• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang ideal adalah pembangunan yang menempatkan manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang ideal adalah pembangunan yang menempatkan manusia"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang ideal adalah pembangunan yang menempatkan manusia

sebagai subjek, yang berarti pembangunan tersebut ditujukan untuk membangun

manusia sebagai sumber daya untuk mewujudkan kesejahteraan secara merata.

Salah satu definisi pembangunan yang paling banyak diterima yaitu bahwa

pembangunan adalah suatu proses di mana pendapatan per kapita suatu negara

meningkat selama kurun waktu yang panjang. Dengan catatan bahwa jumlah

penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan

distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier, 1995: 7, dalam Kuncoro,

2006: 17). Pembangunan memiliki arti yang sangat luas dan multidimensional,

tidak hanya sekedar upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

peningkatan PDB, tetapi juga mencakup aspek ekonomi, sosial, dan politik. Untuk

menilai keberhasilan dari suatu pembangunan, diperlukan indikator-indikator

yang relevan dan komprehensif.

Berdasarkan aspek dari pembangunan, indikator-indikator tersebut bisa

bersifat fisik, sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu indikator ekonomi, yaitu

indikator moneter yang sering dipergunakan adalah pendapatan per kapita, dengan

(2)

ekonomi. Salah satu faktor yang mendukung performa ekonomi suatu negara

adalah kualitas birokrasi pemerintahan dalam menyediakan barang publik ataupun

pelayanan publik (Akai, et al., 2007).

Menurut Mankiw, et al. (1992) pada penelitian yang dilakukan terhadap

model pertumbuhan Solow di beberapa negara, menunjukkan bahwa akumulasi

modal fisik memiliki dampak yang lebih signifikan daripada teori yang

diungkapkan oleh Solow. Tingkat tabungan yang tinggi akan berdampak pada

tingginya pendapatan pada kondisi mapan. Dengan demikian akan meningkatkan

akumulasi modal insani. Tingginya tingkat tabungan juga akan menyebabkan

meningkatnya total faktor produksi. Selain itu, pertumbuhan penduduk juga

memberikan dampak yang lebih besar daripada teori yang diungkapkan oleh

Solow. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk maka modal fisik yang ada

harus dibagi merata dengan proporsi yang semakin kecil, dengan demikian

pertumbuhan penduduk akan menurunkan total faktor produksi. Mankiw, et al.

(1992) menunjukkan bahwa antara pertumbuhan penduduk dengan pendapatan

perkapita memiliki elastisitas hingga -2. Menurut Mankiw, et al. (1992), adanya

perbedaan pendapatan perkapita antar regional dapat disebabkan karena adanya

faktor yang menyebabkan perbedaan dalam akumulasi modal fisik dan

pertumbuhan penduduk.

Hal berbeda dinyatakan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Vidyattama (2010) atas faktor-faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi provinsi

di Indonesia dari tahun 1985 hingga tahun 2005 dengan proxy yang dipergunakan

(3)

menemukan bahwa investasi tidak signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan

PDRB per kapita. Modal insani (melalui data rata-rata lama sekolah) juga tidak

memberi pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan PDRB per kapita, bahkan

pada provinsi dengan karakteristik tertentu, faktor tersebut sama sekali tidak

memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan PDRB per kapita. Selain itu,

pertumbuhan penduduk juga bukan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap

pertumbuhan PDRB per kapita. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh

positif dari peningkatan jumlah kelahiran dan sekaligus pengaruh negatif dari

peningkatan jumlah migrasi penduduk ke luar provinsi. Sebaliknya, belanja

investasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi signifikan berpengaruh negatif

terhadap pertumbuhan PDRB per kapita. Hal itu terjadi karena alokasi atas

investasi tersebut tidak pada sektor yang dapat memberikan kesetaraan dalam

pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat miskin.

