PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASIDAN
SELF EFFICACY MATEMATIKA SISWA KELAS VII MTs NEGERI LUBUK PAKAM
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan pada
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh:
Z A I M A H NIM. 8106172055
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN MEDAN
i ABSTRAK
Zaimah. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Self Efficacy Matematika Siswa Kelas VII MTs Negeri Lubuk Pakam. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan. 2015.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah, (2) Untuk meningkatkan self efficacy siswa melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah, (3) Untuk mendeskripsikan kadar aktivitas siswa selama proses pembelajaran melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah, dan (4) Untuk mendeskripsikan respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran berbasis masalah di dalam pembelajaran. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII-A MTs Negeri Lubuk Pakam yang berjumlah 28 orang siswa. Objek dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi matematika dan self efficacy melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Hasil tindakan pada siklus I setelah diberikan tes kemampuan komunikasi matematik siswa diperoleh ketuntasan klasikal sebesar 57,16% dan setelah dilakukan refleksi dan pemberian tindakan siklus II ketuntasan klasikal siswa mencapai 85,72%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tes kemampuan komunikasi matematik siswa meningkat dari siklus I ke siklus II, (2) Hasil tindakan pada siklus I setelah diberikan angket self efficacy siswa diperoleh ketuntasan klasikal sebesar 71,43% dan setelah dilakukan refleksi dan pemberian tindakan siklus II ketuntasan klasikal siswa mencapai 82,15%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil angket self efficacy siswa meningkat dari siklus I ke siklus II, (3) Pada pengamatan observasi aktivitas siswa siklus I diperoleh 3 dari 5 kategori aktivitas siswa yang belum memenuhi kriteria persentase waktu ideal, sedangkan pada siklus II aktivitas siswa mengalami perbaiki sehingga diperoleh 5 dari 5 kategori aktivitas siswa yang memenuhi kriteria persentase waktu ideal aktivitas siswa, dan (4) Hasil respon siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah menunjukkan respon yang positif, pada siklus I perolehan persentase respon siswa mencapai 87,27% dan meningkat pada siklus II menjadi 92,42%. Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan self efficacy matematika siswa.
ii ABSTRACT
Zaimah. Implementation of Problem Based Learning Model to Improve Communication Skills and Self Efficacy Mathematics Students Class VII MTs Negeri Lubuk Pakam. Thesis. State University of Medan. Post Graduate Program. 2015.
The purpose of this study were (1) In order to improve the communication skills of mathematics students through the application of problem based learning model, (2) To increase the self-efficacy of students through the application of problem based learning model, (3) To describe the levels of activity of students during the learning process through the implementation based learning problems, and (4) To describe the students' response to the application of problem-based learning model in the study. This research is a classroom action research. Subjects in this study were students of class VII-A MTs Lubuk Pakam totaling 28 students. The object of this research is mathematical communication skills and self efficacy through the application of problem-based learning. The results showed that (1) the results of the action on the first cycle after a given test students' mathematical communication skills acquired classical completeness amounted to 57.16% and after reflection and administration of the second cycle of classical completeness of students reached 85.72%. This shows that the test results of students mathematic communication ability improved from the first cycle to the second cycle, (2) The results of the action on the first cycle after a given student self-efficacy questionnaire obtained classical completeness amounted to 71.43% and after reflection and administration of the second cycle of mastery classical students reached 82.15%. This suggests that the results of the questionnaire self-efficacy of students increased from the first cycle to the second cycle, (3) On the observation of student activity observation cycle I gained 3 of 5 categories of activities of students who do not meet the criteria of percentage of time the ideal, while in the second cycle of activity students have repaired thus obtained 5 of 5 categories of activities of students who meet the criteria of an ideal percentage of time the student activity, and (4) The results of students' response to the problem based learning showed a positive response, the response of the first cycle of acquisition percentage of students reaching 87.27% and increased in the second cycle became 92.42%. From the results, it can be concluded that the application of problem-based learning can improve communication skills and self efficacy math students. Key Word: Mathematical Communication Ability, Self Efficacy, Problem
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, atas
limpahan berkat, rahmat, dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Self Efficacy Matematika Siswa
Kelas VII MTs Negeri Lubuk Pakam” ini dapat diselesaikan. Penyusunan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika PPs UNIMED
Medan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1) Bapak Prof. Dr. Hasratuddin, M.Pd selaku pembimbing I dan Ibu Ida
Karnasih, M.Sc,Ed. Ph.D selaku pembimbing II, yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini, yang dengan
penuh ketelitian, kesabaran, kesediaannya menerima keluh kesah penulis, dan
pengertian yang luar biasa dalam membimbing penulis di sela-sela
kesibukannya.
2) Bapak Dr. KMS. M. Amin Fauzi, M.Pd., Ibu Dr. Izwita Dewi, M.Pd., dan
Bapak Prof. Dr. Edy Syahputra, M.Pd selaku nara sumber yang telah
memberikan banyak masukan.
3) Bapak Prof. Dr. Edi Syahputra, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Matematika PPs UNIMED yang telah banyak memberikan arahan dan
iv
4) Kepala sekolah MTs Negeri Lubuk Pakam, yang telah memberikan izin
penelitian kepada peneliti.
5) Teman-teman seperjuangan yang juga banyak memberikan masukan bagi
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Dalam penyelesaian tesis ini penulis telah berupaya dengan semaksimal
mungkin, namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi
maupun tata bahasa, dan apa yang diuraikan mungkin masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca demi sempurnanya penulisan tesis ini. Semoga tesis ini
bermanfaat dalam memperkaya khazanah ilmu pendidikan.
