• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PERANCANGAN STANDARD OPERATING PROCEDURES

PENGELOLAAN

DENGAN METODE

DI

JINGGA NUANSA

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

STANDARD OPERATING PROCEDURES

PENGELOLAAN PASCA PANEN DAUN KUMIS KUCING

METODE PLAN DO CHECK ACTION (PDCA)

DI KLASTER BIOFARMAKA

KARANGANYAR

Skripsi

JINGGA NUANSA NARWASTUJATI

I0308050

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2013

STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP)

DAUN KUMIS KUCING

(PDCA)

(2)

ABSTRAK

Jingga Nuansa Narwastujati, NIM : I0308050, PERANCANGAN STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP) PENGELOLAAN PASCA PANEN DAUN KUMIS KUCING DENGAN METODE PLAN DO CHECK ACTION (PDCA) DI KLASTER BIOFARMAKA KARANGANYAR. Skripsi. Surakarta : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Februari 2013.

Penelitian ini bertujuan untuk merancang Standard Operating Procedures (SOP) proses pasca panen Kumis Kucing yang dapat diterapkan di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Selama ini para petani di klaster melakukan pengelolaan pasca panen, khususnya untuk Daun Kumis Kucing belum dengan prosedur standar atau hanya berdasarkan pengalaman mereka. Hal ini menyebabkan kualitas simplisia yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas. Standar kualitas tersebut antara lain adalah kadar air maksimal 10% dan tidak mengandung serangga.

SOP ini dibuat dengan melihat proses penanganan pasca panen tanaman obat Daun Kumis Kucing di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu. Untuk perancangan dan penyusunan SOP tersebut, digunakan metode Plan Do Check Action (PDCA). Metode atau siklus PDCA juga disebut dengan Deming cycle, Shewhart cycle,

Deming wheel, atau Plan–Do–Study–Act (PDSA). Metode ini merupakan

penyusunan langkah-langkah perbaikan dengan menggunakan macam-macam tools kualitas atau biasa disebut dengan Seven tools. PDCA ini digunakan dalam upaya perbaikan dan implementasi SOP agar berjalan secara terus menerus (continuous improvement) untuk mempertahankan kualitas proses dan produk pasca panen. Hasil dari penelitian ini ialah prosedur standar untuk meningkatkan kualitas proses dan produk pasca panen khususnya simplisia tanaman Kumis Kucing di Klaster Biofarmaka Karanganyar.

Kata kunci: Daun Kumis Kucing, Klaster Biofarmaka, Pasca panen, PDCA, Simplisia, SOP, Tanaman obat

(3)

ABSTRACT

Jingga Nuansa Narwastujati, NIM : I0308050, DESIGNING STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP) OF AFTER-HARVEST KUMIS KUCING PLANT USING PLAN. DO. CHECK, ACTION (PDCA) IN KARANGANYAR BIOFARMAKA CLUSTER. Skripsi. Surakarta : Departement of Industrial Engineering Faculty of Engineering, Sebelas Maret University, February 2013.

This research has aim to design Standard Operating Procedures (SOP) of after-harvest Kumis Kucing Plant which can be implemented in Karanganyar Biofarmaka Cluster. For all the time, farmers in this cluster manage after-harvest activity with their own experiences and neglecting the use of standard procedures. However, the quality of dried slice does not conform with standard of quality. Those standard qualities for dried slice are the maximum moisture content 10% and not bugs containing.

This SOP is designed by observing after-harvest process of Kumis Kucing Plant in Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu. This SOP used Plan Do Check Action (PDCA) method. This method or PDCA cycle also called as Deming cycle, Shewhart cycle, Deming wheel, or Plan–Do–Study–Act (PDSA). This method conducts the improvement by using quality tools or usually it called Seven Tools. PDCA has effort for improving and applying the SOP to develop continuous improvement of after-harvest quality in its process and product. The result of this research is standard procedures to improve process and product qualities of after-harvest, especially dried slice of Kumis Kucing Plant in Karanganyar Biofarmaka Cluster.

Keywords: Kumis Kucing Plant, Biofarmaka Cluster, After-harvest, PDCA, Dried

slice, SOP, Plant medicne

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan

masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian yang telah dilakukan, serta sistematika penulisan untuk menyelesaikan penelitian.

1.1 LATAR BELAKANG

Kabupaten Karanganyar sangat potensial untuk mengembangkan sektor

pertanian karena sebagian besar wilayahnya masih didominasi oleh lahan-lahan pertanian. Salah satunya ialah pertanian tanaman obat. Tanaman obat di

Kabupaten Karanganyar memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Melihat kondisi tersebut, maka dibentuklah

Klaster Biofarmaka Karanganyar yang terdiri atas 10 Gapoktan dari 6 kecamatan di Karanganyar, yaitu Kecamatan Jumantono, Jumapolo, Jatipuro, Ngargoyoso,

Mojogedang dan Kerjo.

Komoditas utama klaster ini ialah tanaman obat yang berasal dari rimpang.

Tanaman obat selain rimpang masih sekadar untuk memenuhi kebutuhan petani sendiri. Tanaman obat misalnya yang berasal dari daun sebenarnya memiliki potensi yang sama. Salah satunya adalah Daun Kumis Kucing. Daun ini memiliki

banyak khasiat, seperti di Indonesia daun ini digunakan sebagai obat yang

memperlancar pengeluaran air kemih (diuretik), penyembuhan batuk, encok, masuk angin, sembelit, pengobatan radang ginjal, batu ginjal, kencing manis, dan

albuminuria (Rukmana, 2000). Walaupun banyak manfaatnya, tanaman ini belum

banyak dibudidayakan secara intensif. Di klaster juga belum ada kebijakan untuk mengembangkan tanaman tersebut, dikarenakan budidaya Kumis Kucing yang

secara monokultur dianggap menyebabkan produktivitas tanaman dan tingkat pendapatan rendah. Padahal, Daun Kumis Kucing ini dapat menambah potensi

(5)

dan peluang klaster untuk lebih mengembangkan keanekaragaman dan pemasaran

produk biofarmakanya.

Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat

Tradisional atau B2P2TO-OT (2011), daun ini memiliki prospek ekonomi yang cukup menjanjikan. Jika dihitung berdasarkan tingkat produktivitas minimalnya yaitu 6 ton/Ha/tahun dengan harga simplisia Rp 6.000,-/kg maka akan

menghasilkan Rp 36.000.000,-/Ha/tahun. Selain melihat prospek ekonominya, dari segi potensi pasar menurut Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik atau

Balittro (2009), daun ini biasa dipasarkan untuk industri farmasi dan jamu, sedangkan ekspornya ditujukan ke negeri Belanda, Jerman, Eropa Barat dan

Amerika Serikat. Permintaan simplisia Kumis Kucing menurut Trubus (2009), untuk industri obat tradisional lokal pada tahun 2009 sebanyak 10 ton/tahun dan

berfluktuasi setiap tahunnya. Namun, suatu produk biofarmaka yang akan dipasarkan baik dalam bentuk segar, serbuk, maupun simplisia harus memenuhi

standar kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Ketiga hal tersebut selain ditentukan oleh proses budidayanya, pengelolaan pasca panen juga memegang peranan

penting dalam segi kualitas.

Pengelolaan pasca panen ini meliputi kegiatan penyortiran, pencucian, pengolahan hasil, pengeringan, pengemasan, sampai pada penyimpanan. Kegiatan

pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan menjadi hal yang penting dalam

pengelolaan pasca panen karena dapat berpengaruh terhadap kualitas simplisia. Standar kualitas simplisia menurut Balittro (2009) ialah kadar air maksimal 10% dan tidak terjangkit serangga. Kegiatan pengeringan yang tidak sempurna akan

menyebabkan tingginya kadar air pada simplisia sehingga simplisia mudah busuk dan berjamur. Begitu juga pada kegiatan pengemasan dan penyimpanan, jika

kemasan tidak kedap udara, serta gudang penyimpanan kotor dan lembab maka kadar air simplisia akan meningkat sehingga simplisia mudah berjamur.

