ABSTRAK
Purwandani, Maria Retno. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan
Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi.
Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD
Penelitian ini membahas penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Obyek penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.
Penelitian mengenai penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini menggambarkan penggunaan unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan monolog di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Metode pengumpulan data yang digunakan dengan teknik baca catat. Dalam analisis ini, peneliti mencoba memahami penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
ABSTRACT
Purwandani, Maria Retno. 2015. The Use of Intralingual and Extralingual
Elements within Language Power and Language Sense Value in Pengakuan Pariyem Prose Lyric as Well-mannered Communication. Thesis. Yogyakarta:
Indonesia Language and Literature Education Study Program, Department of Language and Arts, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.
The research discussed the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi, Ag. The purposes of the research were describing intralingual and extralingual elements within language power and language sense value. The research object was focused on the monologue discourse sentences which were spoken by Pariyen in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi.
The research was about the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value, the kind of the research was qualitative descriptive research. The research described the use of intralingual and extralingual elements of monologue discourses in Pengakuan Pariyem lyric prose. The data gathering method was reading and writing techniques. In the analysis research, the researcher tried to understand the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value as well-mannered communication marker.
PADA PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM
SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh :
Maria Retno Purwandani
111224042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PADA PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM
SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh :
Maria Retno Purwandani
111224042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur atas berkat dan karunia Allah Bapa Yang Maha Baik, Tuhan
Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa menguatkan saya dalam
menyelesaikan skripsi ini. Karya ini saya persembahkan kepada :
Mathias Reinhard Erid Danularto dan Agnes Wijiyati yang telah
v MOTTO
“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh
kepercayaan, maka kamu akan menerimanya”
(Matius 21:22)
“Berjuanglah terus hingga tidak ada yang mampu menghentikan
langkahmu untuk mencapai tujuan yang kamu inginkan”
viii ABSTRAK
Purwandani, Maria Retno. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD
Penelitian ini membahas penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Obyek penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.
Penelitian mengenai penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini menggambarkan penggunaan unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan monolog di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Metode pengumpulan data yang digunakan dengan teknik baca catat. Dalam analisis ini, peneliti mencoba memahami penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
ix ABSTRACT
Purwandani, Maria Retno. 2015. The Use of Intralingual and Extralingual Elements within Language Power and Language Sense Value in Pengakuan Pariyem Prose Lyric as Well-mannered Communication. Thesis. Yogyakarta: Indonesia Language and Literature Education Study Program, Department of Language and Arts, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.
The research discussed the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi, Ag. The purposes of the research were describing intralingual and extralingual elements within language power and language sense value. The research object was focused on the monologue discourse sentences which were spoken by Pariyen in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi.
The research was about the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value, the kind of the research was qualitative descriptive research. The research described the use of intralingual and extralingual elements of monologue discourses in Pengakuan Pariyem lyric prose. The data gathering method was reading and writing techniques. In the analysis research, the researcher tried to understand the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value as well-mannered communication marker.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan pada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, atas
berkat, bimbingan dan kuasaNya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga
skripsi yang berjudul “Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam
Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai
Penanda Kesantunan Berkomunikasi” dapat terselesaikan dengan baik.
Penyusunan penelitian dilakukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar
kesarjanaan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata
Dharma.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma yang turut memperlancarkan penulisan skripsi
ini.
2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia yang selalu memberikan dukungan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., dan Dr. Y. Karmin, M.Pd., selaku dosen
pembimbing yang selama ini bersedia meluangkan waktu dan tenaganya
untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan yang sangat
bermanfaat untuk penyusunan skripsi ini hingga terselesaikan dengan baik.
4. Para Dosen PBSI yang telah mendidik dan memberikan pengetahuan yang
sangat berguna bagi penulis selama perkuliahan maupun di luar jam
perkuliahan.
5. Robertus Marsidiq, selaku staff administrasi sekretariat PBSI yang telah
membantu kelancaran perkuliahan dan akademik penulis.
6. Kedua orang tuaku Mathias Reinhard Erid Danularto dan Agnes Wijiyati,
terima kasih atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, doa, semangat,
xii
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
HALAMAN MOTTO... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii
ABSTRAK... viii
ABSTRACK... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR BAGAN... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian... 5
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian... 6
1.6 Batasan Istilah ... 7
1.7 Sistematika Penyajian... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA... 10
2.1 Penelitian yang Relevan ... 10
2.2 Kerangka Teori... 11
2.2.1 Daya Bahasa ... 12
2.2.2 Nilai Rasa... 14
2.2.3 Unsur Intralingual ... 19
2.2.4 Unsur Ekstralingual... 28
2.2.5 Pragmatik ... 33
2.2.6 Semantik... 41
2.2.7 Pragma semantik ... 42
2.2.8 Fungsi Komunikatif ... 43
xiii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 49
3.1 Jenis Penelitian ... 49
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian... 49
3.3 Instrumen Penelitian... 50
3.4 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ... 51
3.5 Teknik Analisis Data ... 51
3.6 Triangulasi Data ... 52
BAB IV ANALISIS DATA... 53
4.1 Deskripsi Data ... 53
4.2 Analisis Data ... 54
4.2.1 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa... 54
4.2.1.1 Daya Kabar... 55
4.2.1.2 Daya Imajinasi ... 73
4.2.1.3 Daya Retoris... 87
4.2.1.4 Daya Ancam... 92
4.2.1.5 Daya Paksa ... 97
4.2.1.6 Daya Harap... 102
4.2.1.7 Daya Penolakan... 105
4.2.1.8 Daya Tantangan ... 107
4.2.2 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa... 109
4.2.2.1 Nilai Rasa Halus... 109
4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar... 117
4.2.2.3 Nilai Rasa Sadar Diri ... 122
4.2.2.4 Nilai Rasa Takut-Cemas ... 125
4.2.2.5 Nilai Rasa Yakin ... 128
4.2.2.6 Nilai Rasa Heran ... 136
4.2.2.7 Nilai Rasa Bersalah ... 142
4.2.2.8 Nilai Rasa Sedih... 148
4.2.2.9 Nilai Rasa Bahagia... 153
4.2.2.10 Nilai Rasa Marah... 161
4.2.2.11 Nilai Rasa Menerima... 165
4.2.2.12 Nilai Rasa Cinta ... 169
xiv
4.2.2.16 Nilai Rasa Sakit... 181
4.3 Pembahasan... 184
4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan ... 184
4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan ... 193
BAB V PENUTUP... 210
5.1 Kesimpulan... 210
5.1.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa... 210
5.1.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa ... 211
5.2 Saran-Saran ... 212
DAFTAR PUSTAKA... 214
LAMPIRAN... 216
xv
xvi
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa pada hakikatnya adalah lambang bunyi yang digunakan sebagai
sarana berkomunikasi, berinteraksi dalam berbagai bentuk percakapan. Bahasa
digunakan untuk berbagai keperluan misalnya sebagai alat komunikasi manusia,
sarana penyampaian informasi, mengutarakan pikiran, menyatakan ide,
mengungkapkan pendapat dan perasaan terhadap orang lain. Jelas terlihat bahasa
memiliki peranan yang sangat penting dalam berkomunikasi. Bahasa menjadi alat
yang paling efektif dalam aktivitas komunikasi, dengan adanya bahasa setiap
individu dapat menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya. Melalui bahasa,
manusia dapat mengungkapkan apa yang ia lihat, yang ia dengar dan rasakan.
