• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang atau yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang atau yang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah mata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu melaksanakan hukum. Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali kita tanpa sadari kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan dimonopoli oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum.1

namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seseorang Tersangka atau Terdakwa yang merupakan tujuan yang utama.

Dalam kehidupan bermasyarakat pasti terwujud suatu interaksi, dimana interaksi tersebut memerlukan batasan-batasan atau bisa dikatakan suatu aturan yang mengatur interaksi tersebut. Dengan telah disahkannya Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 ( KUHAP), membawa perubahan yang mendasar bagi Hukum Acara Pidana Indonesia yang sebelumnya berpedoman HIR. Perubahan yang mendasar tersebut sesuai dengan tujuan KUHAP itu sendiri yaitu memberikan perlindungan Hak Asasi bagi Tersangka atau Terdakwa dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum. Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam Undang-Undang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama,

1 Jaminan Penangguhan Penahanan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana,

(2)

Pembangunan hukum yang bersifat nasional seperti Hukum Acara Pidana dilandasi oleh motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya, menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat serta ada masyarakat mendapatkan suatu kepastian hukum. Meskipun telah diadakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang bersifat Nasional yang telah disesuaikan dengan keadaan atau kehidupan Hukum Indonesia, KUHAP itu sendiri tidak luput dari adanya kekurangan. Kekurangan yang terdapat dalam KUHAP memang banyak menimbulkan suatu permasalahan baru diantaranya dalam hal penahanan seseorang Tersangka atau Terdakwa. Permasalahan mengenai penahanan akan tetap menjadi suatu pembicaraan yang sangat menarik karena penahanan sangat erat kaitannya dengan perampasan hak kebebasan seseorang. 2

Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut Acara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan Tersangka atau Terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh Penyidik,Penuntut Umum, Hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam Pasal lain dalam KUHAP.3

(3)

Penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan yang dimiliki seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang, dan di pihak yang lain penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada Tersangka atau Terdakwa. Oleh karena itu segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus sesuai dengan KUHAP, hal ini untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahanan yang nantinya dapat menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi Pejabat yang melakukan penahanan yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman Pidana sesuai dengan Pasal 9 ayat 2 UU No.4 Tahun 2004.

(4)

masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu.

Dengan adanya peraturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan terhadap suatu penahanan, mungkin memberikan sedikit angin segar pada para Tersangka atau Terdakwa. Namun, mengenai penangguhan penahanan ini juga tidak luput dari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian huku m.4

4

Ibid

Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh Penyidik, Penuntut Umum, Hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka penangguhan tersebut dapat dicabut kembali dan Tersangka atau Terdakwa tersebut dapat kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi kejelasan pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek.

(5)

Selain itu Pasal 31 KUHAP juga tidak menjelaskan mengenai akibat hukum dari si jaminan apabila Tersangka yang ia jamin tersebut melarikan diri. Maka dari itu dalam hal penangguhan penahanan ini Pejabat yang berwenang menahan tersangka atau terdakwa tersebut tidak diwajibkan untuk mengabulkan setiap adanya permohonan penangguhan penahanan dan dapat menolak permohonan penangguhan penahanan tersebut dengan suatu alasan tertentu dan tetap menempatkan Tersangka atau Terdakwa dalam tahanan.

Bila suatu penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh Pejabat yang melakukan penahanan maka berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, Pejabat tersebut dapat menetapakan suatu jaminan baik berupa jaminan uang atau jaminan orang. Penetapan ada atau tidaknya suatu jaminan dalam KUHAP bersifat fakultatif. 5

Menurut M.Yahya Harahap berpendapat bahwa penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan tidak mutlak. Tanpa jaminan tindakan pemberian penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Cuma agar syarat penangguhan penahanan benar-benar ditaati, ada baiknya penangguhan dibarengi dengan penetapan jaminan. Cara yang demikianlah yang lebih dapat dipertanggung jawabkan demi upaya memperkecil tahanan melarikan diri.6

Mengenai masalah penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaannya serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin, sedangkan tentang alasan penangguhan penahanan

5

Ibid

6

(6)

tidak ada disinggung dalam pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan Pasal tersebut. Jika ditinjau dalam segi yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap tidak relevan untuk dipersoalkan. Persoalan pokok bagi hukum dalam penangguhan berkisar pada masalah syarat dan jaminan penangguhan.

Akan tetapi sekalipun Undang-Undang tidak menentukan alasan penangguhan dan memberi kebebasan serta kewenangan penuh kepada instansi yang menahan untuk menyetujui atau tidak menagguhkan, sepatutnya instansi yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan ketertiban umum dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif dan edukatif. Sedangkan dalam KUHAP sendiri disebutkan dengan jelas bahwa Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengajukan penangguhan penahanan.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 31 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa penangguhan penahanan adalah faktor yang menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Penangguhan penahanan harus dimajukan oleh Tersangka atau Keluarganya ataupun dapat juga dimajukan oleh Penasehat Hukum Tersangka dengan suatu jaminan uang dan jaminan orang. Berdasarkan syarat yang telah ditentukan.

(7)

Dengan demikian, jelaslah bahwa penangguhan penahanan diterima ataupun ditolak dengan dasar Penyidik merasa yakin atau tidaknya bahwa Tersangka dapat menyanggupi persyaratan yang telah disepakati oleh Penyidik dan Pemohon. Ditolaknya penangguhan penahanan tersebut dikarenakan Penyidik khawatir Tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta menyulitkan Penyidik dalam proses penyidikan yang sedang berlangsung.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang penangguhan penahanan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia?

2. Faktor-faktor apakah yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan penangguhan penahanan dalam permeriksaan perkara pidana di Tingkat Penyidikan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah :

(8)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di Tingkat Penyidikan.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan dari skripsi ini adalah : a. Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta perkembangan hukum pidana khususnya mengenai penangguhan penahanan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan.

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum mengenai penangguhan penahanan dalam proses permeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan.

D. Keaslian Penulisan

(9)

fakta-fakta yang didapat dari hasil riset yang dilaksanakan oleh penulis. Jika dikemudian hari, ada skripsi yang sama maka penulis akan mempertanggung-jawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Penahanan dan Penangguhan Penahanan a. Penahanan

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengenai penahanan diatur dalam HIR (Her Herziene Reglement). Akan tetapi setelah berlakunya KUHAP, mengenai penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai Pasal 31, dimana untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan masing-masing penegak hukum berwenang melakukan penahanan.

Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penahanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 21:

“Penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Menurut Van Bemmelen, penahanan adalah sebagai suatu pancung yang memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis ini dapat dikenakan kepada orang-orang yang belum tentu bersalah. 7

7

(10)

Martiman Projohamidjojo dalam bukunya memberikan kemerdekaan Tersangka atau Terdakwa dan untuk menempatkannya di tempat tertentu, biasanya ditempatkan di rumah tahanan negara yang dahulu disebut Lembaga Permasyarakatan. 8

Berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP diatas, semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Juga dari ketentuan tersebut telah diseragamkan istilah tindakan penahanan. Tidak dikacaukan lagi dengan berbagai ragam istilah seperti yang dahulu dalam HIR, yang membedakan dan mencampur aduk antara penangkapan, penahanan sementara dan tahanan sementara, yang dalam peristilahan Belanda disebut de verdachte aan te houdan (Pasal 60 ayat (1) HIR). Serta untuk perintah penahanan yang dimaksud Pasal 83 HIR dipergunakan istilah zijn gevangen houding bevelen.9

8

Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan (Seri Pemerataan Keadilan), Ghalia Indonesia, Jakarta 1984, hal.15

9

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 164

(11)

Demikian pula halnya dalam penahanan. Istilahnya cukup sederhana tanpa embel-embel kata “sementara”. KUHAP hanya mengenal istilah “penahanan” yang wewenangnya diberikan kepada semua instansi penegak hukum, dan masing-masing mempunyai batas waktu yang ditentukan secara limitatif.

Sehubungan dengan penetapan waktu yang sangat terbatas bagi setiap instansi, menciptakan tegaknya kepastian hukum dalam penahanan. Tidak lagi seperti dulu, pada masa HIR, yang melebihi satu atau dua tahun. Benar-benar tidak ada kepastian hukum bagi seorang tersangka yang ditahan.

Sebelumnya menahan tersangka dalam rangka pelaksanaan penyidikan adalah merupakan suatu tindakan darurat. Artinya penahanan itu dilakukan jika memang diperlukan sekali. Disamping itu karena penahanan ini langsung menyentuh hak asasi manusia yang paling pokok yaitu kebebasan bergerak dari seseorang, maka untuk mencegah jangan terjadi pembatasan yang mengarah kepada tindakan pemerkosaan has asasi, maka Undang-Undang menentukan syarat-syarat yang ketat dalam rangka pelaksanaan penahanan itu.

b. Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan ketentuan Pasal 31, pengertian penangguhan penahanan Tersangka atau Terdakwa dari penahanan, yaitu mengeluarkan Tersangka atau Terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir.

(12)

ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan.

Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan. Perbedaan terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan persyaratan yang mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan penahanan dengan pembebasan dari tahanan.

Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan : 10

1. Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi berada dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan Undang-Undang. Namun pelaksanaan penahanan diberhentikan dengan jalan mengeluarkan tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan penahanan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau orang lain yang bertindak menjamin penangguhan.

2. Sedang pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan Undang-Undang.Tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan Undang-Undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan. Dalam hal oleh karena pemeriksaan telah selesai sehingga tidak diperlukan penahanan, oleh karena penahanan yang dilakukan tidak sah dan bertentangan dengan Undang-Undang maupun karena batas waktu penahanan yang dikenakan sudah habis, sehingga tahanan harus

10

(13)

dibebaskan demi hukum. Bisa juga oleh karena lamanya penahanan yang dijalani sudah sesuai dengan hukuman pidana yang dijatuhkan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping itu, dari segi pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat jaminan.

3. Penyidikan Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia

Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat selalu ada orang-orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa awal perbuatan proses peradilan pidana itu dimulai dari masyarakat. Proses peradilan pidana telah diatur dalam suatu sistem yang dinamakan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Dalam sistem peradilan pidana kepolisian diberi wewenang untuk melakukan penyidikan dengan landasan hukumnya tercantum pada:

a. Pasal 13 dan 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(14)

Pemasyarakatan dan Advokat. Sub sistem tersebut mempunyai peranan masing-masing yang satu sama lain berkaitan.

Penyidik yang mengetahui (dengan cara apapun), menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana dan atau menerima penyerahan tersangka yang tertangkap tangan wajib segera melakukan tindakan penyidikan (Pasal 106, 111 KUHAP) antara lain segera mendatangani/memeriksa TKP (Tempat Kejadian Perkara), melakukan pemanggilan tersangka,saksi,saksi ahli untuk diminta memberikan keterangannya, melakukan penggeledahan, melakukan penyitaan barang bukti dan alat bukti yang sah, mengirim korban kejahatan yang menderita luka atau yang sudah menjadi mayat ke rumah sakit untuk diperiksa dan mendapatkan Visum Et Repertum dari ahli kedokteran kehakiman/kedokteran forensik, melakukan penangkapan, penahanan, mengambil sidik jari dan melakukan tindakan-tindakan lainnya sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku untuk kepnetingan penyelesaian penyidikan.

Pasal 7 ayat (1) mengatasi wewenang dari penyidik yang kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

(15)

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Maka dengan demikian penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP dimulai, bila penyidik melakukan wewenangnya selaku penyidik berdasarkan surat perintah penyidikan yang sah yang diberikan oleh pejabat berwenang. Bagi pimpinan Kepolisian dan Kejaksaan surat perintah penyidikan adalah alat pengaman yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan di pihak tersangka berarti jaminan dan perlindunga terhadap hak-hak dan martabat tersangka.

Tersangka yang merasa penyidikan yang dilakukan terhadap dirinya tidak dilakukan berdasarkan surat perintah yang sah, dapat segera meminta diperlihatkannya surat perintah penyidikan tersebut atau meminta penjelasan kepada atasan penyidik.

(16)

perintah penyidikan dikeluarkan. Pimpinan yang arif bijaksana akan segera memerintahkan untuk meneliti kebenaran laporan tersebut dan menilai secara cepat mapun cermat apakah sudah cukup alasan hukum dan bukti-bukti permulaan bagi dimulainya penyidikan.

Kegiatan penyidikan di samping merupakan yang tujuan akhirnya keadilan, kepastian hukum dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat, juga menimbulkan beban dan nestapa bagi anggota masyarakat sebagai akibat daya paksa yang melekat pada kegiatan penyidikan. Di samping itu jangan sampai kegiatan penyidikan yang sudah memakan waktu yang panjang, melelahkan, menimbulkan beban psikis dan biaya besar, berakhir dengan penghentian atau penghentian penuntutan karena kurang kuatnya bukti.

Penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat dan saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan suatu integrad criminal yustice system. Yang dimaksud dengan integrad criminal yustice system ialah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan.

(17)

yang terkait, dalam rangka mewujudkan proses penanganan perkara pidana yang dilaksanakan secara tepat, sederhana dan biaya ringan.

Diadakannya lembaga pemberitahuan penyidikan juga erat hubungannya dengan penghentian penyidikan. Karena untuk dapat menentukan bahwa suatu penyidikan telah dihentikan, maka harus ditetapkan suatu momentum yang secara yuridis menandai bahwa suatu penyidikan telah dimulai. Dengan ditetapkannya kepada suatu penyidikan telah dimulai, maka akan jelas pula sejak kapan mulai berlakunya hak dan kewajiban, fungsi dan wewenang serta tanggung jawab pihak-pihak yang terkait dalam proses penanganan perkara pidana (tersangka atau penasehat hukum, penyidik, penutut umum dan Hakim).

Menurut ketentuan Pasal 109 ayat 1 KUHAP bahwa dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Pengertian mulai melakukannya penyidikan, ialah apabila dalam tindakan tersebut penyidik telah menggunakan upaya paksa.

Bahwa pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus segera dilaksanakan oleh penyidik bila ia telah memulai suatu penyidikan.

Dari rangkaian uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa:

a. Penyidikan telah dimulai sejak dipergunakannya upaya paksa oleh penyidik.

(18)

c. Batas waktu penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan, ialah segera setelah pemeriksaan tersangka.

d. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 3 huruf 1 a jo Pasal 110 ayat 1 KUHAP, penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum adalah tindakan penyidik yang harus dilakukannya setelah penyelidikan selesai. e. Sehubungan dengan uraian pada huruf d tersebut, maka penyampaian

pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan penyerahan berkas tahap pertama sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat 3 huruf a adalah penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan setelah penyidik selesai melakukan penyidikan. Dengan demikian cara penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan penyerahan berkas perkara tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP.

Semua penyidikan yang dilakukan oleh penyidik baik penyidik Polri,penyidik PNS maupun penyidik yang tergabung dalam Tim tetap penyidik perkara Koneksitas, wajib menyampaikan pemberitahuan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. Terkecuali dalam hal undang-undang menyatakan secara tegas bahwa pemberitahuan tersebut tidak diperlukan. Karena pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut, ditetapkan sebagai hal yang bersifat imperatif.

(19)

atas kuasa penuntut umum melimpahkan hasil penyidikannya langsung ke pengadilan. Jadi, disini tidak dikenal proses prapenuntutan, oleh karena itu pemberitahuan dimulainya penyidikan tindak diperlukan.

Fungsi utama dari pemberitahuan dimulainya penyidikan itu, adalah dalam rangka pelaksanaan tugas prapenuntutan, yakni penelitian berkas perkara tahap pertama dan pemberian petunjuk oleh penuntut umum kepada penyidik dalam hal hasil penyidikan belum lengkap.Oleh karen itu, seyogianya penyidikan dilakukan oleh PNS pun diberitahukan kepada penuntut umum, setidak-tidaknya dalam bentuk tembusan.

Pasal 107 KUHAP tidak menyinggung tentang pemberitahuan dimulainya penyidikan. Tetapi dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam hal penyidik PNS melakukan penyidikan, maka ia memberitahukan hal itu kepada penyidik Polri. Seyogiayanya penjelasan itu dilengkapai dengan anak kalimat “dengan tembusan kepada penuntut umu”.

Penyidikan tanpa pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, akan mengundang berbagai permasalahan pada tahap prapenuntutan.

(20)

Sejak saat penyidik sudah mulai melakukan penyidikan maka penyidik yang bersangkutan wajib segera memberitahukan dimulainya penyidikan itu kepada penuntut umu dengan menggunakan formulir SERSE : A3 yang lazim dinamakan SDPD (SuratPemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Untuk daerah terpencil atau yang sulit transportasinya, pengirimannya dapat dilakukan melalui upaya komunikasi lain sesuai dengan fasilitas yang ada kemudian segera disusul dengan SDPD (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).

(21)

melakukan proses pengolahan dan penilaian terhadap keberadaan alat-alat bukti yang sah (BAB XVI Bagian keempat pasal 183 s/d 189 KUHAP). Hal tersebut dilakukan tanpa mencampuri atau mengambil alih kewenangan penyidikan, melainkan semata-mata bertujuan untuk mempercepat proses penyelesaian penyidikannya dan mencegah terjadinya bolak-baliknya Berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum dan sebaliknya yang tidak jarang terjadi sampai berulang kali, sehingga bertentangan dengan asas penyelesaian perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan (pasal 110 jo 138 KUHAP). Berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik kepada penuntut umum akan diuraikan dalam BAB Prapenuntutan.

Peranan Penyidik Polri dalam sistem peradilan pidana berada pada bagian terdepan dan merupakan tahap awal mekanisme proses peradilan pidana yaitu: Pemeriksaan pendahuluan. Tugas-tugas penyidikan itu berhubungan dengan: penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi/tersangka, bantuan ahli. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam arti bahwa suatu penyidikan dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu Tindak Pidana.

Dalam hal penyidik Polri bertemu dengan tersangka dan saksi-saksi, maka dibuatlah laporan tertulis dan menghimpun semua keterangan dari saksi dan tersangka dalam suatu berita acara tertulis sampai lengkap. 11

Fungsi penyidikan ditangan Kepolisian meliputi sarana hukum dan sarana tekhnik. Penyidikan dengan menggunakan sarana hukum antara lain dalam

11

(22)

hal melakukan tindakan-tindakan: penyelidikan,penyidikan,pemanggilan terhadap tersangka dan saksi, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan hubungan antara penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum. Penyidikan dengan menggunakan saran tekhnik, yaitu melakukan tindakan-tindakan:identifikasi, daksiloskopi, pemeriksaan ditempat kejadian perkara, autopsi, dan interogasi terhadap tersangka dan saksi. Penyidik polri dalam menemukan kebenaran terhadap suatu kasus pidana menerapkan taktik tertentu guna melengkapi hasil penyelidikan, taktik penggeledahan, taktik penghadangan dan lain-lain. 12

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyidik sudah diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan

Penggunaan sarana hukum dan saran tekhnik tersebut untuk mencari kebenaran materil yang proses pembuktiannya diuji di sidang pengadilan. Apabila penyidik kepolisian akan menyerahkan berkas perkara bersama barang bukti dan tersangkanya kepada pihak kejaksaan untuk diajukan ke sidang pengadilan.

Penyidik mempunyai peranan penting dan merupakan ujung tombak dalam proses penegakan hukum pidana. Kinerja penyidik berpengaruh besar dalam proses penanganan perkara pidana. Dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa ada 2 pejabat yang berkedudukan sebagai penyidik, yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

12

(23)

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) namun dalam perkembangannya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyrakat dan belum dapat sepenuhnya berperan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karenanya, perlu mengubah ketentuan peraturan pemerintah tersebut.

Perubahan terhadap PP No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan dengan tujuan agar dapat meningkatkan kualitas kinerja dan profesionalitas penyidik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya. Salah satu nya dengan meningkatkan persyaratan untuk dapat diangkat menjdi penyidik seperti pendidikan paling rendah,pangkat atau golongan dan bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum. 13

F. Metode Penelitian

Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu. Sebagaimana tentang cara penelitian harus dilakukan, maka metode penelitian yang digunakan penulis mencakup antara lain :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (penelitian hukum doktrinal). Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian dilakukan atau ditujukan hanya pada

13 RPP tentang Perubahan PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab

(24)

peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut juga dengan penelitian kepustakaan ataupun studi doukmen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).

2. Data Dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder dan di dukung data primer. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 Angka 8 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan yang relevan dengan judul ini. c. Bahan hukum tertier

(25)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : - Library research (penelitian kepustakaan)

Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, buku-buku, berbagai literatur dan juga berbagai peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan penangguhan penahanan dalam proses pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan.

- Field research (penelitian lapangan)

Yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai penangguhan penahanan dalam proses pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan dalam hal ini di wilayah kerja Poldasu Medan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh melalui studi pustaka diklasifikasi dan diurutkan dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar. Keseluruhan data akan dianalisa secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi.

Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap informan yaitu penyidik dari Poldasu Medan.

G. Sistematika Penulisan

(26)

yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah dalam penulisan skripsi, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian judul, menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yaitu pengertian penahanan dan pengguhan penahanan,penyidikan dalam hukum acara pidana di Indonesia, menjelaskan metode penelitian dan skripsi ini dan bab ini ditutup dengan memaparkan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan penangguhan penahanan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bab ini membahas mengenai penangguhan penahanan menurut HIR dan KUHAP, penangguhan penahanan menurut PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Jamianan Uang maupun Jaminan Orang dan Keputusan Menteri No. M. 14-PW. 07.03/1983.

Bab III Faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan dan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan (studi di Poldasu). Dalam bab ini juga dibahas mengenai prosedur permohonan penangguhan penahanan pada tingkat penyidikan, faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan, faktor-faktor yang menjadi dasar penolakan pada tingkat penyidikan.

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, yang harus juga dihadapi di tataran nasional adalah masih perlunya pemerintah untuk melakukan sosialisasi tentang sejumlah peraturan di internasional

”adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling

adalah program pengadaan layanan kesehatan keliling (berupa mobil klinik) yang dilaksanakan secara terpadu (berbagai program kesehatan disatukan dalam paket

Gerakan Kampung Panca Tertib tepat apabila ditangani oleh Satpol PP Kota Yogyakarta. Hal ini karena tugas pokok Satpol PP Kota Yogyakarta adalah sebagai pembantu pemerintah

Pengembangan metode evaluasi untuk keefektifan pendidikan bioetika diperlukan secara mendesak dalam banyak dimensi seperti: pengetahuan, ketrampilan, dan nilai- nilai

Seluruh Dosen serta Staf Fakultas Kesehatan M asyarakat USU, khususnya Dosen dan Staf Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah memberikan bekal ilmu kepada

i Perubahan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2015 ini, disusun sebagai

Aspek-aspek yang diamati pada kegiatan belajar mengajar (siklus II) yang dilaksanakan oleh guru dengan menerapkan strategi pembelajaran demonstrasi mendapatkan