PERANCANGAN STANDARD OPERATING PROCEDURES
PENGELOLAAN
DENGAN METODE
DI
JINGGA NUANSA
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
STANDARD OPERATING PROCEDURES
PENGELOLAAN PASCA PANEN DAUN KUMIS KUCING
METODE PLAN DO CHECK ACTION (PDCA)
DI KLASTER BIOFARMAKA
KARANGANYAR
Skripsi
JINGGA NUANSA NARWASTUJATI
I0308050
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP)
DAUN KUMIS KUCING
(PDCA)
ABSTRAK
Jingga Nuansa Narwastujati, NIM : I0308050, PERANCANGAN STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP) PENGELOLAAN PASCA PANEN DAUN KUMIS KUCING DENGAN METODE PLAN DO CHECK ACTION (PDCA) DI KLASTER BIOFARMAKA KARANGANYAR. Skripsi. Surakarta : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Februari 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk merancang Standard Operating Procedures (SOP) proses pasca panen Kumis Kucing yang dapat diterapkan di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Selama ini para petani di klaster melakukan pengelolaan pasca panen, khususnya untuk Daun Kumis Kucing belum dengan prosedur standar atau hanya berdasarkan pengalaman mereka. Hal ini menyebabkan kualitas simplisia yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas. Standar kualitas tersebut antara lain adalah kadar air maksimal 10% dan tidak mengandung serangga.
SOP ini dibuat dengan melihat proses penanganan pasca panen tanaman obat Daun Kumis Kucing di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu. Untuk perancangan dan penyusunan SOP tersebut, digunakan metode Plan Do Check Action (PDCA). Metode atau siklus PDCA juga disebut dengan Deming cycle, Shewhart cycle,
Deming wheel, atau Plan–Do–Study–Act (PDSA). Metode ini merupakan
penyusunan langkah-langkah perbaikan dengan menggunakan macam-macam tools kualitas atau biasa disebut dengan Seven tools. PDCA ini digunakan dalam upaya perbaikan dan implementasi SOP agar berjalan secara terus menerus (continuous improvement) untuk mempertahankan kualitas proses dan produk pasca panen. Hasil dari penelitian ini ialah prosedur standar untuk meningkatkan kualitas proses dan produk pasca panen khususnya simplisia tanaman Kumis Kucing di Klaster Biofarmaka Karanganyar.
Kata kunci: Daun Kumis Kucing, Klaster Biofarmaka, Pasca panen, PDCA, Simplisia, SOP, Tanaman obat
ABSTRACT
Jingga Nuansa Narwastujati, NIM : I0308050, DESIGNING STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP) OF AFTER-HARVEST KUMIS KUCING PLANT USING PLAN. DO. CHECK, ACTION (PDCA) IN KARANGANYAR BIOFARMAKA CLUSTER. Skripsi. Surakarta : Departement of Industrial Engineering Faculty of Engineering, Sebelas Maret University, February 2013.
This research has aim to design Standard Operating Procedures (SOP) of after-harvest Kumis Kucing Plant which can be implemented in Karanganyar Biofarmaka Cluster. For all the time, farmers in this cluster manage after-harvest activity with their own experiences and neglecting the use of standard procedures. However, the quality of dried slice does not conform with standard of quality. Those standard qualities for dried slice are the maximum moisture content 10% and not bugs containing.
This SOP is designed by observing after-harvest process of Kumis Kucing Plant in Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu. This SOP used Plan Do Check Action (PDCA) method. This method or PDCA cycle also called as Deming cycle, Shewhart cycle, Deming wheel, or Plan–Do–Study–Act (PDSA). This method conducts the improvement by using quality tools or usually it called Seven Tools. PDCA has effort for improving and applying the SOP to develop continuous improvement of after-harvest quality in its process and product. The result of this research is standard procedures to improve process and product qualities of after-harvest, especially dried slice of Kumis Kucing Plant in Karanganyar Biofarmaka Cluster.
Keywords: Kumis Kucing Plant, Biofarmaka Cluster, After-harvest, PDCA, Dried
slice, SOP, Plant medicne
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian yang telah dilakukan, serta sistematika penulisan untuk menyelesaikan penelitian.
1.1 LATAR BELAKANG
Kabupaten Karanganyar sangat potensial untuk mengembangkan sektor
pertanian karena sebagian besar wilayahnya masih didominasi oleh lahan-lahan pertanian. Salah satunya ialah pertanian tanaman obat. Tanaman obat di
Kabupaten Karanganyar memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Melihat kondisi tersebut, maka dibentuklah
Klaster Biofarmaka Karanganyar yang terdiri atas 10 Gapoktan dari 6 kecamatan di Karanganyar, yaitu Kecamatan Jumantono, Jumapolo, Jatipuro, Ngargoyoso,
Mojogedang dan Kerjo.
Komoditas utama klaster ini ialah tanaman obat yang berasal dari rimpang.
Tanaman obat selain rimpang masih sekadar untuk memenuhi kebutuhan petani sendiri. Tanaman obat misalnya yang berasal dari daun sebenarnya memiliki potensi yang sama. Salah satunya adalah Daun Kumis Kucing. Daun ini memiliki
banyak khasiat, seperti di Indonesia daun ini digunakan sebagai obat yang
memperlancar pengeluaran air kemih (diuretik), penyembuhan batuk, encok, masuk angin, sembelit, pengobatan radang ginjal, batu ginjal, kencing manis, dan
albuminuria (Rukmana, 2000). Walaupun banyak manfaatnya, tanaman ini belum
banyak dibudidayakan secara intensif. Di klaster juga belum ada kebijakan untuk mengembangkan tanaman tersebut, dikarenakan budidaya Kumis Kucing yang
secara monokultur dianggap menyebabkan produktivitas tanaman dan tingkat pendapatan rendah. Padahal, Daun Kumis Kucing ini dapat menambah potensi
dan peluang klaster untuk lebih mengembangkan keanekaragaman dan pemasaran
produk biofarmakanya.
Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional atau B2P2TO-OT (2011), daun ini memiliki prospek ekonomi yang cukup menjanjikan. Jika dihitung berdasarkan tingkat produktivitas minimalnya yaitu 6 ton/Ha/tahun dengan harga simplisia Rp 6.000,-/kg maka akan
menghasilkan Rp 36.000.000,-/Ha/tahun. Selain melihat prospek ekonominya, dari segi potensi pasar menurut Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik atau
Balittro (2009), daun ini biasa dipasarkan untuk industri farmasi dan jamu, sedangkan ekspornya ditujukan ke negeri Belanda, Jerman, Eropa Barat dan
Amerika Serikat. Permintaan simplisia Kumis Kucing menurut Trubus (2009), untuk industri obat tradisional lokal pada tahun 2009 sebanyak 10 ton/tahun dan
berfluktuasi setiap tahunnya. Namun, suatu produk biofarmaka yang akan dipasarkan baik dalam bentuk segar, serbuk, maupun simplisia harus memenuhi
standar kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Ketiga hal tersebut selain ditentukan oleh proses budidayanya, pengelolaan pasca panen juga memegang peranan
penting dalam segi kualitas.
Pengelolaan pasca panen ini meliputi kegiatan penyortiran, pencucian, pengolahan hasil, pengeringan, pengemasan, sampai pada penyimpanan. Kegiatan
pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan menjadi hal yang penting dalam
pengelolaan pasca panen karena dapat berpengaruh terhadap kualitas simplisia. Standar kualitas simplisia menurut Balittro (2009) ialah kadar air maksimal 10% dan tidak terjangkit serangga. Kegiatan pengeringan yang tidak sempurna akan
menyebabkan tingginya kadar air pada simplisia sehingga simplisia mudah busuk dan berjamur. Begitu juga pada kegiatan pengemasan dan penyimpanan, jika
kemasan tidak kedap udara, serta gudang penyimpanan kotor dan lembab maka kadar air simplisia akan meningkat sehingga simplisia mudah berjamur.
