• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang hidup di hutan. Manusia yang tidak pernah tahu bagaimana. pernah adanya interaksi dengan individu yang lain.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. manusia yang hidup di hutan. Manusia yang tidak pernah tahu bagaimana. pernah adanya interaksi dengan individu yang lain."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial sudahlah menjadi kodrat yang mewajibkan kita untuk berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal dasar untuk kita berinteraksi dengan orang lain. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial, setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan

dengan orang lain1. Manusia tak akan pernah terlepas akan namanya

komunikasi. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi sama saja akan manusia yang hidup di “hutan”. Manusia yang tidak pernah tahu bagaimana keadaan lingkungan di sekitarnya. Manusia yang hidup sendiri karena tidak pernah adanya interaksi dengan individu yang lain.

Perkembangan dari tahun ke tahun jaman ke jaman menuntut komunikasi berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda. Fotografi merupakan media komunikasi visual yang tercipta dari hasil perkembangan bentuk komunikasi. Fotografi menyampaikan sesuatu melalui pesan simbolik yang dimaknai masing-masing personal yang melihatnya. Komunikasi sebagai suatu proses simbolik menyatakan bahwa kebutuhan simbolisasi dan penggunaan lambang

1

(2)

2

adalah salah satu kebutuhan pokok manusia2. Manusia dan hewan adalah salah

satu makhluk yang menggunakan lambang dalam kehidupannya. Lambang atau simbol sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya. Lambang muncul dari kesepakatan bersama tiap-tiap individu. Lambang bisa muncul dimana-mana dalam kehidupan kita semua. Rambu-rambu lalu lintas di jalan, warna dalam lampu mobil kita, di kantor, di manapun kita bisa menemui lambang yang sudah dimaknai secara universal. Namun ada juga sifat dari lambang yang bervariasi, tiap tempat maupun negara punya kesepakatan sendiri terhadap lambang itu sendiri. Dari kebiasaan kita melihat dan memaknai lambang itulah, secara tidak sengaja kita telah melakukan suatu proses yang dinamakan komunikasi visual. Sejarah telah membuktikan bahwa penglihatan manusia mempunyai dampak yang besar terhadap pikiran manusia. Bagaimana dahulu kala manusia masih hidup di dalam gua mencoba merealisasikan ide gambaran atau angan-angan dalam pikiran mereka dengan membuat coretan-coretan sampai ke dalam bentuk suatu simbol tertentu. Simbol-simbol itulah yang pada akhirnya menjadi suatu bentuk visual yang kita lihat dan kita pahami pesan yang ada di dalamnya.

Fotografi bisa dikatakan sebagai produk dari perkembangan komunikasi visual. Fotografi itu merupakan kata-kata yang diambil dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu: photos yang artinya cahaya dan graphos yang artinya lukis. Secara sederhana fotografi bisa diartikan menggambar dengan cahaya. Serta secara umum, fotografi bisa diartikan suatu proses atau metode

2

(3)

3

untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada cahaya, berarti tidak ada foto yang bisa dibuat. Alat paling populer untuk proses ini adalah kamera.

Pasca ditemukannya fotogafi seperti yang tertulis dalam buku The History of Photography karya Alma Davenport, terbitan University of New Mexico Press tahun 1991, disebutkan bahwa pada abad ke-5 sebelum Masehi, seorang pria bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala. Apabila pada dinding ruangan yang gelap terdapat lubang, maka di bagian dalam ruang itu akan

terefleksikan pemandangan di luar ruang secara terbalik lewat lubang tadi3.

Perkembangan fotografi ini sendiri telah melewati beberapa fase mulai dari era Pra Negatif dimana sebuah foto masih dibuat dari lempengan logam dimana untuk membuat satu foto saja memerlukan waktu beberapa menit sampai beberapa jam. Era negatif menjadi sangat populer saat George Eastman menemukan roll film yang membuat proses fotografis ini menjadi lebih mudah. Diciptakan juga kamera box pertama berlabel Kodak yang mengawali kepraktisan dalam bentuk-bentuk kamera. Hingga sampai sekarang mencapai fase fotografi digital yang membuat segalanya lebih mudah.

Tuntutan akan cepatnya perkembangan jaman dan informasi yang harus segera tersebar ke seluruh belahan dunia. Saat itu, perkembangan fotografi digital juga didorong oleh tuntutan para jurnalis saat meliput perang di Vietnam untuk menyampaikan gambar ke redaksi surat kabar Amerika dan

3

(4)

4

Eropa dengan cepat. Berbicara tentang perkembangan fotografi yang merambah ke seluruh dunia, Indonesia juga tidak luput dari imbas perkembangan fotografi juga. Di indonesia, dunia fotografi masuk pertama kali pada tahun 1841, saat seorang pegawai kesehatan Belanda bernama Juriaan Munich mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Munich diberi tugas mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Karena latar inilah, fotografi mulai berkembang di Indonesia. Ialah Kasian Cephas, warga lokal asli yang dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta. Cephas sebenarnya adalah asli pribumi yang kemudian diangkat sebagai anak oleh pasangan Frederick Bernard Franciscus Schalk dan Eta Philipina Kreeft, lalu disekolahkan ke Belanda. Cephas-lah yang pertama kali mengenalkan dunia fotografi ke Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak

dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 18754.

Dari sejarah singkat fotografi diatas dapat kita lihat, sampai sekarang fotografi masih berkembang terus-menerus. Penggunaan dan penerapan fotografi sebagai media komunikasi visual sudah ada dimana-mana. Penggunakan foto sebagai media komersil untuk menawarkan sesuatu, bingkai-bingkai foto dirumah sebagai hiasan seni dan pemanis ruangan dan

4

Gerrit Knaap, Chepas, Yogyakarta, Photography in the service of the Sultan, (The Netherland, KITLV Press, 1999) p.5

(5)

5

foto juga mendapatkan tempat spesial dalam media massa sebagai pasangan

dari sebuah teks. Dalam konteks media massa, foto adalah alat untuk

memperkuat penyampaian berita yang lebih dikenal sebagai foto jurnalistik.

Dari fungsinya itu tergambarkan alasan apa yang mendasari akhirnya foto

terpilih menjadi penguat berita dalam media massa, foto mempunyai kelebihan mampu merekam peristiwa yang aktual dan membentuk sebuah citra di dalamnya. Foto membuat kita berimajinasi bahwa kita sedang berada dalam kondisi saat terjadinya berita tersebut terjadi. Kekuatan visual sebuah foto teribaratkan pembaca sedang hadir dan melihat secara langsung apa yang sedang diberitakan. Singkatnya, foto membuat imajinasi pembaca bisa lebih nyata dan menjadi pembuktian akan fakta tentang peristiwa yang sedang terjadi. Foto sebagai ungkapan berita sesungguhnya punya sifat yang sama dengan berita tulis. Keduanya harus memuat unsur apa (what), siapa (who), di mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya, dalam bentuk visual/gambar, foto berita punya kelebihan dalam menyampaikan unsur how-bagaimana kejadian tersebut berlangsung. Memang, unsur how dalam peristiwa juga bisa dituangkan lewat tulisan (berita tulis), namun foto bisa

menjawab dan menguraikannya dengan lebih baik5.

