1
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia (HAM) tidak akan pernah berhenti dibicarakan
sepanjang sejarah kehidupan bahkan tidak hanya di indonesia melainkan di setiap
belahan dunia, baik korelasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
terlebih dalam bidang hukum sebagai penyangga utama Hak Asasi Manusia
(HAM), karena dalam hukum adalah wadah dari hak dan kewajiban baik itu
berupa hukum nasional maupun hukum internasional.
Hak Asasi Manusia sering disebut sebagai hak kodrati atau hak yang
didapatkan manusia semenjak manusia itu lahir atau bahkan sebelum manusia itu
lahir atau masih berada di dalam kandungan ibu1, menurut Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia adalah hak untuk kebebasan dan persamaan dalam derajat
yang diperoleh sejak lahir dan menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia di definisikan sebagai hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri Manusia, bersifat universal dan langgeng2, menurut Konferensi
Hak Asasi Manusia 1993 di wina dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
1 Hak ini terdapat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 Ayat (2). Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia selanjutnya akan disebut UU Hak Asasi Manusia.
2
universal, tidak dapat dipisahkan, saling bergantung dan saling berhubungan dan
perbedaan pelaksanaan hak asasi manusia karena ciri khas pada masyarakatnya
merupakan hal yang harus dihormati3.
Hak Asasi Manusia dan Hak Dasar adalah berbeda, bahwa hak asasi menunjuk
pada hak-hak yang mendapat pengakuan internasional dan hak dasar diakui melalui
hukum nasional, oleh karena itu sifat universal muncul dan melekat dalam Hak Asasi
Manusia4
Dari pengertian-pengertian diatas jadi dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi
Manusia adalah Hak yang melekat pada manusia semenjak lahir maupun masih dalam
kandungan bersifat universal (diakui secara internasional) tidak memiliki batas waktu,
saling berhubungan, tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung antara ragam Hak
Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia melekat pada setiap manusia tidak memandang suku, ras,
jenis kelamin, golongan, agama maupun preferensi seksual. Sehingga dapat disebut
bahwa Hak Asasi Manusia adalah mengenai kehidupan manusia itu sendiri5. Oleh karena
sifat “melekat” itulah Hak Asasi Manusia selalu mengikuti kehidupan tiap-tiap individu.
Karena melekat dalam kehidupan manusia atau individu oleh karena itu Hak
Asasi Manusia juga melekat pada perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh manusia atau individu tersebut, baik perbuatan sesuai dengan hukum
maupun perbuatan-perbuatan melawan hukum atau tindak kejahatan serta akibat dari
perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan tersebut.
3Ibid, h. 131.
4Ibid, h. 130.
3
Banyak pertentangan dalam kalangan akademisi terutama dalam bidang hukum
apakah pelaku tindak pidana yang melanggar Hak Asasi Manusia masih melekat Hak
Asasi Manusianya? Jika melihat Hak Asasi Manusia dari korban yang dilanggar.
Pertentangan tersebut dikhususkan dalam tindakan hukum yang diberikan kepada para
pelanggar Hak Asasi Manusia seperti pemberian hukuman mati atau vonis mati.
Pada tanggal 25 Mei 2016 pemerintah telah mengesahkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak6.
Perppu tersebut memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni
hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10
tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi,
pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi
elektronik. Perppu ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81
dan 82, serta menambah satu pasal 81A.
Tujuan pemberatan sanksi tersebut adalah agar hakim dapat memberikan
vonis yang berat kepada para pelaku kejahatan seksual dan pemberatan sanksi
tersebut juga menambah ancaman pidana kepada pelaku kejahatan seksual
4 terhadap anak, karena menurut pemerintah kejahatan seksual kepada anak adalah
bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)7.
Dalam perkembangannya kejahatan terhadap anak di Indonesia semakin
tinggi terutama kejahatan seksual baik itu pelecehan maupun kekerasan.
Kejahatan seksual sendiri merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan
seksual, komentar yang tidak dinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan
paksaan, ancaman, paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan
dengan korban, dalam situasi apa saja termasuk tapi tidak pada rumah dan
pekerjaan8. Kejahatan seksual dapat dalam berbagai bentuk termasuk
pemerkosaan, perbudakan seks dan atau perdagangan seks, kehamilan paksa,
kekerasan seksual, eksploitasi seksual dan atau penyalahgunaan seks dan aborsi.
Pada tahun 2016 kejahatan seksual naik bahkan hingga 100%9, dan
pelaku kejahatan tersebut rata-rata adalah orang terdekat korban, baik itu orang
tua, paman, saudara, tetangga di lingkungan korban. Bahkan tindak pidana
kejahatan seksual terhadap anak ini yang menyebabkan lahirnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dalam kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun warga
7HUKUMAN DALAM PERPPU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK ‘REAKTIF DAN
BOMBASTIS’, diakses di
bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160511_indonesia_perppu_reaktif, pada tanggal 12 Mei 2016, pada pukul 11:26 WIB.
8Inter-Agency Standing Committee (IASC), 2005. Guidelines for Gender-based Violence
Interventions in Humanitarian Settings: Focusing on Prevention of and Response to Sexual Violence in Emergencies.
5 Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang
Lebong dimana korban tidak hanya diperkosa namun juga dibunuh serta mayatnya
dibuang dijurang10.
Kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun tersebut menimbulkan
kegeraman publik dan memunculkan banyak pendapat bahwa kasus tersebut
merupakan kejahatan terhadap kemanusian dan merendahkan martabat perempuan
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
Tahun 1948, Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CONVENTION
ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST
WOMEN)11 serta kasus tersebut sudah melanggar terhadap 12 Jenis Hak
Kesehatan Seksual dan Reproduksi terkhusus hak untuk, hak untuk hidup, hak
atas kemerdekaan dan keamanan, hak untuk bebas dari penganiayaan dan
perlakuan buruk12.
Oleh karena itu penyelesaian dalam tindak pidana terhadap Yuyun tersebut
tidak bisa hanya berupa pemberian vonis kejahatan seksual biasa namun perlu
vonis yang berat terhadap pelaku kejahatan seksual tersebut sebagaimana yang
termaktub dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu)
10 Yuliardi Hardjo Putro, Kronologi Kasus Kematian Yuyun di Tangan 14 ABG Bengkulu,
di akses di http://regional.liputan6.com/read/2499720/kronologi-kasus-kematian-yuyun-di-tangan-14-abg-bengkulu, pada tanggal 15 Agustus 2016, pada pukul 21:48.
11 Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST WOMEN) selanjutnya akan disebut UU Konvensi CEDAW. 12 Demon Fajri, Pemerkosaan Yuyun oleh 14 Orang Adalah Kejahatan Kemanusiaan,
6 Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berupa tindakan berupa kebiri dan
pengumuman identitas pelaku serta penanaman cip dan pidana tambahan.
Perlindungan Anak bukanlah hanya semata-mata perlindungan secara fisik
maupun psikologis namun perlindungan anak merupakan perwujudan Hak Asasi
Manusia, dimana anak Hak Asasinya telah dijamin semenjak anak masih di dalam
kandungan ibunya sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 Ayat (2)13.
Indonesia dalam konstitusinya dalam perihal Hak Asasi Manusia, anak
menjadi bagian terpenting yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi ” sebagaimana yang terdapat dalam BAB XA Pasal
28B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 Hal ini mengandung makna bahwa anak
adalah subjek hukum khusus dari hukum nasional yang harus dilindungi,
dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak
tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Sehingga dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu)
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menambah pemberatan sanksi dapat
disimpulkan bahwa demi melindungi Hak Asasi Manusia terutama anak maupun
anak yang menjadi korban kejahatan dirasa adil jika Perppu tersebut diterapkan
dan diberlakukan.
13 Maidin Gultom, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK dalam Sistem Peradilan
7 Namun dalam konsep Hak Asasi Manusia yang memiliki sifat melekat
pada setiap manusia atau individu oleh karena itu Hak Asasi Manusia juga
melekat pada pelaku tindak pidana sekalipun bahwa dalam peradilan pidana harus
memiliki kebijakan dalam hak dan kewajiban serta etika penguasa dalam
memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi, dan korban pelbagai pembatasan
terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan keseimbangan terhadap
kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan keseimbangan terhadap efisiensi
dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan jaminan terhadapa
hak-hak individual14.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak terutama dalam Pasal 81 Ayat (7) yang berbunyi:
“Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan
cip”.
Dapat dilihat bahwa terdapat penambahan sanksi berupa tindakan kebiri
kimia yang merupakan tindakan dengan menyuntikkan obat antiandrogen, seperti
medroxyprogesterone acetate atau cyproterone. Yakni Obat-obatan yang dapat
menekan fungsi hormon testosteron. untuk menurunkan level testosteron, yakni
hormon laki-laki, yang bertanggung jawab pada timbulnya libido15.
14 Muladi, HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum
dan Masyarakat, Rafika Aditama, Bandung, 2009, h. 99.
15 Supriyadi Widodo Eddyono, et.al., MENGUJI EUFORIA KEBIRI Catatan Kritis atas Rencana
8 Pengkebirian tersebut dapat disebut sebagai penghukuman dengan
melanggar Hak Asasi Manusia karena Ketentuan Pasal 28G ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:
“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia”.
Dengan demikian, hak tersebut merupakan hak yang bersifat
konstitusional dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhannya menjadi
komitmen kontitustional pula. Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Keji, Tidak
Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5 Tahun
199816.
Hak untuk tidak disiksa juga merupakan salah satu Hak Asasi Manusia
yang bersifat pokok (core right) yang telah diatur dalam Pasal 5 Universal
Declaration of Human Rights (UHDR), yaitu:
“No one shall be sujected to torture or to cruel, inhuman or degrading
treatment or Punishment” terjemahan “Tidak ada seorang pun boleh disiksa atau
Institute for Criminal Justice Reform ECPAT Indonesia-Mappi FH UI-Koalisi Perempuan Indonesia Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri, Jakarta, 2016, h. 9.
9
mendapat perlakuan atau hukuman yang kejam , tidak manusiawi atau
merendahkan”.
Pengaturan mengenai hal itu juga terdapat dalam Pasal 7 International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu:
“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading
treatment or punisment. In particular, no one shall be subjected without his free
consent to medical or scientific experimentation”. Terjemahan “Tidak ada
seorang pun boleh disiksa atau mendapat perlakuan atau hukuman yang kejam ,
tidak manusiawi atau merendahkan . Secara khusus , tidak dapat dikenakan tanpa
persetujuan bebasnya untuk eksperimen medis atau ilmiah”.
Larangan penyiksaan saat ini merupakan norma hukum internasional yang
berkategori sebagai jus cogens yang bermakna tidak dimungkinkan adanya
pelanggaran dalam norma tersebut17.