(6)

Selama ini beberapa petani yang tertarik dengan budidaya Daun Kumis

Kucing melakukan pengelolaan pasca panen Daun Kumis Kucing hanya berdasarkan pengalaman. Hal ini menyebabkan kualitas simplisia yang dihasilkan

tidak memenuhi standar kualitas. Maka dari itu, perlu disusun suatu pedoman pengelolaan pasca panen yang berisi prosedur standar atau biasa disebut dengan

Standard Operating Procedures (SOP). SOP dibuat dengan melihat proses

penanganan pasca panen tanaman obat Daun Kumis Kucing di B2P2TO-OT Tawangmangu. Untuk perancangan dan penyusunan SOP tersebut, digunakan

metode Plan Do Check Action (PDCA).

PDCA ini merupakan metode problem solving yang terdiri atas empat

langkah proses, yaitu Perencanaan (Plan), Pelaksanaan / Implementasi (Do), Pemeriksaan (Check), dan Tindak Lanjut (Action). PDCA ini digunakan dalam

upaya perbaikan dan implementasi SOP agar berjalan secara terus menerus (continuous improvement) untuk mempertahankan kualitas proses dan produk

pasca panen.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana merancang

Standard Operating Procedures (SOP) dengan metode Plan Do Check Action

(PDCA) yang dapat diterapkan pada pengelolaan pasca panen Daun Kumis

Kucing?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menghasilkan rancangan Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca panen Daun

(7)

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah menstandarkan prosedur untuk meningkatkan kualitas proses dan produk pasca panen khususnya tanaman Kumis

Kucing di Klaster Biofarmaka Karanganyar.

1.5 BATASAN MASALAH

Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini ialah :

1. Penyusunan SOP untuk proses produksi simplisia Daun Kumis Kucing. 2. Sampel penelitian dilakukan pada kelompok tani Sumber Rejeki I. 1.6 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang mengenai permasalahan yang akan dibahas, perumusan masalah yang diangkat, tujuan dan manfaat yang

ingin dicapai, batasan masalah, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi landasan teori yang merupakan penjelasan secara terperinci mengenai teori-teori yang digunakan, sebagai landasan pemecahan masalah, serta memberikan penjelasan secara garis besar metode yang

digunakan sebagai kerangka pemecahan masalah. Tinjauan pustaka ini

diambil dari berbagai sumber.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini merupakan gambaran terstruktur tahap demi tahap proses

pelaksanaan penelitian yang digambarkan dalam bentuk flowchart dan tiap tahapnya diberi penjelasan.

(8)

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Bab ini menguraikan data-data yang diperlukan untuk penyelesaian masalah dan cara pengolahan data yang dilakukan untuk mencapai

tujuan penelitian.

BAB V ANALISIS

Bab ini berisi analisis dari pengolahan data sesuai dengan permasalahan

yang dirumuskan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan yang dibahas dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini berisi tentang tinjauan umum tempat studi kasus dan

konsep-konsep teori yang menjadi tinjauan pustaka dalam penulisan laporan.

2.1 TINJAUAN UMUM TEMPAT STUDI KASUS KLASTER

BIOFARMAKA

Kabupaten Karanganyar sangat potensial untuk mengembangkan pertanian karena sebagian besar wilayahnya masih didominasi oleh lahan-lahan pertanian. Sektor pertanian sendiri memiliki kontribusi sebesar 21% terhadap PDRB

kabupaten Karanganyar. Salah satu pertanian yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan ialah tanaman obat. Terdapat banyak jenis tanaman obat di

Kabupaten Karanganyar yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, namun belum dimanfaatkan secara optimal.

Melihat kondisi tersebut maka dibentuklah Klaster Biofarmaka Karnganyar. Klaster Biofarmaka Karanganyar ini terdiri atas 10 Kelompok Tani dari 6

kecamatan di Karanganyar, yaitu Kecamatan Jumantono, Jumapolo, Jatipuro, Ngargoyoso, Mojogedang dan Kerjo. Berikut visi dan misi dari Klaster

Biofarmaka:

Visi : Mewujudkan Kabupaten Karanganyar sebagai sentra Biofarmaka

di Indonesia.

Misi : 1. Peningkatan luas lahan dan produksi biofarmaka.

2. Peningkatan kualitas budidaya dan pasca panen sesuai SAP- SOP.

3. Peningkatan kerja sama dengan pelaku usaha serta pelaku pasar biofarmaka.

(10)

klaster.

5. Pengembangan usaha berbasis teknologi dan pemberdayaan masyarakat.

6. Pemanfaatan sumber daya modal dan perbankan untuk pengem- bangan usaha.

Tujuan dibentuknya klaster biofarmaka di Kab Karanganyar adalah sebagai

berikut:

1. Meningkatkan jumlah produksi dan penghasilan petani yang didukung dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai dan tepat guna.

2. Terbentuknya home industri klaster biofarmaka (simplisia, tepung, dan jamu instan) sehingga berperan dalam penciptaan lapangan kerja masyarakat. 3. Meningkatkan kesejahteraan para anggota klaster.

Struktur organisasi dari Klaster Biofarmaka ialah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Klaster Biofarmaka Sumber: Klaster Biofarmaka, 2012

(11)

Adapun tugas, wewenang, serta tanggung jawab pada setiap struktur

organisasi klaster biofarmaka Kabupaten Karanganyar adalah sebagai berikut: 1. Ketua

a. Bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang ada di klaster. b. Mengkoordinir semua kelompok tani yang menjadi anggota klaster.

c. Menyelesaikan dan mencari solusi atas semua permasalahan yang terjadi dari hulu ke hilir yang meliputi budidaya, panen, pasca panen, pengolahan,

pemasaran, permodalan, serta sarana dan prasarana yang dapat menunjang produktivitas klaster.

2. Wakil Ketua I dan II

Membantu kerja ketua untuk mengkoordinir semua kegiatan yang ada di klaster.

3. Sekretaris

Mencatat dan melaporkan semua kegiatan dari hulu ke hilir berdasarkan

laporan dari tupoksi (tugas pokok dan fungsi) terkait kegiatan. 4. Wakil Sekretaris

Membantu kerja sekretaris dalam hal kearsipan laporan semua kegiatan yang dilaksanakan di klaster.

5. Bendahara

Mencatat semua pengeluaran yang berkaitan dengan keuangan termasuk

permodalan. 6. Produksi Usaha

Mengkoordinir semua kegiatan yang terkait dengan budidaya dan pengolahan. 7. Pengolahan dan Pemasaran

Mengkoordinir dan memfasilitasi semua kegiatan yang terkait dengan pemasaran.

(12)

8. Usaha

Membantu kelancaran kegiatan setiap unit usaha yang terdapat di klaster.

2.2 BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT DAN OBAT TRADISIONAL (B2P2TO2T) TAWANGMANGU Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu berada di desa Kalisoro dan

Tlogodlingo, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa

Tengah dan memiliki ketinggian ± 1.200 m dpl dilereng Barat Gunung Lawu, 45 km di sebelah Timur Kota Surakarta. B2P2TO-OT Tawangmangu ini berdiri sejak tahun 1978. Semula balai ini bernama Hortus Medicus Tawangmangu, namun atas

dasar pertimbangan bahwa Hortus Medicus merupakan tempat Penelitian Tanaman Obat, maka sesuai surat keputusan Menteri Kesehatan R.I No.

149/Men.Kes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978, Hortus Medicus Tawangmangu diubah menjadi Balai Besar Penelitian Tanaman Obat (BPTO) yang merupakan

Unit Pelaksanaan Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.

B2P2TO-OT mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut

B2P2TO-OT Tawangmangu mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Perencanaan, pelaksanaan, evaluasi penelitian dan atau pengembangan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.

2. Pelaksanaan eksplorasi, iventarisaasi, identifikasi, adaptasi dan koleksi plasma nutfah tanaman obat.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan pelestarian plasma nutfah tanaman obat.

4. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi standarisasi tanaman obat dan bahan baku obat tradisional.

(13)

5. Pelaksanaan dan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.

6. Pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat tradisional.

7. Pelaksanaan dan pelatihan teknis di bidang pembibitan, pembudidayaan, pasca panen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan kemanfaatan obat tradisional.

8. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Di B2P2TO-OT ini

membandingkan prosedur pengelolaan pasca panen di lembaga tersebut dengan

Klaster Biofarmaka. Prosedur ini sebenarnya hampir sama dengan prosedur pasca panen di Klaster Biofarmaka, namun dilengkapi dengan beberapa proses, yaitu

penyortiran basah dan kering, penimbangan basah dan kering, pelabelan, serta pengamatan. Berikut Gambar 2.2 menunjukkan

Gambar

naan dan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang

tanaman obat dan obat tradisional.

Pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat

Pelaksanaan dan pelatihan teknis di bidang pembibitan, pembudidayaan, pasca

anen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan kemanfaatan obat tradisional.

Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

ini dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan prosedur pengelolaan pasca panen di lembaga tersebut dengan

Prosedur ini sebenarnya hampir sama dengan prosedur pasca panen di Klaster Biofarmaka, namun dilengkapi dengan beberapa proses, yaitu

basah dan kering, penimbangan basah dan kering, pelabelan, serta Gambar 2.2 menunjukkan bagan pasca panennya:

Gambar 2.2 Proses Pasca Panen B2P2TO-OT Sumber: B2P2TO-OT, 2011

A

naan dan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang

Pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat

Pelaksanaan dan pelatihan teknis di bidang pembibitan, pembudidayaan, pasca

anen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan

bertujuan untuk membandingkan prosedur pengelolaan pasca panen di lembaga tersebut dengan

Prosedur ini sebenarnya hampir sama dengan prosedur pasca panen di Klaster Biofarmaka, namun dilengkapi dengan beberapa proses, yaitu

(14)

Gambar

1. Pengumpulan

Panen Kumis Kucing dilakukan ketika tanaman berumur sekitar 10 minggu.

Pada saat itu, tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan bahan aktifnya yang tinggi. Pemanenan

dilakukan dengan memetik langsun

Daun hasil panen dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung atau

bersih.

2. Penyortiran basah

Penyortiran basah bertujuan memisahkan bahan dari kotoran misalnya kerikil, tanah, gulma, dan rumpu

bertujuan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, kecil, layak atau tidaknya daun sehingga nantinya akan diperoleh ukuran simplisia yang

seragam.

Gambar 2.2 Proses Pasca Panen B2P2TO-OT (lanjutan) Sumber: B2P2TO-OT, 2011

Panen Kumis Kucing dilakukan ketika tanaman berumur sekitar 10 minggu.

Pada saat itu, tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan bahan aktifnya yang tinggi. Pemanenan

dilakukan dengan memetik langsung daun yang berada pada pucuk tanaman. Daun hasil panen dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung atau bagor

Penyortiran basah bertujuan memisahkan bahan dari kotoran-kotoran seperti misalnya kerikil, tanah, gulma, dan rumput. Selain itu, penyortiran basah

bertujuan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, kecil, layak atau tidaknya daun sehingga nantinya akan diperoleh ukuran simplisia yang

A

(lanjutan)

Panen Kumis Kucing dilakukan ketika tanaman berumur sekitar 10 minggu.

Pada saat itu, tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan bahan aktifnya yang tinggi. Pemanenan

g daun yang berada pada pucuk tanaman.

bagor yang

kotoran seperti t. Selain itu, penyortiran basah

bertujuan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, kecil, layak atau tidaknya daun sehingga nantinya akan diperoleh ukuran simplisia yang

(15)

3. Pencucian

Pencucian ini untuk membersihkan daun dari tanah, kotoran-kotoran maupun mikroba yang menempel. Pencucian ini akan menurunkan jumlah mikroba

pathogen yang menyebabkan pembusukan. Pencucian menggunakan air yang mengalir sehingga kotoran yang sudah lepas tidak menempel lagi. Proses pencucian hendaknya tidak terlalu lama / direndam, agar senyawa aktifnya tidak

larut dalam air.

Kualitas air yang dipakai hendaknya diperhatikan. Tidak dianjurkan memakai air sungai, karena dikhawatirkan sudah tercemar bakteri, Setelah pencucian selesai, bahan ditiriskan untuk mengurangi kandungan air. .

4. Penimbangan Basah

Penimbangan basah ini bertujuan untuk mengetahui berat bersih bahan yang

akan diproses menjadi simplisia. Kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang dan alat ukur yang dipakai hendaklah sesuai dengan jumlah bahan

yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011). 5. Pelayuan / Peram

Pelayuan / peram bertujuan agar bahan mengalami fermentasi dan pelayuan sebelum dikeringkan. Bahan / daun dihamparkan di atas alas anyaman bambu

(widig) dan dibiarkan selama 1-2 malam. Pada proses ini daun tidak boleh

ditumpuk terlalu tebal sebab akan menghasilkan daun yang tidak kering merata

dan kualitasnya rendah. 6. Pengeringan

Pengeringan dapat dilakukan secara manual maupun dengan menggunakan oven. Untuk pengeringan manual, dijemur di atas nampan bambu dengan

menggunakan sinar matahari langsung selama 3 hari hingga diperoleh daun yang kering dan mati. Jika menggunakan oven, maka suhunya tidak boleh di atas 60o C.

(16)

Pengeringan dengan cara dibolak-balik agar diperoleh hasil daun yang kering

merata. Pengeringan ini dilakukan hingga kadar air mencapai di bawah 10%. 7. Penyortiran Kering

Penyortiran kering bertujuan memisahkan simplisia dari kotoran-kotoran seperti misalnya kerikil, debu, dan tanah. Penyortiran ini bertujuan simplisia tidak tercemar oleh benda-benda asing sehingga kualitasnya dapat terjaga. Selain itu,

penyortiran kering juga bertujuan untuk memilih antara simplisia yang sudah

kering sempurna maupun yang belum. 8. Penimbangan Kering

Penimbangan kering ini bertujuan untuk mengetahui bobot susut dari

simplisia. Bobot susut yang dimaksud ialah membandingkan bobot basah bahan segar dengan bobot kering sesudah menjadi simplisia. Perbandingan bobot

tersebut sekitar 5:1, yaitu 5 kg saat bobot basah dan 1 kg saat bobot kering. Kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang dan alat ukur yang dipakai

hendaklah sesuai dengan jumlah bahan yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011).

9. Pengepakan dan Pelabelan

Simplisia yang sudah kering dimasukkan ke dalam plastik kedap udara agar

tidak lembab dan menyebabkan timbulnya jamur pada simplisia. Pelabelan memuat informasi tentang no.kode, nama simplisia, tanggal penyimpanan, berat

simplisia, 10. Penyimpanan

Simplisia yang sudah dikemas, disimpan di dalam gudang penyimpanan. Setiap simplisia dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, tidak tercampur antar

simplisia yang lain. Simplisia disusun dengan metode FIFO (First In First Out)

sesuai dengan tanggal penyimpanannya (BPOM, 2011). Gudang penyimpanan

(17)

11. Pengamatan

Pengamatan pada produk simplisia dilakukan dalam jangka waktu tertentu, misalnya 3 bulan sekali. Pengamatan ini meliputi pengecekan dan pengujian mutu

yang ada dalam gudang. Kerusakan akibat penyimpanan dapat berupa hancurnya simplisia, berjamur, terkena serangga, berubah dalam hal warna, rasa, dan bau.

2.3 KUMIS KUCING (ORTHOSIPHON STAMINEUS, BENTH) Berikut merupakan taksonomi dari tanaman Kumis Kucing:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Keluarga : Lamiaceae

Genus : Orthosiphon

Spesies : Orthosiphon stamineus, Benth

Tanaman Kumis Kucing merupakan tanaman terna yang tumbuh tegak, pada

buku-bukunya berakar tetapi tidak tampak nyata, tinggi tanaman sampai 2 m. Batang bersegi empat agak beralur. Helai daun berbentuk bundar telur lonjong,

lanset, lancip atau tumpul pada bagian ujungnya, ukuran daun panjang 1 – 10 cm dan lebarnya 7.5 mm – 1.5 cm, urat daun sepanjang pinggir berbulu tipis atau

gundul, dimana kedua permukaan berbintik-bintik karena adanya kelenjar yang jumlahnya sangat banyak, panjang tangkai daun 7 – 29 cm.

Kelopak bunga berkelenjar, urat dan pangkal berbulu pendek dan jarang sedangkan di bagian yang paling atas gundul. Bunga bibir, mahkota berwarna

ungu pucat atau putih, dengan ukuran panjang 13 – 27mm, di bagian atas ditutupi oleh bulu pendek yang berwarna ungu atau putih, panjang tabung 10 – 18mm,

panjang bibir 4.5 – 10 mm, helai bunga tumpul, bundar. Benang sari ukurannya lebih panjang dari tabung bunga dan melebihi bibir bunga bagian atas. Buah geluk

(18)

Gambar 2.3 Kumis Kucing

Sumber : B2P2TO-OT, 2011

Untuk prosedur pasca panen Kumis Kucing menurut Balittro (2009) adalah sebagai berikut:

1. Pemanenan

Pemetikan yang terbaik bila umur tanaman sudah mencapai 10 minggu. Cara

memetiknya dengan 4 - 6 helai daun paling atas beserta batangnya di petik, daun dibawahnya dipetik karena termasuk daun tua.

