• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan HAM terhadap Sanksi Kebiri Kimiawi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan HAM terhadap Sanksi Kebiri Kimiawi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 T1 BAB I"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang Masalah

Hak Asasi Manusia (HAM) tidak akan pernah berhenti dibicarakan

sepanjang sejarah kehidupan bahkan tidak hanya di indonesia melainkan di setiap

belahan dunia, baik korelasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara

terlebih dalam bidang hukum sebagai penyangga utama Hak Asasi Manusia

(HAM), karena dalam hukum adalah wadah dari hak dan kewajiban baik itu

berupa hukum nasional maupun hukum internasional.

Hak Asasi Manusia sering disebut sebagai hak kodrati atau hak yang

didapatkan manusia semenjak manusia itu lahir atau bahkan sebelum manusia itu

lahir atau masih berada di dalam kandungan ibu1, menurut Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia adalah hak untuk kebebasan dan persamaan dalam derajat

yang diperoleh sejak lahir dan menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia di definisikan sebagai hak dasar yang secara

kodrati melekat pada diri Manusia, bersifat universal dan langgeng2, menurut Konferensi

Hak Asasi Manusia 1993 di wina dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah

1 Hak ini terdapat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 Ayat (2). Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia selanjutnya akan disebut UU Hak Asasi Manusia.

(2)

2

universal, tidak dapat dipisahkan, saling bergantung dan saling berhubungan dan

perbedaan pelaksanaan hak asasi manusia karena ciri khas pada masyarakatnya

merupakan hal yang harus dihormati3.

Hak Asasi Manusia dan Hak Dasar adalah berbeda, bahwa hak asasi menunjuk

pada hak-hak yang mendapat pengakuan internasional dan hak dasar diakui melalui

hukum nasional, oleh karena itu sifat universal muncul dan melekat dalam Hak Asasi

Manusia4

Dari pengertian-pengertian diatas jadi dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi

Manusia adalah Hak yang melekat pada manusia semenjak lahir maupun masih dalam

kandungan bersifat universal (diakui secara internasional) tidak memiliki batas waktu,

saling berhubungan, tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung antara ragam Hak

Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia melekat pada setiap manusia tidak memandang suku, ras,

jenis kelamin, golongan, agama maupun preferensi seksual. Sehingga dapat disebut

bahwa Hak Asasi Manusia adalah mengenai kehidupan manusia itu sendiri5. Oleh karena

sifat “melekat” itulah Hak Asasi Manusia selalu mengikuti kehidupan tiap-tiap individu.

Karena melekat dalam kehidupan manusia atau individu oleh karena itu Hak

Asasi Manusia juga melekat pada perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh manusia atau individu tersebut, baik perbuatan sesuai dengan hukum

maupun perbuatan-perbuatan melawan hukum atau tindak kejahatan serta akibat dari

perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan tersebut.

3Ibid, h. 131.

4Ibid, h. 130.

(3)

3

Banyak pertentangan dalam kalangan akademisi terutama dalam bidang hukum

apakah pelaku tindak pidana yang melanggar Hak Asasi Manusia masih melekat Hak

Asasi Manusianya? Jika melihat Hak Asasi Manusia dari korban yang dilanggar.

Pertentangan tersebut dikhususkan dalam tindakan hukum yang diberikan kepada para

pelanggar Hak Asasi Manusia seperti pemberian hukuman mati atau vonis mati.

Pada tanggal 25 Mei 2016 pemerintah telah mengesahkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak6.

Perppu tersebut memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni

hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10

tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi,

pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi

elektronik. Perppu ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81

dan 82, serta menambah satu pasal 81A.

Tujuan pemberatan sanksi tersebut adalah agar hakim dapat memberikan

vonis yang berat kepada para pelaku kejahatan seksual dan pemberatan sanksi

tersebut juga menambah ancaman pidana kepada pelaku kejahatan seksual

(4)

4 terhadap anak, karena menurut pemerintah kejahatan seksual kepada anak adalah

bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)7.

Dalam perkembangannya kejahatan terhadap anak di Indonesia semakin

tinggi terutama kejahatan seksual baik itu pelecehan maupun kekerasan.

Kejahatan seksual sendiri merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan

seksual, komentar yang tidak dinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan

paksaan, ancaman, paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan

dengan korban, dalam situasi apa saja termasuk tapi tidak pada rumah dan

pekerjaan8. Kejahatan seksual dapat dalam berbagai bentuk termasuk

pemerkosaan, perbudakan seks dan atau perdagangan seks, kehamilan paksa,

kekerasan seksual, eksploitasi seksual dan atau penyalahgunaan seks dan aborsi.

Pada tahun 2016 kejahatan seksual naik bahkan hingga 100%9, dan

pelaku kejahatan tersebut rata-rata adalah orang terdekat korban, baik itu orang

tua, paman, saudara, tetangga di lingkungan korban. Bahkan tindak pidana

kejahatan seksual terhadap anak ini yang menyebabkan lahirnya Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dalam kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyun warga

7HUKUMAN DALAM PERPPU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK ‘REAKTIF DAN

BOMBASTIS’, diakses di

bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160511_indonesia_perppu_reaktif, pada tanggal 12 Mei 2016, pada pukul 11:26 WIB.

8Inter-Agency Standing Committee (IASC), 2005. Guidelines for Gender-based Violence

Interventions in Humanitarian Settings: Focusing on Prevention of and Response to Sexual Violence in Emergencies.

(5)

5 Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang

Lebong dimana korban tidak hanya diperkosa namun juga dibunuh serta mayatnya

dibuang dijurang10.

Kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun tersebut menimbulkan

kegeraman publik dan memunculkan banyak pendapat bahwa kasus tersebut

merupakan kejahatan terhadap kemanusian dan merendahkan martabat perempuan

sebagaimana yang telah ditentukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia

Tahun 1948, Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CONVENTION

ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST

WOMEN)11 serta kasus tersebut sudah melanggar terhadap 12 Jenis Hak

Kesehatan Seksual dan Reproduksi terkhusus hak untuk, hak untuk hidup, hak

atas kemerdekaan dan keamanan, hak untuk bebas dari penganiayaan dan

perlakuan buruk12.

Oleh karena itu penyelesaian dalam tindak pidana terhadap Yuyun tersebut

tidak bisa hanya berupa pemberian vonis kejahatan seksual biasa namun perlu

vonis yang berat terhadap pelaku kejahatan seksual tersebut sebagaimana yang

termaktub dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu)

10 Yuliardi Hardjo Putro, Kronologi Kasus Kematian Yuyun di Tangan 14 ABG Bengkulu,

di akses di http://regional.liputan6.com/read/2499720/kronologi-kasus-kematian-yuyun-di-tangan-14-abg-bengkulu, pada tanggal 15 Agustus 2016, pada pukul 21:48.

11 Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST WOMEN) selanjutnya akan disebut UU Konvensi CEDAW. 12 Demon Fajri, Pemerkosaan Yuyun oleh 14 Orang Adalah Kejahatan Kemanusiaan,

(6)

6 Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berupa tindakan berupa kebiri dan

pengumuman identitas pelaku serta penanaman cip dan pidana tambahan.

Perlindungan Anak bukanlah hanya semata-mata perlindungan secara fisik

maupun psikologis namun perlindungan anak merupakan perwujudan Hak Asasi

Manusia, dimana anak Hak Asasinya telah dijamin semenjak anak masih di dalam

kandungan ibunya sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 Ayat (2)13.

Indonesia dalam konstitusinya dalam perihal Hak Asasi Manusia, anak

menjadi bagian terpenting yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi ” sebagaimana yang terdapat dalam BAB XA Pasal

28B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 Hal ini mengandung makna bahwa anak

adalah subjek hukum khusus dari hukum nasional yang harus dilindungi,

dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak

tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Sehingga dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu)

Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menambah pemberatan sanksi dapat

disimpulkan bahwa demi melindungi Hak Asasi Manusia terutama anak maupun

anak yang menjadi korban kejahatan dirasa adil jika Perppu tersebut diterapkan

dan diberlakukan.

13 Maidin Gultom, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK dalam Sistem Peradilan

(7)

7 Namun dalam konsep Hak Asasi Manusia yang memiliki sifat melekat

pada setiap manusia atau individu oleh karena itu Hak Asasi Manusia juga

melekat pada pelaku tindak pidana sekalipun bahwa dalam peradilan pidana harus

memiliki kebijakan dalam hak dan kewajiban serta etika penguasa dalam

memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi, dan korban pelbagai pembatasan

terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan keseimbangan terhadap

kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan keseimbangan terhadap efisiensi

dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan jaminan terhadapa

hak-hak individual14.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun

2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak terutama dalam Pasal 81 Ayat (7) yang berbunyi:

“Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat

(5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan

cip”.

Dapat dilihat bahwa terdapat penambahan sanksi berupa tindakan kebiri

kimia yang merupakan tindakan dengan menyuntikkan obat antiandrogen, seperti

medroxyprogesterone acetate atau cyproterone. Yakni Obat-obatan yang dapat

menekan fungsi hormon testosteron. untuk menurunkan level testosteron, yakni

hormon laki-laki, yang bertanggung jawab pada timbulnya libido15.

14 Muladi, HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum

dan Masyarakat, Rafika Aditama, Bandung, 2009, h. 99.

15 Supriyadi Widodo Eddyono, et.al., MENGUJI EUFORIA KEBIRI Catatan Kritis atas Rencana

(8)

8 Pengkebirian tersebut dapat disebut sebagai penghukuman dengan

melanggar Hak Asasi Manusia karena Ketentuan Pasal 28G ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:

“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan

yang merendahkan derajat martabat manusia”.

Dengan demikian, hak tersebut merupakan hak yang bersifat

konstitusional dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhannya menjadi

komitmen kontitustional pula. Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Keji, Tidak

Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5 Tahun

199816.

Hak untuk tidak disiksa juga merupakan salah satu Hak Asasi Manusia

yang bersifat pokok (core right) yang telah diatur dalam Pasal 5 Universal

Declaration of Human Rights (UHDR), yaitu:

No one shall be sujected to torture or to cruel, inhuman or degrading

treatment or Punishment” terjemahan “Tidak ada seorang pun boleh disiksa atau

Institute for Criminal Justice Reform ECPAT Indonesia-Mappi FH UI-Koalisi Perempuan Indonesia Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri, Jakarta, 2016, h. 9.

(9)

9

mendapat perlakuan atau hukuman yang kejam , tidak manusiawi atau

merendahkan”.

Pengaturan mengenai hal itu juga terdapat dalam Pasal 7 International

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu:

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading

treatment or punisment. In particular, no one shall be subjected without his free

consent to medical or scientific experimentation”. Terjemahan “Tidak ada

seorang pun boleh disiksa atau mendapat perlakuan atau hukuman yang kejam ,

tidak manusiawi atau merendahkan . Secara khusus , tidak dapat dikenakan tanpa

persetujuan bebasnya untuk eksperimen medis atau ilmiah”.

Larangan penyiksaan saat ini merupakan norma hukum internasional yang

berkategori sebagai jus cogens yang bermakna tidak dimungkinkan adanya

pelanggaran dalam norma tersebut17.

Perihal penyiksaan juga terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang No. 39

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,

pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,

hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum,

dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun dan oleh siapapun”.