Karya sastra ialah suatu ungkapan pengalaman manusia dalam bentuk bahasa
yang ekspresif dan mengesankan (Sumardjo, 1984:25). Karya sastra adalah media
yang banyak digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan bahkan
untuk menunjukkan bentuk apresiasi diri. Melalui karya sastra segala bentuk
imajinasi dan kreativitas manusia dalam tertuang di dalamnya. Mengapresiasi
sebuah karya sastra sebagai salah satu bentuk komunikasi yang membutuhkan
tingkat pemahaman yang cukup tepat. Pada dasarnya memahami komunikasi
melalui karya sastra jauh lebih dapat memberikan kedalaman arti tersendiri bagi
Karya sastra mampu berbicara banyak mengenai bentuk komunikasi yang
digunakan di dalam masyarakat. Proses kreatif untuk membuat karya sastra dapat
melalui perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas kehidupan
sosial dan lingkungan kemasyarakatan dimana pengarang itu tumbuh, hidup dan
berkembang (Sumardjo, 1984:15). Salah satu bentuk karya sastra yang unik ialah
prosa lirik. Menurut Wiryosoedomo (1984:103), prosa lirik atau prosa berirama
ialah bentuk sastra Indonesia yang sepintas mendekati puisi karena mempunyai
irama yang agak kuat sekalipun tidak sekuat puisi. Sejalan dengan pendapat di
atas, Sudjiman (1984:61) menyatakan pendapatnya bahwa prosa lirik ialah karya
sastra yang ditulis dalam ragam prosa tetapi dicirikan oleh unsur-unsur puisi
seperti nama yang teratur, majas, rima, asonansi, konsonansi dan citraan. Jadi
prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis
dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi.
Dalam berkomunikasi, setiap orang selalu menggunakan daya bahasa dan
nilai nilai rasa yang terdapat dalam tuturannya tidak terkecuali pada karya sastra.
Namun, pada kenyataannya banyak orang belum menyadari bahwa daya bahasa
dan nilai rasa menjadi penanda kesantunan dalam berkomunikasi. Penggunaan
bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang, artinya melalui bahasa yang
digunakan seseorang dapat diketahui bagaimana watak atau kepribadiannya.
Menurut Pranowo (2012) santun tidaknya penggunaan bahasa dapat dilihat dari
dua hal yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Ketepatan pemilihan kata oleh
seseorang dapat menjadi salah satu penentu santun atau tidaknya bahasa yang
menimbulkan efek tertentu. Selain itu, di samping memiliki makna tertentu setiap
kata memiliki daya (kekuatan) bahasa tertentu pula. Daya bahasa adalah kadar
kekuatan bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan maksud untuk
meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi. Daya bahasa adalah kadar
kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui
fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap
makna, informasi atau maksud penutur/penulis (Pranowo, 2009:128).
Memanfaatkan segala daya bahasa atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa
merupakan cara mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan
yang terdapat dalam sebuah bahasa (Pranowo, 2009). Dalam berbahasa dengan
memanfaatkan daya yang dimiliki oleh bahasa melalui kata adalah salah satu cara
seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaan sesuai dengan maksud yang ingin
dicapai. Misalnya dalam tuturan “Ayo dukung gerakan 2 anak saja cukup dari
pemerintah!” dalam tuturan ini mengandung daya “persuasif” supaya setiap
keluarga mengikuti upaya pemerintah membentuk keluarga berencana.
Nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan
karena penutur mengungkapkan sikapnya dalam menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi sehingga mitra tuturnya dapat menyerap kadar perasaan yang
terdapat dalam tuturan. Nilai rasa dapat muncul melalui unsur intralingual seperti
permainan bunyi, pilihan kata, gaya bahasa, ungkapan dan konteks bahasa. Nilai
rasa ialah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa atau perasaan
sedih, senang, suka, duka, benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dll
(Poerwadarminta, 1967:34)
Dalam penggunaan nilai rasa lebih menekankan pada perasaan yang dapat
diungkapkan melalui berbagai ungkapan perasaan misalnya senang, sedih, marah,
takut, benci, dan sebagainya. Di setiap tuturan, penutur berharap pada mitra
tuturnya agar mengerti perasaan yang sedang dialami oleh penutur, sehingga mitra
tutur dapat mempersepsi sesuai dengan apa yang dirasakan oleh penutur. Tidak
jauh berbeda dengan daya bahasa, untuk dapat mengetahui nilai rasa dalam
berkomunikasi, perlu diperhatikan pilihan kata (diksi) yang digunakan oleh
penutur atau mitra tutur serta konteks pembicaraan yang menyertai di setiap
tuturan. Kata-kata yang mengandung nilai rasa antara lain menggunakan kata-kata
yang berkaitan dengan perasaan, kata-kata kasar ataupun lembut. Kata-kata yang
mengandung nilai rasa akan terasa tidak pas apabila terdapat kesalahan dalam
penggunaannya.
Misalnya dalam tuturan “Maaf, apakah Bapak melihat kunci motor di meja
ini?” mengandung nilai rasa “halus” meskipun modusnya berupa pertanyaan
tetapi penggunaan kata “maaf” memberikan kesan hati-hati dalam bertanya
dikarenakan rasa khawatir apabila orang yang ditanya tidak berkenan dengan
pertanyaan tersebut.
Menurut Gorys Keraf (1984:113), bahasa yang baik harus mengandung unsur
kejujuran, sopan santun, dan menarik. Jujur memiliki pengertian bahwa
penggunaan bahasa sesuai dengan aturan dan kaidah yang baik dan benar serta
kejelasan dan kesingkatan. Tidak jarang ditemukan bahasa halus saat ini
digunakan untuk menyembunyikan perasaan serta emosinya si penutur. Bahasa
halus yang dasarnya bertujuan untuk menjaga tata krama dan sopan santun kini
beralih fungsi menjadi bahasa sindiran.
Daya bahasa dan nilai rasa dapat ditemukan dalam berbagai bentuk
penggunaan bahasa. Keduanya menjadi aspek penting sebagai penanda
kesantunan berkomunikasi. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual daya
bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus
Suryadi belum banyak diteliti, padahal terdapat banyak daya bahasa dan nilai rasa
bahasa yang terkandung dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem ini, namun belum
banyak orang yang menyadari hal ini. Berdasar latar belakang inilah maka
fenomena ini layak untuk dikaji lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi fokus permasalahan
yaitu :
1. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk
memunculkan daya bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai
penanda kesantunan berkomunikasi ?
2. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk
memunculkan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang
mampu memunculkan daya bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem
sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
2. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang
mampu memunculkan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan
Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian pragmatik yang
mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dengan memperhatikan
penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual bahasa.
Data penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang
diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus
Suryadi.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu :
Bagi peneliti
Bagi peneliti, manfaat dari penelitian ini yakni mengetahui penggunaan
yang digunakan dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda
kesantunan berkomunikasi.
Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menyadarkan masyarakat bahwa di setiap tuturan
mereka mengandung unsur intralingual dan ekstralingual baik daya bahasa
maupun nilai rasa bahasa, dengan demikian masyarakat mampu memahami
dan menggunakannya sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.
Bagi teori kebahasaan
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap teori
kebahasaan terutama di bidang kesantunan berbahasa, bahwa unsur
intralingual dan ekstralingual baik itu daya bahasa maupun nilai rasa bahasa
itu dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
1.6 Batasan Istilah
1. Unsur Intralingual
Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk
memunculkan daya bahasa dan nilai rasa. Unsur intralingual itu merupakan
segala aspek bahasa baik yang berupa bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat dan
wacana yang membentuk satu kesatuan makna. (Pranowo, 2013:45).
2. Unsur Ekstralingual
Unsur ekstralingual adalah unsur bahasa yang berada di luar unsur internal
bahasa. Unsur ekstralingual merupakan unsur yang berada di luar bahasa
yang selalu menyertai tuturan dan konteks situasi komunikasi (Pranowo,
2009:97-98).
3. Daya bahasa
Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna,
informasi atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar
mampu memahami dan menangkap makna, informasi atau maksud penutur
atau penulis (Pranowo, 2009).
4. Nilai rasa
Nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan
karena penutur mengungkapkan sikapnya dalam menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi sehingga mitra tuturnya dapat menyerap kadar perasaan
yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa ialah kadar rasa yang tercantum
dalam isi kata itu. Rasa atau perasaan maksudnya ialah sekalian gerakan
hati, segala yang terasa dalam batin seperti : sedih, senang, suka, duka,
benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dll (Poerwadarminta, 1967:34).
