• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis dapat diartikan sebagai, setiap penyakit menular yang terjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis dapat diartikan sebagai, setiap penyakit menular yang terjadi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis dapat diartikan sebagai, setiap penyakit menular yang terjadi pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh spesies Mycobacterium dan ditandai dengan terbentuknya tuberkel dan nekrosis berkiju pada jaringan setiap organ; pada manusia, paru-paru adalah tempat utama infeksi dan biasanya merupakan pintu gerbang masuknya infeksi ke organ lainnya (Dorland, 2011). Tuberkulosis paru (pulmonary tuberculosis) adalah penyakit peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan selebihnya 20% merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2009).

Menurut Somantri (2007), Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkaan oleh Mycobacteium tuberculosis.

Penyakit tuberculosis dapat juga menyebar ke bagian tubuh yang lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, dalam pemeriksaan dibawah mikroskop kuman akan tampak berbentuk batang berwarna merah. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4oC sampai minus 70oC. Sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet sehingga jika terpapar langsung terhadap sinar ultraviolet sebagian besar

(2)

kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Pada suhu antara 30 - 37oC kuman dalam dahak akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu. Kuman dapat bersifat dormant (“tidur”/ tidak berkembang) (Kemenkes, 2014). Setelah tubuh terinfeksi oleh bakteri M. tuberculosis, kemungkinan perkembangan menjadi tuberkulosis klinis yang aktif adalah sangat kecil. Kurang dari 10% dari semua infeksi tersebut berkembang gejala-gejala dan tanda menjadi penyakit yang aktif, tergantung dari pada lokasi georgrafi seseorang tinggal, tipe strain bakteri M. tuberculosis, riwayat genetik, pemakaian obat imunosupresan dan faktor resiko lainnya. Sebagian besar respon sistem kekebalan tubuh individu adalah salah satu dari dua yakni mengeliminasi atau membunuh bakteri M. tuberculosis atau bakteri menjadi laten/tidur. Infeksi bakteri M.

tuberculosis laten adalah kondisi klinis yang terjadi setelah seseorang terinfeksi bakteri M. tuberculosis, imun dari host/tubuh merespon terhadap basil M. tuberculosis dengan cara membuat basil tidak dapat bergerak, dengan seperti itu basil dari bakteri tidak dapat mereplikasi diri dan mencegah kerusakan jaringan (McNerney, et al. 2012).

Berdasarkan laporan global tuberculosis WHO tahun 2015, penyakit TB masih menjadi masalah utama kesehatan global yang menewaskan 1,5 juta orang hanya pada tahun 2014. Laporan ini juga menunjukkan perkiraan 9,6 juta kasus tuberculosis baru yang didiagnosa pada tahun yang sama (range 9,1 juta-10,0 juta): 5,4 juta diantaranya laki-laki, 3,2 juta diantaranya perempuan dan 1,0 juta diantaranya anak-anak.

Berdasarkan pemaparan mengenai beban penyakit TB dapat disimpulkan bahwa penyakit ini merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dunia. Pada tahun 2014, Estimasi sejumlah kasus TB yang paling banyak terjadi di wilayah Asia (58%) dan wilayah Afrika (28%), proporsi kasus yang lebih sedikit terjadi di wilayah Mediterania Timur (8%), wilayah Eropa (3%), dan wilayah Amerika (3%) (WHO, 2015). Laporan Global Tuberculosis Control WHO menyatakan, 22 negara High Burden

(3)

Country (HBC) dengan beban tuberkulosis paru tertinggi di dunia 50%-nya berasal dari negara-negara Afrika dan Asia serta Amerika (Brasil). Dari seluruh kasus tuberkulosis paru di dunia, India menyumbang 30%, China menyumbang 15% dan Indonesia 5% (WHO 2011).

Sebagai upaya strategi penanggulangan TB, tahun 1990-an WHO dan International union against tuberculosis and lung disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan Tb yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang memiliki fokus utama pada penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Kemenkes, 2014).