Selama ini beberapa petani yang tertarik dengan budidaya Daun Kumis
Kucing melakukan pengelolaan pasca panen Daun Kumis Kucing hanya berdasarkan pengalaman. Hal ini menyebabkan kualitas simplisia yang dihasilkan
tidak memenuhi standar kualitas. Maka dari itu, perlu disusun suatu pedoman pengelolaan pasca panen yang berisi prosedur standar atau biasa disebut dengan
Standard Operating Procedures (SOP). SOP dibuat dengan melihat proses
penanganan pasca panen tanaman obat Daun Kumis Kucing di B2P2TO-OT Tawangmangu. Untuk perancangan dan penyusunan SOP tersebut, digunakan
metode Plan Do Check Action (PDCA).
PDCA ini merupakan metode problem solving yang terdiri atas empat
langkah proses, yaitu Perencanaan (Plan), Pelaksanaan / Implementasi (Do), Pemeriksaan (Check), dan Tindak Lanjut (Action). PDCA ini digunakan dalam
upaya perbaikan dan implementasi SOP agar berjalan secara terus menerus (continuous improvement) untuk mempertahankan kualitas proses dan produk
pasca panen.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana merancang
Standard Operating Procedures (SOP) dengan metode Plan Do Check Action
(PDCA) yang dapat diterapkan pada pengelolaan pasca panen Daun Kumis
Kucing?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menghasilkan rancangan Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca panen Daun
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah menstandarkan prosedur untuk meningkatkan kualitas proses dan produk pasca panen khususnya tanaman Kumis
Kucing di Klaster Biofarmaka Karanganyar.
1.5 BATASAN MASALAH
Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini ialah :
1. Penyusunan SOP untuk proses produksi simplisia Daun Kumis Kucing. 2. Sampel penelitian dilakukan pada kelompok tani Sumber Rejeki I. 1.6 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang mengenai permasalahan yang akan dibahas, perumusan masalah yang diangkat, tujuan dan manfaat yang
ingin dicapai, batasan masalah, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi landasan teori yang merupakan penjelasan secara terperinci mengenai teori-teori yang digunakan, sebagai landasan pemecahan masalah, serta memberikan penjelasan secara garis besar metode yang
digunakan sebagai kerangka pemecahan masalah. Tinjauan pustaka ini
diambil dari berbagai sumber.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini merupakan gambaran terstruktur tahap demi tahap proses
pelaksanaan penelitian yang digambarkan dalam bentuk flowchart dan tiap tahapnya diberi penjelasan.
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini menguraikan data-data yang diperlukan untuk penyelesaian masalah dan cara pengolahan data yang dilakukan untuk mencapai
tujuan penelitian.
BAB V ANALISIS
Bab ini berisi analisis dari pengolahan data sesuai dengan permasalahan
yang dirumuskan.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan yang dibahas dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi tentang tinjauan umum tempat studi kasus dan
konsep-konsep teori yang menjadi tinjauan pustaka dalam penulisan laporan.
2.1 TINJAUAN UMUM TEMPAT STUDI KASUS KLASTER
BIOFARMAKA
Kabupaten Karanganyar sangat potensial untuk mengembangkan pertanian karena sebagian besar wilayahnya masih didominasi oleh lahan-lahan pertanian. Sektor pertanian sendiri memiliki kontribusi sebesar 21% terhadap PDRB
kabupaten Karanganyar. Salah satu pertanian yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan ialah tanaman obat. Terdapat banyak jenis tanaman obat di
Kabupaten Karanganyar yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, namun belum dimanfaatkan secara optimal.
Melihat kondisi tersebut maka dibentuklah Klaster Biofarmaka Karnganyar. Klaster Biofarmaka Karanganyar ini terdiri atas 10 Kelompok Tani dari 6
kecamatan di Karanganyar, yaitu Kecamatan Jumantono, Jumapolo, Jatipuro, Ngargoyoso, Mojogedang dan Kerjo. Berikut visi dan misi dari Klaster
Biofarmaka:
Visi : Mewujudkan Kabupaten Karanganyar sebagai sentra Biofarmaka
di Indonesia.
Misi : 1. Peningkatan luas lahan dan produksi biofarmaka.
2. Peningkatan kualitas budidaya dan pasca panen sesuai SAP- SOP.
3. Peningkatan kerja sama dengan pelaku usaha serta pelaku pasar biofarmaka.
klaster.
5. Pengembangan usaha berbasis teknologi dan pemberdayaan masyarakat.
6. Pemanfaatan sumber daya modal dan perbankan untuk pengem- bangan usaha.
Tujuan dibentuknya klaster biofarmaka di Kab Karanganyar adalah sebagai
berikut:
1. Meningkatkan jumlah produksi dan penghasilan petani yang didukung dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai dan tepat guna.
2. Terbentuknya home industri klaster biofarmaka (simplisia, tepung, dan jamu instan) sehingga berperan dalam penciptaan lapangan kerja masyarakat. 3. Meningkatkan kesejahteraan para anggota klaster.
Struktur organisasi dari Klaster Biofarmaka ialah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Klaster Biofarmaka Sumber: Klaster Biofarmaka, 2012
Adapun tugas, wewenang, serta tanggung jawab pada setiap struktur
organisasi klaster biofarmaka Kabupaten Karanganyar adalah sebagai berikut: 1. Ketua
a. Bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang ada di klaster. b. Mengkoordinir semua kelompok tani yang menjadi anggota klaster.
c. Menyelesaikan dan mencari solusi atas semua permasalahan yang terjadi dari hulu ke hilir yang meliputi budidaya, panen, pasca panen, pengolahan,
pemasaran, permodalan, serta sarana dan prasarana yang dapat menunjang produktivitas klaster.
2. Wakil Ketua I dan II
Membantu kerja ketua untuk mengkoordinir semua kegiatan yang ada di klaster.
3. Sekretaris
Mencatat dan melaporkan semua kegiatan dari hulu ke hilir berdasarkan
laporan dari tupoksi (tugas pokok dan fungsi) terkait kegiatan. 4. Wakil Sekretaris
Membantu kerja sekretaris dalam hal kearsipan laporan semua kegiatan yang dilaksanakan di klaster.
5. Bendahara
Mencatat semua pengeluaran yang berkaitan dengan keuangan termasuk
permodalan. 6. Produksi Usaha
Mengkoordinir semua kegiatan yang terkait dengan budidaya dan pengolahan. 7. Pengolahan dan Pemasaran
Mengkoordinir dan memfasilitasi semua kegiatan yang terkait dengan pemasaran.
8. Usaha
Membantu kelancaran kegiatan setiap unit usaha yang terdapat di klaster.
2.2 BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT DAN OBAT TRADISIONAL (B2P2TO2T) TAWANGMANGU Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu berada di desa Kalisoro dan
Tlogodlingo, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa
Tengah dan memiliki ketinggian ± 1.200 m dpl dilereng Barat Gunung Lawu, 45 km di sebelah Timur Kota Surakarta. B2P2TO-OT Tawangmangu ini berdiri sejak tahun 1978. Semula balai ini bernama Hortus Medicus Tawangmangu, namun atas
dasar pertimbangan bahwa Hortus Medicus merupakan tempat Penelitian Tanaman Obat, maka sesuai surat keputusan Menteri Kesehatan R.I No.
149/Men.Kes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978, Hortus Medicus Tawangmangu diubah menjadi Balai Besar Penelitian Tanaman Obat (BPTO) yang merupakan
Unit Pelaksanaan Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.
B2P2TO-OT mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut
B2P2TO-OT Tawangmangu mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Perencanaan, pelaksanaan, evaluasi penelitian dan atau pengembangan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.
2. Pelaksanaan eksplorasi, iventarisaasi, identifikasi, adaptasi dan koleksi plasma nutfah tanaman obat.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan pelestarian plasma nutfah tanaman obat.
4. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi standarisasi tanaman obat dan bahan baku obat tradisional.
5. Pelaksanaan dan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.
6. Pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat tradisional.
7. Pelaksanaan dan pelatihan teknis di bidang pembibitan, pembudidayaan, pasca panen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan kemanfaatan obat tradisional.
8. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Di B2P2TO-OT ini
membandingkan prosedur pengelolaan pasca panen di lembaga tersebut dengan
Klaster Biofarmaka. Prosedur ini sebenarnya hampir sama dengan prosedur pasca panen di Klaster Biofarmaka, namun dilengkapi dengan beberapa proses, yaitu
penyortiran basah dan kering, penimbangan basah dan kering, pelabelan, serta pengamatan. Berikut Gambar 2.2 menunjukkan
Gambar
naan dan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang
tanaman obat dan obat tradisional.
Pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat
Pelaksanaan dan pelatihan teknis di bidang pembibitan, pembudidayaan, pasca
anen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan kemanfaatan obat tradisional.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
ini dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan prosedur pengelolaan pasca panen di lembaga tersebut dengan
Prosedur ini sebenarnya hampir sama dengan prosedur pasca panen di Klaster Biofarmaka, namun dilengkapi dengan beberapa proses, yaitu
basah dan kering, penimbangan basah dan kering, pelabelan, serta Gambar 2.2 menunjukkan bagan pasca panennya:
Gambar 2.2 Proses Pasca Panen B2P2TO-OT Sumber: B2P2TO-OT, 2011
A
naan dan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang
Pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat
Pelaksanaan dan pelatihan teknis di bidang pembibitan, pembudidayaan, pasca
anen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan
bertujuan untuk membandingkan prosedur pengelolaan pasca panen di lembaga tersebut dengan
Prosedur ini sebenarnya hampir sama dengan prosedur pasca panen di Klaster Biofarmaka, namun dilengkapi dengan beberapa proses, yaitu
Gambar
1. Pengumpulan
Panen Kumis Kucing dilakukan ketika tanaman berumur sekitar 10 minggu.
Pada saat itu, tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan bahan aktifnya yang tinggi. Pemanenan
dilakukan dengan memetik langsun
Daun hasil panen dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung atau
bersih.
2. Penyortiran basah
Penyortiran basah bertujuan memisahkan bahan dari kotoran misalnya kerikil, tanah, gulma, dan rumpu
bertujuan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, kecil, layak atau tidaknya daun sehingga nantinya akan diperoleh ukuran simplisia yang
seragam.
Gambar 2.2 Proses Pasca Panen B2P2TO-OT (lanjutan) Sumber: B2P2TO-OT, 2011
Panen Kumis Kucing dilakukan ketika tanaman berumur sekitar 10 minggu.
Pada saat itu, tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan bahan aktifnya yang tinggi. Pemanenan
dilakukan dengan memetik langsung daun yang berada pada pucuk tanaman. Daun hasil panen dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung atau bagor
Penyortiran basah bertujuan memisahkan bahan dari kotoran-kotoran seperti misalnya kerikil, tanah, gulma, dan rumput. Selain itu, penyortiran basah
bertujuan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, kecil, layak atau tidaknya daun sehingga nantinya akan diperoleh ukuran simplisia yang
A
(lanjutan)
Panen Kumis Kucing dilakukan ketika tanaman berumur sekitar 10 minggu.
Pada saat itu, tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan bahan aktifnya yang tinggi. Pemanenan
g daun yang berada pada pucuk tanaman.
bagor yang
kotoran seperti t. Selain itu, penyortiran basah
bertujuan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, kecil, layak atau tidaknya daun sehingga nantinya akan diperoleh ukuran simplisia yang
3. Pencucian
Pencucian ini untuk membersihkan daun dari tanah, kotoran-kotoran maupun mikroba yang menempel. Pencucian ini akan menurunkan jumlah mikroba
pathogen yang menyebabkan pembusukan. Pencucian menggunakan air yang mengalir sehingga kotoran yang sudah lepas tidak menempel lagi. Proses pencucian hendaknya tidak terlalu lama / direndam, agar senyawa aktifnya tidak
larut dalam air.
Kualitas air yang dipakai hendaknya diperhatikan. Tidak dianjurkan memakai air sungai, karena dikhawatirkan sudah tercemar bakteri, Setelah pencucian selesai, bahan ditiriskan untuk mengurangi kandungan air. .
4. Penimbangan Basah
Penimbangan basah ini bertujuan untuk mengetahui berat bersih bahan yang
akan diproses menjadi simplisia. Kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang dan alat ukur yang dipakai hendaklah sesuai dengan jumlah bahan
yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011). 5. Pelayuan / Peram
Pelayuan / peram bertujuan agar bahan mengalami fermentasi dan pelayuan sebelum dikeringkan. Bahan / daun dihamparkan di atas alas anyaman bambu
(widig) dan dibiarkan selama 1-2 malam. Pada proses ini daun tidak boleh
ditumpuk terlalu tebal sebab akan menghasilkan daun yang tidak kering merata
dan kualitasnya rendah. 6. Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan secara manual maupun dengan menggunakan oven. Untuk pengeringan manual, dijemur di atas nampan bambu dengan
menggunakan sinar matahari langsung selama 3 hari hingga diperoleh daun yang kering dan mati. Jika menggunakan oven, maka suhunya tidak boleh di atas 60o C.
Pengeringan dengan cara dibolak-balik agar diperoleh hasil daun yang kering
merata. Pengeringan ini dilakukan hingga kadar air mencapai di bawah 10%. 7. Penyortiran Kering
Penyortiran kering bertujuan memisahkan simplisia dari kotoran-kotoran seperti misalnya kerikil, debu, dan tanah. Penyortiran ini bertujuan simplisia tidak tercemar oleh benda-benda asing sehingga kualitasnya dapat terjaga. Selain itu,
penyortiran kering juga bertujuan untuk memilih antara simplisia yang sudah
kering sempurna maupun yang belum. 8. Penimbangan Kering
Penimbangan kering ini bertujuan untuk mengetahui bobot susut dari
simplisia. Bobot susut yang dimaksud ialah membandingkan bobot basah bahan segar dengan bobot kering sesudah menjadi simplisia. Perbandingan bobot
tersebut sekitar 5:1, yaitu 5 kg saat bobot basah dan 1 kg saat bobot kering. Kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang dan alat ukur yang dipakai
hendaklah sesuai dengan jumlah bahan yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011).
9. Pengepakan dan Pelabelan
Simplisia yang sudah kering dimasukkan ke dalam plastik kedap udara agar
tidak lembab dan menyebabkan timbulnya jamur pada simplisia. Pelabelan memuat informasi tentang no.kode, nama simplisia, tanggal penyimpanan, berat
simplisia, 10. Penyimpanan
Simplisia yang sudah dikemas, disimpan di dalam gudang penyimpanan. Setiap simplisia dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, tidak tercampur antar
simplisia yang lain. Simplisia disusun dengan metode FIFO (First In First Out)
sesuai dengan tanggal penyimpanannya (BPOM, 2011). Gudang penyimpanan
11. Pengamatan
Pengamatan pada produk simplisia dilakukan dalam jangka waktu tertentu, misalnya 3 bulan sekali. Pengamatan ini meliputi pengecekan dan pengujian mutu
yang ada dalam gudang. Kerusakan akibat penyimpanan dapat berupa hancurnya simplisia, berjamur, terkena serangga, berubah dalam hal warna, rasa, dan bau.
2.3 KUMIS KUCING (ORTHOSIPHON STAMINEUS, BENTH) Berikut merupakan taksonomi dari tanaman Kumis Kucing:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Lamiaceae
Genus : Orthosiphon
Spesies : Orthosiphon stamineus, Benth
Tanaman Kumis Kucing merupakan tanaman terna yang tumbuh tegak, pada
buku-bukunya berakar tetapi tidak tampak nyata, tinggi tanaman sampai 2 m. Batang bersegi empat agak beralur. Helai daun berbentuk bundar telur lonjong,
lanset, lancip atau tumpul pada bagian ujungnya, ukuran daun panjang 1 – 10 cm dan lebarnya 7.5 mm – 1.5 cm, urat daun sepanjang pinggir berbulu tipis atau
gundul, dimana kedua permukaan berbintik-bintik karena adanya kelenjar yang jumlahnya sangat banyak, panjang tangkai daun 7 – 29 cm.