(10)

10 Melihat dari Undang-Undang Dasar 1945 serta Peraturan

Perundang-undangan maupun hukum internasional mengenai Hak Asasi Manusia terdapat

banyak benturan-benturan antar Peraturan perundang-undangan atau hukum yang

ada tersebut jika melihat dari dua sudut pandang yaitu dari Korban Pelanggaran

Hak Asasi Manusia dan Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kedua subjek

hukum tersebut sama-sama memiliki hak yang melekat pada diri mereka yaitu

Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu dirasa perlu pengkajian terhadap Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

terutama dalam Pasal 81 Ayat (7) mengenai Kebiri Kimia, terhadap Peraturan

Perundang-undangan atau hukum tentang Hak Asasi Manusia.

Hal ini merupakan alasan Penulis untuk melakukan penelitian tentang Hak

Asasi Manusia di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan judul: “Tinjauan

HAM terhadap Sanksi Kebiri Kimiawi dalam Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016”.

(11)

11

1.2

Rumusan Masalah

Apakah pemberatan sanksi berupa tindakan kebiri kimia dalam Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak sesuai dengan asas dan tujuan serta Norma-norma dalam Hak

Asasi Manusia?

1.3

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu hendak memahami dan

mengetahui hakekat serta kaedah-kaedah Hak Asasi Manusia terutama dalam

pemberatan sanksi di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu)

Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

1.4

Manfaat penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui pemberatan sanksi dalam

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016

tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak sudah memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia

baik dari korban pelanggaran Hak Asasi Manusia maupun Pelaku pelanggaran

(12)

12

1.5

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah suatu penelitian hukum yang merupakan proses untuk

menemukan aturan hukum dalam pengertian kaedah, prinsip-prinsip hukum, guna

menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian ini merupakan penelitian yang

bersifat normatif (yuridis normatif).Penelitian hukum dikenal ilmu hukum

normatif karena ilmu hukum normatif bersifat prespiktif bukan deskriptif. Dalam

penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue

approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Peneliti hendak

meneliti Hakekat serta Kaedah-kaedah Hukum mengenai Hak Asasi Manusia.

Metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan

menggunakan analisis berdasarkan aturan perundang-undangan dan mempelajari

pandangan atau doktrin-doktrin didalam Hukum tentang Hak Asasi Manusia.

Fokus dengan peraturan perundang-undangan dalam tulisan ini yaitu; Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan

Hukum-hukum Internasional mengenai Hak Asasi Manusia.

1.6

Sistematika penulisan

Struktur skripsi dibagi menjadi tiga Bab, yaitu bagian awal, bagian isi,

(13)

13 BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah Hak Asasi Manusia

Perlindungan anak dan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana Hak Asasi

Manusia. Dalam Bab I juga dikemukakan rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian. Bab II Pembahasan, berisi tinjauan

(14)

14

BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebagaimana judul di atas, Bab ini berisi gambaran hasil tinjauan

kepustakaan atau kajian atas literatur Hukum yang secara khusus membicarakan

tentang berbagai kaedah atau asas hukum yang mengatur tentang Hak Asasi

Manusia.

Bab ini juga berisi analisa dalam rangka menjawab pertanyaan dalam

perumusan masalah, yaitu Apakah pemberatan sanksi berupa tindakan kebiri

kimia dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1

Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak sesuai dengan asas dan tujuan serta

Norma-norma dalam Hak Asasi Manusia?

Gambaran hasil studi kepustakaan tentang Hak Asasi Manusia tersebut

Penulis pilah ke dalam beberapa sub bab yaitu antara lain Pengertian Hak Asasi

Manusia dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia di

dalam Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Hak Asasi Manusia

dalam Hukum Pidana dan Peradilan Pidana Indonesia, Hak Asasi Manusia dari

Perspektif Kejahatan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan, Hak Asasi Manusia

(15)

15

2.1

Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi fundamental untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia,

maka perlu dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif “hak”

merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku,

melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia

dalam menjaga harkat dan martabatnya18. Hak sendiri mempunyai beberapa

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Pemilik hak;

b. Ruang lingkup penerapan hak;

c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.19

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.

Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap

manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan

hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan

instansi.

Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan

pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg.

Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk

dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel

Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim

18 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2003, h. 199.

(16)

16 yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai

pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari

pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara

hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam

perwujudannya. Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan

kewajiban.20

The cambridge Dictionary of Philosophy, buku yang diedit oleh Robert

Audi memberikan penegasan tentang hak sebagai berikut:

Rights, advantegous positions conferred on some prossessors by law,

morals, rules, or other norms. There is no agreement on the sense in which

rights are advantages. Will theories hold that rights favor the will of the

possessor over th conflicting will of some other party; interest theories

mantain that rights serve to protect or promote the interests of the high

holder21.

Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum, moral, peratauran atas

norma-norma lain dapat memberikan hak kepada seseorang. Dengan kata lain,

kedudukan yang menguntungkan bagi para pemilik hak dapat ditoleransi melalui

aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dalam penerapannya

terdapat perbedaan yang terjadi karena stressing point yang berbeda.

20Ibid., h. 200.

21 Majda El Muhtaj, HAK ASASI MANUSIA dalam KONSTITUSI INDONESIA Dari UUD 1945

(17)

17

Kalau mengikuti teori kemauan (will theory), yang dipegangi adalah

bahwa hak megutamakan kemauan pemilik hak dari berbagai keinginan yang

berbeda dengan pihak lain. Sementara teori kepentingan (interest theory), lebih

menekankan bahwa hak berperan untuk melindungi atau mengembangkan

kepentingan pemilik hak. Kedua teori besar ini lahir sebagai produk pemikiran

sejarah peradaban manusia. Tentunya, keduanya mencerminkan perlakuan yang

berbeda sebagai wujud manifestasi interaksi antara manusia yang satu dengan

manusia lainnya.22

Dalam bukunya, ilmu hukum, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa suatu

kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh

hukum, tetapi juga karena adanya pengakuan. Pengakuan ini penting dilihat

sebagai ratio legis munculnya sikap bersama bahwa susuatu hak yang melekat

bagi pemiliknya dipahami dan disadari dapat menghasilkan

keteraturan-keteraturan. Sehubungan dengan ini, Audi mengungkapkan bahwa disamping ada

hak hukum, juga terdapat hak alami. Ia mengatakan sebagai berikut: “Just as

positive law posited by human lawmakers confers legal rights, so the natural law

confers natural rights”.23

Untuk memberikan kejelasan tentang hak hukum dan hak alami, Nur

Ahmad Fadhil Lubis memberikan uraiannya; kalau yang pertama dapat ditarik

kembali atau dalihkan sesuai dengan ketentuan lawmakers, maka yang terakhir

bersifat melekat dan abadi pada pemiliknya. Hak dalam bentuk terakhir ini tidak

22Ibid., h. 36.

(18)

18

dapat ditanggalkan, baik oleh raja atau negara sekalipun, inalienable rights. Audi

menyebutkan yang pertama sebagai advantegous positions under the law of a

society, sedangkan yang terakhir ia namakan dengan most fundamental rights.

Kecuali itu, status ternyata memiliki peran sentral dalam memberikan dan

menentukan hak tertentu, kata Audi. Menurutnya lagi, hak sangat terkait erat

dengan status. Hak anak misalnya, merupakan hak yang melekat pada status

seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anak. Demikian juga dengan hak

wanita, hak buruh, hak orang tua, hak perusahaan, dan sebagainya. berarti, karena

status seseorang mengalami perubahan yang tidak saja diakibatkan oleh

perubahan sosial dan ekonomi seperti status buruh dan majian, maka hak juga

mengalami perubahan sesuai dengan pihak mana seseorang itu berhadapan dan

berinteraksi.24

Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru

tetap melekat sebagai pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusian, terlepas dari

perbedaan jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama,

dan lain-lain. inilah selanjutnya yang menghasilan lahirnya konsepsi HAM.

Dengan kata lain, HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran manusia

tentang hakikat dirinya. Sebagai pengemban fitrah kemanusiaan yang bersifat

universal dan eternal. Dengan mengagumkan, Audi mengungkapkannya sebagai

berikut:

It seems sampler to appeal instead to fundamental rights that must be

iniversal among human beings because they are possessed merely by

(19)

19 virtue of one’s status as a human being. Human rights are still thought of

as natural in the very broad sense of existing independently of any human

action or institution.25

Sejalan dengan itu seorang ilmuwan politik Maurice cranston sebagaimana

dikutip oleh T. Mulya Lubis dalam disertasinya In Search of Human Rights;

legal-political Dilemmas of Indonesia’s New Orde 1966-1990, mengatakan bahwa:

That rights must pass the test of universality, praticality, an paramount

importance, and that it is these rights which should be regarded as the

inalienable rights to every human being... However, in the final analysis,

the effectiveness of human rights depend largely on acceptance of political

realities26.

Meskipun ada perbedaan antara hak hukum dengan hak lainnya, namun

hal itu bukan berarti bahwa hak jauh dari konsepsi umum yang menegaskannya

sebagai sesuatu yang eksis dalam masyarakat, demikian pandangan G.W Paton

dalam bukunya A Text Book of Jurisprudence. Menurutnya perbedaan itu

dipandang sebagai realitas adanya implikasi baru yang memberikan pengaruh

yang bersifat alami terhadap hukum. Korelasi antara keduanya akan semakin

menjadikan hak lebih tegas baik untuk melindungi atau melarang seseorang untuk

melakukan sesuatu27.

25Ibid., h. 37.

(20)

20 Dari teori-teori diatas pengertian hak memilki perkembangan dari waktu

kewaktu, memiliki jenis yang berbeda dan melekat pada status pemilik hak.

Setelah mengetahui mengenai pengertian hak tersebut maka terdapat hak yang

dikategorikan sebagai hak alami atau hak hakiki atau kodrati dikenal dengan nama

Hak Asasi Manusia.

Pengertian Hak Asasi Manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang

dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. Pemahaman atas hak asasi

yang demikian ini merupakan pemahaman yang sangat umum dengan tanpa

membedakan secara akademik hak-hak yang dimaksud serta tanpa

mempersoalkan asal-usul atau sumber diperolehnya hak tersebut. Pengertian Hak

Asasi Manusia seperti pemahaman tersebut memang tidak salah, namun karena

pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang sempit mengenai Hak Asasi

Manusia, maka penerapan terhadap hak tersebut sering salah kaprah atau sering

disalah gunakan. Untuk itu guna memperoleh pemahaman yang lebih sempurna

tentang Hak Asasi Manusia, perlu dipahami istilah-istilah yang memberi

pengertian secara tepat mengenai Hak Asasi Manusia28.

Ditinjau dari berbagai istilah yang ditemukan dalam literatur, Hak Asasi

Manusia merupakan terjemahan dari droits de l’homme dalam bahasa Perancis

yang berarti hak manusia, atau dalam bahasa Inggrisnya human rights dan dalam

bahasa belanda disebut mensenrechten. Dalam kepustakaan lain digunakan istilah

hak-hak dasar yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris

dan grondrechten dalam bahasa belanda, sebagian orang menyebutnya dengan

(21)

21

hak-hak fundamental sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa

Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa belanda. Istilah lain tentang Hak

Asasi Manusia sebagaimana dikemukakan oleh hadjon (1987:38), ada

kepustakaan dalam bahasa Inggris yang menggunakan istilah natural right dan

dalam bahasa Belanda digunakan istilah rechten van den mens sedang dalam

kepustakaan yang berbahasa Indonesia terdapat istilah-istilah seperti hak-hak asasi

manusia, hak-hak dodrat dan hak-hak dasar29.