Medan, Agustus 2015 Penulis,
v DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Identifikasi Masalah ... 16
1.3Batasan Masalah... 16
1.4Rumusan Masalah ... 17
1.5Tujuan Penelitian ... 17
1.6Manfaat Penelitian ... 18
1.7Definisi Operasional... 19
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 21
2.1.Hakikat Belajar dan Pembelajaran ... 21
2.2.Hakikat Model Pembelajaran Berbasis Masalah... 24
2.3.Kemampuan Komunikasi Matematik ... 35
2.4.Self Efficacy ... 44
2.5.Materi Ajar ... 59
2.6.Konsep dan Strategi Pembelajaran... 66
2.7.Penerapan Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel dengan Menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) ... 68
vi
2.9.Aktivitas Siswa ... 75
2.10. Respon Aktif Siswa ... 77
2.11. Penelitian yang Relevan ... 78
2.12. Kerangka Konseptual ... 83
2.13. Hipotesis Tindakan ... 89
BAB III METODE PENELITIAN ... 90
3.1.Jenis Penelitian ... 90
3.2.Setting Penelitian ... 91
3.3.Waktu Penelitian ... 91
3.4.Prosedur Penelitian... 92
3.5.Instrument Penelitian ... 102
3.6.Uji Coba Instrumen ... 112
3.7.Teknik Analisis Data ... 115
3.8.Indikator Kinerja ... 119
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 120
4.1.Deskripsi Hasil Penelitian ... 120
4.1.1. Deskripsi Hasil Penelitian Siklus I ... 120
4.1.2. Deskripsi Hasil Penelitian Siklus II ... 141
4.2.Pembahasan Penelitian ... 159
4.3.Keterbatasan Penelitian ... 165
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 166
5.1.Kesimpulan ... 166
5.2.Saran ... 167
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1. Desain Pembelajaran Berbasis Masalah ... 27
2.2. Gambar seorang pedagang buah ... 59
2.3. Perkumpulan Sirkus ... 60
2.4. Dua ekor katak ... 61
2.5. Ali dan Udin bersepeda ... 62
2.6. Keadaan yang terjadi dalam kehidupan ... 63
3.1. Skema Penelitian Tindakan Kelas ... 91
4.1. Rekapitulasi Hasil Tes Komunikasi Matematik Siklus I ... 127
4.2. Diagram Perolehan Hasil Angket Self Efficacy pada Masing-Masing Indikator ... 129
4.3. Kadar Aktivitas Siswa Siklus I ... 130
4.4. Rekapitulasi Hasil Tes Komunikasi Matematik Siklus II... 145
4.5. Diagram Perolehan Hasil Angket Self Efficacy pada Masing-Masing Indikator ... 147
4.6. Kadar Aktivitas Siswa Siklus II ... 148
4.7. Peningkatan Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa untuk Setiap Aspek ... 156
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1.1. Nilai rata-rata Raport Matematika SiswaKelas XI semester
ganjil Tahun ajaran 2011/2012 ... 6
1.2. Hasil Observasi Angket Self Efficacy Siswa ... 11
2.1. Sintaksis Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... 33
2.2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas VII, Semester 1 ... 69
3.1. Rancangan Tahapan Siklus I dan Siklus II ... 100
3.2. Kisi-Kisi Instrumen Self-Efficacy ... 104
3.3. Skor Alternatif Jawaban skala Self-efficacy ... 105
3.4. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siklus I ... 105
3.5. Penyekoran Kemampuan Komunikasi Matematik ... 106
3.6. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siklus II ... 106
3.7. Penyekoran Kemampuan Komunikasi Matematik ... 107
3.8. Kisi-Kisi Angket Respon Siswa ... 111
3.9. Klasifikasi Persentase untuk Skor Hasil Angket ... 116
3.10. Kriteria Pencapaian Waktu Ideal Aktivitas Siswa ... 117
3.11. Kategori Respons Siswa dalam Kegiatan Pembelajaran ... 118
3.12. Kriteria dan target Keberhasilan... 119
4.1. Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah ... 122
4.2. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada Siklus I ... 124
4.3. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada Siklus I untuk Indikator Menuliskan Ide Matematika dengan Kata-Kata Sendiri ... 125
ix
4.5. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Siklus I untuk Indikator Menjelaskan Prosedur Penyelesaian ... 126 4.6. Rekapitulasi Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik
Siswa pada Siklus I pada Setiap Indikator ... 126 4.7. Hasil Angket Self Efficacy Siswa pada Siklus I ... 127 4.8. Perolehan Hasil Angket Self Efficacy Siklus I pada
Masing-Masing Indikator ... 129 4.9. Rerata Persentase Waktu Aktivitas Siswa Siklus I ... 130 4.10. Respon Siswa Terhadap Komponen dan Kegiatan
Pembelajaran Siklus I ... 133 4.11. Rangkuman Refleksi Siklus I ... 139 4.12. Tindakan Perbaikan pada SIklus II ... 140 4.13. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Siklus II ... 142 4.14. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Siklus II untuk Indikator Menuliskan Ide Matematika dengan
Kata-Kata Sendiri ... 142 4.15. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Siklus II untuk Indikator Menuliskan Ide Matematika ke dalam
Model Matematika ... 143 4.16. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Siklus II untuk Indikator Menjelaskan Prosedur Penyelesaian .. 143 4.17. Rekapitulasi Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik
Siswa pada Siklus II pada Setiap Indikator ... 144 4.18. Hasil Angket Self Efficacy Siswa pada Siklus II ... 145 4.19. Perolehan Hasil Angket Self Efficacy Siklus II pada
Masing-Masing Indikator ... 146 4.20. Rerata Persentase Waktu Aktivitas Siswa Siklus II ... 148 4.21. Respon Siswa Terhadap Komponen dan Kegiatan
x
4.22. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Aspek Menuliskan Ide Matematika dengan Kata-Kata Sendiri . 154 4.23. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Aspek Menuliskan Ide Matematika ke dalam Model
Matematika ... 155 4.24. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa pada
Aspek Menjelaskan Prosedur Penyelesaian ... 155 4.25. Hasil Angket Self Efficacy Siswa pada Siklus I dan II untuk
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Silabus ... 173
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Eksperimen I ... 180
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Eksperimen II ... 186
4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Eksperimen III ... 191
5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Eksperimen IV ... 196
6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kontrol I ... 202
7. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kontrol II ... 163
8. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kontrol III ... 166
9. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kontrol IV ... 169
10. Lembar Aktivitas Siswa (LAS) I ... 172
11. Lembar Aktivitas Siswa (LAS) II ... 177
12. Lembar Aktivitas Siswa (LAS) III ... 181
13. Lembar Aktivitas Siswa (LAS) IV ... 185
14. Tes Kemampuan Awal Matematika ... 188
15. Kunci Jawaban Kemampuan Awal matematika ... 191
16. Kisi-Kisi Tes Pemahaman Konsep Matematik ... 194
17. Soal Pos Tes Pemahaman Konsep ... 195
18. Alternatif Jawaban Siswa Kemampuan Pemahaman Konsep ... 197
19. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Komunikasi Matematik ... 200
20. Soal Pos Tes Kemampuan Komunikasi Matematik ... 201
21. Alternatif Jawaban Siswa Kemampuan Komunikasi Matematik ... 204
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Belajar adalah proses perubahan prilaku sebagai akibat dari pengalaman
dan latihan. Belajar adalah juga proses perubahan melalui atau prosedur latihan,
baik latihan di dalam laboratorium kegiatan maupun dalam lingkungan alamiah
(Sanjaya, 2010: 112). Belajar bukanlah sekadar mengumpulkan pengetahuan.
Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena
adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari.
Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak
dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang
belajar tidak dapat kita lihat. Kita hanya mungkin dapat menyaksikan dari adanya
gejala-gejala perubahan perilaku yang tampak. Misalnya, ketika seorang guru
menjelaskan suatu materi pelajaran, walaupun sepertinya seorang siswa
memerhatikan dengan saksama sambil mengangguk-anggukan kepala, maka
belum tentu yang bersangkutan belajar. Mungkin mengangguk-anggukan kepala
itu bukan karena siswa memerhatikan materi pelajaran dan paham apa yang
dikatakan guru, akan tetapi karena siswa sangat mengagumi cara guru berbicara,
atau mengagumi penampilan guru, sehingga ketika ia ditanya apa yang telah
disampaikan guru, ia tidak mengerti apa-apa. Siswa yang demikian pada
hakikatnya tidak belajar, karena tidak metampakkan gejala-gejala perubahan
tingkah laku. Sebaliknya, manakala ada siswa yang seakan-akan tidak
menunduk-2
nundukkan kepala dan tidak pernah memandang muka guru, belum tentu mereka
tidak sedang belajar. Mungkin saja otak dan pikirannya sedang mencerna apa
yang dikatakan guru, sehingga ketika ditanya siswa bisa menjawab semua
pertanyaan dengan benar. Berdasarkan adanya perubahan perilaku yang
ditimbulkannya, maka kita yakin bahwa sebenarnya siswasudah melakukan proses
belajar. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku. Kita perlu memahami scara
teoritis bagaimana terjadinya perubahan perilaku itu.
Untuk mencapai keberhasilan dalam proses belajar, perlu diterapkan
model pembelajaran. Pada umumnya ada 2 bentuk model pembelajaran, yakni: (1)
model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centre) dan (2) model
pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centre). Pada pembelajaran yang
berpusat pada guru (teacher centre) memiliki karakteristik: (1) pengetahuan
dipindahkan dari pengajar ke pembelajar, (2) pembelajar menerima informasi
secara pasif, (3) belajar dan penilaian adalah hal yang terpisahkan, (4) penekanan
pada pengetahuan di luar konteks aplikasinya, (5) pengajar perannya sebagai
pemberi informasi dan penilai, (6) fokus pada satu bidang disiplin.
Sedangkan karakteristik model pembelajaran yang berpusat pada siswa
(students centered), yakni: (1) pembelajar membangun pengetahuan, (2)
pembelajar terlibat secara aktif, (3) belajar dan penilaian adalah hal sangat terkait,
budaya belajar adalah kooperatif, kolaboratif, dan saling mendukung, (4)
penekanan pada penguasaan dan penggunaan pengetahuan yang merefleksikan isu
baru dan lama serta menyelesaikan masalah konteks kehidupan nyata, (5) pengajar
3
pembelajar mengevaluasi pembelajaran bersama-sama, pendekatan pada integral
antar disiplin.
Trianto (2011:8) menjelaskan bahwa salah satu perubahan paradigma
pembelajaran adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru
(teacher centered) beralih berpusat pada murid (student centered). Metodologi
yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori, dan
pendekatan yang semula lebih banyak tekstual berubah menjadi kontekstual.
Matematika adalah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah tingkat
sekolah formal dari tingkat sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Matematika
juga berkontribusi terhadap perkembangan teknologi. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikatakan Hudojo (2005:37) bahwa matematika sangat diperlukan baik
untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK
sehingga matematika perlu dibekalkan kepada setiap peserta didik sejak SD,
bahkan sejak TK. Selanjutnya Cockroft (dalam Bintoro, 2015:72) mengemukakan
alasan tentang perlunya belajar matematika yaitu: Matematika perlu diajarkan
kepada siswa karena selalu digunakan dalam segala segi kehidupan. Matematika
merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas, dapat digunakan
untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, meningkatkan kemauan berpikir
logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan serta memberikan kepuasan terhadap
usaha memecahkan masalah yang menantang.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi,
tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama ialah agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika,
4
algoritma, secara luwes, akurat, efesien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2)
menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) mengkomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah,
(5) menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah, (6) Menalar secara logis dan kritis serta
mengembangkan aktivitas kreatif dalam memecahkan masalah dan
mengkomunikasikan ide. Disamping itu, memberi kemampuan untuk menerapkan
Matematika pada setiap program keahlian.
National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM (2000:29)
merekomendasikan ada lima kompetensi standar yang utama dalam tujuan
pembelajaran matematika yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem
solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi
(connection), kemampuan penalaran (reasoning) dan representasi
(representation). Berdasarkan penjabaran NCTM di atas, jelas bahwa kemampuan
komunikasi matematik merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika
yang perlu mendapat perhatian dari setiap guru dan peneliti untuk
meningkatkannya. Sumarmo (dalam Setiawan, 2008:36) menjelaskan learning to
life together dari UNESCO sebagai pelaksanaan belajar matematika yang
5
belajar mengemukakan pendapat, bersedia sharing ideas dalam matematika
sehingga diharapkan mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dalam matematika.
Lindquist (NCTM, 1996) berpendapat bahwa jika kita sepakat bahwa matematika
itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan terbaik dalam
komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari
mengajar, belajar, dan mengassess matematika. Jadi jelaslah bahwa komunikasi
dalam matematika merupakan kemampuan mendasar yang harus dimiliki pelaku
dan pengguna matematika selama belajar, mengajar, dan mengakses matematika.
Komunikasi merupakan cara berbagi ide dan memperjelas pemahaman.
