• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Ideal Pembatasan Dana Kampanye Calon Legislatif Peserta Pemilu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konstruksi Ideal Pembatasan Dana Kampanye Calon Legislatif Peserta Pemilu."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBATASAN DANA KAMPANYE CALON LEGISLATIF PESERTA PEMILU LEGISLATIF (DPRD) DI DAERAH

Oleh : Imade Dedy Priyanto

Abstract

Pemilu legislatif adalah pemilihan umum yang dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, dan rahasia untuk memilih anggota legislatif yang nantinya duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilu legislatif, yang telah dilaksanakan pada tahun 2009 dengan sukses ternyata menyisakan kisah-kisah sedih dari para calon legislatif yang gagal terpilih. Hal ini berdampak negative tidak hanya terhadap calon legislatif, tetapi juga terhadap keluarga dan orang-orang terdekat. Untuk itulah diperlukan suatu pembenahan system pemilu legislatif, dengan mengadakan pembatasan dana kampanye calon legislatif peserta pemilu legislatif. Dengan mengadakan pengawasan ketat pada penyeleksian calon legislatif, serta pengawasan terhadap data-data keuangan partai politik dan calon legislatif.

Kata kunci : pembatasan, dana kampanye.

Terjemahan Bahasa Indonesia ke Inggris

Legislative elections are elections held by direct, universal, free and confidential to the legislature that will sit in the House of Representatives, Regional

Representatives Council, the Regional Representatives Council. Legislative elections, which have been implemented successfully in 2009 with left turns sad stories of the legislative candidates who failed to be elected. This negative impact not only on legislative candidates, but also to the family and the people closest. For that we need a legislative election system reform, campaign finance restrictions by holding legislative candidate participants legislative elections. With the conduct strict supervision on the selection of candidates for legislative, and oversight of the financial data of political parties and candidates for the legislature.

(2)

A. Latar Belakang

Kilas balik pemilihan umum (pemilu) 2009, tentunya masih segar diingatan kita tentang pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009, saat itu diadakan pesta demokrasi akbar diseluruh negeri ini, yaitu pemilu Legislatif. Pemilu Legeslatif dapat didefinisakan sebagai pemilihan umum yang diselengarakan secara serempak untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, diantara meriahnya pesta demokrasi tersebut, terkenang cerita memprihatinkan dari para calon legislatif peserta pemilu yang gagal/ tidak berhasil mencapai tujuan, yaitu menjadi wakil rakyat.

Hampir diseluruh Indonesia kita menemukan kisah memprihatinkan, seperti di palangkaraya, tepatnya di Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat (BKJM) Kalawa Atei Palangkaraya menerima lima pasien gangguan mental, yakni, dua calon anggota legislator dan tiga simpatisan partai politik.1 Di Pekan Baru, Caleg dari salah satu partai peserta pemilu yang diduga stres nekad menabrak pintu pagar rumah Walikota Pekanbaru,

Herman Abdullah.2 Di Garut, diduga untuk pelampiasan rasa kecewa, salah

seorang calon anggota legislatif (caleg) mendatangi kantor KPU Kabupaten

1TEMPO Interaktif, “Dua Caleg Stres Masuk Rumah Sakit”,

http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_berita_mutakhir/2009/04/14/brk,20090414-170334,id.html, diakses pada 17 februari 2011.

2 Detik.com, “Caleg Stres Tabrak Rumah Walikota,

http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/06/kajian-filsafat-dan-psikologi-mengenai-caleg-yang-stres-pasca-pemilu/, diakses pada 17

februari 2011.

(3)