Pada sisi lain kepustakaan hukum selain menggunakan istilah hak dasar

sebagai terjemahan dari istilah grondrachten, frundrechte, fundamental rights,

droits fundamentaux juga mempergunakan istilah hak-hak asasi manusia sebagai

terjemahan dari mensentechten, menchenrechte, human rights, dan droits de

l’homme.30

Dari peristilahan diatas, perlu dibedakan pengertian antara hak-hak asasi

dengan hak-hak dasar. Perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut adalah

bahwa; hak-hak asasi menunjuk pada hak-hak yang memperoleh pengakuan

secara internasional sedang hak dasar diakui melalui hukum nasional. Konotasi

hak-hak asasi manusia terkait erat dengan asas-asas idea dan politis, sedangkan

hak dasar merupakan bagian dari hukum dasar. Selanjutnya hak-hak asasi dimuat

dalam dokumen politik sehingga sifatnya lebih dinamis dibandingkan dengan

hak-hak dasar yang dituangkan dalam dokumen yuridis seperti Undang-Undang Dasar

(konstitusi) dan dalam Konvensi Internasional. Dengan demikian mengacu pada

hal tersebut diatas, pengertian Hak Asasi Manusia kiranya harus dipahami juga

29Ibid., h. 129.

(22)

22 sebagai hak dasar. Hal ini tidak lain karena istilah hak dasar maupun Hak Asasi

Manusia kiranya harus dipahami juga sebagai hak dasar. Hal ini tidak lain karena

istilah hak dasar maupun Hak Asasi Manusia yang populer dan lazim

dipergunakan di masyarakat, pada prinsipnya mempunyai pengertian yang sama.

Di samping itu pembatasan terhadap hak tersebut juga dilakukan secara yuridis

dan moral, artinya Hak Asasi Manusia selain diatur melalui norma-norma hukum

juga dirumuskan dalam statement-statement politik. Walaupun dalam kepustakaan

terdapat perbedaan pengertian, antara hak dasar (grondrechten) dengan hak asasi

(mensenrechten) namun bukan perbedaan ini yang menjadi permasalahan pokok

dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Perbedaan ini hanya diperlukan untuk

analisis akademik, bukan untuk praktek pemerintahan.31

Bertolak dari pembedaan peristilahan dimaksud diatas, pengertian Hak

Asasi Manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah hak untuk

kebebasan persamaan dalam derajat yang diperoleh sejak lahir serta tidak dapat

dicabut dari seseorang. Sedangkan mernurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia didefinisikan sebagai hak dasar

yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng,

oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh

diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun32.

Pengertian Hak Asasi Manusia diatas tersebut sekurang-kurangnya

mengandng tiga hak elementer yang tidak boleh dicabut dari seseorang sebagai

31Ibid. h. 130.

(23)

23 individu, yakni hak untuk hidup, hak untuk dianiaya, dan adanya kebebasan.

Disamping itu ada hak ekonomi, sosial dan budaya yang dimiliki setiap orang

sebagai anggota masyarakat dan tidak dapat dikesampingkan bagi martabat

manusia dan kebebasan dalam mengembangkan kepribadiannya.

Dari pengertian dasar Hak Asasi Manusia juga muncul pengakuan bahwa

setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional sehingga dalam

melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada pembatasan yang

ditetapkan oleh hukum.

2.2

Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata

karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya

oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata

berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian, faktor-faktor seperti

ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat menegasikan eksistensi Hak

Asasi Manusia pada diri manusia.33

Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat merunut konsep Hak Asasi

Manusia yang sederhana sampai kepada fisafat stoika di zaman kuno lewat

yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari

Undang-undang Romawi, tampa jelas bahwa asal usul konsep Hak Asasi Manusia yang

modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada

abad ke 17 dan ke 1834.

(24)

24 Hugo de Groot- seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai

“bapak hukum internasional” atau yang dikenal dengan nama latinnya, Grotius,

mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus

asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang

rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya,

salah seorang kaum terpelajar pasca-renaisans, John Locke mengajukan pemikiran

mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati.

Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi revolusi hak

dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad

ke 17 dan 1835.

Paham Hak Asasi Manusia Lahir di Inggris pada abad ke 17. Inggris

memiliki tradisi perlawanan yang lama terhadap segala usaha raja untuk

mengambil kekuasaan mutlak. Sementara Magna Carta (1215) sering keliru

dianggap sebagai cikal bakal kebebasan warga negara Inggris, piagam ini

sesungguhnya hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John. Dan

para bangsawannya, dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini sebenarnya

baru dalam Bill of Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi

hak-hak atau kebebasan individu36.

Kemudian, tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus, suatu

dokumen keberadaban hukum bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang

ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan

35Ibid.

(25)

25 diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan, pernyataan ini menjadi dasar prisnsip

hukum bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim37.

Bill of Rights (1689), sebagaimana diperikan dengan judulnya yang

panjang “An act Declaring the Rights and the Liberties and the Subject and

Setting the Succession of the Crown” (Akta Deklarasi Hak dan Kebebasan Kawula

dan Tata Cara Suksesi Raja), merupakan hasil perjuangan parlemen melawan

pemerintahan raja-raja wangasa Stuart yang sewenang-wenang pada abad ke 17.

Disahkan stelah Raja James II dipaksa turun takhta dan Willian II serta Mary II

naik ke singgasana menyusul “Revolusi Gemilang” (Glorius Revolution) pada

tahun 1688, Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi

undang-undang yang ada dan bukan merupakan undang-undang-undang-undang yang baru, menundukkan

monarki dibawah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan

Raja untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang di klaim raja adalah

ilegal. Perlu dicatat pula bahwa dengan adanya Bill of Rights timbul kebebasan

untuk berbicara (speech) dan berdebat (debate), sekalipun hanya untuk anggota

parlemen dan untuk digunakan di dalam gedung parlemen.38

Kemudian deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Deklaration of

Independence) pada 1778. HAM di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak

terlepas dari beberapa rumusan sebelumnya seperti Virginia Bill of Right. Dalam

deklarasi ini dapat ditemukan kalimat “kita menganggap kebenaran-kebenaran

berikut ini sebagai eviden berikut saja, bahwa semua manusia diciptakan sama,

bahwa mereka dianugerahi oleh pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang

37Ibid., h. 4.

