1 ABSTRAK
IMPLEMENTASI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM RUANG LINGKUP KETENAGAKERJAAN
Bahmid, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Asahan
Perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak, hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja harus menganut asas kebebasan berkontrak karena dalam perjanjian kerja diantara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-perbedaan tertentu baik mengenai kondisi dan kedudukan hukum. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah asas kebebasan berkontrak menjadi landasan bagi para pihak dalam membuat perjanjian kerja, dan bagaimanakah implementasi asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja bagi para pihak. Implementasi asas kebebasan berkontrak, dimana suatu perjanjian umumnya menganut asas kebebasan berkontrak begitu pula terhadap perjanjian kerja namun dalam perjanjian kerja diantara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-perbedaan tertentu baik mengenai kondisi dan kedudukan hukum, dalam hal ini pekerja mempunyai kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan dan kondisi dari pihak pengusaha. Oleh karenanya campur tangan pemerintah sangat diperlukan guna memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah yakni pekerja terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja.
2 A. Latar Pelakang
Dalam setiap hubungan
kerja, hubungan perburuhan atau hubungan industrial di negara manapun atau penganut sistem hubungan industrial apapun di dunia ini senantiasa dikenal adanya hukum yang mengatur bersifat
otonom dan heteronom. Di
Indonesia hukum yang bersifat otonom mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting dan menentukan mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak serta
menentukan penyelenggaraan
hubungan
kerja, putusannya hubungan kerja
serta pasca hubungan kerja.1
Hubungan kerja antara
pengusaha dengan pekerja
menyebabkan kedudukan para
1 Iman Soepomo, Hukum
Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 1983), hal. 1.
pihak tidak seimbang. Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang pekerja dengan seorang pengusaha, hubungan
kerja hendak menunjukkan
kedudukan kedua belah pihak itu
yang pada dasarnya
menggambarkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban buruh
terhadap majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap
buruh.2
Hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, hal ini tercantum pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Subyek hukum dalam perjanjian kerja terdiri dari pengusaha dan pekerja. Menurut Pasal 1 ayat (3)
yang dimaksud sebagai
2 Koko Kosidin, Perjanjian Kerja,
Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 18.
3 pekerja/buruh setia orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha pada Pasal 1 ayat (5) adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri; b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya; c orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang berkedudukan
di luar wilayah Indonesia.3
Pada mulanya perjanjian kerja diatur dalam Bab. VllA Buku III KUH Perdata dengan judul
“Perjanjian-Perjanjian Untuk
3 Lihat Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Melakukan Pekerjaan”. Pengaturan perjanjian kerja tersebut bersifat
hukum privat namun dalam
perkembanganya banyak ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti peraturan baru lagi yang kebanyakan bersifat hukum publik. Hal itu wajar karena hukum perburuhan sebagai hukum yang berdiri sendiri mempunyai sifat hukum privat maupun sifat hukum publik.
Dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak, hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Pasal 1601a
KUHPerdata menyebutkan
4 adalah perjanjian dengan mana
pihak yang satu si buruh, mingikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk suatu tertentu
melakukan pekerjaan dengan
menerima upah.4
Perjanjian kerja dibuat atas dasar: a) kesepakatan kedua belah
pihak, b) kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum, c) adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan d) pekerjaan
yang diperjanjikan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku. Perjanjian kerja yang
dibuat oleh pihak yang
bertentangan dengan kemampuan dan kecakapan para pihak yang
4 Zainal Asikin, et. al, Dasar-Dasar
Hukum Perburuhan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 3.
membuatnya, perjanjian itu dapat
dibatalkan.5
Dalam suatu perjanjian,
dikenal adanya asas kebebasan berkontrak dan menganut system terbuka. Maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada
dasarnya boleh membuat
perjanjian mengenai apa saja,
sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum.6
Peraturan perundang-undangan
mengenai hukum perjanjian pada umumnya juga bersifat menambah atau pelengkap yang artinya pihak-pihak dalam membuat perjanjian, bebas untuk menyimpang dari
pada ketentuan-ketentuan
5 Mohd Syaufi Syamsuddin,
Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 7.
6 R. Subekti, Hukum Perjanjian,
Cetakan 21, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 13.
5 tersebut, tentunya sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketentuan
umum.7
Para pihak diperbolehkan membuat ketentuan sendiri yang
menyimpang dari ketentuan
hukum perjanjian. Kalau tidak
mengatur sendiri mengenai
sesuatu hal, berarti mengenai hal tersebut para pihak akan tunduk kepada ketentuan undang-undang. Biasanya dalam suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua yang bersangkutan dengan perjanjian hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, yang lainnya
tunduk pada undang-undang.8
Sebagai konsekuensi sistem terbuka dari hukum perjanjian
7 Agus Yudha Hernoko, Hukum
Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 11.
8 Mohd Syaufi Syamsuddin, Op. Cit,
hal. 4.
yang mengandung asas kebebasan memebuat perjanjian tersebut, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan menekan pada perkataan semua, maka Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata
menyatakan kepada masyarakat, bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya sebagai
suatu undang-undang.9
Akan tetapi perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Dari ketentuan Pasal 1338 dapat dimaknai bahwa para
9 Suharmoko, Hukum Perjanjian:
Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 13.