Melalui komunikasi matematik, ide matematika dapat dicerminkan, diperbaiki,
didiskusikan, dan dikembangkan. Proses komunikasi juga membantu membangun
makna dan mempermanenkan ide dan proses komunikasi juga dapat
mempublikasikan ide. Ketika para siswa ditantang pikiran dan kemampuan
berfikir mereka tentang matematika dan mengkomunikasikan hasil pikiran mereka
secara lisan atau dalam bentuk tulisan, mereka sedang belajar menjelaskan dan
menyakinkan. Mendengarkan penjelasan siswa yang lain, memberi siswa
kesempatan untuk mengembangkan pemahaman mereka (NCTM, 2000:60).
Pemahaman matematik dan komunikasi matematik merupakan dua hal yang
saling mempengaruhi. Pemahaman matematik membantu perkembangan
komunikasi matematik siswa. Dengan memahami materi pelajaran matematika,
siswa mampu mengkomunikasikan pemahamannya kepada siswa lain dan dengan
komunikasi matematik, siswa yang mendengarkan penjelasan secara lisan maupun
6
Pemahaman matematik adalah salah satu tujuan penting dalam
pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan
kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan
pemahaman siswa dapat lebih mengerti materi pelajaran itu sendiri. Pemahaman
matematik juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan
oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing siswa untuk mencapai konsep yang
diharapkan, memahami keterkaitan antar konsep dan memberi arti. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hudoyo (1985: 18) yang menyatakan: Tujuan mengajar adalah
agar pengetahuan yang disampaikan dapat dipahami peserta didik”. Pendidikan
yang baik adalah usaha yang berhasil membawa siswa kepada tujuan yang ingin
dicapai yaitu agar bahan yang disampaikan dipahami sepenuhnya oleh siswa.
Rendahnya pemahaman siswa terhadap pelajaran matematika akan mempengaruhi
hasil yang diperolehnya, sehingga masih banyak di antara siswa kelas VII MTs-N
Lubuk Pakam yang belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan
oleh sekolah. Hal ini dapat dilihat dari perolehan hasil raport siswa kelas VII
semester ganjil tahun ajaran 2011/2012 berikut ini.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh guru-guru matematika
bahwa mereka menerapkan strategi pembelajaran Expositori, yakni dimana
gurulah yang aktif bukan siswanya. Dari hasil belajar siswa yang menerapkan
[image:21.595.47.556.554.744.2]model pembelajaran yang berpusat pada guru, diperoleh nilai raport yakni:
Tabel 1.1. Nilai rata-rata Raport Matematika Siswa Kelas VII Semester Ganjil Tahun Ajaran 2011/2012
No Kelas Nilai Rata-rata
1. 2. 3. 4.
IX – I IX– 2 IX– 3 IX– 4 59 56 58 54
7
Berdasarkan rata-rata nilai raport diatas, disimpulkan bahwa nilai rata-rata
matematika siswa masih rendah, karena siswa tidak dapat memperoleh nilai 60
dan rata-rata nilai diatas dibawah nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
Pembelajaran matematika yang diharapkan saat ini adalah pembelajaran
yang berorientasi kepada siswa. Siswa dituntut untuk aktif membangun sendiri
pengetahuannya, guru hanya sebagai fasilisator. Namun pada kenyataannya masih
ada guru yang menggunakan paradigma lama yaitu pembelajaran yang berpusat
pada guru (teacher centered), bukan pada siswa (student centered). Masih ada
guru yang beranggapan bahwa belajar matematika adalah penuangan ilmu atau
transfer of knowledge secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Guru sebagai
pemberi informasi dan siswa mendengarkan, gum memberikan contoh soal dan
mengerjakannya kemudian memberikan soal yang akan dikerjakan siswa yang
mirip dengan soal yang diberikan guru. Hal ini membuat siswa tidak mempunyai
kesempatan untuk mengemukakan ide dan gagasan, siswa hanya sampai pada
berfikir tingkat rendah sementara tujuan yang ingin dicapai adalah berfikir
rasional, kritis, logis, kreatif dan bernalar yang merupakan bagian dari berpikir
tingkat tinggi. Salah satu pencapaian yang harus dikuasai siswa dalam
pembelajaran matematika adalah kemampuan dalam komunikasi matematik.
Namun kenyataannya kemampuan komunikasi Matematika di Indonesia
masih rendah. Hal ini dinyatakan Suryadi (dalam Setiawan, 2008: 8) kemampuan
siswa Indonesia dalam komunikasi matematika sangat jauh dibawah
negara-negara lain. Siswa Indonesia yang mampu menjawab benar hanya 5%, sedangkan
Singapure, Korea, Taiwan dapat mencapai 50%. Demikian juga berdasarkan
8
negara di bidang pendidikan dan matematika, sementara yang menjadi peringkat
pertama adalah Negara Finlandia, sedangkan Amerika Serikat munduduki
peringkat kelima.
Hal yang sama juga terjadai pada siswa kelas VII MTs-N Lubuk Pakam,
berdasarkan observasi awal dan wawancara yang dilakukan pada siswa kelas VII
MTs-N Lubuk Pakam diperoleh bahwa kemampuan komunikasi siswa dan self
efficacy siswa masih rendah. Dimana sebahagian besar siswa masih kesulitan
untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan mereka dengan kawannya dan
mereka juga tidak memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan soal-soal
matematika sehingga mereka memperoleh nilai yang tidak baik. Hal ini juga
didukung data dari hasil penyelesaian jawaban siswa dalam menjawab soal
kemampuan komunikasi matematik berikut ini:
“Andra membeli 4 buah komik dan 2 buah majalah animasi di toko buku
gramedia. Untuk 4 buah komik tersebut Andra membayar Rp 80.000,- sedangkan
untuk harga majalah animasi Andra membayar setengah dari harga satu komik.
Ubahlah masalah tersebut ke dalam bentuk model matematika, dan berpakah
harga sebuah majalah animasi yang dibeli oleh Andra? Jelaskan pendapatmu!”.
Dalam soal komunikasi matematik ini, siswa dituntut untuk dapat merubah
masalah yang ada ke dalam model matematika serta mengemukakan caranya
untuk dapat membantu Andra mengetahui harga majalah animasi yang dibelinya.
