• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI PASOLA MASYARAKAT KODI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRADISI PASOLA MASYARAKAT KODI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA ( )"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

i

TRADISI PASOLA MASYARAKAT KODI

KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA (2007-2014)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora

Program Studi Sejarah

Oleh:

Maria Anjelina Talu NIM: 164314021

PROGRAM STUDI SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

vi MOTTO

Jangan melupakan budaya dan tradisi yang diwariskan atau diturunkan oleh para leluhur kepada anak cucu atau generasi-generasi berikutnya.

(3)

vii

PERSEMBAHAN SKRIPSI

Skripsi ini saya persembahkan untuk orang tua, keluarga besar, sahabat dan orang-orang terdekat yang mendukung saya selama menempuh pendidikan di

(4)

viii ABSTRAK

Maria Anjelina Talu, Tradisi Pasola Masyarakat Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya (2007-2014). Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2020.

Skripsi berjudul Tradisi Pasola Masyarakat Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya 2007-2014 bertujuan memaparkan tentang pelaksanaan Tradisi Pasola masyarakat Kodi, Sumba Barat Daya setelah mengalami pemekaran. Penelitian ini akan menjawab tiga pertanyaaan. Pertama, Mengapa orang Kodi, Sumba Barat Daya melaksanakan Tradisi Pasola? Kedua, Nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam Tradisi Pasola? Ketiga, Bagaimana peran Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya pada pelaksanaan Tradisi Pasola?

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yakni tahap persiapan, pengumpulan data, verifikasi, interpretasi dan penyusunan laporan akhir. Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini yakni Sumber-sumber tertulis dan lisan. Sumber tertulis berupa buku-buku, jurnal, skripsi, artikel, tesis, katalog, dan website. Sedangkan sumber lisan berupa wawancara dengan masyarakat Kodi dan pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya. Penelitian ini juga menggunakan teori Kebudayaan oleh Raymond Williams.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Tradisi Pasola merupakan warisan dari para leluhur yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Kodi. Dalam pelaksanaan Tradisi Pasola ada beberapa nilai, yakni nilai religius, simbolik, persaudaraan, sosial budaya, dan nilai ekonomi. Pelaksanaan Tradisi Pasola juga tidak terlepas dari peran atau keterlibatan pemerintah yakni Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya yang bertindak sebagai fasilitator.

(5)

ix ABSTRACT

Maria Anjelina Talu, Tradisi Pasola Masyarakat Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya (2007-2014). Thesis. Yogyakarta. History Department, Literature Faculty, Sanata Dharma University, 2020.

The thesis entitled Pasola Tradition for Kodi People at South West Sumba in 2007 – 2014 aims to explore about the implementation of Pasola Tradition for Kodi people, at South west Sumba before the development of the region. The research answers three questions which are 1) Why do Kodi people at South West Sumba do the pasola tradition? 2) what are values integrated in Pasola tradition? 3) how does the government play role at the implementation of the pasola tradition?

This research uses history method which are preparation, data collecting, verification, interpretation and composing the final report. The sources used in this research are written and oral sources. Written sources are books, journals, thesis, articles, dissertation, catalog, and website. While the oral sources are interviews with Kodi People and Government from Tourism Division at South West Sumba. This research also uses cultural theory by Raymond Williams.

The result of the research shows that the implementation of Pasola tradition is the of the ancients that kept been doing by Kodi people. There are some values integrated in Pasola tradition which are religious, symbolic, brotherhood, social culture and economic. The government from tourism division at south west Sumba splays important role in the implementation of Pasola by being the facilitator.

(6)

x PRAKATA

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaannya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Tradisi Pasola Masyarakat Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya (2007-2014)” disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora di Universitas Sanata Dharma.

Saya sadar bahwa tanpa bantuan, dukungan, motivasi, doa serta bantuan material dari berbagai pihak, maka saya belum tentu dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, izinkan saya untuk menyampaikan terima kasih kepada berbagi pihak yang telah membantu saya dalam penulisan skripsi ini. Berbagai pihak diantaranya:

1. Seluruh jajaran dosen Sejarah, Drs. Heribertus Hery Santosa M.Hum (Alm), Dr. Lucia Juningsih M.Hum (Alm), Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M.Hum., selaku pembimbing skripsi, Heri Priyatmoko M.A., selaku dosen pembimbing akademik, Dr. FX. Baskara Tulus Wardaya, S.J., dan Heri Setyawan, S.J. S.S. M.A.

2. Mas Doni Indarto sebagai sekretaris program studi sejarah yang selama ini membantu saya dalam mengurus berkas-berkas kuliah.

3. Kedua orang tua saya bapak Samuel B. Talu dan Ibu Theresia Dairo yang tiada henti-hentinya memberikan saya dukungan, motivasi, semangat dalam penyusunan skripsi ini dan juga membiayai saya selama berkuliah di Universitas Sanata Dharma. Adik-adik saya (Desi, Dini, Lusi, Otrin dan

(7)

xi

Vina) dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.

4. Pater Kimi dan Kakek Yosep Lede Nani yang memberikan dukungan dan doa selama berkuliah Universitas Sanata Dharma.

5. Sahabat saya Elma yang selalu selalu memberikan motivasi dan bantuan kepada saya selama berkuliah di Universitas Sanata Dharma.

6. Teman-teman sejarah angkatan 2016, Nia, Veren, Fatin, Yasti, Yemima, Darren, David Jul, udin, Bayu, Naldo, Bang Bogar, Azzam, Alvin dan Aranggi.

7. Teman-teman dekat saya selama berada di Yogyakarta, Marde, Kakak Tia, Kakak Arlin yang sudah seperti saudari saya yang selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Sepupu-sepupu saya yang sama-sama berada di Kota Yogyakarta Kakak Helmy, kakak Ange, Kakak Thomas, Adik Lissi, Rian Lole, Kakak Mensy dan Riko.

9. Teman-teman kos saya Alexa, Mbak Anna serta ibu kos Mbak Erni yang telah bersama saya selama berada di Yogyakarta.

10. Para narasumber yang bersedia untuk diwawancarai.

11. Kepada teman-teman dan saudara-saudara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu memberikan dukungan, doa, dan motivasi dalam penyusunan skrispi ini.

Saya sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Saya berharap semoga skripsi ini dapat memberikan dorongan kepada

(8)

orang-xii

orang agar lebih memperhatikan budaya dan tradisi mereka agar lebih dikenal oleh kalangan umum.

Yogyakarta, 17 September 2020

(9)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

PRAKATA ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 4

1.3. Rumusan Masalah ... 5 1.4. Tujuan Penelitian ... 5 1.5. Manfaat Penelitian ... 5 1.6. Kajian Pustaka ... 6 1.7. Landasan Teori ... 8 1.8. Metode Penelitian... 10 1.9. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II GAMBARAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA ... 13

2.1. Kondisi Geografis dan Batas Wilayah ... 13

(10)

xiv

2.3. Iklim ... 19

2.4. Pendidikan ... 19

2.5. Mata Pencaharian dan Perekonomian Masyarakat ... 22

2.6. Sosisal Budaya ... 23

2.7. Pariwisata ... 24

BAB III PASOLA BAGI MASYARAKAT KODI ... 25

3.1. Sejarah Pasola ... 25

3.1.1. Arti Kata Pasola ... 29

3.1.2. Ritus Nyale ... 29

3.1.3. Persiapan yang Dilakukan Sebelum Pelaksanaan Pasola... 32

3.1.4. Pelaksanaan Tradisi Pasola ... 36

3.1.5. Penutupan Pasola ... 39

3.2. Nilai-nilai yang terdapat dalam Tradisi Pasola ... 40

3.2.1. Nilai Religius ... 40

3.2.2. Nilai Simbolik ... 41

3.2.3. Nilai Persaudaraan ... 41

3.2.4. Nilai Sosial Budaya ... 41

3.2.5. Nilai ekonomi ... 42

BAB IV PERAN PEMERINTAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA PADA PELAKSANAAN TRADISI PASOLA ... 43

4.1. Pengantar ... 43

4.2. Agenda tahunan Pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya dari tahun 2010-2014 ... 44

4.3. Keterlibatan dan peran pemerintah sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan Tradisi Pasola ... 47

4.4. Anggaran tahunan pemerintah Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Barat Daya untuk pelaksanaan Tradisi Pasola tahun 2010-2014 ... 52

4.5. Dampak pelaksanaan Tradisi Pasola di mata pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya ... 54

BAB V PENUTUP ... 60

5.1. Kesimpulan ... 60

5.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(11)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nama kecamatan, luas wilayah, jumlah desa dan nama-nama desa di

Kabupaten Sumba Barat Daya ... 15 Tabel 2. Jumlah penduduk kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2007-2014 ... 18 Tabel 3. Jumlah sekolah, murid dan guru di Kabupaten Sumba Barat Daya tahun

2007-2013 ... 21 Tabel 4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Sumba Barat Daya ... 22 Tabel 5. Agenda tahunan Pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya tahun

2010. . ... 44 Tabel 6. Agenda tahunan Pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya tahun

2011 ... 44 Tabel 7. Agenda tahunan Pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya tahun

2012 ... 45 Tabel 8. Agenda tahunan Pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya tahun

2013 ... 45 Tabel 9. Agenda tahunan Pemerintah Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya tahun

2014 ... 46 Tabel 10. Anggaran dana untuk pelaksanaan Tradisi Pasola dari tahun 2010-2014 ... 53 Tabel 11. Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Sumba Barat