Faktor yang berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan PDRB

per kapita dalam penelitian ini adalah infrastruktur transportasi dan keterbukaan

terhadap pasar, hal ini terjadi karena kedua faktor tersebut membuka peluang yang

sangat luas untuk lalu lintas barang dan jasa keluar masuk provinsi. Dengan

diketahuinya beberapa faktor kunci penyebab pertumbuhan ekonomi provinsi di

Indonesia dari penelitian yang dilakukan Vidyattama (2010), maka perbedaan atas

(4)

Salah satu indikator kemajuan perkonomian suatu negara/daerah adalah

pertumbuhan ekonomi. Dalam menilai pertumbuhan ekonomi, pendekatan (proxy)

yang dipergunakan adalah pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan tahun

2000 (untuk selanjutnya disingkat menjadi PDRB ADHK 2000). Kemajuan

perekonomian Indonesia merupakan agregat dari kemajuan perekonomian yang

ada di tiap daerah, baik itu provinsi ataupun kabupaten/kota. Setiap daerah

memberikan kontribusi berdasarkan kemampuan dan karakteristik daerahnya

masing-masing terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari tahun 2001

hingga tahun 2013, tiga provinsi penyumbang PDB Nasional terbesar adalah DKI

Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Tahun 2001, Provinsi Jawa Timur adalah penyumbang terbesar kedua

terhadap setelah DKI Jakarta atau sebesar 16,6 persen terhadap PDB Nasional.

Selama periode tahun 2001 hingga tahun 2013, posisi tersebut tidak pernah

berubah. Tahun 2013, kontribusi Provinsi Jawa Timur terhadap PDB Nasional

turun menjadi 16,5 persen. Penurunan kontribusi terhadap PDB Nasional tidak

hanya dialami oleh Jawa Timur. Kontribusi Jawa Barat terhadap PDB Nasional

juga mengalami penurunan yaitu dari 15,2 persen pada tahun 2001 menjadi 15,0

persen pada tahun 2013. Kondisi yang dialami oleh Jawa Timur dan Jawa Barat

ini tidak berlaku pada DKI Jakarta, karena seperti terlihat pada Gambar 1.1 terjadi

peningkatan kontribusi DKI Jakarta terhadap PDB Nasional dari 18,8 persen pada

(5)

Sumber: BPS RI (berbagai tahun terbitan), diolah

Gambar 1.1 Pangsa PDRB ADHK 2000 tiap Provinsi pada Tahun 2001 dan Tahun 2013

Terlepas dari penurunan kontribusi yang dialami oleh Jawa Timur. Satu

informasi yang ingin ditekankan adalah dari tahun 2001 hingga 2013, Provinsi

Jawa Timur secara konsisten terus berada pada posisi kedua penyumbang terbesar

terhadap PDRB ADHK Indonesia. Apabila dilihat dari pertumbuhan ekonominya,

pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur dari tahun 2001 hingga tahun 2013

menunjukkan tren yang positif, seperti yang terlihat pada Gambar 1.2 Dari

Gambar 1.2 tersebut tercatat bahwa pada tahun 2004 dan tahun 2010 hingga 2013,

pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur berada di atas pertumbuhan ekonomi

(6)

Sumber: BPS RI (berbagai tahun terbitan), diolah

Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur dan Nasional Tahun 2001-2013 (dalam persen)

Dari karakteristik konstribusi terhadap PDRB nasional yang selama 12 (dua

belas) tahun konsisten berada pada urutan kedua tertinggi dan pertumbuhan

ekonomi yang cenderung memiliki tren positif, maka dapat dikatakan bahwa Jawa

Timur memiliki kondisi perekonomian yang relatif stabil. Oleh karena itu, akan

sangat relevan untuk mengadakan penelitian dengan laboratoriumnya adalah

Provinsi Jawa Timur, karena kestabilan perekonomian tersebut merupakan

indikasi tidak adanya siklus ekonomi yang signifikan.

Tingkat disparitas pendapatan per kapita dengan menggunakan proxy PDRB

per kapita antarprovinsi di Indonesia berada pada kondisi yang cukup parah.

Walaupun demikian masih terdapat konvergensi kondisional atas disparitas

tersebut. Artinya bahwa provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita yang lebih

rendah cenderung memiliki pertumbuhan PDRB per kapita yang lebih cepat

dibandingkan dengan provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita yang lebih

tinggi (Resosudarmo dan Vidyattama, 2006). Menurut Garcia dan Soelistianingsih

(7)

cenderung memiliki pertumbuhan PDRB per kapita yang lebih cepat

dibandingkan dengan provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita yang lebih

tinggi. Hal itu disebabkan karena provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita

yang lebih rendah memperoleh dampak yang lebih besar atas pembangunan

ekonomi seperti misal dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.