Dari hasil jawaban yang diberikan kepada 20 siswa, 8 diantaranya tidak menjawab
soal tersebut, 10 orang menjawab dengan jawaban yang salah dan 2 orang
menjawab yang benar, dari hasilnya menunjukkan kemampuan komunikasi siswa
9
Gambar 1.1. Proses Jawaban Tes Komunikasi Matematis Siswa
Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh salah seorang siswa tersebut
menunjukan bahwa siswa belum mampu menyelesaikan masalah yang diberikan
dengan benar, dari proses jawaban yang diberikan siswa terlihat belum mampu
membuat model matematika yang sesuai dengan masalah, dan siswa juga tidak
dapat menuliskan atau mengkomunikasikan idenya secara tertulis dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Disamping itu tampak bahwa siswa tidak
memahami masalah sehingga proses jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan
penyelesaian masalah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam
kompetensi komunikasi matematik masih rendah. Dari 20 siswa, terdapat dua
orang siswa yang menjawab benar (10%), 10 siswa (50%) menjawab tetapi salah
dan 8 siswa (40%) tidak menjawab sama sekali. Kutipan ini menunjukan
kegagalan siswa dalam menyelesaikan masalah dalam komunikasi matematik
sehingga pembelajaran matematika yang berorientasi pada kemampuan
komunikasi matematik perlu di perhatikan.
Disamping pentingnya kemampuan komunikasi, kompetensi yang juga
harus dimiliki siswa adalah self efficacy dalam matematika, menurut Bandura
10
kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk
meningkatkan prestasi kehidupannya. Untuk mengetahui ketercapaian
Self-efficacy matematis siswa dapat dilakukan dengan observasi proses pembelajaran
matematika, bisa juga dilakukan dengan angket skala Self-efficacy matematika,
disini peneliti melihat ketercapaian Self-efficacy matematis siswa sebagai
kepercayaan diri siswa terhadap: kemampuan mempresentasikan dan
menyelesaikan masalah matematika, cara belajar dan bekerja dalam memahami
konsep dan menyelesaikan tugas dan kemampuan komunikasi matematis dalam
menyelesaikan suatu permasalahan. untuk mengembangkan kemampuan tersebut,
guru haruslah melatihkan kepada siswa bahwa dalam menyelesaikan soal/masalah
matematika perlu adanya menguji jawabannya, perlu diberikan berbagai cara atau
strategi dalam menyelesaikan soal matematika.
Siswa cenderung menghindari situasi-situasi yang diyakini melampaui
keyakinan kemampuannya, tetapi dengan penuh keyakinan mengambil dan
melakukan kegiatan yang diperkirakan dapat diatasi. Self efficacy menyebabkan
keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar mengajar dan mendorong perkembangan
kompetensi. Sebaliknya, self efficacy yang mengarahkan siswa untuk menghindari
lingkungan dan kegiatan akan memperlambat perkembangan potensi. self efficacy
mempengaruhi siswa dalam memilih kegiatannya. Siswa dengan self efficacy yang
rendah mungkin menghindari pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk
tugas-tugas yang menantang, sedangan siswa dengan self efficacy yang tinggi
berkeinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Selama ini pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru masih cenderung
didominasi oleh guru (pembelajaran langsung), dimana siswa hanya menerima
11
sebagai solusi dalam pemecahan masalah. Siswa dalam memecahkan
permasalahan, akan mengikuti aturan-aturan pemecahan masalah tersebut. dengan
kata lain pembelajaran matematika dianggap hanya untuk mengerjakan soal-soal
saja, sehingga pembelajaran dirasakan membosankan dan siswa cenderung hanya
menghapal rumus. Dengan demikian, pada pembelajaran langsung siswa tidak
merasa tertantang untuk mencari solusi atas permasalahan yang disajikan. Hal ini
akan berdampak pada kurang maksimalnya atau rendahnya tingkat self efficacy.
Rendahnya self efficacy siswa berakibat pada kurangnya keyakinan siswa
terhadap kemampuannya dalam menyampaikan gagasan atau ide-ide yang ia
miliki. Informasi rendahnya self efficacy siswa diperoleh berdasarkan hasil
wawancara peneliti kepada salah satu guru matematika di sekolah tersebut. Selain
itu juga dapat dilihat dari hasil observasi awal yang dilakukan peneliti dikelas VII
MTs-N Lubuk Pakam, dengan memberikan angket self efficacy berupa skala
angket tertutup yang berisikan 6 butir pernyataan dengan pilihan jawaban sangat
setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Berikut
[image:26.595.57.556.531.756.2]ini adalah tabel hasil observasi awal terhadap self efficacy siswa.
Tabel. 1.2. Hasil Observasi Angket Self Efficacy Siswa
No Pernyataan
Banyak siswa yang menjawab
SS S TS STS
1 Saya yakin akan kemampuan saya dalam
memahami materi yang diberikan guru, sehingga ketika adala soal yang sulit saya yakin mampu menyelesaikannya
2 4 9 5
2 Soal matematika yang sulit membuat saya tidak
tertarik untuk mengerjakannya 8 8 3 1
3 Saya merasa tidak percaya diri dan cenderung
takut untuk tampil di depan kelas 10 9 1 0
4 Soal yang sulit akan membuat saya terpacu
untuk menyelesaikannya 3 3 8 6
5 Pekerjaan rumah yang diberikan guru membuat
12
6 Soal-soal matematika yang tidak bisa saya
kerjakan membuat saya tertantang untuk mencobanya lagi karena saya yakin dapat menyelesaikannya
2 3 10 5
Pada pernyataan nomor (1), yang menjawab tidak setuju 9 siswa dan
sangat tidak setuju 5 siswa, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar mereka
tidak memiliki rasa kepercayaan diri unttuk mampu memahami pelajaran
matematika, meskipun matematika dianggap pelajaran yang sulit.
Ketidakpercayaan diri tersebut akan menyebabkan siswa benar-benar sulit
memahami pelajaran matematika. Selanjutnya pada pernyataan nomor (2) terlihat
bahwa 8 siswa menyatakan bahwa soal matematika yang sulit membuat siswa
tidak tertarik untuk menyelesaikannya. Pada pernyataan nomor (3) terlihat bahwa
sebanyak 10 siswa kurang percaya diri ketika guru menyuruh untuk tampil di
depan kelas. Untuk pernyataan nomor (4) hanya terdapat 3 siswa yang terpacu
untuk menyelesaikan soal-soal matematika yang sulit. Sedangkan untuk
pernyataan nomor (5) sebanayak 9 orang siswa setuju bahwa pekerjaan rumah
yang diberikan guru membuat siswa terbebani dan malas mengerjakannya dan
untuk pertanyaan butir (6) menunjukkan bahwa 10 orang siswa tidak setuju jika
soal-soal matematika yang tidak bisa dikerjakan oleh siswa membuat siswa
tertantang untuk mencobanya lagi. Dari hasil obervasi awala ini menunjukkan
bahwa self efficacy siswa masih rendah.