(12)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Masyarakat setempat mencari dan memungut Nyale di sekitar pesisir pantai ... 69 Lampiran 2. Nyale cacing laut yang dipungut dan dapat dimakan oleh masyarakat

setempat ... 69 Lampiran 3. Foto bersama dengan salah satu peserta yang mengikuti pelaksanaan

Tradisi Pasola ... 70 Lampiran 4. Foto salah satu kubu dari kedua kubu yang sedang bersiap–siap

untuk melakukan perlawanan terhadap kubu lawan ... 70 Lampiran 5. Seorang peserta yang sedang mengaju kudanya dengan memegang

sebuah lembing ... 71 Lampiran 6. Seorang peserta yang terkena lemparan lembing dari kubu lawan ... 71 Lampiran 7. Para peserta dari kedua belah kubu saling melempar lembing satu

sama lainnya ... 72 Lampiran 8. Para penonton yang berdiri di sekeliling lapangan untuk menyaksikan

pelaksanaan Tradisi Pasola ... 72 Lampiran 9. Pertemuan para Rato Adat dan pemerintah sebelum pelaksanaan

Tradisi Pasola ... 73 Lampiran 10. Wawancara dengan bapak Daniel Data Dawa selaku masyarakat

Kodi ... 73 Lampiran 11. Wawancara dengan ibu Rahel Ranggalota selaku masyarakat Kodi ... 74 Lampiran 12. Foto Rofinus D Kaleka selaku pengamat kebudayaan ... 74 Lampiran 13. Wawancara dengan Christofel Horo selaku kepala Dinas Pariwisata

Kabupaten Sumba Barat Daya ... 75 Lampiran 14. Contoh poster jadwal pelaksanaan Tradisi Pasola ... 75

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau, itu sebabnya Indonesia disebut juga sebagai negara kepulauan.1 Salah satu pulau yang ada di Indonesia adalah Pulau Sumba. Pulau Sumba merupakan salah satu dari beberapa pulau yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Sumba memiliki empat Kabupaten yakni Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.

Sebelum tahun 2007 Pulau Sumba hanya dibagi menjadi dua kabupaten yakni Kabupaten Sumba Timur dan Sumba Barat. Namun pada tahun 2007, Kabupaten Sumba Barat dibagi menjadi tiga kabupaten yakni Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Dua kabupaten (Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat dan disahkan pada tanggal 2 Januari 2007.2

Pulau Sumba juga dikenal memiliki begitu banyak tradisi, budaya, bahasa dan adat-istiadat. Salah satu budaya atau tradisi yang menarik untuk dibahas ialah budaya dan tradisi Pasola di Pulau Sumba. Pasola dalam bahasa setempat dikenal

1

Mello.ID. “Mengapa Indonesia Disebut sebagai Negara Kepulauan”, https://mello.id/mengapa-indonesia-disebut-negara-kepulauan/ (diunduh pada 4 Oktober 2019, pukul 9:43)

2

Rofinus D. Kaleka. 2018. "Selayang Pandang Kabupaten Sumba Barat Daya”

diakses dari

https://www.kompasiana.com/rofinusdkaleka/5a77df88cf01b437973d2592/selayang-pandang-kabupaten-sumba-barat-daya?page=all (diunduh pada tanggal 18 Maret 2020, pukul 13:03)

(14)

dengan sebutan Pahola yang berasal dari kata “sola” dan “hola” yaitu sejenis lembing kayu yang digunakan untuk saling melempar lembing dari kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan.3 Setelah mendapat imbuhan „pa‟ (pa-sola atau pa-hola), artinya menjadi permainan. Pasola atau Pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan di sebuah padang rumput yang luas. Pasola dimaknai orang Sumba sebagai perang damai dalam sebuah ritual adat dan bukan perang-perangan. Meskipun seringkali kali memakan korban, pasola tetap dilakukan di tanah Sumba sebagai permainan penawar duka, duka seorang leluhur atas hilangnya belahan jiwa.4

Dalam tulisan lain yang, berjudul “tradisi Pasola antara kekerasan dan kearifan lokal”,5

dikemukakan bahwa kekerasan dalam tradisi ini seperti pada perang sungguhan, para pelaku menunggang kuda dengan saling melempar lembing kayu. Saat saling lempar lembing, tidak sedikit pelaku pasola yang terkena lembing sehingga terluka dengan tetesan dan ceceran darah, bahkan ancaman kematian. Namun demikian, di antara pelaku tidak menimbulkan

3

Chaterina Inya Mone Rambadeta. “Pasola (Studi Sosio-Teologi Terhadap Ritus Pasola Menurut Gereja Kristen Sumba, Sumba Barat)”, Skripsi, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2017), hlm. 1.

4

Andryan Goodlife Irsan Konda. 2018. “Perancangan Buku Cerita Bergambar Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Asal-usul Tradisi Pasola”, Naskah Publikasi, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), hlm 5- 6.

5

Harry Waluyo, 2011, Buku Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia), hlm. xii

(15)

dendam. Mereka percaya setiap tetesan dan ceceran darah di tanah akan mendatangkan kesuburan dan berkah yang melimpah saat panen tiba. Itu artinya, tradisi ini mengesankan kekerasan di satu sisi, sedang di sisi lainnya mengandung kearifan. Dalam pengertian ini, tradisi pasola dimaknai sebagai kearifan lokal yang mampu meredam kekerasan yang kerap terjadi di masyarakat.

Pasola biasanya diadakan antara bulan Februari dan Maret di beberapa tempat yakni di Lamboya, Gaura, dan Wanukaka (Sumba Barat) serta di Kodi (Sumba Barat Daya). Pembahasan tentang Pasola ini, akan difokuskan pada tradisi Pasola yang dilaksanakan di Kodi, Sumba Barat Daya.

Seperti yang telah ditulis di atas, sebelum tahun 2007 kabupaten Sumba Barat Daya masih termasuk Kabupaten Sumba Barat. Pada tahun 2007, Kabupaten Sumba Barat mengalami pemekaran menjadi tiga kabupaten yakni Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya. Sebelum mengalami pemekaran, tradisi Pasola telah dilakukan di keempat tempat tersebut. Setelah Kabupaten Sumba Barat mengalami pemekaran, tradisi Pasola juga masih dilakukan di keempat tempat tersebut. Meskipun wilayah Kodi sudah masuk dalam wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, Tradisi Pasola di Kodi masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Kodi..

Pasola sangat diminati oleh kalangan umum, arena permainan Pasola tidak ditemukan di tempat lain selain di Pulau Sumba. Masyarakat Sumba Barat Daya sangat antusias untuk menyaksikan permainan Pasola yang dilakukan pada bulan Februari dan Maret setiap tahunnya. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang datang menyaksikan permainan tersebut. Selain masyarakat

(16)

Sumba Barat Daya, ada juga masyarakat yang berasal dari ketiga kabupaten lainnya. Selain itu ada juga wisatawan asing yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang datang menyaksikan permainan tersebut.

Masyarakat Sumba Barat Daya terus menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi Pasola dengan melaksanakan atau mengadakan setiap tahunnya. Selain masyarakat, Pemerintah juga ikut andil dalam pelaksanaan budaya dan tradisi Pasola di Sumba Barat Daya. Hal inilah yang akan dibahas pada pembahasan topik seperti yang tertera diatas.

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah.

Tradisi Pasola di Pulau Sumba telah ada sejak zaman dulu. Pasola biasanya dilakukan setiap tahunnya. Sebelum tahun 2007, Pasola biasanya dilaksanakan di keempat tempat yakni di Lamboya, Gaura, Wanukaka serta di Kodi yang semuanya termasuk dalam wilayah Kabupaten Sumba Barat. Setelah tahun 2007, Kabupaten Sumba Barat mengalami pemekaran. Kabupaten Sumba Barat dibagi menjadi tiga kabupaten yakni Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Meskipun Kabupaten Sumba Barat telah mengalami pemekaran, Pasola tetap dilaksanakan di keempat tempat tersebut. Hanya saja wilayah Kodi telah termasuk dalam Kabupaten Sumba Barat Daya. Penelitian ini akan difokuskan pada pelaksanaan Pasola di wilayah Kodi, Sumba Barat Daya yakni setelah mengalami pemekaran dari tahun 2007-2014.

(17)

1.3. Rumusan Masalah

1.3.1. Mengapa orang Kodi, Sumba Barat Daya melaksanakan Tradisi Pasola?

1.3.2. Nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam Tradisi Pasola?

1.3.3. Bagaimana peran Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya pada pelaksanaan Tradisi Pasola?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1.4.1. Mengetahui alasan orang Kodi, Sumba Barat Daya melaksanakan Tradisi Pasola.

1.4.2. Mengetahui nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam Tradisi Pasola. 1.4.3. Untuk menjelaskan peran Pemerintah Kabupaten Sumba Barat

Daya pada pelaksanaan Tradisi Pasola.

1.5. Manfaat Penelitian

Tradisi Pasola dilaksanakan setiap tahun. Namun demikian, meski dilaksanakan setiap tahun, masih ada orang atau kalangan umum yang belum mengetahui bagaimana pelaksanaan Pasola itu dilaksanakan, dan apa saja dampak dari pelaksanaan Tradisi Pasola. Jika dilihat dari tujuan penelitian, penelitian ini juga diharapkan ada manfaatnya bagi masyarakat atau kalangan umum yang belum mengetahui tentang mengapa masyarakat Kodi, Sumba Barat Daya melaksanakan Tradisi Pasola, nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam Tradisi

(18)

Pasola serta peran Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya pada pelaksanaan Tradisi Pasola agar dapat mengetahuinya.

