja dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan para mufassir, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, sebagai perspektif pemikiran dan juga termasuk pengalaman, termasuk kondisi sosial politik yang mewarnai kultur kehidupan
mufassir tersebut.1 Realitas ini menjadi indikasi bahwa al-Qur’an sarat dengan
perenungan, pemahaman dan penafsiran yasng memang dianjurkan. Berdasarkan hal inilah muncul hasil interpretasi yang beragam sebagai konsekuensi logis dari perintah al-Qur’an selama pemahaman dan penafsiran dilakukan secara sadar dan
penuh tanggung jawab.
Tafsir sebagai sebuah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan mufassir itu sendiri merupakan suatu hasil ijtihad yang bersifat subyektif dan semuanya bersifat relatif, tidak ada suatu tafsir lebih valid dari tafsir yang lain, karena masing-masing tafsir mempunyai karakteristik tersendiri. Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fikih, corak tasawuf, corak sastra budaya dan kemasyarakatan.2 Corak penafsiran
sufistik atau tafsir yang dipengaruhi oleh aliran tasawuf merupakan salah satu
warisan dalam khazanah pengetahuan Islam, karena disamping telah menjadi _____________
1M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 77 2
suatu disiplin ilmu, dalam sejarah perkembangannya juga dihadapkan dengan berbagai polemik.
Sebagai suatu disiplin ilmu, tasawuf telah melahirkan banyak ahli yang telah memberikan dan menghasilkan paham-pahamnya dalam bidang tasawuf. Disamping itu, banyak muncul karya-karya tafsir produk ulama sufi sebagai hasil upaya mereka dalam memahami al-Qur’an. Dalam proses penafsiran tersebut
mereka menggunakan metode-metode tertentu yang kemudian dikenal dengan corak tafsir isyari dan corak tafsir al-nazhari yang akan diuraikan dalam tulisan ini.
Pengertian Tafsir Sufistik
Studi tafsir yang marak dewasa ini merupakan sebuah indikasi betapa besarnya perhatian umat Islam terhadap studi al-Qur’an yang dijadikan sebagai
pedoman hidup (way of life), sehingga munculnya berbagai macam corak pe-nafsiran tidak bisa dihindari termasuk perspektif tafsir sufistik.
Corak penafsiran ini lahir dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf yang mencurahkan waktu untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami
al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf. Mereka me-nakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara penakwilan, dan memberikan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah di-kenal dan didukung oleh dalil-dalil syar’i.3
Tafsir sufistik adalah metode penafsiran yang menekankan aspek etika, pengabdian yang dapat dijadikan pijakan untuk menjernihkan aspek ruhaniyah dan memberikan motivasi terhadap sikap zuhud, mengajarkan cara hidup yang sarat dengan orientasi kehidupan ukhrawi yang lebih banyak dari kehidupan duniawi.4
Metode penafsiran ini pada awalnya bercorak isyari yaitu penakwilan
al-Qur’an dengan tanpa menggunakan makna lahir ayat, karena adanya isyarat -isyarat yang tersembunyi.5 Corak penafsiran isyari ini kemudian berkembang menjadi tafsir paradigmatik filosofis atau yang lebih dikenal dengan corak sufistik
nazhari yaitu perspektif penafsiran al-Qur’an yang didasarkan atas pandangan
teori filsafat.6
Jenis-Jenis Tafsir Sufistik
Corak penafsiran sufistik ini terbagi dua macam yaitu :
Tafsir Sufi al-Nazhari
Tafsir sufi al-nazhari yaitu perspektif penafsiran al-Qur’an yang
berdasarkan pandangan-pandangan teori filsafat yang dibangun atas dasar premis-premis minor pendekatan ilmiah dalam upaya menelusuri makna-makna al-Qur’an
yang didasarkan pada data-data yang nilai kebenarannya bersifat subyektif dan relatif. Sedangkan makna yang diungkap adalah makna esoteris ayat (bathin al-_____________
3Ali Hasan al-‘Aridl,Sejarah dan Metodologi Tafsir, cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 1992),
55 4
Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi‘Ulum al-Qur’an(t.tp: al-Ashr al-Hadits, 1973), 356
5Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz. II
(Mesir: Mathba‘ah al-Babi al-Halabi, t. th), 11
6Muhammad Husein Zahabi, Tafsir wa Mufassirun, juz. III (Kairo: Dar Kutub
Qur’an). Corak penafsiran ini dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut oleh para mufassir.7 Dalam menafsirkan al-Qur’an
para mufassir membawanya melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra-konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi al-nazhari dalam prakteknya merupakan penafsiran al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksud oleh syara’.8
Ulama yang dianggap berkompeten dalam corak al-nazhari adalah Muhyi al-Din Ibnu al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai mufassir yang menyandarkan
be-berapa teori tasawuf dengan al-Qur’an, ia juga seorang sufi yang dikenal dengan
paham wahdah al-wujud yaitu paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan.