Hal ini juga sejalan dengan hasil studi penelitian yang dilakukan oleh
Anandari (2013:211) menjelaskan bahwa siswa yang tidak mencapai kriteria
ketuntasan minimal (KKM) dalam ujian akhir semester matematika, diketahui
bahwa siswa memiliki minat yang rendah pada pelajaran tersebut. Selain itu,
13
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika. Mereka mengaku bahwa
mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk mengerjakan pekerjaan rumah
dan tugas di sekolah. Siswa beranggapan bahwa matematika merupakan momok
dan adanya rasa bosan untuk belajar matematika. Hal ini menunjukkan bahwa self
efficacy siswa terhadap matematik masih rendah.
Salah satu penyebab rendahnya kemampuan komunikasi matematik dan self
efficacy antara lain adalah pemilihan dan penggunaan model pembelajaran yang
digunakan belum memberikan peluang untuk menumbuhkan aktivitas belajar siswa.
Hudoyo (1998:4) menyatakan ”proses pembelajaran matematika di Indonesia masih
secara biasa seperti ceramah dan drill”. Artinya pembelajaran yang sering digunakan
adalah pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered). Peran guru pada
pembelajaran biasa guru masih mendominasi, akibatnya siswa tidak berkembang,
siswa hanya akan belajar jika ada perintah oleh guru, menyelesaikan soal-soal jika
ditunjuk guru.
Oleh karena itu, model pembelajaran yang berpusat pada siswa perlu
diterapkan agar terjadi perubahan proses belajar mengajar dan akhirnya
meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satu model pembelajaran yang berpusat
pada siswa adalah model Pembelajaran Berbasis Masalah. Pembelajaran berbasis
masalah memiliki ciri-ciri: (Tan, 2003; Wee & Kek, 2002) pembelajaran dimulai
dengan pemberian “masalah” biasanya “masalah” memiliki konteks dengan dunia
nyata, pembelajar secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan
mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari
sendiri materi yang terkait dengan “masalah” dan melaporkan solusi dari
“masalah”. Sementera pendidik lebih banyak memfasilitasi. Ketimbang
14
clue (indikasi-indikasi) tentang sumber bacaan tambahan dan berbagai arahan dan
saran yang diperlukan saat pembelajar menjalankan proses. Meskipun bukanlah
pendekatan yang sama sekali baru, penerapan metode pembelajaran berbasis
masalah mengalami kemajuan yang pesat di banyak perguruan tinggi dari
berbagai disiplin ilmu di negara-negara maju (Tan, 2003).
Model pembelajaran pembelajaran berbasis masalah menerapkan
pemberdayaan terhadap pembelajar, yakni: (1) memperoleh pengetahuan yang
relevan (knowledge). Apapun yang kita pelajari, selalu menuntut sejumlah
pengetahuan (knowledge) tertentu. Orang yang belajar untuk terampil bermain
gitar misalnya, harus tahu serba-serbi not dalam memainkannya. Bahkan untuk
aktivitas yang sesungguhnya berbasiskan keterampilan seperti bermain tenis, ada
pengetahuan penting yang harus kita peroleh agar penampilan kita bisa efektif.
Pada dimensi pemerolehan pengetahuan ini, yang penting dalam proses mental
individu adalah daya ingat (memory); (2) berpikir untuk dapat memahami
(thinking). Pembelajar tidak cukup hanya mendapatkan pasokan pengetahuan,
menyimpannya bertumpuk-tumpuk pada memorinya, jika ia ingin efektif dalam
belajar. Pembelajar perlu “memahami” apa yang mereka pelajari dan tahu kapan,
dimana, dan bagaimana menggunakan pengetahuan itu. Keefektifan pembelajaran
sangat ditentukan oleh memahami pengetahuan. Proses mental yang dominan
dalam hal ini adalah “memikirkan” (thingking); (3). Melakukan (doing).
Pemerolehan pengetahuan dan proses memahami akan sangat terbantu, akan tebih
mudah bila kita sekaligus melakukan sesuatu yang terkait dengan keduanya. Kita
bisa saja tahu beberapa pengetahuan teknik memukul backhand dalam bermain
15
juga kita tahu bagaimana membunyikan nada tertentu saat bermain gitar, dan
memahami penggunaannya saat gitar tersebut kita pegang. Tetapi, dengan
mengerjakanlah kita menjadi lebih tahu dan lebih paham. Saat kita berlatih
melakukan pukulan back-hand itu, atau saat kita memainkan langsung nada
tertentu dengan gitar di tangan kita.
Ada beberapa manfaat model pembelajaran berbasis masalah, seperti
yang dikemukakan Smith (2005) dalam Taufiq Amir (2009:27-29), yakni: 1)
Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi ajar; 2)
Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan; 3) Mendorong untuk
berpikir; 4) Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan social; 5)
Membangun kecakapan belajar (building learning skills); dan 6) Memotivasi
Pembelajar. Hal ini juga didukung oleh hasil temuan penelitain Husnidar, dkk
(2014:80) bahwa Secara keseluruhan, peningkatan kemampuan berpikir kritis dan
disposisi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis
masalah pada materi bangun ruang lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan
secara konvensional pada materi yang sama. Disamping itu pada pengelompokan
siswa menurut peringkat, peningkatan kemampuan berpikir kritis dan disposisi
matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah
lebih tinggi dari siswa yang diajarkan secara konvensional terjadi pada kelompok
tinggi dan kelompok sedang saja.
Berdasarkan paparan diatas, penulis merasa perlu untuk menerapkan
model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan merealisasikan dalam
16
masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Dan Self Efficacy
Matematika Siswa”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan maka dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan yang ditemukan sebagai berikut, yakni:
1. Pembelajaran yang berpusat pada siswa jarang digunakan dalam
pembelajaran di kelas.
2. Pemilihan dan penggunaan model pembelajaran yang digunakan belum
memberikan peluang untuk menumbuhkan aktivitas belajar siswa.
3. Kegiatan pembelajaran matematika dianggap hanya mengerjakan
soal-soal sehingga pembelajaran dirasakan membosankan dan tidak ada
pemahaman yang ada hanya menghapal rumus.