Kelopak bunga berkelenjar, urat dan pangkal berbulu pendek dan jarang sedangkan di bagian yang paling atas gundul. Bunga bibir, mahkota berwarna
ungu pucat atau putih, dengan ukuran panjang 13 – 27mm, di bagian atas ditutupi oleh bulu pendek yang berwarna ungu atau putih, panjang tabung 10 – 18mm,
panjang bibir 4.5 – 10 mm, helai bunga tumpul, bundar. Benang sari ukurannya lebih panjang dari tabung bunga dan melebihi bibir bunga bagian atas. Buah geluk
Gambar 2.3 Kumis Kucing
Sumber : B2P2TO-OT, 2011
Untuk prosedur pasca panen Kumis Kucing menurut Balittro (2009) adalah sebagai berikut:
1. Pemanenan
Pemetikan yang terbaik bila umur tanaman sudah mencapai 10 minggu. Cara
memetiknya dengan 4 - 6 helai daun paling atas beserta batangnya di petik, daun dibawahnya dipetik karena termasuk daun tua.
2. Pencucian
Daun yang sudah dipetik, kemudian melalui proses pencucian. Pencucian
dengan menggunakan air mengalir. 3. Pengeringan
Daun yang sudah dicuci kemudian dijemur dipanas matahari (merupakan cara konvensional). Untuk cara pengeringan yang baik ialah dengan menggunakan
panas buatan (oven). Caranya ialah daun diangin-anginkan di tempat atau di bangsal-bangsal yang mempunyai sirkulasi udara baik. Lalu letakan daun di atas
dibuat dari papan dan jangan dari logam. Pengeringan dianggap cukup bila daun
sudah kering dan mudah hancur jika diremas. Biasanya penyusutan dari daun basah menjadi daun kering dengan perbandingan 5 : 1.
4. Pengemasan
Daun yang telah kering harus segera dikemas dengan cara dibungkus dan dimasukan ke dalam kaleng yang dilapisi aluminium dan tertutup rapat agar tidak
menghisap uap air. Berikut merupakan standar kualitas Daun Kumis Kucing:
a. Warna : daun hijau kecoklatan atau hijau kelabu. b. Bau : harum, tidak tajam
c. Rasa : asin agak pahit d. Kadar air : max 10% e. Kotoran : max 2% f. Abu : 10%
g. Tidak mengandung serangga dan cendawan / jamur.
2.4 PENGELOLAAN PASCA PANEN TANAMAN OBAT
Pengelolaan pasca panen adalah suatu perlakuan yang diberikan pada hasil
pertanian hingga produknya siap konsumsi (Siswanto, 2004). Tujuan dari pengelolaan pasca panen ini antara lain:
1. Mencegah kerugian karena perlakuan prapanen yang tidak tepat.
2. Menghindari kerusakan karena teknologi pasca panen yang kurang tepat, seperti misalnya mencegah terjadinya perubahan fisiologis bahan, mencegah timbulnya patogen, dan mencegah kerusakan penyimpanan akibat gangguan
hama.
3. Menekan penyusutan kuantitatif dan kualitatif hasil.
4. Terjaminnya suplai bahan baku produksi tanaman obat meskipun tidak pada musimnya.
Pengelolaan pasca panen ini meliputi kegiatan penyortiran, pencucian,
pengolahan hasil, pengeringan, pengemasan, sampai pada penyimpanan. Berikut penjelasan tentang kegiatan pasca panen menurut Siswanto (2004):
1. Pencucian
Pencucian bertujuan untuk memperoleh simplisia yang bersih serta bebas dari kotoran yang mungkin terbawa saat pemanenan atau pengangkutan. Perlakuan ini
akan menurunkan jumlh mikroba patogen yang menyebabkan pembusukan dan
membuat tampilan simplisia menjadi lebih menarik.
Untuk simplisia yang banyak memgandung senyawa aktif yang mudah larut dalam air sebaiknya tidak dicuci atau cukup direndam air sebentar saja, Selain
teknik pencucian, kualitas air yang dipakai juga dapat mempengaruhi mutu simplisia. Pencucian bahan dengan air sungai tidak dianjurkan karena
dikhawatirkan air telah tercemar bakteri, antara lain Pseudomonas, Proteus,
Micrococcus, Bacillus cereus, Streptococcus, Enterobacter, dan Escherichia coli.
Pencucian yang benar dilakukan pada air yang mengalir atau bak bertingkat, sehingga kotoran yang terlepas tidak menempel kembali. Setelah dicuci, bahan
ditiriskan,. Penirisan dilakukan di tempat yang teduh karena bila setelah dicuci bahan langsung dikeringkan di bawah sinar matahari, maka akan menyebabkan
pembusukan. 2. Sortasi
Tujuan dari sortasi atu penyortiran adalah untuk memperoleh simplisia seperti yang dikehendaki baik kebenaran bahan maupun kebersihannya. Sortasi sekaligus
berperan untuk memilah bahan berdasarkan panjang, lebar, besar, atau kecil sehingga diperoleh ukuran yang seragam.
Sortasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu sortasi basah dan sortasi kering. Sortasi basah dilakukan saat bahan masih segar dan bertujuan untuk memisahkan
gulma, dan sebagainya. Sortasi kering dilakukan ketika bahan sudah melalui
proses pengeringan dan bertujuan untuk membersihkan kotoran-kotoran seperti debu, kerikil, tanah, dan sebagainya.
3. Pengubahan Bentuk
Pengubahan bentuk tanaman obat menjadi bentuk lain, seperti irisan, potongan, dan serutan bertujuan untuk memudahkan kegiatan pengeringan,
pengepakan, serta pengolahan lebih lanjut menjadi bahan baku obat atau
kosmetika. Beberapa jenis simplisia yang sering mengalami perubahan bentuk, ialah akar, batang, umbi, rimpang, dan kulit batang.
Pada umumnya, semakin tipis bahan, maka proses pengeringan akan semakin
cepat karena proses penguapan air yang cepat. Namun, irisan yang terlaalu tipis juga tidak baik karena senyawa aktif yang terkandung akan mudah menguap dan
simplisia lebih mudah rusak saat dikemas. 4. Pengeringan
Pengeringan pada dasarnya merupakan upaya untuk menurunkan kadar air bahan sampai pada tingkat yang diinginkan. Pengeringan ini berfungsi untuk
mencegah terjadinya pencemaran serta kontaminasi oleh jamur atau patogen yang dapat menurunkan kualitas atau mengakibatkan keracunan pada saat bahan
dikonsumsi. Secara garis besar pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami dan dengan bantuan alat. Pengeringan secara alami
pada dasarnya melibatkan unsur iklim, yaitu cahaya matahri, hembusan angin, atau pergantian udara. Pengeringan dengan menggunakan alat tidak bergantung
terhadap iklim. Alat pengeringan dapat menggunakan berbagai tenaga, misalnya listrik, energi panas, dan api.
5. Pengemasan
Syarat bahan pengemas yang baik adalah sebagai berikut:
b. Tidak mengandung zat kimia yang menyebabkan perubahan rasa, aroma, dan kadar air simplisia.
c. Sesuai dengan kebutuhan konsumen, misalnya tidak terlalu berat, praktis, ukuran, dan bentuk menarik.
d. Mampu mencegah penambahan air atau menghindari kelembaban. e. Mampu menahan pengaruh cahaya.
f. Memiliki daya lindung yang dapat diandalkan, tidak bersifat racun, dan murah.
6. Penyimpanan
Dalam dunia pertanian, penyimpanan merupakan bagian dari proses produksi
sebelum hasil tersebut digunakan oleh konsumen. Untuk itu, dalam membangun gudang penyimpanan simplisia perlu memperhatikan hal-hal berikut:
a. Memiliki ventilasi yang baik. b. Bebas dari kebocoran.
c. Terpisah dari tempat penyimpanan bahan atau alat-alat lain yang tidak sejenis.
d. Penerangan cukup serta dapat mencegah masuknya sinr matahari yang berlebih.
e. Bersih dan bebas dari sampah dan limbah yang memungkinkan menjadi sarang serangga dan hama.
2.5 KONSEP SIMPLISIA
Pengertian simplisia menurut Katno (2008) adalah bahan alami yang
digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun, kecuali dinyatakan lain, umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia
merupakan bahan alamiah yang yang digunakan sebagai obat baik dalam bentuk bahan asli atau sebagai bahan baku obat yang dikeringkan (Siswanto,2004).