Garut, Jawa Barat (Jabar), kemudian langsung marah dan memaki Ketua KPU

Garut, Aja Rowikarim,M.Ag.3 Di Purbalingga, jumlah caleg stres akibat gagal

pemilu semakin bergelimpangan. Balai Rehabilitasi Mental di Desa

Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga (Jateng), menerima

kembali lima caleg stress. Hingga saat ini sudah ada 14 caleg stres yang

dirawat.4 Sementara di Bali seorang caleg meninggal akibat serangan

jantung karena perolehan suara yang sedikit, sedangkan di Banjar, Jawa

Barat seorang caleg gantung diri karena minimnya perolehan suara.5

Hampir dua tahun berlalu, namun kisah-kisah memprihatinkan tersebut seyogyanya dapat dijadikan “guru/pengalaman” agar tidak terjadi hal-hal serupa dipemilu mendatang. Penyebab terjadinya stres yang dialami oleh para mantan caleg yang gagal dalam pemilu diantaranya adalah faktor persaingan memperebutkan simpati rakyat, dalam hal ini persaingan dimulai pertama kali justru dengan caleg lain yang berasal dari satu partai/rekan sendiri. Kemudian muncul usaha-usaha untuk saling menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai cara. Untuk meyakinkan dirinya terpilih, cara apapun dilaksanakannya, namun, ketika hasil diumumkan dan ia dinyatakan gagal, maka dapat dipastikan caleg yang bersangkutan akan syok dan karena tidak kuat, akhirnya banyak yang stres.

3 Ibid

4 www.hidayatullah.com, “Caleg Stres Semakin Bergelimpangan” diakses pada 17 februari 2011.

(4)

Faktor lain yang ditemukan dimasyarakat adalah faktor mental. Caleg yang stres karena gagal terpilih dalam pemilu merupakan orang yang bermental lemah (tidak siap kalah), bahkan posisi DPR ataupun DPRD yang diperebutkan ibarat sebuah lowongan pekerjaan bagi mereka, sehingga, layaknya seorang pencari kerja, mereka akan berupaya dengan segala cara untuk bisa lolos seleksi/ terpilih sebagai anggota dewan meski harus mengeluarkan dana yang sangat besar. Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan pemilihan itu sendiri, yaitu bertujuan untuk memilih wakil rakyat yang mampu menyampaikan aspirasi rakyat, peduli dan siap mengabdi untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi yang nantinya dapat berujung korupsi, dengan tujuan “balik modal”.

Untuk merebut simpati calon pemilih, caleg diwajibkan untuk sedekat mungkin dengan calon pemilih. Hal ini memerlukan banyak modal/dana. Sekurang-kurangnya biaya untuk transportasi, telekomunikasi dan akomodasi. Untuk itu diperlukan “dana politik”, namun pada kenyataannya, dana politik yang telah dianggarkan dapat membesar berkali-kali lipat dari yang diperkirakan sebelumnya, misalnya untuk transportasi, komunikasi dan akomodasi, sewa posko, iklan (televisi, radio, media cetak, elektronik, dunia maya), honor team sukses, perizinan-pajak, konsumsi, atribut pemilu (kaos, poster, dll), sumbangan-sumbangan dan sebagainya yang memerlukan biaya ratusan juta atau bahkan mencapai milyaran rupiah. Semakin jenjang pencalegan ke bawah, biaya politik juga menurun, namun biaya politik tetaplah mahal/ pengorbanan besar, bahkan untuk Caleg DPRD Kabupaten/Kota.

(5)

menang. Pemikiran tersebutlah yang pada akhirnya mendorong para caleg untuk berusaha sekeras mungkin meraih simpati sebanyak-banyaknya, tentunya dengan sumber dana yang sebanyak-banyaknya pula, bahkan dengan seluruh harta yang dimiliki. Hal ini berdampak negatif, tidak hanya bagi si caleg tetapi juga berdampak negatif terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga (isteri dan anak-anak). Karena gagal “nyaleg” kebutuhan serta hak-hak dari anggota keluarga lainnya menjadi ikut dikorbankan, khusunya anak-anak, terhambat mendapatkan haknya di bidang pendidikan karena seluruh harta telah diusahakan untuk “nyaleg”.

Selain dinilai sangat meresahkan karena “mencalonkan diri tetapi gagal” berakibat buruk terhadap diri sendiri dan keluarga, pada perkembangan selanjutnya, muncul kekhawatiran terjadinya “bias demokrasi” dimana dalam prakteknya seorang caleg (demi kepentingan dan tujuan politiknya) menawarkan bantuan baik berupa uang maupun alat infrastuktur kepada masyarakat sekitar/ calon pemilih untuk meraih simpati dan berharap agar dipilih dalam pemilu legislatif, masyarakat yang ditawarkan uang ataupun peralatan infrastuktur tersebut tentunya akan berjanji untuk memilih si pemberi/caleg, namun pada pengumuman perolehan suara, ternyata sangat sedikit yang memilih caleg tersebut. Karena kecewa, caleg yang bersangkutanpun menarik kembali bantuan yang dahulunya sudah disumbangkan. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna kedaulatan rakyat.

