• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik dan Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Pabrik kelapa sawit (PKS) memiliki karakteristik limbah cair yang berbeda-beda pada setiap tahapan proses produksinya, namun karakter yang ditinjau pada saat masuk unit pengolahan limbah, adalah karakter limbah secara keseluruhan. Limbah cair PKS umumnya bersuhu tinggi, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan kandungan

biological oxygen demand (BOD) yang tinggi.

Tabel 2.1. Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Parameter Mutu Rebusan Ekstraksi Klarifikasi Hidroksiklon

& Boiler Keseluruhan

pH 4,0 – 4,9 3,9 – 4,8 4,5 4,7 – 6,2 3,8 – 4,5 Suhu (0 C) 30 – 88 36 – 77 30.0 30 – 70 30 – 75 Minyak + Gemuk (103 mg/L) 1,1 – 6,1 6,8 – 8,5 7,0 – 8,5 0,8 – 1,6 0,2 – 8,6 TS (103 mg/L) 6,0 – 38,5 31,0 – 47,5 45,8 – 60,0 1,1 – 2,6 11,5 – 67,9 TSS (103 mg/L) 1,3 – 14,3 18,4 – 31,0 24,1 – 35,0 0,3 – 2,0 4,1 – 60,4 BOD (103 mg/L) 5,5 – 27,0 16,8 – 30,0 20,0 0,6 – 3,6 10,3 – 47,5 COD (103 mg/L) 10,3 –52,5 45,0 – 64,0 47,9 – 60,0 20 – 23 15,6 – 53,6 Total P (mg/L) 42 – 320 230 – 330 1000 20 – 26 0 – 110 Total N (mg/L) 60 – 590 450 – 720 Nd 180 – 1820

(Sumber: Tobing, dan Poeloengan, 2000; Herawan Tjahjono, 2009)

Kandungan polutan yang terdapat pada limbah cair tersebut belum memenuhi baku mutu limbah cair, oleh sebab itu perlu ada pengelolaan limbah cair tersebut agar memenuhi baku mutu. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,

(2)

ada 6 (enam) parameter utama yang dijadikan acuan baku mutu limbah cair pabrik kelapa sawit yaitu:

Tabel 2.2. Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Parameter Mutu Satuan Baku Mutu

pH 6 – 9

BOD mg/L 250

COD mg/L 500

TSS mg/L 300

Minyak & lemak Mg/L 30

Nitrogen total Mg/L 20

(Sumber: Bapedal, Kepmen LH Nomor 51/MenLH/10/1995)

2.2. Parameter Utama Yang Diamati

Umumnya parameter kualitas air terbagi kepada parameter fisika dan parameter kimia. Berbeda jenis limbah, maka berbeda pula parameter yang akan diamati dalam penentuan kualitas limbah tersebut. Begitu banyak parameter kualitas limbah cair, tetapi tidaklah semua parameter tersebut harus diamati pada setiap jenis limbah, tergantung kepada jenis industrinya. Namun ada beberapa parameter yang selalu terdapat dalam baku mutu, antara lain: warna, turbiditas, Total Suspended Solid (TSS), dan Chemical Oxygen Demand (COD).

Chemical Oxygen Demand (COD)

Tujuan penggunaan nilai BOD sebenarnya adalah untuk mengetahui kuantitas bahan organik yang terdapat dalam air atau pun limbah cair, namun sayangnya nilai BOD masih memiliki banyak kelemahan dan belum dapat mempresentasikan kandungan bahan organik yang sebenarnya. Nilai BOD hanya menggambarkan keadaan kuantitas bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis seperti

(3)

lemak, protein, karbohidrat dan sebagainya. Jadi nilai BOD hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut (Effendi, 2003; Kristanto, 2004). Ada cara lain yang lebih cepat dan lebih akurat selain uji BOD, yaitu uji COD, yang didasarkan atas reaksi kimia dari suatu bahan oksidator.

Uji COD merupakan suatu uji untuk menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan (biasanya K2Cr2O7 atau KMnO4) untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang ada di dalam air. Nilai COD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang bersifat biodegradable maupun non biodegradable menjadi CO2 dan H2O. Persamaan reaksi oksidasi yang terjadi yaitu;

CnHaOb + c Cr2O7 -2 + 8c H+ → n CO2 + (a + 8c)/2 H2O + 2c Cr -3 (2.3) dimana c = 2/3 n - a/6 – b/3

Kekeruhan (turbidity)

Kekeruhan merupakan salah satu sifat fisik air yang disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (seperti lumpur, pasir) dan juga bahan organik dan anorganik yang berupa sisa tanaman, plankton dan mikroorganisme (APHA, 1976; Suharta, 2005). Biasanya kekeruhan berkorelasi positif dengan padatan tersuspensi (Kristanto, 2004).

