1 A. Latar Belakang Masalah
Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proposional. Dalam Islam negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dan ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun dari negara lain. Negara juga berkewajiban memberikan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak.
1Penglolaan suatu negara, tidak lepas dari segala aktifitas perekonomian transaksi yang dilakukan didalamnya, oleh karena itu sebagai tolak ukur kegiatan dan perkembangan perekonomian dalam suatu negara, maka di butuhkanlah alat tukar satu sama lain, yaitu berupa uang.
Secara umum uang dalam Islam adalah alat tukar atau transaksi dan pengukur nilai barang dan jasa untuk memperlancar transaksi perekonomian. Uang bukan merupakan komiditi. Oleh karena itu, motif memegang uang dalam Islam adalah untuk transaksi dan berjaga-jaga saja, dan bukan untuk spekulasi.
2
1Mustafa Edwin Nasution, Ekonomi Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2006),hal 27
2Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), cet ke- 2, h. 23
Dari sini, segala bentuk transaksi selalu menggunakan uang. Misalnya melakukan suatu perikatan antara satu dengan lain dalam bidang perekonomian, maka uang merupakan suatu nilai yang mengukur suatu ikatan atau akad tersebut untuk pengelolaannya agar dapat terlihat segala bentuk keuntungan dan kerugiannya.
Penggabungan dua akad atau lebih menjadi satu akad dalam fiqih kontemporer disebut al‟uqud al- murakkabah (akad rangkap/multiakad). Akad rangkap adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah, akad jual beli dengan gadai dst sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang di timbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. Dan di sini penulis mengambil contoh kasus perubahan akad gadai menjadi akad jual beli.
Kata ‘aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Jika
dikatakan „aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu
mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat hissi (indra)
kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang
sedang berdialog. Dari sinilah kemudian makna akad diterjemahkan secara bahasa
sebagai : “Menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan
sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isi sumpah
atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat hubungan
antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya.
Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqih yang menyebutkan bahwa akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada kecocokan, sebagai mana mereka juga menyebutkan arti akad sebagai setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun sendirian.
3
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah : 1)
4Aqad (perjanjian) mencakup: janji pra setia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Dalam istilah Fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.
3Abdul Aziz, Fiqih Muamalat, ( Jakarta, Amzah, 2010),h 15
4 Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Sinergi Pustaka, 2012), h 293.
Secara khusus akad berarti keterikatan antara ijab (pernyataan, penawaran atau pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.
5Setiap akad yang dipraktikan dalam kehidupan nyata akan mengalami perkembangan sesuai dengan kaidah al-insan madaniy bi thab‟i salah satu akad muamalah atau syariah yang dipraktikan dalam kehidupan nyata.
Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah di sepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah diterapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terkait dalam kontrak ini tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Dalam masyarakat, apabila melakukan suatu transaksi dalam masalah perekonomian, misalnya transaksi hutang piutang, gadai, pinjam meminjam, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah perkonomian, kadangkala akad atau perjanjian di awal suka berubah ketika di perjalanan.
Contoh misalnya penggadai menggadaikan kendaraan berupa mobil ke penerima gadai, walam waktu tertentu mobil tersebut atau barang gadaian itu telah rusak, kemudian si penggadai berniat akan melunasi hutangnya kepada si penerima gadai, tetapi setelah melihat kondisi barang gadaian tersebut tidak sempurna,
5Ascarya, Akad … h 35
sedangkan untuk memperbaikinya membutuhkan dana yang besar, maka pengadai meminta kepada si penerima gadai untuk membeli mobil tersebut.
Kemudian di masyarakat juga terjadi apabila si penerima gadai tersebut menyukai barang gadaian dan kemudian sipenerima gadai menyukai barang tersebut.
Setelah itu sipenerima gadai membeli barang gadaian itu kepada si penggadai. Dalam hal ini terjadi perubahan akad dari akad gadai ke akad jual beli.
Perubahan akad gadai menjadi akad jual beli tersebut dikarenakan dalam waktu tertentu penggadai tidak dapat melunasi hutangnya sedangkan sipemegang gadai membutuhkan hutangnya untuk segera dilunasi. Untuk itu sipenggadai harus menjual barang gadaiannya agar dapat melunasi hutangnya yang diberikan oleh sipenerima gadai tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat memberi judul dalam penelitian ini yaitu: Tinjauan Hukum Islam Terhadap perubahan Akad Gadai ke akad Jual Beli (Studi di Desa Merak Sukamulya Tangerang Banten).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat menentukan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan akad gadai ke
akad jual beli ?
2. Bagaimana mekanisme masyarakat Desa Merak melakukan perubahan akad gadai ke akad jual beli?
3. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam terhadap perubahan akad gadai ke akad jual beli?