Simplisia digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu sinplisia nabati, hewani, dan
pelikan (mineral). 1. Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari
selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya
yang dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi dari tanamannya. 2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan dan madu.
3. Simplisia pelikan atau mineral
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau
mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga.
Simplisia berdasarkan bagian-bagian yang dipakai dapat dikelompokkan menjadi 14 macam, yaitu simplisia daun, kulit, kayu, herba, bunga, akar, umbi,
rimpang, buah,kulit buah, biji, ekstrak, tingtur, dan getah (Siswanto,2004). Untuk tanaman obat Kumis Kucing termasuk dalam simplisia daun. Simplisia daun dapat
berupa lembaran daun tunggal maupun majemuk.
2.6 KONSEP KUALITAS
Berbagai definisi tentang kualitas telah banyak diusulkan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kualitas adalah kecocokan untuk digunakan (Juran, 1988).
2. Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan – yang telah ditetapkan (Crosby, 1979).
3. Kualitas harus berorientasi pada kebutuhan konsumen, sekarang dan yang akan datang (Deming, 1986).
4. Kualitas adalah gabungan seluruh karakteristik produk dan pelayanan yang meliputi pemasaran, keteknikan, manufaktur, dan perawatan, di mana seluruh produk dan pelayanan yang digunakan disesuaikan dengan harapan / kebutuhan konsumen (Feigenbaum, 1983).
Dari sisi mana kualitas dinilai disebut dimensi kualitas. Suatu perusahaan
dalam melihat sisi kualitas biasanya hanya memakai salah satu dimensi yang ada. Garvin (1987) mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik kualitas sebagai berikut:
1. Performance, yaitu karakteristik operasi pokok dari produk inti atau kinerja. 2. Feature, yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap atau ciri khas yang
membedakan dengan produk lain.
3. Reliability, yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai atau kepercayaan pelanggan terhadap produk lain yang merupakan
karakteristik pelengkap dan mampu menimbulkan kesan baik kepada
pelanggan.
4. Conformance to specifications, yaitu sejauh mana karakteristik desain atau operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya atau sejauh mana kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan.
5. Durability, berkaitan dengan beberapa lama produk tersebut dapat terus digunakan.
6. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah diperbaiki, penanganan keluhan yang memuaskan.
7. Aesthetic, yaitu daya tarik produk tersebut.
8. Perception, yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya yang menyebabkan fanatisme konsumen.
2.7 KONSEP STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP)
Standard Operating Procedures (SOP) pada dasarnya adalah pedoman yang
berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu organisasi
yang digunakan untuk memastikan bahwa semua keputusan dan tindakan, serta penggunaan fasilitas-fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-orang di dalam organisasi berjalan secara efektif (dan efisien), konsisten standar, dan sistematis
(Tambunan, 2011). SOP sebenarnya bukan hanya merupakan pedoman prosedur
rutin yang harus dilaksanakan, tetapi SOP juga berfungsi untuk mengevaluasi pekerjaan yang telah dilakukan, apakah pekerjaan tersebut telah dikerjakan dengan baik atau tidak, kendala yang dihadapi, atau mengapa kendala tersebut
terjadi. Dengan adanya SOP yang jelas maka akan lebih mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu dan pekerjaan, dimana hal tersebut berhubungan dengan
kualitas mutu, dan berimplikasi pada kepuasan pelanggan.
Tambunan (2011) menyebutkan beberapa manfaat teknis SOP bagi organisasi
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menjamin adanya standarisasi kebijakan, peraturan, baik yang dibuat intern organisasi maupun dari ekstern, misalnya undang-undang, maupun yang berupa aturan lainnya dari institusi seperti Bapepam, dan lain-lain.
2. Menjamin adanya standarisasi pelaksanaan setiap prosedur operasional standar yang telah ditetapkan menjadi pedoman baku organisasi.
3. Menjamin adanya standarisasi untuk penggunaan dan distribusi formulir, blanko, dan dokumen dalam prosedur operasional standar.
4. Menjamin adanya standarisasi sistem administrasi (termasuk kegiatan penyimpanan arsip dan sistem dokumentasi).
5. Menjamin adanya standarisasi validasi dalam alur kegiatan yang telah ditetapkan.
7. Menjamin adanya standarisasi kontrol.
8. Menjamin adanya standarisasi untuk pelaksanaan evaluasi dan penilaian kegiatan organisasi.
9. Menjamin adanya standarisasi untuk pelayanan dan tanggapan kepada pihak luar organisasi.
10. Menjamin adanya standarisasi untuk keterpaduan dan keterkaitan di antara prosedur dengan prosedur operasional lainnya di dalam konteks dan kerangka
tujuan organisasi.
11. Menjamin adanya acuan yang formal bagi anggota organisasi untuk menjalankan kewajiban di dalam prosedur operasional standar.
12. Menjamin adanya acuan yang formal untuk setiap perbaikan serta pengembangan prosedur-prosedur operasional standar di masa datang.
Untuk dasar sistematika penyajian SOP dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Berikut dasar sistematika penyajian SOP menurut
Tambunan (2011): 1. Tujuan SOP
Mencerminkan yang akan dan seharusnya dicapai apabila SOP dijalankan. 2. Penjelasan Singkat tentang SOP
Penjelasan singkat ini ditulis dengan tujuan agar pengguna dapat memahami isi SOP secara umum.
3. Peraturan dan Kebijakan terkait SOP
Penjelasan tentang peraturan kebijakan secara internal dan eksternal dari
perusahaan.
4. Teknik yang Digunakan dalam SOP
Penjelasan tentang teknik yang digunakan dalam penyusunan SOP, yaitu dapat berupa teknik naratif, diagram alir, atau tabular.
5. Pihak yang Terlibat
Penjelasan tentang pihak yang terlibat dalam SOP, baik pihak internal maupun eksternal perusahaan.
6. Formulir dan Dokumen yang digunakan dalam SOP
Pencantuman formulir dan dokumen apa saja yang digunakan dalam SOP. 7. Laporan-laporan yang dihasilkan SOP
Pencantuman laporan-laporan yang dihasilkan pada saat pelaksanaan SOP.
8. Kaitan dengan SOP lain
Pencantuman prosedur-prosedur lain yang terkait dengan pelaksanaan SOP. 9. Lampiran SOP
Berisi lampiran contoh format dari formulir, dokumen, atau laporan-laporan.
2.8 KONSEP PLAN DO CHECK ACTION (PDCA)
Siklus Plan Do Check Action (PDCA) ini merupakan empat langkah proses problem solving yang dapat digunakan untuk mengkoordinasi upaya dengan
tujuan mencapai quality improvement atau perbaikan secara terus menerus.
Konsep dari siklus PDCA pertama dikemukakan oleh Walter Shewhart tahun
1930 yang kemudian dikembangkan oleh W. Edwards Deming, pada tahun 1950. Siklus PDCA juga disebut dengan Deming cycle, Shewhart cycle, Deming wheel,
atau Plan–Do–Study–Act (PDSA).
Gambar 2.4 Siklus PDCA Sumber: Foster, 1995
Dari gambar tersebut dapat diketahui masing-masing tahapan dalam siklus
PDCA. Tahapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Fase Plan, yang dilakukan pada tahap ini adalah
a. Mendifinisikan hal-hal yang dapat menjadi sebagai improvement
opportunity
b. Menunjukkan proses yang berlangsung saat ini.
c. Mengukur keefektifan proses yang berlangsung saat ini. d. Merencanakan perubahan berupa alternatif perbaikan
2. Fase Do, yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan perubahan proses dengan cara menjalankan proses baru yang memuat alternatif perbaikan.
3. Fase Check, yang dilakukan pada tahap ini adalah mengevaluasi hasil dari perubahan proses yang dijalankan.
4. Fase Act, yang dilakukan pada tahap ini adalah memberikan reaksi terhadap hasil yang didapat dari hasil proses yang memuat alternatif perbaikan.
Proses problem solving dengan PDCA atau PDSA ini merupakan penyusunan
langkah-langkah perbaikan dengan menggunakan macam-macam tools kualitas
atau biasa disebut dengan Seven tools (Summers, 2000). Namun, tidak ditutup
kemungkinan untuk menggunakan tools lain, misalnya dengan cara
brainstorming. Bentuk pengulangan atau kontinuitas dari lingkaran PDCA
tersebut menjurus pada semakin efektifnya perencanaan, maka akan semakin
efisien pengendaliannya (Mizuno, 1994).