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yaitu menunjukkan banyaknya cahaya yang diserap dan yang dipancarkan oleh bahan-bahan penyebab kekeruhan air.

(4)

Pengukuran kekeruhan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas yang setara dengan 1 mg/L SiO2. Satuan turbiditas pertama kali dinyatakan dalam JTU (Jackson Turbidity

Unit) dengan cara membandingkan air sampel dengan standar. Satuan yang baku saat

ini adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) yaitu dengan cara melewatkan cahaya melalui sampel, dan cahaya yang dipantulkan diukur. Sawyer dan Mc Carty (1978) mengatakan bahwa 40 JTU setara dengan 40 NTU.

Padatan Tersuspensi Total (Total Suspended Solid atau TSS)

Sebenarnya ada 3 jenis padatan dalam perairan, yaitu padatan terlarut, koloid, dan padatan tersuspensi. Penggolongan ini didasarkan atas ukuran partikel. Padatan terlarut merupakan padatan yang memiliki ukuran partikel rata-rata < 10-6 mm, sedangkan koloid adalah partikel padatan yang berukuran 10-6–10-3 mm, dan padatan tersuspensi adalah partikel padatan yang berukuran > 10-3 mm.

Padatan tersuspensi (TSS) berukuran > 10-3 mm yang tertahan pada kertas saring millipore berdiameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur, pasir halus dan juga jasad-jasad renik, yang terbawa ke dalam limbah cair atau badan air (Kristanto, 2004). TSS berpengaruh kepada nilai kekeruhan dan intensitas warna tampak.

Warna

Pentingnya warna sebagai parameter kualitas air karena pada dasarnya air yang baik adalah air yang tidak berwarna. Munculnya warna dalam suatu sistem perairan diakibatkan karena kehadiran suatu bahan pencemar dalam jumlah tertentu.

(5)

Dalam perairan, warna terbagi menjadi 2 jenis yaitu warna sejati (true colour) dan warna tampak (apparent colour). Warna sejati adalah warna yang disebabkan adanya bahan-bahan kimia terlarut, umumnya berasal dari penguraian zat organik alami yaitu zat humus (asam humik dan asam fulfik), lignin, yang merupakan sekelompok senyawa yang mempunyai sifat-sifat yang mirip. Senyawa-senyawa ini menyebabkan warna pada air sukar dihilangkan, terutama jika konsentrasinya tinggi dan memerlukan pengolahan dengan kondisi operasional yang khusus/berbeda dengan penghilangan warna tampak. Penentuan warna sejati biasanya diawali dengan pemisahan bahan-bahan tersuspensi yang menyebabkan kekeruhan.

Karakteristik warna sejati pada air adalah:

1. Air berwarna kuning terang sampai coklat kemerahan dan relatif jernih.

2. pH air relatif rendah, di bawah 6 (rata-rata 3 – 5) oleh karena itu air dengan pH < 4,5 tidak mengandung alkalinitas.

Karakteristik warna sejati dan sifat-sifat zat humus menyebabkan air berwarna jenis ini sukar untuk diolah. Sifat-sifat zat humus yang terutama dan penting antara lain sebagai berikut:

1. Berat molekul adalah 800 – 50.000

2. Ukuran partikel 90% kurang dari 10 nm, partikel koloid.

3. Partikel warna terdiri dari zat humus yang secara dominan bermuatan negatif 4. Ukuran partikel yang kecil dan muatan negatif yang kuat (Suaib, 1994;

(6)

Warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut tetapi juga disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang menyebabkan kekeruhan (seperti pasir dan tanah), partikel/dispersi halus besi dan mangan dimana oksidanya dapat menyebabkan warna kemerahan dan kecoklatan dalam air, partikel-partikel mikroorganisme (algae/lumut), dan bahan warna yang berasal dari industri (tekstil, pengrajin batik, pabrik kertas, dll), bahan pencelup, cat, pewarna makanan dll.

2.3. Pengolahan LCPKS dengan Reaktor Anaerobik Unggun Tetap (RANUT) Reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT) adalah salah satu sistem pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas, yang dilakukan secara anaerobik dengan kecepatan tinggi dan sangat efisien (Yuliasari, dkk., 2001; DITJEN PPHP, 2006). Keunggulan metode ini antara lain: tidak membutuhkan lahan yang luas, waktu retensi lebih singkat, efisiensi perngolahan sangat tinggi, mudah dalam pengoperasian dan start up, dan dihasilkan biogas sebagai bahan bakar alternatif (Yuliasari, dkk., 2001; DITJEN PPHP, 2006; Erwinsyah, dkk., 2008).