(6)

mengadilinya, sesuai dengan pasal 24C UUD 1945, pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dan pasal 236C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perbahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, meliputi:

1. Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Legislatif);

2. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres); serta

3. Pemilihan Umum Kepala Daerah (PemiluKada).

Demikian besar dampak negatif yang ditimbulkan berkaitan dengan pencalonan legislatif yang gagal terpilih ini haruslah dicarikan solusi yang tepat, agar tidak ada lagi istilah “caleg stres” pada pemilu legislatif mendatang, khususnya didaerah, karena didaerah dinilai lebih lambat dalam kemajuan Iptek, informasi-informasi serta sumber daya manusia di daerah yang dinilai masih kalah jauh dengan pusat (ibu kota). Solusi yang ditawarkan penulis dalam hal ini adalah perlu diadakan pembatasan dana kampanye yang dipergunakan oleh para caleg peserta pemilu legislatif. Hal ini selain bertujuan agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam pendanaan kampanye, misalnya dana kampanye yang tidak jelas dalam peruntukan maupun sumbernya, juga untuk mengukur kemampuan dari caleg itu sendiri, sehingga nantinya dapat memutuskan apakah tetap mencalonkan diri atau mundur sebagai caleg. Untuk itulah diperlukan payung hukum, khususnya dari peraturan perundang-undangan agar pendanaan kampanye pemilu legislatif dapat dibatasi jumlahnya.

(7)

1. Pemilu legislatif

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No.10 Th.2008) menegaskan bahwa Pemilihan umum (pemilu) adalah “Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” (pasal 1 angka 1 UU No.10 Th.2008). Pemilu legislatif adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 angka 2 UU No.10 Th.2008). Pemilih dalam Pemilu adalah “Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin” (pasal 1 angka 22 UU No.10 Th.2008 ).Anggota legislatif yang terpilih, kemudian ditetapkan oleh KPU berdasarkan pasal 213 UU No.10 Th.2008.

Permasalahan timbul ketika pendaftar caleg membludak dengan jumlah kursi anggota DPR yang ditetapkan hanya sebanyak 560, jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan 35 sampai 100, jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan 20 sampai 50 kursi, jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4. Calon yang mendaftar pun relatif baru dan tidak semua dari mereka memiliki pengalaman tentang dunia politik, seperti dari kalangan artis, pengusaha, dll, serta dari kalangan yang tidak begitu dikenal oleh masyarakat.

(8)

Th.2008, maka tidak ada cara lain selain “tarung bebas” atau berjuang dengan segenap kekuatan dan daya upaya, karena menjadi nomor urut 1 dalam partai sudah dianggap tidak aman lagi. Pasal 214 UU No.10 Th.2008 dibatalkan oleh MK karena dinilai bertentangan dengan makna kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

UUD 1945 mengatur mengenai kedaulatan rakyat dalam beberapa pasal, diantaranya:

 Pasal 1 ayat (2) yang menentukan bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, yang pada pelaksanaannya diwakilkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

 Pasal 22E ayat (1) yang menentukan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

 Pasal 27 ayat (1) yang menentukan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

 Pasal 28C ayat (2) yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.

 Pasal 28D ayat (1) yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.

Dengan demikian, maka pemilu yang merupakan hak asasi warga Negara, haruslah dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia. Rakyatlah yang berhak menentukan siapa-siapa yang akan menjadi “wakil rakyat” nantinya, dengan suaranya sendiri, bukan dengan nomor urut yang diumumkan partai politik. semua hak-hak asasi tersebut haruslah dikembalikan kepada rakyat6.

(9)

Putusan MK yang membatalkan pasal 214 UU No.10 Th.2008 tersebut juga telah mengembalikan makna “Demokrasi Pancasila” yang sebenarnya. Karena demokrasi pancasila yang dianut di Indonesia berlandaskan pada kepastian hukum yang dapat dirasakan seluruh warga Negara, dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional7.