2.9 FISHBONE DIAGRAM
Bentuk diagram ini mirip dengan kerangka ikan sehingga disebut sebagai
fishbone diagram. Fishbone diagram terdiri dari garis dan simbol yang dirancang
untuk mewakili hubungan antara efek dan penyebabnya, sehingga disebut juga sebagai cause and effect diagram (Besterfield, 1998). Selain itu diagram ini
sebagai bapak QC Circles. Fishbone diagram adalah alat yang sangat efektif
untuk menganalisis penyebab terjadinya masalah.
Gambar 2.5 Diagram Fishbone
Sumber: Besterfield, 1998
2.10 KONSEP FOCUSSED GROUP DISCUSSION (FGD)
Metode Focused Group Discussion (FGD) adalah suatu proses pengumpulan
data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang
sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2006). FGD ini merupakan
teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif
dengan tujuan menemukan makna menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan
hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti
terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.
Setiap FGD dibutuhkan satu orang moderator, satu pencatat proses, 1 satu
pengembang peserta dan satu atau 2 dua orang logistik dan blocker (Irwanto, 2006). Berikut merupakan tugas masing-masing pihak:
1. Moderator, yaitu fasilitator diskusi yang terlatih dan memahami masalah yang dibahas serta tujuan penelitian yang hendak dicapai (ketrampilan
2. Pencatat Proses / Notulen, yaitu orang bertugas mencatat inti permasalahan yang didiskusikan serta dinamika kelompoknya. Umumnya dibantu dengan alat pencatatan berupa satu unit komputer atau laptop yang
lebih fleksibel.
3. Pengembang / Penghubung Peserta, yaitu orang yang mengenal, menghubungi, dan memastikan partisipasi peserta. Biasanya disebut mitra
kerja lokal di daerah penelitian.
4. Penyedia Logistik, yaitu orang-orang yang membantu kelancaran FGD berkaitan dengan penyediaan transportasi, kebutuhan rehat, konsumsi, akomodasi (jika diperlukan), insentif (bisa uang atau barang/cinderamata),
alat dokumentasi, dll.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini membahas secara sistematis tentang langkah-langkah yang
dilakukan dalam penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3.1.
Metodologi penelitian pada Gambar 3.1 diuraikan dalam beberapa tahap.
Uraian tiap tahapnya akan dijelaskan sebagai berikut :
3.1 TAHAP AWAL
Tahap awal pada penelitian ini meliputi observasi awal, identifikasi masalah, pemilihan produk, perumusan masalah dan studi pustaka yang akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Observasi awal
Observasi awal merupakan tahap awal dalam penelitian ini. Observasi
dilakukan di Klaster Biofarmaka dan kelompok tani Sumber Rejeki I Desa Sambirejo Kecamatan Jumantono. Dalam proses ini bertujuan untuk melihat
secara langsung kondisi yang ada di klaster sehingga dapat dengan mudah mengidentifikasi masalah yang ada, yaitu perlunya suatu standar untuk menjamin
produknya yang berupa Standard Operating Procedure (SOP). 2. Identifikasi Masalah
Tahap ini digunakan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, kemudian dapat dicari bahan, materi, serta literatur yang digunakan agar dapat menentukan
metode yang tepat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang terjadi. 3. Perumusan masalah
Perumusan masalah dilakukan untuk merangkum permasalahan yang terjadi
dan bagaimana memecahkan masalah yang ada. Pada penelitian ini dirumuskan
masalah tentang bagaimana merancang Standard Operating Procedures (SOP) dengan metode PDCA yang dapat diterapkan pada proses pasca panen Kumis Kucing?
4. Studi Pustaka
Studi pustaka diperlukan untuk mencari landasan teori yang dipakai untuk
memecahkan masalah. Studi pustaka ini mengacu pada literatur baik text book maupun jurnal yang membahas tentang penyusunan SOP (Standard Operating
Procedures) untuk pengelolaan pasca panen Daun Kumis Kucing, metode dan
konsep PDCA, dan Focused Group Discussion.
3.2 PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 1. Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data meliputi pengolahan lebih lanjut dari data hasil penelitian di B2P2TO-OT dan studi pustaka dengan melakukan Focussed Group
Discussion (FGD) di Klaster Biofarmaka.
2. Pengolahan Data
Tahap pengolahan data pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: a. Identifikasi Akar Masalah
Permasalahan yang dibahas di sini ialah peningkatan kualitas hasil pasca panen agar mencapai standar kualitas. Identifikasi akar penyebab masalah dari
kualitas simplisia tidak sesuai standar menggunakan Fish bone diagram. Identifikasi akar masalah ini ditinjau dari segi Method dan Material.
b. Perancangan Standard Operating Procedures dengan menggunakan Plan,
Do, Check, Act
Setelah diketahui akar penyebab masalahnya, maka dilakukan
problem-solving atau pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang direncanakan
ialah perancangan Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca
panen untuk tanaman obat yang berasal dari daun dan dilengkapi dengan form
kegiatan pasca panen. Perancangan SOP ini dengan menggunakan metode PDCA. Berikut langkah-langkahnya:
• Tahap Plan
Pada tahap Plan ini dilakukan perencanaan terhadap pemecahan masalah. Rencana ini disusun berdasarkan hasil dari FGD, serta sumber lain yang
terkait.
• Tahap Do
Pada tahap ini dilakukan implementasi atau pelaksanaan dari rencana yang telah disusun sebelumnya (tahap Plan) dan memantau proses pelaksanaan
dalam skala kecil (proyek uji coba). Proses pemantauan dilakukan secara langsung dan dicatat pada checklist.
• Tahap Check
Pada tahap ini dilakukan evaluasi dari data hasil checklist pada tahap proyek uji coba (tahap Do). Evaluasi ini dilakukan terhadap hal-hal apa saja
yang harus diperbaiki menurut hasil checklist.
• Tahap Action
Pada tahap ini merupakan tindak lanjut atas hasil evaluasi. Tahapan ini meliputi revisi dan perbaikan lebih lanjut terhadap hasil evaluasi. Hasil dari
tahapan ini dapat langsung diimplementasikan, atau digunakan untuk tahap perencanaan selanjutnya.
3.3 ANALISIS DAN KESIMPULAN 1. Analisis
Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis dan interpretasi hasil. Pada tahap ini
dilakukan analisis terhadap hasil pengolahan data yaitu analisis penyusunan SOP dengan metode PDCA pada proses pasca panen Kumis Kucing.
2. Kesimpulan dan saran
Tahap akhir adalah menarik kesimpulan berdasar hasil analisis data, serta
memberikan saran-saran yang dapat dijadikan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Pada bab ini dijelaskan mengenai pengumpulan dan pengolahan data. Data yang sudah terkumpul diolah untuk mengidentifikasi akar masalah keseragaman kualitas produk simplisia. Setelah diketahui akar penyebab masalahnya, dilakukan
problem-solving atau perbaikan terhadap masalah tersebut.
4.1 PENGUMPULAN DATA
Dari data hasil penelitian di B2P2TO-OT dan studi pustaka kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan Focussed Group Discussion (FGD) di Klaster Biofarmaka. Berikut adalah pelaksanaan teknis FGD:
Tanggal FGD : Senin, 30 April 2012 Waktu FGD : 11.45-13.00 WIB
Tempat FGD : Klaster Biofarmaka, Desa Sambirejo, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar
Narasumber : 1. Bapak Suparman selaku ketua Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar.