5. Prosa Lirik
Prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang
ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi. Menurut
Wiryosoedomo (1984:103), prosa lirik atau prosa berirama ialah bentuk
sastra Indonesia yang sepintas mendekati puisi karena mempunyai irama
yang agak kuat sekalipun tidak sekuat puisi. Prosa lirik ialah perpaduan
antara prosa dan puisi.
Bahasa yang santun adalah bahasa yang dapat mencerminkan perilaku
penutur sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat (Pranowo,
2009). Penggunaan bahasa yang santun terlihat dari penggunaan prinsip
kesantunan berkomunikasi yang terlihat dari tuturan yang diucapkan.
1.7 Sistematika Penyajian
Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I adalah
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, batasan istilah dan sistematika penyajian. Bab II studi
kepustakaan yang berisi tinjauan kepustakaan (penelitian yang relevan), kajian
teori dan kerangka berpikir. Bab III adalah metodologi penelitian yang berisi
jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik pengumpulan data,
instrumen penelitian, teknik analisis data dan triangulasi data. Bab IV adalah
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan penelitian yang relevan dengan masalah yang
akan diteliti serta landasan teori yang dipakai penulis sebagai dasar dalam
melakukan penelitian.
2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan topik ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Qonita Fitra Yuni yang berjudul Pemanfaatan Daya Bahasa pada Diksi
Pidato Politik (Yuni, Qonita Fitra : 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Qonita
mendeskripsikan penggunaan daya bahasa apa saja, jenis-jenis, manfaat dan
ciri-ciri daya bahasa yang digunakan dalam pidato politik para tokoh-tokoh politik.
Persamaan penelitian ini yakni mengkaji pemanfaatan daya bahasa yang terdapat
dalam ujaran, sedangkan perbedaannya terdapat pada obyek yang diteliti.
Penelitian Qonita bersumber pada pidato politik sedangkan penelitian saya
bersumber pada prosa lirik Pengakuan Pariyem. Hal yang membedakan lagi,
penelitian Qonita hanya terfokus pada penggunaan pilihan kata atau diksi
sehingga penelitian yang dilakukannya cenderung lebih sempit ruang lingkupnya.
Penelitian yang lain adalah penelitian dari Dini Suryani yang berjudul Nilai
Rasa pada Diksi Dialog Interaktif di Mata Najwa, Metro TV Bulan Oktober dan
November 2012 (Suryani, Dini : 2013). Penelitian ini mendeskripsikan jenis-jenis
dan ciri-ciri nilai rasa yang terdapat pada dialog interaktif Mata Najwa. Persamaan
terletak pada obyek penelitiannya. Penelitian yang dilakukan Dini Suryani
bersumber pada dialog interaktif Mata Najwa, Metro TV, sedangkan penelitian
saya bersumber pada prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.
Penelitian yang relevan selanjutnya ialah Sridarni yang berjudul Sikap Pasrah
Tokoh Utama Wanita Jawa dalam Novel Prosa Lirik Pengakuan Pariyem Karya
Linus Suryadi Ag Suatu Tinjauan Sosiologis (Sridarni, 1999). Penelitian ini
mendeskripsikan struktur intrinsik, sikap pasrah wanita Jawa, dan relevansinya di
bidang pembelajaran sastra. Persamaan penelitian ini dengan penelitian saya yakni
obyek kajiannya sama-sama mengkaji prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus
Suryadi Ag. Adapun perbedaan penelitian saya dari penelitian Sridarni yaitu
mengkaji mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan
nilai rasa.
Dari uraian di atas membuktikan bahwa penelitian yang mengkaji tentang
unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa pada prosa
lirik Pengakuan Pariyem belum pernah dikaji. Penelitian tersebut layak untuk
diangkat sebagai penelitian.
2.2 Kerangka Teori
Di bawah ini diuraikan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan
teoritis penelitian ini menggunakan teori pragmatik dan teori semantik, kedua
teori tersebut digunakan sebagai ancangan untuk mengidentifikasi dan
mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan
2.2.1 Daya bahasa
Memanfaatkan segala daya atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa
merupakan mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan yang
terdapat dalam sebuah bahasa (Pranowo, 2009). Daya bahasa adalah kadar
kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui
fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap
makna, informasi atau maksud penutur/penulis (Pranowo, 2009:128-129). Daya
bahasa adalah kadar kekuatan bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan
maksud untuk meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi. Misalnya
dalam tuturan “Ayo dukung gerakan 2 anak saja cukup dari pemerintah!” dalam
tuturan ini mengandung daya “persuasif” supaya setiap keluarga mengikuti upaya
atau anjuran dari pemerintah membentuk keluarga berencana. Tuturan dapat
dikatakan santun jika daya bahasa yang digunakan dapat dioptimalkan fungsinya
melalui aspek semantik dan pragmatik.
Memanfaatkan segala daya yang dimiliki oleh bahasa adalah salah satu upaya
yang dilakukan oleh seseorang dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan
sesuai dengan maksud yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. Namun, hal ini
terkadang tidak mudah untuk dilakukan oleh setiap orang karena tidak semua
orang memiliki kemampuan untuk mengenali kekuatan yang dimiliki oleh setiap
bahasa. Pemanfaatan daya bahasa dapat dilihat melalui tataran bentukan kata-kata.
Kata-kata yang tidak berafiks terkadang memiliki daya bahasa yang lebih kuat
daripada kata yang menggunakan afiks. Misalnya, kata “babat” lebih kuat daya
“Perambah hutan itu babat habis semua pohon yang berdiameter 10 cm ke atas”
(Pranowo, 2009:135). Kekuatan yang dimiliki oleh bahasa dapat dimanfaatkan
oleh seseorang untuk mengefektifkan penyampaian pesan atau menciptakan
kesantunan dalam komunikasi.
Daya bahasa secara linguistik dapat diidentifikasi melalui berbagai aspek
kebahasaan seperti bunyi, kata, kalimat, leksikon (terutama pada pilihan kata).
Daya bahasa dapat dilihat secara pragmatik dapat diidentifikasi melalui
pemakaian bahasa yang dibangun oleh penutur dengan tujuan tertentu, seperti
praanggapan, tindak tutur, deiksis dan implikatur (Pranowo, 2009). Daya bahasa
dapat juga digali melalui tataran pembentukan kata. Kata yang satu dengan yang
lain akan memiliki daya bahasa yang berbeda-beda. Daya bahasa dapat ditemukan
dalam hampir seluruh pemakaian bahasa. Salah satu pemakaian bahasa yang
sangat produktif dalam memanfaatkan daya bahasa ialah karya sastra. Hampir
seluruh seniman dalam menghasilkan karya sastra menggunakan daya bahasa
yang terdapat dalam seluruh tataran bahasa untuk membangun keindahan dan
mengungkapkan amanat agar dapat dinikmati dan dipahami oleh pembacanya.
Daya bahasa dapat dipergunakan untuk :
a. meningkatkan efek komunikasi,
b. mengurangi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang
diungkapkan, dan
c. memperindah pemakaian bahasa, dan sebagainya.
Apapun fungsi komunikatif, setiap komunikasi pasti ingin agar pendengar atau
tujuan komunikasi itu, seseorang dapat memanfaatkan bahasa dengan segala
kekuatan bahasa agar komunikasi dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan
harapannya.
2.2.2 Nilai rasa
Menurut Poerwadarminta (1967 dalam Pranowo, 2013) nilai rasa adalah
kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Nilai rasa adalah kadar perasaan
yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain
afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat
menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan.