Disparitas pendapatan per kapita antarprovinsi telah menjadi isu yang

krusial di Indonesia sejak tahun 1990-an. Sejak saat itu daerah tertinggal

menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat dan menuntut pembagian

dana transfer maupun otoritas yang lebih luas dalam membangun daerahnya

masing-masing. Perubahan drastis pada bidang politik terjadi beberapa tahun

setelah krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami perubahan sistem

pemerintahan dari sistem terpusat menjadi sistem desentralisasi (Alm, et al., 2001;

Balisacan, et al., 2003). Namun permasalahan disparitas pendapatan per kapita

tetap ada dan masih belum diketahui secara pasti faktor kunci penyebab disparitas

tersebut. Selain itu, disparitas pendapatan per kapita paling banyak ditemui

dengan tingkat disparitas tinggi pada negara-negara berkembang (Balisacan dan

Fuwa, 2003).

Provinsi Jawa Timur terdiri atas 29 kabupaten dan 9 kota dengan berbagai

karakteristiknya masing-masing. Distribusi PDRB per kapita ADH Konstan

(8)

Tabel 1.1

Koefisien Variasi dan PDRB Per Kapita ADH Konstan (dalam ribu rupiah) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001, 2004, 2007, 2010, dan 2013 No Kabupaten/Kota 2001 2004 2007 2010 2013 1 Kabupaten Pacitan 2.044 2.081 2.344 2.857 3.411 2 Kabupaten Ponorogo 2.586 2.834 3.181 3.888 4.609 3 Kabupaten Trenggalek 3.084 3.356 3.747 4.538 5.407 4 Kabupaten Tulungagung 5.166 5.809 6.604 7.891 9.454 5 Kabupaten Blitar 3.401 3.710 4.224 5.112 6.042 6 Kabupaten Kediri 3.572 3.876 4.288 5.080 6.037 7 Kabupaten Malang 3.738 4.453 5.046 5.946 7.136 8 Kabupaten Lumajang 4.154 4.569 5.229 6.316 7.494 9 Kabupaten Jember 3.370 3.683 4.242 4.943 5.949 10 Kabupaten Banyuwangi 4.670 5.216 5.848 7.065 8.538 11 Kabupaten Bondowoso 2.972 3.235 3.702 4.262 5.023 12 Kabupaten Situbondo 3.835 4.139 4.719 5.426 6.454 13 Kabupaten Probolinggo 4.303 4.700 5.260 6.144 7.252 14 Kabupaten Pasuruan 2.865 3.379 3.834 4.478 5.355 15 Kabupaten Sidoarjo 8.739 10.906 11.962 13.382 15.628 16 Kabupaten Mojokerto 5.430 5.770 6.380 7.682 9.164 17 Kabupaten Jombang 3.498 3.852 4.340 5.250 6.252 18 Kabupaten Nganjuk 3.437 3.621 4.129 5.193 6.204 19 Kabupaten Madiun 3.190 3.462 3.926 4.630 5.507 20 Kabupaten Magetan 3.692 3.847 4.480 5.265 6.299 21 Kabupaten Ngawi 2.797 2.716 3.070 3.812 4.589 22 Kabupaten Bojonegoro 3.255 3.485 3.922 4.881 5.905 23 Kabupaten Tuban 4.466 4.836 5.813 6.904 8.473 24 Kabupaten Lamongan 3.315 3.539 4.003 5.244 6.396 25 Kabupaten Gresik 8.489 10.371 11.860 13.845 16.391 26 Kabupaten Bangkalan 2.936 2.885 3.067 3.776 4.403 27 Kabupaten Sampang 2.562 2.674 2.759 3.301 3.787 28 Kabupaten Pamekasan 2.074 2.171 2.326 2.720 3.151 29 Kabupaten Sumenep 3.415 3.631 3.942 4.669 5.515 30 Kota Kediri 62.324 66.874 72.905 81.603 98.092 31 Kota Blitar 4.817 5.594 6.455 7.448 8.813 32 Kota Malang 11.745 12.802 14.835 17.082 20.643 33 Kota Probolinggo 6.511 7.028 8.107 9.736 10.988 34 Kota Pasuruan 4.139 4.553 5.148 5.979 7.005

(9)