Kedaulatan rakya secara harafiah berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maksudnya dari rakyat bahwa mereka yang duduk sebagai penyelenggara Negara atau pemerintah haruslah dari seluruh rakyat. Oleh rakyat maksudnya, bahwa mereka yang menyelenggarakan pemerintahan dilakukan oleh rakyat atau atas nama rakyat atau yang mewakili rakyat. Demi kesejahteraan untuk seluruh rakyat.8

Fenomena baru yang unik terjadi ditengah maraknya perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu penarikan kembali semua bantuan baik berupa uang maupun alat infrasruktur yang telah disumbangkan caleg pada saat mereka mengadakan kampanye. Berdasarkan data-data yang ditemukan oleh www.maubaca.com hal ini terjadi di beberapa daerah, diantaranya:9

 Caleg SK di Dapil I Kabupaten Sumbawa menarik kembali bantuan sebuah mesin genset yang di sumbangkannya ke mesjid. Selain itu, ia juga menarik bantuan dana sebesar Rp 1 juta yang disumbangkannya ke dua mushallah.

7 Dr. Mahfud MD, “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”, Gama Media Offset, Yogyakarta, 1999, h. 50.”

8 DR. Bagir Manan, S.H., MCL, “Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, h. 56.

(10)

 Caleg AH di Dapil I Kabupaten Sumbawa, sebelumnya ia menyumbang 100 buah kursi plastik dan 25 zak semen ke sebuah MTS di Kecamatan Labangka, Namun karena kecewa tidak meraih suara yang diharapkan, AH menarik kembali kursi dan semen tersebut.

 Oknum caleg di Kota Sumbawa Besar yang tidak disebut nama dan parpolnya, meminta kembali uang sebesar Rp 20 ribu per orang yang diberikan dengan target 50 hingga 60 suara. Namun di pemilu, perolehan yang ada hanya ada saksi dan keluarga tim sukses.

 Caleg dari Kota Bogor, melalui tim suksesnya berinisial SB, menarik kembali ratusan buku tabungan masing-masing senilai Rp50.000 bertuliskan Karya Nyata Sejahtera yang dibagikan saat kampanye di Kampung Muara, RW 11/14, Kelurahan Pasirjaya,Kecamatan Bogor Barat.Namun saat hasil suara dihitung, dari jumlah DPT yang jumlahnya sekitar 900 suara, namanya hanya memperoleh di bawah 10 suara di RW 11 dan 14.

 Caleg dari Daerah Pemilihan I Dumai Timur memalui tim suksesnya mencabut kembali lima tiang listrik yang telah dipasang untuk menyalurkan listrik kewarga setempat.

(11)

negeri ini, dan tentunya apabila pendanaan serta tata cara terhadap kampanye diatur dengan tegas dan jelas, maka diharapkan tidak akan ada istilah “caleg stres” di pemilu legislatif mendatang.

2. Peran Partai Politik

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir dengan paraanggota yang mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut keedudukan politik dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.10 Legislatif adalah jabatan politik yang merupakan kepanjangan tangan partai politik, hal ini diatur dalam pasal 7 UU No.10 Th.2008, yang menentukan bahwa “Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik”. Yang seharusnya dijadikan pedoman oleh partai politik disini adalah, kemampuan/pengetahuan, kapasitas, kualitas, serta popularitas dari caleg yang bersangkutan, bukan karena caleg tersebut ingin sekedar berpartisipasi mengubah nasib bangsa, apalagi caleg yang hanya sekedar coba-coba, atau ingin menjabat hanya karena kekuasaan dan materi. Karena sesungguhnya “Masih banyak bidang-bidang lain jika ingin mengabdikan diri pada negara/ kesejahteraan bangsa” seperti membangun sekolah atau mendirikan lembaga penelitian yang dapat memberikan masukan-masukan pada pemerintah berdasarkan hasil penelitian/ fakta-fakta di masyarakat.

Partai politik seharusnya berperan tidak hanya pada saat seleksi caleg, tapi juga ikut berperan aktif dalam penanganan caleg yang stres, karena bagaimanapun juga caleg-caleg tersebut telah memberikan sumbangsihnya terhadap partai politik. Hal ini dapat dilakukan

(12)

misalnya dengan membuka teraphy tres dan emosi, memberikan fasilitas pelayanan kesehatan pascapemilu, ikut andil dalam membesarkan hati caleg beserta keluarganya, serta dengan tetap mendampingi mreka dalam stiap perawatan (menjenguk ke RS/ RSJ), pendekatan agama, diharapkan dapat meminimalisasi beban psikologis caleg yang gagal.