6 pihak bebas menentukan isi dan
bentuk dari suatu perjanjian akan tetapi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan asas itikat baik yakni tidak bertentangan
dengan undang-undang,
berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum.10
Sehingga hak dan kewajiban dari pihak yang menentukan
perjanjian tersebut yaitu
pengusaha membatasi
kewajibannya untuk memenuhi hak dari pekerja. Hal ini terkait dalam
menentukan hak-hak pekerja
seperti pemberian upah di bawah upah minimum, tidak memberikan
keselamatan kerja maupun
kesehatan kerja, tidak ada cuti, jenis dan sifat pekerjaan yang seharusnya merupakan pekerjaan
10 Munir Fuady, Hukum Kontrak
(Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 35.
tetap, atau perjanjian kerja yang bertentangan dengan ketentuan Ketenagakerjaan di Indonesia.
Posisi pekerja yang lemah kerena pengusaha menggunakan landasan hukum berupa perjanjian sebagai alasan untuk menghindari beberapa kewajiban (meminta izin, permohonan penetapan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemberian uang pesangon, penghargaan atas masa kerja dan ganti rugi) yang menjadi tanggungan pengusaha. Kecenderungan ini akan merugikan pekerja dalam upaya memperoleh
hak-hak mereka.11
Dalam praktek dan
perkembangannya perjanjian tidak
dibuat dengan menggunakan
perjanjian standar, sehingga dapat menciptkan ketidak seimbangan bagi para pihak dalam menentukan
11 Iman Sjahputra Tunggal,
Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Harvarindo, 2009), hal. 307.
7 isi perjanjian. Salah satu pihak
hanya menandatangani saja tanpa adanya kebebasan berkontrak. Perjanjian standar mensyaratkan bagi pihak yang membutuhkan
dengan kesepakatan take it or
leave it. Tanpa menjunjung prinsip konsensualisme yang berdasarkan kehendak bebas dari para pihak
dan asas itikad baik.12
Mengingat begitu pentingnya
penerapan asas kebebasan
berkontrak dalam pelaksanaan perjanjian kerja antara para pihak, dimana obyek penelitian yang dipergunakan adalah perjanjian
kerja yang dibuat antara
perusahaan dengan para pekerja, maka penulis sangat tertarik untuk
mengadakan penelitian dan
menuliskan hasilnya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis
Penerapan Asas Kebebasan
12Ibid, hal. 355.
Berkontrak Dalam Pembuatan
Perjanjian Kerja.” B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis membuat rumusan masalah maka,
yang menjadi rumusan
masalah dalam penulisan ini adalah: Bagaimanakah asas
kebebasan berkontrak
menjadi landasan bagi para
pihak dalam membuat
perjanjian kerja. C. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini
termasuk jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
8 hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier.13
Penelitian hukum normatif
atau kepustakaan menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji
mencakup:14
1) Penelitian terhadap asas-asas hukum;
2) Penelitian terhadap
sistematik hukum;
3) Penelitian terhadap
sinkronisasi vertikal dan horizontal;
4) Perbandingan hukum; 5) Sejarah hukum.
Dari kelima pembedaan
penelitian hukum normatif di atas, metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
penelitian untuk menemukan
hukum in concreto, yaitu penelitian
13 Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal 13-14.
14Ibid, hal. 12.
yang bertujuan untuk menemukan apakah hukum yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara tertentu.
D. Telaah Pustaka
1. Tinjauan Umum Mengenai
Perjanjian
1.1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya
Perjanjian adalah suatu hal
yang sangat penting karena
menyangkut kepentingan para
pihak yang membuatnya.oleh
karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar memperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian
hukum dapat terwujud.15
Dalam literatur hukum
Indonesia, perumusan tentang
materi perjanjian tergantung pada
15 Suharmoko, Hukum Perjanjian:
Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 117.
9 kehendak yang dikaitkan dengan
sumber hukum yang diikutinya. Namun, semuanya kembali ke sumber awal hukum perikatan yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni pada Pasal 1313 KUH Perdata, karena jika kita membicarakan tentang perjanjian,
maka pertama-tama harus
diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: perjanjian atau suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih lainnya.16
Kata persetujuan merupakan
terjemahan dari perkataan
overeenkomst dalam bahasa
16 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), Terjemahan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cetakan XXV, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), hal. 282.
Belanda. Kata overeenkomst
lazimnya diterjemahkan dengan kata perjanjian, sedangkan hukum
perjanjian disebut
overeenkomstenrech. Jadi
persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, sama artinya dengan perjanjian. Akan tetapi adapula
yang berpendapat bahwa
perjanjian tidak sama dengan
persetujuan.17 Persetujuan
merupakan terjemahan dari
overeenkomst, sedangkan
perjanjian merupakan terjemahan
dari toestemming yang ditafsirkan
sebagai wilsovereenstemming
(persetujuan kehendak atau kata
sepakat).18
Sedangkan Abdulkadir
Muhammad menyatakan bahwa
17 Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 97.
18 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum
Perikatan Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1988), hal. 3.
10
perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri
untuk melaksanakan sesuatu
dalam lapangan harta kekayaan.19
Ahmadi Miru mengatakan bahwa:
Perikatan bersumber dari
perjanjian dan
undang-undang, perikatan yang
bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang undang saja dan dari
undang-undang karena
perbuatan manusia.
Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu,
perbuatan yang sesuai
19 Abdulkadir Muhammad, Hukum
Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 78.
hukum dan perbuatan yang
melanggar hukum.20
Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Apabila
seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.
Dengan demikian, perjanjian merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat dinikmati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang
11 tidak konkret, tetapi abstrak atau
tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan
tindakan, seperti zaakwarneming,
onregmatige daad. Abdulkadir
Muhammad mengatakan Pasal
1313 KUH Perdata kurang
memuaskan karena ada
kelemahannya yaitu:
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja
“mengikat” sifatnya hanya
datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan”
termasuk tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus.
Seharusnya dipakai kata
“persetujuan” saja.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti
janji kawin, pelangsungan
perkawinan. Sedangkan
12 buku III KUH Perdata sebenarnya
hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan bukan bersifat
personal.
4. Dalam rumusan pasal tersebut
tidak disebutkan tujuan
mengadakan perjanjian,
sehingga para pihak mengikat
dirinya tidak untuk apa.21
Menurut Mariam Darus
Badrulzaman bahwa dengan
diizinkan orang membuat
peraturan sendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu
tidak lengkap, itulah yang
menyebabkan sifat hukum
perjanjian disebut dengan hukum
pelengkap (optimal law)
selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang
adalah bebas atau leluasa
memperjanjikan apa saja disebut
21 Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 78.
atas kebebasan berkontrak yang berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu
yang halal.22
Jadi, hukum perjanjian
merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli
hukum menempatkan sebagai
bagian dari hukum perjanjian
karena kontrak sendiri
ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari
undang-undang.23
22 Mariam Darus Badrulzaman,
KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 110.
23 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak
(Perancangan Kontrak), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 1-2.
13 Berdasarkan uraian di atas,
diketahui bahwa perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak
yang terlibat dalam suatu
hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang diberi kebebasan untuk
mengadakan perikatan atau
perjanjian sepanjang tidak
melanggar batasan yang
ditentukan. Berdasarkan kehendak
para pihak yang membuat
perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Dari beberapa defenisi di
atas penulis lebih memilih
pendapat yang dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau
di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa perjanjian adalah
kesepakatan antara dua orang atau lebih dalam lapangan hukum
kebendaan untuk saling
mengikatkan diri dengan cara memberi dan menerima sesuatu.
1.2. Syarat-syarat Sahnya
Perjanjian
Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian yang telah di tentukan oleh Undang-undang.
Perlu diperhatikan bahwa
perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam Undang-undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak di akui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak
14 yang bersangkutan. Karena itu
selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat perjanjian itu berlaku diantara mereka. Apabila suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau perjanjian itu batal.
Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat
yang telah ditentukan oleh
undang-undang sehingga
perjanjian tersebut diakui oleh hukum. Syarat-syarat sahnya suatu persetujuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian. Mengenai
syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata adalah, sebagai berikut:
1. Ada persetujuan kehendak
antara pihak-pihak yang
membuat perjanjian
(Consensus).
2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (Capacity).
3. Ada suatu hal yang tertentu (A certain subject matter).
4. Ada suatu sebab yang halal
(Legal cause).24
Keempat syarat sahnya
perjanjian tersebut selanjutnya
dapat dirinci sebagaimana,
dikemukakan berikut ini:
1. Adanya Kesepakatan Kedua
Belah Pihak
Syarat yang pertama sahnya
perjanjian adalah adanya
kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
24 Abdul Kadir Muhammad, Op.
15 Perdata. yang dimaksud dengan
kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
Dengan sepakat
dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang
pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu
harus diberikan secara bebas.25
Maksud, yang sesuai itu
adalah pernyataannya, karena
kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Ada 5 (lima) cara terjadinya persesuaian
25 Komariah, Hukum Perdata,
(Malang: UMM Press, 2008), hal.169.
pernyataan kehendak, yaitu
dengan:
a) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b) Bahasa yang sempurna secara lisan;
c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam
kenyataannya seringkali
seseorang menyampaikan
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima
pihak lawan.26
26 Sudikno Mertokusumo,
Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan 1, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal. 7.
16 2. Kecakapan para pihak dalam
membuat suatu perjanjian
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum.
Perbuatan hukum adalah
perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang
akan mengadakan perjanjian
haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum,
sebagimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.
Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan tidak
terganggu ingatannya, cakap
bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang dewasa yang terganggu ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah
pengampuan dianggap tidak cakap
bertindak dalam lalu lintas
hukum.27
Dalam membuat sesuatu
perjanjian seseorang haruslah
cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu
seseorang terikat untuk
melaksanakan suatu prestasi dan
harus dapat mempertanggung
jawabkannya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang
yang oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap.”28
M. Yahya Harahap,
menyatakan bahwa “subjek yang
dianggap memiliki kecakapan
memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan
27 R. Subekti, Op. Cit, hal. 19. 28Ibid, hal. 19.
17
tindakan hukum. Umumnya
mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada
di bawah pengampuan wali
maupun di bawah “curatele.”29
Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus
mampu bertanggung jawab
terhadap perbuatannya. Orang
yang tidak sehat pikirannya
walaupun telah dewasa, tidak
dapat menyelenggarakan
kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak
lain untuk menyelenggarakan
kepentingannya. Ketidakcakapan
ini disebut tidak cakap untuk
29 M.Yahya Harahap, Op. Cit, hal.
9.
mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan
mana yang tidak baik.30
Orang yang belum dewasa,
umumnya belum dapat
menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan
keputusan hakim dinyatakan
bahwa ia tidak mampu/pemboros
di dalam mengendalikan
keinginannya sehingga bagi
mereka harus ada wakil dari orang tertentu untuk menyelenggarakan
kepentingannya.31
30Ibid, hal. 9.