2. Pencucian

Daun yang sudah dipetik, kemudian melalui proses pencucian. Pencucian

dengan menggunakan air mengalir. 3. Pengeringan

Daun yang sudah dicuci kemudian dijemur dipanas matahari (merupakan cara konvensional). Untuk cara pengeringan yang baik ialah dengan menggunakan

panas buatan (oven). Caranya ialah daun diangin-anginkan di tempat atau di bangsal-bangsal yang mempunyai sirkulasi udara baik. Lalu letakan daun di atas

(19)

dibuat dari papan dan jangan dari logam. Pengeringan dianggap cukup bila daun

sudah kering dan mudah hancur jika diremas. Biasanya penyusutan dari daun basah menjadi daun kering dengan perbandingan 5 : 1.

4. Pengemasan

Daun yang telah kering harus segera dikemas dengan cara dibungkus dan dimasukan ke dalam kaleng yang dilapisi aluminium dan tertutup rapat agar tidak

menghisap uap air. Berikut merupakan standar kualitas Daun Kumis Kucing:

a. Warna : daun hijau kecoklatan atau hijau kelabu. b. Bau : harum, tidak tajam

c. Rasa : asin agak pahit d. Kadar air : max 10% e. Kotoran : max 2% f. Abu : 10%

g. Tidak mengandung serangga dan cendawan / jamur.

2.4 PENGELOLAAN PASCA PANEN TANAMAN OBAT

Pengelolaan pasca panen adalah suatu perlakuan yang diberikan pada hasil

pertanian hingga produknya siap konsumsi (Siswanto, 2004). Tujuan dari pengelolaan pasca panen ini antara lain:

1. Mencegah kerugian karena perlakuan prapanen yang tidak tepat.

2. Menghindari kerusakan karena teknologi pasca panen yang kurang tepat, seperti misalnya mencegah terjadinya perubahan fisiologis bahan, mencegah timbulnya patogen, dan mencegah kerusakan penyimpanan akibat gangguan

hama.

3. Menekan penyusutan kuantitatif dan kualitatif hasil.

4. Terjaminnya suplai bahan baku produksi tanaman obat meskipun tidak pada musimnya.

(20)

Pengelolaan pasca panen ini meliputi kegiatan penyortiran, pencucian,

pengolahan hasil, pengeringan, pengemasan, sampai pada penyimpanan. Berikut penjelasan tentang kegiatan pasca panen menurut Siswanto (2004):

1. Pencucian

Pencucian bertujuan untuk memperoleh simplisia yang bersih serta bebas dari kotoran yang mungkin terbawa saat pemanenan atau pengangkutan. Perlakuan ini

akan menurunkan jumlh mikroba patogen yang menyebabkan pembusukan dan

membuat tampilan simplisia menjadi lebih menarik.

Untuk simplisia yang banyak memgandung senyawa aktif yang mudah larut dalam air sebaiknya tidak dicuci atau cukup direndam air sebentar saja, Selain

teknik pencucian, kualitas air yang dipakai juga dapat mempengaruhi mutu simplisia. Pencucian bahan dengan air sungai tidak dianjurkan karena

dikhawatirkan air telah tercemar bakteri, antara lain Pseudomonas, Proteus,

Micrococcus, Bacillus cereus, Streptococcus, Enterobacter, dan Escherichia coli.

Pencucian yang benar dilakukan pada air yang mengalir atau bak bertingkat, sehingga kotoran yang terlepas tidak menempel kembali. Setelah dicuci, bahan

ditiriskan,. Penirisan dilakukan di tempat yang teduh karena bila setelah dicuci bahan langsung dikeringkan di bawah sinar matahari, maka akan menyebabkan

pembusukan. 2. Sortasi

Tujuan dari sortasi atu penyortiran adalah untuk memperoleh simplisia seperti yang dikehendaki baik kebenaran bahan maupun kebersihannya. Sortasi sekaligus

berperan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, atau kecil sehingga diperoleh ukuran yang seragam.

Sortasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu sortasi basah dan sortasi kering. Sortasi basah dilakukan saat bahan masih segar dan bertujuan untuk memisahkan

(21)

gulma, dan sebagainya. Sortasi kering dilakukan ketika bahan sudah melalui

proses pengeringan dan bertujuan untuk membersihkan kotoran-kotoran seperti debu, kerikil, tanah, dan sebagainya.

3. Pengubahan Bentuk

Pengubahan bentuk tanaman obat menjadi bentuk lain, seperti irisan, potongan, dan serutan bertujuan untuk memudahkan kegiatan pengeringan,

pengepakan, serta pengolahan lebih lanjut menjadi bahan baku obat atau

kosmetika. Beberapa jenis simplisia yang sering mengalami perubahan bentuk, ialah akar, batang, umbi, rimpang, dan kulit batang.

Pada umumnya, semakin tipis bahan, maka proses pengeringan akan semakin

cepat karena proses penguapan air yang cepat. Namun, irisan yang terlaalu tipis juga tidak baik karena senyawa aktif yang terkandung akan mudah menguap dan

simplisia lebih mudah rusak saat dikemas. 4. Pengeringan

Pengeringan pada dasarnya merupakan upaya untuk menurunkan kadar air bahan sampai pada tingkat yang diinginkan. Pengeringan ini berfungsi untuk

mencegah terjadinya pencemaran serta kontaminasi oleh jamur atau patogen yang dapat menurunkan kualitas atau mengakibatkan keracunan pada saat bahan

dikonsumsi. Secara garis besar pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami dan dengan bantuan alat. Pengeringan secara alami

pada dasarnya melibatkan unsur iklim, yaitu cahaya matahri, hembusan angin, atau pergantian udara. Pengeringan dengan menggunakan alat tidak bergantung

terhadap iklim. Alat pengeringan dapat menggunakan berbagai tenaga, misalnya listrik, energi panas, dan api.

5. Pengemasan

Syarat bahan pengemas yang baik adalah sebagai berikut:

(22)

b. Tidak mengandung zat kimia yang menyebabkan perubahan rasa, aroma, dan kadar air simplisia.

c. Sesuai dengan kebutuhan konsumen, misalnya tidak terlalu berat, praktis, ukuran, dan bentuk menarik.

d. Mampu mencegah penambahan air atau menghindari kelembaban. e. Mampu menahan pengaruh cahaya.

f. Memiliki daya lindung yang dapat diandalkan, tidak bersifat racun, dan murah.

6. Penyimpanan

Dalam dunia pertanian, penyimpanan merupakan bagian dari proses produksi

sebelum hasil tersebut digunakan oleh konsumen. Untuk itu, dalam membangun gudang penyimpanan simplisia perlu memperhatikan hal-hal berikut:

a. Memiliki ventilasi yang baik. b. Bebas dari kebocoran.

c. Terpisah dari tempat penyimpanan bahan atau alat-alat lain yang tidak sejenis.

d. Penerangan cukup serta dapat mencegah masuknya sinr matahari yang berlebih.

e. Bersih dan bebas dari sampah dan limbah yang memungkinkan menjadi sarang serangga dan hama.

2.5 KONSEP SIMPLISIA

Pengertian simplisia menurut Katno (2008) adalah bahan alami yang

digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun, kecuali dinyatakan lain, umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia

merupakan bahan alamiah yang yang digunakan sebagai obat baik dalam bentuk bahan asli atau sebagai bahan baku obat yang dikeringkan (Siswanto,2004).

(23)

Simplisia digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu sinplisia nabati, hewani, dan

pelikan (mineral). 1. Simplisia Nabati

Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari

selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya

yang dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi dari tanamannya. 2. Simplisia hewani

Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat

berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan dan madu.

3. Simplisia pelikan atau mineral

Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau

mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga.

Simplisia berdasarkan bagian-bagian yang dipakai dapat dikelompokkan menjadi 14 macam, yaitu simplisia daun, kulit, kayu, herba, bunga, akar, umbi,

rimpang, buah,kulit buah, biji, ekstrak, tingtur, dan getah (Siswanto,2004). Untuk tanaman obat Kumis Kucing termasuk dalam simplisia daun. Simplisia daun dapat

berupa lembaran daun tunggal maupun majemuk.