Lanjutan Tabel 1.1 No Kabupaten/Kota 2001 2004 2007 2010 2013 35 Kota Mojokerto 6.882 7.601 8.786 10.180 12.091 36 Kota Madiun 8.850 8.670 10.118 12.346 15.162 37 Kota Surabaya 19.624 22.602 26.896 31.689 38.675 38 Kota Batu 4.976 5.405 6.066 7.505 9.236 Koefisien Variasi 1,56 1,54 1,50 1,43 1,44 Sumber: BPS RI dan BPS Provinsi Jawa Timur (berbagai tahun terbitan), diolah

Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita yang dalam hal ini

menggunakan proxy PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa

Timur memiliki nilai yang bervariasi. Tahun 2013, PDRB per kapita tertinggi

terdapat pada Kota Kediri sebesar Rp98.092 ribu dan PDRB per kapita terendah

terdapat pada Kabupaten Pamekasan sebesar Rp3.151 ribu.

Kedua nilai PDRB per kapita tersebut menunjukkan adanya disparitas yang

sangat tinggi. Tahun 2001 hingga tahun 2013 cenderung tidak ada perubahan, dari

38 kabupaten/kota tersebut, hanya 8 kabupaten/kota yang memiliki PDRB per

kapita di atas PDRB per kapita Provinsi Jawa Timur. Kedelapan kabupaten/kota

tersebut yaitu Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Kediri, Kota Malang,

Kota Probolinggo, Kota Mojokerto, Kota Madiun, dan Kota Surabaya (lihat

(10)

Sumber: BPS RI (berbagai tahun terbitan), diolah

Gambar 1.3 PDRB ADHK per kapita Kabupaten/Kota dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 dan Tahun 2013 (dalam ribu rupiah)

Meskipun Provinsi Jawa Timur secara konsisten merupakan penyumbang

PDRB Indonesia terbesar kedua dari tahun 2001 hingga tahun 2013 dan memiliki

tren pertumbuhan ekonomi positif, namun antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa

Timur itu sendiri terdapat disparitas PDRB per kapita yang sangat tinggi. Secara

keseluruhan dari tahun 2001 hingga tahun 2013 terjadi penurunan koefisien

variasi (lihat Tabel 1.1). Akan tetapi, pada tahun 2010 hingga tahun 2013 nilai

koefisien variasi cenderung meningkat dari 1,43 menjadi 1,44. Hal ini berarti telah

terjadi peningkatan variasi data PDRB per kapita ADHK dari tahun 2010 ke tahun

(11)

merupakan bukti awal adanya peningkatan disparitas pendapatan per kapita,

dengan demikian pada periode tersebut tidak terjadi konvergensi sigma (Kuncoro,

2015: 287-289).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Permana (2014) membuktikan secara

empiris bahwa terdapat disparitas pendapatan per kapita antarkabupaten/kota di

Provinsi Jawa Timur. Dengan menggunakan tipologi Klaassen ditemukan bahwa

daerah dengan kategori cepat tumbuh dan maju/kaya adalah Kota Kediri, Kota

Malang, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Mojokerto,

Kota Batu, dan Kota Probolinggo. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan

bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan pangsa sektor industri

pengolahan menjadi dua faktor yang signifikan berpengaruh terhadap tingkat

disparitas di Provinsi Jawa Timur.

Secara magnitude terdapat disparitas yang sangat tinggi antarkabupaten/kota

di Provinsi Jawa Timur. Namun, apabila dilihat dari laju pertumbuhan PDRB per

kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, terlihat bahwa kabupaten/kota

dengan PDRB per kapita di bawah PDRB per kapita provinsi memiliki laju

pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota dengan

PDRB per kapita di atas PDRB per kapita provinsi. Hal ini menjadi indikasi

terjadinya konvergensi (Solow, 1956). Sebagai contoh, laju pertumbuhan PDRB per kapita Kabupaten Sumenep lebih tinggi daripada laju pertumbuhan PDRB per

(12)

Tabel 1.2

Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita ADH Konstan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2013 (dalam persen)

No Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB per Kapita No Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB per Kapita 1 Kabupaten Pacitan 4,36 20 Kabupaten Magetan 4,55 2 Kabupaten Ponorogo 4,94 21 Kabupaten Ngawi 4,21 3 Kabupaten Trenggalek 4,79 22 Kabupaten Bojonegoro 5,09 4 Kabupaten Tulungagung 5,17 23 Kabupaten Tuban 5,48 5 Kabupaten Blitar 4,90 24 Kabupaten Lamongan 5,63 6 Kabupaten Kediri 4,47 25 Kabupaten Gresik 5,64 7 Kabupaten Malang 5,54 26 Kabupaten Bangkalan 3,43 8 Kabupaten Lumajang 5,04 27 Kabupaten Sampang 3,31 9 Kabupaten Jember 4,85 28 Kabupaten Pamekasan 3,55 10 Kabupaten Banyuwangi 5,16 29 Kabupaten Sumenep 4,08