2. Bapak Sarwoko selaku perwakilan dari Kelompok Tani Sumber Rejeki I Kecamatan Jumantono.
3. Bapak Widodo selaku perwakilan dari Kelompok Tresno Asih Mulyo Kecamatan Jumapolo.
4. Bapak Wiratno selaku Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Jumantono.
5. Bapak Amat selaku tenaga kerja di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar.
Moderator : Jingga Nuansa N Peserta FGD : 1. Nia Kartika Wuri
2. Martha Cintya 3. Sony Irwan Prabowo
4. Pungky Nor Kusumawardhani Hasil FGD : terlampir pada Tabel 4.1
Hasil FGD tersebut kemudian dicatat dan dirangkum. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil FGD Topik yang dibahas Hasil FGD Pengumpulan daun segar
1. Daun segar dikumpulkan dari hasil panen lahan milik klaster dan lahan petani, apabila ada petani yang ingin menjual keluar harus lapor ke klaster.
2. Daun yang dikumpulkan dimasukkan ke dalam karung / bagor yang bersih.
Tahap penyortiran basah
1. Siapkan karung (bagor).
2. Setelah panen, kumpulkan semua daun hasil panen dan masukkan ke dalam karung.
3. Mengisi form kegiatan pengumpulan. Tahap
pencucian
1. Daun dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan dari sisa tanah dan bakteri yang masih menempel kemudian dibilas pada bak air.
2. Daun kemudian ditiriskan dan hindari kontaminasi langsung dengan tanah atau lantai.
3. Menimbang daun untuk mengetahui berat daun basah. Tahap
penimbangan basah
1. Penggantian alat timbang yang sudah tidak layak. 2. Pencatatan berat bersih
Tahap pelayuan
1. Bahan / daun dihamparkan di atas alas anyaman bambu (widig) dan dibiarkan selama 1-2 malam.
2. Daun tidak boleh ditumpuk terlalu tebal sebab akan menghasilkan daun yang tidak kering merata dan kualitasnya rendah.
Tahap pengeringan
1. Pengeringan secara manual / menggunakan sinar matahari dengan cara dijemur di atas nampan bambu (widig) dan ditutup dengan kain hitam selama 3 hari.
Tabel 4.1 Hasil FGD (lanjutan) Topik yang
dibahas Hasil FGD
tas 60o C.
3. Daun diletakkan di atas widig yang terletak > 30 cm dari tanah untuk menghindari kontaminasi tanah, asap, dan gangguan binatang.
4. Daun yang diletakkan di atas widig tidak boleh ditumpuk. 5. Pengeringan dengan cara dibolak-balik 4 jam sekali agar
diperoleh hasil daun yang kering merata.
Daun dijemur sampai kadar air 10% yang ditandai dengan daun kering yang mudah dihancurkan.
Tahap penyortiran kering
Simplisia yang telah kering disortir, yaitu memisahkan simplisia dari benda-benda asing (seperti kerikil, debu, dan tanah) dan pengotor lainnya yang masih tertinggal.
Tahap penimbangan kering
1. Menimbang simplisia kering untuk mengetahui perbandingan hasil daun kering dengan daun basah.
2. Perbandingan bobot basah dengan kering sebesar 5:1, atau 5 kg saat bobot basah dan 1 kg saat bobot kering.
3. Pencatatan berat bersih.
4. Penggantian alat timbang yang sudah tidak layak. Tahap
pengemasan dan pelabelan
1. Menyiapkan bahan pengemas yang berupa plastik yang kedap udara.
2. Menimbang berat bersih untuk setiap kemasan.
3. Memberi silica gel agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.
4. Memberi label produk yang memuat informasi tentang simplisia, seperti no.kode, nama simplisia, tanggal penyimpanan, berat simplisia.
5. Menutup kemasan dengan menggunakan mesin pres. 6. Jika simplisia akan dikirim, simplisia dimasukkan ke dalam
Tabel 4.1 Hasil FGD (lanjutan) Topik yang
dibahas Hasil FGD
tup dengan cara dijahit hingga rapat sehingga tidak terkontaminasi udara dari luar.
Tahap penyimpanan
1. Simplisia disusun dengan metode FIFO (First In First Out) sesuai dengan tanggal penyimpanannya.
2. Simplisia dikelompokkan sesuai dengan jenisnya.
3. Lakukan pembersihan terhadap gudang penyimpanan yang kotor dan lembab, serta pengecekan terhadap simplisia yang tersimpan di gudang.
4. Ventilasi udara cukup baik dan bebas dari kebocoran atau kemungkinan masuk air hujan dan suhu gudang tidak melebihi 300C.
5. Gudang harus terpisah dari tempat penyimpanan bahan lainnya ataupun penyimpanan alat dan dipelihara dengan baik.
Tahap pengamatan
1. Jangka waktu pengamatan selama 3 bulan sekali.
2. Bila simplisia hancur, berjamur, terkena serangga, atau berubah dalam hal warna, rasa, dan bau, maka simplisia ini sudah tidak layak dan tidak dapat digunakan lagi.
3. Bila kadar air meningkat atau simplisia lembab, maka lakukan penjemuran ulang terhadap simplisia.
4.2 PENGOLAHAN DATA
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah untuk proses perbaikan pasca panen Daun Kumis Kucing di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Perbaikan yang harus dilakukan adalah berkaitan dengan kualitas hasil pasca panen.
4.2.1 Identifikasi Akar Masalah
Tahapan ini merupakan identifikasi akar penyebab masalah. Fokus permasalahan yang dibahas di sini ialah peningkatan kualitas hasil pasca panen
Daun Kumis Kucing agar mencapai standar kualitas di Klaster Biofarmaka. Untuk mengidentifikasi akar penyebab masalahnya, digunakan Fish bone diagram.
Fish bone diagram atau diagram tulang ikan merupakan diagram yang
menunjukkan hubungan sebab akibat untuk mencari akar dari suatu pokok permasalahan yang ditinjau dari berbagai faktor yang ada. Identifikasi akar permasalahan ini ditentukan dari masalah umum yang dihadapi oleh klaster yaitu kadar air lebih dari 10% dan adanya serangga pada simplisia. Berikut penjabaran akar permasalahan dengan menggunakan Fish bone Diagram pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.
Gambar 4.1 Fish Bone Diagram Masalah Kadar Air Simplisia
1. Kadar Air Simplisia a. Method
Ditinjau dari segi metode, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena pengelolaan pasca panen tanaman Kumis Kucing belum dilakukan dengan prosedur baku pasca panen, khususnya pada tahap pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan. Tanpa adanya prosedur yang baku, petani menjalankan kegiatan pasca panen sesuai dengan pengalaman masing-masing. Selain itu, simplisia yang sudah tersimpan di gudang tidak terdapat data informasi lamanya penyimpanan, sehingga simplisia yang sudah disimpan terlalu lama tidak terdeteksi. Penyimpanan simplisia yang terlalu lama akan mengakibatkan simplisia menjadi meningkat kadar airnya dan menjadi tidak layak, berjamur, serta rusak kandungan zat aktifnya. Maka perlu adanya formulir kegiatan pasca panen tanaman obat di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Formulir pencatatan kegiatan pasca panen ini dimaksudkan sebagai alat untuk mendokumentasikan dan mengontrol kegiatan pasca panen.
b. Environment
Ditinjau dari segi lingkungan, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena kondisi gudang penyimpanan yang kurang layak. Gudang penyimpanan di klaster kurang layak disebabkan karena ventilasi yang tersedia kurang memadai serta gudang masih tercampur dengan bahan panen lain. Ventilasi yang kurang, dapat menyebabkan udara di dalam gudang menjadi meningkat kelembabannya. Hal ini berpengaruh terhadap kadar air di dalam simplisia juga akan ikut meningkat. Jika hal ini dibiarkan terlalu lama, maka simplisia akan ditumbuhi jamur.
c. Machine
Ditinjau dari segi peralatan, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena pengecekan kadar air masih secara manual / organoleptik. Klaster tidak memiliki alat pengecek kadar air untuk mengetahui secara pasti jumlah kandungan kadar air pada simplisia.
d. Material
Ditinjau dari segi material, kadar air simplisia Klaster Biofarmaka masih di atas 10% karena belum tersedia bahan pendukung agar simplisia terjaga kadar airnya, seperti penyediaan silica gel dan kemasan kedap udara.