Pada dasarnya, itulah perbedaan bahasa tulisan dan bahasa gambar. Bahasa tulisan memerlukan proses pembacaan dan pemahaman, kemudian menyentuh emosi. Bahasa gambar, di sisi lain, langsung memberi dampak. Pemahamannya terjadi lewat penglihatan tanpa perlu diterjemahkan terlebih

5

Atok Sugiarto, Paparazzi; Memahami Fotografi Kewartawanan (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), p. 22.

(6)

6

dulu dalam pengertian. Secara langsung gambar menciptakan persepsi mengenai kejadian tertentu. Singkat kata, gambar menimbulkan respons emosional lebih cepat daripada tulisan.

Buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan” adalah suatu karya dokumentari yang digali dari riset-riset sebelum akhirnya di”eksekusi” melalui media foto. Kumpulan foto yang dikemas secara apik tersebut bercerita tentang kehidupan

sosial di daerah Palapasang, perbatasan Indonesia dan Malaysia. Pengambilan

judul “Ketika Indonesia Dipertanyakan” mempunyai korelasi dengan kehidupan sehari-hari rakyat di desa tersebut, bagaimana yang seharusnya mereka adalah WNI yang mendapatkan fasilitas yang sama dengan WNI yang hidup di daerah lain. Kenyataan yang terjadi adalah mereka lebih memilih ketergantungan dengan negeri tetangga kita Malaysia. Sungguh ironi ketika hal ini pada akhirnya bertolak-belakang dengan kenyataan yang terjadi perihal hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Awal mula perseteruan Indonesia dengan Malaysia, adalah sejak berdirinya Malaysia atas persemakmuran dari Inggris, Malaysia sudah memulai hubungan buruk dengan Indonesia. Saat itu, Inggris meminta Malaysia yang dulunya bernama Semenanjung Malaya digabungkan dengan bagian Kalimantan Utara dengan negara yang bernama Malaysia. Konflik perebutan territorial ini, membuat Presiden Soekarno saat itu marah dengan alasan penyatuan wilayah merupakan ancaman untuk Indonesia karena Inggris bisa saja menjajah

kembali Indonesia6. Ketidakharmonisan dilanjut ketika terjadi perebutan

6

(7)

7

pulau Sipadan dan Ligitan berlanjut ke Pulau Ambalat yang didalamnya tersembunyi surga minyak bumi. Kegeraman Indonesia diperparah ketika Malaysia membuat skenario cantik meng-klaim beberapa kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan asli mereka. Reog Ponorogo, Tari Pendet, Wayang, Batik sampai makanan Es Cendol pun tidak luput dari lirikan Malaysia. Kondisi ini yang pada akhirnya membuat masyarakat Indonesia geram, berbagai kecaman muncul ditujukan ke Malaysia. Namun kondisi tersebut tidak menggoyahkan niat Malaysia meng-klaim budaya Indonesia. Tayangan “Enigmatic Malaysia” muncul di Discovery Channel membuat klimaks kemarahan rakyat Indonesia semakin parah. Jalur diplomasi pun akhirnya ditempuh Pemerintah Indonesia untuk mencari penyalesaian masalah ini.

Kondisi inilah yang menjadikan bias antara kehidupan masyarakat Indonesia di perbatasan dengan segala ketergantungannya dengan Malaysia dengan masyarakat Indonesia ditempat lain yang begitu membenci negeri Jiran tersebut. Mayoritas masyarakat berseru “Ganyang Malaysia”, tapi minoritas masyarakat di daerah perbatasan tidak bisa menjaga kelangsungan hidupnya tanpa Malaysia. Hal ini semacam bentuk ketidakadilan antara perlakuan Pemerintah Indonesia terhadap beberapa masyarakatnya yang hidup di daerah perbatasan. “Ketika Indonesia Dipertanyakan” bisa jadi memang judul yang cocok, mengindikasikan apakah selama ini mereka mempertahankan nasionalisme mereka dengan sia-sia. Realita yang tergambar dalam sekumpulan foto di buku, mengarahkan seluruh rakyat Indonesia yang

(8)

8

membaca buku tersebut terhadap tindakan simpati. Dan dilain sisi, kritik mendalam juga tersampaikan kepada Pemerintah. Buku ini memaksa pemerintah untuk membuka mata, menyadari dan kemudian menantikan sebuah tindakan atas kondisi tersebut.

Untuk itu dengan bekal pemilihan penitian dengan metode Semiotika, akan digali suatu bentuk representasi dari sisa-sisa Nasionalisme yang tersisa diantara sekian banyak foto yang menyuguhkan pertanyaan tentang kehadiran sebuah jiwa nasionalisme. Betapa pentingnya jiwa nasionalisme ini ketika mereka sendiri mungkin saja sedang dilirik oleh negara tetangga. Nasionalisme ini sendiri adalah dasar kecintaan yang harus mereka miliki. Dasar agar mereka terhindar dari pengaruh-pengaruh tertentu dari luar.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu bagaimana representasi nasionalisme yang ada

dalam buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui representasi nasionalisme

(9)

9

D. Manfaat Penelitian

a. Kegunaan Akademis

Menambah wacana tentang studi semiotika khususnya pada bidang fotografi dalam menganalisa setiap pesan-pesan sosial yang ada dalam sebuah media foto terutama yang menyangkut dengan dinamika rakyat Indonesia.

b. Kegunaan Praktis

Dapat bermanfaat bagi peneliti maupun pihak lain untuk memaknai sebuah karya foto. Sebuah karya foto pasti dilengkapi dengan beberapa elemen tanda atau simbol yang bisa diartikan untuk memperkuat isi pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas.

E. Tinjauan Pustaka

E.1. Kekuatan Fotografi Sebagai Media Komunikasi Efektif

Fotografi pada dasarnya adalah wujud suatu gambar/media visual sama seperti media-media lainnya. Gambar (drawing) dalam bahasa Jerman adalah zeichen yang berarti tanda. Kata ini kemudian diturunkan menjadi kata kerja zeichnen yang berarti menggambar, yaitu membuat tanda. Hubungan serupa juga ada di Italia dimana segno (tanda) dirunkan menjadi disegno (gambar/design). Sedang di Inggris yang asal kata sign (tanda) berhubungan dengan kata design

(10)

10

menggambar7. Dengan kata lain gambar itu sendiri adalah tanda.

Tanda yang sengaja dibuat untuk menyampaikan sesuatu. Gambar itu sendiri terdiri dari beberapa elemen visual yaitu: Garis, Bidang,

Ruang, Warna, Bentuk dan Tekstur8. Setiap elemen yang dibuat pasti

ada tujuan kenapa itu dibuat. Semisal pasti ada alasan kenapa warna gelap cenderung dipakai untuk menggambarkan kondisi yang suram atau sedih. Bentuk garis yang tebal mengandung maksud ketegasan dsb. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut jika dikemas secara baik pada akhirnya memunculkan arti dan makna dari sebuah bentuk visual.

Pasca Joseph Nicephore Niepce (1765-1833), Louis Jacques Mande Daguerre (1787-1851) dan William Henry Fox Talbot

(1800-1851) meletakkan batu pertama dalam pondasi fotografi di dunia9.