Perihal penyiksaan juga terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun”.
10 Melihat dari Undang-Undang Dasar 1945 serta Peraturan
Perundang-undangan maupun hukum internasional mengenai Hak Asasi Manusia terdapat
banyak benturan-benturan antar Peraturan perundang-undangan atau hukum yang
ada tersebut jika melihat dari dua sudut pandang yaitu dari Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia dan Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kedua subjek
hukum tersebut sama-sama memiliki hak yang melekat pada diri mereka yaitu
Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu dirasa perlu pengkajian terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
terutama dalam Pasal 81 Ayat (7) mengenai Kebiri Kimia, terhadap Peraturan
Perundang-undangan atau hukum tentang Hak Asasi Manusia.
Hal ini merupakan alasan Penulis untuk melakukan penelitian tentang Hak
Asasi Manusia di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan judul: “Tinjauan
HAM terhadap Sanksi Kebiri Kimiawi dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016”.
11
1.2
Rumusan Masalah
Apakah pemberatan sanksi berupa tindakan kebiri kimia dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sesuai dengan asas dan tujuan serta Norma-norma dalam Hak
Asasi Manusia?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu hendak memahami dan
mengetahui hakekat serta kaedah-kaedah Hak Asasi Manusia terutama dalam
pemberatan sanksi di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu)
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
1.4
Manfaat penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui pemberatan sanksi dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sudah memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
baik dari korban pelanggaran Hak Asasi Manusia maupun Pelaku pelanggaran
12
1.5
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah suatu penelitian hukum yang merupakan proses untuk
menemukan aturan hukum dalam pengertian kaedah, prinsip-prinsip hukum, guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian ini merupakan penelitian yang
bersifat normatif (yuridis normatif).Penelitian hukum dikenal ilmu hukum
normatif karena ilmu hukum normatif bersifat prespiktif bukan deskriptif. Dalam
penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Peneliti hendak
meneliti Hakekat serta Kaedah-kaedah Hukum mengenai Hak Asasi Manusia.
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan
menggunakan analisis berdasarkan aturan perundang-undangan dan mempelajari
pandangan atau doktrin-doktrin didalam Hukum tentang Hak Asasi Manusia.
Fokus dengan peraturan perundang-undangan dalam tulisan ini yaitu; Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Hukum-hukum Internasional mengenai Hak Asasi Manusia.
1.6
Sistematika penulisan
Struktur skripsi dibagi menjadi tiga Bab, yaitu bagian awal, bagian isi,
13 BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah Hak Asasi Manusia
Perlindungan anak dan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana Hak Asasi
Manusia. Dalam Bab I juga dikemukakan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian. Bab II Pembahasan, berisi tinjauan
14
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana judul di atas, Bab ini berisi gambaran hasil tinjauan
kepustakaan atau kajian atas literatur Hukum yang secara khusus membicarakan
tentang berbagai kaedah atau asas hukum yang mengatur tentang Hak Asasi
Manusia.
Bab ini juga berisi analisa dalam rangka menjawab pertanyaan dalam
perumusan masalah, yaitu Apakah pemberatan sanksi berupa tindakan kebiri
kimia dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak sesuai dengan asas dan tujuan serta
Norma-norma dalam Hak Asasi Manusia?
Gambaran hasil studi kepustakaan tentang Hak Asasi Manusia tersebut
Penulis pilah ke dalam beberapa sub bab yaitu antara lain Pengertian Hak Asasi
Manusia dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia di
dalam Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Hak Asasi Manusia
dalam Hukum Pidana dan Peradilan Pidana Indonesia, Hak Asasi Manusia dari
Perspektif Kejahatan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan, Hak Asasi Manusia
15
2.1
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi fundamental untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia,
maka perlu dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif “hak”
merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku,
melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya18. Hak sendiri mempunyai beberapa
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Pemilik hak;
b. Ruang lingkup penerapan hak;
c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.19
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.
Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan
hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi.
Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan
pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg.
Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk
dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel
Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim
18 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2003, h. 199.
16 yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai
pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari
pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara
hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
perwujudannya. Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan
kewajiban.20
The cambridge Dictionary of Philosophy, buku yang diedit oleh Robert
Audi memberikan penegasan tentang hak sebagai berikut:
Rights, advantegous positions conferred on some prossessors by law,
morals, rules, or other norms. There is no agreement on the sense in which
rights are advantages. Will theories hold that rights favor the will of the
possessor over th conflicting will of some other party; interest theories
mantain that rights serve to protect or promote the interests of the high
holder21.
Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum, moral, peratauran atas
norma-norma lain dapat memberikan hak kepada seseorang. Dengan kata lain,
kedudukan yang menguntungkan bagi para pemilik hak dapat ditoleransi melalui
aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dalam penerapannya
terdapat perbedaan yang terjadi karena stressing point yang berbeda.
20Ibid., h. 200.
21 Majda El Muhtaj, HAK ASASI MANUSIA dalam KONSTITUSI INDONESIA Dari UUD 1945
17
Kalau mengikuti teori kemauan (will theory), yang dipegangi adalah
bahwa hak megutamakan kemauan pemilik hak dari berbagai keinginan yang
berbeda dengan pihak lain. Sementara teori kepentingan (interest theory), lebih
menekankan bahwa hak berperan untuk melindungi atau mengembangkan
kepentingan pemilik hak. Kedua teori besar ini lahir sebagai produk pemikiran
sejarah peradaban manusia. Tentunya, keduanya mencerminkan perlakuan yang
berbeda sebagai wujud manifestasi interaksi antara manusia yang satu dengan
manusia lainnya.22
Dalam bukunya, ilmu hukum, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa suatu
kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh
hukum, tetapi juga karena adanya pengakuan. Pengakuan ini penting dilihat
sebagai ratio legis munculnya sikap bersama bahwa susuatu hak yang melekat
bagi pemiliknya dipahami dan disadari dapat menghasilkan
keteraturan-keteraturan. Sehubungan dengan ini, Audi mengungkapkan bahwa disamping ada
hak hukum, juga terdapat hak alami. Ia mengatakan sebagai berikut: “Just as
positive law posited by human lawmakers confers legal rights, so the natural law
confers natural rights”.23
Untuk memberikan kejelasan tentang hak hukum dan hak alami, Nur
Ahmad Fadhil Lubis memberikan uraiannya; kalau yang pertama dapat ditarik
kembali atau dalihkan sesuai dengan ketentuan lawmakers, maka yang terakhir
bersifat melekat dan abadi pada pemiliknya. Hak dalam bentuk terakhir ini tidak
22Ibid., h. 36.
18
dapat ditanggalkan, baik oleh raja atau negara sekalipun, inalienable rights. Audi
menyebutkan yang pertama sebagai advantegous positions under the law of a
society, sedangkan yang terakhir ia namakan dengan most fundamental rights.
Kecuali itu, status ternyata memiliki peran sentral dalam memberikan dan
menentukan hak tertentu, kata Audi. Menurutnya lagi, hak sangat terkait erat
dengan status. Hak anak misalnya, merupakan hak yang melekat pada status
seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anak. Demikian juga dengan hak
wanita, hak buruh, hak orang tua, hak perusahaan, dan sebagainya. berarti, karena
status seseorang mengalami perubahan yang tidak saja diakibatkan oleh
perubahan sosial dan ekonomi seperti status buruh dan majian, maka hak juga
mengalami perubahan sesuai dengan pihak mana seseorang itu berhadapan dan
berinteraksi.24
Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru
tetap melekat sebagai pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusian, terlepas dari
perbedaan jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama,
dan lain-lain. inilah selanjutnya yang menghasilan lahirnya konsepsi HAM.
Dengan kata lain, HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran manusia
tentang hakikat dirinya. Sebagai pengemban fitrah kemanusiaan yang bersifat
universal dan eternal. Dengan mengagumkan, Audi mengungkapkannya sebagai
berikut:
It seems sampler to appeal instead to fundamental rights that must be
iniversal among human beings because they are possessed merely by
19 virtue of one’s status as a human being. Human rights are still thought of
as natural in the very broad sense of existing independently of any human
action or institution.25
Sejalan dengan itu seorang ilmuwan politik Maurice cranston sebagaimana
dikutip oleh T. Mulya Lubis dalam disertasinya In Search of Human Rights;
legal-political Dilemmas of Indonesia’s New Orde 1966-1990, mengatakan bahwa:
That rights must pass the test of universality, praticality, an paramount
importance, and that it is these rights which should be regarded as the
inalienable rights to every human being... However, in the final analysis,
the effectiveness of human rights depend largely on acceptance of political
realities26.
Meskipun ada perbedaan antara hak hukum dengan hak lainnya, namun
hal itu bukan berarti bahwa hak jauh dari konsepsi umum yang menegaskannya
sebagai sesuatu yang eksis dalam masyarakat, demikian pandangan G.W Paton
dalam bukunya A Text Book of Jurisprudence. Menurutnya perbedaan itu
dipandang sebagai realitas adanya implikasi baru yang memberikan pengaruh
yang bersifat alami terhadap hukum. Korelasi antara keduanya akan semakin
menjadikan hak lebih tegas baik untuk melindungi atau melarang seseorang untuk
melakukan sesuatu27.
25Ibid., h. 37.
20 Dari teori-teori diatas pengertian hak memilki perkembangan dari waktu
kewaktu, memiliki jenis yang berbeda dan melekat pada status pemilik hak.
Setelah mengetahui mengenai pengertian hak tersebut maka terdapat hak yang
dikategorikan sebagai hak alami atau hak hakiki atau kodrati dikenal dengan nama
Hak Asasi Manusia.
Pengertian Hak Asasi Manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang
dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. Pemahaman atas hak asasi
yang demikian ini merupakan pemahaman yang sangat umum dengan tanpa
membedakan secara akademik hak-hak yang dimaksud serta tanpa
mempersoalkan asal-usul atau sumber diperolehnya hak tersebut. Pengertian Hak
Asasi Manusia seperti pemahaman tersebut memang tidak salah, namun karena
pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang sempit mengenai Hak Asasi
Manusia, maka penerapan terhadap hak tersebut sering salah kaprah atau sering
disalah gunakan. Untuk itu guna memperoleh pemahaman yang lebih sempurna
tentang Hak Asasi Manusia, perlu dipahami istilah-istilah yang memberi
pengertian secara tepat mengenai Hak Asasi Manusia28.
Ditinjau dari berbagai istilah yang ditemukan dalam literatur, Hak Asasi
Manusia merupakan terjemahan dari droits de l’homme dalam bahasa Perancis
yang berarti hak manusia, atau dalam bahasa Inggrisnya human rights dan dalam
bahasa belanda disebut mensenrechten. Dalam kepustakaan lain digunakan istilah
hak-hak dasar yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris
dan grondrechten dalam bahasa belanda, sebagian orang menyebutnya dengan
21
hak-hak fundamental sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa
Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa belanda. Istilah lain tentang Hak
Asasi Manusia sebagaimana dikemukakan oleh hadjon (1987:38), ada
kepustakaan dalam bahasa Inggris yang menggunakan istilah natural right dan
dalam bahasa Belanda digunakan istilah rechten van den mens sedang dalam
kepustakaan yang berbahasa Indonesia terdapat istilah-istilah seperti hak-hak asasi
manusia, hak-hak dodrat dan hak-hak dasar29.
Pada sisi lain kepustakaan hukum selain menggunakan istilah hak dasar
sebagai terjemahan dari istilah grondrachten, frundrechte, fundamental rights,
droits fundamentaux juga mempergunakan istilah hak-hak asasi manusia sebagai
terjemahan dari mensentechten, menchenrechte, human rights, dan droits de
l’homme.30
Dari peristilahan diatas, perlu dibedakan pengertian antara hak-hak asasi
dengan hak-hak dasar. Perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut adalah
bahwa; hak-hak asasi menunjuk pada hak-hak yang memperoleh pengakuan
secara internasional sedang hak dasar diakui melalui hukum nasional. Konotasi
hak-hak asasi manusia terkait erat dengan asas-asas idea dan politis, sedangkan
hak dasar merupakan bagian dari hukum dasar. Selanjutnya hak-hak asasi dimuat
dalam dokumen politik sehingga sifatnya lebih dinamis dibandingkan dengan
hak-hak dasar yang dituangkan dalam dokumen yuridis seperti Undang-Undang Dasar
(konstitusi) dan dalam Konvensi Internasional. Dengan demikian mengacu pada
hal tersebut diatas, pengertian Hak Asasi Manusia kiranya harus dipahami juga
29Ibid., h. 129.
22 sebagai hak dasar. Hal ini tidak lain karena istilah hak dasar maupun Hak Asasi
Manusia kiranya harus dipahami juga sebagai hak dasar. Hal ini tidak lain karena
istilah hak dasar maupun Hak Asasi Manusia yang populer dan lazim
dipergunakan di masyarakat, pada prinsipnya mempunyai pengertian yang sama.
Di samping itu pembatasan terhadap hak tersebut juga dilakukan secara yuridis
dan moral, artinya Hak Asasi Manusia selain diatur melalui norma-norma hukum
juga dirumuskan dalam statement-statement politik. Walaupun dalam kepustakaan
terdapat perbedaan pengertian, antara hak dasar (grondrechten) dengan hak asasi
(mensenrechten) namun bukan perbedaan ini yang menjadi permasalahan pokok
dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Perbedaan ini hanya diperlukan untuk
analisis akademik, bukan untuk praktek pemerintahan.31
Bertolak dari pembedaan peristilahan dimaksud diatas, pengertian Hak
Asasi Manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah hak untuk
kebebasan persamaan dalam derajat yang diperoleh sejak lahir serta tidak dapat
dicabut dari seseorang. Sedangkan mernurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia didefinisikan sebagai hak dasar
yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng,
oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun32.
Pengertian Hak Asasi Manusia diatas tersebut sekurang-kurangnya
mengandng tiga hak elementer yang tidak boleh dicabut dari seseorang sebagai
31Ibid. h. 130.
23 individu, yakni hak untuk hidup, hak untuk dianiaya, dan adanya kebebasan.
Disamping itu ada hak ekonomi, sosial dan budaya yang dimiliki setiap orang
sebagai anggota masyarakat dan tidak dapat dikesampingkan bagi martabat
manusia dan kebebasan dalam mengembangkan kepribadiannya.
Dari pengertian dasar Hak Asasi Manusia juga muncul pengakuan bahwa
setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional sehingga dalam
melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada pembatasan yang
ditetapkan oleh hukum.
2.2
Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya
oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian, faktor-faktor seperti
ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat menegasikan eksistensi Hak
Asasi Manusia pada diri manusia.33
Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat merunut konsep Hak Asasi
Manusia yang sederhana sampai kepada fisafat stoika di zaman kuno lewat
yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari
Undang-undang Romawi, tampa jelas bahwa asal usul konsep Hak Asasi Manusia yang
modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada
abad ke 17 dan ke 1834.
24 Hugo de Groot- seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai
“bapak hukum internasional” atau yang dikenal dengan nama latinnya, Grotius,
mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus
asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang
rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya,
salah seorang kaum terpelajar pasca-renaisans, John Locke mengajukan pemikiran
mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati.
Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi revolusi hak
dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad
ke 17 dan 1835.
Paham Hak Asasi Manusia Lahir di Inggris pada abad ke 17. Inggris
memiliki tradisi perlawanan yang lama terhadap segala usaha raja untuk
mengambil kekuasaan mutlak. Sementara Magna Carta (1215) sering keliru
dianggap sebagai cikal bakal kebebasan warga negara Inggris, piagam ini
sesungguhnya hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John. Dan
para bangsawannya, dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini sebenarnya
baru dalam Bill of Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi
hak-hak atau kebebasan individu36.
Kemudian, tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus, suatu
dokumen keberadaban hukum bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang
ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan
35Ibid.
25 diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan, pernyataan ini menjadi dasar prisnsip
hukum bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim37.
Bill of Rights (1689), sebagaimana diperikan dengan judulnya yang
panjang “An act Declaring the Rights and the Liberties and the Subject and
Setting the Succession of the Crown” (Akta Deklarasi Hak dan Kebebasan Kawula
dan Tata Cara Suksesi Raja), merupakan hasil perjuangan parlemen melawan
pemerintahan raja-raja wangasa Stuart yang sewenang-wenang pada abad ke 17.
Disahkan stelah Raja James II dipaksa turun takhta dan Willian II serta Mary II
naik ke singgasana menyusul “Revolusi Gemilang” (Glorius Revolution) pada
tahun 1688, Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi
undang-undang yang ada dan bukan merupakan undang-undang-undang-undang yang baru, menundukkan
monarki dibawah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan
Raja untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang di klaim raja adalah
ilegal. Perlu dicatat pula bahwa dengan adanya Bill of Rights timbul kebebasan
untuk berbicara (speech) dan berdebat (debate), sekalipun hanya untuk anggota
parlemen dan untuk digunakan di dalam gedung parlemen.38
Kemudian deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Deklaration of
Independence) pada 1778. HAM di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak
terlepas dari beberapa rumusan sebelumnya seperti Virginia Bill of Right. Dalam
deklarasi ini dapat ditemukan kalimat “kita menganggap kebenaran-kebenaran
berikut ini sebagai eviden berikut saja, bahwa semua manusia diciptakan sama,
bahwa mereka dianugerahi oleh pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang
37Ibid., h. 4.
26
tidak tak terasingkan”. Hal mana kemudian diperkuat dengan dicantumkannya
ketentuan mengenai setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan
dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti
pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut39.
Deklarasi tentang Hak Manusia dan Warga Negara yang dikeluarkan di
Perancis waktu pecahnya Revolusi Perancis (1789) dan secara mendalam
dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan hak asasi dari Amerika. Deklarasi inipun
masih mencoba mengkaitkan keasasian hak-hak tersebut dengan Tuhan. Hal ini
terlihat ketika Majelis Nasional Perancis membacakan deklarasi ini didahului
dengan kalimat “di hadapan wujud tertinggi dan di bawah perlindungan-Nya”.
Meskipun semangat revolusi Peranscis begitu menggebu untuk
mengobarkan tendensi anti Kristen dan mengedepankan semangat pencerahan
(Aufklarung), namun mereka tetap mendasarkan pemikiran tentang Hak Asasi
Manusia pada kodrat Tuhan. Pemikiran-pemikiran kaum foundationalism masih
sangat mempengaruhi deklarasi tentang Hak Asasi Manusia dan warga negara
Perancis sebagaimana dalam Declaration of Independence/ Deklarasi
Kemerdekaan di Amerika Serikat. Dengan menitik beratkan pada kelima hak asasi
pemilikan harta (property), kebebasan (liberty), persamaan (egalite), keamanan
(security), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence al’oppresstion).40 Kemudian adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang
diproklamirkan dalam sidang umum PBB pada 10 Desember 1948. Hal yang baru
dalam deklarasi ini adalah adanya pergeseran pendasaran HAM dari kodrat Tuhan
39Ibid
.
27 kepada pengakuan akan martabat manusia. Diawal deklarasi disebutkan
“Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang
sama serta tak terasingkan dari semua anggota masyarakat merupakan dasar
untuk kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia”.41
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini memiliki perbedaan
mendasar dari deklarasi sebelumnya. Louis Henkin dan James W. Nickel dalam
making senses of Human Rihgt (1996) menyebutkan bahwa manifesto Hak Asasi
Manusia Mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik
mengenai hak-hak kodrati (sebagai hak yang berasal dari Tuhan), dan lebih
menekankan sifat persamaan (egaliterianisme). Setelah ini, penegakan HAM
menjadi semakin gencar di seluruh dunia. HAM telah mengalami
internasionalisasi.
Dengan latar belakang seperti tersebut di atas, maka menurut Philipus
M.Hadjon42, hak asasi manusia konsep Barat yang pada dasarnya adalah
pembatasan terhadap tindak tanduk negara dan organ-organnya dan peletakan
kewajiban negara terhadap warganya sehingga prinsip yang terkandung dalam
konsep hak asasi manusia adalah tuntutan (claim) akan hak terhadap negara dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh negara.
Kemudian, pada tahun 1966 dihasilkan perjanjian internasional (treaty)
yang di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan perlindungan Hak Asasi
Manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) serta hak-hak
41Ibid., h. 6.
28
ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights/ICESCR). Kemudian dikenal dengan istilah “the International
Bill of Human Rights”.43
2.3
Hak Asasi Manusia di dalam Hukum Internasional
Perkembangan Hak Asasi Manusia dalam hukum internasional hingga
seperti sekarang ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan
individu dalam hukum internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu
diakuinya individu sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban
tertentu menurut hukum internasional.
Menurut Ved Vanda, hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan
secara dramatis kedudukan (status) individu yang beralih dari semata-mata
sebagai objek menjadi subjek hukum internasional. Individu memiliki hak untuk
mencari pelunasan (redress) di forum internasional. Perlindungan Hak Asasi
Manusia yang diakui secara internasional merupakan suatu perubahan bersifat
revolusioner.44
Dengan status individu sebagai subjek hukum internasional, maka secara
teori individu dapat melanggar hukum internasional (di samping hukum nasional).