1.6. Kajian Pustaka

Kajian mengenai “Tradisi Pasola Bagi Masyarakat Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya (2007-2014)” terdapat beberapa buku, skripsi, tesis, jurnal beberapa situs web yang yang mengkaji tentang tradisi Pasola.

Dalam Buku Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi yang ditulis oleh Hary Waluyo disampaikan bahwa kearifan lokal yang berada di Nusa tenggara Timur salah satunya adalah Pasola. Dalam buku ini, dikatakan bahwa Pasola berasal dari dua kata yakni “Sola” dan “Hola” yang berarti lembing yang dalam bahasa Kodi berarti “Kejar”. Dengan demikian Pasola ialah saling mengejar dengan menggunakan lembing. Selain itu penulis juga menjelaskan latarbelakang terjadinya Pasola yang berasal dari mitos seorang janda yang bernama Rabu Kaba.6

Konon, tiga bersaudara Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula pergi meninggalkan desa Waiwuang untuk melaut. Lama tak kunjung kembali, warga kampung Waiwuang dan Rabu Kaba yang merupakan istri Umbu Dula mengira bahwa ketiga orang itu telah meninggal dan Rabu Kaba memutuskan untuk menikah lagi dengan Teda Gaiparona yang berasal dari kampung Kodi. Tanpa sepengetahuan warga Waiwuang dan Rabu Kaba, Umbu Dula dan kedua saudaranya kembali ke kampung Waiwuang. Meskipun demikian

6

(19)

Rabu Kaba tetap ingin menikah dengan Teda Gaiparona. Untuk menghilangkan kesedihan Umbu Dula dan warga Waiwuang, Teda Gaiparona memerintahkan untuk melakukan Pasola.

Jurnal tentang Peranan Adat Pasola sebagai Alat Pemersatu Antar Daerah di Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur karya Yulita Tamo Inna dijelaskan bagaimana peranan adat Pasola sebagai alat pemersatu antar daerah, selain itu dalam jurnal ini dijelaskan tentang arti dari Pasola sendiri, juga tentang pelaksanaan Pasola.

Dalam jurnal Makna Nyale Dalam Upacara Adat Pasola Sebagai Upaya Pelestarian Budaya Di Sumba Barat Nusa Tenggara Timur, karya Wilhelmus Kuara Jangga Uma menjelaskan tentang makna tradisi Nyale dalam prosesi Upacara Pasola di Sumba Barat Nusa Tenggara Timur.

Skripsi tentang Pasola (Studi-Teologi Terhadap Ritus Pasola Menurut Gereja Kristen Sumba, Sumba Barat), karya Chaterina Inya Mone Rambadeta, juga menjelaskan tentang arti dari Pasola dan mengapa masyarakat Kristen masih melaksanakan ritus Pasola.

Dalam Tesis “Identitas Penganut Agama Marapu Berhadapan dengan Gereja dan Program Pariwisata di Sumba Barat” karya Yendri A.H. Yetti Leyloh menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan Pasola yakni mitos tentang Pasola, pelaksanaan Pasola, dan juga kuda yang dihiasi untuk digunakan pada saat upacara Pasola. Selain itu, dalam tesis ini juga berbicara tentang pemekaran Kabupaten Sumba Barat Daya.

(20)

Selain buku, jurnal, skripsi, tesis, dilakukan juga wawancara dengan masyarakat setempat yakni masyarakat yang berada di Kodi, Sumba Barat Daya.

Persamaan dari penulisan ini dengan pembahasan-pembahasan dari buku, jurnal, skripsi serta tesis yang sudah ada sebelumnya adalah tradisi pasola yang menjadi objek. Selain persamaan ada juga perbedaan dari penulisan ini yakni penulisan ini akan berbeda sedikit dari pembahasan-pembahasan dari buku, jurnal, skripsi serta tesis yang sudah ada sebelumnya. Jika dilihat dari pembahasan sebelumnya, banyak yang menjelaskan bahwa tradisi Pasola yang dilaksanakan di Kodi, Sumba Barat Daya masih termasuk dalam lingkup wilayah Sumba Barat. Penulisannya ini akan difokuskan pada tradisi Pasola yang dilakukan oleh masyarakat Sumba Barat Daya setelah mengalami pemekaran yakni dari tahun 2007-2014. Tahun ini dipilih karena merupakan periode pertama dimana dalam lima tahun kabupaten Sumba Barat Daya berdiri di bawah pemerintahan sendiri.

1.7. Landasan Teori

Penulisan ini berbicara mengenai Tradisi Pasola dari masyarakat Kodi, Sumba Barat Daya. Tradisi sendiri merupakan sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan seseorang atau sekelompok masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dan masih terus dilaksanakan.7 Pasola juga merupakan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun dan masih dilaksanakan hingga saat ini. Pada penulisan ini,

7

Eka Yuliyani. “Makna Tradisi “Selamatan Petik Pari” Sebagai Wujud Nilai-nilai Religius Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang”, Skripsi, (Malang: Universitas Negeri Malang), hlm. 8.

(21)

teori yang digunakan adalah teori Kebudayaan. Di dalam buku yang berjudul Teori-teori Kebudayaan dikatakan bahwa Raymond Williams, pengamat dan kritikus kebudayaan berpendapat bahwa kebudayaan atau culture dekat pengertian dengan kata “kultivasi”, yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi dan upacara-upacara religius, dari situlah diturunkan istilah kultus atau “cult”. Salah satu pendapat dari Raymond Williams mengenai budaya adalah menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok atau masyarakat.8 Pemahaman mengenai kebudayaan disampaikan juga oleh dua antropolog yaitu Kroeber dan Kluckhohn. Salah satunya ialah dilihat dari definisi historis. Definisi historis cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya.9 Selain itu, Rene Char juga menyampaikan pendapatnya mengenai kebudayaan. Rene Char sendiri merupakan seorang penyair dan penulis puisi kenamaan dari Perancis. Rene Char menyatakan bahwa kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat.10

Jika dilihat dari pendapat tokoh-tokoh di atas, Pasola dapat berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tersebut. Pasola merupakan salah satu tradisi dan kebudayaan turun temurun masyarakat Kodi, Sumba Barat Daya yang masih dilaksanakan hingga saat ini. Tradisi Pasola juga akan dibahas lebih

8

Muji Sutrisno dan Hendar Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 7-8.

9

Ibid., hlm. 8-9 10

(22)

jauh dalam penulisan ini yakni pada bab III. Pada bab III akan menjelaskan mengenai Tradisi Pasola dari orang Kodi, Sumba Barat Daya.

1.8. Metode Penelitian

Pada bagian penelitian ini dilakukan beberapa tahap yakni tahap persiapan, tahap pengumpulan data, verifikasi, interpretasi dan penyusunan laporan akhir. Tahap persiapan merupakan tahap dimana pembuatan proposal, pengumpulan bahan pustaka yang mendukung misalnya dari jurnal, skripsi, majalah dan buku-buku yang berkaitan dengan Tradisi Pasola, memilih dan mensurvei tempat yang akan menjadi tempat penelitian serta memilih informan yang akan diwawancarai mengenai Tradisi Pasola.

Tahap pengumpulan data merupakan tahap dimana penulis mengumpulkan sumber-sumber dari buku, koran, artikel, jurnal, skripsi, dan juga tesis. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara terhadap informan yang berkaitan dengan topik. Informan yang akan diwawancarai ialah Masyarakat, budayawan, peserta Pasola dan Pemerintah Sumba Barat Daya yang mengetahui tentang Tradisi Pasola. Tempat wawancara yang dipilih ialah di wilayah Kodi dan juga di Kantor Bupati Sumba Barat Daya yang merupakan tempat kerja dari pemerintah Sumba Barat Daya.

Setelah data-data terkumpulkan, penulis akan melakukan verifikasi atau kritik sumber dengan melihat, memeriksa dan menilai keaslian data-data yang diperoleh dari buku, koran, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan juga dari hasil wawancara. Setelah melakukan verifikasi, penulis juga akan melakukan

(23)

interpretasi yakni menyatukan data-data yang telah diuji kebenaran dan keasliannya.

Tahap yang terakhir ialah penyusunan laporan akhir. Data-data yang diperoleh, dipilah, dianalisa dan telah dikaji, akan disusun untuk laporan akhir sesuai dengan topik yakni Tradisi Pasola Masyarakat Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya (2007-2014).

1.9. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari penelitian ini akan terdiri dari Bab I pendahuluan, akan berisi tentang latarbelakang dari Pasola, rumusan masalah (mengapa orang Kodi, Sumba Barat Daya melaksanakan Tradisi Pasola, nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam Tradisi Pasola, bagaimana peran Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya pada pelaksanaan Tradisi Pasola), tujuan penelitian, mamfaat penelitian, kajian pustaka, dan juga landasan teori yang digunakan.

Bab II akan mendeskripsikan tentang gambaran Kabupaten Sumba Barat Daya, Bab III akan menjelaskan tentang rumusan masalah dari pembahasan tentang Pasola yakni mengapa orang Kodi, Sumba Barat Daya melaksanakan Tradisi Pasola, dan nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam Tradisi Pasola.

Bab IV dalam sistematika penulisan akan menjelaskan tentang peran pemerintah dalam pelaksanaan Tradisi Pasola.

(24)

Terakhir, bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran. Pada bab ini akan menyimpulkan apa yang diperoleh dari penelitian yang sesuai dengan topik diatas dan saran untuk kemajuan yang akan datang.

