SKRIPSI
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PADA TINGKAT
KEBERHASILAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
(Studi Empiris Di Kecamatan Bubutan Kota Surabaya)
Disusun Oleh :
RIA LUTFITA SARI
0813010044/FE/EA
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT , yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul : “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PADA TINGKAT
KEBERHASILAN PENERIMAAN PBB (Studi Empiris Pada Kecamatan
Bubutan Kota Surabaya)”.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari beberapa pihak, maka
akan sulit sekali bagi penulis untuk dapat menyusun skripsi ini. Pada kesempatan
yang baik ini, perkenankan penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih
kepada seluruh pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
mendukung kelancaran penyusunan skripsi ini. Dengan rasa hormat yang
mendalam penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. R. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Dr. Dhani Ichsanudin Nur, MM selaku Dekan Fakultas Ekonomi
3. Ibu Dr. Sri Trisnaningsih, Msi selaku Ketua Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
4. Bapak Drs. Sjafii. MM, AK selaku Dosen Wali yang telah memberikan
bimbingan selama menuntut ilmu di Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
5. Ibu Dra. Ec. Dwi Suhartini, MAKs selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk, serta pemikiran dalam penyusunan
skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
7. Segenap Pimpinan dan Staf Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan
yang telah memberikan bimbingan dan data-data yang dibutuhkan dalam
penyusunan skripsi ini.
8. Kedua Orang Tuaku, kakak dan adik yang sangat saya sayangi dan cintai
yang telah memberikan semangat, dukungan, dan dorongan moril serta
keikhlasan do’a yang tiada hentinya.
9. Thank to My Love Andriyas Sugiarto yang telah memberikan banyak
dukungan, semangat, motivasi, inspirasi, bantuan yang sangat besar serta
doanya hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10.Thank to Teman-temanku ‘’Genk Bohay” yang selama ini menemaniku
baik suka maupun duka, terimakasih atas perhatiannya dan dukungan serta
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam
menyusun skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis
harapkan guna meningkatkan mutu dari penulisan skripsi ini. Penulis juga
berharap, penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi peneliti
lain yang tertarik untuk mendalaminya di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Surabaya, Juni 2012
DAFTAR ISI
Kata Pengantar... i
Daftar Isi... ii
Daftar Tabel... iii
Daftar Gambar... vi
Daftar Lampiran... vii
Abstraksi... viii
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu... 8
2.2. Landasan Teori... 11
2.2.1. Keuangan Daerah... 11
2.2.2. Pengertian Pajak... 17
2.2.3. Tinjauan Teori Undang-undang Perpajakan … 22 2.2.4. Fungsi pajak ……….. 27
2.2.5. Tarif dan dasar pengenaan PBB ………... 28
2.2.6. Pajak Bumi dan Bangunan ……… 29
2.2.6.1. Pengertian Umum PBB ……….. 29
2.2.6.2. Subyek Pajak dan Objek Pajak ……….. 31
2.2.6.3. Maksud dan Tujuan ……… 34
2.2.6.4. Pendaftaran dan Pendataan Obyek …… 36
2.2.7. Pemahaman Wajib Pajak terhadap Undang-undang Perpajakan ……… 37
2.2.7.1Kesadaran Perpajakan WP ………. 38
2.2.7.3Kemampuan Wajib Pajak …………. 41
2.2.7.4Sistem Pemungutan Wajib Pajak ….. 42
2.2.8 Pengaruh Tingkat Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Keberhasilan Penerimaan PBB….. 45
2.2.9 Pengaruh Tingkat Pemahaman Terhadap Keberhasilan Penerimaan PBB ……… 47
2.2.10 Pengaruh Tingkat Kemampuan Terhadap Keberhasilan Penerimaan PBB ……… 49
2.2.11 Pengaruh Sistem Pemungutan Terhadap Keberhasilan Penerimaan PBB ……… 51
2.2.12 Pengaruh tingkat kesadaran, tingkat pemahaman, tingkat kemampuan, dan sistem pemungutan terhadap tingkat keberhasilan penerimaan PBB...53
2.2.9. Diagram Kerangka Pikir ……… 60
2.2.10. Hipotesis ………. 61
Bab III Metodologi Penelitian 3.1. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel... 62
1.1.1. Definisi Operasional ………. 62
1.1.2. Pengukuran Variabel ………. 64
3.2. Teknik Penentuan Sampel... 66
3.4.2 Analisis Regresi Berganda... 72
3.4.3 Uji Asumsi Klasik... 72
3.4.5 Uji Simultan... 77
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Deskripsi Obyek Penelitian... 79
4.1.1 Sejarah Kecamatan Bubutan... 79
4.1.2 Visi dan Misi Kecamatan Bubutan... 83
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian... 83
4.2.1 Deskripsi Variabel Keberhasilan Penerimaan PBB 83 4.2.2 Variabel Kesadaran Perpajakan WP... 84
4.2.3 Variabel Pemahaman WP... 85
4.2.4 Variabel Kemampuan WP... 86
4.2.5 Variabel Sistem Pemungutan WP... 87
4.3 Uji Kualitas Data... 88
4.3.1 Uji Validitas... 88
4.3.2 Uji Reliabilitas... 90
4.3.3 Uji Normalitas Data... 91
4.4 Analisis Regresi Linier Berganda... 93
4.4.1 Analisis Asumsi Klasik... 93
4.4.2 Persamaan Regresi Linier Berganda... 94
4.4.3 Uji F... 96
4.4.4 Uji t... 98
4.5 Pembahasan Hasil Penelitian... 99
4.5.1 Implikasi Penelitian... 102
4.5.2 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu... 103
4.5.3 Keterbatasan Penelitian... 103
Bab V Kesimpulan 5.1 Kesimpulan... 105
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Data Penerimaan PBB Kecamatan Bubutan Kota Sutabaya tahun
2006-2010... 3
Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu... 10
Tabel 4.1 Deskripsi Variabel Keberhasilan Penerimaan PBB (Y)... 83
Tabel 4.2 Rekapitulasi Jawaban Responden Pada Variabel Kesadaran
Perpajakan Wajib Pajak... 84
Tabel 4.3 Rekapitulasi Jawaban Responden Pada Variabel Tingkat
Pemahaman Wajib Pajak... 85
Tabel 4.4 Rekapitulasi Jawaban Responden Pada Variabel Kemampuan
Wajib Pajak... 86
Tabel 4.5 Rekapitulasi Jawaban Responden Pada Variabel Sistem
Pemungutan Wajib Pajak... 87
Tabel 4,6 Hasil Uji Validitas Variabel Kesadaran Perpajakan Wajib Pajak
(X1)... 88
Tabel 4.7 Hasil Uji Validitas Variabel Tingkat Pemahaman Wajib Pajak
(X2)... 88
Tabel 4.8 Hasil Uji Validitas Variabel Kemampuan Wajib Pajak
(X3)... 89
Tabel 4.9 Hasil Uji Validitas Variabel Sistem Pemungutan Wajib Pajak
(X4)... 89
Tabel 4.10 Hasil Uji Reliabilitas... 90
Tabel 4.12 Nilai VIF... 93
Tabel 4.13 Hasil dari Uji Korelasi Rank Spearman... 93
Tabel 4.14 Persamaan Regresi Linier Berganda... 94
Tabel 4.15 Hasil Uji F... 96
Tabel 4.16 Nilai Adj-R2... 97
Tabel 4.17 Hasil Uji t... 97
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Data Penerimaan PBB di Kecamatan Bubutan Kota
Surabaya tahun 2006-2010...4
Gambar 2 Data Presentase Penerimaan PBB Kecamatan Bubutan
Kota Surabaya tahun 2006-2010...4
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner
Lampiran 2 Rekapitulasi Variabel Penelitian
Lampiran 3 Output Uji Validitas
Lampiran 4 Output Uji Reliabilitas
Lampiran 5 Input Data
Lampiran 6 Output Uji Normalitas
Lampiran 7 Output Uji Regresi Linier Berganda
Lampiran 8 Output Identitas Responden
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT KEBERHASILAN PENERIMAAN PAJAK BUMI
DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN BUBUTAN KOTA
SURABAYA
Oleh :
RIA LUTFITA SARI
Abstrak
Pajak adalah iuran wajib yang diberikan rakyat (masyarakat/penduduk) kepada Pemerintah. Pajak atau iuran wajib tersebut merupakan salah satu unsur penerimaan dan pendapatan Pemerintah yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penerimaan dari pendapatan Pajak sangat berperan dalam memberikan kontribusi pertumbuhan kegiatan pembangunan negara baik di pusat maupun di daerah. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu penyandang dana dalam pembangunan daerah yang peranannya sangat penting dan strategis.