Target minimal angka capaian penemuan kasus baru TB (case detection rate/CDR) menurut WHO adalah sebesar 70%, sedangkan angka CDR TB nasional pada tahun 2009 telah mencapai 73%. Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah. Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70%

(Kemenkes, 2011). Salah satu Provinsi dengan angka penemuan kasus (CDR) dibawah 70% adalah Provinsi jawa timur, dari angka penemuan kasus baru BTA positif (case detection rate/CDR), Provinsi jawa timur menempati urutan kedelapan dari 33 provinsi di Indonesia. CDR pada tahun 2014 adalah 52%, dengan jumlah kasus TB BTA positif sebanyak 21.036 penderita ( Dinas kesehatan provinsi jawa timur, 2015).

(4)

Cakupan penemuan kasus TB paru di kabupaten Malang setiap tahunnya mengalami penurunan, pada tahun 2011 sebesar 44,46%, tahun 2012 43,25 %, tahun 2013 36,1% dan pada tahun 2014 baru mencapai 35,31%, dengan penjabaran cakupan CDR Tb paru tertinggi di desa Sitiarjo 88% dan terendah desa Ngantang 3%, dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan dalam cakupan penemuan kasus TB paru setiap tahunnya, sehingga diperlukan evaluasi terkait cakupan case detection rate (CDR) TB paru kabupaten Malang. Hal serupa juga terlihat dalam pencapaian suspek pada tahun 2014 baru mencapai 9.813 (laki-laki: 5.064 perempuan: 4.749) dengan BTA+ sebanyak 954 (526 laki-laki, perempuan 428).

Pencapaian ini masih sangat rendah bila dibandingkan target program pengendalian TB paru ( Dinas kesehatan Kabupaten Malang, 2015).

Puskesmas Ngantang merupakan salah satu puskesmas di kabupaten Malang dengan jumlah penduduk sebesar 59. 785 jiwa namun pada tahun 2014 dilaporkan jumlah pencapaian CDR Tb paru puskesmas Ngantang baru mencapai 3 %, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dimana cakupan CDR TB paru 20 %.

Pencapaian tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target program pengendalian TB paru ( Dinas kesehatan kabupaten Malang, 2015). Penjaringan suspect TB merupakan salah satu variabel penting evaluasi program penanggulangan penyakit TB. Angka Penjaringan Suspek sangat berperan dalam menentukan besarnya peluang untuk ditemukannya penderita TB, artinya semakin besar jumlah suspek yang didapat dan diperiksa maka peluang untuk ditemukannya penderita TB diantara suspect juga semakin besar (Ariyanto & Ramani, 2012).

Penjaringan terhadap terduga (suspect) pasien TB merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan untuk menemukan pasien TB sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan difasilitas

(5)

kesehatan; didukung dengan promosi secara akif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan suspect penderita TB (Kemenkes, 2014). Angka penjaringan suspect adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam satu tahun.

Angka penjaringan suspek ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperlihatkan kecenderungannya dari waktu ke waktu (Triwulan/tahunan) (Ditjen PP&PL Kemenkes RI, 2011).

Kegiatan penjaringan suspect pasien Tb dilakukan secara pasif (passive case finding) dan aktif. Penjaringan suspect TB secara pasif (passive case finding) dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama dengan masyarakat. Pada upaya penemuan secara pasif (passive case finding) ini harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat di temukan secara diri sehingga mencegah penularan penyakit TB paru.

Sedangkan penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi terhadap terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo, anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB, kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat (Kemenkes, 2014). Angka Penjaringan Suspek merupakan salah satu faktor utama dari Case detection rate, sedangkan Case detection rate merupakan variabel penting evaluasi program penanggulangan TB (Ariyanto & Ramani, 2012). Dalam penelitian Rye, Saleh, dan Hadiwijoyo (2009) salah satu faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap penemuan penderita TB paru adalah penjaringan suspek.

(6)

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya angka pencapaian suspek TB, antara lain menurut Nizar (2010) adalah kinerja petugas pemegang program TB.

Petugas pemegang program TB paru di puskesmas merupakan ujung tombak dalam penemuan, pengobatan dan evaluasi penderita maupun pelaksanaan administrasi program di puskesmas. Tanpa adanya penjaringan terhadap suspek maka program pemberantasan TB paru dari penemuan sampai pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses penemuan suspek TB paru oleh petugas sangat menentukan dalam mencapai indikator keberhasilan program (Widjanarko, Prabamurti & Widayat, 2006).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya angka pencapaian suspek TB adalah kader kesehatan. Kader kesehatan adalah tenaga sukareka yang dipilih dari dan oleh masyarakat dengan tujuan agar pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan demikian masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan kesehatan, tetapi juga merupakan mitra pembangunan itu sendiri (Efendi & Makhfudli, 2009). Dalam penelitian Wahyudi (2009) menyatakan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan kader kesehatan dengan penemuan suspek TB. Wijaya (2012) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, dan motivasi dengan keaktifan kader kesehatan dalam pengendalian kasus tuberkulosis.