(25)

13

BAB II

GAMBARAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

Pulau Sumba merupakan salah satu dari sekian pulau yang ada di Indonesia. Pulau Sumba termasuk dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Sumba memiliki empat kabupaten, salah satunya ialah Kabupaten Sumba Barat Daya. Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki kondisi geografis dan batas wilayah, penduduk, iklim, pendidikan, mata pencaharian dan perekonomian masyarakat, sosial budaya dan pariwisata yang akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

2.1. Kondisi Geografis dan Batas Wilayah

Setiap wilayah dari suatu tempat pasti memiliki kondisi gografis dan batas-batas wilayah yang telah ditentukan. Begitu halnya dengan wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki luas daratan mencapai 1.445,32 km2 dengan batas wilayahnya:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumba

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

c. Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Sumba Barat. d. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat.11

11

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat Daya. 2019. “Sumba Barat Daya dalam Angka 2019”, Katalog”, Sumba Barat Daya: BPS Kabupaten Sumba Barat Daya, hlm. 3.

(26)

Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa SumbaBarat Daya mekar dan disahkan pada tahun 2007 dengan ibukota Tambolaka. Sebelum pemekaran Pulau Sumba sendiri hanya terdiri dari 2 Kabupaten yakni Sumba Timur dan Sumba Barat. Kabupaten Sumba Barat mekar menjadi tiga Kabupaten yakni Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya.

Kabupaten Sumba Barat Daya sendiri terdiri atas 11 kecamatan, yaitu yaitu Kodi Bangedo, Kodi Balaghar, Kodi, Kodi Utara, Wewewa Selatan, Wewewa Barat, Wewewa Timur, Wewewa Tengah, Wewewa Utara, Loura, dan Kota Tambolaka.12

Kabupaten Sumba Barat Daya juga terdiri dari 173 desa dan 2 kelurahan. Nama kecamatan dan luas wilayah dari masing-masing kecamatan berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat Daya 2019.13 Sedangkan jumlah desa dan nama-nama desa dari masing-masing kecamatan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik dari masing-masing kecamatan di tahun 2019. Berikut tabel nama kecamatan, luas wilayah masing-masing kecamatan, jumlah desa dan nama-nama desa. 12 Ibid. 13 Ibid., hlm 9.

(27)

Tabel 1.

Nama kecamatan, luas wilayah, jumlah desa dan nama-nama desa di Kabupaten Sumba Barat Daya No Nama Kecamatan Luas

Wilayah Jumlah Desa Nama-nama Desa

1 Kodi Bangedo 73.22 km 15 Umbu Ngedo, Walla Ndimu, Mata Kapore, Wai Kadada, Lete Loko, Dinjo, Rada Loko, Waipadadi, Delu Depa, Merakehe, Waikaninyo, Ana Gogka, Maliti Bondo Ate, Ana Lewe, Bondo Balla.

2 Kodi Balaghar 144.67 km 14 Kahale, Panenggo Ede, Wai Karara, Walangira, Wai Ha, Wainyapu, Karang Indah, Rada Malando, Waimaringi, Tana Mete, Waimakaha, Manu Toghi, Loko Tali, Waipakolo.

3 Kodi 86 km 19 Kapaka Madeta, Koki, Hamonggo Lele, Bondo Kodi, Pero Batang, Wura Homba, Ate Dalo, Homba Rande, Kawango Hari, Mali Iha, Onggol, Pero Konda, Tanjung Karoso, Watu Wona, Ana Engge, Kadoki Horo, Homba Rica, Ana Kaka, Ole Ate.

4 Kodi Utara 243.82 km 21 Hoha Wungo, Homba Karipit, Wailabubur, Noha, Wai Holo, Kori, Kalena Rongo, Mangga Nipi, Kendu Wela, Billa Cenge,

Bukambero, Waitaru, Homba Pare, Kadaghu Tana, Hameli Ate, Kadu Eta, Magho Linyo, Wee Wella, Nangga Mutu, Limbu Kembe, Moro Manduyo.

5 Wewewa Selatan 174.14 km 14 Buru Kaghu, Denduka, Bondo Bela, Delo, Tena Teke, Bondo Ukka, Buru Deilo, Weri Lolo, Milla Ate, Rita Baru, Mandungo, Umbu Wangu, Wee Baghe, Wee Wulla.

6 Wewewa Barat 147.34 km 20 Raba Engge, Kalimbu Tillu, Wee Kombaka, Mene Ate, Wali Ate, Kalembu Weri, Kabali Dana, Watu Labara, Waimangura, Reda

(28)

No Nama Kecamatan Luas

Wilayah Jumlah Desa Nama-nama Desa

Pada, Marokota, Kalembu Kanaika, Wee Kura, Laga Lete, Tawo Rara, Lua Koba, Kalaki Kambe, Sangu Ate, Pero, Lolo Ole. 7 Wewewa Timur 139.88 km 19 Dangga Mango, Dikira, Pada Eweta, Mareda Kalada, Tema Tana,

Kalembu Ndara Mane, Wee Limbu, Lete Kamouna, Mata Pyawu, Wee Lima, Kadi Wone, Maliti Dari, Dede Pada, Kadi Wanno, Nyura Lele, Mawo Dana, Mainda Ole, Lele Maya, Mata Wee Lima. 8 Wewewa Tengah 109.67 km 20 Omba Rade, Eka Pata, Wee Rame, Wee Kokora, Kali Ngara,

Lombu, Kanelu, Tanggaba, Wee Patando, Bolora, Kadi Roma, Bondo Delo, Tarra Mata, Mata Wee Karoro, Gollu Sapi, Mata Lombu, Limbu Watu, Mareda Wuni, Lete Wungana, Kiku Boko. 9 Wewewa Utara 63.26 km 12 Wanno Talla, Wee Paboba, Mata Loko, Puu Potto, Wee Namba,

Mali Mada, Bonda Ponda, Reda Wanno, Odi Paurata, Pandua Tana, Djela Manu, Mawo Maliti.

10 Loura 138.51 km 11 Rama Dana, Karuni, Totok, Wee Manada, Lete Konda, Bondo Boghila, Wee Kambala, Payola Umbu, Pogo Tena, Loko Kalada, Lete Konda Selatan.

11 Kota Tambolaka 98.95 km 10 Desa Wee Londa, Desa Kalena Wanno, Desa Rada Mata, Desa Wee Pangali, Desa Kalembu Kaha, Desa Wee Rena, Desa Watu Kawula, Desa Kadi Pada, Kelurahan Langgalero, Kelurahan Waitabula. Sumber : Diolah oleh Peneliti berdasarkan Kabupaten Sumba Barat Daya Dalam Angka Tahun 2008-2015.

(29)

Tabel di atas menunjukkan nama kecamatan, luasan wilayah, jumlah desa dan nama-nama desa yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya.

2.2. Penduduk

Berdasarkan hasil registrasi kependudukan selama periode penelitian 2007-2014 jumlah penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya tercatat sebanyak 2.470.418orang, dengan jumlah laki-laki 1.179.362 orang dan perempuan 1.291.056 orang. Rincian pertahun dapat dilihat pada tabel berikut ini :

(30)

Tabel 2.

Jumlah Penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2007-2014

Sumber: diolah oleh Peneliti berdasarkan Kabupaten Sumba Barat Daya Angka Tahun 2008-2015.

L P L P L P L P L P L P L P L P 1 Kodi 14.265 13.810 14.518 14.151 14.772 14.406 15.946 15.277 16.177 15.504 16.539 15.111 16.671 15.586 17.037 16.058 2 Kodi Utara 20.460 19.695 20.557 19.794 24.335 25.405 26.419 24.445 27.204 25.175 26.374 24.627 26.560 24.857 27.122 25.292 3 Kodi Bangedo 17.266 16.383 18.010 17.053 18.984 17.927 18.588 17.469 19.054 17.904 9.358 8.944 9.496 9.053 9.627 9.226 4 Wewewa Barat 22.139 21.743 22.378 22.013 22.427 22.070 23.428 22.054 23.784 22.387 20.520 19.637 20.723 19.926 21.179 20.149 5 Wewewa Selatan 10.577 10.279 10.636 10.360 10.703 10.564 11.165 10.526 11.324 10.676 11.556 11.011 11.822 11.146 12.024 11.323 6 Wewewa Timur 25.521 25.557 26.385 26.475 27.072 26.911 27.749 26.162 28.079 26.404 13.882 13.529 14.008 13.387 14.180 13.532 7 Wewewa Utara 5.287 5.346 5.883 5.993 5.799 5.921 5.926 5.712 5.956 5.745 6.032 5.877 6.229 6.052 6.337 6.154 8 Loura 14.113 13.330 15.261 14.198 15.693 15.966 17.501 16.536 18.047 17.062 7.521 7.117 7.792 7.179 7.931 7.458 9 Kodi Balaghar 10.341 9.766 10.409 9.849 10.556 10.062 10 Wewewa Tengah 15.062 14.269 15.141 14.333 15.336 14.521 11 Kota Tambolaka 18.191 17.307 18.455 17.521 19.171 18.215 129.628 126.143 133.628 130.037 139.785 139.170 146.722 138.181 149.625 140.857 155.376 147.195 157.306 148.889 160.500 151.990 2014 Jumlah Total L/P Total Keseluruhan 263.665 278.955 284.903 290.482 302.571 306.195 312.490 No Nama Kecamatan 2007 255.771 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(31)

Tabel di atas menunjukkan peningkatan jumlah Penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2007-2014, yang jika diamati di setiap wilayah mengalami peningkatan jumlah penduduk rata-rata sebesar 9137.13 orang atau 1,03%.