Peran partai politik lainnya, seharusnya berkewajiban memberikan pendidikan politik pada para calegnya sebelum mencalonkan diri atau setidak-tidaknya memperhatikan pengalaman, pengetahuan politik caleg pada saat penyeleksian caleg, hal ini mutlak diperlukan karena terkait dengan jabatannya nanti, terdapat beberapa fungsi yang harus diemban anggota legislatif, diantaranya:

 Fungsi legislasi, yaitu membuat peraturan perundang-undangan;

 Fungsi kontrol/ pengawasan jalannya pemerintahan;

 Fungsi budget atau anggaran; serta

 Fungsi sebagai wakil rakyat, yaitu sebagai lembaga yang menyerap aspirasi masyarakat demi terciptanya peningkatan kesejahteraan rakyat/ bangsa.

Untuk itu, seorang caleg haruslah memiliki pemikiran dan jiwa pengabdian kepada rakyat/bangsa dan bukan menganggap legislasi sebagai sebuah pekerjaan/jabatan untuk mendapatkan kekuasaan dan materi.

(13)

Th.2008, seorang caleg haruslah memiliki hal-hal yang dapat menarik simpati masyarakat/ calon pemilih, diantaranya :

 Memiliki popularitas/ dikenal massa sebagai pribadi yang baik, berwibawa, serta dapat dipercaya oleh masyarakat;

 Memiliki kemampuan, pengalaman serta pengetahuan yang cukup dalam berpolitik, memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan komunikasi politik;

 Memiliki mental dan fisik yang kuat (jasmani dan rohani yang kuat) untuk menerima kekalahan: serta

 Memiliki dana kampanye (uang dingin), yang seharusnya adalah dana yang diluar/bukan kebutuhan hidup pribadi serta kebutuhan hidup anggota keluarga lainnya.

Pasal 8 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 menentukan bahwa :

(1) Dalam pengajuan bakal calon, partai politik melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

(2) Seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik yang bersangkutan.

(14)

itulah penyeleksian caleg oleh partai politik perlu diawasi, serta diperketat dalam pelaksanaannya.

3. Pembatasan dana kampanye pemilu legislatif

Ketentuan terkait dengan pembatasan dana kampanye caleg, diatur dalam Peraturan Komisi Pemiluhan Umum (KPU) Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Peraturan KPU No. 19 Th. 2008), khususnya Bab VI yang mengatur tentang dana kampanye yang dalam pasal Pasal 52 Peraturan KPU No. 19 Th. 2008 ditentukan bahwa :

(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota didanai dan menjadi tanggung jawab Partai Politik Peserta Pemilu masing-masing. (2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersumber dari: partai

politik; calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik yang bersangkutan; dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. (3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa uang,

barang, dan/atau jasa.

(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu pada bank.

(15)

yang telah ditentukan oleh KPU sebagai “batas harta bebas pakai”, misalnya harta dingin seorang caleg ditentukan tidak boleh kurang dari 1Milliyard rupiah, maka apabila caleg tersebut memiliki harta dingin/ bebas pakai 1 millyard rupiah, ia dapat dinyatakan lolos seleksi dari segi keuangan saja (tentunya diperlukan seleksi-seleksi lain). Dan harta pribadi caleg yang digunakan untuk kampanye haruslah tidak boleh melebihi dari jumlah harta bebas yang awalnya dihitung/ ditentukan, misalnya ia memiliki 1 millyard rupiah untuk pendanaan kampanye, maka apabila 1millyard itu habis, ia tidak boleh menambah harta pribadi lagi, tetapi masih dapat menggunakan sumber dana lain yang diperbolehkan Peraturan Perundang-undangan.

Hal ini dirasa sangat penting, mengingat banyaknya caleg-caleg yang bahkan tidak siap dari segi pendanaan kampanye, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan “modal” tanpa melihat resiko yang akan dialami apabila tidak terpilih sebagai “Anggota Dewan Legislatif Yang Terhormat”. Menghalalkan segala cara, seperti misalnya: menjual rumah, mobil, serta harta benda lain yang dimiliki, hanya untuk modal kampanye. Tentunya dengan resiko yang sangat besar yang tidak hanya akan merugikan diri sendiri tetapi juga berdampak negatif terhadap orang-orang sekitar. Satu hal yang harus diingatkan adalah bahwa pencalonan caleg bukanlah perjuadian, bukan pula lowongan pekerjaan/ jabatan, tetapi adalah pencarian calon-calon wakil rakyat yang mampu dan siap mengabdi demi bangsa dan Negara, dan masih banyak bidang lain untuk mengabdikan diri pada bangsa dan Negara.