Tujuan dalam penelitian ini difokuskan pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) di daerah wilayah kerja Kecamatan Bubutan Kota Surabaya, mencakup faktor-faktor : tingkat kesadaran perpajakan WP, tingkat pemahaman WP, tingkat kemampuan WP, dan sistem pemungutan WP.
Obyek penelitian ini adalah 268 orang responden para Wajib Pajak (WP) di daerah wilayah kerja Kecamatan Bubutan Kota Surabaya, yang diperoleh dari
teori Convenience Sampling.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tekhnik analisis linier berganda. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa tingkat kesadaran dan sistem pemungutan Wajib Pajak, terbukti mempengaruhi tingkat keberhasilan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Faktor yang paling berpengaruh adalah tingkat pemahaman dan kemampuan Wajib Pajak.
Kata Kunci: Tingkat Kesadaran Perpajakan WP, tingkat pemahaman WP, tingkat
kemampuan WP, dan sistem pemungutan WP, tingkat keberhasilan penerimaan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era otonomi daerah yang mulai dilaksanakan tahun 2001, setiap
daerah memasuki era baru dalam penataan sistem pemerintahan dan sistem
perekonomian. Dengan otonomi daerah, diharapkan peran daerah dalam
mendukung perekonomian nasional menjadi semakin besar, karena kondisi
perekonomian saat ini cenderung menuntut adanya peran aktif dari
pemerintah daerah untuk lebih banyak menggali potensi perekonomian di
daerahnya, serta memainkan peranan yang lebih besar dalam merangsang
aktifitas ekonomi daerah (Sasana, 2005:20).
Dalam pembiayaan pembangunan suatu daerah, pemerintah daerah
membutuhkan pajak sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan.
Fungsi pajak sebagai iuran wajib yang diberikan oleh rakyat kepada
pemerintahnya. Selain pajak pendapatan dan pajak penghasilan, maka Pajak
Bumi dan Bangunan atau PBB juga memberikan peranan penting dalam
sumber pembiayaan daerah. Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai
merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang telah diundangkan
Pada Official Assessment System, petugas pajak berkewajiban
menetapkan berapa besar sesungguhnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak (WP). Sedangkan pada Self Assessment System, WP berkewajiban
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah
wajib pajak yang terutang. Walaupun berbeda, kedua sistem penetapan
pajak tersebut dalam praktiknya tetap memerlukan pengawasan dari pihak
pemerintah dalam bentuk pemeriksaan untuk menguji kepatuhan para WP
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. (Syofyan, 2003 :30)
Jika ditinjau dari fungsinya, pajak dibedakan menjadi dua fungsi yaitu
fungsi budgetair (sumber penerimaan Negara) dan fungsi regulerend
(mengatur). Fungsi budgetair,artinya pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan. Sedangkan fungsi regulerend, artinya pajak sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang
keuangan. Dari kedua fungsi ini, pada dasarnya pemerintah ingin kembali
menegaskan peranan penting pajak baik sebagai alat penerimaan Negara
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maupun sebagai alat untuk
melaksanakan berbagai kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.(
Resmi,2007:3)
PBB merupakan satu-satunya pajak properti di Indonesia sebagaimana
tertulis dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1994. Pajak Bumi dan
penerimanya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan
untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Oleh sebab itu, wajar bila pemerintah pusat juga
ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak
Bumi dan Bangunan. (Suhardito, 1999:3)
Berkenaan dengan PBB (Pajak bumi dan bangunan), meskipun
memiliki nilai rupiah kecil dibandingkan dengan pajak pusat lainnya, tetapi
mempunyai dampak luas sebab hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan
dikembalikan untuk daerah yang bersangkutan. Pada dasarnya PBB
mempunyai wajib pajak terbesar dibandingkan pajak-pajak lainnya.
Disamping itu PBB merupakan satu-satunya pajak properti di Indonesia dan
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Berikut ini diuraikan rencana
penerimaan dan realisasi penerimaan PBB di Kecamatan Bubutan Kota
Surabaya.
Tabel 1
Data Penerimaan PBB di Kecamatan Bubutan Kota Surabaya
Grafik 1
Data Penerimaan PBB di Kecamatan Bubutan Kota Surabaya
Berdasarkan daftar tabel dan grafik diatas nampak bahwa antara
rencana penerimaan dan realisasi penerimaan PBB sebenarnya selalu
terlampaui, namun jika dilihat dari presentase realisasi penerimaan PBB
mulai tahun 2006-2010 memiliki presentase penerimaan yang
berfluktuatif, dimana presentase realisasi penerimaan tertinggi adalah
136,15% di tahun 2007 sedangkan prosentase realisasi penerimaan PBB
terendah adalah 114,65% di tahun 2008. Hal ini kemungkinan dipengaruhi
beberapa faktor seperti tingkat kesadaran Perpajakan WP, Tingkat
Pemahaman WP, Tingkat Kemampuan WP, dan Sistem Pemungutan
terhadap keberhasilan penerimaan PBB.