2.3. Iklim

Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki iklim tropis, seperti halnya iklim di Indonesia. Kabupaten Sumba Barat Daya dan Propinsi Nusa Tenggara Timur hanya dikenal 2 (dua) musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September, Kabupaten Sumba Barat Daya mengalami kekeringan bahkan kemarau yang sangat panjang. Curah hujan sangatlah minim. Sebaliknya, pada bulan Desember sampai Maret curah hujan boleh dikatakan mengalami kenaikan sehingga pada bulan-bulan itu dikatakan musim hujan.

2.4. Pendidikan

Bagi masyarakat Sumba Barat Daya pendidikan merupakan suatu hal yang harus diterapkan kepada seseorang sejak usia dini. Walaupun tidak semua masyarakat yang berada di wilayah Sumba Barat Daya mengenyam pendidikan, namun pendidikan masih diperhatikan oleh masyarakat setempat. Banyak anak-anak yang mulai mengenyam pendidikan sejak berada di bangku Sekolah Dasar (SD), kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), ada beberapa siswa yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan banyak juga yang harus rela untuk tidak

(32)

melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Berdasarkan data dari Sumba Barat Daya Dalam Angka 2010, Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki beberapa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Berikut jumlah sekolah dan guru yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2007-2013.

(33)

Tabel 3.

Jumlah sekolah, murid dan guru di Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2007-2013

No Tahun

Jumlah Sekolah Jumlah Murid Jumlah Guru

SD SMP SMA/SMK SD SMP SMA SD SMP SMA/SMK 1 2007 191 38 9 54.073 10.058 3.105 1.193 601 226 2 2008 191 48 9 59.046 11.949 3.198 1.704 689 212 3 2009 191 48 9 62.227 462 3.667 1.153 462 269 4 2010 191 49 9 62.329 11.330 3.364 1.999 694 242 5 2011 195 55 13 68.460 15.721 7.949 1.108 496 283 6 2012 204 67 9 71.715 17.883 8.227 1.129 489 274 7 2013 333 72 22 72.822 17.907 11.350 1.674 510 515 Sumber: diolah oleh Peneliti berdasarkan Kecamatan Dalam Angka 2015 dan Kabupaten Sumba Barat Daya Dalam Angka Tahun

(34)

Tabel diatas menunjukkan jumlah sekolah, murid dan guru di Kabupaten Sumba Barat Daya, guna untuk mengetahui berapa saja jumlah sekolah, murid dan guru yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2007-2013.

2.5. Mata Pencaharian dan Perekonomian Masyarakat

Penduduk yang berada di wilayah ini sebagian besar bermata pencaharian dengan bertani dan beternak, karena sebagian besar penduduk di Sumba pada umumnya bekerja sebagai petani dan peternak. Kabupaten Sumba Barat Daya tergolong wilayah yang sangat subur. Banyak tanaman pangan yang bisa ditanami dan juga dapat dihasilkan di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya seperti padi, jagung, kacang-kacangan, dan lain sebagainya. Selain hasil tanaman pangan, Kabupaten Sumba Barat Daya juga menghasilkan berbagai macam hasil perkebunan seperti jambu mente, kelapa, kemiri, kopi dan lain sebagainya. Hasil hutan juga dapat ditemui di wilayah Sumba Barat Daya seperti kayu jati (Tectona Grandis L.f)14 dan mahoni (Swietenia Macrophylla King)15. Kayu jati dan mahoni sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat, karena manfaat dari kayu jati dan mahoni sangatlah banyak, di antaranya ialah dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat rumah atau bangunan. Jika dilihat dari segi ekonomi lainnya, masyarakat setempat juga mendapatkan hasil dari beternak. Hewan-hewan yang

14

Veronika Murtina, dkk. Pertumbuhan Hutan Tanaman Jati (Tectona Grandis L.f) di Kalimantan Timur. Jurnal: AGRIFOR. Vol: XIV. No. 2 (2015), hlm. 287.

15

Mashudi, dkk. Potensi Hutan Tanaman Mahoni (Swietenia Macrophylla King) Dalam Pengendalian Limpasan dan Erosi. Jurnal: Manusia dan Lingkungan Hidup. Vol. 23. No. 2 (2016), hlm. 259.

(35)

biasa dipelihara antara lain, sapi, kerbau, babi dan juga Kuda. Hewan-hewan peliharaan ini mempunyai nilai jual yang sangat tinggi.

Selain bekerja sebagai petani dan peternak, sebagian penduduk Sumba Barat Daya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berikut jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Tabel 4.

Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Sumba Barat Daya

No Tahun Jumlah 1 2007 2.097 orang 2 2008 3.344 orang 3 2009 2.909 orang 4 2010 3.579 orang 5 2011 3.542 orang 6 2012 3.542 orang 7 2013 3.469 orang 8 2014 3.620 orang

Sumber: Diolah oleh Peneliti berdasarkan Kabupaten Sumba Barat Daya Dalam AngkaTahun 2008-2015.

Tabel diatas menunjukkan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Sumba Barat Daya, dilampirkan guna untuk mengetahui jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Sumba Barat Daya dari tahun 2007-2014.

2.6. Sosial Budaya

Setiap wilayah yang ada di Indonesia mempunyai budaya masing-masing dan juga memiliki perbedaan satu sama lainnya. Begitu halnya dengan Pulau Sumba. Berbicara tentang Pulau Sumba, bagi orang-orang yang mengetahui tentang Pulau Sumba, akan terlintas beberapa hal dalam benak mereka mengenai Pulau Sumba. Pulau Sumba sendiri mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda disetiap kabupaten. Sumba Barat Daya adalah salah satu kabupaten yang masih

(36)

menjunjung tinggi nilai kebudayaan. Banyak kebudayaan yang dapat ditemui, dilihat dan masih dirasakan oleh orang-orang seperti rumah adat (Uma Kalada), kepercayaan Marapu (kepercayaan akan arwah nenek moyang atau leluhur), cara menerima tamu dengan cara bercium hidung (ciuman khas orang Sumba), perkawinan adat, dan memberikan sirih pinang sebagai makanan khas yang melambangkan penyambutan (sirih pinang wajib ada di setiap tradisi apapun di Pulau Sumba).

2.7. Pariwisata

Kabupaten Sumba Barat Daya boleh dikatakan salah satu kabupaten di Pulau Sumba yang memiliki berbagai macam objek pariwisata baik dari wisata alam, wisata pantai, dan wisata budaya. Jika dilihat dari objek wisata alam, Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki beberapa objek wisata antara lain: panorama air terjun di Waikelo Sawah dan danau air asin Weekuri. Kabupaten Sumba Barat Daya juga memiliki kawasan wisata pantai, diantaranya ialah Pantai Mananga Aba, Pantai Oro, Pantai Kawona, Pantai Newa, Pantai Tosi, Pantai Pero dan lain sebagainya. Selain wisata alam dan pantai, objek wisata budaya juga dapat ditemui di wilayah ini diantaranya ialah kampung adat dan kuburan megalitik yang hampir terdapat diseluruh wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, rumah adat dan juga tradisi Pasola. Tradisi Pasola sendiri merupakan salah satu kegiatan tahunan masyarakat Kodi yang sering dilaksanakan setiap tahunnya.

(37)

25

BAB III

PASOLA BAGI MASYARAKAT KODI

3.1. Sejarah Pasola

Pasola merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Sumba Barat Daya dan masih dipertahankan hingga saat ini. Tradisi ini sangat minati oleh kalangan umum baik warga setempat, masyarakat yang berasal dari kabupaten lain yang ada di Pulau Sumba, wisatawan domestik maupun mancanegara.

Berbicara mengenai Pasola, tidak terlepas dari mitos yang dikenal oleh masyarakat Kodi. Menurut kepercayaan masyarakat Sumba pada umumnya, asal-usul Pasola berawal dari tiga bersaudara yakni Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dulla yang berasal dari kampung Waiwuang.

Awalnya ketiga bersaudara itu, mengatakan kepada warga Waiwuang, bahwa mereka hendak melaut. Namun kenyataannya, ketiga saudara itu, tidak pergi untuk melaut, tetapi mereka ke pantai Selatan Sumba Timur untuk mencari padi. Setelah beberapa hari, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, ketiga saudara tersebut tidak kembali ke kampung Waiwuang. Warga Waiwuang mulai gelisah dan mulai melakukan pencarian di sekitar pantai. Namun semua itu sia-sia, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar pesisir pantai. Warga Waiwuang mulai gelisah dan kesedihan pun melanda warga Waiwuang dan juga Rabu Kaba.

Hingga suatu hari munculnya seorang pria yang bernama Teda Gaiparona di kampung Waiwuang yang berasal dari wilayah Kodi. Sejak saat itu, Teda Gaiparona dan Rabu Kaba menjalin hubungan satu sama lainnya. Sayangnya,

(38)

pihak dari keluarga dari Teda Gaiparona maupun Rabu Kaba tidak merestui hubungan mereka. Hal itu membuat Teda dan Rabu Kaba memutuskan untuk melakukan kawin lari.

Hari berganti minggu, ketiga bersaudara itu yakni Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dulla akhirnya kembali ke kampung Waiwuang. Warga Waiwuang merasa sangat gembira dan juga sedih. Gembira karena ketiga saudara itu kembali dengan selamat ke kampung Waiwuang dan merasa sedih karena istri Umbu Dulla, Rabu Kaba telah meninggalkan kampung Waiwuang dan menikah dengan Teda Gaiparona.