Selain itu faktor sosial budaya juga dapat mempengaruhi rendahnya angka pencapaian target suspek penyakit TB (Media, 2011). Faktor sosial budaya meliputi faktor pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB dimana ditemukan bahwa masyarakat cenderung untuk tidak melakukan suatu tindakan pengobatan disebabkan anggapan bahwa gejala awal penyakit TB merupakan gejala yang ringan, untuk itu tidak diperlukan untuk dilakukan penanganan ataupun pengobatan (Duan, et al.

(7)

2013). Selain faktor pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB, faktor sosial budaya yang lain adalah akses ke layanan kesehatan dan ekonomi masyarakat, ditemukan dalam penelitian Media (2011) bahwa kondisi sulitnya masyarakat untuk mencapai akses pelayanan kesehatan (puskesmas) karena jarak yang relative jauh dan beratnya biaya transportasi adalah menjadi pertimbangan masyarakat dalam upaya pencarian pengobatan. Persepsi, keyakinan dan kebiasaan masyarakat merupakan bagian dari faktor sosial budaya yang mempengaruhi pencapaian penemuan penderita terduga TB paru. Disebutkan bahwa pandangan atau persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan (Notoatmodjo, 2010 : 109). Lebih dari itu memahami kesalahpahaman atau persepsi yang salah sangatlah penting karena dimungkinkan sebagai indikasi dari adanya penundaan pencarian pengobatan yang benar dan penolakan untuk melakukan pengobatan dan kepatuhan melakukan pengobatan. Kesalahpahaman atau persepsi yang salah mengarah pada stigma, yang mempersulit dalam pelibatan masyarakat dalam program pengontrolan penyakit tuberkulosis paru (Gelaw, 2016). Keyakinan yang salah mengenai penyakit Tb paru dan kebiasaan masyarakat untuk melakukan tindakan mengobati sendiri (self treatment atau self medication) merupakan faktor lain yang menghambat masyarakat untuk mengunjungi fasilitas kesehatan, pada akhirnya akan berdampak pada proses penyakit yang rumit, meningkatnya pasien yang menderita, penularan penyakit yang semakin meluas di masyarakat, dan meningkatkan resiko kematian akibat penyakit tuberkulosis paru (Engeda, et al. 2016).

Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 27 Januari 2017 dan pada tanggal 23 Mei 2017 dapat disimpulkan bahwa kegiatan penjaringan suspek TB paru oleh petugas TB dilakukan secara pasif (passive case finding), namun tidak didukung dengan promosi secara aktif berupa edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat

(8)

secara umum. Selain itu, petugas yang terlibat dalam program penanggulangan TB paru sebagian besar tidak mengikuti atau belum pernah mengikuti pelatihan tentang penyakit TB paru berupa pelatihan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS).

Selain itu, dari kader kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ngantang dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan kebanyakan adalah masih rendah, yaitu masih tamatan sekolah menengah atas. Oleh karena itu pengetahuan sebagian kader kesehatan akan penyakit TB paru dan suspect TB masih belum terlalu paham sehingga dalam melakukan edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat seringkali tidak dapat dilakukan dengan baik. Motivasi daripada kader kesehatan jika dilihat dapat dikatakan masih tergolong rendah, hal ini dapat terlihat dari ketidak-antusiasan kader kesehatan dalam melakukan penjaringan dan penemuan terhadap orang dengan terduga pasien meskipun sudah dijanjikan bonus berupa uang untuk setiap suspek TB yang ditemukan. Selanjutnya adalah faktor sosial budaya, masyarakat di Kecamatan Ngantang secara keseluruhan belum terlalu paham tentang penyakit TB paru, karena pada sebagian masyarakat jika mendapat batuk-batuk tidak langsung datang ke layanan kesehatan untuk memeriksakan dirinya, namun terkadang membiarkan dengan alasan nanti dapat sembuh sendiri dan jika bertambah parah baru meminum obat batuk. Kesalahpahaman masyarakat tentang penyakit TB paru yaitu dengan menganggap penyakit TB adalah penyakit yang tidak menular sehingga menjadikan masyarakat tidak peduli dengan kebiasaan masyarakat yang buruk berupa meludah sembarangan dan jika batuk tidak menutup mulut dan hidung. Sebagian lagi mengatakan bahwa lokasi puskesmas terletak cukup jauh dari tempat tinggalnya, sebagaimana yang di jelaskan oleh salah seorang bapak dari desa Banturejo yang merupakan salah satu desa di wilayah kerja Puskesmas Ngantang.

(9)

Berdasarkan latar belakang di atas dan rendahnya angka pencapaian target suspek penyakit TB di Puskesmas Ngantang, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Faktor-faktor yang melatarbelakangi rendahnya pencapaian suspect TB di puskesmas Ngantang tahun 2016”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “faktor apa sajakah yang melatarbelakangi rendahnya pencapaian suspect TB di puskesmas Ngantang tahun 2016?”

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Dengan melihat permasalahan di atas maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran faktor-faktor yang melatarbelakangi rendahnya pencapaian suspect TB di puskesmas Ngantang tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi faktor petugas pemegang program TB yang melatarbelakangi rendahnya angka pencapaian target suspect Tb di Puskesmas Ngantang tahun 2016.

2. Mengidentifikasi faktor kader kesehatan yang melatarbelakangi rendahnya angka pencapaian target suspect Tb di Puskesmas Ngantang tahun 2016.

3. Mengidentifikasi faktor sosial budaya yang melatarbelakangi rendahnya angka pencapaian target suspect Tb di Puskesmas Ngantang tahun 2016.

(10)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam bidang penelitian serta memperluas wawasan tentang teori dan praktik keperawatan, khususnya tentang pencapaian angka penjaringan suspek penyakit tuberkulosis.

1.4.2 Manfaat bagi bidang keperawatan

Memberikan informasi tentang penyakit tuberkulosis secara khusus tentang tatalaksana awal penemuan pasien tuberkulosis, serta untuk menambah referensi keilmuan dalam bidang keperawatan.

1.4.3 Manfaat bagi Puskesmas Ngantang

Hasil dari penelitian ini nantinya akan menjadi salah satu sumber informasi dan dapat menjadi bahan rujukan dalam mengevaluasi pencapaian target suspek TB paru sehingga dapat ditingkatkan sesuai target.

1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi kepada masyarakat tentang penyakit tuberkulosis.

1.5 Keaslian Penelitian

1. Bagoes Widjanarko, Priyadi Nugraha Prabamurti, dan Edi Widayat (2006), meneliti tentang pengaruh karakteristik, pengetahuan dan sikap petugas pemegang program tuberkulosis paru puskesmas terhadap penemuan suspek TB paru di Kabupaten Blora. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatori dan menggunakan pendekatan cross sectional . Subjek dalam penelitian ini

(11)

adalah seluruh petugas Pemegang program TB paru di Puskesmas se- Kabupaten Blora yakni sebanyak 52 petugas, setiap Puskesmas terdapat 2 orang petugas. Dalam penelitian ini sampel adalah total populasi. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan metode regresi logistik (logistic regression statistical). Hasil dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan praktik penemuan suspek penderita TB paru adalah tingkat pelatihan responden dengan signifikansi = 0.002, dan pengetahuan responden dengan signifikansi = 0.021. Menjelaskan perbedaan penelitian, penelitian ini hanya membahas salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penemuan suspek TB, yaitu petugas Pemegang program TB paru. Sedangkan dalam penelitian saya membahas lebih luas tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi rendahnya pencapaian suspek TB paru. Kesamaan penelitian adalah sama- sama membahas pengetahuan petugas pemegang program TB paru terhadap penemuan suspek TB paru.

2. Eko Wahyudi (2010) meneliti tentang hubungan pengetahuan, sikap dan motivasi kader dengan penemuan suspek tuberkulosis paru di puskesmas sanankulon. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan juli-november 2010. Populasi yang diteliti adalah seluruh kader kesehatan di Puskesmas Sanankulon Kabupaten Blitar sebanyak 276 orang dengan menggunakan proportional random sampling diperoleh sampel penelitian sebanyak 163 responden. Variabel dependen adalah penemuan suspek tuberkulosis paru dan variabel independen adalah pengetahuan, sikap dan motivasi kader. Pengukuran variabel menggunakan kuesioner yang hasilnya

(12)

dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda. Hasil penelitian terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan, sikap dan motivasi kader dengan penemuan suspek tuberkulosis paru di puskesmas sanankulon, baik secara simultan maupun parsial. Perbedaan penelitian ini terletak pada subjek yang diteliti yaitu kader kesehatan, sedangkan pada penelitian saya lebih luas membahas faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi rendahnya angka penemuan suspek TB paru. Kesamaan penelitian adalah sama-sama meneliti tentang variabel motivasi dan pengetahuan kader kesehatan.

3. Yulfrra Media (2011) meneliti tentang faktor-faktor sosial budaya yang melatarbelakangi rendahnya cakupan penderita tuberkulosis (TB) paru di Puskesmas Padang Kandis, Kecamatan Guguk Kabupaten 50 kota (Provinsi Sumatera Barat). Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptif-inter-pretatif, yang menggunakan pendekatan kualitatif, dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa aspek sosial-budaya yang dianggap berkaitan dengan rendahnya cakupan penemuan pasien dengan TB paru adalah aspek ekonomi, pendidikan/pengetahuan, persepsi, kebiasaan dan keyakinan serta akses ke layanan kesehatan. Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penemuan suspek TB paru merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi cakupan penyakit TB paru. Kesamaan penelitian adalah sama-sama meneliti faktor sosial budaya meliputi pengetahuan masyarakat tentang penyakit Tb, persepsi, kebiasaan, keyakinan, ekonomi dan akses ke layanan kesehatan.

(13)

4. Asti Pratiwi Duhri, Thaha, dan Ansariadi (2013) meneliti tentang kinerja petugas puskesmas dalam penemuan penderita Tb paru di puskesmas kabupaten Wajo. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kinerja petugas P2Tb dalam penemuan TB paru. Penelitian ini menggunakan rancangan Mixed Methodology. Pengukuran variabel dependen menggunakan indikator CDR sedangkan pengukuran variabel independen menggunakan kuesioner. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan analisis univariat dan tabulasi silang, sementara data kualitatif dilakukan dengan menggunakan model Miles and Huberman. Hasil penelitian kualitatif menunjukkan kinerja petugas P2TB dalam penemuan penderita TB paru di setiap puskesmas berbeda targantung hasil kerjanya. Penelitian ini menyarankan agar petugas P2TB meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam penegakan diagnosis. Menjelaskan perbedaan dengan penelitian ini adalah selain petugas P2TB, banyak faktor yang dapat mempengaruhi penemuan TB paru. Untuk itu peneliti ingin melihat faktor apa saja yang melatarbelakangi rendahnya penemuan suspek TB sehingga penemuan pasien TB paru dapat dilakukan secara cepat. Kesamaan penelitian adalah terletak pada variabel pengetahuan petugas P2TB tehadap penemuan TB paru.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dengan motivasi, nasehat selalu kepada Penulis semenjak menimba ilmu di Fasilkom pada Program studi Magister (S2) Teknik Informatika sampai menyelesaikan

Di penelitian ini, setelah diidentifikasi risiko yang terjadi, risiko-risiko yang diperoleh pada proyek pemipaan IPA Kaligarang setelah di identifikasi risiko yang

Pada tanah yang mengandung air tinggi dan bibit yang rapat merupakan hal yang tidak dikehendaki untuk proses petumbuhan yang cepat dari jaringan tembakau.. Demikian

- Auditor harus memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menentukan apakah manajemen atau pihak lain dalam perusahaan memiliki pengetahuan atau tindakan pelanggaran

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas oleh peneliti, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap komunikasi yang terjadi antara dosen

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Pemasaran di Media Sosial terhadap Proses

Pengertian front office berasal dari bahasa Inggris “front” yang artinya depan dan “office” yang berarti kantor, jadi front office adalah kantor depan.(Bagyono 2012 : 21).

Laporan arus kas menyajikan informasi perubahan historis atas kas dan setara kas, yang menunjukkan secara terpisah perubahan yang terjadi selama satu periode dari aktivitas operasi