Pemakaian nilai rasa bahasa dalam setiap tuturan yang digunakan dalam
berkomunikasi dapat meningkatkan kesantunan dalam berkomunikasi. Dalam
berkomunikasi, pikiran dan perasaan diungkapkan secara berbeda dalam
penggunaan bahasanya. Apabila dalam menggunakan bahasa lebih cenderung
mengungkapkan pikiran maka yang terlihat dalam bahasanya yaitu aspek
kognitifnya saja. Namun berbeda halnya dengan bahasa yang digunakan untuk
mengungkapkan perasaan maka yang terlihat lebih dominan adalah aspek
afektifnya. Aspek afektif ini akan memunculkan modus seperti rasa senang,
sedih, bahagia, empati, dll.
Daya bahasa dan nilai rasa bahasa banyak digunakan dalam semua tindakan
komunikasi, baik bahasa secara lisan maupun tertulis. Menurut Poerwadarminta
(1967: 34-35), nilai rasa adalah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa
sedih, senang, suka, duka, benci, menghina, mengejek, hormat, dan sebagainya.
Nilai rasa dalam tuturan itu sendiri dapat diketahui dengan memperhatikan pilihan
kata atau diksinya, karena kata-kata emosi merupakan manifestasi perasaan
penutur. Selain itu juga harus memperhatikan bahasa nonverbalnya dan konteks
tuturan untuk mengetahui nilai rasa yang disampaikan penutur karena kata-kata
emosi jumlahnya terbatas sehingga perasaan tidak selalu disampaikan melalui
kata-kata. Menurut Poerwadarminta (1967: 35-36), ciri-ciri kata yang memiliki
nilai rasa yaitu menggunakan:
a. Kata Kasar (Perasaan)
Mencakup kata-kata yang berisi kadar rasa, seperti : rasa senang, benci,
menghina, mencemoohkan.
b. Kata Pelembut
Adanya sopan santun dan perasaan kemasyarakatan, seperti kata hormat
dan kata-kata bentukan baru.
c. Kata Kasar
Kata kasar seperti kata bangsat, sialan, dan lain sebagainya.
Suatu kata memiliki makna dan maksud. Makna kata yaitu arti kata tersebut,
sedangkan maksudnya itu sendiri terdapat pada isi tersebut. Arti katanya tidak
selalu sama dengan isi kata. Dalamnya isi kata tersebutlah yang dapat menemukan
maksud dan nilai rasanya.
Untuk mengetahui perasaan seseorang, kita perlu menganalisis emosi yang
dikeluarkan melalui tingkah laku maupun kata-katanya. Suprapti, dkk dalam
dalam 28 macam, yaitu malas, kelelahan, kesedihan, pesimis, takut, heran,
tertekan, marah, benci, bersalah, malu, muak, bosan, sunyi, kekosongan,
kedamaian-kebahagiaan, bebas, cinta, kangen, terasing, dipaksa-dibohongi,
dicintai, yakin-optimis, sehat, perasaan terhadap makanan, keinginan, menerima,
dan rasa kecil.
1. Malas-acuh:
Acuh, ogah, ogah-ogahan, segan, wegah, males, enggan.
2. Kelelahan:
Letih, cape, penat, lemes, pegal, pusing, pucat, sakit, perih, kesemutan,
gatal,ngantuk, lesu, pening, nyeri, dan getir.
3. Kesedihan:
Pilu, sedih, haru, terharu, trenyuh, kasihan, ngenes, tergugah,
prihatin,syahdu, susah, pedih, sendu, duka, iba, dan masygul.
4. Perasaan pesimis depresif:
Nelangsa, merana, malang, sial, sia-sia, putus asa, pesimis, kehilangan
pegangan, hina, kalah, apes, putus harapan, dan patah semangat.
5. Takut-cemas:
Kacau, bingung, gugup, gemetaran, tegang, cemas, gelisah, risau, was-was,
khawatir, bimbang, ragu-ragu, sangsi, panik, takut, ngeri, gentar, curiga,
ruwet, senewen, berdebar-debar, resah, ragu, seram, dan nanar.
6. Heran:
Kaget, heran, tercengang, terpukau, takjub, kagum, seperti mimpi, terkejut,
7. Tertekan:
Terdorong, terdesak, terpaksa, terkekang, terhambat, tertindas, terinjak,
terpukul, tersinggung, tersindir, tersudut, terancam, terikat, terbanting, dan
terhina.
8. Marah:
Sakit hati, jengkel, keki, kesal, dongkol, gedeg, geram, sebal, cape hati,
kecewa, marah, pitam, darah pendidih, kelap, sengit, panas, mangkel,
gondok, naik darah, dan amarah.
9. Benci:
Dendam, cemburu, iri, benci, antipati, sentimen, dan tidak menghargai.
10. Bersalah:
Bersalah, salah, dosa, menyesal, dan sesal.
11. Malu:
Malu, sungkan, kikuk, kaku,risi, dan jengah.
12. Muak:
Gilo,jijik, enak, mual, muak, dansenep.
13. Bosan:
Jeleh, jenuh, jemu, dan bosan.
14. Sunyi:
Kesepian, sepi, dan kehilangan.
15. Kekosongan:
Hampa, kosong, hambar, dan dingin.
Adhem, nyaman, aman, tentram,selamat, terlindungi, enak, nikmat, asyik,
betah, rileks, santai, gembira, riang, senang, besar hati, bangga, bahagia,
ayem, tenang, damai, dan girang.
17. Bebas:
Lega, plong,lapang, puas, untung, ringan, dan terlepas.
18. Cinta:
Suka, simpati, tertarik, cinta, sayang,dhemen,dan kasih.
19. Kangen:
Rindu, kangen, dan terkenang.
20. Terasing:
Terasing, terkucil, tak dihiraukan, diabaikan, dan asing.
21. Dipaksa-dibohongi:
Dipaksa, diburu-buru, diadu domba, ditipu, dikibuli, dininabobokan, dan
dibodohi,
22. Dicintai:
Terbelai, tersanjung, diperhatikan, disayangi, dibutuhkan, dipercaya, dan
dicintai.
23. Yakin optimis:
Yakin, optimis, kuat, cukup, danmantep.
24. Sehat:
Segar, sehat, dan sadar.
25. Perasaan terhadap makanan:
26. Keinginan:
Bernafas,ngantuk,dan ingin.
27. Menerima
Ikhlas, rela, pasrah, dan bersyukur.
28. Rasa kecil:
Sempit dan kecil.
2.2.3 Unsur Intralingual
Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk
memunculkan daya bahasa dan nilai rasa, sedangkan unsur ekstralingual adalah
unsur bahasa yang berada di luar unsur internal bahasa (Pranowo, 2009). Unsur
intralingual itu merupakan segala aspek bahasa baik yang berupa bunyi, kata,
frasa, klausa, kalimat dan wacana yang membentuk satu kesatuan makna maupun
aspek pemakaian bahasa seperti implikatur, tindak tutur, praanggapan, dsb
(Pranowo, 2013:45). Misalnya dalam pilihan kata, ungkapan khas, kata seru, kata
tutur, kata asing, kata basa-basi, kata honorifics (bentuk yang dipergunakan untuk
mengungkapkan suatu penghormatan), sapaan mesra “ayang, papi, bunda,
diajeng”, umpatan, pujian, dan lain sebagainya.
Unsur intralingual yang dimaksud adalah unsur-unsur kebahasaan yang
digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Teori semantik
digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual. Menurut
pandangan para linguis, makna bahasa selalu melekat pada unsur-unsur segmental
terkait dengan konteks tetapi ditentukan oleh ko-teks. Adapun unsur intralingual
di dalamnya memuat beberapa unsur yakni :
a. Kata dan Pilihan Kata
Istilah kata seringkali kita dengar dan kita gunakan. Menurut para ahli kata
didefinisikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu pengertian, kata
adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi dan memiliki satu arti.
