• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LATIHAN FISIK

Saat latihan fisik akan terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu lagi meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2 max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang latihan. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh cardiac output, kemampuan sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat terlatih), cardiac output adalah faktor yang menentukan VO2 max (Vander et al., 2001).

Latihan harus memperhatikan persiapan fisik, teknik, taktik serta psikis.

Latihan fisik untuk tujuan kebugaran jasmani harus dilakukan secara teratur (Bompa, 1990). Agar latihan fisik berpengaruh terhadap peningkatan kebugaran jasmani, maka latihan harus memperhatikan takaran latihan. Menurut Giam & The (1992), takaran latihan meliputi frekuensi, intensitas, lama latihan, dan jenis latihan. Latihan fisik aerobik sebaiknya dilakukan dengan frekuensi 3 x per minggu. Intensitas latihan dengan tujuan meningkatkan kebugaran fisik dilakukan

(2)

pada 60 – 85 % denyut nadi maksimal. Efek latihan fisik terhadap kebugaran jasmani umumnya terlihat setelah 8 sampai 12 minggu (Fox et al., 1993).

Olahragawan paling banyak melakukan latihan fisik aerobik intensitas sedang. Latihan fisik aerobik intensitas sedang bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas kardiovaskular dan meminimalkan terjadinya cedera. Latihan fisik aerobik intensitas sedang adalah latihan fisik dengan beban kerja dibawah konsumsi oksigen maksimal subjek. Pada latihan fisik aerobik intensitas sedang, sistem energi aerobik menyediakan hampir seluruh energi yang dibutuhkan untuk kerja otot. Asam laktat dihasilkan dalam kecepatan yang cukup lambat selama latihan dan dioksidasi atau diubah kembali menjadi glikogen di hati (kecepatan pembentukan asam laktat seimbang dengan kecepatan pengubahan asam laktat). Jadi, di bawah kondisi steady-state, akumulasi laktat minimal. Latihan aerobik sangat baik untuk meningkatkan kapasitas sistem kardiovaskular. Latihan ini membutuhkan penggunaan setidaknya 50% massa otot tubuh dalam latihan yang ritmis, selama minimal 15 sampai 20 menit, 3 sampai 5 kali seminggu, dan mencapai 60-70% kapasitas maksimum (Brooks and Fahey, 1995).

Latihan secara aerobik dapat meningkatkan volume oksigen maksimum (VO2max). Jika melakukan latihan fisik secara aerobik dengan teratur,maka produksi asam laktat menjadi lebih sedikit sehingga respon fisiologi tubuh mengalami perubahan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida (CO2) menjadi lebih sedikit,sehingga ventilasi secara dramatis menurun. Walaupun ventilasi menurun,tekanan karbondioksida (PCO2) dan pH arteri tetap normal pada saat melakukan latiahan fisik maksimal (Casaburi, 1992).

(3)

Latihan fisik yang teratur akan memberikan efek yang menguntungkan dalam pencegahan dari berbagi penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi, kanker, obesitas, osteoporosis dan kematian dini. Selain efek menguntungkan juga selama latihan fisik akan memberikan efek yang merugikan, dimana akan terjadi kerusakan struktural atau reaksi imflamsi pada otot yang bisa terjadi pada beberapa usia dan juga pada atlet yang secara produktif memproduksi radikal bebas (Barbarosa et al., 2009).

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang tidak berpasangan dan sangat reaktif (Clarkson and Thompson, 2000). Radikal bebas juga merupakan produk normal dari proses metabolisme. Selama proses dioksidasi makanan dalam tubuh untuk menghasilkan energi, terbentuk sejumlah radikal bebas juga. Radikal bebas berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap tubuh dari serangan bakteri dan parasit, juga menyerang sasaran yang lebih spesifik pada asam lemak tak jenuh ganda membran sel, struktur sel, dan deoksiribonukleat (DNA).

Latihan fisik juga dapat menimbulkan atau memicu ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan system pertahanan anti oksidan yang disebut sebagai stres oksidatif (Leewenburgh dan Heinecke, 2001). Menurut Ji (1999), selama latihan fisik maksimal, dimana konsumsi oksigen didalam tubuh dapat meningkat sampai 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada tingkat serabut otot diperkirakan meningkat sampai 100 kali. Peningkatan oksigen inilah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi radikal bebas yang dapat menimbulkan kerusakan sel. Stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana

(4)

al., 2005, Evan 2000, Helliwell and Whiteman, 2004), sehingga terjadi kerusakan membran sel (Singh, 1992) sel-sel otot (Witt et al.,1992) termasuk sel otak dan hati (Barbosa et al., 2009).