Prinsip kerja RANUT adalah perombakan bahan organik dalam limbah cair menjadi biogas oleh bakteri anaerobik dalam suatu tangki yang berisi support

materials (bahan pendukung) dan hampa oksigen. Bakteri anaerobik akan menempel

pada bahan pendukung tersebut membentuk suatu lapisan film. Dengan begitu konsentrasi bakteri dalam tangki akan sangat tinggi, sehingga perombakan bahan organik dapat berlangsung jauh lebih cepat daripada perombakan pada sistem kolam.

(7)

Proses ini diawali dengan proses pemisahan lumpur/padatan tersuspensi dengan decanter ataupun dissolved air flotation. Tahap ini bertujuan untuk mengurangi kandungan COD, BOD, Nitrogen dan pasir, selain itu juga untuk mengurangi masalah pada proses berikutnya terutama foaming, sedimentasi dan penyumbatan pipa outlet. Hasil dari tahap pemisahan lumpur ini yaitu:

- COD dapat menurun hingga 30-50 %

- Kandungan N dapat menurun hingga 60-70 %

- Kapasitas tangki untuk tahap perombakan menjadi lebih kecil dan kondisi operasi dapat lebih dioptimalkan (Wulfert, dkk., 2000).

Kemudian dilanjutkan dengan perombakan bahan organik pada fasa cair menjadi biogas dalam tangki RANUT selama waktu retensi yang relatif singkat. Pada tahap ini limbah cair dialirkan ke dalam reaktor yang telah berisi bahan pendukung. Ada 2 (dua) tipe tangki perombakan yaitu up flow (aliran ke atas) dan down flow (aliran ke bawah). Tipe up flow lebih sesuai untuk limbah yang mengandung padatan tersuspensi tinggi, sedangkan down flow lebih cocok untuk limbah dengan kadar padatan tersusupensi rendah. Dalam tangki anaerobik ini, bahan organik akan dirombak menjadi biogas dengan kecepatan tinggi (30 kali sistem kolam) dan waktu retensi yang singkat (Erwinsyah, dkk., 2008).

Aplikasi metode ini telah dilakukan pada skala pilot plant dengan menggunakan limbah cair dari PKS Pagar Merbau, PTPN II. Limbah cair yang diambil berasal dari kolam fat pit (komposisi limbah tergantung kondisi proses).

(8)

Reaktor terdiri dari dua digester up flow dan digester down flow. Data teknis pilot

plant dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3. Data Teknis Pilot Plant Tangki RANUT

Tangki Penyimpanan (S1 dan S2) Volume 335 liter/tangki

Digester (D1 dan D2)

Volume total 275 liter/tangki

Volume aktif 250 liter/tangki

Diameter 40 cm

Tinggi total 250 cm

Tinggi unggun tetap 200 cm

Bahan Stainless steel

Pompa

Type Progressing cavity pump

Laju alir 60 l/jam

(Sumber : DITJEN PPHP, 2006)

Hasil penelitian ini mendapati bahwa kira-kira 90 % COD dapat terdegradasi dan dirombak menjadi biogas. Konsentrasi COD pada outlet sekitar 1500-4000 mg/L dan pH 6,5 bahkan lebih (Wulfert, K., dkk., 2000; DITJEN PPHP, 2006).

(Sumber: Wulfert, K, dkk, 2000; DITJEN PPHP, 2006)

(9)

Yuliasari, dkk (2001) telah menggunakan RANUT untuk pengolahan LCPKS dengan tipe down flow. Metode ini beroperasi optimum pada laju alir sebesar 114 L/hari dengan waktu penahanan hidrolis dan laju pembebanan masing-masing 1,7 hari dan 5,5 kg/m3/hari. Efisiensi perombakan yang dihasilkan sebesar 90 % dengan karakteristik limbah yaitu; COD 1173 mg/L, TSS 287 mg/L, dan pH 6,8.

Tabel 2.4. Karakteristik LCPKS Effluent RANUT Tipe Down flow

Umpan Outlet Laju alir (L/hari) COD terlarut (mg/L) TSS (mg/L) pH COD terlarut (mg/L) TSS (mg/L) pH Produksi biogas (L/hari) Konsentrasi CH4 (%) 50 11019 1065 5,2 1281 270 7,0 384 64 78 9929 649 4,7 565 238 6,9 589 66 144 9599 988 4,6 1173 287 6,8 766 64 178 11634 1412 4,3 1679 805 6,7 953 59 228 12894 1550 4,4 1753 741 6,6 1493 58 (Sumber : Wulfert, K., dkk., 2000)

Dari beberapa hasil aplikasi RANUT yang ada diketahui bahwa karakteristik limbah cair yang dihasilkan pada outlet belumlah memenuhi baku mutu limbah cair pabrik kelapa sawit, untuk itu perlu ada pengolahan lanjutan. Alternatif yang telah dilakukan adalah memanfaatkan limbah tersebut untuk Land Application System (LAS). Hal ini memerlukan biaya pengangkutan apabila lokasi perkebunan jauh, selain itu juga dapat menimbulkan emisi gas metan ke udara. Apabila tidak digunakan untuk aplikasi lahan, limbah tersebut dapat diolah secara aerobik agar memenuhi baku mutu.