18 Setiap orang yang sudah
dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi
Miru mengatakan bahwa:32
Seorang dikatakan tidak
cakap untuk melakukan
perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21
tahun. Sebaliknya setiap
orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros. 3. Adanya Suatu hal Tertentu
Suatu perjanjian harus
mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua
32 Ahmad Miru, Op. Cit, hal. 29.
belah pihak jika timbul suatu
perselisihan.33 Barang yang
dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan
oleh undang-undang. Juga
jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu
dianggap batal demi hukum.34
33 R. Subekti, Op. Cit, hal. 19. 34 Abdul Kadir Muhammad, Op.
19
Tidak menjadi halangan
bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Barang yang akanada di kemudian hari juga bisa menjadi
objek dari suatu perjanjian,
ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata. Selain itu yang harus diperhatikan
adalah “suatu hal tertentu”
haruslah sesuatu hal yang biasa dimiliki oleh subyek hukum.
Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal
1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa “hal-hal yang
diperjanjikan dalam perjanjian
haruslah tertentu barangnya atau
sekurang-kurangnya ditentukan
jenisnya.
4. Ada suatu sebab yang halal Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi
objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Untuk sahnya
suatu perjanjian juga harus
memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan.
Akan tetapi, yang dimaksud
dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang
menyebabkan atau yang
mendorong orang membuat orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu
sendiri yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.
Undang-undang tidak
memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau
diawasi oleh undang-undang
adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh
20 undang-undang atau tidak, apakah
bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan atau tidak.35
Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar
untuk menuntut pemenuhan
perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia
dianggap tidak pernah ada.36
Dengan demikian, apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang
35Ibid, hal. 94.
36Ibid, hal. 96.
apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka
perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Tinjauan Umum Tentang
Perjanjian Kerja
2.1. Pengertian Perjanjian
Kerja
Pada mulanya perjanjian kerja diatur dalam BAB. Vll A Buku III KUH Perdata dengan judul
“Perjanjian-perjanjian Untuk
Melakukan Pekerjaan”. Pengaturan perjanjian kerja tersebut bersifat
hukum privat namun dalam
perkembanganya banyak ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti peraturan baru lagi yang kebanyakan bersifat hukum publik. Hal itu wajar karena hukum
21 perburuhan sebagai hukum yang
berdiri sendiri mempunyai sifat hukum privat maupun sifat hukum publik.
Pengertian perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal 1601(a)
KUH Perdata yaitu dapat
disimpulkan bahwa perjanjian kerja
merupakan perjanjian antara
seorang buruh dengan seorang
majikan berdasarkan unsur
wewenang perintah, untuk
melakukan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu dengan menerima upah.
Dalam Pasal tersebut
terdapat 3 (tiga) hal pokok, yaitu: a. Pekerjaan yang dilakukan oleh
buruh.
b. Upah yang diberikan oleh majikan.
c. Keadaan siburuh yang ada dibawah perintah si majikan.
Ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
memberikan pengertian baru
mengenai perjanjian kerja yaitu bahwa suatu perjanjian kerja adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pegusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak.37
Perjanjian kerja menurut Iman Soepomo diartikan sebagai suatu perjanjian dimana pihak yang satu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain (majikan) selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah
dan pihak lain (majikan)
mengikatkan diri untuk
37 Lihat Ketentuan Pasal 1 angka
14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
22 mempekerjakan pihak yang satu
(buruh) dengan membayar upah.38
Perjanjian kerja menurut R. Subekti adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah
atau gaji tertentu yang
diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yang dalam
bahasa Belanda disebut
dienstverhording, yaitu suatu yang berdasarkan mana pihak yang satu
(majikan) berhak memberikan
perintah-perintah yang harus
ditaati oleh pihak lain.39
Selanjutnya Ridwan Halim menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau
38 Iman Soepomo, Hukum
Perburuhan-Bidang Hubungan Kerja, Cetakan VI, (Jakarta: Djamban, 1987), hal-51.
39 R. Subekti, Op. Cit,hal. 63.
karyawan tertentu, yang umumnya
berkenaan dengan segala
persyaratan yang secara timbal balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban dari masing-masing
terhadap satu sama lainya.40
Istilah perjanjian kerja harus dibedakan dengan hubungan kerja, jadi tidak akan ada hubungan kerja apabila tidak dilakukan perjanjian kerja. Dalam praktek, hubungan kerja sering disebut sebagai
hubungan perburuhan (labour
relation) atau hubungan industrial.
2.2. Syarat Sahnya
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja juga
termasuk perjanjian pada
umumnya, sehingga harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam
40 A. Ridwan Halim, Hukum
Perburuhan dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 1-2.
23 ketentuan Pasal 1320 kUH Perdata.