Berdasarkan latar belakang diatas dan fenomena yang ada, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS Grafik 2
FAKTOR-FAKTOR PADA TINGKAT KEBERHASILAN PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN (Studi Empiris di Kecamatan Bubutan Kota
Surabaya)”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah tingkat Kesadaran Perpajakan
WP, Tingkat Pemahaman WP, Tingkat Kemampuan WP, dan Sistem
Pemungutan berpengaruh terhadap tingkat Keberhasilan penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Bubutan Kota Surabaya.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui dan menguji secara empiris
pengaruh Tingkat Kesadaran Perpajakan WP, Tingkat Pemahaman WP,
Kemampuan WP dan Sistem Pemungutan terhadap Tingkat Keberhasilan
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Bubutan Kota
Surabaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian antara lain dapat memberikan masukan bagi
beberapa pihak antara lain sebagai berikut:
Dari hasil penelitian tersebut bagi Kantor Pelayanan Pajak
UPTD PBB Surabaya dapat dimanfaatkan sebagai tambahan bahan
informasi atas indikator-indikator yang dapat mempengaruhi Tingkat
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
khususnya yang berkaitan erat dengan faktor-faktor Tingkat
Kesadaran Perpajakan WP, Tingkat Pemahaman WP, Kemampuan
WP, dan Sistem Pemungutan.
b. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan media yang baik untuk menambah
pengetahuan, wawasan, dan ketrampilan dalam melakukan penelitian
sekaligus mendalami teori yang berkaitan dengan perpajakan
khususnya kesadaran Perpajakan WP, Pemahaman WP, Kemampuan
WP dan Sistem Pemungutan.
c. Bagi Pembaca
Dari hasil penelitian tersebut, khususnya yang berkenaan dengan
materi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) peneliti berharap bahwa bagi
setiap pembaca memperoleh tambahan wawasan dan bahan masukan
sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan penelitian lebih lanjut di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Hadi Sasana (2005) penelitiannya yang berjudul “Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (studi
kasus di Kabupaten Banyumas) akan mengukur besaran pengaruh variabel
independen yang terdiri dari PDRB per kapita, jumlah wajib pajak, inflasi,
jumlah luas lahan, jumlah bangunan dan krisis moneter terhadap penerimaan
PBB dan dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa variabel PDRB per
kapita, jumlah wajib pajak, inflasi, jumlah luas lahan, dan jumlah bangunan
berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB. Sedangkan variabel krisis
moneter berpengaruh negatif terhadap penerimaan PBB.
Tarjo dan Indra Kusumawati (2005) dengan judul “Analisis Perilaku
Wajib Pajak Orang Pribadi terhadap Pelaksanaan Self Assessment
System:Suatu studi di Bangkalan. Penelitian ini menyajikan permasalahan
bahwa peneliti ingin lebih jauh mengetahui pelaksanaan self assesment
sistem baik pelaksanaan fungsi-fungsi fiscus menurut persepsi WP.
Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan self assesment system pada WP
badan di kota Bangkalan. Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan
Wajib Pajak sedangkan fungsi menghitung ternyata belum dijalankan secara
maksimal oleh Wajib Pajak, karena 42,9% WP belum mampu untuk
menghitung sendiri pajak yang terutang dan 57,1% WP belum
melaksanakan fungsi perhitungan karena fungsi perhitungannya masih
dilakukan oleh fiscus. Sedangkan dari sisi fiskus sendiri ternyata ketiga
fungsinya yaitu penyuluhan, pengawasan, dan pelayanan belum terlaksana
dengan baik.
Mu’minatus Sholichah dan Istihqomah (2005) melalui penelitian
“Perilaku Wajib Pajak Terhadap Tingkat Keberhasilan Penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan di Kabupaten Gresik”. Dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa adanya fenomena di berbagai kantor pajak nampak
bahwa realisasi Pajak Bumi Bangunan selalu di bawah pokok ketetapan
khususnya dan peneliti akan meneliti apakah kesadaran, pemahaman dan
kemampuan wajib pajak berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan
penerimaan PBB di Kabupaten Gresik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesadaran, pemahaman dan kemampuan wajib pajak secara simultan dan
parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan penerimaan
PBB.
Supriyati dan Nur Hidayati (2008) dengan judul “Pengaruh
Pengetahuan Pajak dan Persepsi Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak”. Penelitian ini menyajikan permasalahan apakah pihak akademisi dan
dan penerimaan pajak sehingga ke depan mampu meningkatkan kesadaran
masyarakat sekaligus meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pengetahuan pajak memiliki
pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak sedangkan variabel persepsi wajib
pajak terhadap petugas pajak dan persepsi terhadap kriteria wajib pajak
patuh tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
Hubungan dengan penelitian terdahulu
Tabel 2 : Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Persamaan dengan Penelitian Terdahulu
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
1. Variabel bebas dan variabel
terikat.
Kesadaran perpajakan, tingkat
pemahaman WP, tingkat
kemampuan WP, dan sistem
pemungutan sebagai variabel
bebas dan keberhasilan
penerimaan pajak sebagai
veriabel terikat.
2. Metode pengumpulan data.
Pengambilan data melalui
kuesioner dan dokumentasi.
3. Uji Hipotesis
1. Waktu penelitian
Penelitian terdahulu
dilaksanakan pada tahun 2005
Untuk menguji hipotesis
kesadaran WP, pemahaman
WP, tingkat kemampuan WP,
dan sistem pemungutan
terhadap keberhasilan
penerimaan pajak
menggunakan uji-t.
4. Sampel penelitian.
Sampel penelitiannya
menggunakan setiap orang
atau wajib pajak yang ditemui
nonprobability sampling
(convenience).
5. Tekhnik analisis.
Penelitian ini menggunakan
tekhnik analisis linier
berganda.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Keuangan Daerah
Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dalam rangka
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaraan tugas
Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah di
biayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). (Bratakusumah,2001:172).
Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas :
a. Pendapatan Asli Daerah yaitu :
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah ;
b. Dana Perimbangan
c. Pinjaman Daerah
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dana perimbangan, sebagaimana yang dimaksud terdiri atas : (UU
Otonomi Daerah,1999:33).
a. Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan
b. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
sektor pedesaan, perkotaan, dan perkebunan serta bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan, diterima langsung oleh daerah penghasil.
Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor
pertambangan serta kehutanan dan penerimaan dari sumber daya alam
diterima oleh daerah penghasil dan daerah lainnya untuk pemerataan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Setiap pinjaman Daerah dilakukan dengan persetujuan DPRD.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam
negeri dan/atau dari sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan
pemerintahan dengan persetujuan DPRD.
Pinjaman Daerah dari dalam negeri bersumber dari
Pemerintahan Pusat, Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan
Bukan Bank, Masyarakat dan Sumber lainnya diberitahukan kepada
pemerintah dan mengikuti ketentuan Peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pinjaman Daerah dari luar negeri dapat berupa pinjaman
bilateral atau pinjaman multilateral. Pinjaman Daerah yang bersumber
dari luar negeri harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
Pemerintah Pusat. (Bratakusumah,2001:191-192).
Pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang
ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (UU Otonomi Daerah,1999:34)
Untuk mendorong pemberdayaan daerah, pemerintah memberi
insentif fiskal dan non fiskal tertentu. Daerah dapat memiliki badan
usaha milik daerah sesuai dengan peraturan-peraturan
perundang-undangan dan pembentukannya diatur dengan peraturan daerah.
Barang milik daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan
umum tidak dapat digadaikan, dibebani hak tanggungan dan/atau
dipindah tangankan.
Kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan
keputusan tentang: (UU Otonomi Daerah,1999:34-35)
1. Penghapusan tagihan daerah sebagian atau seluruhnya
2. Persetujuan penyelesaian sengketa perdata secara damai dan
3. Tindakan hukum lain mengenai barang milik daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan
peraturan daerah selambat-lambatnya tiga bulan sebelum tahun
anggaran berakhir. Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah selambat-lambatnya tiga
bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pedoman tentang penyusunan, perubahan, dan perhitungan
pemerintah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah
ditetapkan dengan peraturan pemerintah disampaikan kepada gubernur
bagi pemerintah propinsi untuk diketahui. Pedoman tentang
pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah
serta tata cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
pelaksanaan tata cara usaha keuangan daerah dan penyusunan
perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (UU Otonomi
Daerah,1999:34-35).