Sedangkan sumber pendanaan melalui sumbangan, diatur dalam pasal Pasal 54 Peraturan KPU No. 19 Th. 2008, ditentukan bahwa :

(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(16)

(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.

Namun, belum ditentukannya sanksi terhadap aturan pembatasan dana kampanye ini, menjadikan aturan ini sangat berpeluang untuk dilanggar. Seharusnya, pembatasan dana kampanye legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU No. 19 Th. 2008 ini lebih mendetail, menyentuh data-data keuangan pribadi caleg, peruntukan dana oleh caleg yang seharusnya dilakukan pelaporan dan pembukuan secara berkelanjutan selama proses kampanye berlangsung. Dalam prakteknya, laporan dana kampanye dinilai tak efektif apabila hanya mengacu pada aliran dana parpol saja, karena masih sering terjadi caleg sendirilah yang membiayai kampanyenya.

Di Amerika Serikat (AS), kini terdapat banyak aturan yang terkait dengan pembatasan dana kampanye. Aturan-aturan tersebut memiliki tiga bentuk dasar, yaitu: 11

1. Keterbukaan publik (public disclosure). untuk memberikan informasi kepada publik, baik selama penyelenggaraan kampanye maupun setelah kampanye. Mengenai pengaruh uang terhadap pejabat-pejabat terpilih dan untuk membantu mengurangi akses-akses dan tindakan penyalahgunaan, dengan cara meningkatkan risiko-risiko politik yang harus ditanggung oleh mereka yang melakukan praktik-praktik seperti itu (meningkatkan sanksi hukumnya);

2. Pembatasan-pembatasan pengeluaran (expenditure limits). untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pembengkakan biaya, dan oleh adanya beberapa kandidat yang mempunyai lebih banyak uang dari yang lainnya (pembatasan dana kampanye);

11 Alfian M, “Kekuasaan dan Uang”,

(17)

3. Pembatasan-pembatasan pemberian sumbangan (contributions restrictions) untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya kandidat yang mengikatkan diri pada kepentingan-kepentingan tertentu (agar caleg terpilih tidak mengabdikan dirinya pada kepentingan donator, melainkan pada bangsa dan negara). (Alexander:2003).

Untuk itulah, KPU sudah sewajarnya mengkoordinasikan diri dengan instansi-instansi lain dalam hal keterbukaan publik serta dalam hal pembatasan dana kampanye. Misalnya dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dalam fungsinya sebagai lembaga Negara, memang memiliki hubungan yang sangat erat dengan DPR, maupun DPRD. BPK memeriksa keuangan Negara, yang kemudian hasilnya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. BPK berkedudukan di Ibu kota Negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.12 Hal ini haruslah dimanfaatkan oleh KPU untuk bekerjasama dalam audit data-data keuangan caleg.

Rekomendasi ini diambil dari rekomendasi yang dibuat oleh IFES (International Foundation for Election Systems) pada tahun 2000. Menurut mereka, terdapat beberapa hal yang harus dimasukan dalam pengaturan dana parpol dan dana kampanye, diantaranya:13

1. Pengeluaran partai politik untuk tujuan kampanye pemilu harus diambil dari dana kampanye partai yang sudah resmi di audit. Partai politik tidak boleh meminta, memberi wewenang atau menyetujui pengeluaran dana lain, baik oleh pribadi maupun badan hukum untuk tujuan kampanye pemilu. Pengeluaran seperti itu hanya dapat

12 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., “Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara”, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerjasama dengan: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Jakarta, 2005, h. 80-81.

(18)

dilakukan sebagai sumbangan bagi dana kampanye resmi partai dan dilaporkan dalam laporan keuangan partai pada periode berikutnya.

2. Seluruh dana yang dikumpulkan atau dikeluarkan oleh seorang caleg untuk tujuan kampanye harus melalui dana kampanye partai politik yang mencalonkan caleg tersebut dan telah diaudit. Para caleg tidak boleh menggunakan dana-dana lain untuk tujuan kampanye pemilu.