(10)

2.4. Elektrokoagulasi 2.4.1. Definisi

Secara singkat elektrokoagulasi merupakan suatu proses koagulasi kontinyu dengan menggunakan arus listrik searah melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala dekomposisi elektrolit oleh arus listrik (Purwaningsih, 2008). Dalam proses ini akan terjadi proses reaksi oksidasi reduksi. Dalam aplikasinya, elektrokoagulasi (EC) secara lebih luas adalah proses pengolahan air maupun limbah cair yang digunakan untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan berbagai polutan seperti beberapa kation logam yang terlarut dengan melibatkan proses elektrokimia. Proses ini berdasarkan pada prinsip ilmu dimana adanya respon air yang mengandung kontaminan terhadap medan listrik melalui reaksi reduksi dan oksidasi.

2.4.2. Proses Elektrokoagulasi

Elektrokoagulasi menggunakan 2 kutub elektroda (positif dan negatif), sehingga terjadi aliran arus listrik di dalam air limbah. Transfortasi muatan listrik antar fase dapat terjadi pada fase elektrolit dan fase elektroda. Elektrolit yaitu fase tempat muatan listrik dibawa oleh gerakan ion-ion, sedangkan elektroda yaitu fase tempat muatan listrik dibawa oleh gerakan elektron (Alkausar, 2009; Hanupurti, 2008).

Proses elektrokoagulasi melibatkan peristiwa elektrolisis, yaitu peristiwa dimana energi listrik dengan arus searah digunakan untuk menginduksi reaksi redoks

(11)

yang tidak spontan sehingga terjadi dekomposisi material elektroda (anoda) dan elektrolit (Suaib, 1994). Reaksi yang terjadi pada sistem ini yaitu:

Anoda (+) :

1. Logam anoda akan teroksidasi menjadi kation logam:

M → M+n + n e (2.4)

2. Ion OH- dari suatu basa akan mengalami oksidasi membentuk gas oksigen (O2): 4 OH-(aq) → 2 H2O(l) + O2 (g) + 4 e (2.5)

3. Anion-anion lain (SO4-2, SO3-) tidak dapat dioksidasi dari larutan, yang akan mengalami oksidasi adalah H2O membentuk gas oksigen (O2) pada anoda:

2 H2O(l) → 4 H+(aq) + O2 (g) + 4 e (2.6) Katoda (-) :

1. Ion-ion logam yang terdapat dalam larutan akan mengalami reduksi:

M+n + n e → M (2.7)

2. Jika larutan mengandung ion-ion logam alkali dan alkali tanah, maka ion-ion ini tidak dapat direduksi dan yang mengalami reduksi adalah air, dan terbentuk gas hidrogen (H2) pada katoda:

2 H2O(l) + 2 e → 2 OH-(aq) + H2 (g) (2.8) 3. Ion H+ dari suatu asam akan direduksi menjadi gas hidrogen yang akan bebas

sebagai gelembung-gelembung gas:

2 H+(aq) + 2 e → H2 (g) (2.9) Ketika arus searah dialirkan, maka elektron yang mengalir melalui anoda akan diterima oleh material anoda, dan untuk mengalirkan elektron tersebut agar

(12)

sampai ke katoda, maka material anoda akan teroksidasi dengan melepaskan sejumlah elektron (Suaib, 1994; Andrianto, dkk., 2001). Elektron-elektron tersebut mengalir melalui fase elektrolit (air) dan diterima oleh katoda, sehingga dikatoda terjadi reduksi yaitu penyerapan elektron oleh elektrolit dan kontaminan logam. Elektolit pada proses elektrokoagulasi adalah air, maka air lah yang akan terdekomposisi mengalami reduksi dan oksidasi.

Pelarutan dari anoda logam bertujuan untuk memproduksi terus menerus ion-ion logam. Kation logam M+ yang dihasilkan selanjutnya akan bergabung dengan ion OH- yang dihasilkan dari reduksi H2O maupun dari suatu basa, sehingga terjadi koagulasi membentuk endapan M(OH)n. Bila larutan tersebut mengandung koloid maka reaksi pembentukan flok akan segera terjadi (Hanupurti, 2008).

