• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK IMPLEMENTASI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM RUANG LINGKUP KETENAGAKERJAAN. Bahmid, S.H., M.Kn Dosen Fakultas Hukum Universitas Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK IMPLEMENTASI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM RUANG LINGKUP KETENAGAKERJAAN. Bahmid, S.H., M.Kn Dosen Fakultas Hukum Universitas Asahan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

1 ABSTRAK

IMPLEMENTASI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM RUANG LINGKUP KETENAGAKERJAAN

Bahmid, S.H., M.Kn

Dosen Fakultas Hukum Universitas Asahan

Perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak, hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja harus menganut asas kebebasan berkontrak karena dalam perjanjian kerja diantara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-perbedaan tertentu baik mengenai kondisi dan kedudukan hukum. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah asas kebebasan berkontrak menjadi landasan bagi para pihak dalam membuat perjanjian kerja, dan bagaimanakah implementasi asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja bagi para pihak. Implementasi asas kebebasan berkontrak, dimana suatu perjanjian umumnya menganut asas kebebasan berkontrak begitu pula terhadap perjanjian kerja namun dalam perjanjian kerja diantara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-perbedaan tertentu baik mengenai kondisi dan kedudukan hukum, dalam hal ini pekerja mempunyai kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan dan kondisi dari pihak pengusaha. Oleh karenanya campur tangan pemerintah sangat diperlukan guna memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah yakni pekerja terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja.

(2)

2 A. Latar Pelakang

Dalam setiap hubungan

kerja, hubungan perburuhan atau hubungan industrial di negara manapun atau penganut sistem hubungan industrial apapun di dunia ini senantiasa dikenal adanya hukum yang mengatur bersifat

otonom dan heteronom. Di

Indonesia hukum yang bersifat otonom mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting dan menentukan mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak serta

menentukan penyelenggaraan

hubungan

kerja, putusannya hubungan kerja

serta pasca hubungan kerja.1

Hubungan kerja antara

pengusaha dengan pekerja

menyebabkan kedudukan para

1 Iman Soepomo, Hukum

Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 1983), hal. 1.

pihak tidak seimbang. Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang pekerja dengan seorang pengusaha, hubungan

kerja hendak menunjukkan

kedudukan kedua belah pihak itu

yang pada dasarnya

menggambarkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban buruh

terhadap majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap

buruh.2

Hubungan kerja terjadi

karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, hal ini tercantum pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Subyek hukum dalam perjanjian kerja terdiri dari pengusaha dan pekerja. Menurut Pasal 1 ayat (3)

yang dimaksud sebagai

2 Koko Kosidin, Perjanjian Kerja,

Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 18.

(3)

3 pekerja/buruh setia orang yang

bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha pada Pasal 1 ayat (5) adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum

yang menjalankan suatu

perusahaan milik sendiri; b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan

bukan miliknya; c orang

perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan

sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan b yang berkedudukan

di luar wilayah Indonesia.3

Pada mulanya perjanjian kerja diatur dalam Bab. VllA Buku III KUH Perdata dengan judul

“Perjanjian-Perjanjian Untuk

3 Lihat Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Melakukan Pekerjaan”. Pengaturan perjanjian kerja tersebut bersifat

hukum privat namun dalam

perkembanganya banyak ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti peraturan baru lagi yang kebanyakan bersifat hukum publik. Hal itu wajar karena hukum perburuhan sebagai hukum yang berdiri sendiri mempunyai sifat hukum privat maupun sifat hukum publik.

Dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak, hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Pasal 1601a

KUHPerdata menyebutkan

(4)

4 adalah perjanjian dengan mana

pihak yang satu si buruh, mingikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk suatu tertentu

melakukan pekerjaan dengan

menerima upah.4

Perjanjian kerja dibuat atas dasar: a) kesepakatan kedua belah

pihak, b) kemampuan atau

kecakapan melakukan perbuatan hukum, c) adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan d) pekerjaan

yang diperjanjikan tidak

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan

perundang-undangan yang

berlaku. Perjanjian kerja yang

dibuat oleh pihak yang

bertentangan dengan kemampuan dan kecakapan para pihak yang

4 Zainal Asikin, et. al, Dasar-Dasar

Hukum Perburuhan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 3.

membuatnya, perjanjian itu dapat

dibatalkan.5

Dalam suatu perjanjian,

dikenal adanya asas kebebasan berkontrak dan menganut system terbuka. Maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada

dasarnya boleh membuat

perjanjian mengenai apa saja,

sepanjang tidak bertentangan

dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum.6

Peraturan perundang-undangan

mengenai hukum perjanjian pada umumnya juga bersifat menambah atau pelengkap yang artinya pihak-pihak dalam membuat perjanjian, bebas untuk menyimpang dari

pada ketentuan-ketentuan

5 Mohd Syaufi Syamsuddin,

Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 7.

6 R. Subekti, Hukum Perjanjian,

Cetakan 21, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 13.

(5)

5 tersebut, tentunya sepanjang tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketentuan

umum.7

Para pihak diperbolehkan membuat ketentuan sendiri yang

menyimpang dari ketentuan

hukum perjanjian. Kalau tidak

mengatur sendiri mengenai

sesuatu hal, berarti mengenai hal tersebut para pihak akan tunduk kepada ketentuan undang-undang. Biasanya dalam suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua yang bersangkutan dengan perjanjian hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, yang lainnya

tunduk pada undang-undang.8

Sebagai konsekuensi sistem terbuka dari hukum perjanjian

7 Agus Yudha Hernoko, Hukum

Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 11.

8 Mohd Syaufi Syamsuddin, Op. Cit,

hal. 4.

yang mengandung asas kebebasan memebuat perjanjian tersebut, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan menekan pada perkataan semua, maka Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata

menyatakan kepada masyarakat, bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya sebagai

suatu undang-undang.9

Akan tetapi perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik

sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Dari ketentuan Pasal 1338 dapat dimaknai bahwa para

9 Suharmoko, Hukum Perjanjian:

Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 13.

