• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan pengaturan praktik kedokteran bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan dokter (dokter dan dokter spesialis) serta dokter gigi (dokter gigi dan dokter gigi spesialis), memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Ada beberapa hal yang diatur dalam undang-undang tersebut, salah satunya Pasal 37 ayat 2 dan 3 tentang Surat Izin Praktik (SIP) dokter dan dokter gigi yang hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat serta satu SIP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat.

Alasan pengaturan jumlah praktik dokter adalah karena selama ini seorang dokter dapat melakukan praktik di banyak tempat. Supari (2005) menyatakan sebelum UU Nomor 29 Tahun 2004 dikeluarkan, seorang dokter dapat melakukan praktik di enam atau tujuh tempat sekaligus sehingga tidak dapat memberikan perhatian penuh kepada setiap pasiennya.

Anggriani (2010) menyatakan sebelum UU Nomor 29 Tahun 2004 ditetapkan, ketentuan praktik dokter dan dokter gigi didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Bakti dan Praktik Dokter dan Dokter Gigi serta Permenkes Nomor 916 Tahun 1997 tentang Izin Praktik Tenaga Medis. Dalam Pasal 4 Permenkes ini disebutkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat

(2)

memberikan lebih dari 3 (tiga) tempat izin praktik kepada setiap dokter dan dokter gigi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan.

Kehadiran UU Nomor 29 Tahun 2004 mendapat reaksi dari berbagai pihak, baik yang mendukung dan yang merasa keberatan dengan adanya undang-undang tersebut. Pihak yang merasa keberatan bahkan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Pasal 37 ayat 2, Pasal 75 ayat 1, Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan c ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan gugatan diajukan oleh enam orang dokter dan seorang pasien hipertensi (Anonim, 2007).

Isi dari Pasal 37 ayat 2 yang digugat adalah mengenai SIP dokter dan dokter gigi yang hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. Adapun Pasal 75 ayat 1 mengenai ketentuan pidana terhadap pelanggaran melakukan praktik tanpa memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang dapat dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00, sedangkan isi dari Pasal 76 adalah ketentuan pidana terhadap pelanggaran melakukan praktik tanpa memiliki SIP dengan ancaman pidana dan denda yang sama dengan Pasal 75 ayat 1.

Isi dari Pasal 79 huruf a adalah ketentuan pidana terhadap pelanggaran dokter dan dokter gigi yang tidak memasang papan nama dapat dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Adapun isi huruf c pasal yang sama menyatakan ketentuan pidana terhadap pelanggaran Pasal 51 huruf a, b, c, d, atau e tentang standar profesi dan standar prosedur operasional praktik kedokteran dengan ancaman pidana dan denda yang sama dengan Pasal 79 huruf a.

Permohonan gugatan sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2007 menyatakan mengabulkan

(3)

sebagian gugatan pemohon yaitu tentang Pasal 75 ayat 1, Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan c, dengan alasan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sedangkan permohonan mengenai Pasal 37 ayat 2 tentang ketentuan praktik 3 (tiga) tempat tidak dikabulkan dengan alasan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan justru memberikan jaminan kualitas layanan kepada pasien (Anonim, 2007).

Untuk melaksanakan UU Nomor 29 Tahun 2004, Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Pasal 4 Permenkes ini menyatakan SIP dokter atau dokter gigi diberikan paling banyak untuk 3 (tiga) tempat praktik, baik pada sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik per orangan.

Supari (2005) menyatakan kebijakan mengenai pembatasan tempat praktik dokter dan dokter gigi bertujuan agar para dokter dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien, sehingga kemungkinan terjadinya malpraktik dapat dicegah.

Menurutnya, kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara menyeluruh karena beberapa kondisi yang tidak memungkinkan seperti letak geografis dan keterbatasan dokter di beberapa daerah di Indonesia.