Mengenai syarat sahnya perjanjian kerja telah diatur tersendiri.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, maka agar perjanjian kerja yang diadakan itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Adapun syarat-syarat
perjanjian kerja adalah sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu (antara buruh/tenaga kerja dan majikan). Jadi tidak boleh ada paksaan yang
mengakibatkan perjanjian
tersebut batal. b. Adanya
kemampuan/kecakapan
pihak-pihak untuk membuat perjanjian.
c. Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum
maupun kesusilaan.
Isiperjanjian kerja adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tenga kerja serta hak-hak dan
kewajiban-kewajiban majikan.41
Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang
menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar yaitu sebagai berikut:
41 Sedjun Manulang, Pokok-Pokok
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hal. 95.
24
a. Kesepakatan kedua belah
pihak;
Kesepakatan kedua belah
pihak merupakan kesepakatan bagi mereka atau pihak-pihak yang mengikatkan dirinya
yaitu pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian kerja harus setuju dan sepakat
mengenai hal-hal yang
diperjanjikan. Semua hal yang
didalam perjanjian kerja
merupakan kehendak dari kedua belah pihak. Pihak pekerja menerima pekerjaan
yang ditawarkan oleh
pengusaha, begitu juga
pengusaha menerima pekerja untuk dipekerjakan.
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; Kedua belah pihak dalam perjanjian kerja yaitu pihak
pekerja dengan pihak
pengusaha cakap dalam
membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap dalam membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan batasan umur dalam membuat perjanjian adalah minimal berusia 18 tahun selain itu seseorang dikatakan cakap dalam membuat perjanjian jika tidak terganggu jiwanya atau waras.
c. Adanya pekerjaan yang
diperjanjikan;
Pekerjaan disini merupakan obyek perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban bagi para
25 pihak yaitu pihak pengusaha
dan pihak pekerja.
d. Pekerjaan yang diperjanjikan
tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pekerjaan sebagai obyek
dalam perjanjian kerja harus halal, maksudnya tidak boleh
bertentangan dengan
Undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Hal ini yang menyebabkan didalam suatu perjanjian kerja, jenis pekerjaan merupakan hal yang harus jelas disebutkan.
Keempat syarat sahnya
perjanjian kerja tersebut bersifat komulatif, yaitu harus dipenuhi semuanya dalam perjanjian kerja agar perjanjian kerja tersebut sah. Syarat pertama dan kedua disebut
syarat syarat subyektif, karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan syarat keempat disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka akibatnya
perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberi kesepakatan secara bebas dan orang tua atau pengampu bagi
orang-orang yang dibawah
pengampuan dapat meminta
pembatalan perjanjian kepada
hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
2.3. Unsur Perjanjian
Kerja
Berdasarkan pengertian
26
ditarik beberapa unsur dari
perjanjian kerja tersebut yaitu :
a. Adanya unsur work atau
pekerjaan, dalam suatu
perjanjian kerja tersebut
haruslah ada suatu pekerjaan yang di perjanjikan dan
dikerjakan sendiri oleh
pekerja yang membuat
perjanjian kerja tersebut.
Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah berdasarkan
dan berpedoman pada
perjanjian kerja.42
b. Adanya unsur perintah,
manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja
oleh pengusaha adalah
pekerjaan yang bersangkutan harus tunduk pada perintah
42 Darwan Prinst, Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia: Buku
Pegangan Bagi Pekerja Untuk
Mempertahankan Hak-Haknya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 67.
pengusaha untuk melakukan
pekerjaan sesuai yang
diperjanjikan bentuk dari
perintah tersebut dapat secara tertulis yang terdapat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Pekerja
diwajibkan untuk mentaati seluruh perjanjian kerja yang ada dan berlaku didalam
perusahaan tempatnya
bekerja. Disinilah perbedaan
hubungan kerja dengan
hubungan yang berdasarkan ketentuan Pasal 1603 huruf
(b) KUH Perdata yang
berbunyi:
“Si buruh diwajibkan menaati aturan-aturan tentang hal melakukan pekerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan ada perbaikan tata tertib dalam perusahaan si majikan
27 didalam batas-batas,
aturan-aturan, Undang undang atau
perjanjian, maupun reglemen
atau jika tidak ada menurut kebiasaan.”
Dalam perjanjian kerja unsur wewenang perintah memiliki peranan pokok, tanpa adanya unsur wewenang perintah berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang sama yaitu yang memerintah dan yang diperintah.
c. Adanya waktu tertentu waktu tertentu memiliki pengertian yang sangat luas, dapat berarti waktu tidak tertentu, artinya berakhirnya waktu
perjanjian pada saat
perjanjian kerja tidak
ditetapkan, atau waktu
tertentu, yang berarti
berakhirnya waktu perjanjian ditetapkan pada saat dibuat
perjanjian atau berakhirnya disetujui pada saat pekerjaan yag disepakati selesai. Oleh karena itu pekerja tidak boleh
melaksanakan pekerjaan
sekehendak hatinya. Begitu pula simajikan tidak boleh memperkerjakan pekerjanya
seumur hidup, karena
memperkerjakan pekerja
selama seumur hidup sama dengan perbudakan dan selain itu pekerjaan yang dilakukan pekerja haruslah pekerjaan yang memberikan manfaat bagi majikan, oleh karenanya
pekerja tidak boleh
melakukan pekerjaan
seenaknya. Dalam KUH
Perdata tidak ada Pasal
28 sarjana hukum memberikan
definisi yang berbeda-beda.43
Mengenai apa yang dimaksud dengan waktu tertentu, ada yang menolak dan ada yang mempertahankanya.