C. Tujuan Penelitian
Sebagai langkah untuk mendapatkan tentang jawaban dari perumusan masalah, maka penulis mempunyai tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya perubahan akad gadai ke akad jual beli.
2. Untuk mengetahui mekanisme masyarakat Desa Merak melakukan perubahan akad gadai ke akad jual beli.
3. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap terjadinya melakukan perubahan akad gadai ke akad jual beli.
D. Manfaat Penelitian
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, yaitu kiranya dapat diambil beberapa manfaat yang terkait dengan permasalahan penelitian, antara lain:
1. Memberikan wawasan pengetahuan tentang hutang piutang dengan menggunakan jaminan
2. Memahami segala peraktek kegatan muamalat di masyarakat Desa Merak
3. Memberikan wacana tentang hutang piutang yang sesuai dengan prinsip syari'ah
E. Kerangka Pemikiran
Sesungguhnya Islam mengakui kegiatan bermuamalah (hubungan sesama manusia) untuk memenuhi kebutuhan minimum yang mutlak diperlukan, yang pada dasarnya bersifat fisiologik. Kebutuhan-kebutuhan ini timbul dari kenyataan bahwa manusia tidaklah sanggup melengkapi dirinya sendiri. Ia memerlukan sandang pangan, dan rumah untuk hidupnya, dan ini harus diperoleh dengan cara berusaha.
Minimum fisiologik sekedarnya ini tidak sama bagi tiap-tiap orang di semua negeri dan di segala zaman. Kebutuhan makanan minimum seseorang berbeda dengan orang lainnya. Karena perbedaan ini, orang dapat mengusahakan pinjaman untuk memenuhi keperluan pokok pribadinya. Tapi di zaman moderen ini ada kecenderungan bagi kebutuhan fisiologik yang dikalahkan oleh faktor-faktor fisiologik, seperti sikap imitatif dan dorongan menonjolkan diri yang menentukan kebutuhan fiosiologik kebanyakan manusia moderen dewasa ini. Islam tidak mengakui kredit konsumtif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan buatan seperti itu.
6Untuk itu dalam kegiatan bermuamalah tersebut, maka manusia melakukan suatu ikatan dalam pencapaian pemenuhan kebutuhannya, yakni melakukan suatu akad yang di sepakati untuk melakukan kegiatan muamalah, seperti jual beli, gadai, hutang piutang dan lain sebagainya.
6 Abdul Manna, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa,1997), h. 217
Aqad adalah bagian dari macam-macam tasharruf, yang dimaksud dengan tasharruf ialah “segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’menetapkan beberapa haknya.Tasharruf terbagi dua, yaitu tasharruf fi‟li dan tasharruf qauli. Tasharruf fi‟li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusakkan benda orang lain. Tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia, tasharruf qauli terbagi menjadi dua aqdi dan bukan aqli. Yang di maksud tasharruf qauli aqdi ialah sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling bertalian.
7Dalam pelaksanaan akad yang terjadi di masyarakat, ada beberapa yang telah melakukan akad yang lebih dari satu akad, yaitu apabila dalam akad pertama melakukan akad gadai misalnya, kemudian di kemudian hari dikarenakan satu permasalahan, barang gadai tersebut dijual, maka dalam hal ini telah terjadi akad jual beli. Oleh karena itu, dalam perjanjian diawal berubah menjadi akad jual beli yang semula akadnya adalah gadai.
Gadai secara terminologi adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya.
8Firman Allah swt:
7Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h. 43.
8Abdullah bin Muhammad dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000), h. 174.
...
“jika kalian dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai), sedang kalian tidak mendapati seorang penulis, hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang.” (Q.S Al-Baqarah : 283)
9Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu (akad).
10Jual beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan saling menganti, dikatakan: “Ba‟aasy-syaia”jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba‟ahu jika dia membelinya dan memasukkannya kedalam hak miliknya, dan ini masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia mengandung makna dan lawannya seperti perkataan al-qur‟y yang berarti haid dan suci. Demikian juga dengan perkataan syaraartinya mengambil dan syara yang berarti menjual.
11 ...
....
...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... (QS. Al-Baqarah : 275)
12Seyogyanya akad itu sesuatu yang disepakati ketika awal melakukan transaksi, kenyataannya di perjalanan akad tersebut berubah menjadi lebih dari satu akad. Seperti yang dilakukan beberapa di antara masyarakat Desa Merak Tangerang Banten.
9 Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an… h. 16
10 SulaimanRasjid, Fiqh Islam, (Bandung :Sinar Baru Algensindo , 2011), cet. Ke 51, h.278.
11 Abdul Aziz Muhammad Azzam, FiqhMuamalat, (Jakarta :Azzam, 2010), h. 23.
12 Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an…h.17