Pada laki-laki stres oksidatif merupakan faktor penting yang dapat menimbulkan penurunan produksi testosteron pada saat pematangan testis. Peningkatan Nitric Oxide (NO) yang sering dikaitkan dengan peningkatan Lipid peroksidase pada berbagai jenis stres, juga menyebabkan penurunan sekresi testosteron (Turner et al., 2008 ). Untuk mencegah ataupun memperbaiki kerusakan sel tersebut, maka tubuh mempunyai sistem pertahanan antioksidan.

2.2. LATIHAN FISIK DAN STRES OKSIDATIF

Latihan fisik akan berpotensi untuk menimbulkan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, yaitu saat antioksidan tidak dapat mengatasi radikal bebas yang terbentuk selama latihan fisik. Situasi ini dikenal sebagai stres oksidatif.

Stres okisidatif yang dihasilkan dari latihan fisik dapat menyebabkan kerusakan enzim, reseptor protein, membran lipid, dan DNA. Di dalam otot, mitokondria merupakan salah satu sumber substansi reaktif seperti superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil. Substansi oksigen reaktif merupakan ancaman serius terhadap sistem pertahanan antioksidan seluler dan meningkatkan kerentanan jaringan terhadap kerusakan oksidatif (Leeuwenburgh & Heinecke,

(5)

2001). Ada indikasi yang jelas bahwa latihan fisik berpotensi meningkatkan produksi radikal bebas dan menyebabkan stres oksidatif (Margaritis et al., 2003).

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa latihan fisik intensitas sedang dapat meningkatkan produksi radikal bebas melebihi kapasitas pertahanan antioksidan dan menimbulkan stres oksidatif (Alessio, 1993), sedangkan menurut Ji (2002), latihan fisik yang tidak melelahkan (nonexhaustive) dapat menginduksi stres oksidatif ringan yanng menstimulasi ekspresi enzim-enzim antioksidan tertentu. Peningkatan enzim-enzim antioksidan biasanya membutuhkan latihan fisik yang teratur. Leeuwenburgh & Heinecke (2001) menemukan bahwa latihan fisik selama 10 minggu dapat meningkatkan aktivitas glutathion peroxidase dan superoxide dismutase pada otot vastus lateralis.

2.3. RADIKAL BEBAS DAN STRES OKSIDATIF

Radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di bagian luar, orbitnya yang memungkinkannya menyerang komponen sel. Radikal bebas terjadi karena sebagaian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan dalam tubuh. Tampaknya, oksigen merupakan sesuatu yang parodoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberikan energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun pada berbagai penyakit dan kondisi

degeneratif, seperti aging, artritis, kanker, dan lain-lain (Marx, 1985). Reaksi

(6)

radikal bebas yang aktif, yang dapat merusak struktur serta fungsi sel. Namun, reaktifitas radikal bebas itu dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh. Meningkatnya radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma (Zakaria et al., 2000; Winarsi et al., 2003). Dengan meningkatnya usia seseorang, sel-sel tubuh mengalami degenerasi, proses metabolisme terganggu, dan respon imun juga menurun. Semua faktor ini dapat memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif. Oleh sebab itu, tubuh kita memerlukan suatu substansi penting, yakni antioksidan yang dapat membantu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dan menekan dampak negatifnya.

Sebagian besar radikal bebas yang terbentuk in vivo berasal dari reactive oxygen species (ROS) atau reactive nitrogen species. ROS terdiri atas oksigen

berbasis radikal bebas, misalnya superoksida (O2 ⎯ ), hidroksil (OH⎯), alkoksil

(RO⎯), peroksil (ROO⎯) dan hidroperoksil (ROOH). Konsekuensi dari radikal

bebas berupa kecendrungan memperoleh elektron dari substansi lain menjadikan radikal bebas sangat reaktif. Meski demikian, tidak semua jenis oksigen reaktif

merupakan radikal bebas, misal, oksigen singlet (tunggal) dan H2O2. Jika oksigen

direduksi oleh enzim sitokrom oksidase menjadi air akan diperoleh 4 buah elektron. Meski demikian elektron juga dapat diperoleh secara satu persatu melalui reduksi univalen yang mungkin bertanggung jawab atas 1-5% total konsumsi oksigen. Moleku-molekul molekular di dalam reduksi univalen bersifat sangat reaktif dan berpotensi merusak jaringan. Molekul tersebut adalah radikal bebas super oksida, hidrogen peroksida, dan radikal bebas hidroksil. Unsur yang