Bloomfield (dalam Chaer, 2012:163) menyatakan bahwa kata ialah satuan
bebas terkecil (a minimal free from), sedangkan Chomsky berpendapat bahwa
kata adalah dasar dari analisis kalimat, hanya kata disajikan dengan simbol V
untuk kata verba, N untuk kata nomina, A untuk kata adjektiva, dan
sebagainya. Batasan tentang kata yang sering dijumpai yakni kata merupakan
bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak
dapat berubah dan ke luar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam
kalimat. Batasan ini menimbulkan dua hal yakni (1) setiap kata mempunyai
susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah serta tidak dapat
diselipi atau diselang oleh fonem lainnya; (2) setiap kata mempunyai
kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau juga dapat dipisahkan dari
kata lainnya.
Pengertian kata menurut Gorys Keraf (1984:21), kata adalah suatu unit
dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang
berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis entah morfologis) dan
secara relatif memiliki distribusi yang bebas. Dalam berkomunikasi kata-kata
kaidah-kaidah sintaksis yang ada dalam suatu bahasa. Pengertian yang tersirat dibalik
kata-kata itulah yang menjadi hal yang paling penting dalam serangkaian
kata.
Pengertian tersebut menyatakan bahwa di setiap kata pasti mengandung
suatu ide atau gagasan. Dengan kata lain, kata-kata ialah penyalur gagasan
dari pikiran kita yang disampaikan kepada orang lain. Seseorang yang
mempunyai banyak ide atau gagasan dapat dipastikan orang tersebut akan
dapat menguasai banyak kata atau luas kosakatanya. Dengan begitu ia dapat
dengan mudah dan lancar dalam berkomunikasi dengan orang lain. Tidak
dapat dipungkiri bahwa penguasaan kosakata sangatlah penting dalam
berkomunikasi.
Jadi kata dapat didefinisikan sebagai sebuah rangkaian bunyi atau simbol
tertulis yang menyebabkan orang akan berpikir tentang sesuatu hal dan
makna dari sebuah kata itu (referensinya).
Persoalan pilihan kata tidak dapat dianggap sebagai persoalan yang
sederhana. Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak jarang kita menemui orang
yang kesulitan mengungkapkan maksud pikirannya dan miskin dalam
perbendaharaan kosakata. Setiap orang seharusnya dapat memahami betapa
pentingnya peranan kata dalam berkomunikasi, sehingga seseorang dapat
menggunakan kata-kata yang tepat sesuai dengan pengertiannya bukan hanya
kata-kata yang hebat tanpa isi di dalamnya. Berkomunikasi tidak terlepas dari
penggunaan bahasa sebagai alat vital bagi manusia, sehingga mereka pun
persyaratannya yakni seseorang harus menguasai sejumlah besar
perbendaharaan kata (kosakata), kemudian ia mampu mengaplikasikannya
menjadi kalimat yang jelas dan efektif sesuai dengan kaidah sintaksis yang
berlaku, sehingga ia dapat menyampaikan ungkapan pikiran dan perasaannya
kepada orang lain.
Seseorang yang memiliki kosakata yang luas akan memiliki kemampuan
yang tinggi untuk dapat memilih kata yang paling tepat untuk mewakili
maksud atau gagasannya. Maka seseorang akan berusaha dengan cermat
memilih kata yang harus ia gunakan dalam konteks tertentu. Pilihan kata
tidak hanya mempersoalkan tentang ketepatan pemakaian kata, tetapi juga
mempersoalkan apakah kata yang digunakan itu dapat diterima atau tidak
dalam suatu suasana yang ada.
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa diksi ialah (1)
pemilihan kata-kata yang tepat dalam mengungkapkan gagasan, (2)
kemampuan melihat suasana tutur sehingga mampu menemukan kata yang
tepat untuk mengungkapkan gagasan, dan (3) pemilihan kata yang tepat dan
sesuai dengan pengertiannya hanya dapat dimungkinkan oleh orang yang
menguasai kosakata yang luas.
Persoalan pada pendayagunaan kata hanya meliputi dua aspek, yakni
ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan gagasan dan kesesuaian dalam
menggunakannya. Ketepatan diksi mempermasalahkan kesanggupan kata
untuk dapat menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi
penulis atau pembicara. Ketepatan dalam memilih kata tidak akan
menimbulkan salah paham.
Supaya kata-kata yang digunakan tidak mengganggu suasana dan tidak
menimbulkan ketegangan antara penulis/pembicara dengan pembaca atau
pendengar maka harus memenuhi syarat kesesuaian diksi (Keraf, 1984:103)
sebagai berikut :
1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam
suatu situasi yang formal.
2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja.
Dalam situasi yang umum hendaknya penulis atau pembicara
menggunakan kata-kata populer.
3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum.
4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian
kata slang.
5) Dalam penulisan jangan menggunakan kata percakapan.
6) Hindarilah ungkapan-ungkapan yang usang (idiom yang mati).
7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial.
b. Frasa
Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2005:138). Dalam frasa selalu
terdapat satu fungsi unsur klausa, bisa berupa subjek, predikat, obyek,
pelengkap atau keterangan. Frasa dapat dijadikan penunjuk adanya nilai rasa
Aku tidak melihat kejujuran di matamu !
(kKonteks : seorang bos marah terhadap anak buahnya karena ia telah berbohong)
Penggunaan frasadi matamusebagai keterangan terasa bernilai rasa sangat
kasar. Penyebutan mata untuk menyatakan keseluruhan tubuh seseorang
cukup tidak sopan, apalagi ditambah dengan gerakan tangan menunjuk kedua
bola mata mitra tutur. Dalam konsep Jawa, menggunakan kata-kata bagian
tubuh di atas leher termasuk tidak sopan. Ada baiknya apabila contoh kalimat
di atas diganti menggunakan kalimat aku tidak melihat kejujuran dalam
dirimu !akan terasa lebih halus dibandingkan dengan contoh kalimat di atas.
c. Klausa
Dalam hierarki bahasa klausa berada di atas tataran frasa. Ramlan (2005:
79) mengatakan bahwa klausa ialah satuan gramatik yang terdiri dari fungsi
subjek, predikat baik disertai obyek, pelengkap atau keterangan maupun
tidak. Jadi unsur inti klausa ialah adanya subjek dan predikat, namun yang
perlu diingat unsur wajib suatu klausa ialah adanya predikat yang lain bersifat
manasuka artinya boleh ada boleh tidak. Sebagaimana dengan frasa, klausa
pun dapat dijadikan sebagai penanda adanya nilai rasa dan daya bahasa dalam
suatu kalimat.
d. Kalimat
Bentuk bahasa terdiri dari dua satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan
gramatik. Satuan fonologik meliputi fonem dan suku, sedangkan satuan
gramatik meliputi wacana, kalimat, klausa, frase, kata dan morfem.
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang
atau pikiran dari pembaca atau penulis yang dirangkai melalui susunan
kata-kata. Kalimat bisa saja hanya terdiri dari satu atau dua kata saja. Menurut
Ramlan (2005:21-23) sesungguhnya yang menentukan satuan kalimat
bukanlah banyaknya kata di dalamnya yang menjadi unsur kalimat tetapi
intonasinya. Setiap satuan kalimat dibatasi dengan adanya jeda panjang yang
disertai nada akhir turun atau naik. Jadi dengan kata lain kalimat ialah satuan
gramatik yang dibatasi dengan jeda panjang yang disertai dengan nada akhir
turun atau naik.
Definisi mengenai kalimat tentunya sudah banyak dikemukakan oleh para
ahli, dari paparan mengenai definisi kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa
kalimat yaitu rangkaian kata-kata yang disusun untuk mengungkapkan
pikiran yang dibatasi dengan adanya nada atau intonasi.
e. Bahasa Verbal
Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama berupa kata, kalimat,
paragraf, dan wacana. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam bahasa verbal
(unsur intralingual) akan memiliki efek yang sangat kuat apabila didukung
oleh penggunaan bahasa nonverbal. Jika bahasa verbal itu bahasa tulis,
penanda jedanya berupa pemisah kata, koma, titik, pergantian paragraf dan
pergantian wacana. Apabila bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa lisan
maka penanda jeda dapat berupa intonasi, tekanan, dan irama. Dalam
penggunaan bahasa verbal lisan menggunakan permainan bunyi, permainan
kata, gaya bahasa dan idiom yang dapat memberikan efek komunikatif bagi
dalam bentuk ujaran atau tulisan (Pranowo, 2012:3). Komunikasi verbal
adalah komunikasi yang medium pengucapan kata-kata kepada orang lain
dapat melalui bentuk lisan atau tulisan. Komunikasi verbal baik itu yang lisan
ataupun tertulis tergantung pada penguasaan “kata” dan tatabahasa
(Liliweri,1994:5-7).