Foto-foto karya mereka bercerita bahwa fotografi merupakan duplikasi dari apa yang dilihat oleh mata. Apa yang ingin kita komunikasikan tentang apa yang kita lihat, bisa dibuktikan dengan penciptaan sebuah foto. Keberadaan fotografi sebagai representasi relitas seolah-olah mengancam posisi lukisan sebagai media visual lainnya. Seorang pelukis bernama Delaroche berkata, ”mulai hari ini,

lukisan sudah mati”10. Lukisan yang dibuat dengan tingkat kesulitan

7

Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Studio Diskom, Irama Visual, Dari Toekang

Reklame Sampai Komikator Visual (Yogyakarta, Jalasutra, 2009) p. 89

8

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta, Jalasutra, 2008) p. xi

9

Handout materi ,Dunia Fotografi Orientasi Dasar (ORDAS) JUFOC 2008

10

Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subyek : Perbincangan Tentang Anda (Jakarta, Gelang Press, 2002) p. 2

(11)

11

dari kolaborasi mata dan tangan, digeser dengan kemudahan dari sebuah proses fotografi.

Bentuk media visual apapun pada akhirnya merujuk bahwa itu adalah sebuah pesan. Pesan yang bisa terartikan dan termaknai. Sebagai suatu alat komunikasi, fotografi tidak bisa berkata (karena bukan suatu media audio visual), untuk itu kolaborasi tanda-tanda yang terkandung dalam foto harus kita lihat, resapi dan kemudian kita maknai barulah akan muncul apa informasi yang muncul didalamnya.

Fotografi sebenarnya adalah suatu proses teknologi yang memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa yang terdapat dalam kenyataannya. Bisa juga diartikan fotografi inilah suatu wujud yang sebenarnya ada dalam dunia 3 dimensi (yang dilihat mata kita) menjadi 2 dimensi yang berupa satu atau

serangkaian moment11. Seno Gumira Ajidarma, seorang fotografer

professional di Indonesia mengemukakan beberapa teori tentang fotografi, diantaranya adalah teori tentang “Fotografi Merupakaan

Kesaaksaraan Visual”12. Teori yang dikutip dari Paul Messaris itu

memaparkan bahwa gambar-gambar yang dihasilkan manusia termasuk fotografi bisa dipandang sebagai suatu bentuk keaaksaraan visual. Dengan kata lain gambar merupakan suatu obyek yang bisa dibaca, gambar adalah salah satu cara manusia berkomunikasi

11

Ed Zoelverdi, Mat KODAK, Melihat Untuk Sejuta Mata (Jakarta, PT. Grafitti Pers, 1985) p. 76

12

(12)

12

dengan individu lainnya. Hal ini diperkuat oleh Roland Barthez dalam bukunya “The Photographic Message” (1961) disebutkan bahwa foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi, dan titik resepsi struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain yakni teks tertulis, judul, keterangan atau artikel

yang selalu mengiringi foto13. Dengan demikian antara foto dan

pesan keseluruhannya merupakan suatu ko-operasi dua struktur yang berbeda.

Sedangkan menurut Berger, foto dan makna adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah foto menahan aliran waktu

dimana peristiwa yang dipotret pernah ada14. Semua foto adalah dari

masa lalu, dan masa lalu itu tertahan. Tak bisa melaju ke masa kini. Setiap foto menyajikan dua pesan, pesan menyangkut peristiwa yang dipotret dan menyangkut sentakan diskontinuitas. Dalam aliran waktu, sebuah foto membekukan momen seolah-olah merupakan imaji yang tersimpan. Foto merupakan kajian masa lalu yang diwujudkan dalam suatu bentuk dokumentasi yang nantinya akan menjadi bukti di masa depan bahwa di masa lalu pernah terjadi suatu hal seperti dalam foto. Dengan demikian, foto adalah proses melihat dan membaca. Mata bukan hanya berfungsi untuk melihat, mata

13

Ibid p. 27

14

(13)

13

melihat dalam arti mencari makna dalam dunia, karena tanpa makna manusia tiada artinya.

E.1.1. Foto Dokumenter sebagai Suatu Kritik Sosial

Para sejarawan sering menganggap foto dokumenter sebagai bukti atas cermin peristiwa masa lalu. Menurut James Curtis, fotografi didasarkan pada keyakinan bahwa foto adalah reproduksi mekanis realitas. Sedangkan Susan Sontag menangkap esensi momentum pada fotografi, potongan gambar yang dihasilkan kamera merupakan pernyataan tentang dunia. Potongan-potongan itu

membentuk mosaik sejarah.15

Fotografi dokumenter yang akhirnya berkembang

membawa kita pada dokumentasi sebuah realita sosial, dimana saat itu foto dokumenter dimulai dari penggambaran sebuah realita sosial suatu penduduk. Foto domumenter dikatakan sangat realis ketika dapat mendokumentasikan secara faktual tentang kejadian, tempat, momen, obyek dan manusia menjadi sebuah realitas yang benar-benar menggambarkan sesuatu yang terjadi saat itu. Fotografi dokumenter bisa dikatakan sebuah gambaran nyata dari apa yang ingin disampaikan oleh seorang fotografer.

Fotografi dokumenter mulai dikenal sejak muncul nama-nama seperti Eugene Smith, Jacob Riis, Lewis Hine dan Matthew Brady yang membuat karya fotografinya memasuki ranah sosial

15

(14)

14

kehidupan masyarakat dimana sebelumnya fotografi hanya

merupakan sebuah alat untuk dokumentasi biasa16. Di awal tahun

1990an, Lewis Hine mencoba mengangkat suatu realita tentang buruh pekerja di Amerika Serikat, realita pada hasil kamera Hine saat itu foto yang berjudul ”Russian Steel Worker” mengungkap realita tentang kehidupan buruh yang sebelumnya tidak banyak orang tahu. Eugene Smith dengan kisah “Country Doctor” tentang seorang dokter tunggal yang bekerja di daerah terpencil dimana dia kerja secara total tanpa bantuan siapapun. Dari beberapa tokoh diatas akhirnya fotografi berangkat menuju era baru. Fotografi menjadi cara persuasif yang efektif untuk kita peka terhadap isu-isu sosial. Foto dokumenter membawa kita kedalam suatu bentuk kritik sosial, kritik-kritik yang menyadarkan kita akan sesuatu yang mungkin kita tidak pernah tahu. Lewis Hine selaku tokoh dalam fotografi dokumenter berpendapat,”If I could tell the story in words, I

wouldn’t need to lug my camera”17. Indikasinya adalah beberapa

fakta realita akan lebih tersampaikan ke khalayak andaikata tersaji berupa suatu pesan fotografi.

Melihat adalah proses membaca. Mata kita melihat, sedangkan pikiran kita membaca. Apa yang kita baca adalah apa yang kita maknai. Ketika melihat sebuah karya dokumenter, sejenak kita akan bertanya di batin ”ternyata ada hal seperti ini di dunia ini”.

16

Ibid, p. 41

17

(15)

15

Proses ini muncul karena kita sadar bahwa ada sesuatu yang perlu kita maknai dari realitas yang ada/sedang terjadi. Sejatinya dunia adalah sebuah buku, buku yang sangat besar. Buku yang tertulis penuh dengan realita. Apa yang kita lihat saat itu, adalah apa yang kita baca. Aktifitas membaca dunia melalui foto akan lebih sempurna ketika terjadi proses pemaknaan.