4. Guru belum menjadikan kemampuan komunikasi matematik sebagai
tujuan pembelajaran matematika.
5. Kemampuan komunikasi tertulis matematik rendah
6. Rendahnya self efficacy siswa.
7. Aktivitas aktif siswa dalam belajar matematika masih rendah.
1.3.Batasan Masalah
Masalah yang teridentifikasi di atas merupakan masalah yang cukup luas
dan kompleks, agar penelitian ini lebih fokus dan mencapai tujuan, maka peneliti
membatasi masalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa meliputi
kemampuan menulis, mendengar, membaca, mendiskusikan dan
17
berbasis masalah di MTs Negeri Lubuk pakam di kelas VII tahun
pelajaran 2014/2015.
2. Meningkatkan self efficacy matematik siswa dengan penerapan model
pembelajaran berbasis masalah di MTs Negeri Lubuk Pakam tahun
pelajaran 2014 / 2015.
3. Aktivitas aktif siswa di dalam pembelajaran.
4. Respon siswa terhadap pemebelajaran berbassis masalah.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada batasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang di
kaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peningkatan klasikal siswa terhadap kemampuan komunikasi
matematika siswa melalui model pembelajaran berbasis masalah?
2. Bagaimana peningkatan self efficacy siswa melalui model pembelajaran
berbasis masalah?
3. Bagaimana aktivitas siswa selama proses pembelajaran melalui penerapan
model pembelajaran berbasis masalah?
4. Bagaimana respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran berbasis
masalah di dalam pembelajaran?
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang
kemampuan komunikasi dan self efficacy matematik siswa dengan penerapan
model pembelajaran berbasis masalah.
18
1. Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa melalui
penerapan model pembelajaran berbasis masalah.
2. Untuk meningkatkan self efficacy siswa melalui penerapan model
pembelajaran berbasis masalah.
3. Untuk mendeskripsikan kadar aktivitas siswa selama proses pembelajaran
melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah.
4. Untuk mendeskripsikan respon siswa terhadap penerapan model
pembelajaran berbasis masalah di dalam pembelajaran.
1.6. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas maka diperoleh manfaat dari
penelitian ini sebagai berikut:
1. Dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemahaman matematik siswa
kelas VII MTsN Lubuk Pakam, maka penerapan model pembelajaran berbasis
masalah dapat dijadikan sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi dan self efficacy siswa, dan pada akhirnya akan mempengaruhi
hasil belajar matematika siswa.
2. Bagi siswa diharapkan dengan penerapan model pembelajaran berbasis
masalah dapat melibatkan siswa secara aktif dalam belajar matematika
dibawah bimbingan guru sebagai fasilitator yang menuntut siswa dalam
memunculkan ide-ide atau gagasan-gagasan. Diharapkan pula siswa secara
aktif dapat membangun pengetahuannya sendiri dan mampu mengembangkan
kemampuan berpikir dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi,
19
3. Bagi sekolah, agar sekolah mengoptimalkan penerapan model pembelajaran
berpusat pada siswa.
4. Bagi seluruh guru matematika dapat menjadi masukan bahwa penggunaan
model pembelajaran berpusat pada siswa meningkatkan daya matematika
siswa dan meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran di kelas.
5. Menghasilkan informasi tentang alternatif model pembelajaran matematika
dalam usaha-usaha perbaikan proses pembelajaran.
1.7. Definisi Operasional
Berikut ini adalah beberapa istilah yang perlu di definisikan secara
operasional dengan tujuan agar tidak terjadi interprestasi yang berbeda dari para
pembaca dan menjadikan penelitian lebih terarah.
1. Model pembelajaran berbasis masalah adalah sebuah model pembelajaran
yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual nonrutin kepada
siswa. Siswa dituntut melakukan penyelidikan dengan berangkat dari
pengetahuan awal yang dimilikinya hingga konsep atau aturan yang
diperlukan dalam pemecahan masalah secara kolaboratif. adapun
langkah-langkah pokok dalam pembelajaran berbasis masalah yaitu: a) orientasi
siswa pada masalah; b) mengorganisasi siswa untuk belajar; c) membimbing
investigasi individual maupun kelompok; d) mengembangkan dan
menyajikan hasil karya dan e) menganalisis dan mengevaluasi proses
penyelesaian masalah.
2. Aktivitas aktif siswa adalah kegiatan siswa dalam proses
pembelajaran yang meliputi membaca (buku siswa, LAS, sumber pelajaran
20
kegiatan (menulis penjelasan guru, menyelesaikan masalah, membuat
rangkuman, mencatat dari buku teman atau penjelasan guru, mengerjakan
LAS), berdiskusi dan bertanya antara siswa dengan siswa, berdiskusi atau
bertanya antara siswa dengan guru (menanggapi pertanyaan guru, bertanya
pada guru).
3. Respons siswa terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran adalah
pendapat siswa tentang senang/tidak senang dan baru/tidak baru terhadap
komponen dan kegiatan pembelajaran, siswa berminat mengikuti
pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah pada kegiatan
pembelajaran berikutnya, komentar siswa terhadap keterbacaan buku siswa,
lembar kegiatan siswa, penggunaan bahasa dan penampilan guru dalam
pelaksanaan pembelajaran.
4. Kemampuan komunikasi matematik adalah suatu kemampuan
menyampaikan pesan dalam menyelesaikan masalah matematik dengan
bentuk tulisan, dan kesanggupan siswa menyampaikan ide matematika ke
dalam bentuk simbol-simbol dan model matematika atau sebaliknya, adapun
indikatornya adalah: (1) menuliskan ide matematika dengan kata-kata (2)
menuliskan ide matematika ke dalam model matematika, (3) menjelaskan
prosedur penyelesaian.