Sistem simbol dalam komunikasi verbal menurut Verdeber (dalam
Liliweri, 1994:42) terdiri dari (1) kata-kata yang diketahui (vocabulary) yang
dipelajari dengan cara tertentu dan (2) tata bahasa (grammar) dan sintaksis.
Unsur-unsur penting dari komunikasi terdiri dari : sumber, saluran, pesan,
kode (tanda atau simbol), penerima dan kerangka rujukan. Setiap unsur
komunikasi memberikan dukungan pada komunikasi verbal.
f. Makna
Setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua
unsur itu adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya mengacu
atau merujuk kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar
(ekstralingual). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:864) makna
adalah arti, maksud pembicara atau penulis, pengertian yang diberikan kepada
suatu bentuk kebahasaan. Makna terdapat dalam suatu ujaran, makna dapat
berarti maksud yang terdapat dalam sebuah ujaran. Menurut Poerwadarminto
(dalam Tarigan, 1985:9) makna memiliki pengertian arti atau maksud
(sesuatu kata); mengandung arti yang penting, menerangkan arti (maksud)
sesuatu kata dan sebagainya. Hornby berpendapat bahwa makna ialah apa
bahwa ada hubungan antara nama dan pengertian; apabila seseorang
mendengar kata ia tentu membayangkan bendanya dan apabila seseorang
membayangkan suatu benda ia akan segera mengatakan benda tersebut. Inilah
hubungan timbal-balik antara bunyi dan pengertian, dan inilah makna kata
tersebut (dalam Pateda, 1986:45). Bentuk-bentuk kebahasaan seperti
morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana memiliki konsep
bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut dengan makna (sense).
Makna menurut Wijana dan Rohmadi (2011:3) ialah konsep abstrak
pengalaman manusia tetapi bukanlah pengalaman orang per orang. Bentuk
kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia inilah
yang disebut dengan makna (sense), dan konsep berhubungan dengan sesuatu
atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut dengan referen (referent).
Makna berbeda dengan maksud dan informasi, karena maksud dan informasi
bersifat luar bahasa. Maksud adalah elemen di luar bahasa yang bersumber
dari pembicara dan bersifat subjektif, sedangkan informasi ialah elemen luar
bahasa yang bersumber dari isi tuturan dan bersifat obyektif.
Sejalan dengan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa makna ialah maksud atau arti yang terdapat dibalik setiap kata atau
ujaran yang memiliki arti penting.
Ujaran manusia dapat dilihat dari 4 segi yaitu : pengertian (sense),
perasaan (feeling), nada (tone), dan maksud (intention). Pengertian disebut
juga dengan tema pembicaraan, pengertian adalah upaya untuk dapat
salah. Pengertian dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dengan
pembaca/pendengar mempunyai kesamaan bahasa. Perasaan berhubungan
dengan sikap pembicara/penulis terhadap apa yang sedang dibicarakan. Maka
dari itu kita harus menggunakan kata-kata yang mempunyai makna sesuai
dengan perasaan apa yang akan kita ungkapkan. Aspek nada dalam ujaran
dapat berarti sikap pembicara terhadap kawan bicara. Dalam karya sastra
nada berhubungan dengan sikap penyair atau penulis dengan pembacanya.
Misalnya dalam penggunaan nada, apabila kita sedang kesal atau jengkel
nada pembicaraan yang kita gunakan ialah nada tinggi, sedangkan ketika
minta sesuatu nada yang digunakan pasti rendah atau mengiba-iba. Tujuan
merupakan maksud, apabila kita mengatakan sesuatu pasti ada maksud atau
tujuan di dalamnya.
2.2.4 Unsur Ekstralingual
Unsur ekstralingual merupakan suatu unsur yang berada dalam luar bahasa
atau di luar unsur internal, misalnya gerakan anggota tubuh, cara berbicara, sikap
sinis, lirikan mata, peristiwa lain, dan tuturan katanya (implikatur). Unsur
ekstralingual dapat berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dan
konteks situasi komunikasi (Pranowo, 2009:97-98).
Aspek non kebahasaan yang lainnya ialah konteks situasi komunikasi.
Konteks situasi komunikasi ialah segala keadaan yang melingkupi terjadinya
komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis
komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan pemakaian bahasa. Sebab,
konteks situasi komunikasi yang melingkupi terjadinya berbagai peristiwa dapat
memancing emosi penutur sehingga tuturannya terkesan keras dan tidak santun.
Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain,
bahasa membutuhkan suatu konteks tertentu dalam pemakaiannya begitu pula
sebaliknya konteks akan bermakna apabila terdapat tindak bahasa di dalamnya.
Konteks merupakanbackground knowledge assumed to be shared by s and h and
which contributes to h‟s interpretation of what s means by a given utterance
(latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur
sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud
oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu (s berarti speaker : penutur ; h
berarti hearer: lawan tutur) (Leech, 1983: 13). Konteks lebih sulit dibedakan dari
teks, informasi kontekstual ialah informasi yang diidentifikasi dalam
hubungannya satu dengan yang lainnya. Isi komunikasi dalam suatu tuturan dapat
diperoleh melalui kombinasi makna linguistik dan konteks sehingga pesan yang
ada dalam teks dapat dipahami.
Schiffrin dalam bukunya Ancangan Kajian Wacana (2007:549) banyak
berpendapat bahwa konteks dalam pembicaraan ialah “pengetahuan” dan “situasi”
dalam suatu tuturan. Konteks ialah situasi tutur atau latar terjadi suatu peristiwa
komunikasi, dapat dianggap bahwa konteks sebagai sebab dan alasan terjadinya
pembicaraan (Mulyana, 2005: 10).
Jadi konteks adalah latar belakang pengetahuan (informasi lain yang tidak
menambah kejelasan makna sehingga memudahkan kita untuk memahami
makna. Pemberian konteks dalam suatu teks akan memudahkan orang untuk
dapat memahami makna.
Menurut Pateda (2004: 228-229) konteks adalah situasi yang terbentuk oleh
karena adanya setting, kegiatan dan relasi. Interaksi atau tindak bahasa
didasarkan pada ketiga komponen tersebut. Ketiganya diuraikan sebagai berikut :
a. Setting meliputi waktu dan tempat situasi itu terjadi, yang termasuk
unsur setting yaitu : unsur-unsur material yang ada di sekitar interaksi
berbahasa, tempat (tata letak dan tata atur barang dan orang) dan
waktu (tata runtun atau pengatursn urutan waktu dalam peristiwa
interaksi berbahasa.
b. Kegiatan merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi
berbahasa.
c. Relasi meliputi hubungan antara penutur dan mitra tutur. Hubungan
ini meliputi : jenis kelamin, umur, kedudukan (status, peran, prestasi,
prestise), hubungan kekeluargaan, hubungan kedinasan.
Konteks baru muncul jika terjadi interaksi berbahasa yang sesuai dengan
setting, kegiatan dan relasi.
Konteks menurut Supardo (1988: 48-50) dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yakni konteks bahasa (konteks linguistik atau konteks kode) dan konteks
a. Konteks bahasa (konteks linguistik atau konteks kode), konteks ini berupa
unsur yang secara langsung membentuk struktur lahir, yakni kata, kalimat,
dan bangun ujaran atau teks.
b. Konteks nonbahasa (konteks nonlingustik), diklasifikasikan menjadi tiga,
yakni sebagai berikut.