2.6 KONSEP KUALITAS

Berbagai definisi tentang kualitas telah banyak diusulkan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kualitas adalah kecocokan untuk digunakan (Juran, 1988).

2. Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan – yang telah ditetapkan (Crosby, 1979).

(24)

3. Kualitas harus berorientasi pada kebutuhan konsumen, sekarang dan yang akan datang (Deming, 1986).

4. Kualitas adalah gabungan seluruh karakteristik produk dan pelayanan yang meliputi pemasaran, keteknikan, manufaktur, dan perawatan, di mana seluruh produk dan pelayanan yang digunakan disesuaikan dengan harapan / kebutuhan konsumen (Feigenbaum, 1983).

Dari sisi mana kualitas dinilai disebut dimensi kualitas. Suatu perusahaan

dalam melihat sisi kualitas biasanya hanya memakai salah satu dimensi yang ada. Garvin (1987) mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik kualitas sebagai berikut:

1. Performance, yaitu karakteristik operasi pokok dari produk inti atau kinerja. 2. Feature, yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap atau ciri khas yang

membedakan dengan produk lain.

3. Reliability, yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai atau kepercayaan pelanggan terhadap produk lain yang merupakan

karakteristik pelengkap dan mampu menimbulkan kesan baik kepada

pelanggan.

4. Conformance to specifications, yaitu sejauh mana karakteristik desain atau operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya atau sejauh mana kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan.

5. Durability, berkaitan dengan beberapa lama produk tersebut dapat terus digunakan.

6. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah diperbaiki, penanganan keluhan yang memuaskan.

7. Aesthetic, yaitu daya tarik produk tersebut.

8. Perception, yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya yang menyebabkan fanatisme konsumen.

(25)

2.7 KONSEP STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP)

Standard Operating Procedures (SOP) pada dasarnya adalah pedoman yang

berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu organisasi

yang digunakan untuk memastikan bahwa semua keputusan dan tindakan, serta penggunaan fasilitas-fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-orang di dalam organisasi berjalan secara efektif (dan efisien), konsisten standar, dan sistematis

(Tambunan, 2011). SOP sebenarnya bukan hanya merupakan pedoman prosedur

rutin yang harus dilaksanakan, tetapi SOP juga berfungsi untuk mengevaluasi pekerjaan yang telah dilakukan, apakah pekerjaan tersebut telah dikerjakan dengan baik atau tidak, kendala yang dihadapi, atau mengapa kendala tersebut

terjadi. Dengan adanya SOP yang jelas maka akan lebih mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu dan pekerjaan, dimana hal tersebut berhubungan dengan

kualitas mutu, dan berimplikasi pada kepuasan pelanggan.

Tambunan (2011) menyebutkan beberapa manfaat teknis SOP bagi organisasi

antara lain adalah sebagai berikut:

1. Menjamin adanya standarisasi kebijakan, peraturan, baik yang dibuat intern organisasi maupun dari ekstern, misalnya undang-undang, maupun yang berupa aturan lainnya dari institusi seperti Bapepam, dan lain-lain.

2. Menjamin adanya standarisasi pelaksanaan setiap prosedur operasional standar yang telah ditetapkan menjadi pedoman baku organisasi.

3. Menjamin adanya standarisasi untuk penggunaan dan distribusi formulir, blanko, dan dokumen dalam prosedur operasional standar.

4. Menjamin adanya standarisasi sistem administrasi (termasuk kegiatan penyimpanan arsip dan sistem dokumentasi).

5. Menjamin adanya standarisasi validasi dalam alur kegiatan yang telah ditetapkan.

(26)

7. Menjamin adanya standarisasi kontrol.

8. Menjamin adanya standarisasi untuk pelaksanaan evaluasi dan penilaian kegiatan organisasi.

9. Menjamin adanya standarisasi untuk pelayanan dan tanggapan kepada pihak luar organisasi.

10. Menjamin adanya standarisasi untuk keterpaduan dan keterkaitan di antara prosedur dengan prosedur operasional lainnya di dalam konteks dan kerangka

tujuan organisasi.

11. Menjamin adanya acuan yang formal bagi anggota organisasi untuk menjalankan kewajiban di dalam prosedur operasional standar.

12. Menjamin adanya acuan yang formal untuk setiap perbaikan serta pengembangan prosedur-prosedur operasional standar di masa datang.

Untuk dasar sistematika penyajian SOP dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Berikut dasar sistematika penyajian SOP menurut

Tambunan (2011): 1. Tujuan SOP

Mencerminkan yang akan dan seharusnya dicapai apabila SOP dijalankan. 2. Penjelasan Singkat tentang SOP

Penjelasan singkat ini ditulis dengan tujuan agar pengguna dapat memahami isi SOP secara umum.

3. Peraturan dan Kebijakan terkait SOP

Penjelasan tentang peraturan kebijakan secara internal dan eksternal dari

perusahaan.

4. Teknik yang Digunakan dalam SOP

Penjelasan tentang teknik yang digunakan dalam penyusunan SOP, yaitu dapat berupa teknik naratif, diagram alir, atau tabular.

(27)

5. Pihak yang Terlibat

Penjelasan tentang pihak yang terlibat dalam SOP, baik pihak internal maupun eksternal perusahaan.

6. Formulir dan Dokumen yang digunakan dalam SOP

Pencantuman formulir dan dokumen apa saja yang digunakan dalam SOP. 7. Laporan-laporan yang dihasilkan SOP

Pencantuman laporan-laporan yang dihasilkan pada saat pelaksanaan SOP.

8. Kaitan dengan SOP lain

Pencantuman prosedur-prosedur lain yang terkait dengan pelaksanaan SOP. 9. Lampiran SOP

Berisi lampiran contoh format dari formulir, dokumen, atau laporan-laporan.

2.8 KONSEP PLAN DO CHECK ACTION (PDCA)

Siklus Plan Do Check Action (PDCA) ini merupakan empat langkah proses problem solving yang dapat digunakan untuk mengkoordinasi upaya dengan

tujuan mencapai quality improvement atau perbaikan secara terus menerus.

Konsep dari siklus PDCA pertama dikemukakan oleh Walter Shewhart tahun

1930 yang kemudian dikembangkan oleh W. Edwards Deming, pada tahun 1950. Siklus PDCA juga disebut dengan Deming cycle, Shewhart cycle, Deming wheel,

atau Plan–Do–Study–Act (PDSA).

Gambar 2.4 Siklus PDCA Sumber: Foster, 1995

(28)

Dari gambar tersebut dapat diketahui masing-masing tahapan dalam siklus

PDCA. Tahapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Fase Plan, yang dilakukan pada tahap ini adalah

a. Mendifinisikan hal-hal yang dapat menjadi sebagai improvement

opportunity

b. Menunjukkan proses yang berlangsung saat ini.

c. Mengukur keefektifan proses yang berlangsung saat ini. d. Merencanakan perubahan berupa alternatif perbaikan

2. Fase Do, yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan perubahan proses dengan cara menjalankan proses baru yang memuat alternatif perbaikan.

3. Fase Check, yang dilakukan pada tahap ini adalah mengevaluasi hasil dari perubahan proses yang dijalankan.

4. Fase Act, yang dilakukan pada tahap ini adalah memberikan reaksi terhadap hasil yang didapat dari hasil proses yang memuat alternatif perbaikan.

Proses problem solving dengan PDCA atau PDSA ini merupakan penyusunan

langkah-langkah perbaikan dengan menggunakan macam-macam tools kualitas

atau biasa disebut dengan Seven tools (Summers, 2000). Namun, tidak ditutup

kemungkinan untuk menggunakan tools lain, misalnya dengan cara

brainstorming. Bentuk pengulangan atau kontinuitas dari lingkaran PDCA

tersebut menjurus pada semakin efektifnya perencanaan, maka akan semakin

efisien pengendaliannya (Mizuno, 1994).

2.9 FISHBONE DIAGRAM

Bentuk diagram ini mirip dengan kerangka ikan sehingga disebut sebagai

fishbone diagram. Fishbone diagram terdiri dari garis dan simbol yang dirancang

untuk mewakili hubungan antara efek dan penyebabnya, sehingga disebut juga sebagai cause and effect diagram (Besterfield, 1998). Selain itu diagram ini

(29)

sebagai bapak QC Circles. Fishbone diagram adalah alat yang sangat efektif

untuk menganalisis penyebab terjadinya masalah.