Pembatasan dalam jam kerja dimaksudkan agar pekerja tidak melakukan pekerjaan
sekehendak waktunya,
demikian juga dengan
pengusaha tidak boleh
memerintahkan pekerja
menurut kepentingan
usahanya semata. Dengan demikian waktu pelaksanaan perjanjian kerja tersebut harus sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan sesuai dengan yang diinginkan oleh pengusaha,
43 Koko Kosidin, Perjanjian Kerja,
Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 13.
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan. d. Adanya unsur pay atau upah;
Tujuan utama seorang pekerja
yaitu untuk mendapatkan
imbalan, sehingga dengan adanya upah hubungan antara pekerja dengan pengusaha merupakan suatu hubungan kerja. Pemberian upah sebagai
penegasan pembayaran
prestasi yang telah diberikan, dikenal dengan asas tiada
upah bila pekerja tidak
melakukan pekerjaan (no work no pay). Upah biasanya
diberikan setelah pekerja
selesai melakukan
pekerjaanya. Hak atas upah baru akan ada pada saat dimulainya hubungan kerja
dan berakhir setelah
29
Dengan di penuhinya
keempat syarat tersebut maka perjanjian yang di buat di namakan
perjanjian kerja dengan
konsekwensi lebih lanjut bahwa orang yang berada di bawah pimpinan orang lain di sebut pekerja, sedangkan orang yang
memimpin di sebut pengusaha.44
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu: “Upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan atau dibayar menurut
suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan termasuk
44Ibid, hal. 18.
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
Upah merupakan unsur
penting dalam perjanjian kerja, karena dengan tidak terpenuhinya upah maka hubungan kerja yang ada tersebut belum mencerminkan terlaksananya perjanjian kerja, meskipun telah memenuhi ketiga unsur yang lain. Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan
dalam bentuk uang, namun
demikian dalam praktek
pelaksanaanya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan,
tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk
barang, tetapi jumlahnya
dibatasi.45
45 Djumadi, Hukum Perburuhan
dan Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 57.
30 E. PEMBAHASAN : IMPLEMENTASI
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
DALAM RUANG LINGKUP
KETENAGAKERJAAN
Dalam sejarah
perkembangan asas kebebasan
berkontrak, makna dan isi
kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana kebebasan
seseorang melakukan kontrak
dapat dibatasi oleh faham atau
ideologi yang dianut suatu
masyarakat. Pada saat lahirnya asas kebebasan berkontrak pada abad 17 dan 18, asas kebebasan berkontrak mempunyai daya kerja sangat kuat, kebebasannya itu tidak dapat dibatasi baik oleh rasa keadilan masyarakat atau pun oleh campur tangan negara. Hal ini
terjadi karena adanya pengaruh
Ideologi Individualisme.46
Pengaruh faham
individualisme yang berkembang pada abad 17-18 telah memberi peluang yang cukup luas atas isi
asas kebebasan berkontrak
sedemikian bebasnya dan sangat
kuat dalam melindungi
kepentingan individu. Namun
dalam perkembangannya, akibat desakan faham-faham etis dan
sosialis, faham individualisme
mulai pudar, terlebih - lebih setelah perang dunia kedua. Faham ini secara umum menimbulkan
zaman baru dalam hukum,
demikian juga pengaruh faham etis dan sosialis ini terlihat dan sangat terasa pada isi dari asas kebebasan
berkontrak.47
46 Mahadi, Hukum Sebagai Sarana
Mensejahterakan Masyarakat, (Medan, USU Press, 1985), hal. 2-3.
31 Asas kebebasan berkontrak
mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum perjanjian Inggris
sebagai awal dari sejarah
timbulnya asas kebebasan
berkontrak. Menurut Treitel,
sebagaimana dikutip oleh Sutan
Remy Sjahdeini, bahwa freedom of
contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum, yaitu:
a. Asas umum yang
mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syaratsyarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut
tidak membebaskan
berlakunya syarat-syarat
suatu perjanjian hanya karena
syaratsyarat perjanjian
tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Menurut
Treitel, asas ini ingin
menegaskan bahwa ruang
lingkup asas kebebasan
berkontrak meliputi
kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri isi
perjanjian yang ingin mereka buat.
b. Asas umum yang
mengemukakan pada
umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa
untuk memasuki suatu
perjanjian. Menurut Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas
kebebasan berkontrak
meliputi kebebasan bagi para
pihak untuk menentukan
dengan siapa dia ingin atau
tidak ingin membuat
perjanjian.48
48 Sutan Remy Sjahdeini,
Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 47.
32
Dalam sistem hukum
nasional Indonesia, asas ini ini diimplementasikan pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian dengan siapa yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang
akan dilakukan. Berdasarkan
prinsip asas inilah maka Buku III
KUHPerdata menganut sistem
terbuka.49
Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak
kebendaan demi pemenuhan
49 Kartini Mulyadi dan Gunawan
Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 46.
kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam KUHPerdata yang
menganut sistem kontinental
kebebasan untuk melakukan
kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata.50 Wujud
kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai
titel untuk memperoleh hak
kepemilikan.51
Asas kebebasan berkontrak
menurut hukum perjanjian
50 Munir Fuady, Hukum Kontrak
(Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 30.