(6)

6 pihak bebas menentukan isi dan

bentuk dari suatu perjanjian akan tetapi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan asas itikat baik yakni tidak bertentangan

dengan undang-undang,

berlawanan dengan kesusilaan baik

atau ketertiban umum.10

Sehingga hak dan kewajiban dari pihak yang menentukan

perjanjian tersebut yaitu

pengusaha membatasi

kewajibannya untuk memenuhi hak dari pekerja. Hal ini terkait dalam

menentukan hak-hak pekerja

seperti pemberian upah di bawah upah minimum, tidak memberikan

keselamatan kerja maupun

kesehatan kerja, tidak ada cuti, jenis dan sifat pekerjaan yang seharusnya merupakan pekerjaan

10 Munir Fuady, Hukum Kontrak

(Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 35.

tetap, atau perjanjian kerja yang bertentangan dengan ketentuan Ketenagakerjaan di Indonesia.

Posisi pekerja yang lemah kerena pengusaha menggunakan landasan hukum berupa perjanjian sebagai alasan untuk menghindari beberapa kewajiban (meminta izin, permohonan penetapan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemberian uang pesangon, penghargaan atas masa kerja dan ganti rugi) yang menjadi tanggungan pengusaha. Kecenderungan ini akan merugikan pekerja dalam upaya memperoleh

hak-hak mereka.11

Dalam praktek dan

perkembangannya perjanjian tidak

dibuat dengan menggunakan

perjanjian standar, sehingga dapat menciptkan ketidak seimbangan bagi para pihak dalam menentukan

11 Iman Sjahputra Tunggal,

Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Harvarindo, 2009), hal. 307.

(7)

7 isi perjanjian. Salah satu pihak

hanya menandatangani saja tanpa adanya kebebasan berkontrak. Perjanjian standar mensyaratkan bagi pihak yang membutuhkan

dengan kesepakatan take it or

leave it. Tanpa menjunjung prinsip konsensualisme yang berdasarkan kehendak bebas dari para pihak

dan asas itikad baik.12

Mengingat begitu pentingnya

penerapan asas kebebasan

berkontrak dalam pelaksanaan perjanjian kerja antara para pihak, dimana obyek penelitian yang dipergunakan adalah perjanjian

kerja yang dibuat antara

perusahaan dengan para pekerja, maka penulis sangat tertarik untuk

mengadakan penelitian dan

menuliskan hasilnya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis

Penerapan Asas Kebebasan

12Ibid, hal. 355.

Berkontrak Dalam Pembuatan

Perjanjian Kerja.” B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis membuat rumusan masalah maka,

yang menjadi rumusan

masalah dalam penulisan ini adalah: Bagaimanakah asas

kebebasan berkontrak

menjadi landasan bagi para

pihak dalam membuat

perjanjian kerja. C. Metode Penelitian

Penelitian skripsi ini

termasuk jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

(8)

8 hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier.13

Penelitian hukum normatif

atau kepustakaan menurut

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji

mencakup:14

1) Penelitian terhadap asas-asas hukum;

2) Penelitian terhadap

sistematik hukum;

3) Penelitian terhadap

sinkronisasi vertikal dan horizontal;

4) Perbandingan hukum; 5) Sejarah hukum.

Dari kelima pembedaan

penelitian hukum normatif di atas, metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah

penelitian untuk menemukan

hukum in concreto, yaitu penelitian

13 Soerjono Soekanto dan Sri

Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal 13-14.

14Ibid, hal. 12.

yang bertujuan untuk menemukan apakah hukum yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara tertentu.

D. Telaah Pustaka

1. Tinjauan Umum Mengenai

Perjanjian

1.1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

Perjanjian adalah suatu hal

yang sangat penting karena

menyangkut kepentingan para

pihak yang membuatnya.oleh

karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar memperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian

hukum dapat terwujud.15

Dalam literatur hukum

Indonesia, perumusan tentang

materi perjanjian tergantung pada

15 Suharmoko, Hukum Perjanjian:

Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 117.

(9)

9 kehendak yang dikaitkan dengan

sumber hukum yang diikutinya. Namun, semuanya kembali ke sumber awal hukum perikatan yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni pada Pasal 1313 KUH Perdata, karena jika kita membicarakan tentang perjanjian,

maka pertama-tama harus

diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: perjanjian atau suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih lainnya.16

Kata persetujuan merupakan

terjemahan dari perkataan

overeenkomst dalam bahasa

16 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata), Terjemahan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cetakan XXV, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), hal. 282.

Belanda. Kata overeenkomst

lazimnya diterjemahkan dengan kata perjanjian, sedangkan hukum

perjanjian disebut

overeenkomstenrech. Jadi

persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, sama artinya dengan perjanjian. Akan tetapi adapula

yang berpendapat bahwa

perjanjian tidak sama dengan

persetujuan.17 Persetujuan

merupakan terjemahan dari

overeenkomst, sedangkan

perjanjian merupakan terjemahan

dari toestemming yang ditafsirkan

sebagai wilsovereenstemming

(persetujuan kehendak atau kata

sepakat).18

Sedangkan Abdulkadir

Muhammad menyatakan bahwa

17 Sudikno Mertokusumo, Hukum

Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 97.

18 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum

Perikatan Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1988), hal. 3.

(10)

10

perjanjian adalah suatu

persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri

untuk melaksanakan sesuatu

dalam lapangan harta kekayaan.19

Ahmadi Miru mengatakan bahwa:

Perikatan bersumber dari

perjanjian dan

undang-undang, perikatan yang

bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang undang saja dan dari

undang-undang karena

perbuatan manusia.

Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu,

perbuatan yang sesuai

19 Abdulkadir Muhammad, Hukum

Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 78.

hukum dan perbuatan yang

melanggar hukum.20

Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu. Apabila

seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.