(1) Konteks dialektal yang meliputi usia, jenis kelamin, daerah (regional),
dan spesialisasi. Spesialisasi adalah identitas seseorang atau sekelompok
orang dan menunjuk profesi orang yang bersangkutan.
(2) Konteks diatipik mencakup setting, yakni konteks yang berupa tempat,
jarak interaksi, topik pembicaraan, dan fungsi. Setting meliputi waktu,
tempat, panjang, dan besarnya interaksi.
(3) Konteks realisasi merupakan cara dan saluran yang digunakan orang
untuk menyampaikan pesannya.
Bahasa nonverbal merupakan salah satu unsur ekstralingual. Bahasa
nonverbal (unsur ekstralingual) juga tidak kalah penting dalam berkomunikasi.
Peran bahasa nonverbal akan nampak pada penggunaan bahasa lisan dalam
berkomunikasi. Bahasa nonverbal dapat berupa gesture yaitu gerakan tubuh atau
bagian tubuh yang berfungsi penting dalam berkomunikasi. Gesture dapat berupa
berupa kinestetik, kontak mata dan kinestetik sedangkan bahasa verbal dapat
berupa proksemik, artefak, maupun olfaktori (Brown,2004). Pranowo (2012:3)
menyatakan bahwa bahasa non-verbal ialah bahasa yang diungkapkan dalam
Pada dasarnya komunikasi ialah jalan yang menghubungkan manusia yang
satu dengan yang lainnya. Tidak hanya melalui kata-kata namun lewat diam atau
gerakan tubuh yang lain itu adalah bentuk komunikasi pula. Diam adalah salah
satu bentuk komunikasi antarpribadi, ketika kita berdiam diri maka kita telah
melakukan komunikasi non-verbal. Komunikasi non-verbal seringkali digunakan
untuk menggambarkan perasaan atau emosi seseorang. Apabila suatu pesan tidak
menunjukkan kekuatan pesan maka kita dapat menggunakan tanda-tanda
non-verbal sebagai pendukungnya. Komunikasi non-non-verbal disebut juga komunikasi
tanpa kata karena tidak berkata-kata dalam berkomunikasi hanya menggunakan
gerakan tubuh atau anggota tubuh bahkan tanpa suara (berdiam diri) (Liliweri,
1994:89). Komunikasi tidak hanya sekedar mengalihkan pesan dari pembicara ke
pendengar, namun dukungan tanda non-verbal dapat melengkapi kekurangan dari
komunikasi verbal. Knapp (dalam Liliweri, 1994:103-105) membedakan antara
komunikasi verbal dan non-verbal sebagai berikut :
a. Komunikasi verbal mempunyai ciri yang terpisah-pisah sedangkan
komunikasi verbal selalu berkesinambungan. Dalam komunikasi
non-verbal seseorang tidak dpat menghentikan gerakan anggota tubuh atas
perintah tanda baca, namun dalam komunikasi verbal kita berhenti membaca
atas perintah tanda-tanda baca (koma, titik, tanda tanya, tanda seru, dsb).
b. Komunikasi verbal merupakan saluran tunggal sedangkan komunikasi
non-verbal bersaluran banyak. Seringkali komunikasi non-non-verbal memberikan
banyak variasinya dibandingkan komunikasi verbal maka dari itulah disebut
sebagai saluran banyak.
c. Komunikasi verbal selalu di bawah pengawasan (kontrol) setiap manusia
secara sadar maupun sukarela, sedangkan komunikasi non-verbal tidak dapat
diawasi dengan baik apalagi sempurna. Sebagian besar komunikasi
non-verbal terjadi secara otomatis di setiap situasi.
2.2.5 Pragmatik
Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik, mengkhususkan
pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Kajian ini
menempatkan bahasa dalam pemakaiannya atau pemakaian bahasa dalam
konteksnya. Pragmatik adalah suatu studi yang mempelajari tentang makna yang
disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca).
Menurut Yule (2006:5) pragmatik ialah studi tentang hubungan antara
bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk-bentuk-bentuk itu. Studi mengenai pragmatik tidak
terlepas dari bagaimana cara orang saling memahami satu sama lain secara
linguistik tetapi kita juga harus memahami orang lain dan apa yang ada dalam
pikirannya. Cruse (dalam Cumming, 2007:2) mendefinisikan pragmatik sebagi
berikut :
Sejalan dengan dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik
berkaitan dengan informasi yang melalui bentuk-bentuk linguistik oleh
penuturnya. Penggunaan bentuk linguistiknya pun dapat berbeda-beda, ada yang
penggunaannya secara konvensi yang telah diterima masyarakat umum maupun
makna yang dikodekan sesuai dengan konteks pembicaraan.
Ruang lingkup pragmatik untuk memahami konteks tuturan dapat dilihat
dari berbagai aspek (Cummings, 2007:8-42), diantaranya tindak tutur,
praanggapan, implikatur, deiksis, yang akan dijabarkan di bawah ini :
a. Tindak tutur
Tindakan-tindakan yang ditampilkan melalui tuturan disebut dengan tindak
tutur (Yule,2006:82). Istilah-istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan
digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan.
Searle (dalam Schiffrin, 2007:70) menyatakan tindak tutur ialah unit dasar dari
komunikasi. Tindak tutur ialah peristiwa tutur yang dilakukan oleh penutur
kepada mitra tuturnya. J.L Austin (dalam Nababan, 1987:18) menyatakan tiga hal
yang terdapat dalam tindak tutur, yaitu :
(1) Tindak lokusi (locutionary act)
Adalah tindak tutur yang mengaitkan suatu topik dengan sesuatu
keterangan dalam suatu ungkapan. Memandang suatu kalimat/ ujaran
sebagai suatu “proposisi” yang terdiri dari subjek/topik dan
predikat/komentar.
Pengucapan apa yang dirasakan atau dipikirkan yang diwujudkan dalam
ungkapan. Memandang suatu kalimat atau ujaran sebagai tindakan
bahasa, seperti : menyuruh, memanggil, menyatakan persetujuan, dan
sebagainya.
(3) Tindak perlokusi
Efek atau apa yang dihasilkan dari kalimat/ujaran pada pendengar atas
ujaran itu sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan ujaran tersebut.
Dalam suatu tuturan mengandung setidaknya 3 tindakan yang saling
berhubungan (Yule, 2006:83) yaitu : tindak lokusi yaitu tindakan dasar tuturan
yang menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna, tindak ilokusi
merupakan bentuk tuturan dengan beberapa fungsi, penekanan ilokusi terdapat
pada komunikatif suatu tuturan. Tindak perlokusi adalah akibat apa yang
ditimbulkan dari ujaran itu. Menurut Yule, ada lima fungsi tindak tutur yaitu :
1) Deklaratif
Berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi
ada. Misalnya pernyataan setuju atau menyetujui : Saya nyatakan sidang
kali ini ditutup.
2) Representatif
Tindak tutur yang dipakai untuk menjelaskan, menyatakan,
memberitahukan, menolak, dan sebagainya. Misalnya : Saya tidak mau
menuruti perintahmu !
Tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan perasaan dan sikap
penutur. Mencerminkan pernyataan kegembiraan, kesedihan, kebencian,
kesenangan, dan sebagainya. Misalnya :Selamat ulang tahun !
4) Direktif
Tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar untuk
melakukan sesuatu. Tindak tutur ini berupa perintah, permohonan,
pemesanan, dll. Misalnya :Buatkan aku kopi pahit !
5) Komisif
Tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan kesanggupan atau
kesediaan penutur. Tindak ini dapat berupa berjanji, bernasar,
bersumpah, mengancam, dll. Misalnya : Aku berjanji akan membelikan
boneka itu.
b. Praanggapan
Ruang lingkup pragmatik untuk memahami konteks tuturan dapat dilihat dari
berbagai aspek (Cummings, 2007:42), salah satunya praanggapan.