Ibnu al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh
paham wahdah al-wujud yang merupakan teori terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya dijadikan legitimasi atas pahamnya tersebut. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibnu al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah
keluar dari madlul ayat yang dimaksud oleh Allah.9
Selanjutnya al-Zahabi menjelaskan secara panjang lebar karakteristik dan ciri-ciri tafsir sufi al-nazhari sebagai berikut:
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir sufi al-nazhari
sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh penafsiran Ibnu al-‘Arabi terhadap surah Maryam ayat 57:
“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”. (QS. Maryam: 57).
Menurut al-Zahabi, penafsiran Ibnu al-‘Arabi tersebut sangat dipengaruhi
oleh pemikiran filsafat alam yaitu dengan menafsirkan lafal makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir al-nazhari, hal-hal yang ghaib dibawa ke dalam
sesuatu yang nyata atau dengan kata lain mengqiyaskan yang ghaib kepada yang nyata.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya
menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa mufassir.10
Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an denganmain stream penakwilan ayat-ayat terhadap makna yang tidak kelihatan secara
transparan karena adanya isyarat yang tersembunyi dibalik ayat. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah al-Qur’an
mencakup yang lahir dan batin. Makna lahirnya adalah teks ayat, sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna teks tersebut.11
Menurut al-Zahabi, tafsir sufi isyari adalah cara menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang berlawanan dengan lahir ayat karena mengikuti isyarat-isyarat _____________
7Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir..., juz. II, 368
8
Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir..., juz. II, 368
9Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir..., juz. II, 370
10Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir..., juz. II, 368 - 370
11Khalid‘Abd al-Rahman al-Akh, Ushul al-Tafsir wa Qawa‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafa’is,
tersembunyi dibalik ayat, yang hanya akan jelas bagi ahli suluk dan memungkin-kan terjadinya penyesuaian antara isyarat dengan maksud lahir ayat.12
Seorang ulama sufi Nasruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nas al-Qur’an yang hanya melihat lahirnya, merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan penafsiran yang dalam dengan menelusuri dibalik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, namun bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batinnya untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada dibalik makna lahir tersebut.13
Lahir dan batin merupakan konsep yang digunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Pola berfikir mereka berangkat dari yang lahir menuju yang batin. Bagi mereka batin merupakan sumber pengetahuan sedangkan lahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib bahwa setiap ayat al-Qur’an memiliki empat makna yaitu lahir, batin, had dan matla’ .
Baik makna lahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah.
Lahir adalah turunnya al-Qur’an (tanzil) dari Allah kepada Nabi dengan bahasa
umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin. Oleh karena itu, dualisme lahir dan batin dalam wacana al-Qur’an,
pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu memiliki dimensi lahir dan batin. Yang lahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-shurah al-hissiyah) dan yang batin adalah al-ruh al-ma‘nawi.14
Corak tafsir sufi isyari tidak dapat begitu saja diterima, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufassir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penafsiran isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna lahir.
2. Harus ada nas lain yang menguatkannya. 3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir dan memungkinkan adanya makna yang tersembunyi dibalik teks.15
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat-isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat, diantara penafsiran isyari para sahabat adalah ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surah al-Nashr yang berbunyi :
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”. (QS. al-Nashr: 1). Diantara mereka ada yang memberi penafsiran dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur dan meminta ampun kepada Allah, tetapi berbeda dengan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut sebagai tanda kewafatan Rasulullah.
_____________
12
Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir..., juz. III, 5
13Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir..., juz. III, 219
14‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah,
1990), 277 15
Al-Zahabi memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi
al-nazhari dan tafsir sufi isyari sebagai berikut:
1. Tafsir sufi al-nazhari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada pada seorang sufi, yang kemudian menafsirkan al-Qur’an sebagailandasan
tasawufnya. Tafsir ini bukan didasarkan pada pengetahuan yang ada pada seorang sufi, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang telah mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat yang ada dalam ayat-ayat al-Qur’an.
2. Dalam tafsir sufi nazhari, seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat
al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang ada di balik ayat. Asumsi dasar dari tafsir ini adalah bahwa ayat-ayat al-Qur’an
mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir, dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna lahir dan batin.16
Adapun tokoh-tokoh yang terkenal dalam corak penafsiran ini adalah: a. Sahl Abdullah al-Tusturi dengan karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim atau
disebut juga Tafsir al-Tusturi; b. Abu Abd al-Rahman dengan karyanya Haqa’iq al-Tafsir al-Sulami atau dikenal dengan Tafsir al-Sulami; c.