11 Kabupaten Bondowoso 4,47 30 Kota Kediri 3,85

12 Kabupaten Situbondo 4,43 31 Kota Blitar 5,16

13 Kabupaten Probolinggo 4,44 32 Kota Malang 4,81 14 Kabupaten Pasuruan 5,35 33 Kota Probolinggo 4,46 15 Kabupaten Sidoarjo 4,96 34 Kota Pasuruan 4,48 16 Kabupaten Mojokerto 4,46 35 Kota Mojokerto 4,81

17 Kabupaten Jombang 4,96 36 Kota Madiun 4,59

18 Kabupaten Nganjuk 5,05 37 Kota Surabaya 5,82

19 Kabupaten Madiun 4,66 38 Kota Batu 5,29

Sumber: BPS RI dan BPS Provinsi Jawa Timur (berbagai tahun terbitan), diolah

Dalam ranah spasial, semakin dekat jarak antardaerah, maka ineteraksi yang

terjadi akan semakin kuat (Tobler, 1970, dalam Lee dan Wong, 2001: 78-79).

Dengan demikian seharusnya terjadi hubungan saling melengkapi

antarkabupaten/kota, sehingga kabupaten/kota yang dekat dengan kabupaten/kota

maju/kaya akan mendapatkan dampak positif pertumbuhan ekonomi (Akai, et al.,

2007; Kubis, et al., 2007). Provinsi Jawa Timur terdiri atas 29 kabupaten dan 9

(13)

kawasan timur, merupakan wilayah yang menarik untuk diteliti bagaimana pola

spasial efek limpahan pertumbuhan antarkabupaten/kota yang terjadi.

1.2 Keaslian Penelitian

Rangkuman atas penelitian tentang kutub pertumbuhan, efek limpahan, dan

interaksi spasial yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.3 di bawah ini.

Tabel 1.3

Hasil Penelitian Terkait Kutub Pertumbuhan, Efek Limpahan, dan Interaksi Spasial No

Nama Peneliti /

Tahun

Judul Lokasi Metode Hasil

1 Simionescu (2014) The Beta-Convergence Analysis And Regional Disparities in EU-28 Uni Eropa (EU-28), 1980-2005 Spatial Lag Model (SLM) dan Spatial Error Model (SEM) Konvergensi antar negara EU-28 pada periode tahun 2001-2012 adalah tidak signifikan. 2 Dobrescu dan Dobre (2014) Growth Poles: Related Concepts

Studi literatur Berbagai konsep dan definisi terkait kutub pertumbuhan. 3 Permana (2014) Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Di Provinsi Jawa Timur Tahun 1983-2012 Jawa Timur, 1983-2012 Tipologi Klaassen, dan OLS (Ordinary Least Square) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan pangsa sektor industri pengolahan menjadi dua faktor yang signifikan berpengaruh terhadap tingkat disparitas di Provinsi Jawa Timur. 4 Kireyeva dan Yespayev (2014) A Study of the Formation of Innovative Kazakhstan, 2008-2012 Indeks performa ekonomi dan Kutub pertumbuhan di Kazakhstan pada tahun 2008 hingga

(14)

Lanjutan Tabel 1.3 No

Nama Peneliti /

Tahun

Judul Lokasi Metode Hasil

5 Vidyattama (2013)

Regional Convergence And The Role Of The Neighbourhood Effect In Decentralised Indonesia Indonesia, 1999-2008 Indeks Wiliamson, Spatial Autoregressive Lag Model (SAR) dan Spatial Autoregressive Error Model (SEM) Terjadi peningkatan yang tidak signifikan pada disparitas PDRB antarprovinsi dan konvergensi yang signifikan pada IPM antarprovinsi. Terdapat efek ketetanggaan (neighbourhood effect) terhadap fluktuasi pertumbuhan ekonomi di Aceh dan Papua. 6 Pamungkas (2013) Efek Limpahan dari Kutub-Kutub Pertumbuhan Wilayah Kabupaten dan Kota di Koridor Ekonomi Sulawesi Sulawesi, 2007-2011 Formulasi Capello (2009), Indeks Moran, Lisa, dan Fungsi Diskriminan Berdasarkan pertumbuhan pendapatan per kapita, daerah dengan kategori kutub pertumbuhan adalah Makasar, Sidenreng, Rappang, Wajo, Soppeng, Pinrang, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Gorontalo, Morowali, Banggai, Buton, dan Wakatobi. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kutub pertumbuhan adalah jumlah IBS, jumlah tenaga kerja, dan faktor modal.