Saat itu Umbu Dulla tidak mendapati istrinya yakni Rabu Kaba di kampung Waiwuang. Ketika Umbu Dulla mengetahui bahwa istrinya telah pergi dari kampung Waiwuang dan pergi bersama pria lain, tidak ada cara lain selain berusaha untuk pergi mencari istrinya di wilayah Kodi. Bersama dengan warga Waiwuang, Umbu Dulla pergi mencari istrinya Rabu Kaba di wilayah Kodi. Sesampainya di Kodi, Rabu Kaba kaget melihat bahwa suaminya Umbu Dulla ternyata masih hidup. Umbu Dulla meminta Rabu Kaba untuk kembali ke kampung Waiwuang, tetapi Rabu Kaba menolak permintaan Umbu Dulla. Rabu Kaba meminta Teda Gaiparona untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Teda Gaiparona menyanggupi permintaan dari Rabu Kaba dan meminta waktu untuk bermusyawarah dengan keluarganya. Dari hasil musyawarah itu, Teda Gaiparona harus membayar denda berupa belis (mas kawin) kepada keluarga Umbu Dulla. Belis yang diberikan kepada keluarga Umbu Dulla dimaksudkan agar Rabu Kaba secara adat masuk dalam keluarga Gaiparona dan tidak lagi

(39)

menjadi istri dari Umbu Dulla melainkan menjadi istri sah dari Teda Gaiparona. Setelah seluruh belis dilunasi, diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.

Pada akhir pesta pernikahan, keluarga Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta Nyale (cacing laut) dalam wujud Pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan Rabu Kaba. Atas dasar hikayat itu, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka mengadakan bulan Nyale (bulan pencarian cacing di laut) dan pesta Pasola.16

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Pasola Kodi bermula dari seorang gadis cantik yang bernama Biri Koni. Biri Koni merupakan anak semata wayang yang hidup bersama dengan ibunya. Biri Koni sendiri memiliki paras yang cantik, oleh karena itu banyak pemuda yang ingin menjadikannya seorang istri. Pada saat itu, Biri Koni hanya tinggal berdua bersama dengan ibunya, hal itu membuat mereka merasa takut. Setiap pemuda yang datang untuk melamar Biri Koni diterima oleh Biri Koni dan juga ibunya. Hal itu juga membuat Biri Koni bingung untuk memilih siapa yang akan dijadikannya pasangan hidup. Karena banyaknya pemuda-pemuda yang datang untuk melamar, dan Biri Koni tidak ingin seorang dari mereka tersakiti olehnya, maka ia memutuskan untuk bunuh diri.

Setelah Biri Koni meninggal, ibunya bermimpi dan bertemu dengan Biri Koni. Biri Koni mengatakan kepada ibunya bahwa di samping kuburnya akan

16

Latarbelakang dari pasola dirangkum oleh peneliti dari Tesis Samuel Bora Lero “Strategi Pemerintah Daerah Dalam Mengatasi Konflik Budaya Pasola (Studi Tentang Kebudayaan Pasola di Desa Wainyapu Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa”Apmd”), hlm. 41-43.

(40)

tumbuh sebuah tanaman, dan tanaman itu harus dirawat dan dipelihara. Dan benar adanya, beberapa hari setelah Biri Koni meninggal, di samping kuburnya, tumbuhlah sebuah tanaman yang berbentuk seperti padi. Sejak saat itu, tanaman padi itu dirawat hingga mulai menguning. Setelah padinya siap untuk dipanen, di sekitar pesisir pantai muncul juga seorang dewi.

Kedatangan seorang dewi membuat masyarakat setempat berbondong-bondong datang untuk melihatnya dan berebutan untuk mendapatkannya. Namun dewi itu menolak semua permintaan dari orang-orang yang menginginkannya. Ia tidak ingin ada perkelahian dan permusuhan di antara mereka, kemudian Ia memutuskan untuk kembali ke laut dan menjelma menjadi Nyale atau cacing laut.

Sejak saat itu, orang-orang atau masyarakat setempat mulai berpikir bahwa, dewi itu tidak menginginkan mereka untuk saling bermusuhan satu sama lain. Mereka merasa bersyukur karena tidak saling membunuh pada saat itu. Rasa syukur mereka, diwujudkan dengan mengadakan sebuah perang-perangan, tanpa menggunakan senjata tajam, namun menggunakan lembing, dan itu dinamakan dengan Pasola.

Hingga saat ini, sebelum masa panen tiba, di sekitar pesisir pantai dengan sendirinya akan muncul nyale atau cacing laut. Ketika nyale atau cacing laut bermunculan di sekitar pantai, masyarakat setempat akan mengadakan atau melaksanakan Tradisi Pasola guna untuk mengingat gadis cantik yang menjelma menjadi cacing laut atau Nyale.17

17

Wawancara dengan bapak Rofinus D Kaleka tanggal 30 Januari 2020 di Tana Kombuka, Kaliki Kambe, Wewewa Barat.

(41)

3.1.1. Arti kata Pasola

Pasola merupakan salah satu atraksi budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sumba khususnya masyarakat Sumba Barat (Wanokaka, Lamboya, Gaura) dan Sumba Barat Daya (Kodi). Secara terminologi kata Pasola merupakan dialek Wanokaka, Lamboya, dan dialek Gaura. Sedangkan dalam dialek orang Kodi ialah “Paholong”. Tetapi orang Kodi menggunakan istilah yang sudah umum digunakan yakni Pasola, namun kata sesungguhnya ialah Paholong.

Pasola atau Pahola berasal dari kata dasar “sola” atau “hola”, dengan mendapat awalan “pa” menjadi Pasola atau Pahola. Kata sola atau hola kata benda yaitu kayu berukuran lembing. Kata sola atau hola mendapat awalan pa menjadi kata kerja Pasola atau Pahola. Dalam bahasa Kodi dan Loura kata sola atau hola berarti kejar dan bila ditambah awalan pa menjadi saling kejar atau mengejar.18 Kata Pasola disini dapat diartikan saling melempar lembing diantara dua kubu dengan menunggang kuda yang sedang berlari di padang rumput yang luas.

3.1.2. Ritus Nyale

Berbicara mengenai Pasola sebagai atraksi, Pasola tidak berdiri sendiri sebagai sebuah budaya, Pasola merupakan bagian atau salah satu pakem dari sebuah ritus yang disebut dengan ritus “Nale‟ atau “Nyale”. Pasola tidak bisa dipisahkan dari ritus tersebut karena inti dari semua itu bukanlah Pasola melainkan ritus Nale atau Nyale.

18

Yendri A.H. Yetty Leyloh “Identitas Agama Marapu Berhadapan Dengan Gereja dan Program Pariwisata di Sumba Barat, NTT”, Tesis (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2007), hlm. 47.

(42)

Tradisi ritus Nyale atau Nale tersebut memiliki prosesi yang berstruktur dan merupakan satu kesatuan yang utuh, semacam pakem adat. Pakem adat itu meliputi beberapa cara yakni Kabukut (semedi), Kawoking (pantun bersahut-sahutan), Hangapung (menebar sirih pinang diatas kubur para leluhur), Pico Nale (panen cacing laut), Tunu Manu Nyale (menyembelih dan membakar ayam persembahan) dan pelaksanaan Pasola atau Paholong. Dalam prosesi tradisi Nale atau Nyale, Pasola atau Paholonglah pakem puncak dari semua itu. 19

Masa Kabukkut atau semedi dilakukan oleh Rato adat, yakni Rato adat tidak boleh keluar dari rumah kediaman atau berjalan-jalan di sekitar kampung dan tidak boleh berbicara dengan orang-orang sekitar, kecuali orang yang hidup dan tinggal bersama dengannya yakni istri dan anak-anak dari Rato Nale (Nyale) serta orang-orang terdekat (Wali Rato). Rato adat harus fokus menghitung waktu dan mempersiapkan segala sesuatu untuk menentukan kapan waktu yang tepat dilaksanakannya Pasola.20

Kawoking merupakan pantun yang dilontarkan secara bersahut-sahutan sebelum pemungutan Nyale atau cacing laut. Hal tersebut dilaksanakan untuk memanggil dewi nyale atau cacing laut agar bemuncul di permukaan laut.21

Hangapung (menebar sirih pinang di atas kubur para leluhur) merupakan salah satu cara memohon restu atau berkat dari para leluhur atau roh nenek

19

Rofinus D Kaleka “Mengenal Tradisi Ritus Nale di Kodi Sumba”, Artikel: Kompasiana, hlm. 2, diunduh pada tanggal 22 Mei 2020 pukul 14: 54.

20

Wawancara dengan bapak Rofinus D Kaleka tanggal 30 Januari 2020 di Tana Kombuka, Kaliki Kambe, Wewewa Barat.