(7)

disebut terakhir ini bersifat sangat toksis tetapi memiliki masa hidup singkat. Oleh karena itu radikal bebas hidroksil akan bekerja didekat tapak asal pembuatannya

melalui rekasi penton dan Haber-Weiss yang dikatalisis Fe2+. Sumber spesies

reaktif lain adalah xantin oksidase, yang menghasilkan superoksida (misalnya: selama cedera reperfusi pada organ iskemik), dan siklooksigenase serta lipoksigenase yang menghasilkan radikal hidroksil serta peroksil. Superoksida juga dapat dibentuk saat xenobiotik dimetabolisasi oleh sitokrom P450. Karena bersifat sangat reaktif, sebagian besar struktur sel bersifat sangat rentan termasuk membran, protein struktural, enzim serta asam nukleat yang dapat menyebabkan mutasi dan kematian sel. ( Robert K Murray et all., 2003)

2.4. ANTIOKSIDAN DAN STRES OKSIDATIF

Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian seluler yang berbeda (Tuminah, 2000).

Secara umum pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam efek negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktifitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsih, 2007).

(8)

Antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu :

1. Antioksidan enzimatis

2. Antioksidan non enzimatis

2.4.1 Antioksidan Enzimatis

Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk didalamnya adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase (GSH-PX), serta glutation reduktase (GSH-R) (Mates dan Jimenez,1999; Tuminah, 2000,). Sebagai antioksidan, enzim-enzim ini bekerja menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutuskan reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil, sehingga antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant(Winarsih, 2007).

Enzim katalase dan glutation peroksidase bekerja dengan cara mengubah

H2O2 menjadi H2O dan O2 sedangkan SOD bekerja dengan cara mengkatalisis

reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2 (Langseth L, 1995;

Winarsih 2007).

2.4.2 Antioksidan Nonenzimatis

Antioksidan non-enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan ini bekerja secara preventif, dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya

(9)

(Winarsih, 2007). Antioksidan non-enzimatis bisa didapat dari komponen nutrisi sayuran, buah dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat antioksidan dalam

sayuran, buah dan rempah-rempah meliputi vitamin C, vitamin E, β-karoten,

flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin dan isokatekin (kahkonen, et al, 1999). Senyawa-senyawa fitokimia ini membantu melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas.

Untuk mencegah stres oksidatif akibat latihan fisik, tubuh mempunyai sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan ada yang berupa enzim maupun non enzim. Antioksidan enzim yaitu superoxide dismutase (SOD), glutathion peroksidase, dan katalase. Antioksidan non-enzim yang utama adalah glutathion (GSH), vitamin A, Vitamin C, dan Vitamin E.

Cara kerja antioksidan dapat melalui pemecahan reaksi berantai, yang meliputi fase lipid (vitamin E) dan fase air (vitamin C), mengurangi konsentrasi ROS (glutation), menangkap radikal bebas (SOD), dan khelating transition metal (transferin dan seruloplasmin). Antioksidan enzimatik diaktivasi secara selektif selama latihan fisk berat tergantung pada stres oksidatif jaringan dan kapasitas pertahanan antioksidan. Otot skelet mengalami stres oksidatif lebih besar dibandingkan hati atau jantung karena peningkatan produksi ROS. Oleh karena itu, otot membutuhkan perlindungan antioksidan melawan kerusakan oksidatif yang mungkin terjadi selama dan sesudah latihan fisik. SOD, katalase, dan glutation peroksidase merupakan pertahanan primer melawan pembentukan ROS selama latihan fisik, dan aktivitas enzim – enzim ini diketahui meningkat sebagai

(10)

respons terhadap latihan fisik baik pada penelitian binatang maupun manusia (Ji, 1999).