3. Sumbangan yang diterima partai politik dalam bentuk barang atau jasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, harus diperlakukan sama dengan sumbangan dalam bentuk uang. Sumbangan tersebut dinilai menurut nilai pasar yang berlaku. Pemberian barang atau jasa kepada, atau untuk mendukung, sebuah partai politik atau seorang caleg tanpa disertai pembayaran, atau disertai pembayaran yang nilainya lebih rendah dari pasar yang berlaku, dianggap sumbangan. Individu-individu secara sukarela diperkenankan menyumbang waktu pribadinya untuk mendukung sebuah partai politik atau caleg, dan waktu tersebut tidak dianggap sebagai sumbangan selama individu-individu itu tidak dibayar oleh individu-individu atau kelompok lainnya.

4. Apabila sebuah partai politik menerima sumbangan yang dilarang atau melebihi batas yang ditentukan hukum, maka sumbangan itu harus dikembalikan ke donaturnya secara keseluruhan atau jumlah yang melebihi batas dalam waktu 48 jam. Partai Politik penerima harus membuat catatan mengenai pengembalian sumbangan tersebut dalam laporan auditnya.

5. Sumbangan kontan, tanpa nama, atau tanpa catatan yang melebihi batas (dalam rupiah) dilarang. Yang termasuk dalam sumbangan tanpa nama adalah tidak disebutkannya nama lengkap penyumbang.

6. Sumbangan melalui (secara palsu dibuat atas nama) individu atau kelompok lain dilarang. Seorang individu tidak boleh menerima uang atau penggantian uang lewat orang lain atau perusahaan lain jika dia tercatat sebagai penyumbang (donatur) partai yang telah dicatat dalam laporan audit partai.

7. UU Pemilu dan UU Partai Politik harus secara jelas menyatakan larangan penggunaan dana, tenaga, fasilitas, persediaan, peralatan, perlengkapan atau sumber daya lain milik negara atau pemerintah untuk mendukung caleg atau partai politik tertentu kecuali diperbolehkan oleh hukum.

(19)

9. Partai-partai politik harus menunjuk seorang pengurus yang bertanggung jawab atas keuangan parpol, termasuk mencatat penyimpanan keuangan dan pelaporan, dan juga mempekerjakan akuntan profesional untuk mengawasi pencatatan dan dokumentasi yang layak.

10. KPU harus menentukan standar yang konsisten dengan prinsip-prinsip akuntansi profesional dalam hal pencatatan transaksi partai politik, dan harus menyediakan pelatihan untuk petugas-petugas partai politik dan petugas pembukuan yang berhubungan dengan peraturan dana politik.

11. Partai-partai politik harus diminta untuk mencatat semua transaksi yang melibatkan dana kampanye mereka di kantor pusat partai dalam waktu sesingkat mungkin (menyimpan laporan yang terkonsolidasi tentang penerimaan dan pengeluaran untuk diaudit), dan memelihara dokumentasi pendukung seperti kwitansi dan lain-lain.

12. Perlu dipertimbangkan penyediaan komputer di kantor pusat dan di kantor-kantor cabang partai politik untuk penyimpanan dan pelaporan catatan dana politik, dengan menggunakan piranti lunak dan jaringan internet yang secara khusus dirancang (mungkin dapat dilakukan dengan bantuan dari donatur internasional) untuk mencatat keuangan.

13. KPU harus menyediakan jasa perpustakaan untuk memperjelas pengungkapan laporan-laporan audit partai. Jasa-jasa seperti itu sebaiknya menawarkan akses untuk laporan-laporan dan dokumen pendukung bagi media, akademisi, masyarakat atau individu yang berminat.

14. Sebuah sistim denda uang yang bertingkat, sanksi administratif, dan sanksi pidana harus dibuat sesuai dengan tingkat keseriusan pelanggaran-pelanggaran atas UU dan peraturan dana politik, termasuk persyaratan untuk laporan penerimaan dan pengeluaran partai politik secara lengkap dan akurat. Keseluruhan sistem peraturan dana politik tidak berguna tanpa adanya penegakan pembatasan dan persyaratan yang efektif dan adil.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

(20)

diperlukan pengawasan menyeluruh terkait dengan sumber dana, serta peruntukan dana baik sebelum, saat kampanye, serta setelah kampanye berlangsung.

Adapun beberapa saran yang dapat penulis sampaikan terkait permasalahan ini adalah sebagai berikut :

 Perlu diadakan pembatasan dana kampanye dalam peraturan pemilu legislatif, agar tidak terjadi hal-hal yang pada akhirnya merugikan caleg itu sendiri serta merugikan anggota keluarga dan orang dekat. Pembatasan dana kampanye ini sebaiknya diamati dan diawasi dengan sangat ketat oleh KPU melalui laporan pendanaan kampanye caleg. KPU dapat bekerjasama dengan instansi lain, seperti BPK. Dan diadakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran pendanaan kampanye.