Koloid-koloid umumnya bermuatan negatif. Flok M(OH)n yang mengandung muatan positif selanjutnya akan mendestabilisasi dan menurunkan gaya tolak menolak antar partikel koloid. Lapisan difusi akan mengecil dan memungkinkan bekerjanya gaya tarik menarik antar partikel koloid dengan ion-ion dari elektrolit yang muatannya berlawanan. Diharapkan muatan ini dapat dinetralkan, sehingga terjadi penggumpalan partikel-pertikel polutan yang akhirnya dapat diendapkan.

Dari reaksi di atas, akan dihasilkan gas H2 pada katoda dan O2 pada anoda, dan flok M(OH)n. Adanya gelembung-gelembung gas tersebut menyebabkan flok kotoran yang lebih ringan terangkat ke permukaan. Selanjutnya apabila di dalam limbah terdapat ion-ion logam, maka pada daerah katoda akan terjadi reduksi dari kation menjadi bentuk logam netral yang akan terikat secara fisik dengan flok-flok

(13)

M(OH)n, sehingga ketika flok-flok tersebut telah mencapai berat tertentu untuk dapat mengendap, maka akan mengendap bersama logam-logam dan partikel-pertikel polutan lainnya dengan kecepatan pengendapan tertentu, dan buih akan terpisahkan pada unit filtrasi. Oleh sebab itulah proses ini bisa menurunkan padatan tersuspensi, kekeruhan dan kadar kontaminan lainnya.

(Sumber: Othman Fadhil, dkk, 2006)

Gambar 2.2. Proses Pengikatan Polutan Pada Teknik Elektrokoagulasi.

Proses elektrokoagulasi merupakan suatu proses gabungan yang meliputi banyak fenomena kimia dan fisika. Mekanisme proses elektrokimia dalam sistem air cukup kompleks, secara umum diyakini bahwa ada tiga mekanisme yang mungkin terjadi dalam proses ini, yaitu: elektrokoagulasi, elektroflotasi dan elektro-oksidasi. Pada skala yang lebih besar, biasanya proses elektrokoagulasi limbah disusun meliputi proses equalisasi, elektrokimia, sedimentasi dan proses filtrasi (Sunardi, 2007, dan Susetyaningsih, dkk., 2008).

(14)

2.4.3. Jenis Plat Elektroda

Elektroda dalam proses elektrokoagulasi merupakan perangkat vital karena selain untuk menghantarkan arus listrik ke dalam larutan agar terjadi suatu reaksi perubahan kimia, juga sebagai agen koagulan (anoda). Elektroda tempat terjadi reaksi reduksi disebut katoda, sedangkan tempat terjadinya reaksi oksidasi disebut anoda. Sebuah elektroda bipolar adalah sebuah elektroda yang berfungsi sebagai anoda dari sebuah sel dan katoda bagi sel lainnya (Purwaningsih, 2008).

Dalam sel elektrolisis, secara umum elektroda yang digunakan bersifat inert, karena tidak diinginkan terjadi reaksi pada elektroda, sehingga elektroda lebih tahan lama. Namun bukan berarti logam-logam reaktif tidak dapat digunakan sebagai elektroda (Andrianto, dkk., 2001; Hidayanto, 2004). Dalam teknik elektrokoagulasi logam reaktif digunakan sebagai elektroda terutama anoda, agar dihasilkan agen koagulan. Beberapa material elektroda yang pernah digunakan yaitu; aluminium, besi, stainless steel dan platina. Dengan menggunakan elektroda besi, Fe(OH)n dengan n = 2 atau 3 akan terbentuk pada anoda. Menurut Johanes (1978) mekanisme oksidasi dan reduksi yang terjadi secara simultan pada anoda dan katoda besi adalah:

Mekanisme 1 : Anoda : Fe (s) → Fe+2(aq) + 2 e- (2.10) 4 OH -(aq) → 2 H2O(l) + O2 (g) + 4 e (2.11) Katoda : 6 H2O(l) + 6 e- → 3 H2 (g) + 6 OH-(aq) (2.12) keseluruhan : Fe(s) + 4 H2O(l) → Fe(OH)2 (s) + 3 H2 (g) + O2 (g) (2.13)

(15)

Mekanisme 2 : Anoda : 2 Fe (s) → 2 Fe+3(aq) + 6 e- (2.14) 4 OH -(aq) → 2 H2O(l) + O2 (g) + 4 e (2.15) katoda : 10 H2O(l) + 10 e- → 5 H2 (g) + 10 OH-(aq) (2.16) keseluruhan : 2 Fe (s) + 8 H2O(l) → 2 Fe(OH)3 (s) + 5 H2 (g) + O2 (g) (2.17)

(Sumber: Othman Fadhil, dkk, 2006)

Gambar 2.3. Proses Elektrokoagulasi dengan Elektroda Besi

Aluminium merupakan elektoda yang sering digunakan. Apabila kedua elektroda tersebut adalah logam aluminium yang bersifat amfoter maka pada anoda akan terbentuk Al+3 yang dengan mengatur pH larutan di atas 7 maka akan segera terbentuk senyawa Al(OH)3.