Ahmad bin Ibrahim al-Naisaburi dengan karyanya al-Kasyaf wa al-Bayan atau disebut juga Tafsir al-Naisaburi; d. Muhyi al-Din Ibnu al-‘Arabi
dengan karyanya Tafsir Ibnu al-‘Arabi; e. Syihab Din Alusy
al-Baghdadi dengan karyanya Ruh al-Ma‘ani; f. Abd al-Razaq al-Qasyani
dengan karyanya Mutashawwif; g. Al-Qusyairi dengan karyanya Latha’if
al-Isyarat Tafsir Shufi Kamil li al-Qur’an al-Karim; h. Nizham Din
al-Hasan bin Muhammad al-Naisaburi dengan kitabnya Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan; i. Imam al-Ghazali dengan karyanya al-Jawahir. Bentuk-Bentuk Penafsiran
Tafsir isyari maupun al-nazhari merupakan produk ahli tafsir yang menggolongkan diri sebagai ahli tasawuf. Sebab itulah kedua corak penafsiran ini memiliki nilai similaritas, karena keduanya mengungkapkan makna al-Qur’an
yang tersirat. Hanya saja tafsir al-nazhari mengarahkan penelusurannya pada makna yang tersirat saja dengan mengabaikan makna yang tersurat. Sedangkan
tafsir isyari, corak pemikirannya didahului dengan pendekatan spiritual (riyadhah ruhiyah) yang dilakukan oleh seorang mufassir sehingga sampai pada tingkatan
yang mampu mengungkapkan makna yang tersirat dalam ayat al-Qur’an. Dengan
isyarat-isyarat yang dipahami dengan imajinasinya sehingga tampak korelasi antara makna yang tersurat (eksoteris) dan yang tersirat (esoteris) dari ayat yang ditafsirkan.17Adapun contoh bentuk-bentuk penafsirannya adalah sebagai berikut:
1. Surah al-Syams ayat 9-10
“Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan jiwanya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya” (QS. al-Syams: 9-10).
_____________
16Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir..., 384
17Wahib, Perspektif Tafsir Sufi Isyari: Studi Atas Pemikiran Alusy dalam Tafsir Ruh
Menurut Ibnu al-‘Arabi, penjelasan dari ayat ini adalah bahwa jiwa itu
tidak akan dapat menjadi suci kecuali oleh Tuhannya. Dalam zat itu tidak ada kemuliaan dan keagungan. Karena kesucian itu adalah perkembangan, maka barang siapa yang al-Haq telah menjadi penglihatannya, pendengarannya, ke-kuatannya, dan bentuk-bentuk yang disaksikannya adalah bentuk penciptaan, maka sucilah jiwa orang tersebut. Jiwa akan berkembang dan tumbuh dari semua pasangan yang indah, seperti nama-nama Allah adalah bagi Allah dan makhluk yang telah suci seperti itu. Karena itu sungguh merugi orang-orang yang mengotori jiwanya, karena tidak mau tahu terhadap jiwanya. Dalam hal ini Ibnu al-‘Arabi berkhayal bahwa orang tersebut telah mengotori jiwanya menurut
pensifatan ini, padahal ia sendiri tidak tahu bahwa sifat yang ada pada jiwanya merupakan sifat dzati yang akan selalu ada padanya dan mustahil akan lenyap.
Karena itu ia mensifatinya dengan “merugi”, jika ia tidak mengetahui hal ini. Karena itulah Allah berfirman “sungguh beruntunglah”, dan Allah menentukan
kekekalannya sifat dzati tersebut. Padahal kekekalan itu hanyalah bagi Allah semata atau bagi sesuatu yang ada di sisi-Nya.18
2. Surah al-Taubah ayat 122:
“Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang ada di
sekitarmu”. (QS. al-Taubah: 122).
Dalam ayat ini, para mufassir mengartikan bahwa Allah telah me-merintahkan untuk memerangi atau membunuh diri dan orang-orang kafir yang ada di sekitar. Ini merupakan pemahaman dari makna lahir ayat yang ditunjukkan oleh pengertian-pengertian kebahasaan, sedangkan pemahaman batinnya berasal dari pemahaman para mufasir terhadap makna lahir ayat sesuai dengan pemahaman konsep sufinya.19
Apabila menelaah kitab-kitab tafsir sufi, baik yang nazhari atau isyari dapat ditemukan adanya penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an. Tafsir sufi al-nazhari pada umumnya menyimpangkan makna al-Qur’an dari maksud dan
tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Ibnu al-‘Arabi yang cenderung menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan
pendapatnya tentang wahdah al-wujud. Menurutnya, tidak ada wujud selain wujud yang satu, sedangkan alam semesta merupakan manifestasi dari wujud yang tunggal. Allah merupakan wujud yang nyata dan selain Dia merupakan manifes-tasi dan ide, yang keduanya dianggap sebagai perluasan dan pengembangan dari wujud yang satu. Pendapat inilah yang menyebabkan para sufi berani berkata
“Aku adalah Allah” dan juga Ibnu al-‘Arabi mengatakan bahwa “Anak sapi yang
disembah Bani Israil merupakan salah satu manifestasi Allah”. Ada beberapa _____________
18Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir,
cet. I (Bandung: Pustaka, 1987), 248-249 19
penafsiran al-Qur’an yang dijadikan alasan atas pendapatnya mengenai wahdah al-wujud, diantaranya surah al-Isra’ ayat 23:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. al-Isra’: 23)
Ibnu al-‘Arabi mengatakan para ulama yang cenderung melihat pernyataan
tertulis dalam al-Qur’an memberikan arti lafal qadha dengan memerintahkan, tetapi ia mengartikan dengan “memutuskan untuk membuka”, dan inilah arti
sebenarnya, karena orang-orang musyrik berkeyakinan bahwa sebenarnya mereka menyembah patung sesembahan untuk mendekatkan diri kepada Allah.20
Penyimpangan kedua adalah dalam penafsiran terhadap surah al-Baqarah ayat 163:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Baqarah: 163)
Ibnu al-‘Arabi mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah berbicara dengan kaum muslim, bahwa orang-orang yang menyembah benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebenarnya sama dengan menyembah
Allah juga. Ingatlah ketika mereka mengatakan: “Sebenarnya kami menyembah benda-benda ini untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah”. Selanjutnya Ibnu al
-‘Arabi menghubungkan penafsirannya ini dengan surah al-Muzammil ayat 8-9:
“Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan,
Dialah Tuhan masyriq dan Tuhan maghrib”. (QS. al-Muzammil: 8-9)
Dalam hal ini, Ibnu al-‘Arabi mengatakan: “Ingatlah Tuhanmu yaitu kamu sendiri, artinya kenalilah dirimu sendiri, ingatlah selalu dan jangan melupakannya agar Allah tidak melupakanmu. Dan berusahalah untuk memperoleh
kesempur-naan dirimu setelah mengetahui hakikat dirimu (sebagai Tuhan)”.21
Dari bentuk penafsiran-penafsiran di atas terlihat bahwa terdapat berbagai macam bentuk penafsiran yang timbul karena tidak adanya batasan yang jelas tentang bentuk penafsiran itu sendiri, salah satunya adalah corak penafsiran sufi. Menurut penulis, corak penafsiran sufi ini dapat dipakai apabila tidak bertentangan dengan konsep-konsep ketauhidan yang telah diketahui dan berkembang dalam masyarakat, walaupun diketahui bahwa konsep-konsep sufistik itu belum tentu salah, namun hal itu tidak dapat disebarkan dalam _____________
20Muhammad Husein Zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran
al-Qur’an(Jakarta: Rajawali, 1986), 94-95
21
masyarakat karena akan menimbulkan kesalah-pahaman akibat masih rendahnya pemahaman terhadap konsep-konsep keilmuan tersebut.
Kesimpulan
Tasawuf dalam perkembangan sejarahnya telah memperkaya khazanah ke-ilmuan Islam, seperti dalam bidang penafsiran yang melahirkan corak penafsiran sufistik. Corak tafsir sufi mempunyai karakter khusus, tidak lepas dari epistemo-logi yang dipakai kaum sufi dengan konsep lahir dan batin yang melihat al-Qur’an
sebagai makhluk yang mempunyai segi lahir dan batin. Metode yang dipakai dalam penafsiran adalah isyarat atau takwil melalui jalan pengalaman batin yang tentu saja penafsirannya tidak lepas dari madlul ayat al-Qur’an. Mereka sangat
anti akal karena menurutnya akal akan menghalangi mereka untuk bisa me-ngetahui hal yang batin
DAFTAR PUSTAKA
Al-Akh, Khalid ‘Abd al-Rahman. Ushul al-Tafsir wa Qawa‘iduhu. Beirut: Dar al-Nafa’is, 1986.
Al-‘Aridl, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir, cet. I. Jakarta: Rajawali
Pers, 1992.
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi
Tafsir, cet. I. Bandung: Pustaka, 1987.
Al-Jabiri, ‘Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arab. Beirut: Markaz Dirasat Wahdat
al-‘Arabiyah, 1990.
Al-Qaththan, Manna’.Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an.t.tp: al-Ashr al-Hadits, 1973. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Wahib. Perspektif Tafsir Sufi Isyari: Studi Atas Pemikiran al-Alusy Dalam Tafsir
Ruh al-Ma’ani. Yogyakarta: PPs IAIN SUKA, 1997.
Al-Zahaby, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1962.
--- , Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali, 1986.
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an.