Hal tersebut muncul sebagai akibat dari tindakan-tindakan mengerikan oleh rezim
Nazi Jerman. Teori tersebut dihidupkan kembali oleh para sarjana dan ahli hukum
dari negara-negara Barat yang menyatakan bahwa individu dapat melanggar
hukum internasional. Teori tersebut dikenang dalam putusan Pengadilan
29 Nuremberg dan Tokyo. Praktik negara kemudian setuju untuk mengadili para
individu atas tindakannya melanggar hukum internasional.45
Berkenaan dengan diadilinya para penjahat perang secara individual di
hadapan Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Ian Brownlie menyatakan bahwa
sejak pertengahan abad ke 19 secara umum telah diakui bahwa ada beberapa
tindakan (acts) atau kelalaian (ommissions) yang menyebabkan berlakunya
tanggung jawab pidana pada para individu dan atas hal itu penghukuman bisa
diberlakukan, baik oleh pengadilan internasional atau nasional dan pengadilan
militer.46
Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di
Nuremberg dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional
mengenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap para individu. Mereka
memiliki kewajiban internasional melebihi kepatuhan terhadap kewajiban yang
dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar hukum perang tidak
dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari negara, jika
negara mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya menurut
hukum internasional.47
Tanggung jawab yang bersifat individual selanjutnya juga diterapkan oleh
Mahkamah Pidana Internasional ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan
kemanusiaan yang terjadi di Bekas Yugoslavia (1993) dan di Rwanda (1994). Hal
45Ibid., h. 15.
30 tersebut juga diatur di dalam Piagam Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court/ICC) yang mulai berlaku sejak 1 juli 2002.
Dalam hukum perjanjian internasional juga telah diatur bahwa individu
merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum, individu harusbertanggung
jawab secara individual apabila melakukan kejahatan genosida yang merupakan
kejahatan menurut hukum internasional, terlepas dari jabatan yang dimilikinya.
Hal tersebut diatur dalam Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide tahun 1948, yaitu sebagai berikut: “persons commiting
genocide or any of the other act enumerated in article II shall be punished, wheter
they are constitutionally responsible rulers, public officials or private
individuals”.48
Berdirinya PBB pada tahun 1945 merupakan saat yang sangat penting
terhadap eksistensi Hak Asasi Manusia. Dibentuknya PBB juga merefleksikan
komitmen dari sejumlah besar negara menyangkut Hak Asasi Manusia. Hal
tersebut terlihat dari ketentuan-ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia yang
terkandung dalam Piagam PBB.49
Beberapa Badan PBB yang terkait dengan Penegakan Hukum dan
Pembentukan standar HAM Internasional:
a. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)
Majelis Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang
setiap negara anggota PBB terwakili di dalamnya. Kewengan dari Majelis Umum
PBB yang terkait dengan HAM adalah membuat rekomendasi dalam bentuk
resolusi, yang diantaranya menghasilkan Resolusi A/RES/217, tentang Deklarasi
31 Universal Hak Asasi Manusia, dan kewenangan untuk membuat organ tambahan
(subsidiary organs) yang kemudian membentuk Dewan Hak Asasi Manusia
melalui Resolusi A/RES/60/251.
b. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and
Social Council)
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, seperti halnya Majelis Umum PBB,
merupakan organ utama dari PBB. Tugasnya adalah memberikan bantuan kepada
Majelis Umum PBB untuk peningkatan kerjasama dalam bidan ekonomi dan
sosial. Salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial adalah Komisi
HAM PBB (United Nations Commission for Human Rights) yang kemudian
digantikan oleh Dewan HAM PBB.
Sebagian besar perjanjian internasional HAM, seperti Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights), merupakan
perjanjian yang dihasilkan oleh organ PBB ini.
c. Dewan Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Council)
Dewan HAM PBB, merupakan organ PBB yang dibentuk berdasarkan
Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/60/251, yang menggantikan posisi dari
Komisi HAM PBB. Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap
pelanggaran HAM yang terjadi di dunia. Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai
32
d. Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission on
Promotion dan Protection of Human Rigths)
Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM adalah badan dibawah
Dewan HAM yang bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil
dan membuat rekomendasi bahwa HAM dapat terlindungi secara hukum. Sub
Komisi ini terdiri atas 26 ahli HAM.
e. Pertemuan Berkala mengenai Pencegahan Tindak Pidana dan
Penanganan Pelaku Tindak Pidana (Periodic Congresses on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)50.
Norma dan standar HAM berasal dari hukum internasional. Sumber
hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam
Mahkamah Internasional terdiri dari 3 sumber utama dan 2 sumber tambahan.
Sumber hukum tersebut adalah:
a. Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh anggota
masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara, bertujuan untuk
membentuk hukum sehingga mempunyai akibat hukum. Bentuknya dapat berupa
kovenan, konvensi, perjanjian dan lain-lain.
b. Hukum Kebiasaan Internasional
Kebiasaan internasional (Customary International Law) adalah kebiasaan
internasional antar negara-negara di dunia, merupakan kebiasaan umum yang
diterima sebagai ‘hukum’.