 Perlunya aturan yang lebih tegas dalam memperketat seleksi calon legislatif. Hal ini selain untuk mengukur kemampuan caleg, juga agar caleg-caleg yang terpiih benar-benar caleg yang berkualitas. Peran partai politik perlu ditingkatkan dalam hal pemberian pendidikan politik, informasi-informasi yang terbuka, jelas kepada para calegnya. Partai politik juga berkewajiban dalam penanganan para caleg yang gagal terpilih.

 Pembinaan melalui norma hukum baik kepada masyarakat, partai politik, maupun kepada caleg perlu direalisasikan secara menyeluruh, dan berkelanjutan, agar tidak terjadi bias demokrasi dalam pemilu di Indonesia.

(21)
(22)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin Saleh, Zainal S.h., M.h., “Demokrasi dan Partai Politik”, dalam “Jurnal Legislasi Indonesia Vol.5 No. 1-Maret 2008”, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008, h. 70.

Bagir Manan, D.r., S.H., MCL, “Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, h. 56.

Jimly Asshiddiqie, Prof. Dr., S.H., “Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara”, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerjasama dengan: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Jakarta, 2005, h. 80-81.

Kusnardi, Moh., S.h., Harmaily Ibrahim,S.H., “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V. Sinar Bakti, Jakarta, 1981, h. 329.

Mahfud MD, Dr., “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”, Gama Media Offset, Yogyakarta, 1999, h. 50.”

Artikel Internet

Alfian M, “Kekuasaan dan Uang”,

http://alfanalfian.multiply.com/journal/item/171/Kekuasaan_dan_Uang, , diakses pada 17 februari 2011.

Detik.com, “Caleg Stres Tabrak Rumah Walikota”, ,

http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/06/kajian-filsafat-dan-psikologi-mengenai-caleg-yang-stres-pasca-pemilu/, diakses pada 17 februari 2011.

http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/06/kajian-filsafat-dan-psikologi-mengenai-caleg-yang-stres-pasca-pemilu/, diakses pada 17 februari 2011.

Rully, “Caleg Stres”, http://rully4.wordpress.com/2009/04/14/caleg-stres-posting-cerita-pasca-pemilu-legislatif/, diakses pada 17 februari 2011.

TEMPO Interaktif, “Dua Caleg Stres Masuk Rumah Sakit”,

http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_berita_mutakhir/2009/04/14/brk,20090414-170334,id.html, diakses pada 17 februari 2011.

(23)

www.hidayatullah.com, “Caleg Stres Semakin Bergelimpangan” diakses pada 17 februari 2011.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perbahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No.10 Th.2008).

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Grafik 4.1 Rata-Rata Kamampuh Nepikeun Laporan Lalampahan Siswa Kelas VIII-B SMP Negeri 10 Bandung Taun Ajaran 2016/2017 Unggal Aspék Saméméh Ngagunakeun Métodeu.

Dengan asumsi bahwa permintaan dalam time series adalah flat atau sebanding maka peramalan terbaik untuk periode t + 1 sama dengan rata-rata permintaan yang

berinteraksi sosial, Jepang juga mempunyai perkembangan sejarah yang cukup baik dan menarik untuk dipelajari dalam sejarah perkembangan kehidupan masyarakat nya, tak

Tidak seperti pada soft tissues yang punya kemampuan expanding terhadap pembengkakan, maka pada tulang terdapat rigid closed space, oleh karena itu dengan

(3) Dalam segi Ekonomis, hal-hal yang mempengaruhi realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Dinas Pekerjaan Umum Kota Denpasar adalah dalam segi perencanaan dan

Penelitian Muh Muslim (2002) berjudul “Penggunaan Diksi dalam Rubrik Konsultasi Masalah Seks di Majalah Aneka Yess! Asuhan dr. Keunikan penilitian ini disimpulkan bahwa

Meskipun usia pada kelompok perlakuan lebih tua dan tingkat asupan karbohidrat lebih tinggi namun penelitian menunjukkan bahwa pemberian jus buah jambu biji sebanyak 250 ml selama

Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan intrakurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh