• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN ICAO(INTERNATIONAL CIVIL AVIATION ORGANIZATION) DALAM PENGAWASAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN ICAO(INTERNATIONAL CIVIL AVIATION ORGANIZATION) DALAM PENGAWASAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL SKRIPSI"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

BATARA EBENEZER 140200367

HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)
(4)

Makdin Munthe, S.H, M.Hum

Perkembangan teknologi dalam bidang transportasi udara di era globalisasi saat ini sangatlah cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan mobilitas yang sangat tinggi dalam aktifitas masyarakat yang ada di dalam negeri, dari dan keluar negeri. Di mana penyelenggaraan penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional sehingga diperlukan adanya badan internasional yang menetapkan standar dan melakukan pengawasan dalam penyelenggaran penerbangan sipil internasional. Badan internasional tersebut adalah ICAO (International Civil Aviation Organization). ICAO lahir dengan dengan didahului oleh pendirian panitia persiapan pembentukan ICAO atau yang kerap disebut dengan PICAO (Provisional Civil Aviation Organization) yang merupakan salah satu dari enam dokumen dari hasil kovensi Chicago 1944.

Adapun permasalahan yang diangkat adalah Bagaimanakah perkembangan dan sejarah penerbangan sipil di dunia; Bagaimanakah kebijakan ICAO (Internasional Civil Aviation Organization) dalam standar penerbangan sipil;

Bagaimanakah peran ICAO dalam mengawasi pelaksanaan standar-standar yang menjadi kebijakan ICAO. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian library research. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) yang bersumber dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, website online, dan dokumen pustaka lainnya.

Kesimpulan penulisan karya ilmiah ini adalah Peran ICAO dalam melakukan kebijakan-kebijakan serta pengawasan berkaitan dengan aturan penerbangan sipil yang dibuat oleh suatu negara yang berkaitan dengan keselamatan (safety) dan keamanan (security) harus berdasarkan paradigma- paradigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya.

ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga (peran kedua) memonitor kepatuhan (compliance) yaitu memonitor pelaksanaan standar- standar yang telah ditetapkan untuk kemudian (peran ketiga) meminta segera Negara mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak dipatuhi.

Kata Kunci : Penerbangan sipil, Peran ICAO

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

 Dosen Pembimbing I

 Dosen Pembibing II

(5)

atas berkat dan rahmat-Nya semata sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul : PERAN ICAO (INTERNATIONAL CIVIL AVIATION ORGANIZATION) DALAM PENGAWASAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL, sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Departemen Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis mengharapkan masukan dan kritik membangun dari berbagai pihak sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. DR. OK Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak DR. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

yang telah bersedia meluangkan waktunya hingga selesainya skripsi ini;

7. Bapak Makdin Munthe, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II saya yang telah bersedia meluangkan waktunya hingga selesainya skripsi ini;

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu;

9. Kepada kedua orangtua saya yang terkasih, Ir. R. Simangunsong dan E. Sitangggang serta kedua Abang saya Bobby Bonar Parulian, S.Ikom dan

Victor Pranata, S.Hut yang telah banyak memberikan dukungan materi, moril dan doa kepada saya selama ini;

10. Kepada Lae saya Sahala Valentino Sitanggang, S.H yang telah memberikan pembelajaran kepada saya baik mengenai ilmu hukum ataupun ilmu lainnya dan kepada Lae Christ Hagle yang telah bermetamorfosa ria bersama-sama dengan saya sejak kecil hingga sebesar ini;

11. Kepada Sahabat-sahabat dahsyat stambuk 2014 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Yohanes LT, Haposan Sitio, Daniel Edenata, Chandra Pratama, Celvin Handoko, Bosna Trimanta, Gabriel Damanik, Saul Purba, Johan Roy Mora yang telah membantu serta memotivasi saya selama dalam masa perkuliahan. Dan untuk semua teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya ucapkan satu per satu;

(7)

13. Kepada teman-teman setongkrongan dan teman-teman diluar kampus PPC Management, M.Andre Janawa, Ery Tosal, David Indra Valentino,Alfredo Hutauruk, Denny Rumapea,S.E, Charles Edward,S.E, Benny Pasaribu, David Gultom, S.Ked, Victorson Leonardo,S.Ked, Andre Roberto,Amd, April Pasaribu,S.E, Jessica Natasya, Agelh Naomi, Arni Masyitah dll yang telah menemani hari-hari saya diluar kegiatan kampus;

14. Kepada Afrilia Elisabeth Simanjuntak,S.E yang telah menemani hari-hari saya, bertukar pikiran serta memotivasi saya sejak awal SBMPTN dan selama masa perkuliahan hingga saya menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, April 2018 Penulis

BATARA EBENEZER

(8)

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PERKEMBANGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL A. Pengertian Penerbangan Sipil ... 12

B. Sejarah Penerbangan Sipil di Indonesia ... 15

C. Sumber Hukum Penerbangan Sipil Internasional ... 20

1. Konvensi Paris 1919 ... 20

2. Konvensi Chicago 1944 ... 23

(9)

B. Negara – Negara Anggota ICAO ... 39 C. Struktur Organisasi ICAO ... 42

BAB IV PERANAN ICAO DALAM PENGAWASAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL

A. ICAO sebagai Proactive International Regulatory Body ... 18 B. Kebijakan ICAO Dalam Standar Penerbangan Sipil ... 49 C. Pengawasan pelaksanaan standar-standar ICAO ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan manusia menjelajahi ruang udara dipermukaan bumi ini dengan menggunakan berbagai jenis pesawat udara telah menampakkan dimulainya abad modern di bidang penerbangan disertai dengan segenap kompleksitas permasalahan yang dihadapinya.

Dalam konteks ini manusia membutuhkan transportasi yang aman, cepat dan teratur dalam menunjang mobalitas kehidupannya, baik dalam transportasi lokal, nasional maupun internasional. Manusia menghendaki transportasi kereta api, bus, kapal laut, pesawat dan lain-lain berjalan dengan aman, cepat teratur dan juga dengan biaya atau ongkos yang terjangkau.1

Penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang handal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dibidang penerbangan telah mampu meningkatkan mutu pelayanan penerbangan dan juga mampu menciptakan alat-alat penerbangan canggih dan beraneka ragam.

Perkembangan teknologi penerbangan mempunyai dampak yang positif terhadap keselamatan penerbangan dalam dan luar negeri.2

1 Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang, 2012 hal.1

2 K. Martono, Tim Analisis Awak Pesawat Udara Sipil, Jakarta, 1999, hal 1

(11)

Pesawat udara yang menjadi transportasi udara, pada awalnya hanya dimiliki negara dan hanya dipakai untuk kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang umum. Dan pemilikannya bukan lagi sebatas oleh negara saja, melainkan telah pula dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Transportasi udara adalah sistem penerbangan yang melibatkan banyak pihak. Dalam dunia penerbangan pemenuhan (compliance) terhadap safety standard (standar keselamatan) yang tinggi merupakan suatu keharusan yang mutlak. Penerapan keselamatan penerbangan (aviation safety) perlu dilaksanakan pada semua sektor, baik pada bidang transportasi / operasi angkutan udara, kebandaraudaraan, navigasi, perawatan dan perbaikan serta pelatihan yang mengacu pada aturan International Civil Aviation Organization(ICAO).3

Pada penerbangan sipil komersial setiap awak pesawat masing-masing mempunyai fungsi dan peran tertentu di dalam pelaksanaan tugas penerbangan.

Dilihat dari status mereka mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda tergantung peranannya didalam pesawat udara. Pelaksanaan tugas tadi membutuhkan adanya seorang yang menjabat sebagai pimpinan yang juga berfungsi sebagai penanggung jawab dalam misi penerbangan tersebut.4

Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat

3 http://lontar.ui.ac.id. Diunduh Pada Tanggal 10 Maret 2018

4 K. Martono, Op.Cit,, hal 3

(12)

udara maupun barang-barang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional.

Dalam hukum udara internasional, terdapat Konvensi Chicago 1944 yang merupakan konstitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional yaitu ICAO (International Civil Aviation Organizaton) sebagai organisasi penerbangan sipil internasional yang berperan dalam penyelenggaraan penerbangan sipil internasional.

ICAO sebagai organisasi penerbangan sipil internasional mempunyai peran yang sangat signifikan bagi perkembangan penerbangan sipil di dunia, terutama dibidang bantuan teknik.

ICAO merupakan suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkedudukan di Montreal. Maksud dan tujuan dari ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan tehnik-tehnik navigasi udara internasional dan membina perencanaan dan perkembangan angkutan udara internasional.

Kebijakan-kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya melalui keputusan yang diambil dalam sidang Umum dan Sidang Majelis, adalah kebijakan-kebijakan berlandaskan kebenaran-kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.5

Pelaksanaan misi ICAO bagi penerbangan sipil dunia sehingga dengan begitu akan berimbas positif terhadap berbagai pelaksanaan standar maupun rekomendasi peraturan baik dalam bentuk pembinaan, pengawasan, pencerahan,

5 Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang,2012, hal.57

(13)

pendidikan maupun kerjasama pelatihan bagi komunitas penerbangan sipil dunia.

Meningkatnya keselamatan penerbangan di dunia terutama di setiap negara akan mendorong peningkatan demand transportasi udara yang pada gilirannya nanti akan mendukung terciptanya pertumbuhan perekonomian tiap negara.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penulisan yang berjudul “PERAN ICAO (INTERNATIONAL CIVIL AVIATION ORGANIZATION) DALAM PENGAWASAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengemukakan permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perkembangan dan sejarah penerbangan sipil di dunia?

2. Bagaimana kebijakan ICAO (International Civil Aviation Organization) dalam standar penerbangan sipil?

3. Bagaimana peran ICAO dalam mengawasi pelaksanaan standar-standar yang menjadi kebijakan ICAO ?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, yang telah dikemukakan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan penerbangan sipil di dunia

(14)

b. Untuk mengetahui kebijakan ICAO sebagai organisasi penerbangan sipil internasional dalam standar penerbangan sipil di dunia

c. Untuk mengetahui eksistensi ICAO dalam pengawasan standar yang di keluarkan ICAO terhadap penerbangan sipil internasional

2. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Secara teoritis

Untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khsusnya di bidang Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Serta penulis berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa

b. Secara praktis

Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang keilmuan Hukum Udara dan Ruang Angkasa terkhusus dalam bidang penerbangan sipil dunia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran terhadap judul skripsi yang ada di Perpustakaan,

belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul mengenai PERAN ICAO (INTERNATIONAL CIVIL AVIATION ORGANIZATION) DALAM

PENGAWASAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan pemeriksaan pada

(15)

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu menjadi tanggung jawab penulis sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Penerbangan Sipil

Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan, dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang, dan fasilitas umum lainnya. Keselamatan diartikan kepada hal-hal yang mencakup keselamatan penerbangan yang selalu berhubungan dengan aspek keamanan penerbangan.6

Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara ( state aircraft ). Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara (state aircraft) . Menurut Pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara ( start aircraft ) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer yang semata-mata untuk pelayanan publik (public services) seperti pesawat udara polisi dan bea cukai sedangkan

6 https://id.wikipedia.org/wiki/Penerbangan (diakses tanggal 14 Maret)

(16)

yang dimaksud dengan pesawat udara sipil ( civil aircraft ) adalah pesawat udara selain pesawat udara Negara ( state aircraft ).

Dalam Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 juga diatur mengenai pesawat udara negara dan pesawat udara sipil. Pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai, sedangkan yang dimaksudkan dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft).

Pesawat udara negara tidak mempunyai hak melakukan penerbangan di atas negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan di atas negara anggota lainya. Pesawat udara negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara negara tersebut terdiri dari pesawat terbang dan helicopter.

Pesawat Udara Sipil adalah adalah pesawat terbang atau pesawat udara yang digunakan untuk mengangkut penumpang sipil beserta bagasi dan kargo (dengan kapasitas tertentu). Syarat-syarat mengenai pengangkutan sipil diatur dalam undang-undang, baik pemerintah maupun internasional melalui lembaga PBB bernama ICAO(International Civil Aviation organization).7

2. The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944) Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Konvensi Chicago) yang ditandatangani di Chicago tanggal 7 Desember 1944 meliputi tugas dan tanggung

7 Yaddy Supriadi, Op.Cit. Hal 5

(17)

jawab dengan menghormati pengawasan keselamatan penerbangan. Konvensi Chicago merupakan kelanjutan dari Konvensi Paris 1919.

Konvensi ini merupakan embrio pendirian International Civil Aviation Organization (ICAO) yang merupakan sebuah badan khusus PBB yang ditugaskan untuk mengkoordinasi dan mengatur perjalanan udara internasional.

Konvensi ini menetapkan aturan wilayah udara, pendaftaran pesawat udara dan keselamatan, dan merinci hak-hak penandatangan terkait dengan perjalanan penerbangan sipil internasional.

Konvensi Chicago tersebut sangat berpengaruh dan sudah dijadikan sebagai sumber hukum internasional di bidang penerbangan sipil. Konvensi ini juga mengikat secara moral setiap negara anggota PBB melalui sejumlah instrumen ratifikasi maupun adhere (penundukan diri). ICAO lahir dengan dengan didahului oleh pendirian panitia persiapan pembentukan ICAO atau yang kerap disebut dengan PICAO (Provisional Civil Aviation Organization) pada tanggal 6 Juni 1945 di Montreal, Kanada, dan berfungsi hingga 4 April 1947. Pada tanggal 4 April 1947 inilah ICAO secara resmi terbentuk dan menjadi agensi di bawah PBB mulai tanggal 13 Mei 1947. 8

Aktivitas ICAO berkutat pada pengembangan beragam peralatan, khususnya menyangkut segala sesuatu aspek yang menyangkut di dalam penetapan kebijakan standar ICAO yang dituangkan dalam bentuk Annexes dan ICAO juga melakukan pengawasan terhadap standar ICAO yang disebut sebagai

8 K. Martono. Op.cit hal 12

(18)

Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) yang akan dibahas di dalam penulisan skripsi ini.

3. Convention On International Civil Aviation Annex 1 to 18 International Civil Aviation Organization.

Delapan belas Annexes ICAO pada dasarnya merupakan standar kelayakan yang ditunjukkan kepada seluruh anggota ICAO untuk menjamin keselamatan penerbangan internasional, namun dalam prakteknya SARPs ini juga ditujukan untuk standar kelayakan kelayakan udara pada penerbangan internasional.

Annexes ini juga menjadi landasan-landasan ICAO untuk membentuk International Standart and Recommended Proctices (ISRPs/SARPs).

F. Metode Penelitian

Eksistensi rangkaian suatu metode penelitian guna untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap pokok-pokok permasalahan di atas maka diperlukan adanya pengumpulan data yang kemudian untuk dikonstruksikan.

Dalam penyusunan penulisan ini dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research). Dengan Library Research akan dihasilkan karya ilmiah yang mempunyai materi, kualitas, bobot kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, di mana bahan-bahan/data-data tersebut didapat dari : - Buku-buku ilmiah yang tersebut dalam literature

- Naskah-naskah peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, internet, skripsi, dan tulisan karya ilmiah, serta catatan perkuliahan, dan bimbingan Bapak/Ibu Dosen.

(19)

Dengan menggunakan metode ini diharapkan skripsi ini dapat menjadi suatu karya ilmiah yang baik dan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan proses pembahasan tulisan dan membantu penulis dalam penguraiannya, maka keseluruhan dari isi skripsi ini dirangkum dalam sistematika penulisan sebagai suatu paradigma berpikir. Dengan pedoman pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya maka penulis berusaha untuk mendeskripsikan gambaran umum yang berhubungan dengan cakupan skripsi ini, sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini diawali dengan latar belakang yang berikutnya perumusan masalah yang akan dibahas. Pada selanjutnya dijelaskan apa yang menjadi tujuan pembahasan, kemudian diuraikan keaslian penulisan dan tinjauan kepustakaan. Selanjutnya diuraikan bagaimana metode penulisan dan akhirnya bab ini ditutup dengan bagaimana sistematika penulisan.

BAB II PERKEMBANGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL Bab ini membahas mengenai pengertian penerbangan sipil, sejarah penerbangan sipil, dan sumber hukum penerbangan sipil internasional yaitu Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944.

(20)

BAB III KEIKUTSERTAAN ICAO SEBAGAI ORGANISASI PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL

Bab ini membahas mengenai sejarah dan tujuan ICAO, keanggotaan ICAO serta struktur organisasi ICAO.

BAB IV PERANAN ICAO DALAM PENGAWASAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL

Bab ini membahas mengenai ICAO sebagai proactive inernational regulatory body, kebijakan ICAO dalam menetapkan standar penerbangan sipil serta pengawasan pelaksanaan standar ICAO tersebut oleh ICAO itu sendiri.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab terakhir dari penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan selanjutnya akan ditulis saran yang berkaitan dengan tulisan ilmiah ini ini yaitu Peranan ICAO dalam Pengawasan Penerbangan Sipil Internasional .

(21)

BAB II

PERKEMBANGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL

A. Pengertian Penerbangan Sipil

Dalam bahasa inggrisnya penerbangan adalah Aviation yang berarti the operation of aircraft (penerbangan adalah pengoperasian pesawat terbang) dan the production of aircraft (penerbangan adalah produksi pesawat terbang).Dalam artian lain penerbangan merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan, dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang, dan fasilitas umum lainnya. Dari definisi tersebut diatas secara eksplisit mendefinisikan bahwa penerbangan sipil merupakan pemanfaatan wilayah udara dengan menggunakan pesawat udara sipil.

Pesawat udara diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Menurut Konvensi Paris 1919, klasifikasi pesawat udara diatur dalam Bab VII tercantum dalam pasal 30, 31, 32, dan 33, masing-masing mengatur jenis pesawat udara, pesawat udara militer. Menurut pasal 30 Konvensi Paris 1919, pesawat udara terdiri dari 3 jenis, masing-masing pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan untuk dinas pemerintahan seperti bea cukai, polisi, dan pesawat udara lainnya.9

Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil (private aircraft), namun demikian dalam Konvensi Paris 1919 tidak diatur pengertian pesawat udara.

9 A Moegandi ,1996, Mengenal Dunia Penerbangan Sipil, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

(22)

Dalam hukum nasional, yaitu pengertian pesawat udara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pesawat udara adalah setiap mesin atau alat-alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.

Mengenai pesawat udara sipil, diatur dalam Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Dalam Pasal 3 diatur mengenai pesawat udara negara dan pesawat udara sipil. Pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft).10

Pesawat udara negara tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan diatas negara-negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan diatas negara anggota lainnya. Pesawat udara Negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara tersebut terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helikopter. Sedangkan di dalam hukum internasional, setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan (nationality and registration mark).11

10 Ibid Hal 10

11 Ibid hal 38

(23)

Dalam hukum nasional Indonesia sendiri, terdapat pengertian pesawat udara sipil yaitu pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga. Selain itu juga terdapat pengertian pesawat udara sipil asing, yaitu pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.

Ketentuan Penerbangan sipil di dunia sebelum adanya konvensi Chicago 1944 dapat dilhat dari kesimpulan konvensi Paris, dimana konvensi Paris merupakan sejarah awal pengaturan penerbangan pertama yang dinilai masih condong kepada pengaturan wilayah kedaulatan udara dan navigasi udara, meskipun di dalam prinsip konvensi Paris tetap menganut prinsip keamanan penerbangan, tetapi kebanyakan tentang kerjasama pelaksanaan keamanan (security approach,).

Dalam Konvensi Paris belum terpikirkan pada ketentuan penerbangan sipil dalam artian tidak membuat peraturan secara rinci mengenai penerbangan sipil internasional hanya pengaturan tentang penerbangan saja. Tidak dikatakan apakah pengaturan tersebut mengarah kepada penerbangan yang seperti apa meskipun didalam konvensi Paris dijelaskan perbedaan pesawat sipil, pesawat militer maupun pesawat negara. Ketentuan Pernerbangan Sipil Internasional sebelum lahirnya konvensi Chicago dapat diambil kesimpulan bahwa belum adanya pengaturan penerbangan sipil internasional dalam segala aspek penerbangan sipil secara terperinci pada masa itu.

(24)

Dengan lahirnya konvesi Chicago 1944 setelah Perang dunia II, yang merupakan kelanjutan dari konvensi Paris 1919 membuat suatu kesadaran baru dan semangat kerjasama internasional bagi negara-negara maju. Sebab adanya keyakinan dan niat negara-negara untuk menggunakan pesawat sebagai alat transportasi internasional sehingga terdorong untuk segera menetapkan prinsip dan kaidah bersama guna dijadikan landasan beroperasinya sistem angkutan udara sipil internasional, dengan pengertian lain demi keselamatan penerbangan perlu ditetapkan standarisasi internasional yang berkaitan dengan prosedur teknis penerbangan (navigasi) udara.

B. Sejarah Penerbangan Sipil di Indonesia

Pada tahun 1903. Pesawat terbang pertama telah mengudara ini menandai era baru di dunia tekhnologi penerbangan. Kurang lebih satu tahun kemudian, Teknologi pesawat ini masuk ke Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Teknologi pesawat terbang ini di bawa oleh seorang insinyur belanda bernama Onnen. Lalu pada tahun 1923 industri peswat terbang nusantara pun dibentuk (Technische dienst vd luuchtvaart afdeling) lokasi pertama di lapangan terbang suka miskin bandung. Lokasi berikutnya di pindah ke lapangan terbang yang sekarang di kenal dengan dengan lapangan terbang Husain Sastranegara.

Perkembangan penerbangan sipil di Indonesia ditandai oleh beberapa konferensi yang dikeluarkan oleh organisai-organisasi penerbangan nasional maupun internasional. International Civil Aviation Organization (ICAO)

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional lahir pada 4 April 1947 pada saat

(25)

26 negara penanda tangan meratifikasi Konvensi Chicago 1944. ICAO yang mengatur segala bentuk perjalanan udara mulai dari misi, standar keselamatan, perjanjian dan batas zona terbang.12

Berikut merupakan Penerbangan sipil Indonesia dari masa ke masa sebagai sejarah dan pembentukan maskapai yang ada di Indonesia :

Dimulai Tahun 1913: Penerbangan Pertama di Indonesia

Pada tanggal 19 Februari 1913 seorang penerbang asal Belanda bernama J.W.E.R Hilger berhasil menerbangkan sebuah pesawat jenis Fokker dalam kegiatan pameran yang berlangsung di Surabaya. Penerbangan tersebut tercatat sebagai penerbangan pertama di Hindia Belanda (sekarang Indonesia)

Tahun 1924: Penerbangan Pertama dari Belanda ke Jakarta

Prospek yang baik bagi penerbangan sipil maupun militer di Indonesia, maka pada tanggal 1 Oktober 1924 sebuah pesawat jenis Fokker F-7 milik maskapai penerbangan Belanda mencoba melakukan penerbangan dari Bandara Schippol Amsterdam ke Batavia (sekarang Jakarta). Penerbangan yang penuh petualangan tersebut membutuhkan waktu selama 55 hari dengan berhenti di 19 kota untuk dapat sampai di Batavia dan berhasil mendarat di Cililitan yang sekarang dikenal dengan Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

Tahun 1928: Rintisan Rute Penerbangan di Indonesia

Pada tanggal 1 November 1928 di Belanda telah berdiri sebuah perusahaan patungan KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij) yang terbentuk atas kerja sama Deli Maatschappij, Nederlandsch Handel

12 Rowse, A.L. 2015. Apa Guna Sejarah?. Depok: Komunitas Bambu

(26)

Maatschappij, KLM, Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan dagang lainnya yang mempunyai kepentingan di Indonesia. Dengan mengoperasikan pesawat jenis Fokker-F7/3B, KNILM membuka rute penerbangan tetap Batavia-bandung sekali seminggu dan selanjutnya membuka rute Batavia-Surabaya (pp) dengan transit di Semarang sekali setiap hari. Setelah perusahaan ini mampu mengoperasikan pesawat udara yang lebih besar seperti Fokker-F 12 dan DC-3 Dakota, rute penerbangan pun bertambah yaitu Batavia- Palembang-Pekanbaru-Medan bahkan sampai ke Singapura seminggu sekali.

Tahun 1929: Awal mula Penerbangan Berjadwal di Indonesia

Penerbangan pertama Belanda ke Jakarta, diperlukan lima tahun lagi untuk dapat memulai penerbangan berjadwal. Penerbangan tersebut dilakukan oleh perusahaan penerbangan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) menggunakan pesawat Fokker F-78 bermesin tiga yang dipakai untuk mengangkut kantong surat. Kemudian pada tahun 1931 jenis pesawat yang dipakai diganti dengan jenis Fokker-12 dan Fokker-18 yang dilengkapi dengan kursi agar dapat mengangkut penumpang.

Tahun 1949: Asal nama Garuda Indonesia Airways

Pada tanggal 25 Desember 1949, Dr. Konijnenburg, mewakili KLM menghadap dan melapor kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta bahwa KLM Interinsulair Bedrijf akan diserahkan kepada pemerintah sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan meminta presiden memberi nama bagi perusahaan tersebut karena pesawat yang akan membawanya dari Yogyakarta ke Jakarta nanti akan dicat sesuai nama itu.Presiden Soekarno menjawab dengan

(27)

mengutip satu baris dari sebuah sajak bahasa Belanda gubahan pujangga terkenal, Raden Mas Noto Soeroto di zaman kolonial, Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden ("Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauanmu")

Maka pada tanggal 28 Desember 1949, terjadi penerbangan bersejarah pesawat DC-3 dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair yang membawa Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Kemayoran, Jakarta untuk pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan logo dan nama baru, Garuda Indonesian Airways, pemberian Presiden Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.

Tahun 1952: Pembentukan Djawatan Penerbangan Sipil

Pada tahun 1952 pemerintah membentuk “Djawatan Penerbangan Sipil”

yang saat itu bertanggung jawab kepada Kementerian Perhubungan Udara, tugas dan tanggung jawabnya adalah menangani administrasi pemerintahan, pengusahaan dan pembangunan bidang perhubungan udara, Djawatan Penerbangan Sipil ini merupakan cikal bakal Direktorat Jenderal Perhubungan Udara saat ini.

Tahun 1963: Direktorat Penerbangan Sipil

Pada tahun 1963 Djawatan Penerbangan sipil dirubah nama menjadi Direktorat Penerbangan Sipil seiring dengan perkembangan dunia usaha penerbangan.

(28)

Tahun 1969: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara

Mendorong perkembangan dunia usaha penerbangan agar semakin baik.

Pada pemerintahan Orde Baru telah membentuk Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada tahun 1969 guna menyesuaikan kebutuhan dan pemanfaatannya sebagai pengganti dan penyempurnaan Direktorat Penerbangan Sipil dengan struktur organisasi terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Angkutan Udara Sipil, Direktorat Keselamatan Penerbangan dan Direktorat Fasilitas Penerbangan.

Pada tahun 1974 struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara disempurnakan menjadi Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan, Direktorat Pelabuhan Udara dan Direktorat Telekomunikasi Navigasi Udara & Listrik.

Penerbangan Indonesia terus berkembang bukan hanya bidang lalu lintas dan angkutan udara saja namun sudah mulai dengan perkembangan industri pembuatan pesawat terbang sehingga diantisipasi dengan pembentukan direktorat khusus yang menangani kelayakan udara berstandar internasional, pemerintah mengeluarkan KM 58 Tahun 1991 mengenai penyesuaian struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, strukturnya terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Angkutan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan, Direktorat Teknik Bandar Udara, Direktorat Fasilitas Elektronika dan Listrik dan Direktorat Sertifikasi Kelayakan Udara.

(29)

Tahun 1978: Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN)

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 50/OT/Phb-78, tentang "Susunan organisasi dan tata kerja pelabuhan udara dan Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN)", terbentuk kantor SENOPEN di 7 lokasi yaitu MEDAN, PEKANBARU, PALEMBANG, SURABAYA, BALI, UJUNG PANDANG dan BIAK". Fungsi unit kerja kantor SENOPEN adalah pemberian pelayanan navigasi penerbangan.13

Dan dari penemuan pesawat hingga pengembangan pesawat dunia air navigation semakin membaik dan semakin rame digunakan. Mulai menjadi angkatan persenjataan hingga kini difungsikan sebagai pesawat sipil yang jauh menjanjikan. Dengan adanya penemuan dan konferensi chicago membuat pesawat sipil semakin aman dan terjadwal. Baik tentang navigator, keselamatan ataupun standar kenyamanan yang maskapai berikan kepada penumpang pesawat sipil.

C. Sumber Hukum Penerbangan Sipil Internasional 1. Konvensi Paris

Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus usque ad coelum at ad inferos) yang berarti bahwa negara melaksanakan hak-haknya sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif terhadap ruang udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk ketentuan-ketentuanpengguna ruang udara.

13 Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. 2007. Sejarah Penerbangan Indonesia dari Masa ke Masa. http://hubud.dephub.go.id/?id/page/detail/91 diakses tanggal 13 Maret 2017

(30)

Dalam konferensi Paris 1919 telah dikemukakan berbagai aspek hukum oleh para ahli hukum udara internasional maupun badan-badan internasional lainnya. Aspek-aspek hukum tersebut antara lain mengenai kedaulatan di udara (sovereignty), penggunaan pesawat udara, pendaftaran pesawat udara (nationality and registration mark), sertifikasi awak pesawat udara (certificate of competency), sertifikasi pesawat udara (certificate of airworthiness), transportasi bahan peledak, izin penerbangan, izin pendaratan, peralatan navigasi penerbangan, dan lain-lain.14

Konvensi Paris 1919 ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.15

Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Article 5 :

“...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization,

14 K. Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 44.

15 Pasal 1 Konvensi Paris 1919 : “The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its territory.”

(31)

permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the nationality of a contracting State”.Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas. Pembatasan tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota Konvensi.16

Selanjutnya hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Article 2 Konvensi Paris yang menyatakan:

“Each contracting State undertakes in time of peace to accord freedom of innocent passage above its territory to the aircraft of the other contracting States, provided that the conditions laid down in the present Convention are observed”.

“Setiap Negara melakukan di masa damai untuk sesuai kebebasan lintas damai di atas wilayahnya dengan pesawat dari kontraktor lainSerikat , asalkan kondisi yang ditetapkan dalam Konvensi ini yang diamati. Peraturan yang dibuat oleh Negara kontrak untuk pengakuan atas wilayahnya dari pesawat dari kontraktor lain Serikat harus diterapkan tanpa pembedaan kebangsaan”

Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara

16 Frans Likada, Masalah Lintas di Ruang Udara, Binacipta, Bandung, 1987, hal.8

(32)

anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.17

Prinsip konvensi Paris 1919 yaitu :

1. Setiap negara mempunyai kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada diatasnya

2. Berisikan hak lintas damai

3. Larangan terbang melintasi daerah/area tertentu. Dengan alasan tidak boleh lain dari alasan pertahanan militer atau keselamatan rakyat-rakyat.

4. Membangun kerjasama di antara negara-negara untuk mengamankan penerbangan dan navigasi internasional

5. Mengatur aturan penerbangan, ber-schedule 6. Mengatur aturan penerbangan, un-schedule18 Kesimpulan konvensi Paris 1919 :

1. Dalam konvensi Paris 1919, disamping menyetujui prinsi - prinsip umum peraturan navigasi udara internasional (dari prinsip satu sampai enam), juga memuat sebagian besar ketentuan operasi penerbangan internasional khususnya bagi bidang keselamatan penerbangan.

2. Sebagai hasil pemikiran negara-negara pemenang perang dunia I konvensi dinilai bersifat “diskriminatif”.

2. Konvensi Chicago 1944

17 Ibid hal.9

18 http://www.landasanteori.com/2015/09/hukum-udara-internasional-sifat-tujuan.html

(33)

Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara- negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan- ketentuan bersama yang baru mengenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris.

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919, menyatakan:

”The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory“.

“Negara mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayahnya”. Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi di ruang udara di atas wilayahnya.

Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing. Dengan cara ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk membuat perjanjian internasional baik

(34)

bilateral, regional, plurilateral maupun multilateral mengenai hak-hak komersial.

Pasal 5 Konvensi menyatakan:

“Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory and to make stops for non- traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than scheduled international air services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it may consider desirable”.

“Setiap Negara setuju bahwa semua pesawat dari kontraktor lain Serikat, menjadi pesawat tidak bergerak dibidang jasa penerbangan internasional dijadwalkan berhak, tunduk pada ketaatan terhadap ketentuan Konvensi ini, untuk membuat penerbangan ke atau transit non-stop di nya wilayah dan membuat berhenti untuk tujuan non lalu lintastanpa perlu mendapatkan izin sebelumnya, dan tunduk pada hak Negara diterbangkan lebih membutuhkan arahan. Setiap

(35)

Negara tetap berhak, karena alasan keselamatan penerbangan, membutuhkan pesawat yang ingin melanjutkan lebih daerah yang tidak dapat diakses atau tanpa fasilitas navigasi udara yang memadai untuk mengikuti ditentukan rute, atau untuk mendapatkan izin khusus untuk penerbangan tersebut. Pesawat tersebut, jika terlibat dalam pengangkutan penumpang, kargo,atau surat untuk remunerasi atau menyewa pada selain layanan udara internasional terjadwal, juga harus tunduk pada ketentuan Pasal 7, memiliki hak istimewa untuk mengambil atau pemakaian penumpang, kargo, atau surat,dtunduk pada hak setiap Negara di mana embarkasi atau debit tersebut dilakukan untuk memaksakan peraturan-peraturan tersebut, kondisi atau keterbatasan karena dapat mempertimbangkan diinginkan”.

Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang melintasi batas wilayah negara, baik penerbangan yang bersifat non-trafic maupun penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan mematuhi semua peraturan yang ditetapkan negara kolong. Pasal ini erat kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule internasional. Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional yang berbunyi:

"Tidak ada layanan udara internasional yang dijadwalkan dapat dioperasikan diatas atau ke dalam wilayah Negara kontrak , kecuali dengan izin khusus atau otorisasi lainnya dari Negara tersebut , dan sesuai dengan ketentuan izin atau otorisasi tersebut".

(36)

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani pengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau pemberian hak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan perkataan lain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan adanya perjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral.

Adapun 6 (enam) dokumen hasil Konvensi Chicago, yaitu :

1. The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944).

2. International Air Services Transit Agreement (IASTA).

3. International Air Transport Agreement (IATA).

4. Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).

5. Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement).

6. The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).

Sembilan puluh enam pasal dari konvensi ini menetapkan hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban bagi semua negara-negara peserta. Konvensi Chicago 1944 yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia, dinilai mengandung kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944) dengan memasukkan Pasal 3 Bis, mengenai:

(37)

(1) This Convention shall be applicable only to civil aircraft, and shall not be applicable to state aircraft.

(2) Aircraft used in military, customs and police services shall be deemed to be state aircraft.

(3) No state aircraft of a contracting State shall fly over the territory of another State or land thereon without authorization by special agreement or otherwise, and in accordance with the terms thereof.

(4) The contracting States undertake, when issuing regulations for their state aircraft, that they will have due regard for the safety of navigation of civil aircraft.

1) Kewajiban hukum untuk tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil (kemanusiaan).

2) Negara berhak memerintahkan pesawat udara sipil pelanggar untuk mendarat di bandar udara yang ditentukan

3) Negara diminta menggunakan prosedur pencegatan (Interception) terhadap pesawat udara sipil dan setiap pesawat udara sipil harus mematuhi instruksi yang diberikan oleh pesawat udara negara yang melakukan pencegatan.

4) Setiap negara harus menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya ketentuan hukum yang berat bagi para pelaku dan operator pesawat udara sipil, yang dengan sengaja bertentangan dengan Konvensi ini.19

Dalam Pasal 37 Konvensi Chicago dinyatakan :

19 Hukumonline.com/2011/01/sekelumit-tentang-hukum-udara-internasional.html (diakses tanggal 15 Maret 2016).

(38)

“Each contracting State Undertakes to collaborate in securing the highest practicable degree of uniformity in regulations, standards, procedures, and organization inrelation to aircraft, personnel, airways and auxiliary services in all matters in which such uiformity will facilitate and improve navigation...”20

Bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan sipil negara peserta Konvensi Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan dan lain-lain) dengan peraturan standar, prosedur dan organisasi yang sesuai dengan standar International Civil Aviation Organization (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbaharui Standar and Recommended Practices (SARPs) yang dituangkan dalam Annexes 1-18 dengan berbagai dokumen dan circular penjabarannya yang harus dipatuhi oleh negara peserta Konvensi Chicago.

Bila negara tidak bisa melaksanakan atau tidak bisa mematuhi pasal-pasal tertentu dalam annexes tersebut, negara tersebut harus segara memberitahu ICAO untuk kemudian diumumkan melalui lampiran dari annex terkait. Demikian juga bila ada perubahan atau amandemen annex yang tidak bisa dipatuhi, maka negara tersebut harus memberitahu ICAO dalam kurun waktu 60 hari setelah pemberlakuan pemberitahuan tersebut.

Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundamental. Ada kurang lebih 10.000 standar dan 40 Quasi-Standar yang tercantum dalam Annex 1-18 ICAO beserta dokumen dan sirkulernya (circular).

Bila suatu negara tidak pernah mengirim perbedaan (differences) kepada ICAO

20 Convention on International Civil Aviation at Chicago 1944 Article 37

(39)

maka berarti negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO.

Indonesia termasuk negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO.

Hasil yang paling signifikan dari Konvensi Chicago adalah pada ranah teknikal dimana konvensi ini telah meletakkan pondasi berupa seperangkat aturan dan regulasi mengenai navigasi udara yang bertujuan menjamin keselamatan penerbangan dan membuka jalan bagi pengaplikasian sistem navigasi bersama di seluruh dunia.

Konvensi Chicago tersebut sangat berpengaruh dan dijadikan sebagai sumber hukum internasional di bidang penerbangan sipil. Konvensi ini juga mengikat secara moral setiap negara anggota PBB melalui sejumlah instrumen ratifikasi maupun berdasarkan adhere (penundukan diri).

Dari paparan diatas, secara eksplisit bahwa yang menjadi dasar terciptanya ICAO adalah konvensi Chicago 1944, dimana Konvensi Chicago 1944 adalah sebagai sumber hukum penerbangan sipil internasional sampai saat ini.21

21 Yaddy Supriyadi,2012, op.cit, hal.6.

(40)

BAB III

KEIKUTSERTAAN ICAO SEBAGAI ORGANISASI PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Tujuan ICAO

Catatan sejarah ditandatanganinya The Chicago Convention pada tanggal 7 Desember 1944 oleh 52 negara yang dikenal sebagai “the founding members”.

Konvensi inilah yang kemudian mengamanatkan pembentukan sebuah organisasi penerbangan sipil dunia yang bernama ICAO (Internatinal Civil Aviation Organization) dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Penerbangan Sipil Dunia. Organisasi penerbangan dunia yang termasuk di dalam PBB yang di sebut ICAO adalah badan dibawah PBB yang kegiatannya menyiapkan peraturan penerbangan sipil internasional, melakukan distribusi dan melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap penerapannya.

ICAO lahir atas prakarsa negara-negara sekutu Amerika, tepatnya pada tanggal 01 November 1944 sampai dengan 07 Desember 1944, oleh 52 negara- negara sekutu Amerika berkumpul di Chicago : mereka mengadakan konverensi yang dikenal sebagai “Chicago Conference 1944”. Membahas masalah- masalah penerbangan sipil yang harus diselesaikan pada akhir masa perang dunia.

Konvensi Chicago 1944 menjadi cikal bakal lahirnya ICAO pada tahun 1947. Sifat peraturan hasil Konferensi Chicago adalah Standard And Recommended Practice (SARPs), artinya ada peraturan yang merupakan

(41)

keharusan/ ”mandatory” dan ada peraturan yang hanya bersifat “recommended”/

direkomendasikan.22

ICAO lahir didahului dengan terbentuknya “panitia persiapan pembentukan ICAO” yang terkenal dengan PICAO (Provisional Civil Aviation Organization). PICAO terbentuk resmi tanggal 6 Juni 1945 di Montreal Canada.

Berfungsi sampai dengan tanggal 4 April 1947. ICAO resmi terbentuk tanggal 4 April 1947, di Montreal Canada. Menjadi badan dibawah PBB tanggal 13 Mei 1947. Setiap negara anggota PBB (negara yang merdeka dan berdaulat) dapat menjadi anggota ICAO. Kepentingan dan tujuan utama ICAO adalah Kamanan &

Keselamatan, Efisiensi dan Keteraturan (Security & Safety, Efficiency, Regularity). Kantor pusat ICAO berada di Montreal (Canada). Kantor wilayah tersebar di 7 (tujuh) wilayah :

a. Mexico City (Mexico).

b. Lima (Peru) c. Paris (Perancis).

d. Dakkar (Senegal).

e. Cairo (Egypt).

f. Nairoby (Kenya).

g. Bangkok (Thailand)

ICAO merupakan organisasi permanen yaitu organisasi yang didirikan untuk jangka waktu yang tak terbatas. Sepanjang penerbangan di udara masih di lakukan oleh Negara-negara maka ICAO ini akan tetap ada sebagai standarisasi

22 http://zeppelinpink.blogspot.co.id/2013/02/icao.html Konvensi Penerbangan Sipil Internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 43 sampai pasal 63 Konvensi Chicago 1944 diakses tanggal 15 Maret 2018.

(42)

penerbangan sipilnya. Presiden ICAO saat ini adalah Olumuyiwa Benard Aliu dari Nigeria dan Sekretaris Jenderal bernama Fang Liu dari negara China. ICAO merupakan organisasi publik yang didirikan atau anggotanya adalah pemerintah (intergoermental) yang memenuhi syarat-syarat yang sebagai mana ditentukan diantaranya :

1. Organisasi ICAO ini didirikan berdasarkan Perjanjian Internasional,

2. Organisasi ICAO mempunyai alat perlengkapan (organ) yang disebut Majelis yang tercantum dalam pasal 43 konvensi Chicago 1944.

3. Hukum yang berlaku untuk ICAO adalah konvensi Chicago sebagai hukum Internasional untuk Negara-negara anggota ICAO.

Adapun bahasa yang dipergunakan ICAO dalam penerbitan dan penyebaran regulasi di bidang penerbangan sipil adalah (Inggris, Perancis, Spanyol, Arab, China dan Rusia).

Tercantum dalam pasal 44 konvensi Chicago yang menjadi tujuan dari ICAO, yang berbunyi:

“The aims and objectives of the Organization are to develop the principles and techniques of international air navigation and to foster the planning and development of international air transport so as to:

a. Insure the safe and orderly growth of international civil aviation throughout the world

b. Encourage the arts of aircraft design and operation for peaceful purposes;

c. Encourage the development of airways, airports, and air navigation facilities for international civil aviation;

(43)

d. Meet the needs of the peoples of the world for safe,regular, efficient and economical air transport;

e. Prevent economic waste caused by unreasonable competition;

f. Insure that the rights of contracting States are fully respected and that every contracting State has a fair opportunity to operate international airlines;

g. Avoid discrimination between contracting States;

h. Promote safety of flight in international air navigation;

i Promote generally the development of all aspects of international civil aeronautics.”23

“Maksud dan tujuan Organisasi adalah untuk mengembangkan prinsip- prinsip dan teknik navigasi udara internasional dan untuk mendorong perencanaan dan pengembangan transportasi udara internasional sehingga dapat:

a. Asuransikan pertumbuhan aman dan tertib penerbangan sipil internasional di seluruh dunia;

b. Mendorong seni desain pesawat dan operasi untuk tujuan damai;

c. Mendorong pengembangan saluran udara, bandar udara, dan fasilitas navigasi udara untuk penerbangan sipil internasional;

d. Memenuhi kebutuhan bangsa-bangsa dunia yang aman, teratur, efisien dan ekonomis angkutan udara;

e. Mencegah limbah ekonomi yang disebabkan oleh persaingan tidak masuk akal;

23 Convention on International Civil Aviation at Chicago 1944,Cahpter VII, Articles 43.

(44)

f. Memastikan bahwa hak-hak kontrak Serikat sepenuhnya dihormati dan bahwa setiap Negara anggota memiliki kesempatan yang adil untuk mengoperasikan penerbangan internasional;

g. Hindari diskriminasi antara kontraktor Serikat;

h. Meningkatkan keselamatan penerbangan dalam navigasi udara internasional;

i. Mempromosikan umum pengembangan semua aspek internasional sipil aeronautika.

Sebagai penerapan peraturan internasional, peraturan yang dibuat oleh negara anggota minimum standard dengan ICAO, sedangkan untuk alasan / pertimbangan keamanan dan keselamatan, negara anggota dapat membuat peraturan nasional relatif lebih ketat. Peraturan produk negara anggota dan penerapannya, dilaporkan/di informasikan kepada ICAO. Peraturan produk ICAO bersifat universal. Keanggotaan ICAO terbuka bagi Negara-negara yang berdaulat24.

ICAO dibentuk dalam rangka untuk mengembangkan prinsip-prinsip serta teknik-teknik navigasi udara secara internasional. Selain itu tujuan lain adalah untuk membina perencanaan dan perkembangan angkutan udara dalam ruang lingkup internasional. Kepentingan serta tujuan utama ICAO adalah Kamanan &

Keselamatan, Efisiensi dan Keteraturan (Security & Safety, Efficiency, Regularity). Dengan tujuan tersebut, ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan ICAO selaku organisasi penerbangan internasional. Seperti menyiapkan peraturan

24 http://www.indonesia-icao.org/template.html#juduldokumen2 diakses tanggal 15 Maret 2018

(45)

penerbangan sipil internasional, melakukan distribusi juga melakukan pemantauan plus melakukan evaluasi penerapannya.

Adapapun visi dan Misi ICAO adalah sebagai berikut :

Vision : ”Achieve the sustainable growth of the global civil aviation system”.

Mission : “To serve as the global forum of States for international civil aviation. ICAO develops policies and Standards, undertakes compliance audits, performs studies and analyses, provides assistance and builds aviation capacity through many other activities and the cooperation of its Member States and stakeholders.”25

Visi : “Mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara berkelanjutan dari sistem penerbangan sipil secara global ".

Misi : “Sebagai pelayanan forum global penerbangan sipil internasional.

ICAO mengembangkan kebijakan dan standar, melaksanakan audit kepatuhan, melakukan studi analisis, memberikan bantuan dan membangun kapasitas penerbangan melalui banyak kegiatan dan kerja sama negara-negara anggota dan pemangku kepentingannya.”

Nilai yang ditawarkan oleh ICAO dalam merealisasikan tujuan adalah dengan ICAO Strategic Objectives , yakni sebuah forum global antara anggota dan ICAO untuk menyusun standar dan rekomendasi untuk pengembangan Badan Penerbangan Sipil Internasional. strategi ini menekankan pentingnya Safety (keselamatan penerbangan sipil global), Security (keamanan penerbangan sipil

25 https://www.icao.int/about-icao/Council/Pages/vision-and-mission.aspx diakses tanggal 15 Maret 2018

(46)

global), dan melalui Environmental Protection and Sustainable Development of Air Transport yang bertugas membangun lingkungan kinerja penerbangan sipil global lebih harmonis.

Dari sini terlihat bahwa latar belakang pengaturan sistematika penerbangan sipil secara internasional ini untuk memudahkan kepentingan ekonomi dan keamanan teritorial udara sesuai kaidah hukumnya. Namun kemudian, ICAO mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terlihat dari jumlah anggota dan isu serta teknologi yang dikembagkan. Jumlah anggota ICAO ketika pertama kali ditandatangani hanya oleh 52 negara, saat ini telah beranggotakan 191 negara dari seluruh dunia.

Perkembangan ICAO bisa dilihat dari sejumlah faktor, diantaranya

perubahan tujuan strategisnya. Tujuan strategis ICAO pada jangka waktu 2005-2010 antara lain Safety, Security, Environmental Protection, Eficiency,

Continuity, dan Rule of Law. Aspek safety and security maksudnya adalah meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan sipil global. Sementara dari segi environmental protection, ICAO ingin meminimalisir dampak merugikan dari aktivitas penerbangan sipil global terhadap lingkungan.

Continuity maksudnya adalah memelihara dan menjadga kelangsungan operasi penerbangan, dan rule of law bermakna penguatan hukum menyangkut penerbanagn sipil global. Dalam misi berkelanjutan untuk mewujudkan sistem penerbangan sipil global yang beroperasi secara seragam dan konsisten dalam penyediaan keamanan, keselamatan, dan sustainability, kelima tujuan strategis di atas dipadatkan menjadi tiga jangka waktu 2011-2013, yakni Safety, Security, dan

(47)

Environmental Protection and Sustainable Development of Air Transport. Dari segi Safety dan Security tidak mengalami perubahan. Sementara dari segi Environmental Protection and Sustainable Development of Air Transport, ICAO ingin membangun penerbangan yang harmonis sekaligus ekonomis yang tidak membahayakan atau merusak lingkungan.

Perkembangan kedua terletak pada isu. Apabila dilihat dari isunya, maka ICAO berkembang dari tujuan awal yakni hanya bisnis penerbangan dan keamanan kawasan udara menjadi lebih komprehensif. Hal ini terlihat dari konsep Sustainable Development of Air Transport yang ditawarkan oleh ICAO dan mengkaji beberapa aspek seperti analisis ekonomi, regulasi transportasi udara, forecasting, manajemen infrastruktur yang jelas dan pengolahan statistik yang akurat. Analisis ekonomi digunakan untuk mengimbangi AS dan mengembangkan metodologi yang tepat untuk meningkatkan kontribusi ekonomi dalam sektor bisni baik itu nasional maupun regional. Kemudian juga dibuat lebih jelas dan liberal terhadap regulasi transportasi udara melalui monitoring dan menganalisa hal yang menjadi sangat penting secara kebijakan dan material yang cukup. Selanjutnya, adalah forecasting yang dibantu oleh Forecasting and Economic Analysis Support Group (FESG). Hal yang juga diperlukan adalah manajerial infrastruktur yang bagus, namun hal ini tdak mudah karena pressure akan dirasakan dan justru pekerjaan tidak akan selesai. Sehingga perlu suatu data yang titik akurasi dan pembuatan alur organisasi menjadi jelas melalui The Integrated Statistical Database (ISDB).26

26 Yaddy Supriyadi,2012, op.cit, hal.27

(48)

Dari sini dapat dikatakan bahwa ICAO merupakan salah satu organisasi agensi PBB yang secara khusus menangani persoalan teknis berkaitan tentang ranagh penerbangan sipil internasional agar dapat diciptakan keteraturan dan sistematika yang jelas dalam bingkai kerja sama internasional. Organisasi ini dapat dikatakan berhasil karena sistem manajemen yang terstruktur dengan baik memungkinkan berbagai kerja sama terlaksana dengan baik antarnegara anggota yang berjumlah 191 negara. Sehingga menurut penulis, ICAO telah mencapai efektifitas dan efisiensinya sebagai organisasi.

B. Negara – Negara Anggota ICAO

Setiap negara yang berdaulat yang telah menjadi anggota PBB bisa menjadi anggota ICAO. Berdasarkan Konvensi Chicago Article 93, dijelaskan bahwa suatu negara yang keluar dari keanggotaan PBB maka otomatis ia keluar dari keanggotaan ICAO dan akan kembali diterima jika mendapat persetujuan dari Majelis Umum. Sesuai dengan bunyi Konvensi Chicago Article 93

“A State whose government the General Assembly of the United Nations has recommended be debarred from membership in international agencies established by or brought into relationship with the United Nations shall automatically cease to be a member of the International Civil Aviation Organization”27

Keanggotaan berdasarkan penundukan diri (adherence) diatur dalam pasal 93 tersebut diatas “semua negara anggota PBB atau anggota organisasi di bawah

27 Convention on International Civil Aviation at Chicago 1944,Cahpter XXI, Articles 93

Referensi