2.5. Tocopherol

Tocopherol adalah bentuk dari α-tokoferol (C29H50O2) termasuk d- atau

dL α-tokoferol (C29H50O2). Atau dL α-tokoferol asetat (C31H52O3), atau dL α

-tokoferol suksinat (C33H54O5), mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 102,0% masing-masing C29H50O2, C31H52O3, C33H54O5. (Farmakope Indonesia 1998).

Tocopherol pertama kali ditemukan tahun 1922 dan merupakan vitamin yang larut dalam lemak (Burton, 1994). Vitamin ini secara alami memiliki 8

isomer yang dikelompokkan dalam 4 tokoferol (α,β,γ,δ) dan 4 tokotrienol

(α,β,γ,δ). Bentuk vitamin E ini dibedakan berdasarkan letak berbagai grup metil

pada cincin fenil rantai cabang molekul dan ketidakjenuhan rantai cabang

(Burton, 1994; Brigelius-Flohe, 1994). α-tokoferol merupakan bentuk tokoferol

yang paling aktif dan paling penting untuk aktivitas biologi tubuh, sehingga

aktivitas vitamin E diukur sebagai α-tocopherol.

Tocopherol merupakan pertahanan baris pertama terhadap proses peroksidasi asam lemak tak jenuh ganda yang terdapat di dalam fosfolipid membran selular dan subselular. Fosfolipid mitokondria, retikulum endoplasma,

(11)

tampak terkonsentrasi di tempat-tempat ini. Tocopherol berfungsi sebagai antioksidan, memutus berbagai reaksi rantai radikal bebas karena kemampuannya memindahkan hidrogen fenolat kepada radikal bebas peroksil asam lemak tak jenuh ganda yang terperoksidasi, berikut kerja dari antioksidan memutus rantai

yang dimilki tocopherol terhadap radikal peroksil (ROO· + TocOH  ROOH +

TocO· dan ROO· + TocO· ROOH + Produk non radikal bebas.

Radikal bebas fenoksi yang terbentuk dapat bereaksi dengan tocopherol untuk menghasilkan kembali tocopherol, atau bereaksi dengan radikal bebas peroksil berikutnya sehingga cincin kromana serta rantai samping dioksidasi menjadi produk bukan radikal bebas. Produk oksidasi ini mengalami konjugasi dengan asam glukoronat melalui gugus 2-hidroksil dan diekskresikan ke dalam getah empedu. Jika bereaksi dengan cara ini tocopherol tidak akan di daur ulang setelah melaksakan fungsinya, tetapi harus sepenuhnya diganti untuk melanjutkan peran biologiknya di dalam sel. Kerja antioksidan tocopherol berlangsung efektif pada konsentrasi oksigen yang tinggi, dan dengan demikian tidaklah mengherankan jika tocopherol tersebut cenderung terkonsentrasi di dalam struktur

lipid, yang terpajan pada tekanan parsial O2 paling tinggi, misal membran

erotrosit, membran pohon respiratorius, dan retina. Saat ini kebutuhan bagi suplementasi umum dengan salah satu atau seluruh antioksidan di atas belum ditentukan dan keputusan mengenai hal ini masih harus menunggu hasil percobaan intervensi jangka panjang yang kini sedang berlangsung. Meski demikian konsumsi sereal, biji-bijian, buah, dan sayur-sayuran semua merupakan

(12)

sumber antioksidan yang baik dan dianjurkan untuk digalakkan. (Robet K Murray et al., 2003)

Tocopherol merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran.

Tocopherol mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan ion hidrogen ke dalam reaksi, sehingga mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tocopherol yang kurang reaktif, menyekat aktivitas tambahan yang dilakukan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi berantai dan bersifat membatasi kerusakan. (Burton, 1984 )

Tocopherol terutama α tocopherol, telah diketahui sebagai antioksidan

yang mampu mempertahankan integritas membran. Senyawa tersebut dilaporkan bekerja sebagai Scavenger radikal bebas oksigen, peroksi lipid, dan oksigen

singlet (Diplock et al., 1989). Menurut Ascherio,et al., (1992), α tokopherol

merupakan bentuk suplemen vitamin E yang paling banyak. Vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidroge yang mampu mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak.

Helgheim, et al., (1979) juga menyatakan bahwa setelah olah raga berat, aktivitas enzim otot seperti kreatin kinase dan laktat dehidrogenase dalam darah sama halnya pada orang yang mengonsumsi 300 mg vitamin E selama 6 minggu. Namun pada otot yang terluka akibat olah raga, peroksidasi lipid tidak dapat direduksi oleh suplementasi vitamin E 600 IU/hari, yang diberikan 2 hari sebelum dan setelah olah raga (Francis & Hoobler, 1986).

(13)

Tocopherol telah diterima sebagai zat yang efektif secara alamiah sebagai antioksidan pemecah rantai, melindungi membran sel dari radikal bebas yang

memediasi gangguan peroksida. Pada binatang percobaan (α-tocopherol

merupakan bentuk yang paling aktif dari vitamin E) adalah mengikat membran yang diperkirakan mempunyai dua peran dimana fungsi nukleus phenolic sebagai suatu antioksidan pada permukaan membran ketika penstabil sisi rantai membran dengan sisi dari group metil yang dipaskan kedalam celah yang diakibatkan oleh doubel Cis dalam asam lemak. Maka dari itu molekular dari vitamin E adalah sebagai antioksidan atau berpengaruh sebagai efek stabil membran. ( Bilgehan Dogru Pekiner, 2003).

Penelitian tentang efek antioksidan tocopherol pada hewan percobaan menggunakan berbagai dosis tocopherol berdasarkan berat badan hewan percobaan atau jumlah tocopherol yang dicampur dengan diet. El-Enazi (2007)

meneliti efek antioksidan α-tocopherol sebanyak 100mg, 200mg, dan 400mg/kg

diet yang dicampurkan dalam pakan dan diberikan selama 5 minggu pada mencit betina dewasa yang mendapat stres panas. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga dosis tocopherol tersebut mampu mengatasi kondisi stres oksidatif pada fungsi reproduksi mencit betina tersebut yang ditandai dengan perbaikan siklus estrus, peningkatan jumlah implantasi atau fetus, dan peningkatan kadar hormon progesteron. Rusdi et al., (2005) mendapatkan adanya efek antioksidan dengan potensi yang sama antara ekstrak kayu secang, tocopherol, dan vitamin C pada jaringan hati mencit. Dalam hal ini pemberian tocopherol 2mg/hari per oral selama 15 hari dapat melindungi jaringan hati dan meningkatkan Status

(14)

Antioksidan Total yang diukur dalam jaringan hati mencit yang terpapar aflatoxin, yaitu toksin yang dihasilkan jamur A.Flavus dan A. Parasticus yang dapat bertindak sebagai radikal bebas dan bersifat hepatotoksik. Wresdiyati et al.,

(2002) melaporkan pemberian α-tocopherol dengan dosis 60 mg/kg/berat

badan/hari selama tujuh hari pada tikus yang mendapat perlakuan stres yaitu dengan cara puasa selama 5 hari dan berenang selama 5 menit/hari menunjukkan peningkatan aktivitas SOD (Superoxide Dismutase).

Kelarutannya :

Bentuk vitamin E tidak larut dalam air, larut dalam ethanol, dapat bercampur dengan eter, aseton, minyak nabati dan klorafaron. (Farmakope Indonesia edisi IV 1998 Depkes RI.

Penelitian tentang efek antioksidan vitamin E pada hewan percobaan menggunakan berbagai dosis vitamin E berdasarkan berat badan hewan percobaan atau jumlah vitamin E yang dicampurkan dalam diet. Al-Enazi (2007) meneliti

efek antioksidan α-tokoferol sebanyak 100mg, 200mg dan 400mg/kg diet yang

dicampurkan dalam pakan dan diberikan selama 5 minggu pada mencit betina dewasa yang mendapat stres panas. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga dosis tocopherol tersebut mampu mengatasi kondisi stres oksidatif pada fungsi reproduksi mencit betina tersebut yang ditandai dengan perbaikan siklus estrus, peningkatan jumlah implantasi atau fetus, dan peningkatan kadar hormon progesteron. Rusdi et al., (2005) mendapatkan adanya efek antioksidan dengan potensi yang sama antara ekstrak kayu secang, vitamin C, dan vitamin E pada

(15)

jaringan hati mencit. Dalam hal ini pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 15 hari dapat melindungi jaringan hati dan meningkatkan status antioksidan total yang diukur dalam jaringan hati mencit yang terpapar aflatoxin, yaitu toksin yang

dihasilkan jamur A. Flavus dan A. Parasiticus yang bertindak sebagai radikal

bebas dan bersifat hepatotoksik. Wresdiyati et al., (2002) melaporkan pemberian

α-tokoferol dengan dosis 60 mg/kg/berat badan /hari selama tujuh hari pada tikus

yang mendapat perlakuan stres yaitu dengan cara puasa selama 5 hari dan berenang selama 5 menit/hari menunjukkan peningkatan aktivitas SOD (Superoxide Dismutase) dan menurunkan kadar MDA dalam jaringan hati tikus. Verna et al., (2001) mendapatkan pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang dipaparkan aflatoxin 25 g/hari per oral selama 45 hari.

2.6. Fisiologi Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis, epididimis dan vas deverens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, kelenjar aksesoris, uretra dan penis. Selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan (Rugh., 1976).

2.6.1. Testis

Testis ditutupi oleh jaringan ikat fibrous, tunika albuginea, testis yang bagian tipisnya atau septa akan memasuki organ untuk membelah menjadi lobus,

(16)

yang mengandung tubulus yang berkelok-kelok disebut tubulus semineferus contortus didalamnya berlangsung proses spermatogenesis. Bagian dimana tunika memasuki testis dan bagian arteri testikular masuk disebut sebagai hilus. Arteri memberi nutrisi setiap bagian testis, dan akan berhubungan dengan vena ketika meninggalkan hilus (Rugh., 1976).

2.6.2. Fungsi Testis dan Testosteron

Secara embriogenesis, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak dorsal dari rongga abdomen. Pada bulan-bulan terakhir kehidupan janin, testis perlahan mulai turun keluar dari rongga abdomen melalui kanalis inguinalis masuk kedalam skrotum. Meskipun waktunya bervariasi proses penurunan testis biasanya selesai pada bulan ketujuh masa gestasi (SherwoodL., 2004).

Testis mempunyai dua fungsinya yaitu spermatogenesis dan steroidogenesis. Sekitar 80% massa testis dari tubulus seminiferosa yang didalamnya berlangsung proses spermatogenesis. Sel Leydig atau sel interstisium yang terletak di extra tubuler, inilah yang mengeluarkan testosteron atau sintesa androgen (Sherwood L., 2004).

Setelah disekresikan oleh testis, kurang lebih 97% dari ikatan lemah dengan plasma albuminatau berikatan kuat dengan beta globulin yang disebut hormon sex binding globulin dan akan bersirkulasi di dalam darah selama 30 menit sampai satu jam. Pada saat itu testosteron di transfer ke jaringan atau di

(17)

degradasikan menjadi produk yang tidak aktif yang kemudian dieksresikan (Sherwood L., 2004).

Secara umum testosteron bertanggung jawab atas perbedaan karakter maskulin dari tubuh. Bahkan pada saat masa janin, testis distimulasi oleh chorionic gonadotropin dari placenta untuk memproduksi testosteron selama perkembangan janin dan sampai 10 minggu atau lebih setelah lahir, setelah itu testosteron tidak diproduksi selama masa kanak-kanak sampai usia kurang lebih 10-13 tahun. Kemudian produksi testoteron akan meningkat dengan cepat dibawah stimulus gonadotropin hormon yang diproduksi oleh hipofise anterior sebagai onset dari pubertas dan berlangsung sepanjang hidup (Sherwood L., 2004).

Efek testosteron dapat dibagi menjadi lima kelompok yaitu; (1) efek pada sistem reproduksi sebelum lahir, (2) efek terhadap jaringan seks spesifik setelah lahir, (3) efek lain yang berhubungan dengan reproduksi, (4) efek terhadap karakteristik seks sekkunder, (5) fungsi non-reproduksi lain (Sherwood L., 2004).