(16)

(Sumber: Sunardi, 2007; Susetyaningsih , dkk., 2008)

Gambar 2.4. Sketsa Rangkaian Proses Elektrokoagulasi dengan Elektroda Al. Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk melihat kinerja teknik elektrokoagulasi ini. Ni`am, dkk (2007) telah melakukan penelitian penyisihan COD dan kekeruhan dari air limbah domestik menggunakan elektroda besi (Fe) dengan variasi kuat arus (3,51 dan 5,62) mA/cm2 dan lama perlakuan (30, 40, 50) menit. Hasil kajian ini diketahui bahwa efluen air limbah sesuai dengan standar baku mutu. Efisiensi penurunan COD dan kekeruhan adalah 65% dan 95% pada kuat arus 5,62 mA/cm2 dan waktu retensi 50 menit. Hasil kajian juga mendapati bahwa elektrokoagulasi dapat menetralkan pH air limbah.

Analisa limbah cair batik menggunakan proses elektrokoagulasi juga telah dilakukan dengan variasi waktu kontak, tegangan listrik, dan jarak antar elektroda. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan konsentrasi TSS sebesar 76,73% dan lemak 87,88% yang terjadi pada menit ke 60, tegangan 25 volt dan jarak elektroda 1,5 cm, dimana pH akhir sebesar 9,5 (Pravitasari, 2008). Masih banyak penelitian lain

(17)

yang juga menerapkan teknik elektrokoagulasi seperti yang dilaporkan oleh Hafni (1996); Halilintar (2008); Ilmiati (2008) dan Herawati (2009).

2.4.4. Kelebihan Teknik Elektrokoagulasi

Penggunaan teknik elektrokoagulasi dalam pengolahan limbah cair sudah banyak dilakukan, walaupun umumnya masih dalam skala laboratorium. Berbagai keunggulan teknik elektrokoagulasi yang dapat diamati dari hasil penelitian adalah: 1. Elektrokoagulasi memerlukan peralatan sederhana dan mudah untuk dioperasikan. 2. Tanpa menggunakan bahan kimia tambahan.

3. Waktu retensi yang diperlukan untuk menurunkan kadar polutan terutama zat organik jauh lebih singkat.

4. Lebih cepat mereduksi kandungan koloid/partikel yang paling kecil, karena medan listrik dalam air akan mempercepat pergerakan mereka pada proses koagulasi. 5. Gelembung-gelembung gas yang dihasilkan pada proses elektrokoagulasi ini dapat

membantu proses flotasi.

6. Dapat memberikan efisiensi proses yang cukup tinggi untuk berbagai kondisi, karena tidak dipengaruhi temperatur.

7. Agen koagulan yang dihasilkan dalam elektrokoagulasi lebih murni.

2.4.5. Kelemahan Teknik Elektrokoagulasi

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa kelemahan dari teknik elektrokoagulasi antara lain:

(18)

1. Tidak dapat digunakan untuk mengolah limbah cair yang mempunyai sifat elektrolit cukup tinggi dikarenakan akan terjadi hubungan singkat antar elektroda. 2. Besarnya reduksi logam berat dalam limbah cair dipengaruhi oleh besar kecilnya

arus listrik searah pada elektroda.

3. Penggunaan listrik yang mungkin mahal jika digunakan dalam kapasitas besar.

2.5. Elektrolisis

2.5.1. Sel dan elektrolisis

Dalam sel, reaksi oksidasi reduksi berlangsung dengan spontan, dan energi kimia yang dihasilkan dari reaksi diubah menjadi energi listrik. Pada elektrolisis, terjadi peristiwa yang sebaliknya, yaitu pemanfaatan arus listrik untuk menghasilkan reaksi oksidasi reduksi yang tidak berlangsung spontan (Takeuchi Yoshito, 2008; Rufiati, 2009) artinya ada pemanfaatan energi listrik untuk menginduksi reaksi oksidasi reduksi.

(Sumber: Rufiati, 2009)

(19)

2.5.2. Hukum Elektrolisis Faraday

Pada awal abad ke-19, Faraday menyelidiki hubungan antara jumlah listrik yang mengalir dalam sel dengan kuantitas kimia yang berubah di elektroda. Pada tahun 1833, Ia menyimpulkan hasil penelitiannya dalam dua hukum.

1. Jumlah zat yang dihasilkan di elektroda sebanding dengan jumlah arus listrik yang mengalir melalui sel.

2. Bila sejumlah tertentu arus listrik melalui sel, jumlah mol zat yang berubah di elektroda adalah konstan tidak bergantung jenis zat. Misalnya, bila kuantitas listrik yang diperlukan untuk mengendapkan 1 mol logam monovalen adalah 96485 C (Coulomb) tidak bergantung pada jenis logamnya (Salomgea.com, 2009).

C (Coulomb) adalah satuan muatan listrik, 1 C adalah muatan yang dihasilkan bila arus 1 A mengalir selama 1 s. Bila 1 mol elektron = 6,02 x 1023 e dan muatan 1 e = 1,6 x 10¯19 C, maka muatan 1 mol e = (6,02 x 1023) x (1,6 x 10¯19) C ≈ 96500 C. Nilai ini disebut dengan konstanta Faraday F = 9,65 x 104 C, yaitu tetapan fundamental listrik atau didefinisikan sebagai kuantitas listrik yang dibawa oleh 1 mol elektron. Sehingga dimungkinkan untuk menghitung kuantitas mol perubahan kimia yang disebabkan oleh aliran arus listrik yang tetap mengalir untuk rentang waktu tertentu.

Akibat aliran arus listrik searah ke dalam larutan elektrolit akan terjadi perubahan kimia dalam larutan tersebut. Lewatnya arus 1 F mengakibatkan oksidasi 1 massa ekivalen suatu zat pada suatu elektroda (anoda) dan reduksi 1 massa ekivalen suatu zat pada elektroda yang lain (katoda).

(20)

w ≈ Q w ≈ I.t

w = e.I.t w = massa zat yang diendapkan (g).

Q = jumlah arus listrik = muatan listrik (C) e = tetapan = (grek : F)

Sebagai syarat berlangsungnya elektrolisis, ion harus dapat bermigrasi ke elektroda. Salah satu cara yang paling jelas agar ion mempunyai mobilitas adalah dengan menggunakan larutan dalam air (Salomgea.com, 2009). Karena dalam kasus proses elektrokoagulasi, ion-ion berada dalam air sebagai elektrolit, sehingga air lebih mudah direduksi dari pada ion aluminum berdasarkan harga potensial reduksi standar sebagaimana yang ditunjukkan di bawah ini.

Al3+ + 3e- → Al E0 = - 1,662 V (2.25) 2 H2O + 2e- → H2 + 2 OH- E0 = - 0,828 V (2.26) Dalam elektrokimia kita mengenal yang disebut deret volta, yaitu deret yang menunjukkan kecenderungan logam-logam yang lebih mudah mengalami reduksi atau oksidasi berdasarkan harga potensial reduksi standar (E0).

K, Ba, Ca, Na, Mg, Al, Zn, Cr, Fe, Cd, Co, Ni, Sn, Pb, (H), Sb, Bi, Cu, Hg, Ag, Pt, Au.

Dengan memakai deret volta, kita memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Logam-logam yang terletak di sebelah kiri H memiliki E0 negatif, sedangkan

(21)

b. Harga E0 logam semakin ke kanan makin besar. Hal ini berarti bahwa logam-logam di sebelah kanan lebih mudah mengalami reduksi (menangkap elektron) atau sukar mengalami oksidasi (melepaskan elektron), begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itulah emas paling sukar teroksidasi.

c. Makin ke kanan, sifat reduktor makin lemah (sukar teroksidasi). Makin ke kiri, sifat reduktor makin kuat (mudah teroksidasi). Itulah sebabnya, unsur-unsur dalam deret volta hanya mampu mereduksi unsur-unsur di sebelah kanannya.

2.6. Koagulasi dan Flokulasi

Koagulasi dan flokulasi merupakan dua proses yang umumnya terdapat dalam pengolahan limbah cair dan air bersih. Kedua proses ini merupakan satu paket yang terjadi berurutan pada satu tahap, yaitu dimulai koagulasi baru flokulasi (Syahputra, B., 2007). Proses lain yang terkadang terjadi bersamaan pada tahap ini yaitu flotasi, sehingga pada tahap ini, umumnya terjadi 3 proses ini, yaitu koagulasi, flokulasi dan flotasi.