E.1.3. Subjektifitas dan Objektifitas Fotografer dalam Sebuah Karya Foto

Proses pembuatan sebuah karya foto tanpa disadari adalah suatu proses representasi. Proses representasi pada sebuah karya fotografi berawal dari sesuatu yang sebelumnya ada atau sedang terjadi (obyek-realita), dipindahkan dalam suatu proses mekanik dengan hasil dua dimensi yang disebut foto. Foto mempunyai presisi yang kuat dalam merekam sesuatu. Sehingga pembawaan sebuah proses representasi ini tertuang dalam suatu bentuk “rekonstruksi” realita dari apa yang sedang terjadi menjadi apa yang direkam sampai pada proses mengkomunikasikannya.

Representasi pada sebuah karya foto ini pada akhirnya membawa kita mengenal bahwa foto tidak pernah lepas dari subjektifitas dan objektifitas. Keberadaan sebuah foto tidak tergantung utuh oleh apa dan siapa objeknya, tapi bagaimana subjek memandang sesuatu dan memberikan makna. Dalam dunia fotografi, dikenal istilah ”to make” dan ”to take”. Kedua hal tersebut

(16)

16

berkenaan erat terhadap suatu subjektifitas dan perspektif seorang fotografer. Secara sederhana ”make” berarti membuat dan ”take” berarti mengambil. ”Make” dalam fotografi dikenal sebagai suatu cara kita merepresentasikan sesuatu. Cara ini sering dipakai karena keterbatasan moment atau waktu yang menyebabkan kita mengharuskan membuat suatu bentuk ilustrasi lain. Selain itu make digunakan ketika memang fotografer menganggap suatu moment perlu adanya proses penataan agar lebih rapi, berkesan dsb. Seperti dalam proses pembuatan foto portraiture, fase making ini sering dipakai Dalam suatu fungsi representasi, fase ini dapat memberikan makna yang lebih kuat pada pesan fotonya. Yang terpenting dalam fase ”make” ini adalah realitas tampil sebenarnya sesuai kejadian aslinya, tambah penambahan atau pengurangan.

Sedangkan ”take” adalah cara kita mengambil apa adanya. Kita tidak mengubah apapun karena ada disana (tempat terjadinya moment) saat itu. Kita membuat salinan sesungguhnya dari sebuah produk moment merubahnya menjadi pesan fotografi. Perhitungan waktu dan ketepatan seorang fotografer sangat menentukan dalam hal ini. Layaknya Henri Cartier-Bresson dengan Decisive Moment-nya, dia mencoba menangkap informasi melalui karya-karya Street Photography. Apa yang dia lihat adalah apa yang dia rekam secara utuh. Dalam posisi fotografer, keduanya sah dan bebas dilakukan

(17)

17

oleh siapapun. Tidak ada batasan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu.

Masih berkenaan dengan hal yang sama, subjektifitas meliputi pilihan cara pandang seorang fotografer. Fotografer secara ”suka-suka” bebas memilih cara mereka membuat karya. Cara ini meliputi angle, komposisi dan pemilihan simbol-simbol yang mereka masukkan ke karya masing-masing hingga pada tahap pemilihan tampilan single (tunggal) atau series (rangkaian). Hal ini dipengaruhi oleh kapasitas masing-masing personal karena setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Foto single (tunggal) terpilih karena memang dalam penyampaian sebuah pesan hanya cukup tergambarkan dengan satu foto saja. Dan penggunaan foto series (rangkaian) terpakai ketika dengan menggunakan satu foto saja tidak cukup untuk menceritakan pesan yang dimaksud. Penyampaian foto dalam bentuk rangkaian ini menurut Roland Barthes disebut ”Sintaks”. Seiring perkembangan jaman, metode pendekatan foto series (rangkaian) berkembang menjadi beberapa bentuk seperti foto stories, essay dan dokumenter. Seperti dalam buku ”Ketika Indonesia Dipertanyakan”, foto tertampilkan secara berangkai dan saling melengkapi. Antara satu foto dengan lainnya memiliki kaitan informasi.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, fotografi adalah rekaman yang presisi akan sesuatu. Jika diambil contoh kita

(18)

18

memotret sebuah gelas, maka yang tertampil adalah serupa bentuk gelas seperti yang kita foto. Kemudahan ini yang akhirnya membuat kemajuan teknologi fotografi dimanfaatkan secara baik oleh semua orang. Dalam sebuah bidang sains, fungsi fotografi berperan besar. Contoh-contoh penggunaannya bisa kita lihat sehari-hari, foto hewan-hewan mamalia besar, seekor lalat sampai bentuk jelas bakteri bisa terekam dengan medium foto. Anggap saja untuk penikmat yang belum melihat bentuk bakteri, dengan ditunjukkan foto orang akan berasumsi “inilah bentuk dari bakteri”. Apa korelasinya? Ialah suatu cerminan sempurna yang dibawa oleh fotografi untuk menunjukkan sebuah sarana yang tepat. Inilah yang disebut sebagai kaitan objektifitas dalam sebuah karya foto.

Untuk itu sebabnya sebuah karya fotografi tidak pernah jauh dari sebuah subjektifitas dan objektifitas pembuatnya. Foto terlahir selalu merahimi kemauan fotografernya dalam mengolah pesan dan bentara realita yang sedang disaksikan oleh fotografer itu sendiri.

E.2. Semiotika dan Fotografi

E.2.1. Kesadaran Manusia akan Pemaknaan Tanda

Dimanapun kita akan bertemu dengan tanda. Dalam bentuk apapun tanda selalu dibuat dan dimaknai oleh penikmatnya. Rujukan itulah yang akhirnya mengantarkan akan pemahaman akan ilmu semiotika. Semiotika mengajarkan kita tanda tidak hanya

(19)

semata-19

mata dilihat. Semiotika membawa kita ke bentuk suatu paradigma kritis ketika melihat sebuah tanda. Untuk itu perlu adanya tindakan setelahnya dimana kita harus membedah satu-persatu apa yang ada dalam tanda tersebut. Setiap tanda yang dibuat pasti ada maksud dan tujuan. Pantas jika akhirnya sebagai bidang keilmuan yang mempelajari tentang tanda, semiotik ini perlu dipahami.

Strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan ”signified dan signifier”nya. Dimana menurut Saussure sebuah tanda telah tersusun dan terstruktur secara rapi. Pragmatisme Charles Sanders Pierce dengan trikotomi ”icon, indeks dan symbol”, membawa kita dalam suatu bentuk makna bahwa “sesuatu mewakili sesuatu”. Roland Barthes meneruskan ke-Saussure-an dengan memasukkan mythologi-nya dalam bentuk pengembangan dari fase konotasi. Derrida dengan pendekatan “dekonstruksi” dimana dia menahan kaitan antara penanda dan petanda untuk memperoleh makna lain dan makna baru. Dan masih banyak lagi mengenalkan kita pada suatu sistem yang sebenarnya ada selalu disekitar kita. Tergantung kita saat itu melihat dan memaknainya atau tidak. Bangunan struktur tanda dalam kehidupan sehari-hari tercipta sangat kaya. Untuk itu

kenapa manusia disebut juga sebagai Homo Semioticus18.

Sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kelima indra dan akal pikiran, manusia mempunyai bekal yang lengkap.

18

(20)

20

Kebutuhan akan simbol manusia tidak terelakkan, tiap hari, tiap waktu kita melihat atau bahkan menggunakan simbol itu sendiri. Simbol seakan-akan meringkas bentuk komunikasi kita menjadi sederhana tapi dengan maksud yang sama. Membuat suatu bentuk komunikasi semakin sederhana dan efektif. Bunga mawar merah untuk ungkapan rasa cinta, kenapa harus merah?, karena itu melambangkan kekuatan cinta. Kita berhenti di lampu merah, kenapa merah?, karena merah itu tegas (ungkapan perintah). Biarpun berwarna sama, ”merah” diartikan berbeda, semua tergantung konvensi dari budaya masyarakat itu sendiri. Manusia sudah ada bekal keilmuan, pasti pula bisa juga memaknainya sendiri. Darimana kita bisa memberi makna andaikata kita tidak membacanya terlebih dahulu, disinilah peran semiotika perlu dihadirkan.

E.2.2. Fungsi Fotografi dalam Kacamata Roland Barthes

Mulai dari teks, musik, sastra dan film, fotografi adalah salah satu sasaran penelitian yang ditelusuri oleh Roland Barthes. Pasca fotografi berkembang di ranah sosial, fotografi menjadi mesin yang cukup efektif untuk menyentuh perasaan orang lain. Fotografi menyadarkan beberapa fakta yang memang harus diketahui oleh masyarakat. Foto berita (press) atau foto jurnalistik lebih tepat dikenal oleh masyarakat sebagai jendela fakta kehidupan sehari-hari. Foto berita (press) adalah pesan. Pesan dibangun oleh beberapa elemen, yakni sumber pemancar pesan, saluran transmisi dan pihak

(21)

21

penerima19. Yang disebut sumber pemancar pesan adalah para insan

pers yang berkarya di surat kabar atau sekelompok teknisis yang bertugas memfoto, memilah, menyusun dan mengotak-atik juga memberikan judul dan keterangan singkat. Pihak penerima tidak lain adalah penikmat surat kabar itu sendiri, sedang saluran tranmisinya adalah surat kabar. Ketiganya adalah suatu sistem yang berhubungan. Dimana mulai dari pesan itu dibuat, disunting dan kemudian siap cetak dan dinikmati khalayak.

Roland Barthes sendiri sangat dikenal dengan penyatuan myth (mitologi atau mitos) dengan sebuah sistem semiotik. Mitos berasal berasal dari bahasa Yunani mutos, berarti cerita. Mitos biasa diartikan sebagai cerita yang tidak benar, cerita yang tidak memiliki kebenaran historis. Tapi dalam anggapan Barthes, mitos tidak hanya sekedar sebuah cerita yang berasal dari orang-orang tua atau buku. Manusia modern sekarang pun juga dikelilingi dengan sebuah mitos. Manusia modern adalah konsumen juga produsen dari mitos itu sendiri. Mitos sendiri dibagi dalam tiga tahap, signifier, signified dan signification. Agar lebih mudah dipahami Barthes menggunakan istilah yang berbeda yaitu form sejajar dengan signifier, concept sejajar dengan signified dan signification dengan sign. Mitos ini dalam tatanan struktur semiotika Barthes terletak pada tingakatan kedua, dimana tingkatan pertama adalah sistem linguistik, sistem

19

Roland Barthes, Imaji, Musik dan Teks, Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Al-Kitab,

(22)

22

kedua adalah sistem mitis yang mempunyai keunikannya. Sistem kedua memang mengambil model sistem pertama tapi tidak semua prinsip berlaku jika berada di sistem kedua.

Penggunaan mitos ini juga dicontohkan oleh Barthes dalam sebuah foto serdadu kulit hitam yang sedang memberikan hormat pada tricolor (sebutan lain untuk bendera Prancis yang mempunyai tiga warna) yang muncul di majalah Paris-Match. Sebagai system semiotic tingkat pertama, gambar itu terdiri dari signifier (foto serdadu yang member hormat) dan signified (serdadu “beneran” yang memberikan hormat pada bendera Prancis) dan sign (kesatuan antara foto dan serdadu). Bagi Barthes sebagai orang Prancis foto itu tidak hanya tervisualisasikan sebagai foto serdadu yang sedang hormat kepada bendera. Tapi itu tentang “Kebesaran Prancis”. Proses keluarnya meaning tentang “Kebesaran Prancis” ini terletak pada tingkat kedua dengan merujuk dari analisa di tingkat pertama. Bahkan gambar itu bisa berarti, “Prancis merupakan imperium besar sehingga seluruh anak-anaknya tanpa pembedaan warna kulit apapun

tetap setia menghormati benderanya”.20 Dengan kata lain ini adalah

salah satu contoh mitos imperialism, dimana tanpa disadari dapat dipakai untuk mengkomunikasikan tentang kebesaran Prancis. Contoh lain bisa berupa ketika Indonesia banyak orang suka untuk meminum anggur. Anggur disini tidak sekedar sebagai minuman

20

(23)

23

beralkohol. Anggur berkonotasi sebagai minuman presticious bagi

kalangan Eropa khususnya di Prancis (Frenchness).21 Manakala

terjadi budaya minum Anggur di Indonesia, mitos terbawa ke budaya ke-Timuran. Mitos gaya hidup kalangan atas rakyat Prancis.

Merujuk pada ”Photograph cannot say what it lets us see”, salah satu ungkapan dari Roland Barthes dalam buku ”Camera

Lucida” yang sudah disebut diatas22. Indikasi dari kata-kata tersebut

adalah fotografi adalah semata-mata hanyalah benda 2 dimensi (panjang dan lebar). Sekarang ini kita kaitkan dengan kajian semiotika. Fotografi adalah struktur bangunan pesan dengan pondasi batu bata tanda-tanda di dalamnya. Di semen dan di cat menggunakan komposisi dan angle yang memukau sehingga jadilah bangunan pesan yang statis tapi dinamis. Statis karena itu hanya benda mati, dinamis karena foto merupakan media komunikasi. Sekarang bangunan rumah foto sudah siap, dipandang pun enak karena sudah cantik. Tinggal satu hal yang belum, yaitu masuk ke dalamnya dan menikmati interior di dalamnya. Analogi sederhana ini sama kaitannya dengan fotografi, foto tidak hanya tampak indah di luar, tapi untuk menyempurnakan keindahannya kita perlu masuk ke dalamnya. Kita buka pintu, dan temukan apa yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu kita tahu maksud pesannya.