2.6.3. Tubulus Seminiferus Testis

Epitel tubulus seminiferus berada tepat dibawah membran basalis yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous yang tipis. Antara tubulus adalah stroma interstisial, terdiri ats gumpalan sel leydig atau sel sertoli dan kaya akan darah dan cairan limfe. Sel interstisila testis mempunyai inti bulat yang besar, yang mengandung butiran kasar. Sitoplasmanya bersifat eosinofilik. Dipercaya bahwa jaringan interstisial menguraikan hormon jantan testosteron. Epitel semineferus

(18)

tidak mengandung sel spermatogenik secara eksklusif, tetapi juga mempunyai nutrisi yang menjaga sel sertoli, yang tidak dijumpai di tubuh lain. Sel sertoli bersentuhan dengan dasarnya ke membran basalis dan menuju lumen tubulus seminiferus. Sel sertoli memenjangkan selnya dengan nukleus oval yang besar yang muncul. Dalam nukleus sel sertoli mengandung nukleolus yang banyak, satu bagian terdiri atas badan bersifat asidofilik di sentral dan dua atau lebih yang lain badan bersifat basidofilik di perifer. Sel sertoli diperkirakan mempunyai banyak bentuk tergantung aktivitasnya. Pada masa istirahat berhubungan dekat dengan membran basalis didekatnya dan inti ovalnya paralel dengan membran. Sebagai sel penyokong untuk metamorfosis spermatid menjadi spermatozoa dan retensi sementara dari spermatozoa matang, panang, pirmid dan intinya berada tegak lurus dengan membran basalis (Rugh., 1967).

2.6.4. Spermatogenesis

Sel germinal primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan, dengan jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jantan spermatozoa yang akan diproduksi dan masih berada di daerah akstra gonad. Karena sel germinal kaya akan alkalin fosfatase untuk mensuplai energi pergerakannya melalui jaringan embrio, maka sel germinal dapat dikenal dengan teknik pewarnaan. Pada hari ke 9 dan 10 kehamilan sebagian mengalami degenerasi sebagian lagi mengalami proliferasi dan bahkan bergerak (pada hari ke 11 dan 12) ke daerah genitalia. Pada saat itu jumlahnya mencapai sekitar 5000 dan identifikasi testis dapat dilakukan. Proses proliferasi dan difersnsiasi dalam testis, berlangsung di daerah medula. Pada kasus steril, kehilangan sel germinal berlangsung selama

(19)

perjalanan dari bagian ekstragonad menuju daerah genitalia. Menuju akhir masa fetus, aktivitas mitosis sel germinal primordial dlaam bagian genitalia berkurang dan berbagai sel mulai degenerasi menjelang hari ke-19 kehamilan. Tidak berapa lama setelah kelahiran sel tampak lebih besar, yaitu spermatogenia. Setelah itu akan ada spermatogonia dalam testis mencit sepanjang hidupnya. Ada 3 jenis spermatogonia: tipe A, tipe intermediat dan tipe B (Rugh, 1967).

Tipe A adalah induk stem cell yang mampu mengalami mitosis sampai menjadi spermatozoa. Spermatogonia tipe A yang paling besar dan mengandung inti kromatin yang mirip partikel debu halus dan nukleolus kromatin tunggal terletak eksentrik. Kromosom metafasenya panjang dan tipis. Dapat meningkat, melalui spermatogonia intermediat menjadi spermatogonia B yang lebih kecil, lebih banyak, dan mengandung inti kromatin serpihan kasar di atas atau dekat permukaan dalam membran inti. Terdapat plasmosom mirip nukleolus yang terletak di tengah. Kromosom metafase biasanya pendek, bulat, dan mirip kacang. Spermatogonia tipe B membelah dua untuk meningkatkan jumlahnya atau berubah menjadi spermatosit primer, lebih jauh dari membran dasar. Diperkirakan lamanya dari metastase spermatogonia primer, lebihjauh dari membran dasar. Diperkirakan lamanya dari metafase kedua selama 4 hari atau kurang, dan menuju spermatozoa imatur selama 7 hari atau lebih. Maka, waktu dari metastase spermatogonia menjadi spermatozoa imatur paling sedikit 10 hari (Rugh., 1967).

Sel tipe A pertama kali muncul 3 hari setelah kelahiran. Ketika jumlahnya meningkat, sel germinal primordial yang merupakan asalnya dan kemudian berada

(20)

mulai 8 hari setelah kelahiran. Tanda pertama spermatogonia B akan metamorfosis menjadi spermatosit primer adalah pembesaran dan bergerak menjauhi membran dasar. Spermatosit primer membelah menjadi 2 spermatosit sekunder yang lebih kecil, yang kemudian membelah menjadi 4 spermatid. Mereka mengalami metemorfosis radikal menjadi spermatozoa matur dengan jumlah yang sama, kehilangan sitoplasmanya dan berubah bentuk (Rugh, 1967).

Antara tahap spermatosit primer dan sekunder, materi kromatin harus membelah. Sintesa premeiotik DNA terjadi di spermatosit primer selama fase istirahat dan berkahir sebelum onset profase meiosis, rata-rata selama 14 jam. Tidak ada pembentukan DNA terjadi pada tahap akhir spermatogenesis. Proses spermatogenesis mencit pada dsarnya sama dengan mamalia lain. Satu siklus epitel seminiferus selama 207±6 jam, dan 4 siklus yang mirip terjadi antara spermatogonia A dan spermatozoa matur. Produksi spermatozoa matur dari sel spermatozoa matur, sumber hyaluronidase terkaya, dan enzim ini efektif membubarkan sel cumulus sekitar ovum matur pada saat fertilisasi. Setiap spermatozoa membawa enzim yang cukup untuk membersihkan jalan melalui sel cumulus menuju matriks jel ovum. Bahan asam hialuronik semen cenderung bergabung ke sel granulose sel cumulus, agar kepala sperma dapat disuplai dengan enzim melimpah (Rugh, 1967).

2.6.5 Efek Stres Oksidatif Terhadap Fungsi Reproduksi Pria

Spermatozoa mamalia kaya akan asam lemak tidak jenuh ganda dan karena itu sangat rentan terhadap serangan ROS. Kemampuan ROS dalam

(21)

menurunkan motilitas sperma melalui peroksidasi membran sel sperma yang diinduksi oleh ROS menyebabkan penurunan fleksibilitas dan pergerakan ekor sperma. Peroksidasi lipid membran sel sperma ini dapat terjadi secara enzimatik dan nonenzimatik. Secara enzimatik melibatkan enzim NADPH-cytochrome P450 reductase dan bereaksi dengan kompleks perferryl (ADP-FE3+O2.-). Selain peroksidasi lipid, kerusakan langsung mitokondria sperma oleh ROS yang menyebabkan penurunan ketersediaan energi juga menyebabkan penurunan motilitas sperma (Tremallen, 2008).

ROS juga mampu secara langsung merusak DNA sperma dengan menyerang basa purin dan pirimidin. ROS juga dapat menginisiasi terjadinya apoptosis dalam sperma, menyebabkan aktifnya enzim –enzim caspase untuk mendegradasi DNA sperma (Tremalen, 2008).

Penelitian dengan menggunakan hewan percobaan tikus menunjukkan terjadi penurunan pada parameter sperma (Manna et al., 2004), kerusakan dalam jaringan testis (Laksmi, 2010), peningkatan biomarker penanda stres oksidatif dalam jaringan testis (Manna et al., 2003; Misra et al., 2005) akibat latihan fisik maksimal yaitu berenang sampai hampir tenggelam. Stres oksidatif yang terjadi pada fungsi reproduksi jika tidak dikoreksi pada akhirnya akan menimbulkan gangguan dan bahkan dapat menyebabkan kemandulan atau infertilitas pada pria (Sikka et al., 1995)

Referensi

Dokumen terkait

Sikap merupakan bentuk respon dari suatu stimulus, dimana sikap Sikap merupakan bentuk respon dari suatu stimulus, dimana sikap manusia akan menggerakkan untuk

Formulir Pendaftaran Cabang Olahraga Tenis Meja.. Nama Team : Bappeda Kabupaten

Salah 3atu sumber dana untuk membiayai pembangunan terse- but berasal dari masyarakat dan di an tar any a dalam fcentuk deposito berjangka Inpres ycng dihimpun me-

Hubungan antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit sebagai konsep kesimbangan dunia yang dijelaskan dalam aspek Sapta Loka atau dari alam Dewa sampai ke alam kesuniaan (kamoksan),

Jadi, berdasarkan teori yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa event merupakan kegiatan yang bukan semata – mata untuk mempromosikan produk atau perusahaan

The Wavelet Transformation Technique (WTT) for providing rainfall total prediction output of rainy and transition seasons 2003 had been applied to the domain of interest

Sebaliknya yang mempunyai ukuran butir halus sehingga pori-pori batuan sangat kecil, seperti lempung, bertindak sebagai lapisan perkedap atau akuiklud aquiclude, meskipun jenuh

Hasil kondisi optimasi PCR untuk amplifikasi fragmen 16sDNA dari Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MA, MB dan MB, setelah dilakukan deteksi menggunakan elektroforesis