Partikel-partikel koloid tidak dapat mengendap sendiri dan sulit ditangani oleh perlakuan fisik, karena partikel-partikel koloid tidak memiliki berat yang cukup untuk mengendap, selain itu partikel-partikel koloid memiliki muatan yang seragam (biasanya bermuatan negatif), sehingga sukar untuk bergabung membentuk agregat yang lebih berat. Menurut Mysels (1959), partikel-pertikel koloid hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui sifat adsorpsi koloid, sehingga partikel tersebut bermuatan negatif. Dengan gaya Van der

(22)

lapisan kokoh (lapisan stern) mengelilingi inti. Selanjutnya lapisan stern yang bermuatan positif ini menarik ion-ion negatif lainnya membentuk lapisan kedua (lapisan difusi). Kedua lapisan ini menyelimuti partikel koloid dan membuatnya stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil tidak mau bergabung membentuk flok, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi atau filtrasi.

Menurut Eckenfelder (1986) dan Suryadiputra (1995), koagulasi adalah proses kimia yang digunakan untuk menghilangkan bahan cemaran yang tersuspensi atau dalam bentuk koloid dengan menambahkan bahan koagulan. Pada koagulasi, terjadi penambahan ion-ion dari bahan koagulan dengan muatan yang berlawanan. Dengan penambahan ion-ion yang muatannya berlawanan, akan terjadi de-stabilisasi partikel koloid. Lapisan difusi akan mengecil dan memungkinkan bekerjanya gaya tarik menarik antar partikel koloid dengan ion-ion dari elektrolit yang muatannya berlawanan. Diharapkan muatan ini dapat dinetralkan, sehingga terjadi penggumpalan (Linggawati, dkk., 2002).

Flokulasi terjadi setelah koagulasi dan biasanya disertai dengan pengadukan lambat pada air limbah. Flokulasi merupakan proses pembentukan agregat yang lebih besar (macroflock) dari gumpalan partikel-partikel koloid (microflok) disertai penggabungan flok-flok tersebut hingga mencapai berat tertentu untuk mengendap.

Adapun flotasi, secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana padatan, cairan atau zat terlarut yang bersifat non-polar mengapung di permukaan larutan dengan menempel pada zat yang bersifat hidrofobik, yang mempunyai berat jenis lebih kecil dari air, misalnya gelembung gas (Karamah dan Bismo, 2008). Pada

(23)

flotasi, separasi dihasilkan oleh gelembung-gelembung gas (diffuser) yang digunakan.

Diffuser yang ditambahkan ke dalam larutan air limbah akan mengalami kontak

dengan partikel-partikel kandungan air limbah, sehingga menghasilkan gaya apung yang cukup besar, yang menyebabkan partikel-partikel tersebut mengapung ke permukaan.

Secara umum, proses koagulasi dilakukan dengan penambahan koagulan seperti Al2SO4 dan PAC. Sampai saat berbagai macam koagulan telah ditemukan baik yang sintetis maupun yang alami. Pada dasarnya, hal yang terpenting dari suatu bahan koagulan adalah kemampuan bahan tersebut untuk menyumbangkan spesi yang berlawanan (biasanya kation) dengan muatan partikel koloid. Berdasarkan hal tersebut, maka teknik elektrokoagulasi merupakan alternatif yang juga bisa digunakan sebagai pengganti proses koagulasi, bahkan bisa digunakan untuk menurunkan kadar kontaminan lain selain padatan tersuspensi. Hal ini dikarenakan pada teknik elektrokoagulasi juga menghasilkan kation-kation yang bisa bertindak sebagai koagulan.

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Tabel 2.2. Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Gambar 2.1. Diagram pilot plant RANUT.
Tabel 2.4. Karakteristik LCPKS Effluent RANUT Tipe Down flow
+5

Referensi

Dokumen terkait

Apakah ada pengaruh positif dan signifikan Current Ratio, Debt to Equity Ratio dan Price to Book Value terhadap Harga Saham pada perusahaan manufaktur sub-sektor makanan dan

User dapat mengetahui nama anggota beserta alamat anggota yang belum mengembalikan buku beserta tanggal buku tersebut harus di kembalikan Sistem harus dapat melakukan

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan CVRP menggunakan algoritma sweep, diperoleh total jarak tempuh kendaraan yaitu 142.9 km

Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menghitung nilai minimum, maksimum, mean, standar deviasi pada variabel independen DPK, CAR, NPL,

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat

Standar dan sasaran kebijakan hak-hak masyarakat adat yang mengacu pada Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, masyarakat

Menurut dari hasil penelitian dari (Aprilia, 2007) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan didapatkan hasil yang berpengaruh secara signifikan terhadap

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif.. 3) Membandingkan hasil wawancara antara guru pondok dengan santri- santri di pondok terkait dengan pembelajaran berbasis