Idris dalam Anggriani (2010) menyatakan jumlah praktik dokter harus ditinjau dari tiga unsur yaitu menjamin kualitas pelayanan, menjamin rasa keadilan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Menurutnya, pembatasan tempat praktik dokter tetap diperlukan, namun ketentuan mengenai pembatasan itu tidak perlu diatur dalam undang-undang, melainkan cukup diserahkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

(4)

Dewan Perwakilan Rakyat dalam Anggriani (2010) memberikan keterangan tertulisnya kepada Makhamah Konstitusi dalam Sidang Uji Materi UU Nomor 29 Tahun 2004, menyampaikan bahwa pembatasan tempat praktik dokter didasarkan pada pertimbangan : (1) Menjamin tersedianya waktu yang cukup tepat bagi pelayanan medis, (2) Menjamin tersedianya waktu yang cukup bagi dokter dan dokter gigi untuk melaksanakan penelitian, (3) Menghindari monopoli pelayanan medis oleh dokter-dokter yang lebih senior, (4) Memberikan kesempatan pada dokter untuk secara positif dalam pemberian pelayanan kepada pasien, (5) Menghindari kelelahan sehingga dokter dan dokter gigi dapat bekerja dengan kualitas yang maksimal, (6) Menyebarluaskan tenaga dokter dan dokter gigi ke seluruh penjuru tanah air.

Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004, ada dua hal yang perlu dicermati dan menjadi perhatian semua pihak. Pertama, undang-undang tersebut secara eksplisit mengatur tentang jumlah maksimal praktik dokter, akan tetapi tidak disertakan sanksi bagi dokter atau dokter gigi yang melanggar Pasal 37 ayat 2. Sebagai produk hukum, seharusnya disertakan juga sanksi untuk pelanggaran terhadap pasal tersebut. Utrecht dalam Sinaga (2008) menyatakan hukum berisikan larangan dan sanksi yang harus dipatuhi agar tercipta ketertiban di tengah masyarakat.

Hal kedua yang perlu dicermati, bahwa peraturan tersebut berlaku di seluruh Indonesia. Faktor wilayah yang luas, ditambah belum meratanya pembangunan, menyebabkan undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan secara mutlak di semua daerah. Supari (2005) menyatakan kebijakan jumlah praktik di tiga tempat tidak dapat dilakukan secara menyeluruh karena ada beberapa kondisi yang tidak memungkinkan seperti letak geografis dan keterbatasan dokter di beberapa daerah di Indonesia.

(5)

UU Nomor 29 Tahun 2004 telah berlangsung selama lima tahun, terhitung sejak diberlakukan Tanggal 6 November Tahun 2005, namun pelaksanaannya di daerah masih belum sesuai ketentuan. Di kota - kota besar pelaksanaannya belum berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk yang banyak, tidak sebanding dengan jumlah tenaga dan sarana kesehatan yang terbatas, sehingga seorang dokter dan dokter gigi masih dapat melakukan praktik lebih dari tiga tempat.

Situasi sebaliknya terjadi di kota - kota kecil atau daerah yang jaraknya jauh dari kota besar, di mana pelaksanaan undang-undang tersebut berjalan dengan baik.

Sebagai gambaran, Kota Sibolga merupakan sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatera Utara yang jaraknya 344 km dari Kota Medan dengan luas wilayah 11 km2 dan jumlah penduduk 94.614 jiwa. Adapun sarana kesehatan yang dimiliki kota tersebut terdiri dari 2 rumah sakit umum, 4 puskesmas, 14 puskesmas pembantu dan 8 balai pengobatan/klinik (BPS Kota Sibolga, 2009). Berdasarkan Data Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Sibolga (2009) diketahui ada 26 dokter umum dan 8 dokter spesialis yang memiliki izin praktik, di mana tidak ditemukan seorang dokter umum maupun dokter spesialis yang melakukan praktik lebih dari 3 (tiga) tempat.

Berbeda dengan Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas wilayah 265 km2 dengan jumlah penduduk 2.102.105 jiwa, jumlah Rumah Tangga (KK) 472.202 dan kepadatan penduduk rata-rata 7.929,5/km2. Kota terbesar ketiga di Indonesia ini memiliki sarana kesehatan yang terdiri dari 54 rumah sakit umum, 5 rumah sakit jiwa, 8 rumah sakit ibu dan anak, 4 rumah sakit khusus lainnya, 39 Puskesmas, 41 puskesmas pembantu, 27 puskesmas keliling dan 409 balai pengobatan/klinik (Profil Kesehatan Kota Medan, 2008).

(6)

Data Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2009 menyatakan ada 870 dokter umum dan 427 dokter spesialis yang memiliki SIP, di mana ditemukan 8 dokter umum dan 27 dokter spesialis yang melakukan praktik lebih dari 3 (tiga) tempat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pelaksanaan penyelenggaraan praktik dokter paling banyak 3 (tiga) tempat di Kota Medan belum berjalan dengan baik, masih diketahui ada dokter yang tidak mematuhi peraturan praktik seperti yang diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004.

Perilaku manusia adalah suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Teori kognitif mengatakan bahwa perilaku seseorang disebabkan adanya rangsangan (stimulus), kemudian memprosesnya ke dalam kognisi yang akan menghasilkan jawaban (respons). Sistem kognitif ini mempunyai beberapa fungsi, di antaranya membentuk sikap dan memberikan motivasi terhadap konsekuensi perilaku. Perilaku tidak hanya terdiri dari tindakan-tindakan yang terbuka saja, melainkan juga termasuk faktor-faktor internal seperti berpikir, emosi, persepsi dan kebutuhan (Thoha, 2008).

Indrawijaya (2003) menyatakan alur proses perilaku dimulai dengan adanya persepsi seseorang terhadap rangsangan yang datang dari luar. Melalui proses belajar, ia membandingkan pengalaman masa lampau dengan apa yang sedang diamatinya, kemudian ia menentukan pilihan tindakan dari beberapa kemungkinan yang ada.

Pilihan itulah yang nantinya akan tercermin dalam perilaku, yang nampak nyata dalam tindakannya.

Rakhmat (2005) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

(7)

dan menafsirkan pesan. Persepsi yang berbeda-beda timbul karena beberapa faktor seperti ketidaktahuan, informasi yang salah, penilaian yang prematur dan pengalaman yang tidak menyenangkan.

Pareek dalam Sobur (2003) menyatakan persepsi adalah proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Adapun Rivai (2008) menyatakan kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan penafsiran yang unik dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.

Menurut penelitian Bangun (2008), persepsi informan dibentuk oleh aspek informasi yang diterima, pengetahuan yang dimiliki, penilaian serta pengalaman yang dirasakan oleh informan. Penelitian Tarmizi (2007) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, begitu juga dengan penelitian Pulungan (2005) yang menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh pemahaman dan pengetahuan informan itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan Tahun 2010.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan Tahun 2010.

(8)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan Tahun 2010.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai gambaran bagi Dinas Kesehatan Kota Medan tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik kedokteran di Kota Medan.

2. Sebagai bahan rekomendasi dan pertimbangan bagi Pemerintah Kota (Pemko) Medan dalam mengambil kebijakan terkait pengaturan jumlah praktik dokter sesuai dengan UU Nomor 29 Tahun 2004.

3. Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

4. Sebagai rekomendasi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat melakukan tahap pembelajaran pada jaringan syaraf tiruan untuk mendapat bobot dan bias yang sesuai, input yang diberikan sebagai bahan pembelajaran adalah shape

Dari permasalahan tersebut peneliti mengambil tema penelitian yakni pengembangan media diorama pada materi perairan laut.Tujuan penelitian ini adalah untuk

Dari gambar diatas merupakan rancangan layar View pada Blue Campus dari CD interaktif sekolah Bukit Sion. Pada layar ini akan memperlihatkan bentuk bangunan Blue Campus Bukit

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan fakta bahwa dalam hubungan patron klien antara juragan bawang dan buruh wanita di pasar bawang

Melihat ketentuan diatas, jelas bahwa anak angkat hanya dalam hal pemeliharaannya dan pendidikannya saja yang beralih dari orang tua kandung kepada orang tua

Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagai Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi tersebut, Divisi Risiko dan Kepatuhan berkoordinasi dengan satuan fungsi kepatuhan pada Entitas

keabsahan data. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data dilakukan dengan uji kredibilitas 15 , yaitu : melakukan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan,