TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN YANG
TIDAK DICATATKAN
HARTINI ANTASARI D101 13 695
Pembimbing I : Hj. Darwati Pakki, S.H., M.H
Pembimbing II : Manga’ Patila, S.H., M.H
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Kedudukan harta terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan. (2) Akibat hukum terhadap perka winan yang tidak dicatatkan.
Perka winan yang tidak dicatatkan banyak menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan rumah tangganya. Akibat hukum bagi perkawinan yang tidak memiliki akta nikah, secara yuridis suami/istri dan anak yang dilahirkannya tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anak hanya diakui oleh negara sebagai anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Istri dan anak yang ditelantarkan oleh suami tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta bersama.
Kata Kunci : Perkawinan, Tidak Dicatatkan, Yuridis.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan
merupakan suatu perbuatan yang sakral dan membawa dampak hukum terhadap subyek yang terikat dalam perkawinan maupun pihak
perundangan-undangan. Perkawinan tidak dapat dipandang hanya sebagai hubungan lahir dan batin antara seorang pria dan perempuan yang telah memenuhi syarat untuk melaksanakan perkawinan tetapi perkawinan harus dilihat dari tujuannya yang sangat luhur yaitu membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal serta mengarah kepada hubungan yang baik antara sesama manusia dan hubungan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Indonesia sebagai Negara hukum, sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 membawa akibat terhadap semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia harus diatur dalam suatu undang-undang hal ini
sesuai dengan asas legalitas, agar supaya perbuatan hukum yang dilakukan mendapat kepastian hukum dan perlindungan hukum dari Negara.
perkawinan yang terdapat didalam Kitab suci serta yang diatur dalam hukum adat yang pemberlakuannya
dipertahankan oleh masyarakat.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak berarti meniadakan aturan-aturan perkawinan yang sudah ada lebih dahulu, tetapi memberikan wadah untuk pelaksanaan aturan tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan
kepercayaannya itu.
Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut, bukan berarti perkawinan sudah sah jika sudah dilaksanakan sesuai
dengan agama serta kebiasaan dan adat dari subyek yang melaksanakan perkawinan. Negara Indonesia sebagai negara hukum membawa dampak terhadap pelaksanaan perkawinan, artinya perkawinan yang sudah dilaksanakan sesuai dengan agama serta kebiasaan dan adat tersebut harus pula mengikuti syarat-syarat dan tata cara perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang perkawinan serta perkawinan tersebut harus pula melibatkan negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
melaksanakan tugas legislatif yaitu pembuat kebijakan dibidang perkawinan, serta melaksanakan tugas yudikatif apabila perkawinan tersebut membawa dampak hukum terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri dalam perkawinan, putusnya perkawinan yang membawa akibat terhadap harta benda dalam perkawinan, hubungan dengan anak hasil perkawinan serta pihak ketiga yang berkepentingan terhadap putusnya perkawinan tersebut. Masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan sebagian besar telah memahami mengenai dasar dan tujuan, syarat-syarat perkawinan serta akibat hukum yang ditimbulkan apabila perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, namun
masih ada masyarakat yang memiliki pandangan bahwa perkawinan sudah sah dan sempurna jika dilaksanakan menurut ajaran agama dan adat serta kebiasaan yang berlaku dalam kelompoknya.
mengikuti ajaran agama dan kebiasaan serta adat yang berlaku juga harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pelaksanaan
perkawinan di Indonesia selalu bervariasi bentuknya.Mulai dari perkawinan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), perkawinan bawa lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat, yaitu kawin siri. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’ adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-islam).
Istilah sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia. Kawin siri menurut arti katanya perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.1
Perkawinan yang dilaksanakan oleh warga Negara Indonesia saat ini masih ada yang melaksanakan perkawinan hanya berpedoman pada ajaran agama atau menurut adat dan kebiasaan saja, kelompok ini berpendapat tidak perlu melaporkan atau mencatatkan perkawinannya kepada negara dalam hal ini negara diwakili oleh Kantor Urusan Agama (KUA) bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi warga Negara Indonesia yang beragama Non Islam, asal calon suami dan calon isteri sepakat, keluarga
1
Mahmud Yunus, Hukum
merestui, ada saksi dan dihadiri oleh tokoh agama setempat atau tokoh adat, maka perkawinan tersebut telah sah dan sempurna.
Perkawinan lainnya yang sering terjadi dimasyarakat adalah penyimpangan terhadap ajaran agama dan aturan yang terdapat dalam kebiasaan dan adat yang berlaku, misalnya perkawinan yang dilaksanakan karena perbedaan agama dan kepercayaan yang dianut, perkawinan yang dilaksanakan tanpa restu orang tua, perkawinan terhadap anak dibawah umur, perkawinan yang dilaksanakan akibat larangan jabatan, perkawinan yang dilaksanakan akibat pergaulan bebas remaja, perkawinan akibat perbuatan zina/selingkuh, maka akibat dari hubungan perkawinan
mereka tersebut maka mereka memilih melaksanakan perkawinan tanpa perlu
melaporkan dan
mencatatkannya.
Akibat dari perkawinan yang hanya berpedoman pada ajaran agama dan adat serta kebiasaan yang berlaku tanpa
melaporkan dan
mengabaikan hak dari pihak lainnya, maka untuk mencegah hal ini terjadi sangat perlu perkawinan selain dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan serta adat dan kebiasaan yang berlaku harus pula memenuhi syarat dan tata cara perkawinan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Melihat banyaknya perkawinan yang terjadi dimasyarakat saat ini, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang permasalahan yang menjadi latar belakang diatas dan tertarik mengangkat judul mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka untuk
memudahkan penulis melakukan penelitian dan mengumpulkan data-data yang diperlukan, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti, yaitu:
1. Bagaimanakah kedudukan harta terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan? 2. Bagaimanakah akibat
hukum terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan?
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan Harta
Terhadap Perkawinan Yang
Tidak Dicatatkan
Perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya adalah sah menurut agama, namun tidak demikian
menurut hukum
tidak memperoleh kepastian hukum dari Negara terhadap bentuk hubungan perkawinan.
Masalah pencatatan perkawinan tidak saja rumit tetapi seolah-olah menjadi sangat penting.Bahkan pencatatan tersebut jauh lebih lama waktunya daripada pelaksanaan akad nikah itu sendiri.Selain itu terdapat kesan bahwa pencatatan menjadi hal yang mutlak
dalam suatu
perkawinan.Berkenaan
dengan masalah pencatatan tersebut ada yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan pensyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan.Pandangan
sahnya sebuah perkawinan ini hanya didasarkan pada aturan-aturan sebagaimana yang telah disebut dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang
Perkawinan.Demikian dengan ayat (2) yang membicarakan tentang pencatatan perkawinan tidak memiliki hubungan dengan sah tidaknya sebuah perkawinan.Akan tetapi, ada pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.2
Perkawinan
mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri pribadi mereka yang melangsungkan pernikahan, hak dan kewajiban yang mengikat pribadi suami istri, tetapi lebih dari itu mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami istri tersebut.Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan
2
Hartono Mardjono, Menegakkan
Syari’at Islam dalam Konteks
hukum kekayaannya terjalin sedemikian eratnya, sehingga keduanya memang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan
hubungan hukum
kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lainmerupakan hukum kekayaan keluarga.3
Perkawinan setiap masing-masing dari pihak suami atau istri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum akad nikah.Suami atau istri yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta bersama.Suami maupun istri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya tersebut untuk
3
J. Satrio, Hukum Harta
Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 5.
kepentingan rumah tangganya dengan persetujuan kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak mempergunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain.4
Dampak hukum yang timbul dari sebuah perkawinan yang tidak tercatat akan terjadi kalau ada perceraian, istri sulit untuk mendapatkan ha katas harta bersama mereka apabila suami tidak memberikan. Selain itu, jika ada warisan yang ditinggalkan suami karena suami meninggal dunia, istri dan anak juga sangat sulit
4
Hilman Hadikusuma, Hukum
untuk mendapatkan hak dari harta warisan.5
Penyelesaian harta bersama dan harta warisan (bila suaminya telah meninggal) baik kepada perempuan yang dinikahi secara hukum agama maupun anak yang ditinggalkannya mendapat haknya masing-masing setelah melalui musyawarah dan mufakat dengan dihadiri keluarga pihak laki-laki, tokoh agama dan tokoh adat setempat.Selain banyak kasus dampak negatif yang terungkap, tidak sedikit pula kasus yang tidak terpublikasikan dapat diselesaikan secara damai harta bersama dari perkawinan yang tidak dicatatkan ini. Bagi masyarakat yang sudah terbiasa hidup dalam garis tuntunan agama islam yang
5
www.google.com/Dampak Nikah Siri bagi Perempuan dan Anak.
kuat atau hidup dengan pola hukum adat justru tidak mempersoalkan apakah perkawinan mereka dicatat melalui lembaga pencatatan negara atau tidak yang penting keberadaan mereka telah menyatu dan diakui oleh masyarakat setempat.
kebendaan/kepemilikan.Oleh karena itu baik dalam pernikahan pada umumnya maupun pada pernikahan tidak tercatat, hendaknya diperhatikan mengenai harta bersama yang diperoleh sebelum maupun semasa perkawinan, agar kelak tidak menmbulkan permasalahan.
B. Akibat Hukum Terhadap
Perkawinan Yang Tidak
Dicatatkan
1. Akibat Hukum terhadap
Kedudukan Istri
Menurut hukum islam perkawinan yang tidak dicatat adalah sah tetapi perkawinan yang tidak dicatatkan ini hukum negara tidak mengakuinya sehingga berbagai persoalan rumah tangga termasuk bila dikemudian hari terjadi perceraian maka hanya bisa diselesaikan diluar jalur
hukum atau dilakukan secara musyawarah menurut hukum islam dan penyelesaian kasus gugatan nikah sirri hanya bisa diselesaikan menurut hukum adat. Akibat lain dari perkawinan yang tidak dicatatkan ini terhadap istri adalah istri tidak bisa menggugat suami apabila ditinggalkan oleh suami, istri tidak dapat memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti apabila suami sebagai pegawai maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.6
Secara hukum perempuan yang dinikah sirri tidak dianggap sebagai istri yang sah.
6
Dengan kata lain perkawinan itu dianggap tidak sah, karena itu istri sirri tidak berhak atas nafkah dan harta warisan suami jika suami meninggal. Istri sirri tidak berhak atas harta bersama jika terjadi perceraian.
Mengenai
kedudukan suami istri menurut UUP dan KHI bahwa perkawinan sirri tidak dikenal dan diakui dalam hukum negara maka ia tidak mempunyai hak dalam hal perlindungan hukum atas perkawinan yang mereka jalani. Hak suami atau istri baru bisa dilindungi undang-undang setelah memiliki alat bukti yang otentik tentang perkawinannya.
Perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut bahkan dianggap suatu
pelanggaran (Pasal 45 PP No 9/1975), juga tidak memiliki kekuatan hukum (Pasal 6 KHI).Bagi mereka yang melakukan perkawinan tidak dicatatkan, untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum maka harus dilakukan itsbat nikah seperti yang diatur dalam Pasal 7 KHI.
2. Akibat Hukum terhadap
Kedudukan Anak
menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. (Pasal 44 (1)).Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.7
Mengenai
kedudukan anak baik berdasarkan KUH Perdata maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang hanya ditentukan adalah tentang kedudukan anak sah dan tidak sah dan tidak membicarakan tentang kedudukan anak lainnya seperti kenyataannya di dalam kehidupan keluarga/rumah tangga dalam masyarakat.
7
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 124.
Misalnya tentang anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya yang ada kaitannya dengan kedudukan orang tua dan perkawinannya yang berlaku dalam masyarakat adat.8
Hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak yang sah.9Sedangkan keturunan yang tidak sah
8Ibid
. 9
adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, orang menyebut anak yang demikian ini adalah anak luar kawin.
Menurut UUP dan KHI anak yang sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah.Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan dicatat oleh lembaga negara. Dari penjelasan itu, anak yang dilahirkan dari perkawinan siri meski memenuhi ketentuan agama dan mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum islam tetapi tidak dicatatkan kepada lembaga pencatatan negara maka dianggap sebagai anak luar kawin yang tidak mendapatkan hak-hak
seperti halnya anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah menurut undang-undang. Hak-hak yang tidak didapat itu adalah masalah keperdataan berkaitan dengan status dan hubungan dengan ayah biologisnya.
Perkawinan yang sah menurut hukum negara adalah perkawinan yang dicatatkan dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.Perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga tidak memenuhi ketentuan tersebut.
hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada (Pasal 42 & 43 UUP dan Pasal 100 KHI).
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan atau
warisan dari
ayahnya.Kecuali melalui upaya hukum kepada Pengadilan Agama.
3. Akibat Hukum terhadap
Harta Bersama
Menurut undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau
agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.10
Hukum islam tidak mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan kedalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita serta maskawin ketika perkawinan berlangsung. Setiap pria dan wanita mempunyai hak untuk mendapat bagian harta warisan yang ditinggalkan atau diberikan orang tuanya.Harta yang diperoleh sebelum perkawinan merupakan milik pribadi dari suami atau istri dan masing-masing suami dan istri menguasai dan memiliki hartanya sendiri-sendiri.Dalam suatu
10
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 114.
perkawinan, jika suami istri masing-masing berusaha dalam kehidupan sehari-hari, maka hasil usaha mereka itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.Dalam hal ini, suami mempunyai kewajiban memberi nafkah lahir batin kepada istrinya dan memberi nafkah kepada anak-anak dari perkawinannya.11
Pada saat terjadi perceraian, istri yang dinikahi secara sah dalam hukum agama dan dicatatkan tentunya akan mendapat hak yang lebih pasti atas pembagian harta bersama serta mendapat hak atas tunjangan nafkah dari mantan suaminya. Dilain pihak istri yang hanya dinikahi secara sirri,
11Ibid
tidak dapat menuntut apapun. Selain itu terdapat kemungkinan perceraian akan terjadi secara sirri pula tanpa dilakukan dihadapan pengadilan agama. Sehingga dalam hal ini terdapat itikad tidak baik dari pihak suami, maka suami dapat meninggalkan istri begitu saja tanpa pertanggung jawaban apapun.
Mengatasi
kemungkinan terjadi permasalahan ini, KHI mengatur mengenai kemungkinan di ajukannya permohonan itsbat nikah dalam rangka perceraian.Sehingga bagi pernikahan yang belum tercatatkan secara resmi dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan agama.Kemudian setelah permohonan itsbat
nikahnya diputus dan dikabulkan baru diajukan permohanan baru yaitu untuk keperluan perceraian.
Pengajuan itsbat nikah ini memberikan jalan bagi kepentingan suami istri yang pernah menikah secara hukum agama untuk dicatatkan secara hukum negara untuk keperluan yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
III.PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mengenai pengaturan harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974.
perkawinan resmi dan tercatat tidak akan mengalami banyak kesulitan, karena dalam hal terjadi perceraian akan diselesaikan dengan putusan Pengadilan Agama. Akan tetapi dalam perkawinan yang tidak tercatat akan mengalami kesulitan dalam pembagian harta karena tidak ada ikatan hukum diantara keduanya. Dalam kasus ini, harta bersama dari perkawinan tidak tercatat diselesaikan secara hukum islam dan musyawarah
kekeluargaan. 2. Akibat hukum dari
perkawinan yang tidak dicatatkan membawa dampak terhadap kedudukan istri,
kedudukan anak dan harta bersama dalam
perkawinan.
B. Saran
1. Dalam melakukan pernikahan sebaiknya pasangan yang akan menikah harus mempersiapkan segala sesuatunya secara baik dan sesuai aturan hukum agama maupun hukum negara yang ada sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari dan kepada pemerintah khususnya pejabat yang terkait dengan urusan pernikahan lebih aktif memberikan penyuluhan mengenai arti penting pencatatan nikah kepada masyarakat. 2. Sebaiknya dalam hal
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Hartono Mardjono. 1997. Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan. Mizan. Bandung.
Hilman Hadikusuma. 1991. Hukum Perkawinan Adat. Aditya Bakti. Bandung. J. Satrio. 1991. Hukum Harta Perkawinan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. --- 2000. Hukum tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang.PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
Mahmud Yunus. 1979. Hukum Perkawinan dalam Islam. Hidakarya Agung. Jakarta.
B. Peraturan Prundang-Undangan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
C. Internet
www.google.com/Dampak Nikah Siri bagi Perempuan dan Anak.
BIODATA PENULIS
NAMA : HARTINI ANTASARI
TEMPAT TANGGAL LAHIR : SIBOWI, 19 APRIL 1996
ALAMAT : JL. I GUSTI NGURAHRAI 1 NO. 1
E-MAIL : hartini.antasari@yahoo.com