Dengan demikian, perjanjian merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat dinikmati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang

(11)

11 tidak konkret, tetapi abstrak atau

tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan

tindakan, seperti zaakwarneming,

onregmatige daad. Abdulkadir

Muhammad mengatakan Pasal

1313 KUH Perdata kurang

memuaskan karena ada

kelemahannya yaitu:

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja

“mengikat” sifatnya hanya

datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan”

termasuk tindakan

melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus.

Seharusnya dipakai kata

“persetujuan” saja.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti

janji kawin, pelangsungan

perkawinan. Sedangkan

(12)

12 buku III KUH Perdata sebenarnya

hanyalah perjanjian yang bersifat

kebendaan bukan bersifat

personal.

4. Dalam rumusan pasal tersebut

tidak disebutkan tujuan

mengadakan perjanjian,

sehingga para pihak mengikat

dirinya tidak untuk apa.21

Menurut Mariam Darus

Badrulzaman bahwa dengan

diizinkan orang membuat

peraturan sendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu

tidak lengkap, itulah yang

menyebabkan sifat hukum

perjanjian disebut dengan hukum

pelengkap (optimal law)

selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang

adalah bebas atau leluasa

memperjanjikan apa saja disebut

21 Abdul Kadir Muhammad, Hukum

Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 78.

atas kebebasan berkontrak yang berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu

yang halal.22

Jadi, hukum perjanjian

merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli

hukum menempatkan sebagai

bagian dari hukum perjanjian

karena kontrak sendiri

ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari

undang-undang.23

22 Mariam Darus Badrulzaman,

KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 110.

23 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak

(Perancangan Kontrak), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 1-2.

(13)

13 Berdasarkan uraian di atas,

diketahui bahwa perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak

yang terlibat dalam suatu

hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang diberi kebebasan untuk

mengadakan perikatan atau

perjanjian sepanjang tidak

melanggar batasan yang

ditentukan. Berdasarkan kehendak

para pihak yang membuat

perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Dari beberapa defenisi di

atas penulis lebih memilih

pendapat yang dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau

di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa perjanjian adalah

kesepakatan antara dua orang atau lebih dalam lapangan hukum

kebendaan untuk saling

mengikatkan diri dengan cara memberi dan menerima sesuatu.

1.2. Syarat-syarat Sahnya

Perjanjian

Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian yang telah di tentukan oleh Undang-undang.

Perlu diperhatikan bahwa

perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam Undang-undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak di akui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak

(14)

14 yang bersangkutan. Karena itu

selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat perjanjian itu berlaku diantara mereka. Apabila suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau perjanjian itu batal.

Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat

yang telah ditentukan oleh

undang-undang sehingga

perjanjian tersebut diakui oleh hukum. Syarat-syarat sahnya suatu persetujuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian. Mengenai

syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata adalah, sebagai berikut:

1. Ada persetujuan kehendak

antara pihak-pihak yang

membuat perjanjian

(Consensus).

2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (Capacity).

3. Ada suatu hal yang tertentu (A certain subject matter).

4. Ada suatu sebab yang halal

(Legal cause).24

Keempat syarat sahnya

perjanjian tersebut selanjutnya

dapat dirinci sebagaimana,

dikemukakan berikut ini:

1. Adanya Kesepakatan Kedua

Belah Pihak

Syarat yang pertama sahnya

perjanjian adalah adanya

kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH

24 Abdul Kadir Muhammad, Op.

(15)

15 Perdata. yang dimaksud dengan

kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

Dengan sepakat

dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang

pokok dari perjanjian yang

diadakan itu. Apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu

harus diberikan secara bebas.25

Maksud, yang sesuai itu

adalah pernyataannya, karena

kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Ada 5 (lima) cara terjadinya persesuaian

25 Komariah, Hukum Perdata,

(Malang: UMM Press, 2008), hal.169.

pernyataan kehendak, yaitu

dengan:

a) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

b) Bahasa yang sempurna secara lisan;

c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam

kenyataannya seringkali

seseorang menyampaikan

dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima

pihak lawan.26

26 Sudikno Mertokusumo,

Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan 1, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal. 7.

(16)

16 2. Kecakapan para pihak dalam

membuat suatu perjanjian

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum.

Perbuatan hukum adalah

perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang

akan mengadakan perjanjian

haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk

melakukan perbuatan hukum,

sebagimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.

Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan tidak

terganggu ingatannya, cakap

bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang dewasa yang terganggu ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah

pengampuan dianggap tidak cakap

bertindak dalam lalu lintas

hukum.27

Dalam membuat sesuatu

perjanjian seseorang haruslah

cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu

seseorang terikat untuk

melaksanakan suatu prestasi dan

harus dapat mempertanggung

jawabkannya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang

yang oleh undang-undang

dinyatakan tidak cakap.”28

M. Yahya Harahap,

menyatakan bahwa “subjek yang

dianggap memiliki kecakapan

memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan

27 R. Subekti, Op. Cit, hal. 19. 28Ibid, hal. 19.

(17)

17

tindakan hukum. Umumnya

mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada

di bawah pengampuan wali

maupun di bawah “curatele.”29

Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus

mampu bertanggung jawab

terhadap perbuatannya. Orang

yang tidak sehat pikirannya

walaupun telah dewasa, tidak

dapat menyelenggarakan

kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak

lain untuk menyelenggarakan

kepentingannya. Ketidakcakapan

ini disebut tidak cakap untuk

29 M.Yahya Harahap, Op. Cit, hal.

9.

mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan

mana yang tidak baik.30

Orang yang belum dewasa,

umumnya belum dapat

menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan

keputusan hakim dinyatakan

bahwa ia tidak mampu/pemboros

di dalam mengendalikan

keinginannya sehingga bagi

mereka harus ada wakil dari orang tertentu untuk menyelenggarakan

kepentingannya.31

30Ibid, hal. 9.