33
c. Prinsip Hukum Umum
Prinsip Hukum Umum adalah asas hukum umum yang terdapat dan
berlaku dalam hukum nasional negara-negara di dunia. Prinsip ini mendasari
sistem hukum positif dan lembaga hukum yang ada di dunia.
d. Putusan Hakim
Putusan pengadilan internasional merupakan sumber hukum tambahan dari
tiga sumber hukum utama di atas. Keputusan pengadilan ini hanya mengikat para
pihak yang bersengketa saja. Namun demikian, keputusan tersebut dapat
digunakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai
suatu perkara, yang didasarkan pada tiga sumber hukum utama di atas.
e. Pendapat para ahli hukum internasional
Pendapat ahli hukum internasional yang terkemuka adalah hasil penelitian
dan tulisan yang sering dipakai sebagai pedoman untuk menemukan apa yang
menjadi hukum internasional. Meskipun demikian, Pendapat tersebut bukan
merupakan suatu hukum51.
Dalam hukum internasional sebagaimana juga dalam hukum HAM
internasional terdapat beberapa bentuk produk hukum, diantaranya adalah:
a. Resolusi adalah keputusan yang diambil oleh suatu badan dalam
organisasi internasional dalam hal ini adalah PBB. Di PBB terdapat
dua resolusi yang sangat penting, pertama adalah resolusi yang
dihasilkan oleh Majelis Umum PBB. Resolusi ini tidak mempunyai
kekuatan hukum walaupun ada beberapa Resolusi yang cukup
otoritatif seperti Resolusi tentang DUHAM. Kedua resolusi yang
34 dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB. Resolusi Dewan Keamana
PBB mempunyai kekuatan hukum, dimana negara anggota PBB harus
mengikuti isi dari resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB.
b. Konvensi adalah perjanjian internasional yang telah mempunyai
kekuatan hukum. Konvensi mempunyai nama yang bermacam-macam
seperti Kovenant, Pakta, Agreement, Charter (Piagam) dan lain-lain.
c. Protocol dan Annex adalah penjelasan atau aturan lebih lanjut dari
Konvensi atau perjanjian internasional. Protokol dan Annex tidak
berdiri sendiri dalam pelaksanaannya, karena terkait erat dengan
perjanjian induknya.52
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk
memenuhi, melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia
secara universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3):
”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah
internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan
menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin,
bahasa atau agama …”
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan
instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen Hukum yang Mengikat
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights/UDHR)
35
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar
yang diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang
terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima
oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan
kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber
utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari Hak-hak-Hak-hak dasar yang terdapat
dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10
dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas
kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan
sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti
bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM
merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.53
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant
on Civil and Political Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara
internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
Hak hidup;
Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam,
tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
36
Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan
memenuhi kewajiban kontraktual;
Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan
peradilan; dan
Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut
dalam penerapan hukum pidana.54
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia
turut mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun
2005, sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini
diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia.
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(International
Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11
tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam
Kovenan ini adalah:
Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat.
Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam
pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat
prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
37 Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai
sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam
pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya).55
Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide)
Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran
HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan
menetapkan perlunya kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan
kejahatan genosida.
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang
Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui
UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat
dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk
mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif
lainnya guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau
pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk
menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi
38
sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya
telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu,
memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang
secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya
dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau
kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak
untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam
pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk
berdasarkan aturan yang terdapat didalamnya.56
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial(International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui
UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial
dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini jugamenjamin
hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna
kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan
Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women)
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia
melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi
instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara
39
melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu
kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga
mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW).57
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh
Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus
menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan,
asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara
juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak
dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status,
kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang
sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC)
untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )
Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi
ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan
istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu
negara. Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan
negaranya karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau
40
keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan.
Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu:
persamaan hak, tidak adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari
hak-hak mereka, serta hak untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.58
b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement
Officials)
Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169
tentangPedoman Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan
bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang
mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM,
penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia, perlindungan kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan
terhadap hukum dan undang-undang.59
Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api(Basic
Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa
penggunaan kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai
dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.
Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All
Persons from Enforced Disappearance)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di
dalamnya terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan
58Ibid.
41
tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi,
hukum, maupun langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan
tindakan penghilangan paksa.
Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the
Elimination of Violence against Women)
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi
mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan
kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil
langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar
dalam penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita.
Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi
Pembela HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan
kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada
memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka.
Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang
harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping juga menjelaskan hubungan antara
HAM dan hukum nasional suatu negara. Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan
aktivitasnya dengan cara-cara damai.
Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan
Sumir (Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal,
42
Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman
Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang
direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003.
Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku
tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk
kejelasan dalam rantai komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum.
Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk
hidup.60
2.4
Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia maka tidak akan
terlepas dari perjalannya dalam dinamika Konstitusi di Indonesia.
1.7 UNDANG-UNDANG DASAR 1945
UUD ini sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian
karena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia melalui
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Fakta sejarah
mnunjukkan bahwa pergulatan pemikiran, khususnya pengaturan Hak Asasi
Manusia dalam konstitusi begitu intens terjadi dalam persidangan BPUPKI dan
PPKI.61
Satu hal menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalh hukum dasar tertulis
yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta
kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan Hak Asasi Manusia
60Ibid.
43 itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan,
Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Yang ditemukan bukanlah Hak Asasi
Manusia, tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara (HAW).62
Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa, waktu
yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan
dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Atas dasar itu,
Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD kilat”, yang
karenanya harus dilakukan perubahan saat Indonesia merdeka. Jelas bahwa
pengaturan Hak Asasi Manusia berhasil dirumuskan dalam UUD 1945. Itu
artinya, bahwa jauh sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi PBB, Indonesia
ternyata lebih awal telah memberlakukan sebuah UUD yang mengatur perihal dan
peneg