2. Serangga pada Simplisia a. Method
Ditinjau dari segi metode, simplisia yang terjangkit serangga di Klaster Biofarmaka karena pengelolaan pasca panen tanaman Kumis Kucing belum dilakukan dengan prosedur baku pasca panen. Tanpa adanya prosedur yang baku, petani menjalankan kegiatan pasca panen sesuai dengan pengalaman masing-masing. Selain itu kendali terhadap kegiatan pasca panen terutama dalam hal pengamatan terhadap simplisia yang telah tersimpan di gudang belum dilakukan. Maka perlu adanya formulir kegiatan pasca panen di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Formulir pencatatan kegiatan pasca panen ini dimaksudkan sebagai alat untuk mendokumentasikan dan mengontrol kegiatan pasca panen.
b. Environment
Ditinjau dari segi lingkungan, simplisia yang terjangkit serangga di Klaster Biofarmaka disebabkan karena kondisi gudang penyimpanan yang kurang layak: Ventilasi di gudang penyimpanan tidak ditutup dengan kasa. Hal ini akan memudahkan serangga dan binatang pengerat masuk ke dalam gudang. Selain itu, gudang masih tercampur dengan bahan panen lain. Bahan panen lain inilah yang akan mengundang serangga maupun binatang pengerat ke dalam gudang.
c. Material
Ditinjau dari segi material, simplisia yang terjangkit serangga di Klaster Biofarmaka disebabkan karena bahan kemasan yang mudah rusak. Kemasan cacat / terkoyak dapat disebabkan karena binatang pengerat atau pun kemasan yang memang cacat produksi. Selain itu, simplisia yang sudah tersimpan di gudang tidak terdapat data informasi lamanya penyimpanan, sehingga simplisia yang sudah disimpan terlalu lama tidak terdeteksi. Penyimpanan simplisia yang terlalu lama akan mengakibatkan simplisia menjadi sudah tidak layak, rusak, atau terjangkit serangga. Maka perlu adanya formulir kegiatan pasca panen tanaman obat di Klaster Biofarmaka Karanganyar. Formulir pencatatan kegiatan pasca
panen ini dimaksudkan sebagai alat untuk mendokumentasikan dan mengontrol kegiatan pasca panen.
4.2.2 Perancangan Standard Operating Procedures dengan Menggunakan Plan, Do, Check, Action
Setelah diketahui akar penyebab masalahnya, maka dilakukan
problem-solving atau pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang direncanakan ialah
perancangan Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca panen untuk tanaman obat yang berasal dari daun dan dilengkapi dengan form kegiatan pasca panen. Dengan adanya Standard Operating Procedures (SOP) pengelolaan pasca panen ini diharapkan agar para petani dapat menerapkannya sehingga proses pasca panen berjalan secara efektif dan efisien. Berikut pada Gambar 4.4 langkah-langkah perancangan SOP dengan menggunakan metode Plan, Do,
Check, Action (PDCA) secara garis besar:
Gambar 4.3 Siklus PDCA 1. Tahap Plan
Tahap perencanaan ini meliputi pembuatan draft atau rancangan awal SOP proses pasca panen dan dilengkapi dengan form kegiatan pasca panen. Rancangan awal SOP ini meliputi prosedur dari tiap tahapan pasca panen Daun Kumis Kucing yang disusun sesuai dengan format SOP. Prosedur ini disusun berdasarkan hasil dari FGD, serta sumber lain, yaitu BPOM, Depkes, dan Keputusan Menkes.
Menyusun rancangan awal SOP
Melakukan uji coba prosedur dalam skala kecil.
Mengevaluasi hasil uji coba terhadap rancangan awal SOP. Perbaikan
prosedur dan menyusun dokumen SOP pasca panen
Rancangan awal prosedur operasional pada tiap tahap proses pasca panen daun Kumis Kucing dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rancangan Awal Prosedur Operasional
Tahap Prosedur Operasional
Pengumpulan daun segar
1. Siapkan karung (bagor).
2. Setelah pemanenan, kumpulkan semua daun hasil panen dan masukkan ke dalam karung.
3. Mengisi form kegiatan pengumpulan. Tahap
penyortiran basah
1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penyortiran.
2. Pilih daun yang cukup umur panennya (umur: 10 minggu), layak atau tidak busuk.
3. Bersihkan daun dari kerikil, tanah, gulma, dan rumput dengan cara dipukul perlahan-lahan.
4. Memilah daun berdasarkan ukuran agar ukuran simplisia seragam.
5. Mengisi data kegiatan penyortiran basah pada form kegiatan pencucian dan sortasi basah.
Tahap pencucian
1. Daun dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan dari sisa tanah dan bakteri yang masih menempel kemudian dibilas pada bak air.
2. Daun kemudian ditiriskan dan hindari kontaminasi langsung dengan tanah atau lantai.
3. Menimbang daun untuk mengetahui berat daun basah. 4. Mengisi form kegiatan pencucian dan sortasi basah. Tahap
penimbangan basah
1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penimbangan basah.
2. Bersihkan terlebih dahulu alat timbang baik bagian luar maupun bagian dalam sebelum digunakan (BPOM, 2011). 3. Periksa kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang
agar sesuai dengan jumlah bahan yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011). Ganti alat timbang yang tidak layak.
Tabel 4.2 Rancangan Awal Prosedur Operasional (lanjutan)
Tahap Prosedur Operasional
4. Timbang daun pada alat timbang.
5. Catat berat daun pada form kegiatan pencucian dan sortasi basah.
Tahap pelayuan
1. Siapkan alas anyaman bambu (widig).
2. Hamparkan daun di atas alas anyaman bambu (widig), jangan ditumpuk terlalu tebal (Priadi, 2004).
3. Biarkan selama 1-2 malam. Tahap
pengeringan
1. Siapkan alat/sarana pengeringan
Sarana pengeringan yang dapat digunakan untuk pengeringan daun yaitu :
a. Cahaya matahari dibawah naungan (manual). b. Alat pengering / oven.
c. Kombinasi keduanya.
2. Pengeringan secara manual / menggunakan sinar matahari: a. Letakkan daun secara merata di atas nampan bambu
(widig), jangan ditumpuk.
b. Letakkan widig di atas 30 cm dari tanah. c. Tutup dengan kain hitam.
d. Bolak-balik daun setiap 4 jam sekali.
e. Daun dijemur selama 3 hari atau sampai kadar air 10% yang ditandai dengan daun kering / simplisia yang mudah dihancurkan.
f. Mengisi form kegiatan pengeringan. 3. Pengeringan menggunakan oven:
a. Letakkan daun pada alat pengering secara merata. b. Set suhu pengeringan sebesar 60o C.
c. Bolak-balik daun setiap 4 jam sekali.
d. Angkat simplisia dari alat pengering setelah kadar air mencapai 10 %.
Tabel 4.2 Rancangan Awal Prosedur Operasional (lanjutan)
Tahap Prosedur Operasional
Tahap penyortiran kering
1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penyortiran.
2. Pisahkan simplisia dari benda-benda asing dan pengotor lainnya yang masih tertinggal.
3. Pilih / sortir simplisia yang sudah kering sempurna, yaitu ditandai dengan daun yang mudah hancur jika diremas serta warnanya hijau kecokelatan atau hijau kelabu.
4. Mengisi form kegiatan penyortiran kering. Tahap
penimbangan kering
1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses penimbangan.
2. Bersihkan terlebih dahulu alat timbang baik bagian luar maupun bagian dalam sebelum digunakan (BPOM, 2011). 3. Periksa kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang
agar sesuai dengan jumlah bahan yang ditimbang atau ditakar (BPOM, 2011). Ganti alat timbang yang sudah tidak layak.
4. Timbang simplisia pada alat timbang. Perbandingan bobot basah dengan kering sebesar 5:1, atau 5 kg saat bobot basah dan 1 kg saat bobot kering.
5. Catat berat simplisia pada form kegiatan penyortiran kering. Tahap
pengemasan dan pelabelan
1. Cuci tangan atau gunakan sarung tangan bersih sebelum proses pengemasan.
2. Siapkan bahan pengemas yang berupa plastik yang kedap udara.
3. Masukkan simplisia ke dalam kemasan.
4. Bersihkan terlebih dahulu alat timbang baik bagian luar maupun bagian dalam sebelum digunakan.
5. Menimbang berat bersih untuk setiap kemasan.
6. Masukkan silica gel ke dalam kemasan agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.