(15)

Lanjutan Tabel 1.3 No

Nama Peneliti /

Tahun

Judul Lokasi Metode Hasil

7 Stoyanov dan Zubanov (2012) Productivity Spillovers Across Firms through Worker Mobility Denmark, 1995-2007 I-O perusahaan dan tenaga kerja Tenaga kerja terampil dengan keahlian tertentu yang berasal dari perusahaan dengan produktivitas tinggi signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan dengan produktivitas yang lebih rendah. 8 Wang (2011) Chinese Regional Unemployment: Neighborhood and Spillover Effects Cina, 1995-2009 Spatial Lag Model (SLM) dengan menggunakan dua buah matrik penimbang spasial Interaksi yang terjadi antardaerah maupan efek limpahan yang terjadi akan berpengaruh signifikan terhadap mobilitas tenaga kerja di daerah tersebut. 9 Ke (2010) Agglomeration, Productivity, and Spatial Spillovers Across Chinese Cities

Cina, 2005 Spatial Lag Model (SLM) dan Spatial Error Model (SEM) Konsentrasi spasial industri memberikan dampak yang signifikan terhadap tingkat produktivitas pada kota industri besar dan kota tetangga. Peningkatan produktivitas karena konsentrasi industri ini mendorong adanya aglomerasi yang lebih luas.

(16)

Lanjutan Tabel 1.3 No

Nama Peneliti /

Tahun

Judul Lokasi Metode Hasil

10 Capello (2009) Spatial Spillovers and Regional Growth: A Cognitive Approach Eropa, 1995-2002 Formulasi efek limpahan pertumbuhan, Spatial Autoregressive Lag Model (SAR), Spatial Autoregressive Error Model (SEM), dan GIS Formulasi yang dipergunakan hanyalah untuk menunjukkan keberadaan dari efek limpahan pertumbuhan, tapi tidak ada jaminan bahwa hasil perhitungan tersebut menunjukkan ikatan antardaerah dalam ranah spasial 11 Geppert dan Stephan (2008) Regional Disparities in the European Union: Convergence and Agglomeration Uni Eropa, 1980-2000 Estimasi densitas Kernel, analisis rantai Markov, dan OLS (Ordinary Least Square) Disparitas antarnegara tetap ada karena adanya aglomerasi ekonomi yang menarik aktivitas ekonomi dengan tingkat pendapatan yang tinggi ke daerah metropolitan. 12 Kuncoro (2001) Regional Clustering of Indonesia’s Manufacturing Industry: A Spatial Analysis with Geographic Information System (GIS) Indonesia, 1976-1995 Analisis spasial berbasis GIS Surabaya telah berevolusi menjadi kota industri dan pelabuhan besar, sehingga banyak industri bermunculan disekitar Surabaya yaitu Sidoarjo, Gresik, Kota Mojokerto, Pasuruan, dan Malang.

Kesamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah

pada penggunaan alat analisisnya, yaitu Tipologi Klaassen dan penggunaan

(17)

Perbedaan dan keunikan dengan penelitian sebelumnya yang utama adalah pada

lokasi penelitian yang mengambil kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa

Timur pada periode tahun 2001-2013. Selain perbedaan wilayah, pada penelitian

ini juga akan dilakukan identifikasi kutub pertumbuhan berdasarkan definisi yang

dikemukakan oleh Richardson (1978: 164-165). Penelitian sebelumnya yaitu yang

dilakukan oleh Pamungkas (2013) dalam mengidentifikasi kutub pertumbuhan di

Koridor Ekonomi (KE) Sulawesi menggunakan pendekatan dengan mangadopsi

metode berdasarkan sebaran data tendensi sentral.