Terdapat berbagai macam jenis pajak yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga (Mardiasmo,2009: 5-6) :
1. Menurut Golongan
a. Pajak Langsung
Adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri
oleh WP dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung
Adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
2. Menurut Sifat
a. Pajak Subjektif
Adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib
Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan
b. Pajak Objektif
Adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungut
a. Pajak Pusat
Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PBB, dan Bea
b. Pajak Daerah
Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
masing-masing. Pajak daerah terdiri atas :
Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor
dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak
Restoran, dan Pajak Hiburan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka lembaga pemungut
untuk PBB dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga Negara.
2.2.2 Pajak
Ditinjau dari sejarahnya, masalah pajak sudah ada sejak
zaman dahulu kala, walaupun pada saat itu belum dinamakan
“pajak” namun masih merupakan pemberian yang bersifat sukarela
dari rakyat kepada rajanya. Perkembangan selanjutnya pemberian
tersebut berubah menjadi upeti yang sifat pemberiannya
dipaksakan dalam artian bahwa pemberian itu bersifat “wajib” dan
ditetapkan secara sepihak oleh Negara. Dengan kata lain “pajak”
yang semula merupakan pemberian sukarela berubah menjadi
kebutuhan negara akan dana semakin besar dalam rangka
memelihara kepentingan negara yaitu untuk mempertahankan
negara dan melindungi rakyatnya dari serangan musuh maupun
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan negara baik dibidang ekonomi, sosial, dan kenegaraan.
(Munawir,1997:3)
Banyak para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan
pengertian definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun
demikian definisi tersebut mempunyai inti atau tujuan yang sama.
Demikian halnya dengan definisi yang diutarakan oleh Siti Resmi
(2007:1) menyadur pengertian pajak menurut Rohmat Soemitro :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang) dapat dipaksakan dengan tidak mendapat
jasa (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Demikian halnya dengan definisi pajak yang diberikan oleh
Munawir (1997:1) mengutip pengertian pajak yang diberikan oleh
Soemahamidjaja dalam desertasinya yang berjudul : Pajak
berdasarkan atas gotong royong yaitu “pajak adalah iuran wajib
berupa uang atau barang,yang dapat dipungut oleh penguasa
barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum.
Dari definisi pajak yang diberikan oleh Soemitro diatas dapat
ditarik suatu kesimpulan tentang unsur pajak sebagai berikut :
(Munawir,1997:4)
a. Iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan);
yang dalam arti bahwa yang berhak melakukan pemungutan
pajak ialah Negara dan dengan alasan apapun swasta atau
partikelir tidak boleh memungut pajak.
b. Berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan); dalam
arti walaupun negara mempunyai hak untuk memungut namun
pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyatnya
yaitu melalui undang-undang.
c. Tanpa jasa timbal atau kontrapretasi dari negara yang secara
langsung ditunjuk; dalam arti bahwa jasa timbal atau
kontrapretasi yang diberikan negara kepada rakyatnya tidak
dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak.
d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat
umum; dalam arti bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah
Dari keempat unsur yang paling menonjol adalah unsur
“paksaan” yang dapat diartikan bahwa bila hutang pajak dibayar,
maka penagihan dapat dengan menggunakan kekerasan seperti
dengan surat paksa atau sita maupun penyanderaan terhadap wajib
pajak. Unsur kedua adalah “tidak ada jasa timbal balik dari
pemerintah yang langsung dapat ditunjuk”. Hal-hal ini memberi
kesan bahwa : (Munawir,1997:2)
a. Seseorang atau badan usaha membayar pajak karena terpaksa
atau takut dengan sanksi-sanksi yang harus ditanggungnya
apabila tidak membayar pajaknya dan,
b. Bahwa seakan-akan pembayaran pajak merupakan pengeluaran
sia-sia karena tidak memperoleh jasa timbal balik dari
pemerintah yang langsung dapat ditunjuk.
Pada tahun 1974 melalui bukunya yang berjudul “pajak dan
pembangunan”Soemitro mengoreksi sendiri definisi pajak tersebut
menjadi : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat
kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
“surplus”nya digunakan untuk “public saving” yang sumber utama
untuk membiayai public investment.(Munawir,1997:2-3)
Sehubungan dengan definisi pajak yang diutarakan oleh
Munawir (1997:3), Djajadiningrat memberikan definisi yang luas
memberikan sebab-sebab pemungutan pajak. Secara lengkap
definisi tersebut berubah menjadi pajak sebagai suatu kewajiban
menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan
suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan
kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat
dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung
untuk memelihara kesejahteraan umum.
Dari definisi-definisi tersebut diatas maka dapat ditarik suatu
kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak
yaitu: (Munawir,1997:5).
a. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah) berdasarkan kekuatan
undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. Dengan kata lain pajak
adalah suatu pungutan yang merupakan hak progresif
pemerintah.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontrapretasi individual dari pemerintah (tidak ada hubungan
langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontrapretasi
secara individual)
c. Pajak diperuntukkan untuk pengeluaran pembayaran
dipergunakan untuk membiayai public investment sehingga
tujuan yang utama dari pemungutan pajak adalah sumber
Keuangan Negara
d. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada
seseorang. Disamping pemungutan berbagai macam pajak,
pemerintah juga melakukan pungutan-pungutan lain.
2.2.3 Tinjauan Teori dan Undang-undang Perpajakan
Pemungutan pajak dibenarkan hukum karena adanya
hubungan kausalitas dari pajak itu sendiri. Secara umum dapat
dikatakan bahwa pajak yang dipungut secara langsung ataupun
tidak langsung akan kembali digunakan oleh masyarakat dalam
bentuk infrastruktur dan pelayanan.
Beberapa landasan yang menjadi dasar pembenaran
pemungutan pajak (Tjahjono dan Husein,2005: 18) :
1. Teori Asuransi
Pajak dibayarkan oleh masyarakat kepada Negara dianalogkan
seperti pembayaran premi asuransi. Pembayaran premi asuransi
ini dilakukan karena Negara bertugas melindungi rakyat dan
harta bendanya. Perbedaan yang utama adalah dalam asuransi
pajak,Negara tidak akan memberikan ganti rugi bilamana
rakyat mengalami musibah.
2. Teori Kepentingan
Teori ini dalam ajaran semula, hanya memperhatikan
pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk
seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas
kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah
(yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas
jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah
selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara
untuk menunaikan kewajibannya, dibebankan kepada mereka
itu.
3. Teori Gaya Pikul
Dasar teori yang digunakan adalah keadilan yaitu bahwa setiap
orang harus dikenakan pajak yang sama beratnya. Namun
demikian besarnya pemungutan pajak didasarkan berdasarkan
gaya pikul (kekuatan) masing-masing WP. Ukuran utama gaya
pikul adalah besarnya penerimaan yang diterima dan
pengeluaran yang dilakukan.