Praanggapan ialah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam
ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Tidak semua inferensi yang tersirat dalam
ungkapan-ungkapan linguistik tertentu merupakan praanggapan yang tepat
terhadap suatu ujaran. Praanggapan ialah sikap penutur yang menganggap bahwa
mitra tutur telah mengetahui apa yang dibicarakan oleh penutur. Karena informasi
tertentu dianggap sudah diketahui maka informasi itu tidak akan dikatakan tetapi
tetap menjadi bagian dari apa yang disampaikan. Menurut Yule (2006:46-51)
praanggapan leksikal, praanggapan struktural, praanggapan faktif, praanggapan
non-faktif, praanggapan counter-factual.
c. Implikatur
Implikatur adalah efek yang ditimbulkan melalui ujaran, jadi penutur tidak
bermaksud menyebabkan efek tertentu melalui penggunaan ujarannya. Efek hanya
dapat dicapai dengan tepat apabila maksud untuk menghasilkan efek diketahui
oleh pendengarnya. Menurut Yule (2006:61) implikatur adalah informasi
tambahan yang tentunya lebih banyak memiliki makna daripada sekedar
kata-kata. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan melalui ujaran.
Dengan kata lain, implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang
berbeda dari yang diucapkan. Maksud pembicaraan terdapat di balik tuturan,
maksud implikatur merujuk pada bukan makna. Makna akan selalu berada dalam
tuturan tetapi maksud itu dibawa oleh penutur bukan terdapat dalam tuturan.
Apabila dalam sebuah kalimat memiliki maksud dan makna yang sama maka
kalimat itu tidak mengandung implikatur. Namun semua itu tergantung pada
konteks pembicaraannya.
Jenis-jenis implikatur :
1) Implikatur Konvensional
Implikatur yang maksud yang ingin disampaikan penutur sudah dimengerti
oleh mitra tutur. Misalnya :Maaf Pak, saya mau minta ijin ke belakang.
2) Implikatur Conversation (Percakapan)
Implikatur yang hanya dapat dipahami oleh orang yang terlibat dalam
Implikatur umum, tidak memerlukan pengetahuan khusus untuk
memahami maksudnya.
Implikatur khusus, diperlukan pengetahuan yang khusus untuk
menangkap maksud penutur.
Implikatur berskala, implikatur yang diambil dari daftar skala.
d. Deiksis
Deiksis ialah kata, frase, atau ungkapan yang referensinya dapat berubah atau
berganti-ganti. Istilah deiksis mengacu pada ungkapan dari kategori gramatikal
yang memiliki keragaman sama banyaknya dengan kata ganti dan kata kerja
yang menerangkan berbagai entitas dalam konteks sosial, linguistik atau ruang
dan waktu ujaran yang lebih luas.
George Yule dalam bukunya Pragmatik (2006:13) mengatakan deiksis berasal
dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan” melalui bahasa. Bentuk linguistik
yang dipakai untuk menyatakan penunjukan disebut ungkapan deiksis,
ungkapan-ungkapan deiksis disebut juga dengan indeksikal. Deiksis mengacu pada bentuk
yang terkait dengan konteks penutur, yang dibedakan secara mendasar antara
ungkapan-ungkapan deiksis yang “dekat” dan “jauh” dari penutur. Istilah “dekat
penutur” disebut dengan proksimal, misalnya : ini, di sini, sekarang. Sebaliknya
istilah “jauh dari penutur” disebut dengan distal, misalnya itu, di sana, pada saat
itu, dan sebagainya. Bentuk deiksis menurut Yule dapat diperinci lagi menjadi
deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu. Berbeda dengan yang diutarakan
oleh Nababan, beliau membagi deiksis menjadi 5 jenis, yakni deiksis persona,
1) Deiksis Persona
Menurut Yule, deiksis persona dengan jelas menerapkan 3 pembagian dasar,
yaitu :
a) Kata ganti orang pertama, yaitu rujukan pembicara pada dirinya sendiri
(saya, kami).
b) Kata ganti orang kedua, yaitu rujukan pembicara kepada seseorang atau
lebih (kamu, anda).
c) Kata ganti orang ketiga, rujukan pembicara kepada orang atau benda yang
bukan pembicara ataupun pendengar ( dia, mereka). Dalam istilah deiksis,
orang ketiga ialah orang yang bukan terkait secara langsung dalam
pembicaraan.
Kategori deiksis penutur, kategori deiksis lawan tutur, dan kategori deiksis
lainnya diuraikan panjang lebar dengan tanda status sosial kekerabatan.
Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan status lebih tinggi dideskripsikan
sebagai honorifics (bentuk yang digunakan untuk mengungkapkan
penghormatan).
2) Deiksis Tempat
Deiksis tempat yaitu tempat hubungan antara orang dan bendanya ditunjukkan.
Misalnya : di sini, di situ , di sana (Yule,2006:19). Sejalan dengan pendapat
Yule, Nababan (1987:41), deiksis tempat yaitu pemberian bentuk pada lokasi
ruang dipandang dari lokasi orang atau pemeran dalam peristiwa bahasa itu.
Deiksis tempat dibagi menjadi 3, yaitu :
b) Yang bukan dekat dengan pembicara dan dekat dengan pendengar,
misalnya:di situ
c) Yang bukan dengan pembicara maupun pendengar, misalnya:di sana
3) Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang
dimaksudkan oleh penutur di dalam peristiwa bahasa. Dalam hal ini, deiksis
atau rujukan waktu diungkapkan dalam bentuk “kala” (tense)
(Nababan,1987:41).
Contoh :
Pekan inisaya sedang berada di Yogyakarta. Dulusaya pernah tinggal di rumah itu.
Semua pemahaman ungkapan deiksis waktu (temporal) sangat tergantung
pada pemahaman seseorang tentang pengetahuan waktu tuturan yang relevan.
Waktu yang menunjukkan keadaan sekarang disebut dengan bentuk proksimal,
sedangkan waktu yang lampau adalah bentuk distal (Yule, 2006:22).
4) Deiksis sosial
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan status
kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Dalam
beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial di masyarakat antara pembicara dan
pendengar diwujudkan dalam sistem morfologi tertentu yang sering disebut
dengan tingkatan bahasa. Misalnya dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan
bahasa atau pembagian bahasa, penggunaan kata mangan-nedha-dhahar akan
Aspek bahasa seperti ini disebut dengan kesopanan berbahasa atau etiket
berbahasa. Sistem penggunaan bahasa seperti ini yang mendasari sopan santun
berbahasa atau honorifics.
5) Deiksis wacana
Deiksis wacana ini merujuk pada bagian-bagian tertentu yang terdapat dalam
wacana yang telah ada atau yang sedang dikembangkan. Deiksis ini mencakup
anafora dan katafora. Bentuk yang digunakan untuk menyatakan deiksis ini
ialah ini, itu berikut ini, begitulah, dan sebagainya. Ditinjau dari segi
referennya, deiksis terdiri dari :
a) Deiksis Eksofora
Deiksis eksofora adalah deiksis yang memiliki acuan atau referen di luar
tuturan itu sendiri.
b) Deiksis Endofora
Deiksis endofora ialah deiksis yang memiliki acuan atau referen di dalam
tuturan itu sendiri. Deiksis ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Anafora : merujuk pada apa yang telah disebutkan sebelumnya.
Misalnya : Vina gemar bermain basket. Ia sering berlatih di
lapangan basket sepulang sekolah.
Katafora : merujuk pada yang akan disebutkan. Misalnya:
Syarat-syarat untuk mengambil dana bantuan ialah sebagai berikut :
Kajian bahasa secara semantik menempatkan bahasa dalam pemakaian yang
bebas dari konteks. Semantik adalah ilmu yang mempelajari mengenai makna,
makna dan maksud bahasa diinterpretasi dari unsur-unsur lingual yang
membentuk wacana. Makna dan maksud dapat dipahami dari unsur-unsur bahasa
yang digunakan untuk menyusun satuan makna. Semantik menelaah
lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu
dengan yang lain, dan pengaruh