21 Ibid.

(43)

moyang agar pelaksanaan pasola dapat berjalan lancar dan juga hasil panen pada tahun itu melimpah dan juga banyak. 22

Pico Nale (panen cacing laut), sebelum pelaksanaan pasola, biasanya di pagi hari masyarakat setempat akan berbondong-bondong ke pesisir pantai untuk memungut atau menangkap nyale atau cacing laut yang bermunculan di sekitar pesisir pantai. Namun sebelum masyarakat memungut nyale, Rato Adatlah yang harus pertama memungut nyale yang bermunculan di sekitar pesisir pantai. Jika Rato Adat berhalangan, maka utusan dari Rato Adatlah yang harus memungut terlebih dahulu nyale-nyale itu yang kemudian disusul oleh masyarakat lainnya.23

Tunu Manu Nale, maksud dari tunu manu nale atau nyale adalah seekor ayam yang dijadikan persembahan kepada leluhur disembelih dan dibakar serta dimakan bersama oleh orang-orang yang ada pada saat itu.24

Pasola atau Paholong, setelah semua kegiatan di atas terlaksana, maka dengan sendirinya pasola atau paholong juga akan dilaksanakan oleh masyarakat setempat setelah nyale dipungut atau diambil oleh masyarakat setempat.25

Nyale sendiri merupakan cacing laut yang dapat diolah untuk dijadikan makanan. Biasanya Nyale atau cacing laut memiliki warna yang berbeda-beda, ada yang berwarna putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Selain sebagai bahan makanan, Nyale juga melambangkan kesuburan dan juga hasil panen masyarakat 22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid.

(44)

setempat. Jika Nyale-nyale yang didapatkan berukuran besar maka pertanda bahwa hasil panen pada tahun itu akan membuahkan hasil yang baik dan juga banyak, dan sebaliknya jika Nyale-nyale yang didapatkan berukuran kecil, maka hasil panen pada tahun itu akan sedikit atau kurang baik.

Kemunculan Nyale hanyalah di bulan-bulan tertentu, yakni bulan Februari dan Maret. Pelaksanan Pasola harus berpatokan dari munculnya Nyale. Jika Nyale atau cacing laut telah bermunculan di sekitar pesisir pantai, maka Tradisi Pasola akan dilaksanakan, dan sebaliknya jika Nyale atau cacing laut belum bermunculan, maka pelaksanaan Pasola tidak akan dilaksanakan. Perhitungan waktu yang dilakukan oleh para Rato Adat kemungkinan salah sehingga menyebabkan Nyale atau cacing laut tidak bermunculan di sekitar pesisir pantai. Namun sejauh ini, perhitungan waktu yang dilakukan oleh para Rato Adat belum pernah mengalami kesalahan.26

3.1.3. Persiapan yang Dilakukan Sebelum Pelaksanaan Pasola.

Suatu perayaan atau kegiatan yang ingin dirayakan atau dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang harus dipersiapkan dengan sebaik mungkin, agar perayaan atau kegiatan itu berjalan dengan lancar dan sukses. Begitu halnya dengan Tradisi Pasola yang dilaksanakan oleh masyarakat Kodi setiap tahunnya. Sebelum Tradisi Pasola berlangsung segala persiapan dilakukan oleh para Rato Marapu (Ketua adat), Rato Nale (Nyale) dan juga masyarakat setempat guna untuk kelancaran acara tersebut. Persiapan yang dilakukan masyarakat antara lain

26

(45)

ialah kembali ke kampung halaman atau mudik, membersihkan kampung halaman, kuburan leluhur, arena atau lapangan Pasola, dan membersihkan pesisir pantai, membawa makanan pokok yang akan digunakan saat perayaan berlangsung, menyiapkan kuda dan alat-alat yang akan digunakan oleh para peserta saat pelaksananaan Pasola, dan lain sebagainya.

a. Persiapan Rato Nale (Nyale) dan Rato Marapu

Rato Nale atau Nyale merupakan salah satu Rato yang dapat menentukan waktu pelaksanaan Pasola. Biasanya, sebulan sebelum pelaksanaan Pasola, Rato Nale melaksanakan kabukkut atau semedi guna melihat waktu yang tepat untuk pelaksanaan Pasola. Pada saat melaksanakan kabukkut atau Semedi Rato Nale (Nyale) tidak boleh melakukan beberapa hal yakni; keluar dari rumah kediaman, berjalan di sekitar kampung dan tidak boleh berbicara dengan orang-orang sekitar, kecuali orang yang hidup dan tinggal bersama dengannya yakni istri dan anak-anak dari Rato Nale (Nyale) serta orang-orang terdekat (Wali Rato).

Wali Rato merupakan salah seorang yang membantu Rato Nale (Nyale) dan juga melayani Rato Nale setiap harinya. Selain itu, Wali Rato juga sering diutus oleh Rato Nale (Nyale) untuk mengikuti pertemuan-pertemuan yang melibatkan Rato Nale (Nyale) jika Rato Nale berhalangan untuk mengikuti pertemuan.

Kabukkut atau semedi tersebut dimaksudkan agar Rato Nale (Nyale) benar-benar fokus untuk melihat kapan waktu yang tepat untuk pelaksanaan Pasola. Biasanya Rato Nale akan melihat perubahan alam, salah satunya ialah munculnya tunas-tunas baru dari tumbuhan dan menghitung 7 hari 7 malam gelap,

(46)

dan di hari ketujuh, masyarakat setempat akan memungut Nyale bersamaan dengan dilaksanakan Pasola.27

Selain itu, Rato Nale dan Rato Marapu lainnya juga berkumpul dan mengadakan pertemuan untuk menentukan jadwal pelaksanaan Pasola. Ketua Rato mulai menyebar undangan kepada seluruh jajaran rumah adat atau perkampungan dan mengadakan rapat bersama dengan tujuan utama untuk menetapkan bersama hari apa saja yang tepat untuk melaksanakan Nyale dan Tradisi Pasola.

Dalam perbincangan tersebut Rato Nale dan para Rato Marapu mulai berdiskusi dan mencari satu solusi yang tepat jika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Setelah menentukan waktu yang tepat dan telah disepakati bersama maka mereka akan menyembelih ayam dan babi sebanyak mungkin untuk melihat rahmat, apakah diijinkan atau tidak oleh leluhur jika Pasola itu dilaksanakan. Para Rato secara bergiliran melihat hati ayam, usus ayam dan hati babi. Hati ayam, usus ayam dan hati babi yang digunakan oleh para Rato dipercaya bahwa disitu terdapat petunjuk dari leluhur, dengan sendirinya para Rato akan mengetahui petunjuk dari para leluhur, karena para Rato telah memperoleh ilham untuk menafsirkan hati ayam, usus ayam dan hati babi. Jika

27

Wawancara dengan bapak Daniel Deta Dawa tanggal 22 Januari 2020 di Hombatara.

(47)

hasil tafsirannya baik maka upacara tersebut siap untuk dilakukan atau dilaksanakan.28

Bagi orang Sumba pada umumnya yang memiliki kepercayaan marapu hati ayam, usus ayam, dan hati babi merupakan kitab bagi mereka dalam melihat hal-hal yang terjadi baik kehidupan masyarakatnya, kematian, tanda-tanda bahaya dan tanda keberuntungan lewat upacara sesajian.

b. Persiapan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

Selain Rato Nale (Nyale), masyarakat setempat juga ikut andil dalam menyiapkan segala persiapan agar pelaksanaan Pasola berjalan dengan lancar. Selain masyarakat setempat, masyarakat Kodi yang tinggal di luar wilayah Kodi akan kembali ke kampung mereka masing-masing guna untuk melakukan persiapan. Sebelum pelaksaaan Pasola berlangsung, biasanya masyarakat Kodi yang tinggal atau berdomisili di luar daerah Kodi, kembali ke Kodi atau pulang kampung guna untuk mempersiapkan pelaksanaan Pasola. Pulang kampung dinamakan dengan istilah dengan Ndodo (mudik ke kampung besar). Setiap warga kampung dimanapun mereka berada, tempat tinggal mereka dikenal dengan istilah kampung untuk berkebun, namun kampung inti dari mereka ialah Kampung Besar yang terletak di daerah Kodi yang harus dilihat setiap tahunnya, karena Kampung besar tersebut merupakan kampung leluhur.

Biasanya yang dilakukan oleh orang-orang atau masyarakat Kodi saat berkunjung ke Kampung Besar ialah dapat bersilatuhrahmi dengan sesama

28

Wilhelmus Kuara Jangga Uma, dkk. 2018. “Makna Nyale Dalam Upacara Adat Pasola Sebagai Upaya Pelestarian Budaya di Sumba Barat Nusa Tenggara Timur”. Jurnal Historia. Volume 6, Nomor 2. hlm. 353-354.

(48)

orang yang berada di kampung itu, membersihkan seluruh perkampungan itu dan juga membersihkan kubur-kubur para leluhur, meletakkan sirih pinang (makanan khas Sumba) ke kuburan leluhur dan berkomunikasi dengan para leluhurnya. Kunjungan itu juga dimaksudkan agar orang-orang yang berada di luar Kodi, tidak lupa akan kampung halamannya, asal-usulnya dan juga leluhurnya. Pada saat balik kampung atau “Ndodo”, biasanya orang-orang itu membawa ayam, babi, anjing, buah-buahan, sirih pinang dan lain sebagainya. Semua itu dibawa untuk dimakan, baik untuk diri sendiri maupun untuk tamu yang datang pada saat pelaksanaan Pasola.

3.1.4. Pelaksanaan Tradisi Pasola

Pelaksanaan Pasola biasanya diawali oleh Rato Nale atau Nyale yang menyampaikan beberapa pesan dan kesan yang disampaikan kepada peserta dan juga para penonton. Rato Nale menyampaikan mengapa Pasola dilaksanakan setiap tahun, tata cara dalam pelaksanaan Pasola, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada saat Pasola berlangsung. Ketika semua pesan telah tersampaikan, maka Rato Nale membuka acara Pasola dengan menunggang Kuda Nale dan masuk ke dalam arena permainan. Kuda yang ditunggangi oleh Rato Nale akan berlari lurus ke depan dan kembali lagi ke tempat semula tanpa mengelilingi arena permainan. Setelah itu Rato Nale dan Kuda Nale keluar dari arena permainan atau lapangan, dia kembali ke rumah adat yang terletak di dalam kampung besar.