Teori ini mendasarkan pada pemahaman Organische Staatsleer.
Paham ini mengajarkan bahwa karena sifat Negara sebagai
suatu perkumpulan dari individu-individu maka timbul hak
mutlak Negara untuk memungut pajak. Dari sudut pandang
rakyat membayar pajak kepada Negara merupakan bukti rasa
baktinya rakyat atau warga kepada Negara.
5. Teori Asas Daya Beli
Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika
dipandang sebagai gejala dalam masyarakat dapat disamakan
dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah
tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk tangga-rumah tangga Negara,
dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan
maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk
membawa ke arah tertentu.
Asas pemungutan pajak menurut Adam Smith, seperti
dikemukakan dalam buku An Inquiry Into Nature and Causes
of The Wealth of Nations (Mardiasmo,2009: 7) adalah sebagai
berikut:
1. Equality
Pungutan pajak harus bersifat final, adil, dan merata. Pajak
dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding
manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap WP
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah
sebanding dengan kepentingan dan manfaatnya.
2. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang.
Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas
dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta
batas waktu pembayaran.
3. Convenience
Kapan WP itu harus membayar pajak sebaiknya disesuaikan
dengan saat-saat yang tidak menyulitkan WP, misalnya
pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan. Sistem ini
disebut Pay us you eam.
4. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan
kewajiban pajak bagi WP diharapkan seminimal mungkin,
demikian pula beban yang dipikul WP.
Asas ini dalam prinsip perpajakan maupun dalam
pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan
itu sangat relatif.
a. Benefit Principle & Ability Principle
Keadilan pemungutan pajak, menurut Richard A.
Musgrave dan Peggy Musgrave dalam buku Public
Finance in Theory and Practice, terdiri dari dua macam
asas keadilan, yaitu:
1) Benefit Principle
Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap WP harus
membayar sejalan dengan manfaat yang
dinikmatinya dari pemerintah. Pendekatan ini
disebut Revenue and Expenditure Approach
2) Ability Principle
Pajak sebaiknya dibebankan kepada WP
berdasarkan kemampuan membayar.
Pendekatan lainnya masalah keadilan dalam
pemungutan pajak :
1) Keadilan Horisontal, yaitu bila beban pajaknya sama
untuk semua wajib pajak yang memperoleh
penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan
yang sama tanpa membedakan jenis penghasilan
atau sumber penghasilan.
2) Keadilan Vertikal, yaitu bila orang dalam keadaan
ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama.
2.2.4 Fungsi Pajak
Pajak memiliki fungsi yang sangat strategis bagi
berlangsungnya pembangunan suatu Negara ( Mardiasmo,2009
:1-2) dan memiliki fungsi:
1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi
pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Dalam
APBN pajak merupakan sumber penerimaan dalam negri.
2. Fungsi Mengatur (Regulator)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
3. Fungsi Redistribusi
Fungsi ini lebih ditekankan pada unsur pemerataan dan
keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya
lapisan tarif dalam pengenaan pajak dengan adanya tarif pajak
yang lebih besar untuk tingkat penghasilan yang lebih tinggi.
4. Fungsi Demokrasi
Merupakan wujud dari sistem gotong royong. Fungsi ini
dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada
masyarakat WP.
2.2.5 Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Menurut (Mardiasmo, 2009:317) tarif pajak yang
dikenakan atas objek pajak PBB adalah sebesar 0,5% (lima
persen). Dan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah :
a. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP).
b. Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala
Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
c. Dasar perhitungan pajak adalah yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.
d. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi
nasional.
Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali.
Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena
perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP
cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun
sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota
(Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self
assessment.
Besarnya pajak terutang dapat dihitung dengan cara
(Mardiasmo,2009:318).
PBB = Tarif Pajak x NJKP
2..2.6 Pajak Bumi dan Bangunan
2.2.6.1 Umum
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak
kebendaan atas bumi dan/atau bangunan yang dikenakan
terhadap orang pribadi atau badan yang secara nyata
mempunyai hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi
dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh
manfaat atas bangunan. PBB merupakan pajak kebendaan,
dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh
keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan,
sedangkan keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak (Mardiasmo,2009: 314)
Resmi (2004 : 611) mengemukakan pengertian
Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang
ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan
perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak
perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan
untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang
Adapun prinsip pengenaan PBB adalah untuk
menjamin kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan
serta ditunjamg oleh sistem administrasi perpajakan yang
memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
pembayaran pajakya (Tjahjono dan Husein, 2005).
2.2.6.2 Subyek Pajak dan Obyek Pajak
Pasal 2 UU No 12 Tahun 1985 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi
dan/atau bangunan. (Resmi,2004:612)
Obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah
obyek yang (Mardiasmo, 2009:314) :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan
umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan, dan
kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan
memperoleh keuntungan, seperti masjid, gereja, rumah
sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan
lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai
oleh desa dan tanah Negara yang belum dibebani suatu
hak
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik
5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Besarnya NJOPTKP ditetapkan untuk masing-masing
Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib
Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa
Objek Pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu
Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa
dikurangi NJOPTKP.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas
nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP
dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat
(Mardiasmo,2009:315).
Subyek pajak PBB adalah orang atau badan yang
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Hal ini berarti bahwa tanda pembayaran atau pelunasan
pajak bukan merupakan bukti kepemilikan. PBB melekat
pada pemiliknya meskipun dapat dialihkan kepada
penyewa atau pihak lain (Resmi,2004:615).
Jika suatu obyek pajak belum diketahui secara pasti
siapa wajib pajaknya, maka yang menjadi subyek pajak
dapat ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Beberapa ketentuan
khusus tentang siapa yang menjadi subyek dalam hal ini
adalah (Achmad dan Husain, 2005:439) :
1. Jika suatu subyek pajak memanfaatkan atau
menggunakan bumi dan bangunan milik orang lain
bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang
atau bukan perjanjian, maka subyek pajak yang
memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan
ditetapkan sebagai wajib pajak.
2. Suatu obyek pajak yang masih dalam sengketa
pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang
memanfaatkan/menggunakan obyek pajak tersebut
3. Subyek pajak dalam waktu yang lama berada di luar
wilayah letak obyek pajak, sedang untuk merawat
obyek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau
badan maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat
ditunjuk sebagai wajib pajak.
2.2.6.3 Maksud dan Tujuan
Yang dijadikan alasan untuk dilakukan pemungutan
pajak bumi dan bangunan adalah (Vitriana,2006:21) :
a. Dasar falsafah yang dipergunakan dalam berbagai
undang-undang yang berasal dari jaman kolonial
adalah tidak sesuai dengan Pancasila.
b. Berbagai undang-undang mengenakan pajak atas harta
tak bergerak sehingga membingungkan masyarakat.
c. Undang-undang berasal dari jaman kolonial sukar
dimengerti oleh rakyat
d. Undang-undang yang berasal dari jaman penjajahan
masih tertulis dalam bahasa Belanda dan perubahan
tertulis dalam bahasa Indonesia sehingga merupakan
bahasa ‘gado-gado’ sedangkan terjemahan resmi tidak
e. Undang-undang jaman kolonial tidak sesuai lagi
dengan aspirasi dan kepribadian bangsa Indonesia
f. Undang-undang lama tidak sesuai dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia
g. Undang-undang lama kurang memberikan kepastian
hukum.