51 A. Qirom Syamsuddin Meliala,
Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 18.
33 Indonesia meliputi ruang lingkup
sebagai berikut:
1) Kebebasan untuk membuat
atau tidak membuat
perjanjian.
2) Kebebasan untuk memilih
pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari
perjanjian yang akan
dibuatnya.
4) Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.
5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional (aanvullend,
optional).52
52 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit,
hal. 47-48.
Sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak di atas, telah menunjukkan bahwa dalam hal melakukan hubungan hukum dalam hal hubungan kerja melalui perjanjian kerja tertulis yang
ditandai dengan adanya
penandatanganan perjanjian kerja yang mengatur tentang syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan hubungan kerja melalui perjanjian kerja lisan adalah hubungan kerja tanpa
adanya penandatanganan
perjanjian kerja. Karena tidak ada
perjanjian kerja yang
ditandatangani, maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan
yang berlaku.53
Hubungan kerja pada
dasarnya meliputi hal-hal
53 Sehat Damanik, Hukum Acara
Perburuhan, (Jakarta: Dss Publising, 2004), hal. 2.
34 mengenai pembuatan perjanjian
kerja, kewajiban pekerja, kewajiban
pengusaha dan berakhirnya
hubungan kerja.
1. Pembuatan Perjanjian Kerja
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan mendefenisikan
perjanjian kerja adalah Perjanjian
antara pekerja dengan
pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Menurut
Undang-undang ini perjanjian
kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja yang dibuat dalam bentuk tertulis diwajibkan terhadap perjanjian
kerja waktu tertentu saja.54
Sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.
54 Pasal 57 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Apabila perjanjian kerja
dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang
memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian
kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak
dalam perjanjian kerja.55
55 Pasal 54 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
35 Ketentuan dalam perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.56 Perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta
pekerja/buruh dan pengusaha
masing-masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.57
Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan mengatur
perjanjian kerja yang dibuat secara lisan, terhadap perjanjian kerja
56 Pasal 57 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
57 Pasal 54 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
secara lisan maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan yang sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat
pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.58
Selain hal-hal diatas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur dalam suatu perjanjian
kerja:59
a. Macam pekerjaan;
b. Cara-cara pelaksanaannya; c. Waktu atau jam kerja; d. Tempat kerja;
58 Lihat Pasal 63 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
59 A. Ridwan Halim, Hukum
Perburuhan Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1990), hal. 23.
36
e. Besarnya imbalan kerja,
macam-macamnya serta cara pembayarannya;
f. Fasilitas-fasilitas yang
disediakan perusahaan bagi pekerja/ buruh/pegawai; g. Biaya kesehatan/pengobatan bagi buruh/pegawai/pekerja; h. Tunjangan-tunjangan tertentu; i. Perihal cuti;
j. Perihal ijin meninggalkan
pekerjaan;
k. Perihal hari libur;
l. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja;
m. Perihal pakaian kerja;
n. Perihal jaminan perlindungan kerja;
o. Perihal penyelesaiaan
masalah-masalah kerja;
p. Perihal uang pesangon dan uang jasa;
q. Berbagai masalah yang
dianggap perlu.
2. Kewajiban Pekerja
Dalam suatu hubungan kerja
harus ada pekerjaan yang
diperjanjikan dan pekerjaan itu wajib dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus
dilakukan oleh pekerja/buruh
untuk kepentingan pengusaha
sesuai isi perjanjian kerja.
Pekerja/buruh yang baik adalah
buruh yang menjalankan
kewajibankewajibannya dengan
baik, yang dalam hal ini kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang
dalam keadaan yang sama,
seharusnya dilakukan atau tidak
dilakukan.60 Pekerja harus mentaati
peraturan perusahaan yang
60 Pasal 1603d KUHPerdata.
37
menurut undang-undang
ketenagakerjaan peraturan
perusahaan adalah peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.61
3. Kewajiban Pengusaha
Pengusaha berkewajiban
memberikan upah terhadap
pekerja. Upah adalah suatu
penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang
telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau
peraturan perundang-undangan
dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh termasuk tunjangan
61 Lihat Pasal 1 angka (20)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
baik untuk buruh sendiri maupun
keluarganya, yang dimaksud
dengan imbalan termasuk juga
sebutan honorarium yang
diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.
Pengusaha juga
berkewajiban untuk
memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan yang berlaku diperusahaan. Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a. Hak dan kewajiban
pengusaha. b. Syarat kerja.
c. Tata tertib perusahaan.
d. Jangka waktu berlakunya
peraturan perusahaan.
Peraturan perusahaan tidak
boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan
38
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka yang
digunakan adalah peraturan
perundang-undangan. Jangka
waktu berlakunya peraturan
perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah masa berlakunya habis.
4. Berakhirnya Hubungan Kerja
Hubungan kerja antara
pengusaha dan pekerja akan berakhir disebabkan oleh:
a. Pekerja meninggal dunia. b. Jangka waktu perjanjian kerja
berakhir.
c. Adanya putusan pengadilan
dan/atau putusan atau
penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja,
peraturan kerja, atau
perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja. Dengan demikian, apabila membicarakan mengenai kerangka perjanjian kerja tentunya tidak akan terlepas dari adanya syarat-syarat kerja. Oleh karena itu, untuk
lebih memahaminya terlebih
dahulu perlu diketahui tentang
pengertian syarat-syarat kerja
tersebut dan ketentuan yang diatur didalamnya. Perjanjian kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja dalam mengikat hubungan kerja, yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam
pembuatan perjanjian kerja
dipersyaratkan atau dibuat atas dasar:
39
1. Kesepakatan Kedua belah
pihak.