5. Self efficacy adalah keyakinan seseorang atas kemampuannya dalam
melaksanakan sesuatu, yang meliputi: (1) pengakuan terhadap kemampuan,
(2) perolehan pengetahuan, (3) disiplin diri, (4) penampilan, (5) motivasi,
166 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah ynag telah diajukan pada bab sebelumnya serta hasil analisis data dan pembahasan penelitian dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah di dalam pembelajaran dengan focus kemampuan komunikasi matematik dan self efficacy, maka peneliti memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketuntasan klasikal tes kemampuan komunikasi matematik siswa pada siklus I diperoleh sebesar 42,85% dan perolehan ketuntasan klasikal pada siklus II mencapai 85,8%. Hal ini menunjukkan peningkatan ketuntasan klasikal tes kemampuan komunikasi matematik siswa melalui pembelajaran berbasis masalah sebesar 42,95%. Ketuntasan siswa secara klasikal pada aspek menuliskan ide matematika dengan kata-kata sendiri dan menuliskan ide matematika ke dalam model matematika pada siklus II lebih baik jika dibandingkan pada siklus I. Peningkatan ketuntasan secara klasikal pada aspek menuliskan ide matematika dengan kata-kata sendiri merupakan aspek tertinggi.
167
dan motivasi siswa dalam pembelajaran siklus II lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran pada siklus I.
3. Pada pengamatan observasi aktivitas siswa siklus I diperoleh 3 dari 5 kategori aktivitas siswa yang belum memenuhi kriteria persentase waktu ideal, sedangkan pada siklus II aktivitas siswa mengalami perbaiki sehingga diperoleh 5 dari 5 kategori aktivitas siswa yang memenuhi kriteria persentase waktu ideal aktivitas siswa.
4. Hasil respon siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah menunjukkan respon yang positif, pada siklus I perolehan persentase respon siswa mencapai 87,27% dan meningkat pada siklus II menjadi 92,42%.
5. Dari keempat aspek yang menjadi fokus penelitian, bahwa aspek self efficacy merupakan salah satu aspek yang memperoleh peningkatan yang paling tinggi yaitu sebesar 46,44%, dimana perolehan ketuntasan secara klasikal pada siklus I 35,7% meningkat sebesar 82,14% pada siklus. Sedangkan untuk perolehan tes komunikasi matematik memperoleh peningkatan sebesar 42,95%.
5.2.Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, maka ada beberapa hal saran yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan terhadap penggunaan pembelajaran berbasis masalah dalam proses pembelajaran matematika, yaitu:
168
a) Para guru matematika disarankan untuk menggunakan model pembelajaran berbasis masalah sebagai model pembelajaran alternatif dalam proses pembelajaran mata pelajaran matematika
b) Dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah sebaiknya para guru mempersiapkan dengan baik perangkat pendukung seperti lembar kerja kelompok beserta buku pendukung seperti buku siswa. c) Penerapan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa
dan karakteristik mata pelajaran sangat mempengaruhi hasil belajar siswa. Maka guru perlu merancang dan mengembangkan model pembelajaran yang berkaitan dengan pembelajaran.
d) Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah hendaknya pembagian kelompok harus heterogen secara akademik, suku dan ras. Sehingga akan menumbuhkan sikap bersosialisasi yang baik dikalangan siswa.
2. Bagi Siswa
a) Hendaknya siswa melibatkan dirinya secara aktif dalam diskusi kelompok dan lebih bertanggungjawab dengan tugas yang diberikan kepada tim kelompoknya.
b) Para siswa harus lebih disiplin dalam menggunakan waktu pada saat diskusi kelompok, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
169
a) Hendaknya memberikan workshop atau pelatihan dalam penggunaan model-model pembelajaran.
b) Memberikan pelatihan kepada guru-guru dalam melakukan penelitian tindakan kelas, sehingga dapat memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi guru dalam upaya memperbaiki pembelajaran. c) Mengintruksikan kepada para guru untuk menciptakan pembelajaran
yang melibatkan keaktifan siswa, dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah.
4. Bagi peneliti selanjutnya, agar mempersiapkan bahan pendukung yang relevan dalam mengakomodasi siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematik dan self efficacy siswa.
170
DAFTAR PUSTAKA
Amir, T.M. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta : Kencana.
Ansari, B. I. 2009. Komunikasi Matematik (Konsep dan Aplikasi), Penerbit PeNA, Banda Aceh.
Bandura, A. 2001. Guide for Contructing Self Efficacy Scales. Standford : StandfrodUniversity.
Hudoyo, H. 1988. Teori Belajar dalam Proses Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.
Husniah, A. 2006. Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Share di Kelas VIII SMP Raden Fatah Batu. (Online), (http://student-research.umm.ac.id. html,diakses 20 Juni 2010).
Husnidar, dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa. Jurnal Didaktik matematika. Vol. 1. No. 1. Halaman: 80.
Kulsum. S. 2009. Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan pemahaman Siswa terhadap Konsep Bilangan Bulat (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas VII-E SMP 2 Banjaran Kab. Bandung. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana UP!
Kunandar. 2008. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Rajawali Pers.
Lestari, S. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman Matematis dan Berpikir Kritis Melalui Penerapan Model Pembelajaran Creative problem Solving (CPS) dengan Menggunakan Software Autograph. Tesis tidak diterbitkan.Medan: Program Pascasarjana Unimed.
Muliana, I. 2010. Matematika (Non Teknik Kelas X). Solo: Indonesia Jaya.
Mulyana, D. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Nofyanti. 2005. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Sub Pokok Bahasan Teorema Pythagoras dengan Metode Penemuan pada Siswa Kelas II SMP Negeri 1 Salipian Tahun Pelajaran 2004/2005. Skripsi tidak diterbitkan.Medan: Prodi Pendidikan Matematika Unimed.
171
Priatna, N. 2003. Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota Bandung. Tesis tidak diterbitkan.Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Rozi, F. 2010. Penerapan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw melalui Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA dan Kecakapan Sosial Siswa Kelas IV B SD-I Al Azhar Medan. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Program Pascasarjana Unimed.
Russefendi, E.T. 1991. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.Bandung: Tarsito
Sanjaya, W. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana.
Setiawan, A. 2008. Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP. Tesis : Program Pasca Sarjana UNIMED.
Sihombing, W.L. (2006). Telaah Kurikulum Matematika Sekolah. Medan Unimed.
Siswini, T. 200). Mengajar dan Meneliti Panduan Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru dan Calon Guru. Surabaya: UnesaUniversity Press.
Slameto. 1989. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology Theory, Research and Practice Massachussetts: Allyn and Bacon.
Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta:Depdikbud.
Sumarmo, U. 2003. Daya dan Disposisi Matematik: Apa. Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB, Oktober 2003.
Tan, Oon-Seng. 2003. Problem Based Learning Innovation. Singapore : Thomson Learning.
172