21

Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, (Komunitas Bambu, Depok, 2011), p.14

22

(24)

24

Entah disadari atau tidak, suatu pesan fotografis adalah analogon (turunan, salinan, kopian) yang menjadi sempurna dari realitas dan justru kesempurnaan analosgis inilah yang diterima umum sebagai sebagai kekhasan atau kekuatan foto. Saat terjadi proses fotografi, dimana fotografer mengalami saat intim bersama kameranya telah terjadi proses konversi realitas menjadi imaji 2 dimensi. Tentu saja, proses ini jauh dari sempurna karena sulit juga merubah apa yang kita lihat dengan mata berwujud 3 dimensi menjadi imaji. Untuk itu peran tanda didalamnya harus digali. Fotografer harus memilah mana tanda yang harus masuk dan mana yang tidak agar tidak terjadi mis-interpretasi pada penikmatnya. Tidak jarang semua foto memang tidak lepas dari caption untuk memperkuat pesan foto dan menjelaskan apa yang tidak bisa tergambar oleh imaji. Dalam gambar imaji ada dua pesan, pesan tertunjukkan (denoted message) yang merupakan analogon itu sendiri dan pesan terartikan (connoted message) yang dipengaruhi oleh konvensi komunikasi masyarakat. untuk lebih mudah dipahami, pesan denotasi dan konotasi ibarat suatu pesan yang tersurat dan tersirat. Ada yang bisa kita lihat dan ada yang kemudian harus kita pahami. Denotasi membawa kita dalam sebuah salinan realita dan konotasi membawa kita untuk memaknainya. Di level inilah mitos berbicara, yaitu pada tingkatan kedua seperti yang sudah dijelaskan diatas.

(25)

25

Masih dalam pandangan Barthes, terdapat tiga aspek dalam fotografi, Operator yakni fotografer itu sendiri, the image maker yang tidak lain pembuat karya dan pencipta analogon (kopian) peristiwanya. Spectator (pemandang), penikmat foto. Calon penelaah foto itu sendiri, yang akhirnya memberikan pemaknaan. Dan yang terakhir spektrum, yaitu apapun yang difoto, atau obyek dari foto tersebut23.

E.2.3. Membaca Perspektif Fotografer Dengan Semiotika

Dalam ”The Photographic Message”, Roland Barthes membagi 3 tahap dalam membaca foto. Tahap perspektif, kognitif

dan etis-ideologis24. Tahap perspektif terjadi ketika seseorang

mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal. Jadi semacam verbalisasi gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi sintakmatik yang pada dasarnya bersifat perspektif. Tahap kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan unsur-unsur ”historis” dari analogon ”denotasi”. Ini konotasi yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Pengetahuan kultural sangat menentukan. Tahap terakhir adalah tahap etis-ideologis, orang mengumpulkan berbagai penanda (signifier) yang siap untuk ”dikalimatkan”. Ketiga tahap diatas adalah fase konseptual dimana kita menentukan arah wacana yang dibawa oleh sebuah pesan fotografis.

23

Seno, op. cit p. 28

24

(26)

26

Dalam sebuah foto dikenal juga dengan istilah studium dan punctum yang ingin dikenalkan juga oleh Roland Barthes. Studium adalah kesan keseluruhan secara umum, yang akan mendorong seorang pemandang untuk memutuskan baik tidaknya sebuah foto, bermuatan politis atau historis, yang sekaligus mengarah pada keputusan suka atau tidaknya sebuah foto. Dari kelima fungsi foto dari Roland Barthes yaitu, to inform, to signify, to paint, to surprise

dan to waken desire25. Sebagai fotografer kita susah untuk

menemukan mana yang menonjol untuk mempercantik studium pada foto kita. Untuk itu kita perlu mengenali karakter penikmat foto, kita kaji dan kemudian kita gali kecocokan pilihan mereka yang pada akhirnya membantu kekuatan pilihan pada karya kita.

Sebaliknya kalau punctum, adalah fase penikmat tertarik pada sebuah foto. pemandang akan melakukan pengamatan secara kritis pada fase ini tanpa peduli fase studium-nya. Dalam punctum inilah terjadi gejala kenapa seseorang memilih untuk memandang suatu foto secara terus-menerus. Berthes membagi punctum menjadi dua bagian. Pertama, seperti sudah kita lihat adalah ”field of unexpected flash which sometimes crosses this field”. Pengalaman ini berkaitan dengan bentuk atau eksistensi. Kedua, pengalaman bahwa apa yang saya lihat itu sudah terjadi (that-has-been). Kita tidak mungkin mengatasi waktu kita sekarang. Kita merasa gamang

25

(27)

27

karena berdiri di tebing ”kini” sambil melihat tebing ”dulu” tanpa bisa menyeberanginya. Inilah yang disebut ”vertigo of the time defeated”-kegamangan oleh waktu yang tak berdaya. Waktu mitis kita, yaitu waktu yang kita hayati, dikalahkan oleh waktu dalam

sebuah foto26.

E.3. Nasionalisme dan Fotografi

E.3.1. Dinamika Nasionalisme di Nusantara

Bagi masyarakat awam, nasionalisme biasa diartikan sebagai suatu wujud/bentuk kesetiaan kita kepada negara. Kesetiaan ini muncul dari kebanggaan kita akan apa yang dilakukan oleh negara tersebut. Sebagai contoh karena kita bangga akan perjuangan pahlawan-pahlawan kita di masa kemerdekaan, hal ini memberikan efek nasionalisme masyarakat semakin besar. Bisa juga nasionalisme itu muncul karena kesetiaan terhadap tanah air, tanah air ini mempunyai maksud tempat dimana kita dilahirkan dan di negara itulah kita sewajibnya setia

Nasionalisme bisa juga diartikan sebagai suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan

kepada negara kebangsaan27. Hal ini berkaitan juga dengan perasaan

yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya. Kita harus siap memberikan segala sesuatu yang kita punya ketika memang negara sedang membutuhkannya.

26

Ibid, p.196

27

Hans Kohn, Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, (Jakarta, PT. Pembangunan dan PT. Erlangga Jakarta 1984) p. 11

(28)

28

Jika digali dasarnya, Nasionalisme berasal dari kata “nation” yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu dalam antropologis serta sosiologis dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis dan sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama sejarah, dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke

luar dan ke dalam28. Dua pengertian dari “bangsa” inilah yang

akhirnya saling membentuk suatu definisi nasionalisme itu sendiri, dimana diawali dari sekelompok orang yang berkoloni sampai kepatuhannya kepada kedaulatan negara dimana mereka tinggal.

Dari nasionalisme secara global, kita hijrah ke nasionalisme secara Indonesia. Sejarah mencatat dengan seksama bagaimana rakyat Indonesia ketika sebelum kemerdekaan Republik Indonesia mempertaruhkan apapun demi tanah airnya. Beberapa tokoh pahlawan Jendral Sudirman bertempur dengan medan perangnya. Dan ada juga tokoh nasionalis seperti Bung Karno yang lebih memilih jalan “perang” secara diplomatis tanpa senjata. Kesemuanya adalah salah satu tonggak awal nasionalisme yang akhirnya

28

(29)

29

mengakar ke rakyatnya, bisa dikatakan wujud balas budi terhadap jasa para pahlawan. Untuk lebih menguatkan jiwa nasionalisme, beberapa lambang nasionalisme dibuat dan diakui diantaranya Burung Garuda dan Bendera Merah Putih. Berikut penjelasannya:

a. Burung Garuda

Burung yang selalu kita agung-agungkan tersebut hanya mitos belaka yang berasal dari mitologi Hindu-Budha. Dalam mitos tersebut garuda merupakan wahana (kendaraan) Dewa Wisnu, salah satu trimurti atau

manifestasi Tuhan dalam agama Hindu29.

Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari. Garuda adalah seekor burung mitologis, separuh manusia, separo burung. Ia adalah raja burung-burung dan merupakan keturunan Kaśyapa dan Winatā. Dan ternyata Garuda juga merupakan lambang suci bagi orang-orang Hindu di Thailand.

14-07-45, tanggal kelahiran/kemerdekaan negara Indonesia yang juga diwujudkan dalam bentuk bulu-bulu Garuda. Perwujudan angka pada tubuh garuda sebagai

(30)

30

lambang Indonesia pastinya membuat angka itu akan mudah untuk diingat sebagai suatu moment yang sakral.

b. Bendera

Sepanjang peradaban bangsa-bangsa, sejarah

bendera pada umumnya bersifat sakral. Diyakini bahwa bangsa Cina atau India yang pertama kali menggunakan bendera sebagai simbol yang agung. Penggunaan bendera dan penghormatan atasnya sebagai simbol nasionalisme, telah menjadi budaya bangsa di dunia. Bendera adalah salah satu identitas bangsa yang paling mudah diingat. Kita ambil contoh bendera Indonesia hanya Merah-Putih, bendera Jepang hanya kotak Putih dengan lingkaran Merah didalamnya, Belanda dengan Merah, Putih dan Biru-nya dan masih banyak bendera-bendera lain yang mudah sekali terhafalkan ketika kita menyebut namanya. Bendera menjadi penting baik dalam suasana damai maupun perang. Ketika kondisi damai, bendera menjadi simbol kebanggaan dan peringatan keberbangsaan. Dan ketika kondisi perang, keberadaan simboliknya menjadi semakin terasa, karena eksistensi kebernegaraan atau keberbangsaan itu sendiri berada pada situasi yang terancam.

(31)

31

Saat berada di medan perang, salah satu pemimpin pastinya di depan mengangkat sebuah bendera dilengkapi dengan sorak semangat motivatif untuk tentaranya. Pengangkatan bendera ini yang akhirnya membuat semacam memunculkan amarah yang besar terhadap apa yang diperjuangkan dari sebuah bendera tersebut. Bendera cenderung lebih mudah untuk dibawa dan difungsikan dimanapun. Untuk itu kenapa beberapa moment tertentu, wujud sebuah bendera adalah sebuah eksistensi yang mutlak. Peristiwa 10 November yang pada akhirnya kita peringati sebagai hari pahlawan, membuktikan peristiwa itu bisa terakui secara nasional dari sebuah moment perobekan “bendera”. Indikasi bahwa sebuah bendera adalah benda yang sakral dan memang harus kita hargai. Di bangku sekolah dahulu, kita selalu diajarkan dan diharuskan mengingat bahwa Merah adalah berani, Putih adalah suci. Berani dan suci adalah harga mati semangat perjuangan Indonesia.

Selain terwujud dari sebuah lambang Garuda dan Bendera Merah Putih, WR. Soepratman juga berhasil menggugah nasionalisme kita dengan “Indonesia Raya”. Lagu yang selalu berkumandang di setiap momen tertentu ini, tidak jarang meneteskan

(32)

32

air mata ketika diresapi. Kebanggan yang besar juga terjadi ketika lagu ini berhasil kita nyanyikan di luar tanah Indonesia, dan beberapa putra bangsa sering melakukan itu seperti di kejuaraan Internasional. Sepak bola yang tidak pelak juga sebagai fenomena nasionalisme kita. Seperti yang terjadi saat Timnas Indonesia mengalahkan tim negara lain. Alangkah bahagianya kita dengan kata “Indonesia”, dimana-mana kita memuja dan membicarakan Indonesia, kemanapun pergi serasa sangat gagah sekali kita memakai jersey (baju) Timnas Indonesia. Sungguh peristiwa sederhana tapi sangat menyentuh bagi banyak pihak.

Dan untuk menjaga nasionalisme rakyatnya, Negara pun akhirnya menetapkan beberapa hari bersejarah sebagai hari nasional untuk mengingat apa yang terjadi ketika saat itu dan berharap itu akan selalu diakui dan miresapi.

E.3.2. Problematika Nasionalisme Daerah Perbatasan

Secara geografis negara kita diapit oleh 2 Benua dan 2 Samudera, yaitu Benua Asia, Benua Australia, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Andaikata dikerucutkan lagi, Indonesia juga dekat/berbatasan dengan Negara-negara lain seperti Papua Nugini, Filipina, Timor Leste dan Malaysia. Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan (archipelago), dengan jumlah sekitar 17.000 pulau di antero nusantara baik yang sudah terdata maupun yang masih alami dan belum terjamah.

(33)

33

Ke-maritim-an Indonesia ini ternyata tidak selalu

berdampak positif. Muncul berbagai problematika seperti

transnational criminal seperti terorisme, eksplorasi dan eksploitasi illegal Sumber Daya Alam (SDA) seperti di Pulau Ambalat, kasus serupa tentang penentuan batas territorial seperti di Sipadan dan Ligitan, perdagangan manusia (trafficking) dan beberapa kasus-kasus lainnya yang kesemuanya berawal dari kelemahan Pemerintah dalam menjaga integritas bangsanya. Sebagai negara yang berdaulat, sudah menjadi kewajiban bagi Pemerintah untuk memperhitung hal-hal yang semestinya terjadi.

Jika kita tengok ke aspek sosial daerah perbatasan. Kelemahan pemerintah kembali terbaca. Pendidikan, kesejahteraan ekonomi, kesehatan semuanya dalam ambang “rendah” karena ketidakaktifan Pemerintah dalam memberikan perhatian yang rata. Seharusnya sudah menjadi hak yang sama untuk perlakuan WNI di daerah perbatasan dengan WNI di daerah lain. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah terlantarnya WNI di daerah perbatasan, dengan kondisi “abu-abu” antara “tinggal di atap sendiri tapi hidup dari atap orang lain”. Apakah karena mereka-mereka yang tinggal di perbatasan dianggap tidak penting karena tidak berkontribusi untuk Pemerintah atau karena apa mereka tidak dianggap? Ini adalah pertanyaan besar dari seluruh warga Nusantara Indonesia, terlebih untuk pemerintah yang seharusnya memiliki tanggung jawab. Yang

(34)

34

diharapkan adalah sebuah tindakan yang signifikan dan sedikit penghargaan atas apa yang mereka perbuat. Sedikit perhatian karena beberapa dari daerah perbatasan memang berada di daerah yang terisolir dengan akses yang minim.

(35)

35

Foto Proklamasi Indonesia karya Frans Mendur (sumber www.google.com)

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta”

Kalimat diatas adalah bunyi dari teks Proklamasi yang dibaca oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Moment fenomenal yang pada akhirnya dinyatakan sebagai kemerdekaan Indonesia ini, berhasil membuat kita andai kita ada di jaman itu menangis karena itu adalah puncak kejayaan negara kita. Klimaks dari perjuangan

para pahlawan yang tidak sedikit gugur hanya untuk

memperjuangkan kejadian pukul 10 pagi dan yang hanya beberapa menit saja itu.