1.3 Rumusan Masalah

Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa pembangunan

dapat dikatakan berhasil ketika terjadi peningkatan pendapatan per kapita dan juga

tidak terjadi peningkatan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan

absolut, serta distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier, 1995: 7 dalam

Kuncoro, 2006: 17). Sejalan dengan teori tersebut, pertumbuhan PDRB per kapita

dari tahun 2001 hingga 2013 terus meningkat, koefisien variasi dari tahun 2001

hingga tahun 2013 juga cenderung menurun. Namun, secara magnitude masih

terdapat ketimpangan yang sangat tinggi pada PDRB per kapita

antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

Selain itu, pada tahun 2001 hingga tahun 2013 hanya tercatat 7 (tujuh)

(18)

Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka beberapa pertanyaan penelitian yang

dikemukan adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana tipologi kabupaten/kota berdasarkan pertumbuhan dan PDRB per

kapita?

2. Dimanakah lokasi kutub pertumbuhan menurut kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Timur?

3. Apakah kabupaten/kota yang dikategorikan sebagai kutub pertumbuhan

memberikan efek limpahan (spillovers effect) terhadap wilayah disekitarnya?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis tipologi kabupaten/kota berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan

PDRB per kapita.

2. Mengidentifikasi kutub pertumbuhan di Provinsi Jawa Timur.

3. Menganalisis efek limpahan dari kutub pertumbuhan terhadap wilayah

disekitarnya.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Menambah wawasan bagi yang membacanya.

2. Tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, terutama pada topik

(19)

3. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam

melakukan perencanaan atau menetapkan kebijakan daerah.

.

1.6 Sistematika Penelitian

Tesis ini terdiri atas 5 bab dengan urutan sebagai berikut. Bab I menyajikan

pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, keaslian penelitian, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini

merupakan fundamental dari ide dan pemikiran perihal topik penelitian yang

dilakukan. Bab II menyajikan survei literatur, yang berisi teori yang berkaitan

dengan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, disparitas, kutub pertumbuhan

(growth pole), efek limpahan (spillover effects) dan autokorelasi spasial. Bab ini

juga berisi tentang review akan penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki

kaitan konsep, ide, ataupun motodologi dengan penelitian yang sedang dilakukan.

Bab III menyajikan metode penelitian, yang berisi tentang uraian desain penelitian

yang dilakukan, metode pengumpulan data, metode sampling, definisi operasional

dari variabel yang diteliti, instrumen penelitian dan alat analisis yang

dipergunakan dalam penelitian. Pada bab ini juga dijelaskan alat-alat analisis yang

dipergunakan dalam mengidentifikasi tipologi kabupaten/kota, kutub

pertumbuhan, menghitung efek limpahan, dan mendeteksi autokorelasi spasial.

Bab IV merupakan analisis yang memaparkan hasil penelitian disertai dengan

Gambar

Gambar 1.1 Pangsa PDRB ADHK 2000 tiap Provinsi pada Tahun 2001 dan Tahun 2013
Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur dan Nasional Tahun 2001-2013  (dalam persen)
Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita yang dalam hal ini  menggunakan  proxy  PDRB  per  kapita  antarkabupaten/kota  di  Provinsi  Jawa  Timur  memiliki  nilai  yang  bervariasi
Gambar 1.3 PDRB ADHK per kapita Kabupaten/Kota dan Provinsi Jawa Timur  Tahun 2001 dan Tahun 2013 (dalam ribu rupiah)

Referensi

Dokumen terkait

Asumsi substantive penelitian ini adalah anggapan bahwa buku ajar yang disubsidi pemerintah jumlahnya masih terbatas dengan penyajian materi yang masih dangkal dan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji peningkatan hasil belajar biologi pada materi sistem saraf dengan strategi pembelajaran

The finding of this research can reflect the teaching English of vocabulary by using the technique and strategies when the students get the difficulties in learning

Pada hari ini Selasa tanggal Dua Puluh Lima bulan September Tahun Dua Ribu Dua Belas, kami yang bertanda tangan dibawah ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Bina Marga

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor apa yang mempegaruhi pertumbuhan post traumatic growth yaitu pengalaman perubahan positif yang timbul dari

1) Menurut (Nitisemito dalam Nuraini 2013:97), Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar karyawan dan dapat mempengaruhi dalam menjalankan tugas yang diembankan

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional :

Secara umum, baik berdasarkan hasil dari angket maupun wawancara yang dilakukan, minat mahasiswa terhadap bidang otomotif mempengaruhi ketertarikan mahasiswa konsentrasi