(18)

18 Setiap orang yang sudah

dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi

Miru mengatakan bahwa:32

Seorang dikatakan tidak

cakap untuk melakukan

perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21

tahun. Sebaliknya setiap

orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros. 3. Adanya Suatu hal Tertentu

Suatu perjanjian harus

mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua

32 Ahmad Miru, Op. Cit, hal. 29.

belah pihak jika timbul suatu

perselisihan.33 Barang yang

dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan

oleh undang-undang. Juga

jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu

dianggap batal demi hukum.34

33 R. Subekti, Op. Cit, hal. 19. 34 Abdul Kadir Muhammad, Op.

(19)

19

Tidak menjadi halangan

bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Barang yang akanada di kemudian hari juga bisa menjadi

objek dari suatu perjanjian,

ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata. Selain itu yang harus diperhatikan

adalah “suatu hal tertentu”

haruslah sesuatu hal yang biasa dimiliki oleh subyek hukum.

Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal

1338 KUH Perdata yang

menyatakan bahwa “hal-hal yang

diperjanjikan dalam perjanjian

haruslah tertentu barangnya atau

sekurang-kurangnya ditentukan

jenisnya.

4. Ada suatu sebab yang halal Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi

objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Untuk sahnya

suatu perjanjian juga harus

memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan.

Akan tetapi, yang dimaksud

dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang

menyebabkan atau yang

mendorong orang membuat orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu

sendiri yang menggambarkan

tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.

Undang-undang tidak

memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau

diawasi oleh undang-undang

adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh

(20)

20 undang-undang atau tidak, apakah

bertentangan dengan ketertiban

umum dan kesusilaan atau tidak.35

Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar

untuk menuntut pemenuhan

perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia

dianggap tidak pernah ada.36

Dengan demikian, apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang

35Ibid, hal. 94.

36Ibid, hal. 96.

apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka

perjanjian itu tidak dapat

dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

2. Tinjauan Umum Tentang

Perjanjian Kerja

2.1. Pengertian Perjanjian

Kerja

Pada mulanya perjanjian kerja diatur dalam BAB. Vll A Buku III KUH Perdata dengan judul

“Perjanjian-perjanjian Untuk

Melakukan Pekerjaan”. Pengaturan perjanjian kerja tersebut bersifat

hukum privat namun dalam

perkembanganya banyak ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti peraturan baru lagi yang kebanyakan bersifat hukum publik. Hal itu wajar karena hukum

(21)

21 perburuhan sebagai hukum yang

berdiri sendiri mempunyai sifat hukum privat maupun sifat hukum publik.

Pengertian perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal 1601(a)

KUH Perdata yaitu dapat

disimpulkan bahwa perjanjian kerja

merupakan perjanjian antara

seorang buruh dengan seorang

majikan berdasarkan unsur

wewenang perintah, untuk

melakukan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu dengan menerima upah.

Dalam Pasal tersebut

terdapat 3 (tiga) hal pokok, yaitu: a. Pekerjaan yang dilakukan oleh

buruh.

b. Upah yang diberikan oleh majikan.

c. Keadaan siburuh yang ada dibawah perintah si majikan.

Ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

memberikan pengertian baru

mengenai perjanjian kerja yaitu bahwa suatu perjanjian kerja adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pegusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban para pihak.37

Perjanjian kerja menurut Iman Soepomo diartikan sebagai suatu perjanjian dimana pihak yang satu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain (majikan) selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah

dan pihak lain (majikan)

mengikatkan diri untuk

37 Lihat Ketentuan Pasal 1 angka

14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

(22)

22 mempekerjakan pihak yang satu

(buruh) dengan membayar upah.38

Perjanjian kerja menurut R. Subekti adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah

atau gaji tertentu yang

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yang dalam

bahasa Belanda disebut

dienstverhording, yaitu suatu yang berdasarkan mana pihak yang satu

(majikan) berhak memberikan

perintah-perintah yang harus

ditaati oleh pihak lain.39

Selanjutnya Ridwan Halim menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau

38 Iman Soepomo, Hukum

Perburuhan-Bidang Hubungan Kerja, Cetakan VI, (Jakarta: Djamban, 1987), hal-51.

39 R. Subekti, Op. Cit,hal. 63.

karyawan tertentu, yang umumnya

berkenaan dengan segala

persyaratan yang secara timbal balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban dari masing-masing

terhadap satu sama lainya.40

Istilah perjanjian kerja harus dibedakan dengan hubungan kerja, jadi tidak akan ada hubungan kerja apabila tidak dilakukan perjanjian kerja. Dalam praktek, hubungan kerja sering disebut sebagai

hubungan perburuhan (labour

relation) atau hubungan industrial.

2.2. Syarat Sahnya

Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja juga

termasuk perjanjian pada

umumnya, sehingga harus

memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam

40 A. Ridwan Halim, Hukum

Perburuhan dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 1-2.

(23)

23 ketentuan Pasal 1320 kUH Perdata.

Mengenai syarat sahnya perjanjian kerja telah diatur tersendiri.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, maka agar perjanjian kerja yang diadakan itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Adapun syarat-syarat

perjanjian kerja adalah sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu (antara buruh/tenaga kerja dan majikan). Jadi tidak boleh ada paksaan yang

mengakibatkan perjanjian

tersebut batal. b. Adanya

kemampuan/kecakapan

pihak-pihak untuk membuat perjanjian.

c. Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan

peraturan

perundang-undangan, ketertiban umum

maupun kesusilaan.

Isiperjanjian kerja adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tenga kerja serta hak-hak dan

kewajiban-kewajiban majikan.41

Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang

menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar yaitu sebagai berikut:

41 Sedjun Manulang, Pokok-Pokok

Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hal. 95.