(26)

26

tidak tak terasingkan”. Hal mana kemudian diperkuat dengan dicantumkannya

ketentuan mengenai setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan

dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti

pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut39.

Deklarasi tentang Hak Manusia dan Warga Negara yang dikeluarkan di

Perancis waktu pecahnya Revolusi Perancis (1789) dan secara mendalam

dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan hak asasi dari Amerika. Deklarasi inipun

masih mencoba mengkaitkan keasasian hak-hak tersebut dengan Tuhan. Hal ini

terlihat ketika Majelis Nasional Perancis membacakan deklarasi ini didahului

dengan kalimat “di hadapan wujud tertinggi dan di bawah perlindungan-Nya”.

Meskipun semangat revolusi Peranscis begitu menggebu untuk

mengobarkan tendensi anti Kristen dan mengedepankan semangat pencerahan

(Aufklarung), namun mereka tetap mendasarkan pemikiran tentang Hak Asasi

Manusia pada kodrat Tuhan. Pemikiran-pemikiran kaum foundationalism masih

sangat mempengaruhi deklarasi tentang Hak Asasi Manusia dan warga negara

Perancis sebagaimana dalam Declaration of Independence/ Deklarasi

Kemerdekaan di Amerika Serikat. Dengan menitik beratkan pada kelima hak asasi

pemilikan harta (property), kebebasan (liberty), persamaan (egalite), keamanan

(security), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence al’oppresstion).40 Kemudian adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang

diproklamirkan dalam sidang umum PBB pada 10 Desember 1948. Hal yang baru

dalam deklarasi ini adalah adanya pergeseran pendasaran HAM dari kodrat Tuhan

39Ibid

.

(27)

27 kepada pengakuan akan martabat manusia. Diawal deklarasi disebutkan

Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang

sama serta tak terasingkan dari semua anggota masyarakat merupakan dasar

untuk kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia”.41

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini memiliki perbedaan

mendasar dari deklarasi sebelumnya. Louis Henkin dan James W. Nickel dalam

making senses of Human Rihgt (1996) menyebutkan bahwa manifesto Hak Asasi

Manusia Mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik

mengenai hak-hak kodrati (sebagai hak yang berasal dari Tuhan), dan lebih

menekankan sifat persamaan (egaliterianisme). Setelah ini, penegakan HAM

menjadi semakin gencar di seluruh dunia. HAM telah mengalami

internasionalisasi.

Dengan latar belakang seperti tersebut di atas, maka menurut Philipus

M.Hadjon42, hak asasi manusia konsep Barat yang pada dasarnya adalah

pembatasan terhadap tindak tanduk negara dan organ-organnya dan peletakan

kewajiban negara terhadap warganya sehingga prinsip yang terkandung dalam

konsep hak asasi manusia adalah tuntutan (claim) akan hak terhadap negara dan

kewajiban yang harus dilakukan oleh negara.

Kemudian, pada tahun 1966 dihasilkan perjanjian internasional (treaty)

yang di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan perlindungan Hak Asasi

Manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) serta hak-hak

41Ibid., h. 6.

(28)

28

ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and

Cultural Rights/ICESCR). Kemudian dikenal dengan istilah “the International

Bill of Human Rights”.43

2.3

Hak Asasi Manusia di dalam Hukum Internasional

Perkembangan Hak Asasi Manusia dalam hukum internasional hingga

seperti sekarang ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan

individu dalam hukum internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu

diakuinya individu sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban

tertentu menurut hukum internasional.

Menurut Ved Vanda, hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan

secara dramatis kedudukan (status) individu yang beralih dari semata-mata

sebagai objek menjadi subjek hukum internasional. Individu memiliki hak untuk

mencari pelunasan (redress) di forum internasional. Perlindungan Hak Asasi

Manusia yang diakui secara internasional merupakan suatu perubahan bersifat

revolusioner.44

Dengan status individu sebagai subjek hukum internasional, maka secara

teori individu dapat melanggar hukum internasional (di samping hukum nasional).

Hal tersebut muncul sebagai akibat dari tindakan-tindakan mengerikan oleh rezim

Nazi Jerman. Teori tersebut dihidupkan kembali oleh para sarjana dan ahli hukum

dari negara-negara Barat yang menyatakan bahwa individu dapat melanggar

hukum internasional. Teori tersebut dikenang dalam putusan Pengadilan

(29)

29 Nuremberg dan Tokyo. Praktik negara kemudian setuju untuk mengadili para

individu atas tindakannya melanggar hukum internasional.45

Berkenaan dengan diadilinya para penjahat perang secara individual di

hadapan Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Ian Brownlie menyatakan bahwa

sejak pertengahan abad ke 19 secara umum telah diakui bahwa ada beberapa

tindakan (acts) atau kelalaian (ommissions) yang menyebabkan berlakunya

tanggung jawab pidana pada para individu dan atas hal itu penghukuman bisa

diberlakukan, baik oleh pengadilan internasional atau nasional dan pengadilan

militer.46

Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di

Nuremberg dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional

mengenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap para individu. Mereka

memiliki kewajiban internasional melebihi kepatuhan terhadap kewajiban yang

dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar hukum perang tidak

dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari negara, jika

negara mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya menurut

hukum internasional.47

Tanggung jawab yang bersifat individual selanjutnya juga diterapkan oleh

Mahkamah Pidana Internasional ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan

kemanusiaan yang terjadi di Bekas Yugoslavia (1993) dan di Rwanda (1994). Hal

45Ibid., h. 15.