Gambar 2.5 Diagram Fishbone

Sumber: Besterfield, 1998

2.10 KONSEP FOCUSSED GROUP DISCUSSION (FGD)

Metode Focused Group Discussion (FGD) adalah suatu proses pengumpulan

data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang

sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2006). FGD ini merupakan

teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif

dengan tujuan menemukan makna menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan

hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti

terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.

Setiap FGD dibutuhkan satu orang moderator, satu pencatat proses, 1 satu

pengembang peserta dan satu atau 2 dua orang logistik dan blocker (Irwanto, 2006). Berikut merupakan tugas masing-masing pihak:

1. Moderator, yaitu fasilitator diskusi yang terlatih dan memahami masalah yang dibahas serta tujuan penelitian yang hendak dicapai (ketrampilan

(30)

2. Pencatat Proses / Notulen, yaitu orang bertugas mencatat inti permasalahan yang didiskusikan serta dinamika kelompoknya. Umumnya dibantu dengan alat pencatatan berupa satu unit komputer atau laptop yang

lebih fleksibel.

3. Pengembang / Penghubung Peserta, yaitu orang yang mengenal, menghubungi, dan memastikan partisipasi peserta. Biasanya disebut mitra

kerja lokal di daerah penelitian.

4. Penyedia Logistik, yaitu orang-orang yang membantu kelancaran FGD berkaitan dengan penyediaan transportasi, kebutuhan rehat, konsumsi, akomodasi (jika diperlukan), insentif (bisa uang atau barang/cinderamata),

alat dokumentasi, dll.

(31)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas secara sistematis tentang langkah-langkah yang

dilakukan dalam penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3.1.

(32)

Metodologi penelitian pada Gambar 3.1 diuraikan dalam beberapa tahap.

Uraian tiap tahapnya akan dijelaskan sebagai berikut :

3.1 TAHAP AWAL

Tahap awal pada penelitian ini meliputi observasi awal, identifikasi masalah, pemilihan produk, perumusan masalah dan studi pustaka yang akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Observasi awal

Observasi awal merupakan tahap awal dalam penelitian ini. Observasi

dilakukan di Klaster Biofarmaka dan kelompok tani Sumber Rejeki I Desa Sambirejo Kecamatan Jumantono. Dalam proses ini bertujuan untuk melihat

secara langsung kondisi yang ada di klaster sehingga dapat dengan mudah mengidentifikasi masalah yang ada, yaitu perlunya suatu standar untuk menjamin

produknya yang berupa Standard Operating Procedure (SOP). 2. Identifikasi Masalah

Tahap ini digunakan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, kemudian dapat dicari bahan, materi, serta literatur yang digunakan agar dapat menentukan

metode yang tepat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang terjadi. 3. Perumusan masalah

Perumusan masalah dilakukan untuk merangkum permasalahan yang terjadi

dan bagaimana memecahkan masalah yang ada. Pada penelitian ini dirumuskan

masalah tentang bagaimana merancang Standard Operating Procedures (SOP) dengan metode PDCA yang dapat diterapkan pada proses pasca panen Kumis Kucing?

4. Studi Pustaka

Studi pustaka diperlukan untuk mencari landasan teori yang dipakai untuk

memecahkan masalah. Studi pustaka ini mengacu pada literatur baik text book maupun jurnal yang membahas tentang penyusunan SOP (Standard Operating

(33)

Procedures) untuk pengelolaan pasca panen Daun Kumis Kucing, metode dan

konsep PDCA, dan Focused Group Discussion.

3.2 PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 1. Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data meliputi pengolahan lebih lanjut dari data hasil penelitian di B2P2TO-OT dan studi pustaka dengan melakukan Focussed Group

Discussion (FGD) di Klaster Biofarmaka.

2. Pengolahan Data

Tahap pengolahan data pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: a. Identifikasi Akar Masalah

Permasalahan yang dibahas di sini ialah peningkatan kualitas hasil pasca panen agar mencapai standar kualitas. Identifikasi akar penyebab masalah dari

kualitas simplisia tidak sesuai standar menggunakan Fish bone diagram. Identifikasi akar masalah ini ditinjau dari segi Method dan Material.

b. Perancangan Standard Operating Procedures dengan menggunakan Plan,

Do, Check, Act

Setelah diketahui akar penyebab masalahnya, maka dilakukan

problem-solving atau pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang direncanakan

ialah perancangan Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca

panen untuk tanaman obat yang berasal dari daun dan dilengkapi dengan form

kegiatan pasca panen. Perancangan SOP ini dengan menggunakan metode PDCA. Berikut langkah-langkahnya:

• Tahap Plan

Pada tahap Plan ini dilakukan perencanaan terhadap pemecahan masalah. Rencana ini disusun berdasarkan hasil dari FGD, serta sumber lain yang

terkait.

(34)

• Tahap Do

Pada tahap ini dilakukan implementasi atau pelaksanaan dari rencana yang telah disusun sebelumnya (tahap Plan) dan memantau proses pelaksanaan

dalam skala kecil (proyek uji coba). Proses pemantauan dilakukan secara langsung dan dicatat pada checklist.

• Tahap Check

Pada tahap ini dilakukan evaluasi dari data hasil checklist pada tahap proyek uji coba (tahap Do). Evaluasi ini dilakukan terhadap hal-hal apa saja

yang harus diperbaiki menurut hasil checklist.

• Tahap Action

Pada tahap ini merupakan tindak lanjut atas hasil evaluasi. Tahapan ini meliputi revisi dan perbaikan lebih lanjut terhadap hasil evaluasi. Hasil dari

tahapan ini dapat langsung diimplementasikan, atau digunakan untuk tahap perencanaan selanjutnya.

3.3 ANALISIS DAN KESIMPULAN 1. Analisis

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis dan interpretasi hasil. Pada tahap ini

dilakukan analisis terhadap hasil pengolahan data yaitu analisis penyusunan SOP dengan metode PDCA pada proses pasca panen Kumis Kucing.

2. Kesimpulan dan saran

Tahap akhir adalah menarik kesimpulan berdasar hasil analisis data, serta

memberikan saran-saran yang dapat dijadikan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(35)

BAB IV

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Pada bab ini dijelaskan mengenai pengumpulan dan pengolahan data. Data yang sudah terkumpul diolah untuk mengidentifikasi akar masalah keseragaman kualitas produk simplisia. Setelah diketahui akar penyebab masalahnya, dilakukan

problem-solving atau perbaikan terhadap masalah tersebut.

4.1 PENGUMPULAN DATA

Dari data hasil penelitian di B2P2TO-OT dan studi pustaka kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan Focussed Group Discussion (FGD) di Klaster Biofarmaka. Berikut adalah pelaksanaan teknis FGD:

Tanggal FGD : Senin, 30 April 2012 Waktu FGD : 11.45-13.00 WIB

Tempat FGD : Klaster Biofarmaka, Desa Sambirejo, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar

Narasumber : 1. Bapak Suparman selaku ketua Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar.

2. Bapak Sarwoko selaku perwakilan dari Kelompok Tani Sumber Rejeki I Kecamatan Jumantono.

3. Bapak Widodo selaku perwakilan dari Kelompok Tresno Asih Mulyo Kecamatan Jumapolo.

4. Bapak Wiratno selaku Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Jumantono.

5. Bapak Amat selaku tenaga kerja di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar.

Moderator : Jingga Nuansa N Peserta FGD : 1. Nia Kartika Wuri

2. Martha Cintya 3. Sony Irwan Prabowo

4. Pungky Nor Kusumawardhani Hasil FGD : terlampir pada Tabel 4.1

(36)

Hasil FGD tersebut kemudian dicatat dan dirangkum. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil FGD Topik yang dibahas Hasil FGD Pengumpulan daun segar

1. Daun segar dikumpulkan dari hasil panen lahan milik klaster dan lahan petani, apabila ada petani yang ingin menjual keluar harus lapor ke klaster.

2. Daun yang dikumpulkan dimasukkan ke dalam karung / bagor yang bersih.

Tahap penyortiran basah

1. Siapkan karung (bagor).

2. Setelah panen, kumpulkan semua daun hasil panen dan masukkan ke dalam karung.

3. Mengisi form kegiatan pengumpulan. Tahap

pencucian

1. Daun dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan dari sisa tanah dan bakteri yang masih menempel kemudian dibilas pada bak air.