(24)

24

a. Kesepakatan kedua belah

pihak;

Kesepakatan kedua belah

pihak merupakan kesepakatan bagi mereka atau pihak-pihak yang mengikatkan dirinya

yaitu pihak-pihak yang

mengadakan perjanjian kerja harus setuju dan sepakat

mengenai hal-hal yang

diperjanjikan. Semua hal yang

didalam perjanjian kerja

merupakan kehendak dari kedua belah pihak. Pihak pekerja menerima pekerjaan

yang ditawarkan oleh

pengusaha, begitu juga

pengusaha menerima pekerja untuk dipekerjakan.

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; Kedua belah pihak dalam perjanjian kerja yaitu pihak

pekerja dengan pihak

pengusaha cakap dalam

membuat perjanjian.

Seseorang dipandang cakap dalam membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan batasan umur dalam membuat perjanjian adalah minimal berusia 18 tahun selain itu seseorang dikatakan cakap dalam membuat perjanjian jika tidak terganggu jiwanya atau waras.

c. Adanya pekerjaan yang

diperjanjikan;

Pekerjaan disini merupakan obyek perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban bagi para

(25)

25 pihak yaitu pihak pengusaha

dan pihak pekerja.

d. Pekerjaan yang diperjanjikan

tidak boleh bertentangan

dengan ketertiban umum,

kesusilaan dan ketentuan

peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pekerjaan sebagai obyek

dalam perjanjian kerja harus halal, maksudnya tidak boleh

bertentangan dengan

Undang-undang, ketertiban

umum dan kesusilaan. Hal ini yang menyebabkan didalam suatu perjanjian kerja, jenis pekerjaan merupakan hal yang harus jelas disebutkan.

Keempat syarat sahnya

perjanjian kerja tersebut bersifat komulatif, yaitu harus dipenuhi semuanya dalam perjanjian kerja agar perjanjian kerja tersebut sah. Syarat pertama dan kedua disebut

syarat syarat subyektif, karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan syarat keempat disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka akibatnya

perjanjian tersebut dapat

dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberi kesepakatan secara bebas dan orang tua atau pengampu bagi

orang-orang yang dibawah

pengampuan dapat meminta

pembatalan perjanjian kepada

hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.

2.3. Unsur Perjanjian

Kerja

Berdasarkan pengertian

(26)

26

ditarik beberapa unsur dari

perjanjian kerja tersebut yaitu :

a. Adanya unsur work atau

pekerjaan, dalam suatu

perjanjian kerja tersebut

haruslah ada suatu pekerjaan yang di perjanjikan dan

dikerjakan sendiri oleh

pekerja yang membuat

perjanjian kerja tersebut.

Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah berdasarkan

dan berpedoman pada

perjanjian kerja.42

b. Adanya unsur perintah,

manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja

oleh pengusaha adalah

pekerjaan yang bersangkutan harus tunduk pada perintah

42 Darwan Prinst, Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia: Buku

Pegangan Bagi Pekerja Untuk

Mempertahankan Hak-Haknya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 67.

pengusaha untuk melakukan

pekerjaan sesuai yang

diperjanjikan bentuk dari

perintah tersebut dapat secara tertulis yang terdapat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian

kerja bersama. Pekerja

diwajibkan untuk mentaati seluruh perjanjian kerja yang ada dan berlaku didalam

perusahaan tempatnya

bekerja. Disinilah perbedaan

hubungan kerja dengan

hubungan yang berdasarkan ketentuan Pasal 1603 huruf

(b) KUH Perdata yang

berbunyi:

“Si buruh diwajibkan menaati aturan-aturan tentang hal melakukan pekerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan ada perbaikan tata tertib dalam perusahaan si majikan

(27)

27 didalam batas-batas,

aturan-aturan, Undang undang atau

perjanjian, maupun reglemen

atau jika tidak ada menurut kebiasaan.”

Dalam perjanjian kerja unsur wewenang perintah memiliki peranan pokok, tanpa adanya unsur wewenang perintah berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang sama yaitu yang memerintah dan yang diperintah.

c. Adanya waktu tertentu waktu tertentu memiliki pengertian yang sangat luas, dapat berarti waktu tidak tertentu, artinya berakhirnya waktu

perjanjian pada saat

perjanjian kerja tidak

ditetapkan, atau waktu

tertentu, yang berarti

berakhirnya waktu perjanjian ditetapkan pada saat dibuat

perjanjian atau berakhirnya disetujui pada saat pekerjaan yag disepakati selesai. Oleh karena itu pekerja tidak boleh

melaksanakan pekerjaan

sekehendak hatinya. Begitu pula simajikan tidak boleh memperkerjakan pekerjanya

seumur hidup, karena

memperkerjakan pekerja

selama seumur hidup sama dengan perbudakan dan selain itu pekerjaan yang dilakukan pekerja haruslah pekerjaan yang memberikan manfaat bagi majikan, oleh karenanya

pekerja tidak boleh

melakukan pekerjaan

seenaknya. Dalam KUH

Perdata tidak ada Pasal

(28)

28 sarjana hukum memberikan

definisi yang berbeda-beda.43

Mengenai apa yang dimaksud dengan waktu tertentu, ada yang menolak dan ada yang mempertahankanya.

Pembatasan dalam jam kerja dimaksudkan agar pekerja tidak melakukan pekerjaan

sekehendak waktunya,

demikian juga dengan

pengusaha tidak boleh

memerintahkan pekerja

menurut kepentingan

usahanya semata. Dengan demikian waktu pelaksanaan perjanjian kerja tersebut harus sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan sesuai dengan yang diinginkan oleh pengusaha,

43 Koko Kosidin, Perjanjian Kerja,

Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 13.

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan. d. Adanya unsur pay atau upah;

Tujuan utama seorang pekerja

yaitu untuk mendapatkan

imbalan, sehingga dengan adanya upah hubungan antara pekerja dengan pengusaha merupakan suatu hubungan kerja. Pemberian upah sebagai

penegasan pembayaran

prestasi yang telah diberikan, dikenal dengan asas tiada

upah bila pekerja tidak

melakukan pekerjaan (no work no pay). Upah biasanya

diberikan setelah pekerja

selesai melakukan

pekerjaanya. Hak atas upah baru akan ada pada saat dimulainya hubungan kerja

dan berakhir setelah

(29)

29

Dengan di penuhinya

keempat syarat tersebut maka perjanjian yang di buat di namakan

perjanjian kerja dengan

konsekwensi lebih lanjut bahwa orang yang berada di bawah pimpinan orang lain di sebut pekerja, sedangkan orang yang

memimpin di sebut pengusaha.44

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yaitu: “Upah

adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan atau dibayar menurut

suatu perjanjian kerja,

kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan termasuk

44Ibid, hal. 18.

tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

Upah merupakan unsur

penting dalam perjanjian kerja, karena dengan tidak terpenuhinya upah maka hubungan kerja yang ada tersebut belum mencerminkan terlaksananya perjanjian kerja, meskipun telah memenuhi ketiga unsur yang lain. Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan

dalam bentuk uang, namun

demikian dalam praktek

pelaksanaanya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan,

tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk

barang, tetapi jumlahnya

dibatasi.45

45 Djumadi, Hukum Perburuhan

dan Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 57.

(30)

30 E. PEMBAHASAN : IMPLEMENTASI

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

DALAM RUANG LINGKUP

KETENAGAKERJAAN

Dalam sejarah

perkembangan asas kebebasan

berkontrak, makna dan isi

kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana kebebasan

seseorang melakukan kontrak

dapat dibatasi oleh faham atau

ideologi yang dianut suatu

masyarakat. Pada saat lahirnya asas kebebasan berkontrak pada abad 17 dan 18, asas kebebasan berkontrak mempunyai daya kerja sangat kuat, kebebasannya itu tidak dapat dibatasi baik oleh rasa keadilan masyarakat atau pun oleh campur tangan negara. Hal ini

terjadi karena adanya pengaruh

Ideologi Individualisme.46

Pengaruh faham

individualisme yang berkembang pada abad 17-18 telah memberi peluang yang cukup luas atas isi

asas kebebasan berkontrak

sedemikian bebasnya dan sangat

kuat dalam melindungi

kepentingan individu. Namun

dalam perkembangannya, akibat desakan faham-faham etis dan

sosialis, faham individualisme

mulai pudar, terlebih - lebih setelah perang dunia kedua. Faham ini secara umum menimbulkan

zaman baru dalam hukum,

demikian juga pengaruh faham etis dan sosialis ini terlihat dan sangat terasa pada isi dari asas kebebasan

berkontrak.47

46 Mahadi, Hukum Sebagai Sarana

Mensejahterakan Masyarakat, (Medan, USU Press, 1985), hal. 2-3.

(31)

31 Asas kebebasan berkontrak

mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum perjanjian Inggris

sebagai awal dari sejarah

timbulnya asas kebebasan

berkontrak. Menurut Treitel,

sebagaimana dikutip oleh Sutan

Remy Sjahdeini, bahwa freedom of

contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum, yaitu:

a. Asas umum yang

mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syaratsyarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut

tidak membebaskan

berlakunya syarat-syarat

suatu perjanjian hanya karena

syaratsyarat perjanjian

tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Menurut

Treitel, asas ini ingin

menegaskan bahwa ruang

lingkup asas kebebasan

berkontrak meliputi

kebebasan para pihak untuk

menentukan sendiri isi

perjanjian yang ingin mereka buat.

b. Asas umum yang

mengemukakan pada

umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa

untuk memasuki suatu

perjanjian. Menurut Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas

kebebasan berkontrak

meliputi kebebasan bagi para

pihak untuk menentukan

dengan siapa dia ingin atau

tidak ingin membuat

perjanjian.48

48 Sutan Remy Sjahdeini,

Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 47.

(32)

32

Dalam sistem hukum

nasional Indonesia, asas ini ini diimplementasikan pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian dengan siapa yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang

akan dilakukan. Berdasarkan

prinsip asas inilah maka Buku III

KUHPerdata menganut sistem

terbuka.49

Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak

kebendaan demi pemenuhan

49 Kartini Mulyadi dan Gunawan

Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 46.

kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam KUHPerdata yang

menganut sistem kontinental

kebebasan untuk melakukan

kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata.50 Wujud

kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai

titel untuk memperoleh hak

kepemilikan.51

Asas kebebasan berkontrak

menurut hukum perjanjian

50 Munir Fuady, Hukum Kontrak

(Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 30.

51 A. Qirom Syamsuddin Meliala,

Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 18.

(33)

33 Indonesia meliputi ruang lingkup

sebagai berikut:

1) Kebebasan untuk membuat

atau tidak membuat

perjanjian.

2) Kebebasan untuk memilih

pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari

perjanjian yang akan

dibuatnya.

4) Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.

5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat

opsional (aanvullend,

optional).52

52 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit,

hal. 47-48.

Sesuai dengan asas

kebebasan berkontrak di atas, telah menunjukkan bahwa dalam hal melakukan hubungan hukum dalam hal hubungan kerja melalui perjanjian kerja tertulis yang

ditandai dengan adanya

penandatanganan perjanjian kerja yang mengatur tentang syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan hubungan kerja melalui perjanjian kerja lisan adalah hubungan kerja tanpa

adanya penandatanganan

perjanjian kerja. Karena tidak ada

perjanjian kerja yang

ditandatangani, maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan

yang berlaku.53

Hubungan kerja pada

dasarnya meliputi hal-hal

53 Sehat Damanik, Hukum Acara

Perburuhan, (Jakarta: Dss Publising, 2004), hal. 2.

(34)

34 mengenai pembuatan perjanjian

kerja, kewajiban pekerja, kewajiban

pengusaha dan berakhirnya

hubungan kerja.

1. Pembuatan Perjanjian Kerja

Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan mendefenisikan

perjanjian kerja adalah Perjanjian

antara pekerja dengan

pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Menurut

Undang-undang ini perjanjian

kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja yang dibuat dalam bentuk tertulis diwajibkan terhadap perjanjian

kerja waktu tertentu saja.54

Sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.