Selain membuka pelaksanaan Pasola, Rato Nale beserta Kudanya juga harus menutup acara Pasola itu. Berbicara mengenai acara pembuka, penutupan

(49)

Pasola juga boleh dikatakan sama. Rato Nale dan Kuda Nale kembali masuk ke dalam arena dan berlari lurus, kemudian akan keluar dari arena permainan dan kembali ke rumah adat yang berada di dalam kampung besar, dengan demikian akan berakhir pula pelaksanaan Pasola.

Pasola tidak akan dimulai sebelum Rato Nale dan Kuda Nale masuk ke dalam arena permainan. Jika permainan sudah dilaksanakan sebelum Rato Nale dan Kuda Nale masuk ke dalam arena, maka akan banyak musibah yang dialami oleh para peserta, yakni akan mengalami luka, terjatuh, terkena lembing dan lain sebagainya.

Pelaksanaan Pasola sendiri dilaksanakan di bulan Februari dan bulan Maret. Pasola dilaksanakan di kedua tempat yakni di Tosi dan Bukabani. Pelaksanaan Pasola yang dilakukan di Tosi dinamakan Pasola pertama, sedangkan yang dilaksanakan di Bukabani dinamakan Pasola kedua dan Pasola kedua ini merupakan puncak dari pelaksanaan Pasola.

Menurut Rofinus D Kaleka, pada zaman dahulu Pasola yang dilaksanakan di Tosi hanyalah sebuah latihan sebelum pelaksanaan Pasola benar-benar dilaksanakan, namun seiring berjalannya waktu, Pasola Tosi juga dilaksanakan bukan lagi sekedar latihan namun juga sebagai ritus Pasola yang dilaksanakan setiap tahunnya. Tata cara dan pelaksanaan dari kedua tempat tersebut semuanya sama dan tidak ada perbedaan satu sama lainnya.

Selama pelaksanaan Pasola berlangsung, para peserta akan saling kejar-kejaran di dalam lapangan luas. Peserta-peserta itu terdiri dari dua kubu atau dua kampung yang saling melakukan atraksi dengan melempar lembing satu sama

(50)

lainnya dengan menunggang kuda. Atraksi Pasola ini hanya diikuti oleh para lelaki saja dan tidak ada pembatasan umur dari peserta. Peserta dapat mengikuti permainan itu jika dapat menunggang kuda, menggunakan lembing dengan baik dan dapat menguasai permainan tersebut. Selain itu peserta yang mengikuti atraksi ini, mengenakan busana adat yakni sarung yang dikenakan oleh peserta dan kapouta (ikat kepala). Biasanya kapouta itu terbuat dari bulu-bulu ayam.

Pelaksanaan Pasola berlangsung setelah Nyale-nyale yang bermunculan di pesisir pantai telah dipungut oleh masyarakat setempat. Pelaksanaan Pasola sendiri biasanya berlangsung dari pagi hingga siang hari, juga kadang-kadang sampai sore hari tergantung dari peserta yang mengikuti atraksi atau permainan tersebut.

Pada pelaksanaan Pasola, masing-masing kubu akan saling berdiri dan berkumpul diujung lapangan, jika salah satu kubu telah menantang kubu yang lain, maka para peserta akan masuk ke dalam lapangan dan akan melakukan atraksinya yakni saling kejar mengejar dengan melempar lembing satu sama lain. Jika salah satu peserta terkena lembing, dengan sendirinya para penonton akan bersorak-sorai, hal ini juga yang membuat peserta semakin bersemangat untuk melakukan atraksinya.

Terkadang dalam atraksi atau permainan pasola terjadi pertumpahan darah. Namun hal itu tidak membuat para peserta dari kubu masing-masing menyimpan dendam satu dengan yang lainnya. Jika hal itu terjadi di dalam arena permainan, maka itu dianggap sebagai hukuman dari para leluhur bahwa orang atau peserta yang mengalami luka mempunyai dosa atau kesalahan kepada para leluhur atau

(51)

arwah nenek moyangnya, atau adanya dosa yang dilakukan oleh kampung tempat peserta berasal.

Pasola akan disudahi jika para peserta sudah merasa lelah satu sama lainnya, selain itu jika terjadi perseteruan dari kedua belah kubu dan juga dari para penonton atau pendukung dari masing-masing kubu. Untuk menghindari perseteruan panjang, maka atraksi atau permainan itu harus dihentikan atau disudahi. Setelah atraksi itu disudahi, maka Rato Adat akan masuk kembali ke dalam arena permainan dan menutup atraksi atau permainan itu.

3.1.5. Penutupan Pasola

Ketika pelaksanaan Pasola berakhir, semua warga kampung kembali ke kampung adat. Sesampainya di kampung adat, mereka harus terlebih dahulu ke Rumah Nale (nyale), dan harus melakukan sembahyang guna berkomunikasi dengan para leluhur. Rumah Nale (nyale) merupakan salah satu rumah yang ada di dalam kampung yang didiami atau ditinggali oleh Rato Nale (nyale). Setelah Rato Nale membakar ayam di rumah Nale, maka warga kampung juga kembali ke rumah adat masing-masing guna untuk memotong ayam.

Pemotongan ayam tidak dilakukan oleh Rato Nale, tetapi oleh Rato Adat dari setiap rumah adat dari masing-masing warga kampung. Selain itu ayam ada juga babi dan kerbau yang disembelih. Dalam hal ini kerbau tidak diharuskan ada, kecuali ada seseorang yang ingin merayakan syukuran, maka kerbau akan dibawa oleh yang ingin merayakan syukuran. Hewan-hewan yag disembelih itu dimakan bersama oleh semua warga kampung dan juga para pendatang yang berkunjung ke

(52)

kampung mereka. Penyembelihan hewan-hewan sebagai rasa syukur warga kampung kepada para leluhur bahwa pelaksanaan Pasola telah terlaksana.29

3.2. Nilai-nilai yang terdapat dalam Tradisi Pasola. 3.2.1. Nilai Religius

Nilai religius berhubungan dengan kepercayaan asli orang Sumba yakni kepercayaan marapu. Marapu merupakan kepercayaan masyarakat Sumba terhadap arwah nenek moyang atau para leluhur. Orang Sumba percaya bahwa roh-roh itu dapat memberi berkat maupun hukuman kepada mereka. Selain itu, Marapu dipercaya sebagai mediator manusia dengan Tuhan. Bagi masyarakat Sumba yang menganut kepercayaan Marapu, salah satu cara untuk berdoa atau menyampaikan permohonan kepada Tuhan ialah melalui roh-roh nenek moyang atau para leluhur yang telah mendahului mereka. Oleh karena itu, Pasola tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan asli masyarakat Sumba yakni kepercayaan Marapu. Dikatakan demikian karena dalam pelaksanaan Tradisi Pasola, Rato Adat dan masyarakat setempat akan memohon restu kepada arwah para leluhur, agar pelaksanaan Pasola dapat berjalan dengan lancar.

Selain itu, selama pelaksanaan Pasola berlangsung, jika terjadi pertumpahan darah di arena permainan, melambangkan berkat yang melimpah dari sang pencipta untuk kesuburan tanah panenan dan yang mereka diami.

29

Wawancara dengan bapak Rofinus D Kaleka tanggal 30 Januari 2020 di Tana Kombuka, Kaliki Kambe, Wewewa Barat.

Gambar

Tabel 1. Nama kecamatan, luas wilayah, jumlah desa dan nama-nama desa di
Tabel  di  atas  menunjukkan  nama  kecamatan,  luasan  wilayah,  jumlah  desa  dan  nama-nama  desa  yang  ada  di  Kabupaten  Sumba  Barat  Daya
Tabel  di  atas  menunjukkan  peningkatan  jumlah  Penduduk  Kabupaten  Sumba  Barat  Daya  Tahun  2007-2014,  yang  jika  diamati  di  setiap  wilayah  mengalami  peningkatan  jumlah  penduduk  rata-rata  sebesar  9137.13  orang  atau 1,03%.
Tabel  diatas  menunjukkan  jumlah  sekolah,  murid  dan  guru  di  Kabupaten  Sumba Barat Daya, guna untuk mengetahui berapa saja jumlah sekolah, murid dan  guru yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2007-2013

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

bertempat di Kantor Bagian Pembangunan Setda/ULP Kabupaten Sumba Barat Daya, Pokja Pengadaan Bahan /Bibit Tanaman Pembuatan Reboisasi Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

Kepercayaan Marapu (atau Merapu) adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut

digunakan adalah data hasil survey Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya yang meliputi data kronis filariasis dan data pelaksanaan pengobatan massal putaran

digunakan adalah data hasil survey Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya yang meliputi data kronis filariasis dan data pelaksanaan pengobatan massal putaran

Cakupan pengobatan massal filariasis tahap pertama di Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten sumba Barat Daya tahun 2013 sangat rendah, demikian dengan pengetahuan

Berikut akan dijelaskan gaya bahasa alegori yang terdapat dalam mantra bahasa Kodi-Sumba Barat Daya yakni mantra untuk menyembuhkan orang sakit karena teror

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di kabupaten Sumba Barat Daya sebanyak 46 326 dikelola oleh rumah tangga,

Tutut Subadyo dan Agus Zulkarnain, Konsep “Sumba Localism” Pada Perancangan Pasola Cultural Park di 99 Kabupaten Sumba Barat Daya bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah yang