Tapi disamping itu apa yang kita kenang selain dari catatan sejarah, adalah sebuah karya fotografi dari Frans Mendur

(1913-1971)30. Bersama-sama dengan kakaknya Alex Mendur (1907-1984)

mereka berdua berdiri, menyaksikan dan mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Sebagai jurnalis pendiri IPPHOS (Indonesian Press

30

(36)

36

Photo Service), keberadaan mereka tanpa kita sadari sangat signifikan. Andai kata tidak ada Frans Mendur berdiri disana saat itu, kita tidak akan punya satupun dokumentasi dari pembacaan proklamasi. Kita tidak pernah tahu bagaimana kekhidmatan Soekarno dalam membaca teks dan keseriusan Moh. Hatta mendampingi disampingnya. Kita tidak pernah tahu juga suasana pengibaran bendera pusaka merah putih pertama kali pasca proklamasi. Sama juga kaitannya dengan Alex Mendur, beliau jugalah yang berhasil mengabadikan sosok acungan tegas Bung Tomo dalam pidatonya yang sesuai catatan sejarah begitu menggebu-gebu dan membakar semangat para pejuang di

Surabaya31.

Sederhana tapi apa boleh buat ketika kita benar-benar tidak punya salinan dokumentasi dari momen-momen diatas. Kita hanya mengandalkan catatan sejarah semata, kita hanya membekali cerita dongeng perjuangan ke anak-anak kita. Apakah efektif ketika hanya mengandalkan itu, kenapa harus sebuah proses fotografi yang mendukung sebuah cerita?. Sama kaitannya dengan fotografi yang ada di media massa. Fotografi disini adalah ungkapan realita, analogon kejadian yang akhirnya menguatkan keyakinan kita bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Kita akan lebih percaya begitu pula dengan anak-anak bangsa ketika diajarkan sejarah Negara Indonesia

31

(37)

37

ini karena bisa merefleksikan langsung seperti apa kejadian aslinya. Lantas kenapa fotografi juga menduduki fase dokumenter, karena inilah fotografi adalah catatan sejarah dan menceritakan sejarah itu kembali di lain kesempatan seperti saat sekarang ini dan nanti.

Foto Bung Tomo karya Alex Mendur (sumber www.google.com)

F. Definisi Konseptual F.1. Representasi

Kata representasi jika dipisah menjadi “re” dan “presentasi”. Presentasi adalah suatu proses mengemukakan/menyajikan sesuatu. Jika ditarik sama halnya dengan mengemukakan kembali atau menceritakan kembali. Mewakili dari sebuah penyajian pandangan atas fakta-fakta atau argumen. Dalam pengertian representasi kita

(38)

38

akan bercerita atau men-deskripsikan ulang dengan kajian yang lebih mendalam atau dari sebuah kajian baru dalam konteks yang sama.

Dalam buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”, beberapa kajian yang muncul dari buku tersebut adalah ke-sia-siaan nasionalisme rakyat Indonesia yang hidup di daerah perbatasan. Wujud diskriminasi sosial dari pemerintah tentang keberadaan mereka. Tapi masih ada beberapa dari sekumpulan dari mereka yang masih dengan kebanggan bangsanya, bentuk “representasi” inilah yang akan digali oleh peneliti. Bagaimana mereka menjaga nasionalisme di kala mereka hidup dari ketidak-nasionalisme-an.

F.2. Nasionalisme

Sebagai sebuah nation (bangsa) yang besar bernama Indonesia, nasionalisme pastilah sudah menjadi bagian dari diri semua Warga Negara Indonesia. Seperti definisi dari Encyclopaedia Britannica, dimana nasionalisme merupakan keadaan jiwa dimana individu merasa bahwa setiap orang memiliki kesetiaan dalam keduniaan (sekuler) tertinggi kepada negara kebangsaan. Selain itu definisi dari Huszer dan Stevenson, yaitu Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah airnya.

Kajian-kajian nasionalisme inilah yang nantinya akan digali melalui beberapa simbolisasi nasionalisme yang tergambarkan dalam karya fotografi dalam buku “Ketika Nasionalisme Dipertanyakan”.

(39)

39

F.3. Fotografi

Sebagai salah satu media komunikasi visual, fotografi sudah mendapatkan tempat di media massa. Fotografi adalah cara efektif untuk menyajikan realita dalam bentuk gambar 2 dimensi. Lain dengan film yang merupakan media komunikasi audio visual, fotografi dengan keterbatan dimensinya menuntut penikmat harus memaknainya sendiri. Sebuah lukisan cahaya inilah yang nantinya akan memberikan deskripsi-deskripsi tentang kenyataan yang benar-benar ada terutama dalam kajian foto jurnalistik yang tidak memungkinkan adanya tolerir atas manipulasi apapun. Dalam sajian karya buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”, tergambar jelas bagaimana dan seperti apa kehidupan disana. Dan pilihan menu fotografi sangat tepat untuk gambaran tersebut.

G. Metode Penelitian

G.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif-intrepretatif menggunakan analisis semiotik. Mengacu pada teori dari Roland Barthes, diharapkan dapat digali lebih dalam beberapa kajian tanda yang mewakili tujuan penelitian. Berbekal struktur dikotomi denotasi dan konotasi, akan didapatkan beberapa tanda

(40)

40

dan akan ada beberapa pemaknaan dari tanda tersebut yang sama halnya merujuk kembali pada tujuan penelitian ini.

G.2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan” karya klub fotografi mahasiswa APC (Atmajaya Photo Club) Yogyakarta.

G.3. Unit Analisis

Dari 78 foto yang termuat dalam buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”, peneliti akan memilih 10 foto yang mewakili batasan penelitian yang akan dianalisis.

G.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpuan data yang digunakan peneliti ada dua, yaitu:

1. Data Primer dengan cara pengumpulan data dokumentasi yaitu dengan melakukan pemilihan frame yang akan diteliti sesuai kebutuhan penelitian.

2. Data Sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari kepustakaan yang ada, baik berupa buku, jurnal, internet, maupun bahan tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian

G.5. Teknik Analisa Data

Sesuai dengan rumusan masalah dengan pendekatan semiotika dari Roland Barthes, penilitian akan dilakukan dengan

(41)

41

seleksi foto sesuai pembahasan. Berbekal struktur denoted (denotasi) dan cannoted (konotasi) akan dimaknai tanda-tanda yang ditemukan. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Gambar

Foto Bung Tomo karya Alex Mendur  (sumber www.google.com)

Referensi

Dokumen terkait

Sasaran Strategis/Pr ogram/Kegia tan Indikator Kinerja Cara Perhitungan Indikator Target Realisasi Capaian Predikat Satuan Tahun 2020 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya

Peserta didik dalam kelompok masing-masing dengan  bimbingan guru untuk mengaitkan, merumuskan, dan menyimpulkan cara singkat menyelesaikan masalah yang  berkaitan

Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap pembengkakan hepatosit

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

Dalam konteks regional, Cimahi kemudian dimasukkan sebagai bagian dari Bandung Metropolitan Area (BMA), dengan fungsinya sebagai daerah penyangga Kota Bandung.

Dalam sistem ekonomi syariah menurut Advika (2017) ekonomi syariah semakin hari perkembangannya semakin dikenal di masyarakat. Tak hanya untuk kalangan islam semata, tetapi juga

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu menguji dan mengkaji data sekunder yaitu asas- asas yang terkandung dalam