54 Pasal 57 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Apabila perjanjian kerja

dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat-syarat kerja yang

memuat hak dan kewajiban

pengusaha dan

pekerja/buruh;

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian

kerja dibuat; dan

i. tanda tangan para pihak

dalam perjanjian kerja.55

55 Pasal 54 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

(35)

35 Ketentuan dalam perjanjian

kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perusahaan, perjanjian kerja

bersama, dan peraturan

perundang-undangan yang

berlaku.56 Perjanjian kerja

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta

pekerja/buruh dan pengusaha

masing-masing mendapat 1 (satu)

perjanjian kerja.57

Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan mengatur

perjanjian kerja yang dibuat secara lisan, terhadap perjanjian kerja

56 Pasal 57 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

57 Pasal 54 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

secara lisan maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan yang sekurang-kurangnya memuat keterangan:

a. nama dan alamat

pekerja/buruh;

b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan

d. besarnya upah.58

Selain hal-hal diatas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur dalam suatu perjanjian

kerja:59

a. Macam pekerjaan;

b. Cara-cara pelaksanaannya; c. Waktu atau jam kerja; d. Tempat kerja;

58 Lihat Pasal 63 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

59 A. Ridwan Halim, Hukum

Perburuhan Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1990), hal. 23.

(36)

36

e. Besarnya imbalan kerja,

macam-macamnya serta cara pembayarannya;

f. Fasilitas-fasilitas yang

disediakan perusahaan bagi pekerja/ buruh/pegawai; g. Biaya kesehatan/pengobatan bagi buruh/pegawai/pekerja; h. Tunjangan-tunjangan tertentu; i. Perihal cuti;

j. Perihal ijin meninggalkan

pekerjaan;

k. Perihal hari libur;

l. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja;

m. Perihal pakaian kerja;

n. Perihal jaminan perlindungan kerja;

o. Perihal penyelesaiaan

masalah-masalah kerja;

p. Perihal uang pesangon dan uang jasa;

q. Berbagai masalah yang

dianggap perlu.

2. Kewajiban Pekerja

Dalam suatu hubungan kerja

harus ada pekerjaan yang

diperjanjikan dan pekerjaan itu wajib dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus

dilakukan oleh pekerja/buruh

untuk kepentingan pengusaha

sesuai isi perjanjian kerja.

Pekerja/buruh yang baik adalah

buruh yang menjalankan

kewajibankewajibannya dengan

baik, yang dalam hal ini kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang

dalam keadaan yang sama,

seharusnya dilakukan atau tidak

dilakukan.60 Pekerja harus mentaati

peraturan perusahaan yang

60 Pasal 1603d KUHPerdata.

(37)

37

menurut undang-undang

ketenagakerjaan peraturan

perusahaan adalah peraturan yang

dibuat secara tertulis oleh

pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib

perusahaan.61

3. Kewajiban Pengusaha

Pengusaha berkewajiban

memberikan upah terhadap

pekerja. Upah adalah suatu

penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang

telah atau akan dilakukan,

dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau

peraturan perundang-undangan

dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh termasuk tunjangan

61 Lihat Pasal 1 angka (20)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

baik untuk buruh sendiri maupun

keluarganya, yang dimaksud

dengan imbalan termasuk juga

sebutan honorarium yang

diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.

Pengusaha juga

berkewajiban untuk

memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan yang berlaku diperusahaan. Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:

a. Hak dan kewajiban

pengusaha. b. Syarat kerja.

c. Tata tertib perusahaan.

d. Jangka waktu berlakunya

peraturan perusahaan.

Peraturan perusahaan tidak

boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan

(38)

38

dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku maka yang

digunakan adalah peraturan

perundang-undangan. Jangka

waktu berlakunya peraturan

perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah masa berlakunya habis.

4. Berakhirnya Hubungan Kerja

Hubungan kerja antara

pengusaha dan pekerja akan berakhir disebabkan oleh:

a. Pekerja meninggal dunia. b. Jangka waktu perjanjian kerja

berakhir.

c. Adanya putusan pengadilan

dan/atau putusan atau

penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan

dalam perjanjian kerja,

peraturan kerja, atau

perjanjian kerja bersama yang

dapat menyebabkan

berakhirnya hubungan kerja. Dengan demikian, apabila membicarakan mengenai kerangka perjanjian kerja tentunya tidak akan terlepas dari adanya syarat-syarat kerja. Oleh karena itu, untuk

lebih memahaminya terlebih

dahulu perlu diketahui tentang

pengertian syarat-syarat kerja

tersebut dan ketentuan yang diatur didalamnya. Perjanjian kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja dalam mengikat hubungan kerja, yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam

pembuatan perjanjian kerja

dipersyaratkan atau dibuat atas dasar:

(39)

39

1. Kesepakatan Kedua belah

pihak.

2. Kemampuan dan kecakapan melakukan perbuatan hukum.

3. Adanya pekerjaan yang

diperjanjikan.

4. Perjanjian yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa perjanjian kerja memiliki kerangka yang memiliki ciri khas dan berdiri sendiri (sui generic). Dalam perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak tidak dilandasi oleh adanya pekerjaan

yang diperjanjikan tersebut

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan

perundang-undangan yang

berlaku, maka akan batal demi hukum, sedangkan perjanjian kerja

yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan

yang berkaitan dengan

kemampuan dan kecakapan para pihak, perjanjian tersebut dapat

dibatalkan.62

Dalam pembuatan perjanjian kerja ada 4 (empat) unsur utama yang wajib dipatuhi, yaitu:

1. Adanya pekerjaan.

2. Adanya upah yang dibayarkan. 3. Adanya perintah.

4. Dilakukan selama waktu

tertentu atau tidak tertentu. Oleh karena itu, para pihak tidak mempunyai dasar untuk saling menuntut Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan

62 Lihat Pasal 52 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

(40)

40

atau kecakapan melakukan

perbuatan hukum, adanya

pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan

perundang-undangan yang

berlaku.” Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan

atau kecakapan melakukan

perbuatan hukum dapat

dibatalkan.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa kerangka hukum perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan tenaga kerja apabila dilihat dari segi hukum perdata merupakan kesepakatan antara para pihak di dalamnya dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian.

F. DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Kadir Muhammad, Hukum

Perikatan, (Bandung:

Alumni, 1982).

_______, Hukum Perjanjian,

(Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1990).

_______, Hukum Perjanjian di

Indonesia, (Bandung:

Alumni, 2006).

A. Qirom Syamsuddin Meliala,

Pokok-Pokok Hukum

Perjanjian Beserta

Perkembangannya,

(Yogyakarta: Liberty, 1985).

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak

(41)

41

(Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2007).

A. Ridwan Halim, Hukum

Perburuhan dalam Tanya

Jawab, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1990).

Agus Yudha Hernoko, Hukum

Perjanjian, Asas

Proporsionalitas Dalam

Kontrak Komersial,

(Yogyakarta: LaksBang

Mediatama, 2008).

Amirudin dan Zainal Asikin,

Pengantar Metode

Penelitian Hukum, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada,

2006).

Darwan Prinst, Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia: Buku Pegangan Bagi Pekerja

Untuk Mempertahankan

Hak-Haknya, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1994).

Djumadi, Hukum Perburuhan dan

Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992).

Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 1983).

Iman Sjahputra Tunggal,

Pokok-Pokok Hukum

Ketenagakerjaan, (Jakarta: Harvarindo, 2009).

Jonny Ibrahim, Teori dan Metode

Penelitian Hukum Normatif,

(Surabaya: Bayu Media

Publishing, 2006).

Koko Kosidin, Perjanjian Kerja,

(42)

42

Perusahaan, (Bandung:

Mandar Maju, 2001).

Komariah, Hukum Perdata,

(Malang: UMM Press, 2008).

Kartini Muljadi dan Gunawan

Widjaja, Perikatan Pada

Umumnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).

_______, Perikatan yang lahir dari

Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).

Lalu Husni, Pengantar Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia,

(Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003).

Mahadi, Hukum Sebagai Sarana

Mensejahterakan

Masyarakat, (Medan, USU Press, 1985).

Mariam Darus Badrulzaman, KUH

Perdata Buku III, Hukum

Perikatan Dengan

Penjelasan, (Bandung:

Alumni, 1983).

_______, Hukum Perikatan Dengan

Penjelasan, (Bandung,

Alumni, 1985).

_______, Perjanjian Baku (Standar)

Perkembangannya di

Indonesia, (Bandung:

Alumni Bandung, 1990).

M. Yahya Harahap, Segi-segi

Hukum Perjanjian,

(Bandung: Alumni, 1992).

Mohd Syaufi Syamsuddin,

Perjanjian-Perjanjian Dalam

Hubungan Industrial,

(Jakarta: Sarana Bhakti

(43)

43

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari

Sudut Pandang Hukum

Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007).

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Bandung: Bina Cipta, 1987).

R. M. Suryodiningrat,

Perikatan-Perikatan Bersumber

Perjanjian, (Bandung:

Tarsito, 1989).

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum

Perikatan Nasional,

(Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1988).

________, Hukum Perjanjian,

Cetakan 17, (Jakarta:

Intermasa, 2001).

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik

dalam Kebebasan

Berkontrak, (Jakarta:

Program Pascasarjana,

Universitas Indonesia,

2004).

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cetakan IX, (Bandung: Mandar Maju, 2011).

Sedjun Manulang, Pokok-Pokok

Hukum Ketenagakerjaan

Indonesia, Edisi Revisi,

(Jakarta: Rajawali Pers,

2003).

Sehat Damanik, Hukum Acara

Perburuhan, (Jakarta: Dss Publising, 2004).

_______, Outsourcing & Perjanjian

(44)

Undang-44 Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang

Ketenagakerjaan, (Jakarta: Dss Publising, 2007).

Sudikno Mertokusumo, Hukum

Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998).

_______, Mengenal Hukum (Suatu

Pengantar), Cetakan 1,

(Yogyakarta: Liberty, 1991).

Suharmoko, Hukum Perjanjian:

Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004).

Soerjono Soekanto dan Sri

Mamudji, Penelitian Hukum

Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2004).

Zainal Asikin, et. al, Dasar-Dasar

Hukum Perburuhan,

(Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002).

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan

Berkontrak dan

Perlindungan yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993).

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang

Referensi

Dokumen terkait

lain, pendidikan orangtua minimal SMA, mereka bertempat tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan pengukuran awal menunjukkan nilai psychological well-being sedang.Jumlah

Jika ketersedian unsur hara nitrogen telah berlimpah dalam tanah, Secara tidak langsung tanaman jagung dapat menyerap nitrogen yang telah diproses dengan bakteri

Berdasarkan pemeriksaan histologi gonad terbukti bahwa ukuran rerata oosit pada perlakuan suntikan larutan 17β- estradiol (P3) lebih tinggi dibanding per- lakuan P1, P2

index dengan fungsi kognitif pada usia lanjut, maka penelitian ini:. Dapat dijadikan sebagai masukan untuk

Hegel treats moral philosophy as a genus comprising two coordinate species: ethics and theory of justice, a conception which predominated from the Greeks through the nineteenth

Rumusan masalah dalam penelitian ini apakah metode analisis residu pestisida triadimefon dalam kubis dengan kromatografi - gas spektrometri massa (KG-SM) memenuhi parameter

Bersama dengan berdirinya Paroki Kristus Raja Tugumulyo pada tahun 1994, Paguyuban Para Ibu se-Paroki pun terbentuk. Kelompok Kategorial ini didirikan sebagai

Program Riset Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut teknologi Bandung, Analisis Tema Karya Perempuan Perupa Indonesia dalam Konteks Sosial Budaya (1998 – 2012).. :