2. Daun kemudian ditiriskan dan hindari kontaminasi langsung dengan tanah atau lantai.

3. Menimbang daun untuk mengetahui berat daun basah. Tahap

penimbangan basah

1. Penggantian alat timbang yang sudah tidak layak. 2. Pencatatan berat bersih

Tahap pelayuan

1. Bahan / daun dihamparkan di atas alas anyaman bambu (widig) dan dibiarkan selama 1-2 malam.

2. Daun tidak boleh ditumpuk terlalu tebal sebab akan menghasilkan daun yang tidak kering merata dan kualitasnya rendah.

Tahap pengeringan

1. Pengeringan secara manual / menggunakan sinar matahari dengan cara dijemur di atas nampan bambu (widig) dan ditutup dengan kain hitam selama 3 hari.

(37)

Tabel 4.1 Hasil FGD (lanjutan) Topik yang

dibahas Hasil FGD

tas 60o C.

3. Daun diletakkan di atas widig yang terletak > 30 cm dari tanah untuk menghindari kontaminasi tanah, asap, dan gangguan binatang.

4. Daun yang diletakkan di atas widig tidak boleh ditumpuk. 5. Pengeringan dengan cara dibolak-balik 4 jam sekali agar

diperoleh hasil daun yang kering merata.

Daun dijemur sampai kadar air 10% yang ditandai dengan daun kering yang mudah dihancurkan.

Tahap penyortiran kering

Simplisia yang telah kering disortir, yaitu memisahkan simplisia dari benda-benda asing (seperti kerikil, debu, dan tanah) dan pengotor lainnya yang masih tertinggal.

Tahap penimbangan kering

1. Menimbang simplisia kering untuk mengetahui perbandingan hasil daun kering dengan daun basah.

2. Perbandingan bobot basah dengan kering sebesar 5:1, atau 5 kg saat bobot basah dan 1 kg saat bobot kering.

3. Pencatatan berat bersih.

4. Penggantian alat timbang yang sudah tidak layak. Tahap

pengemasan dan pelabelan

1. Menyiapkan bahan pengemas yang berupa plastik yang kedap udara.

2. Menimbang berat bersih untuk setiap kemasan.

3. Memberi silica gel agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.

4. Memberi label produk yang memuat informasi tentang simplisia, seperti no.kode, nama simplisia, tanggal penyimpanan, berat simplisia.

5. Menutup kemasan dengan menggunakan mesin pres. 6. Jika simplisia akan dikirim, simplisia dimasukkan ke dalam

(38)

Tabel 4.1 Hasil FGD (lanjutan) Topik yang

dibahas Hasil FGD

tup dengan cara dijahit hingga rapat sehingga tidak terkontaminasi udara dari luar.

Tahap penyimpanan

1. Simplisia disusun dengan metode FIFO (First In First Out) sesuai dengan tanggal penyimpanannya.

2. Simplisia dikelompokkan sesuai dengan jenisnya.

3. Lakukan pembersihan terhadap gudang penyimpanan yang kotor dan lembab, serta pengecekan terhadap simplisia yang tersimpan di gudang.

4. Ventilasi udara cukup baik dan bebas dari kebocoran atau kemungkinan masuk air hujan dan suhu gudang tidak melebihi 300C.

5. Gudang harus terpisah dari tempat penyimpanan bahan lainnya ataupun penyimpanan alat dan dipelihara dengan baik.

Tahap pengamatan

1. Jangka waktu pengamatan selama 3 bulan sekali.

2. Bila simplisia hancur, berjamur, terkena serangga, atau berubah dalam hal warna, rasa, dan bau, maka simplisia ini sudah tidak layak dan tidak dapat digunakan lagi.

3. Bila kadar air meningkat atau simplisia lembab, maka lakukan penjemuran ulang terhadap simplisia.

4.2 PENGOLAHAN DATA

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah untuk proses perbaikan pasca panen Daun Kumis Kucing di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Perbaikan yang harus dilakukan adalah berkaitan dengan kualitas hasil pasca panen.

4.2.1 Identifikasi Akar Masalah

Tahapan ini merupakan identifikasi akar penyebab masalah. Fokus permasalahan yang dibahas di sini ialah peningkatan kualitas hasil pasca panen

(39)

Daun Kumis Kucing agar mencapai standar kualitas di Klaster Biofarmaka. Untuk mengidentifikasi akar penyebab masalahnya, digunakan Fish bone diagram.

Fish bone diagram atau diagram tulang ikan merupakan diagram yang

menunjukkan hubungan sebab akibat untuk mencari akar dari suatu pokok permasalahan yang ditinjau dari berbagai faktor yang ada. Identifikasi akar permasalahan ini ditentukan dari masalah umum yang dihadapi oleh klaster yaitu kadar air lebih dari 10% dan adanya serangga pada simplisia. Berikut penjabaran akar permasalahan dengan menggunakan Fish bone Diagram pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

Gambar 4.1 Fish Bone Diagram Masalah Kadar Air Simplisia

(40)

1. Kadar Air Simplisia a. Method

Ditinjau dari segi metode, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena pengelolaan pasca panen tanaman Kumis Kucing belum dilakukan dengan prosedur baku pasca panen, khususnya pada tahap pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan. Tanpa adanya prosedur yang baku, petani menjalankan kegiatan pasca panen sesuai dengan pengalaman masing-masing. Selain itu, simplisia yang sudah tersimpan di gudang tidak terdapat data informasi lamanya penyimpanan, sehingga simplisia yang sudah disimpan terlalu lama tidak terdeteksi. Penyimpanan simplisia yang terlalu lama akan mengakibatkan simplisia menjadi meningkat kadar airnya dan menjadi tidak layak, berjamur, serta rusak kandungan zat aktifnya. Maka perlu adanya formulir kegiatan pasca panen tanaman obat di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Formulir pencatatan kegiatan pasca panen ini dimaksudkan sebagai alat untuk mendokumentasikan dan mengontrol kegiatan pasca panen.

b. Environment

Ditinjau dari segi lingkungan, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena kondisi gudang penyimpanan yang kurang layak. Gudang penyimpanan di klaster kurang layak disebabkan karena ventilasi yang tersedia kurang memadai serta gudang masih tercampur dengan bahan panen lain. Ventilasi yang kurang, dapat menyebabkan udara di dalam gudang menjadi meningkat kelembabannya. Hal ini berpengaruh terhadap kadar air di dalam simplisia juga akan ikut meningkat. Jika hal ini dibiarkan terlalu lama, maka simplisia akan ditumbuhi jamur.

c. Machine

Ditinjau dari segi peralatan, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena pengecekan kadar air masih secara manual / organoleptik. Klaster tidak memiliki alat pengecek kadar air untuk mengetahui secara pasti jumlah kandungan kadar air pada simplisia.

(41)

d. Material

Ditinjau dari segi material, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena belum tersedia bahan pendukung agar simplisia terjaga kadar airnya, seperti penyediaan silica gel dan kemasan kedap udara.

2. Serangga pada Simplisia a. Method

Ditinjau dari segi metode, simplisia yang terjangkit serangga di Klaster Biofarmaka karena pengelolaan pasca panen tanaman Kumis Kucing belum dilakukan dengan prosedur baku pasca panen. Tanpa adanya prosedur yang baku, petani menjalankan kegiatan pasca panen sesuai dengan pengalaman masing-masing. Selain itu kendali terhadap kegiatan pasca panen terutama dalam hal pengamatan terhadap simplisia yang telah tersimpan di gudang belum dilakukan. Maka perlu adanya formulir kegiatan pasca panen di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Formulir pencatatan kegiatan pasca panen ini dimaksudkan sebagai alat untuk mendokumentasikan dan mengontrol kegiatan pasca panen.

b. Environment

Ditinjau dari segi lingkungan, simplisia yang terjangkit serangga di Klaster Biofarmaka disebabkan karena kondisi gudang penyimpanan yang kurang layak: Ventilasi di gudang penyimpanan tidak ditutup dengan kasa. Hal ini akan memudahkan serangga dan binatang pengerat masuk ke dalam gudang. Selain itu, gudang masih tercampur dengan bahan panen lain. Bahan panen lain inilah yang akan mengundang serangga maupun binatang pengerat ke dalam gudang.

c. Material

Ditinjau dari segi material, simplisia yang terjangkit serangga di Klaster Biofarmaka disebabkan karena bahan kemasan yang mudah rusak. Kemasan cacat / terkoyak dapat disebabkan karena binatang pengerat atau pun kemasan yang memang cacat produksi. Selain itu, simplisia yang sudah tersimpan di gudang tidak terdapat data informasi lamanya penyimpanan, sehingga simplisia yang sudah disimpan terlalu lama tidak terdeteksi. Penyimpanan simplisia yang terlalu lama akan mengakibatkan simplisia menjadi sudah tidak layak, rusak, atau terjangkit serangga. Maka perlu adanya formulir kegiatan pasca panen tanaman obat di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Formulir pencatatan kegiatan pasca

(42)

panen ini dimaksudkan sebagai alat untuk mendokumentasikan dan mengontrol kegiatan pasca panen.