Selanjutnya adalah yang menjadi tujuan pajak bumi
dan bangunan adalah :
a. Menyederhanakan peraturan perundang-undangan
pajak sehingga mudah dimengerti oleh rakyat.
b. Memberikan dasar yang kuat pada pungutan pajak atas
harta tak bergerak dan sekalian menyerasikan atas
harta tak bergerak di semua daerah dan menghilangkan
simpang siur
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,
sehingga rakyat tahu sejauh mana hak dan
kewajibannya, menghilangkan pajak ganda yang
terjadi sebagai akibat berbagai undang-undang yang
d. Memberikan penghasilan kepada daerah yang sangat
diperlukan untuk menegakkan otonomi daerah dan
untuk pembangunan daerah
e. Menambah penghasilan bagi daerah.
2.2.6.4 Pendaftaran dan pendataan Objek PBB
Orang atau badan yang menjadi subjek PBB wajib
mendaftarkan objek pajaknya ke Kantor Pelayanan PBB
atau Kantor Penyuluhan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan
formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib
mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Dalam rangka
pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi
dan dikembalikan kepada Direktur Jendral Pajak. Wajib
pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib
mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima
SPOP, dia wajib mengisinya dan wajib
Dalam hal data grafis peta kota, peta garis, dan peta
foto mengalami banyak perubahan, maka dilakukan
pendataan objek PBB. Pendataan ini dilakukan oleh
Kantor Pelayanan PBB dengan menguunakan SPOP dan
dilaksanakan sekurang-kurangnya untuk satu wilayah
administrasi desa atau kelurahan (Mardiasmo,2009:319).
2.2.7 Pemahaman Wajib Pajak Terhadap Undang-undang
Perpajakan
Pemahaman atau pengetahuan berfungsi untuk membantu
seseorang dalam memberikan maksud atau memahami situasi atau
peristiwa baru (Ikhsan dan Ishak, 2005:44).
Menurut Gunadi, dkk, (2001 : 8) salah satu tujuan
diadakannya pembaruan atau perubahan ketentuan
perundang-undangan perpajakan (reformasi pajak) adalah untuk menciptakan
kesederhanaan dibidang undang-undang pajak baik sistem
pemungutan pajak maupun tarif pajaknya, sehingga mudah
dipelajari dan dilaksanakan oleh wajib pajak maupun aparatur
pajak. Demikian pula tujuan Pajak Bumi dan Bangunan menurut
Soemitro dan Muttaqin ( 2001 : 4 ) adalah menyederhanakan
peraturan perundang-undangan pajak sehingga mudah dimengerti
Suatu kecerdasan, suatu pengertian yang jelas mengenai
tugas dan kewajiban terhadap Negara dan keharusan membayar
pajak, juga perasaan mendalam mengenai solidaritas nasional pada
penduduk akan mengurangi perlawanan pasif ( Brotodiharjo dalam
Devano dan Rahayu, 2006 : 117).
2.2.7.1 Kesadaran Perpajakan
Kesadaran adalah keadaan tahu, mengerti, dan ingat
kepada hal yang benar (Poerwadarminta, 1987). Sedangkan
Perpajakan ialah mengatur ketentuan dan tata cara, hak dan
kewajiban wajib pajak, meliputi pembayaran pajak, dan
pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sehingga kesadaran wajib pajak
adalah keadaan yang timbul dalam diri wajib pajak atas
kewajibannya untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Sistem dan mekanisme suatu cara pandang terhadap
kewajiban WP masih dianggap “objek”. Padahal yang
yang harus dibina dan diarahkan agar mampu memenuhi
kewajiban kenegaraan (Gunadi, dkk, 2001 : 4).
Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban
perpajakan tidak hanya tergantung pada masalah-masalah
teknis saja yang menyangkut metode pemungutan, tarif
pajak, teknis pemeriksaan, penyidikan penerapan sanksi
sebagai perwujudan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dan pelayanan kepada
wajib pajak selaku pihak pemberi dana bagi Negara dalam
hal membayar pajak. Disamping itu juga tergantung pada
kemauan wajib pajak juga, sampai sejauh mana wajib pajak
tersebut akan mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Devano dan Rahayu, 2006: 113).
Menurut Devano dan Rahayu (2006 : 113),
membayar pajak bukanlah merupakan tindakan yang
semudah dan sesederhana membayar untuk mendapatkan
sesuatu (konsumsi) bagi masyarakat, tetapi didalam
pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat emosional.
Pada dasarnya tidak seorangpun yang menikmati kegiatan
membayar pajak seperti kegiatan berbelanja. Disamping itu,
potensi bertahan untuk tidak membayar sudah menjadi tax
2.2.7.2 Pemahaman Wajib Pajak
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, arti
pemahaman adalah sesuatu hal yang kita pahami dan kita
mengerti dengan benar. Dan Wajib Pajak merupakan
orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, dan
pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Mardiasmo,2009 : 21). Jadi
pemahaman wajib pajak merupakan sesuatu yang
dipahami dan dimengerti oleh wajib pajak akan fungsi dan
pentingnya membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Pemahaman atau pengetahuan berfungsi untuk
membantu seseorang dalam memberikan maksud atau
memahami situasi atau peristiwa baru (Ikhsan dan Ishak,
2005:44).
Menurut Gunadi, dkk, (2001 : 8) salah satu tujuan
diadakannya pembaruan atau perubahan ketentuan
perundang-undangan perpajakan (reformasi pajak) adalah
untuk menciptakan kesederhanaan dibidang
undang-undang pajak baik sistem pemungutan pajak maupun tarif
pajaknya, sehingga mudah dipelajari dan dilaksanakan
tujuan Pajak Bumi dan Bangunan menurut Soemitro dan
Muttaqin ( 2001 : 4 ) adalah menyederhanakan peraturan
perundang-undangan pajak sehingga mudah dimengerti
oleh rakyat.
Suatu kecerdasan, suatu pengertian yang jelas
mengenai tugas dan kewajiban terhadap Negara dan
keharusan membayar pajak, juga perasaan mendalam
mengenai solidaritas nasional pada penduduk akan
mengurangi perlawanan pasif ( Brotodiharjo dalam
Devano dan Rahayu, 2006 : 117).
2.2.7.3 Kemampuan Wajib Pajak
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
pengertian kemampuan adalah kecakapan atau potensi
menguasai suatu keahlian yang merupakan bawaan sejak
lahir atau merupakan hasil latihan atau praktek dan
digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan
melalui tindakannya dan Wajib Pajak merupakan orang
pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, dan
pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
kemampuan wajib pajak adalah kecakapan wajib pajak
dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak.
Setiap orang harus membayar bagiannya (pajak)
sesuai dengan kemampuannya untuk membayar.