(30)

30 tersebut juga diatur di dalam Piagam Mahkamah Pidana Internasional

(International Criminal Court/ICC) yang mulai berlaku sejak 1 juli 2002.

Dalam hukum perjanjian internasional juga telah diatur bahwa individu

merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum, individu harusbertanggung

jawab secara individual apabila melakukan kejahatan genosida yang merupakan

kejahatan menurut hukum internasional, terlepas dari jabatan yang dimilikinya.

Hal tersebut diatur dalam Convention on the Prevention and Punishment of the

Crime of Genocide tahun 1948, yaitu sebagai berikut: “persons commiting

genocide or any of the other act enumerated in article II shall be punished, wheter

they are constitutionally responsible rulers, public officials or private

individuals”.48

Berdirinya PBB pada tahun 1945 merupakan saat yang sangat penting

terhadap eksistensi Hak Asasi Manusia. Dibentuknya PBB juga merefleksikan

komitmen dari sejumlah besar negara menyangkut Hak Asasi Manusia. Hal

tersebut terlihat dari ketentuan-ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia yang

terkandung dalam Piagam PBB.49

Beberapa Badan PBB yang terkait dengan Penegakan Hukum dan

Pembentukan standar HAM Internasional:

a. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)

Majelis Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang

setiap negara anggota PBB terwakili di dalamnya. Kewengan dari Majelis Umum

PBB yang terkait dengan HAM adalah membuat rekomendasi dalam bentuk

resolusi, yang diantaranya menghasilkan Resolusi A/RES/217, tentang Deklarasi

(31)

31 Universal Hak Asasi Manusia, dan kewenangan untuk membuat organ tambahan

(subsidiary organs) yang kemudian membentuk Dewan Hak Asasi Manusia

melalui Resolusi A/RES/60/251.

b. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and

Social Council)

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, seperti halnya Majelis Umum PBB,

merupakan organ utama dari PBB. Tugasnya adalah memberikan bantuan kepada

Majelis Umum PBB untuk peningkatan kerjasama dalam bidan ekonomi dan

sosial. Salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial adalah Komisi

HAM PBB (United Nations Commission for Human Rights) yang kemudian

digantikan oleh Dewan HAM PBB.

Sebagian besar perjanjian internasional HAM, seperti Kovenan

Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political

Rights) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

(International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights), merupakan

perjanjian yang dihasilkan oleh organ PBB ini.

c. Dewan Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Council)

Dewan HAM PBB, merupakan organ PBB yang dibentuk berdasarkan

Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/60/251, yang menggantikan posisi dari

Komisi HAM PBB. Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap

pelanggaran HAM yang terjadi di dunia. Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai

(32)

32

d. Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission on

Promotion dan Protection of Human Rigths)

Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM adalah badan dibawah

Dewan HAM yang bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil

dan membuat rekomendasi bahwa HAM dapat terlindungi secara hukum. Sub

Komisi ini terdiri atas 26 ahli HAM.

e. Pertemuan Berkala mengenai Pencegahan Tindak Pidana dan

Penanganan Pelaku Tindak Pidana (Periodic Congresses on the

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)50.

Norma dan standar HAM berasal dari hukum internasional. Sumber

hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam

Mahkamah Internasional terdiri dari 3 sumber utama dan 2 sumber tambahan.

Sumber hukum tersebut adalah:

a. Hukum Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh anggota

masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara, bertujuan untuk

membentuk hukum sehingga mempunyai akibat hukum. Bentuknya dapat berupa

kovenan, konvensi, perjanjian dan lain-lain.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Kebiasaan internasional (Customary International Law) adalah kebiasaan

internasional antar negara-negara di dunia, merupakan kebiasaan umum yang

diterima sebagai ‘hukum’.

(33)

33

c. Prinsip Hukum Umum

Prinsip Hukum Umum adalah asas hukum umum yang terdapat dan

berlaku dalam hukum nasional negara-negara di dunia. Prinsip ini mendasari

sistem hukum positif dan lembaga hukum yang ada di dunia.

d. Putusan Hakim

Putusan pengadilan internasional merupakan sumber hukum tambahan dari

tiga sumber hukum utama di atas. Keputusan pengadilan ini hanya mengikat para

pihak yang bersengketa saja. Namun demikian, keputusan tersebut dapat

digunakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai

suatu perkara, yang didasarkan pada tiga sumber hukum utama di atas.

e. Pendapat para ahli hukum internasional

Pendapat ahli hukum internasional yang terkemuka adalah hasil penelitian

dan tulisan yang sering dipakai sebagai pedoman untuk menemukan apa yang

menjadi hukum internasional. Meskipun demikian, Pendapat tersebut bukan

merupakan suatu hukum51.

Dalam hukum internasional sebagaimana juga dalam hukum HAM

internasional terdapat beberapa bentuk produk hukum, diantaranya adalah:

a. Resolusi adalah keputusan yang diambil oleh suatu badan dalam

organisasi internasional dalam hal ini adalah PBB. Di PBB terdapat

dua resolusi yang sangat penting, pertama adalah resolusi yang

dihasilkan oleh Majelis Umum PBB. Resolusi ini tidak mempunyai

kekuatan hukum walaupun ada beberapa Resolusi yang cukup

otoritatif seperti Resolusi tentang DUHAM. Kedua resolusi yang

(34)

34 dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB. Resolusi Dewan Keamana

PBB mempunyai kekuatan hukum, dimana negara anggota PBB harus

mengikuti isi dari resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB.

b. Konvensi adalah perjanjian internasional yang telah mempunyai

kekuatan hukum. Konvensi mempunyai nama yang bermacam-macam

seperti Kovenant, Pakta, Agreement, Charter (Piagam) dan lain-lain.

c. Protocol dan Annex adalah penjelasan atau aturan lebih lanjut dari

Konvensi atau perjanjian internasional. Protokol dan Annex tidak

berdiri sendiri dalam pelaksanaannya, karena terkait erat dengan

perjanjian induknya.52

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk

memenuhi, melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia

secara universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3):

”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah

internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan

menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan

kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin,

bahasa atau agama …”

Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan

instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:

a. Instrumen Hukum yang Mengikat

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human

Rights/UDHR)

(35)

35

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar

yang diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang

terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima

oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan

kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber

utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil

dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari Hak-hak-Hak-hak dasar yang terdapat

dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10

dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas

kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang

kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan

sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti

bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM

merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.53

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant

on Civil and Political Rights)

Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara

internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:

 Hak hidup;

 Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam,

tidak manusiawi atau direndahkan martabat;

(36)

36

 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;

 Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan

memenuhi kewajiban kontraktual;

 Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan

peradilan; dan

 Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut

dalam penerapan hukum pidana.54

Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia

turut mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun

2005, sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini

diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia.

Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(International

Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)

Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11

tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam

Kovenan ini adalah:

 Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan

budaya masyarakat.

 Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam

pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat

prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.

(37)

37  Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai

sesuatu yang saling terkait satu sama lain.

Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam

pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial

dan Budaya).55

Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide)

Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran

HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan

menetapkan perlunya kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan

kejahatan genosida.

Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang

Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang

Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui

UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat

dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk

mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif

lainnya guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau

pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk

menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi

(38)

38

sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya

telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu,

memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang

secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya

dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau

kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak

untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam

pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk

berdasarkan aturan yang terdapat didalamnya.56

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial(International

Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)

Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui

UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial

dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini jugamenjamin

hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna

kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan

Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against

Women)

Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia

melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi

instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam

bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara

(39)

39

melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu

kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan

kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga

mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap

Perempuan (CEDAW).57

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)

Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh

Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus

menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan,

asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara

juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak

dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status,

kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang

sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC)

untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.

Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )

Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi

ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan

istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu

negara. Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan

negaranya karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau

(40)

40

keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan.

Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu:

persamaan hak, tidak adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari

hak-hak mereka, serta hak untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.58

b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat

Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement

Officials)

Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169

tentangPedoman Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan

bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang

mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM,

penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan

penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat

manusia, perlindungan kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan

terhadap hukum dan undang-undang.59

Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api(Basic

Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)

Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa

penggunaan kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai

dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.

Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All

Persons from Enforced Disappearance)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di

dalamnya terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan

58Ibid.

(41)

41

tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap

kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi,

hukum, maupun langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan

tindakan penghilangan paksa.

Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the

Elimination of Violence against Women)

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi

mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan

kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil

langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar

dalam penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Wanita.

Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi

Pembela HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan

kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada

memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka.

Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang

harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping juga menjelaskan hubungan antara

HAM dan hukum nasional suatu negara. Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan

aktivitasnya dengan cara-cara damai.

Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan

Sumir (Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal,

(42)

42

Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman

Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang

direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003.

Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku

tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk

kejelasan dalam rantai komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum.

Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk

hidup.60

2.4

Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia maka tidak akan

terlepas dari perjalannya dalam dinamika Konstitusi di Indonesia.

1.7 UNDANG-UNDANG DASAR 1945

UUD ini sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian

karena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia melalui

proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Fakta sejarah

mnunjukkan bahwa pergulatan pemikiran, khususnya pengaturan Hak Asasi

Manusia dalam konstitusi begitu intens terjadi dalam persidangan BPUPKI dan

PPKI.61

Satu hal menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalh hukum dasar tertulis

yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta

kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan Hak Asasi Manusia

60Ibid.

(43)

43 itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan,

Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Yang ditemukan bukanlah Hak Asasi

Manusia, tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara (HAW).62

Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa, waktu

yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan

dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Atas dasar itu,

Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD kilat”, yang

karenanya harus dilakukan perubahan saat Indonesia merdeka. Jelas bahwa

pengaturan Hak Asasi Manusia berhasil dirumuskan dalam UUD 1945. Itu

artinya, bahwa jauh sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi PBB, Indonesia

ternyata lebih awal telah memberlakukan sebuah UUD yang mengatur perihal dan

peneg

Referensi

Dokumen terkait

Yang jelas seluruh rangkaian pelaksanaan selamatan mayat yang biasa dilakukan masyarakat Bulukumpa khususnya, maka yang umum diadakan mappasoro pada setiap kegiatan

Pembahasannya akan dimulai dari menguak latar belakang historis munculnya riba, konsep riba dan bunga dalam ekonomi Islam, kritik terhadap teori-teori bunga dan

PENGGUNAAN LEAFLET DAN ALAT BANTU PENGAMBIL KEPUTUSAN (ABPK) DALAM KONSELING KONTRASEPSI IMPLANT PADA NYS. UMUR 32 TAHUN DI BPM PUJI LESTARI S.ST DESA PLUMBON

➢ Keunikan futsal mendapat perhatian di seluruh Amerika Selatan, terutamanya di Brazil yang terkenal dengan sukan bola sepak.. ➢ Brazil merupakan salah satu jaguh antarabangsa

mana yang dimiliki siswa yang perlu dibina lagi dan dikembangkan... Rata-rata nilai psikomotorik pada kelompok eksperimen dapat. dilihat pada tabel 14. Rata-rata

JUDUL PERTUNJUKAN SENI SAMAN GRUP CAHYA MEKAR DESA PASIR EURIH KECAMATAN CIPEUCANG KABUPATEN PANDEGLANG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Temuan pada tema ini menunjukkan bahwa para mitra sepenuhnya menyadari bahwa bekerja sebagai pengemudi ojek online tidak dapat dijadikan sebagai pekerjaan tetap

Oleh sebab itu, dengan berenang dapat menurunkan risiko cedera persendian, terutama di bagian lutut dan pergelangan kaki bagi mereka yang kelebihan berat badan atau