4.2.2 Perancangan Standard Operating Procedures dengan Menggunakan Plan, Do, Check, Action

Setelah diketahui akar penyebab masalahnya, maka dilakukan

problem-solving atau pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang direncanakan ialah

perancangan Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca panen untuk tanaman obat yang berasal dari daun dan dilengkapi dengan form kegiatan pasca panen. Dengan adanya Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca panen ini diharapkan agar para petani dapat menerapkannya sehingga proses pasca panen berjalan secara efektif dan efisien. Berikut pada Gambar 4.4 langkah-langkah perancangan SOP dengan menggunakan metode Plan, Do,

Check, Action (PDCA) secara garis besar:

Gambar 4.3 Siklus PDCA 1. Tahap Plan

Tahap perencanaan ini meliputi pembuatan draft atau rancangan awal SOP proses pasca panen dan dilengkapi dengan form kegiatan pasca panen. Rancangan awal SOP ini meliputi prosedur dari tiap tahapan pasca panen Daun Kumis Kucing yang disusun sesuai dengan format SOP. Prosedur ini disusun berdasarkan hasil dari FGD, serta sumber lain, yaitu BPOM, Depkes, dan Keputusan Menkes.

Menyusun rancangan awal SOP

Melakukan uji coba prosedur dalam skala kecil.

Mengevaluasi hasil uji coba terhadap rancangan awal SOP. Perbaikan

prosedur dan menyusun dokumen SOP pasca panen

(43)

Rancangan awal prosedur operasional pada tiap tahap proses pasca panen daun Kumis Kucing dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rancangan Awal Prosedur Operasional

Tahap Prosedur Operasional

Pengumpulan daun segar

1. Siapkan karung (bagor).

2. Setelah pemanenan, kumpulkan semua daun hasil panen dan masukkan ke dalam karung.

3. Mengisi form kegiatan pengumpulan. Tahap

penyortiran basah

1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penyortiran.

2. Pilih daun yang cukup umur panennya (umur: 10 minggu), layak atau tidak busuk.

3. Bersihkan daun dari kerikil, tanah, gulma, dan rumput dengan cara dipukul perlahan-lahan.

4. Memilah daun berdasarkan ukuran agar ukuran simplisia seragam.

5. Mengisi data kegiatan penyortiran basah pada form kegiatan pencucian dan sortasi basah.

Tahap pencucian

1. Daun dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan dari sisa tanah dan bakteri yang masih menempel kemudian dibilas pada bak air.

2. Daun kemudian ditiriskan dan hindari kontaminasi langsung dengan tanah atau lantai.

3. Menimbang daun untuk mengetahui berat daun basah. 4. Mengisi form kegiatan pencucian dan sortasi basah. Tahap

penimbangan basah

1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penimbangan basah.

2. Bersihkan terlebih dahulu alat timbang baik bagian luar maupun bagian dalam sebelum digunakan (BPOM, 2011). 3. Periksa kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang

agar sesuai dengan jumlah bahan yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011). Ganti alat timbang yang tidak layak.

(44)

Tabel 4.2 Rancangan Awal Prosedur Operasional (lanjutan)

Tahap Prosedur Operasional

4. Timbang daun pada alat timbang.

5. Catat berat daun pada form kegiatan pencucian dan sortasi basah.

Tahap pelayuan

1. Siapkan alas anyaman bambu (widig).

2. Hamparkan daun di atas alas anyaman bambu (widig), jangan ditumpuk terlalu tebal (Priadi, 2004).

3. Biarkan selama 1-2 malam. Tahap

pengeringan

1. Siapkan alat/sarana pengeringan

Sarana pengeringan yang dapat digunakan untuk pengeringan daun yaitu :

a. Cahaya matahari dibawah naungan (manual). b. Alat pengering / oven.

c. Kombinasi keduanya.

2. Pengeringan secara manual / menggunakan sinar matahari: a. Letakkan daun secara merata di atas nampan bambu

(widig), jangan ditumpuk.

b. Letakkan widig di atas 30 cm dari tanah. c. Tutup dengan kain hitam.

d. Bolak-balik daun setiap 4 jam sekali.

e. Daun dijemur selama 3 hari atau sampai kadar air 10% yang ditandai dengan daun kering / simplisia yang mudah dihancurkan.

f. Mengisi form kegiatan pengeringan. 3. Pengeringan menggunakan oven:

a. Letakkan daun pada alat pengering secara merata. b. Set suhu pengeringan sebesar 60o C.

c. Bolak-balik daun setiap 4 jam sekali.

d. Angkat simplisia dari alat pengering setelah kadar air mencapai 10 %.

(45)

Tabel 4.2 Rancangan Awal Prosedur Operasional (lanjutan)

Tahap Prosedur Operasional

Tahap penyortiran kering

1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penyortiran.

2. Pisahkan simplisia dari benda-benda asing dan pengotor lainnya yang masih tertinggal.

3. Pilih / sortir simplisia yang sudah kering sempurna, yaitu ditandai dengan daun yang mudah hancur jika diremas serta warnanya hijau kecokelatan atau hijau kelabu.

4. Mengisi form kegiatan penyortiran kering. Tahap

penimbangan kering

1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penimbangan.

2. Bersihkan terlebih dahulu alat timbang baik bagian luar maupun bagian dalam sebelum digunakan (BPOM, 2011). 3. Periksa kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang

agar sesuai dengan jumlah bahan yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011). Ganti alat timbang yang sudah tidak layak.

4. Timbang simplisia pada alat timbang. Perbandingan bobot basah dengan kering sebesar 5:1, atau 5 kg saat bobot basah dan 1 kg saat bobot kering.

5. Catat berat simplisia pada form kegiatan penyortiran kering. Tahap

pengemasan dan pelabelan

1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses pengemasan.

2. Siapkan bahan pengemas yang berupa plastik yang kedap udara.

3. Masukkan simplisia ke dalam kemasan.

4. Bersihkan terlebih dahulu alat timbang baik bagian luar maupun bagian dalam sebelum digunakan.

5. Menimbang berat bersih untuk setiap kemasan.

6. Masukkan silica gel ke dalam kemasan agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Klaster Biofarmaka          Sumber: Klaster Biofarmaka, 2012
Gambar                 1.  Pengumpulan
Gambar 2.4 Siklus PDCA                     Sumber: Foster, 1995
Gambar 2.5 Diagram Fishbone               Sumber: Besterfield, 1998
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Peningkatan skor baik pada pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada kelompok intervensi mengindikasikan bahwa metode yang dipergunakan dalam pelatihan ini

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang masuk dalam net generation yang diasumsikan familiar dengan Internet.Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui

dengan hak suara yang hadir dalam Rapat 5.285.200 suara atau 0,06% dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam Rapat 2.893.200 suara atau 0,03% dari seluruh saham dengan hak

Pada tanggal 5 Oktober 2014, penata mempresentasikan kepada dosen pembimbing I untuk melihat perkembangan karya ini, dan tanggapan dari Pembimbing I adalah agar gerak tari

Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa semakin rendah kelekatan aman antara ibu dan remaja akan meningkatkan risiko depresi sejalan dengan penelitian milik

Tingkat inflasi, suku bunga SBI dan IHSG juga berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian reksadana saham, sedangkan variabel yang paling dominan terhadap

Pada Tabel 1, 2 dan 3 terlihat pula bahwa jarak tanam yang berbeda menghasilkan tinggi tanaman umur 35 HST, panjang ruas batang utama dan jumlah cabang primer