Kemampuan membayar pajak tidak mempunyai dasar
ilmiah karena didasarkan pada sesuatu yang sangat
abstrak. Untuk dijadikan suatu prinsip perpajakan yang
operasional, maka kemampuan membayar pajak juga
harus menggunakan suatu ukuran yang operasional. Tiga
ukuran yang biasanya dipakai untuk mengukur
kemakmuran seseorang (atau kemampuan seseorang
membayar pajak) adalah:
a. Pendapatan
b. Pengeluaran konsumsi
c. Kekayaan
Walaupun ketiga-tiganya merupakan ukuran
kemampuan seseorang namun pada umumnya ukuran
yang dipakai adalah pendapatan, sehingga prinsip
kemampuan membayar akhirnya diukur dengan suatu
konsep pengorbanan (sacrifice) sebagai fungsi dari
pendapatan seseorang yang dibayarkan sebagai pajak
2.2.7.4. Sistem Pemungutan
Sistem merupakan sekelompok bagian-bagian alat
dan sebagainya yang bekerja sama untuk melaksanakan
tujuan atau maksud (Marjihanto,1996). Sedangkan
pemungutan adalah kewenangan mengambil atau menagih
sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang untuk
dibayarkan. Sehingga sistem pemungutan adalah
kewenangan wajib pajak untuk membayar pajak sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan oleh fiskus.
Indonesia mempunyai beberapa sistem pemungutan
pajak yang pernah dilaksanakan (Devano dan Rahayu,
2006 : 80), yaitu:
a. Official Assessment System
Dimana wewenang pemungutan pajak pada fiskus.
Utang pajak timbul kalau ada Surat Ketetapan Pajak
dilaksanakan sampai tahun 1967.
b. Semi Self Assessment System
Wewenang pemungutan ada pada wajib pajak dan
fiskus. Pada awal tahun pajak wajib pajak menaksir
dahulu berapa pajak yang akan terutang untuk satu
pajak, pajak terutang sesungguhnya ditentukan fiskus.
Dilaksanakan di Indonesia pada periode 1968-1983.
c. Full Self Assessment System
Wewenang sepenuhnya untuk menentukan besar pajak
ada pada wajib pajak. Wajib pajak aktif menghitung,
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri
pajaknya. Fiskus tidak campur tangan dalam penentuan
besarnya pajak terutang selama wajib pajak tidak
menyalahi peraturan yang berlaku. Dilaksanakan secara
efektif pada tahun 1984 atas dasar perombakan
perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983.
d. With Holding System
Wewenang pemungutan pajak ada pada pihak ketiga.
Dilaksanakan secara efektif sejak 1984.
Sistem pemungutan pajak suatu Negara yang baik,
adalah yang berdasarkan pada prinsip-prinsip adil,
kepastian hukum, ekonomis, dan convenience.
Keadilan ditujukan bagi wajib pajak, disertai
dengan kepastian hukum yang menjadi dasar pelaksanaan
pemungutan pajak baik bagi wajib pajak maupun bagi
pajak bagi fiskus dengan tidak mengenyampingkan
masalah biaya yang dikeluarkan oleh fiskus dalam rangka
pengumpulan pajak. Convenience ditujukan untuk
pembebanan pajak pada saat yang tepat kepada wajib
pajak (Devano dan Rahayu, 2006 : 116).
2.2.8 Pengaruh Tingkat Kesadaran Perpajakan Wajib Pajak
terhadap Tingkat Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan.
Pengaruh tingkat kesadaran Perpajakan WP terhadap
keberhasilan penerimaan PBB mengacu pada teori kewajiban
mutlak atau teori bhakti. Teori ini mendasarkan pada pemahaman
Organische Staatsleer. Teori ini mengajarkan bahwa karena sifat
Negara sebagai suatu perkumpulan dari individu-individu maka
timbul hak mutlak Negara untuk memungut pajak. Dari sudut
pandang rakyat membayar pajak kepada Negara merupakan bukti
rasa baktinya rakyat atau warga kepada Negara (Tjahjono dan
Husein, 2005:18)
Berdasarkan hasil penelitian Mu’minatus dan Istiqomah (
2005 : 73) besarnya pengaruh variabel tingkat kesadaran
Perpajakan WP sangat berpengaruh positif terhadap keberhasilan
pajak itu sendiri yang terbentuk oleh beberapa faktor seperti sikap
(attitudes), motivasi (motivation), persepsi (perception),
pembelajaran (Learning), kepribadian (personality) dan juga
dipengaruhi oleh lingkungan dan dasar biologis dari wajib pajak.
Menurut Brotodiharjo ( 1986 : 13 ), lepas dari kesadaran
kewargaan dan solidaritas nasional, lepas pula pengertiannya
tentang kewajibannya terhadap Negara, pada sebagian terbesar
diantara rakyat tidak akan pernah merasa kewajibannya membayar
pajak sedemikian rupa, sehingga memenuhinya tanpa menggerutu.
Bahkan bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya
mereka cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Yang
pada akhirnya menyebabkan penerimaan pajak Negara berkurang.
Kesadaran perpajakan adalah suatu sikap terhadap fungsi
pajak, berupa komponen kognitif, afektif, dan konatif ( Suhardito
dan Sudibyo, 1999 : 5). Menurut Azwar ( 2007 : 24-27 ),
komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa
yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Komponen
afektif menyangkut emosional subjektif seseorang terhadap suatu
objek sikap. Sedangkan komponen konatif menunjukkan
bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada
dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya. Kesadaran perpajakan berkonsekuensi logis untuk
pelaksanaan fungsi perpajakan, dengan cara membayar kewajiban
pajaknya secara tepat waktu.
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib
pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan
kesadaran dan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Yaitu kesadaran
dan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang
sesuai dengan kebenarannya. Karena sebagian besar pekerjaan
dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib
pajak (dilakukan sendiri atau dibantu tenaga ahli), bukan fiskus
pemungut pajak. Sehingga kesadaran dan kepatuhan diperlukan,
dengan tujuan pada penerimaan pajak (Devano dan Rahayu,
2006:111-112).
Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya maka
kesadaran perpajakan WP mempengaruhi tingkat keberhasilan
penerimaan PBB.
2.2.9 Pengaruh Pemahaman Wajib Pajak terhadap Tingkat
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Pengaruh tingkat pemahaman WP terhadap keberhasilan
penerimaan PBB mengacu pada teori Kepentingan. Teori ini dalam
ajaran semula, hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang
harus didasarkan atas kepentingan masing-masing dalam
tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga
perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya.
Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
Negara untuk menunaikan kewajibannya, dibebankan kepada
mereka itu. (Tjahjono dan Husein, 2005:18)
Berdasarkan hasil penelitian Mu’minatus dan Istiqomah (
2005 : 73) besarnya pengaruh variabel tingkat pemahaman WP
sangat berpengaruh positif terhadap keberhasilan penerimaan PBB
dan tentunya tidak terlepas dari perilaku wajib pajak itu sendiri
yang terbentuk oleh beberapa faktor seperti sikap (attitudes),
motivasi (motivation), persepsi (perception), pembelajaran
(Learning), kepribadian (personality) dan juga dipengaruhi oleh
lingkungan dan dasar biologis dari wajib pajak.
Reformasi pajak diharapkan sistem pajak akan mudah
dipahami oleh setiap wajib pajak dan akan mendorong jumlah
wajib pajak akan makin luas (Suandy, 2005: 101-102). Karena
dengan reformasi pajak selain aturannya yang sederhana juga
dalam perhitungan jumlah pembayaran pajaknya dengan baik dan
benar (Gunadi, dkk, 2001: 8). Sehingga dengan peraturan pajak
yang sederhana dan mudah dimengerti oleh wajib pajak akan
Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya maka
pemahaman WP mempengaruhi tingkat keberhasilan penerimaan
PBB.
2.2.10 Pengaruh Kemampuan Wajib Pajak Terhadap Tingkat
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Pengaruh tingkat kemampuan WP terhadap keberhasilan
penerimaan PBB mengacu pada teori Gaya Pikul .Dasar teori yang
digunakan adalah keadilan yaitu bahwa setiap orang harus
dikenakan pajak yang sama beratnya. Namun demikian besarnya
pemungutan pajak didasarkan berdasarkan gaya pikul (kekuatan)
masing-masing WP. Ukuran utama gaya pikul adalah besarnya
penerimaan yang diterima dan pengeluaran yang
dilakukan.(Tjahjono dan Husein,2005:18)
Berdasarkan hasil penelitian Mu’minatus dan Istiqomah (
2005 : 73) besarnya pengaruh variabel tingkat kemampuan WP
sangat berpengaruh positif terhadap keberhasilan penerimaan PBB
dan tentunya tidak terlepas dari perilaku wajib pajak itu sendiri
yang terbentuk oleh beberapa faktor seperti sikap (attitudes),
(Learning), kepribadian (personality) dan juga dipengaruhi oleh
lingkungan dan dasar biologis dari wajib pajak.
Dalam bukunya mengenai pajak pendapatan (pajak yang
penting) (yang diterbitkan antara tahun 1930-1940), Sinnighe
Damste menyatakan pendapatnya, bahwa gaya pikul ini adalah
akibat dari bermacam-macam komponen terutama pendapatan,
kekayaan, dan susunan keluarga wajib pajak itu dengan mengingat
faktor-faktor yang mempengaruhi keadaannya (Brotodiharjo, 1986:
31-33).
PBB merupakan objek kebendaan, dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau
bangunan, sedangkan keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak (Anonim, 2007: XII.I) walaupun
demikian PBB dibayar oleh pendapatan WP (Suhardito dan
Sudibyo, 1999: 5).
Dalam ketentuan yang sekarang berlaku (UU No.12 Tahun
1985 jo.UU No.12 Tahun 1994 jo.PP Nomor 2002) banyak terjadi
kenaikan PBB yang berkelanjutan. Kenaikan ini semakin lama
mencekik wajib pajak, sehingga wajib pajak kewalahan untuk
melunasinya, karena belum tentu mereka memiliki penghasilan
yang terus naik setiap tahunnya (Karnanto, 2006: 39). Dengan
akan berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya maka
kemampuan WP mempengaruhi tingkat keberhasilan penerimaan
PBB.
2.2.11 Pengaruh Sistem Pemungutan terhadap Tingkat
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Pengaruh Sistem Pemungutan WP terhadap keberhasilan
penerimaan PBB mengacu pada teori Asas Daya Beli. Menurut
teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil gaya beli dari rumah tangga-rumah tangga dalam
masyarakat untuk rumah tangga Negara, dan kemudian
menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk
memelihara hidup masyarakat dan untuk membawa ke arah
tertentu.(Tjahjono dan Husein,2005:18)
Berdasarkan hasil penelitian Mu’minatus dan Istiqomah (
2005 : 73) besarnya pengaruh variabel sistem pemungutan WP
sangat berpengaruh positif terhadap keberhasilan penerimaan PBB
dan tentunya tidak terlepas dari perilaku wajib pajak itu sendiri
yang terbentuk oleh beberapa faktor seperti sikap (attitudes),
(Learning), kepribadian (personality) dan juga dipengaruhi oleh
lingkungan dan dasar biologis dari wajib pajak.
Dalam abad 18 Adam Smith dalam bukunya “ An Inquiry
Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations” terkenal
dengan nama “Wealth of Nation” melancarkan ajarannya sebagai
asas pemungutan pajak yaitu asas Certainty. Asas ini ditekankan
pada pentingnya kepastian tentang pemungutan pajak, yaitu
kepastian mengenai hukum yang mengaturnya, subjek pajak, objek
pajak, dan tata cara pemungutannya. Kepastian ini menjamin setiap
wajib pajak untuk tidak ragu-ragu membayar pajaknya karena
segala sesuatunya sudah jelas (Brotodiharjo, 1986 : 27).
Di Indonesia sejak reformasi perpajakan pada tahun 1983,
sistem pemungutan pajak yang berlaku adalah self assessment
system.Self assessment system adalah suatu sistem perpajakan yang
memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan
melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Tata cara
pemungutan pajak dengan self assessment system akan berhasil
dengan baik bila masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin
pajak yang tinggi (Devano dan Rahayu, 2006 : 81).
Menurut Soemitro dan Muttaqin (2001: 5) bahwa untuk
sementara waktu sistem self assessment system mengingat tingkat
oleh DPR diusulkan supaya lambat laun sistem itu juga diterapkan
pada Pajak Bumi dan Bangunan.
Perhitungan PBB sering dikatakan sebagai perhitungan yang
sifatnya semi self assessment. Dikatakan demikian karena untuk
mengetahui berapa besar jumlah pajak yang terutang butuh
kerjasama antara wajib pajak dan fiskus. Wajib pajak terlebih
dahulu melaporkan Objek Pajak PBB dan berdasarkan laporan
tersebut, barulah fiskus menetapkan jumlah PBB yang harus
dibayarnya.
Ternyata tidak ada sistem perpajakan suatu Negara yang
sempurna, sistem perpajakan di Indonesia juga ternyata belum
mengarah pada dasar prinsip-prinsip yang baik. Banyak aspek
perpajakan yang belum memiliki kepastian hukum, rasa keadilan
bagi wajib pajak juga belum terwujud dengan baik keadaan yang
demikian itu tentunya akan menghambat pemungutan pajak.
Dengan sistem perpajakan yang baik tentunya pengumpulan pajak
akan lebih optimal (dalam hal ini adalah PBB) (Devano dan
Rahayu,2006 : 116-117).
Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya maka
sistem pemungutan WP mempengaruhi tingkat keberhasilan
2.2.12 Pengaruh Tingkat Kesadaran Perpajakan WP, Tingkat
Pemahaman WP, Tingkat Kemampuan WP, dan Sistem
Pemungutan Terhadap Tingkat Keberhasilan Penerimaan
PBB
Kesadaran adalah keadaan tahu, mengerti, dan ingat
kepada hal yang benar (Poerwadarminta, 1987). Sedangkan
Perpajakan ialah mengatur ketentuan dan tata cara, hak dan
kewajiban wajib pajak, meliputi pembayaran pajak, dan pemungut
pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga kesadaran wajib pajak adalah keadaan yang timbul
dalam diri wajib pajak atas kewajibannya untuk membayar Pajak
Bumi dan Bangunan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban
perpajakan tidak hanya tergantung pada masalah-masalah teknis
saja yang menyangkut metode pemungutan, tarif pajak, teknis
pemeriksaan, penyidikan penerapan sanksi sebagai perwujudan
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dan pelayanan kepada wajib pajak selaku pihak
pemberi dana bagi Negara dalam hal membayar pajak. Disamping
itu juga tergantung pada kemauan wajib pajak juga, sampai sejauh