2. Kemampuan dan kecakapan melakukan perbuatan hukum.
3. Adanya pekerjaan yang
diperjanjikan.
4. Perjanjian yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa perjanjian kerja memiliki kerangka yang memiliki ciri khas dan berdiri sendiri (sui generic). Dalam perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak tidak dilandasi oleh adanya pekerjaan
yang diperjanjikan tersebut
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku, maka akan batal demi hukum, sedangkan perjanjian kerja
yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan
yang berkaitan dengan
kemampuan dan kecakapan para pihak, perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.62
Dalam pembuatan perjanjian kerja ada 4 (empat) unsur utama yang wajib dipatuhi, yaitu:
1. Adanya pekerjaan.
2. Adanya upah yang dibayarkan. 3. Adanya perintah.
4. Dilakukan selama waktu
tertentu atau tidak tertentu. Oleh karena itu, para pihak tidak mempunyai dasar untuk saling menuntut Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan
62 Lihat Pasal 52 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
40
atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum, adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.” Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan
atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum dapat
dibatalkan.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa kerangka hukum perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan tenaga kerja apabila dilihat dari segi hukum perdata merupakan kesepakatan antara para pihak di dalamnya dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian.
F. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perikatan, (Bandung:
Alumni, 1982).
_______, Hukum Perjanjian,
(Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990).
_______, Hukum Perjanjian di
Indonesia, (Bandung:
Alumni, 2006).
A. Qirom Syamsuddin Meliala,
Pokok-Pokok Hukum
Perjanjian Beserta
Perkembangannya,
(Yogyakarta: Liberty, 1985).
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak
41
(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007).
A. Ridwan Halim, Hukum
Perburuhan dalam Tanya
Jawab, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990).
Agus Yudha Hernoko, Hukum
Perjanjian, Asas
Proporsionalitas Dalam
Kontrak Komersial,
(Yogyakarta: LaksBang
Mediatama, 2008).
Amirudin dan Zainal Asikin,
Pengantar Metode
Penelitian Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,
2006).
Darwan Prinst, Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia: Buku Pegangan Bagi Pekerja
Untuk Mempertahankan
Hak-Haknya, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1994).
Djumadi, Hukum Perburuhan dan
Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992).
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 1983).
Iman Sjahputra Tunggal,
Pokok-Pokok Hukum
Ketenagakerjaan, (Jakarta: Harvarindo, 2009).
Jonny Ibrahim, Teori dan Metode
Penelitian Hukum Normatif,
(Surabaya: Bayu Media
Publishing, 2006).
Koko Kosidin, Perjanjian Kerja,
42
Perusahaan, (Bandung:
Mandar Maju, 2001).
Komariah, Hukum Perdata,
(Malang: UMM Press, 2008).
Kartini Muljadi dan Gunawan
Widjaja, Perikatan Pada
Umumnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
_______, Perikatan yang lahir dari
Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
Lalu Husni, Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003).
Mahadi, Hukum Sebagai Sarana
Mensejahterakan
Masyarakat, (Medan, USU Press, 1985).
Mariam Darus Badrulzaman, KUH
Perdata Buku III, Hukum
Perikatan Dengan
Penjelasan, (Bandung:
Alumni, 1983).
_______, Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, (Bandung,
Alumni, 1985).
_______, Perjanjian Baku (Standar)
Perkembangannya di
Indonesia, (Bandung:
Alumni Bandung, 1990).
M. Yahya Harahap, Segi-segi
Hukum Perjanjian,
(Bandung: Alumni, 1992).
Mohd Syaufi Syamsuddin,
Perjanjian-Perjanjian Dalam
Hubungan Industrial,
(Jakarta: Sarana Bhakti
43
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari
Sudut Pandang Hukum
Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007).
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Bandung: Bina Cipta, 1987).
R. M. Suryodiningrat,
Perikatan-Perikatan Bersumber
Perjanjian, (Bandung:
Tarsito, 1989).
R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum
Perikatan Nasional,
(Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1988).
________, Hukum Perjanjian,
Cetakan 17, (Jakarta:
Intermasa, 2001).
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik
dalam Kebebasan
Berkontrak, (Jakarta:
Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia,
2004).
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cetakan IX, (Bandung: Mandar Maju, 2011).
Sedjun Manulang, Pokok-Pokok
Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, Edisi Revisi,
(Jakarta: Rajawali Pers,
2003).
Sehat Damanik, Hukum Acara
Perburuhan, (Jakarta: Dss Publising, 2004).
_______, Outsourcing & Perjanjian
Undang-44 Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang
Ketenagakerjaan, (Jakarta: Dss Publising, 2007).
Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998).
_______, Mengenal Hukum (Suatu
Pengantar), Cetakan 1,
(Yogyakarta: Liberty, 1991).
Suharmoko, Hukum Perjanjian:
Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004).
Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2004).
Zainal Asikin, et. al, Dasar-Dasar
Hukum Perburuhan,
(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002).
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan
Berkontrak dan
Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993).
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang